Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan cemas menurut Diagnostic And Statistic Manual Of Mental


Disorders edisi ke lima (DSM V) didefinisikan sebagai kecemasan dan
kekhawatiran berlebihan mengenai aktivitas sehari-hari seperti sekolah atau
pekerjaan, yang terjadi minimal selama 6 bulan. 1 Kecemasan dan kekhawatiran
terkait dengan tiga (atau lebih) dari enam gejala berikut: 1) gelisah, 2) mudah
lelah, 3) kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong, 4) iritabel, 5)
tegang otot, 6) gangguan tidur (kesulitan jatuh atau tetap tertidur, atau tidur tidak
puas). Umumnya penderita mencari pengobatan bukan karena gejala gangguan
cemas namun akibat gejala lain seperti gangguan tidur, nyeri otot, dispepsia,
gelisah, kelelahan, dan mudah marah. Gangguan cemas juga meningkatkan risiko
episode depresif, konsumsi alkohol, dan komplikasi pada penyakit somatik.2
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif,
dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel,
pada suatu tahap akan memerlukan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi secara sistemik akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.3
Kecemasan adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum
terjadi pada pasien hemodialisa. Prevalensi kecemasan di antara pasien
hemodialisis adalah 31% -51%. Kecemasan dapat menurunkan kualitas hidup,
meningkatkan kemungkinan menggunakan strategi coping yang tidak efektif
seperti alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan dan mengubah fungsi kognitif
dan fisik. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan
tingkat kematian.4
Tinjauan pada 55 studi penelitian oleh Murtagh, Addington-Hall, dan
Higginson tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gejala kecemasan pada
pasien dengan PGK adalah 12%-52%, dilanjutkan penelitian Cukor dkk tahun

1
2008 melaporkan prevalensinya meningkat menjadi 45,7%. Penelitian Preljevic
dkk tahun 2013 melaporkan bahwa 17% pasien menderita gangguan kecemasan
dan 8,3% mengalami komorbid depresi dengan gangguan kecemasan. Penelitian
yang dilakukan Seeman tahun 2018 menunjukkan prevalensi 56% pada pasien
gejala kecemasan, dengan derajat berikut 44% minimum, 30% rendah, 10%
sedang, dan 16% tinggi. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah tidak rileks,
perasaan takut mati, dan takikardia. Frekuensi penggunaan obat anxiolitik adalah
14%. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa kecemasan dan depresi dikaitkan
dengan penurunan kualitas hidup yang akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Dengan demikian, gangguan depresi dan kecemasan perlu ditangani
ketika merawat pasien dialisis. 5
Penelitian tahun 2007 oleh Murtagh dkk menunjukkan bahwa 12% hingga
52% pasien dengan hemodialisis mengalami gangguan cemas. Penelitian Feroze
dkk tahun 2012 penyebab kecemasan ini adalah kekhawatiran menjalani tindakan
hemodialisis rutin, adanya alat hemodialisa di dalam tubuh, dan mendengar bunyi
alarm mesin dialisis. Stres juga diidentifikasi sebagai faktor signifikan yang
mempengaruhi kualitas hidup pada populasi yang menjalani dialisis.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal


2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
ireversibel, pada suatu tahap akan memerlukan terapi pengganti ginjal berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi secara sistemik, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.3
Definisi dan klasifikasi penyakit ginjal kronis telah berevolusi dari waktu ke
waktu, tetapi pedoman internasional saat ini mendefinisikan sebagai penurunan
fungsi ginjal yang ditunjukkan oleh laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
mL/menit/1,73 m², terdapat penanda kerusakan ginjal, atau keduanya. Hal ini
berlangsung selama minimal 3 bulan dengan apapun penyebab yang mendasari.7
Klasifikasi derajat penyakit dibuat berdasarkan LFG, yang dihitung dengan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat Badan
*
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) Pada perempuan dikalikan 0,853

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit 1


LFG
Derajat Penjelasan
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ringan 60- 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialysis

3
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi 3

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal Penyakit glomerular


non diabetes (penyakit autoimun. infeksi sistemik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Tabel 3. Derajat dan prognosis PGK berdasarkan LFG dan albuminuria19

Rentang LFG Kategori persisten albuminuria


(mL/min/1.73m2) (< 30 (30 – 300 > 300
Deskripasi LFG
mg/g) mg/g) mg/g
G1 Normal atau tinggi ≥ 90
G2 Menurun ringan 60 – 90
G3a Menurun ringan – sedang 45 – 59
G3b Menurun sedang – berat 30 – 44
G4 Menurun berat 15 – 29
G5 Gagal ginjal < 15
Hijau: resiko rendah, kuning: resiko sedang, jingga: resiko tinggi, merah: resiko sangat tinggi

II.1.2Epidemiologi
Insiden dan prevalensi penyakit ginjal kronik bervariasi secara global.
Prevalensinya sekitar 11% di negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk
Amerika Serikat dan Australia. Orang-orang dengan sosial ekonomi rendah
memiliki risiko 60% lebih tinggi mengalami PGK. Ras berkulit hitam dan Asia,
Hispanik di Amerika Serikat, serta penduduk asli Australia, Selandia Baru, dan
Kanada memiliki risiko lebih tinggi terkena PGK yang progesif. Diabetes dan

4
hipertensi adalah penyebab utama PGK di semua negara berpenghasilan tinggi
dan menengah, dan beberapa di negara berpenghasilan rendah.7
Diabetes menyumbang 30-50% dari total PGK dan dialami oleh 285 juta
sebesar 64% orang dewasa di seluruh dunia, meskipun jumlah ini diperkirakan
akan meningkat sebesar 69% di negara-negara berpenghasilan tinggi dan 20% di
negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2030. Lebih dari
seperempat populasi dewasa diperkirakan mengalami hipertensi pada tahun 2000
meskipun proporsi ini diperkirakan meningkat sekitar 60% pada tahun 2025.
Penelitian observasional melaporkan peningkatan risiko PGK yang lebih cepat
dengan tekanan darah yang memburuk. 7
Hasil Riskesdas tahun 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis
gagal ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi
PGK di negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar
12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang
terdiagnosis PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis
pada tahap lanjut dan akhir. Provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi
Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4 %. 20
Secara global, penyebab PGK terbesar adalah diabetes mellitus. Di
Indonesia, sampai dengan tahun 2000, penyebab terbanyak adalah
glomerulonefritis, namun beberapa tahun terakhir menjadi hipertensi berdasarkan
data Indonesian Renal Registry (IRR). Namun belum dapat dipastikan apakah
memang hipertensi merupakan penyebab PGK atau hipertensi akibat penyakit
ginjal tahap akhir, karena data IRR didapatkan dari pasien hemodialisis yang
sebagian merupakan pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir. Data IRR dari 249
renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani dialisis pada tahun
2015, sebagian besar adalah pasien dengan gagal ginjal kronik. 20
Badan Penyelenggara Jaminan Keseharan (BPJS) pada tahun 2015
melaporkan, sebanyak 2,68 triliun rupiah dihabiskan untuk penyakit gagal ginjal,
baik rawat inap maupun rawat jalan, jumlah tersebut meningkat dari tahun 2014

5
sebesar 2,2 triliun rupiah. Pembiayaan penyakit ginjal merupakan peringkat kedua
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. 20

II.1.3Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Patofisiologi PGK melibatkan dua mekanisme kerusakan: (1) bergantung
pada etiologi yang mendasari dan (2) mekanisme progresif yang melibatkan
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron, dan merupakan akibat dari pengurangan massa
ginjal jangka panjang, apapun dari etiologi yang mendasari. Mekanisme
pengurangan jumlah nefron dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor
pertumbuhan. Pada akhirnya, adaptasi hipertrofi dan hiperfiltrasi ini menjadi tidak
efektif karena peningkatan tekanan dalam nefron, fungsi podosit abnormal, dan
gangguan penghalang filtrasi yang menyebabkan sklerosis dan putusnya nefron
yang tersisa. Peningkatan aktivitas intrarenal sistem renin-angiotensin (RAS) juga
ikut mempengaruhi pada hiperfiltrasi adaptif awal, hipertrofi maladaptif dan
sklerosis. Proses ini menjelaskan mengapa pengurangan massa ginjal dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dalam jangka waktu yang
lama.8
Pada stadium paling dini PGK terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve) meskipun basal LFG masih normal atau dapat meningkat. Kemudian
secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Penurunan LFG
sebesar 60% belum menunjukkan keluhan (asimtomatik), namun sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kasium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
saluran napas, maupun saluran cerna. Gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hipervolemia dan gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium dan
kalium juga dapat terjadi. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan

6
komplikasi yang Iebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy) seperti dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan stadium gagal ginjal.3

Gambar 2.1 Perubahan glomerular hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron.8

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),
dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, dengan gejala lemah, letargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala
komplikasi antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).3
Ketika PGK berkembang dan fungsi ginjal menjadi kurang efektif, berbagai
zat yang dikenal sebagai zat sisa retensi uremik menumpuk di dalam tubuh,
sehingga mengakibatkan efek biologis merugikan yang disebut racun uremik.
Racun uremik memiliki efek biokimia dan fisiologis yang kompleks dan belum
sepenuhnya dipahami. Beberapa dimediasi secara langsung dan secara tidak
langsung melalui interaksi dan perubahan racun itu sendiri untuk membentuk
senyawa baru. Racun ini dianggap berkontribusi terhadap peradangan, disfungsi
kekebalan tubuh, penyakit vaskular, disfungsi trombosit dan peningkatan risiko
pendarahan, dysbiosis dalam usus termasuk peningkatan translokasi bakteri,
metabolisme obat yang berubah, serta perkembangan PGK. Zat terlarut yang
terakumulasi dikelompokkan menjadi tiga, berdasarkan kelarutannya, kapasitas
pengikatan dan ukuran molekul. Senyawa larut air seperti urea, poliamina,

7
guanidin, dan oksalat. Senyawa lipidoluble atau terikat protein kecil seperti
homocysteine dan indoles, serta senyawa lebih besar (lebih dari 500 Da) yang
sulit didialisis seperti beta β2 microglobulin, hormon paratiroid, dan produk
glikosilasi akhir. Produk retensi uremik mempengaruhi hampir semua sistem
tubuh dan organ. Kontrol atau perbaikan terhadap racun uremik dapat mengurangi
komplikasi PGK, atau perkembangan PGK dan mengurangi gejala uremik.7

Perubahan kognitif
• risiko gangguan kognitif meningkat sebesar 65%
Kulit • bahasa dan perhatian merupakan aspek yang paling
• pucat akibat anemia pada PGK terganggu

Hipertensi Gejala gastrointestinal


• sering terjadi sebagai • Anoreksia, muntah, dan gangguan rasa dapat terjadi pada
penyakitprimer ataupun sekunder PGK tingkat lanjut.
•Bau uremik dapat terjadi pada CKD lanjut yang disebabkan
Sesak napas dengan pemecahan urea oleh saliva.
• akibat : overload cairan, anemia
Perubahan urin output
kardiomiopati, atau penyakit jantung
• poliuria akibat kemampuan penyaringan tubular terganggu
iskemik • oliguria
• nokturia sebagai akibat dari gangguan zat terlarut diuresis
Ginjal atau edema
• Bentuk ginjal pada pencitraan • Urin yang berbusa dapat menandakan
dapatmenunjukkan penyebab PGK proteinuria
•Ginjal yang mengecil bilateral
menunjukkan penyakit intriksik Hematuria
(glomerulonefritis) • terjadi akibat cedera dinding kapiler glomerulus.
• Ginjal yang mengecil unilateral Proteinuria
menunjukkan penyakit ginjal arterial • kerusakan tubular menghasilkan proteinuria derajat rendah
• Clubbing kaliks menunjukkan refluks biasanya
dengan infeksi kronik atau iskemik <2 g, protein dengan berat molekul rendah.
• ginjal yang membesar menunjukkan • kerusakan glomerulus menyebabkan hilangnya selektivitas
penyakit ginjal kistik terhadap protein. filtrasi sering diperburuk oleh hiperfiltrasi.

Gatal dan kram


• Umum pada PGK tingkat lanjut Edema perifer
• Penyebab gatal mungkin melibatkan • akibat retensi natrium ginjal
deregulasi kekebalan respons dan sistem opioid • diperparah oleh penurunan gradien onkotik pada nefrotik
• Kram kemungkinan karena iritasi saraf sindrom, akibat hipoalbuminaemia
disebabkan oleh kelainan biokimia PGK

Gambar 2.2 Gejala dan tanda pada PGK7

2.1.4 Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi 1) terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, 2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

8
(comorbid condition), 3) memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal,
4) pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, 5) pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi, 6) terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.3
Tabel 4. Rencana tatalaksana PGK sesuai derajat3
LFG Rencana Tatalaksana
Derajat
(ml/menit/1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, 1 >-90 terapi peyakit
dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan(progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60- 89 menghambat pemburukan (progression) fungsi
ginjal
3 30-59 persiapan untuk terapi peng ganti ginjal
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 atau dialisis terapi pengganti ginjal

Menghambat pemburukan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan beberapa


cara, yaitu mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria. Pedoman
pengobatan menetapkan 130/80 mmHg sebagai target tekanan darah pada pasien
PGK. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor dan Angiotensin Receptor
Blocker (ARB) menghambat vasokonstriksi yang diinduksi angiotensin.
Penghambatan menurunkan tekanan filtrasi intraglomerular dan proteinuria.8
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG<60 ml/mnt, sedangkan di
atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein diberikan
0,6 — 0,8/kgBB/hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi
pasien.3
Hemodialisis bergantung pada prinsip-prinsip difusi zat terlarut di membran
semipermeabel. Pergerakan produk limbah metabolik terjadi pada gradien
konsentrasi dari sirkulasi ke dialisat. Menurut hukum difusi, semakin besar
molekul, semakin lambat laju transfernya melintasi membran. Molekul kecil,

9
seperti urea (60 Da), mengalami pembersihan secara total, sedangkan molekul
yang lebih besar seperti kreatinin (113 Da), dibersihkan secara kurang efisien.8
Hipotensi adalah komplikasi akut yang paling umum terjadi pada
hemodialisis, terutama pasien dengan diabetes melitus. Banyak faktor
meningkatkan risiko hipotensi, termasuk filtrasi berlebihan, gangguan vasoaktif
atau respons otonom, pergeseran osmolar, penggunaan agen antihipertensi
berlebihan, dan berkurangnya cadangan jantung. Kram otot selama dialisis juga
merupakan komplikasi umum. Perubahan dalam perfusi otot karena pengurangan
volume yang terlalu cepat sering memicu kram. Reaksi anafilaktoid terhadap
dialyzer dibagi menjadi dua tipe, A dan B. Reaksi A dihubungkan dengan reaksi
hipersensitifitas intermediet IgE mediated terhadap etilen oksida yang digunakan
dalam sterilisasi dialyzers baru. Reaksi ini biasanya terjadi segera setelah memulai
pengobatan (dalam beberapa menit pertama) dan dapat berkembang menjadi
anafilaksis sistemik jika terapi tidak segera ditangani. Reaksi tipe B terdiri dari
gejala kompleks dada dan nyeri punggung nonspesifik, yang merupakan hasil dari
aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin. Gejala-gejala ini biasanya terjadi
beberapa menit dalam dialisis dan biasanya hilang seiring waktu dengan dialisis
lanjutan.8
2.1.5. Hemodialisis pada Penyakit Ginjal Kronis
Saat LFG < 15 mL/min/1,73 m2 (kategori G5, tabel 1 dan tabel 3), penderita
didiagnosa sebagai end stage renal disease (ESRD). Pada tahap ini, fungsi ginjal
tidak lagi mampu mempertahankan kehidupan untuk waktu yang lama sehingga
memerlukan terapi pengganti ginjal. Terdapat dua pilihan terapi pengganti ginjal
yaitu dialisis atau transplantasi ginjal. HD merupakan salah satu jenis dialisis yang
umum digunakan sebagai terapi pengganti ginjal pada ESRD. 21
Lebih dari satu juta penduduk dunia yang mendapat terapi dialisis, dimana
biasanya dilakukan selama 4 jam sebanyak 3 kali dalam seminggu. Berbagai studi
membuktikan bahwa semakin tinggi frekuensi dialisis maka efisiensi dan luaran
terapi akan semakin baik. Gambar 2.3 mengilustrasikan prosedur HD yang
merupakan terapi ektrakorporel untuk mengeluarkan produk sisa uremik dan
kelebihan cairan, koreksi gangguan elektrolit, dan normalisasi pH. Prosedur HD
membutuhkan akses vaskular (arteriovenous fistula atau permanent double-lumen

10
intravenous catheter) yang memungkinkan darah dapat di pompa oleh dialyzer
dengan kecepatan 250 – 300 mL/menit.23

Gambar 2.3 Hemodialisis 23

II.2 Gangguan Cemas


2.2.1 Definisi
Gangguan cemas menurut DSM edisi ke lima didefinisikan sebagai
kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan mengenai aktivitas sehari-hari
seperti sekolah atau pekerjaan, yang terjadi minimal selama 6 bulan. 1,9,30
Kecemasan dan kekhawatiran terkait dengan tiga (atau lebih) dari enam
gejala berikut: 1) gelisah, 2) mudah lelah, 3) kesulitan berkonsentrasi atau pikiran
menjadi kosong, 4) iritabel, 5) tegang otot, 6) gangguan tidur (kesulitan jatuh atau
tetap tertidur, atau tidur tidak puas). Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek
fisiologis dari suatu zat (misalnya obat penyalahgunaan obat) atau kondisi medis
umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak terjadi selama gangguan mood,
gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasif. 9,30

11
II.2.2Epidemiologi
Prevalensi gangguan cemas selama satu tahun di AS pada orang dewasa usia
18-64 tahun adalah sebesar 2,9%. Pada populasi ini, prevalensinya adalah 7,7%
pada wanita dan 4,6% pada pria. Kebanyakan orang dengan gangguan kecemasan
menderita kronisitas dan komorbiditas dengan penyakit lain. Prevalensi global
gangguan kecemasan adalah 28% dan terus meningkat seiring waktu. Kecemasan
dapat menurunkan kualitas hidup, meningkatkan kemungkinan menggunakan
strategi coping yang tidak efektif seperti alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan
dan mengubah fungsi kognitif dan fisik. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular dan tingkat kematian.4
II.2.3Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Ketika merasakan ancaman, kecemasan disertai dengan fight or flight
response. Tujuan utama reaktivitas fisiologis ini adalah untuk mempertahankan
tubuh untuk kelangsungan hidup. Aktivasi yang tiba-tiba itu membangkitkan
berbagai jenis perubahan dalam sistem fisiologis. Gangguan kecemasan ditandai
oleh reaktivitas sistem saraf simpatik. Namun, karena sumber kecemasan berbeda,
setiap gangguan kecemasan mungkin memiliki pola yang berbeda dalam
reaktivitas fisiologisnya. Aktivitas fisiologis pada gangguan cemas menunjukkan
denyut jantung yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak cemas.
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan cemas dan khawatir berhubungan
dengan aktivasi yang dapat mengurangi peningkatan energi secara tiba-tiba
(kontras negatif) yang diperlukan untuk respons fight or flight. 10
Gangguan cemas dikaitkan dengan pola regulasi parasimpatik yang berbeda.
Secara khusus, individu dengan gangguan cemas menunjukkan nada vagal secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan individu non-cemas. Nada vagal
telah dianggap sebagai kunci dari sistem saraf parasimpatik yang mengatur
keadaan istirahat dari sistem organ internal. Penelitian menemukan bahwa pasien
dengan gangguan cemas memiliki ritme pernapasan yang lebih rendah daripada
peserta kontrol. Studi baru menunjukkan bahwa kecemasan memainkan peran
kausal dalam aktivitas sistem saraf otonom. Kecemasan menyebabkan
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan penurunan aktivitas
parasimpatik.10

12
Sebagian besar studi neurobiologis pada gangguan cemas telah berfokus
pada reaktivitas otak selama paparan ancaman. Amygdala dianggap memainkan
peran kunci terhadap ancaman. Bukti sebelumnya menunjukkan bahwa ketika
pasien dengan gangguan cemas terkena ancaman, kadar oksigen darah di amigdala
meningkat. Aktivitas yang meningkat ini berkorelasi positif dengan tingkat
keparahan gejala gangguan cemas. Penelitian juga menunjukkan bahwa korteks
prefrontal terlibat dalam proses kecemasan. Korteks prefrontal menekan aktivitas
amigdala, yang berperan penting untuk pengaturan ketakutan dan kecemasan.
Korteks cingulate anterior juga terlibat dalam proses regulasi emosi.10
Pendekatan secara endokrinologi dan imunologi dijelaskan bahwa setelah
faktor psikis diketahui maka faktor psikis tersebut mempengaruhi sistem tubuh
kita. Salah satu mekanismenya yaitu dengan peningkatan Adrenocorticotropic
hormone (ACTH) oleh kelenjar hipofisis anterior. Stres dapat merangsang
hipotalamus untuk mengeluarkan faktor pelepas corticotrophin releasing factor
(CRF), selanjutnya CRF disekresi ke dalam pleksus kapiler utama dari sistem
portal hipofisis di puncak media hypothalamus dan kemudian dibawa ke kelenjar
hipofisis anterior, dimana CRF ini akan merangsang sekresi ACTH. Apabila
sekresi CRF terjadi terus-menerus maka kadarnya akan tinggi. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap hypocampus. Mekanisme umpan balik hipokampus
terganggu dan gangguan mekanisme ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol
menekan sekresi CRF. Akibatnya, semakin menambah tingginya pelepasan CRF.
Tingginya kadar CRF mempermudah seseorang menderita kecemasan.
II.2.4Gejala Gangguan Cemas
Kecemasan merupakan suatu perasaan emosional alamiah berupa rasa takut
atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat
menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang serta
ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Cemas terdiri dari serangkaian
gagasan, perasaan dan perilaku yang dipengaruhi oleh faktor biologi, psikologi,
dan genetik. Kecemasan pada setiap orang berbeda-beda, namun gejala dan
deskripsi umum kecemasan meliputi seperti pada (tabel 5) :

Tabel 5. Deskripsi umum dan gejala kecemasan.1,5

13
 Mual  Lemas  Fobik
 Rasa tidak nyaman  Gangguan tidur  Berkeringat
di perut  Dilatasi pupil  Gugup
 Diare  Pandangan kabur  Rasa panas diwajah
 Anoreksia  Pernapasan dangkal  Panik
 Muntah  Palpitasi  Takut
 Gangguan  Mulut kering  Khawatir
berkemih  Nyeri dada  Stress
 Sakit kepala  Tremor  Pucat
 Merasa ingin pingsan
 Gelisah

Cemas dapat menjadi patologis (gangguan cemas) saat gejala yang muncul
menimbulkan hambatan fungsional dan adanya perilaku menghindar dari orang,
tempat, atau kondisi tertentu. Gangguan cemas merupakan permasalahan psikiatri
yang umum terjadi di seluruh dunia. Sebanyak 28% penduduk dewasa di Amerika
Serikat memenuhi kriteria gangguan cemas selama hidupnya. Umumnya
gangguan cemas lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dan
dapat terjadi pada setiap tahapan usia.
II.2.5Kategori Gangguan Cemas
Terdapat beberapa kategori gangguan cemas, yaitu: 1,5,30
 Gangguan panik (dengan/tanpa agorafobia)
 Agoraphobia tanpa riwayat gangguan panik
 Fobia spesifik
 Fobia sosial
 Gangguan obsessive-compulsive
 Gangguan stres akut
 Gangguan cemas menyeluruh
 Gangguan cemas akibat kondisi medis
 Gangguan cemas akibat penyalahgunaan obat
 Gangguan cemas tidak spesifik
II.2.6Diagnosis Gangguan Cemas
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V adalah
ditandai dengan adanya rasa khawatir yang persisten kronis selama paling kurang
6 bulan dan disertai dengan minimal 3 gejala: kegelisahan, kelelahan, sulit
berkonsentrasi, cepat marah, ketegangan otot dan gangguan tidur.5,30

14
II.2.7Tatalaksana
2.2.7.1. Tatalaksana farmakologi
Penghambat reuptake serotonin selektif (SSRI) umumnya dianggap terapi
lini pertama untuk gangguan cemas. Setelah gejala membaik, obat-obatan harus
digunakan selama 12 bulan sebelum titrasi untuk mengurangi kekambuhan.
Beberapa pasien akan memerlukan perawatan yang lebih lama. Benzodiazepin
efektif dalam mengurangi kecemasan, tetapi terdapat respons terkait dengan
toleransi, sedasi, kebingungan, dan peningkatan mortalitas. Ketika digunakan
dalam kombinasi dengan antidepresan, benzodiazepin dapat mempercepat
pemulihan gejala kecemasan tetapi tidak meningkatkan hasil jangka panjang.
antidepresan trisiklik (TCA) sama efektifnya dengan SSRI, tetapi efek samping
membatasi penggunaan TCA pada beberapa pasien.9

LINI PERTAMA

LINI KETIGA

LINI KEDUA

TAMBAHAN

Gambar 2.4 Terapi farmakologi pada gangguan cemas9

2.2.7.2. Psikoterapi

15
Kecemasan digambarkan sebagai kebiasaan maladaptif yang berkembang
sebagai hasil dari interaksi berulang antara respon kognitif, fisiologis, dan
perilaku terhadap ancaman. Dasar pemikiran yang komprehensif untuk
pendekatan perilaku kognitif pada pengobatan yang diberikan pada awal
pengobatan dianggap memainkan peran penting dalam menetapkan harapan
positif untuk pengobatan.10
Psikoterapi mencakup banyak pendekatan yang berbeda, seperti terapi
perilaku kognitif (CBT) dan relaksasi. CBT dapat menggunakan relaksasi, terapi
pemaparan, pernapasan, restrukturisasi kognitif, atau edukasi. Psikoterapi sama
efektifnya dengan farmakoterapi untuk gangguan kecemasan. Intervensi CBT
secara konsisten terbukti efektif untuk pengobatan kecemasan. Psikoterapi dapat
digunakan secara tunggal atau dikombinasikan dengan obat sebagai pengobatan
lini pertama berdasarkan preferensi pasien. Psikoterapi harus dilakukan setiap
minggu selama setidaknya delapan minggu untuk menilai efeknya. Sebuah meta-
analisis menunjukkan bahwa terapi meditatif mengurangi gejala kecemasan.
Setelah pengobatan, gejala rebound lebih jarang terjadi pada psikoterapi
dibandingkan dengan obat-obatan. Pengobatan kombinasi obat-obatan dan
psikoterapi mengurangi kambuhan.10
2.3. Gangguan Cemas pada Pasien Hemodialisis Reguler
Kecemasan adalah salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum
terjadi pada pasien hemodialisis. Prevalensi kecemasan di antara pasien
hemodialisis adalah 31% - 51%. Kecemasan dapat menurunkan kualitas hidup,
meningkatkan kemungkinan menggunakan strategi coping yang tidak efektif
seperti alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan dan mengubah fungsi kognitif
dan fisik. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan
tingkat kematian.4
Banyak studi melaporkan bahwa penyakit dan kondisi medis tertentu
berhubungan dengan berbagai derajat cemas. Berbagai kondisi terkait penyakit
dan prosedur pengobatannya sering kali memunculkan kecemasan pada pasien,
walaupun sebagian besarnya terjadi secara alamiah. Berbagai stressor pada suatu
organisme dapat menimbulkan interaksi hormonal dan neuronal yang dapat
menyebabkan gangguan cemas, depresi, gangguan gastrointestinal, penurunan

16
perilaku seksual, diabetes dan kehilangan fungsi kognitif. Stres sangat berpotensi
menjadi etiologi berbagai penyakit neuropsikiatrik seperti gangguan cemas,
depresi, dan kognitif. Mekanisme patologi molekularnya dipusatkan pada
stimulasi stressor yang mengaktivasi HPA axis dan melepaskan hormon
kortikosteroid, perubahan sintesis dan pelepasan neurotransmitter, pembentukan
radikal bebas (nitric oxide) dan aktivasi mikroglial secara langsung atau tidak
langsung yang menghasilkan sitokin proinflamasi.23
2.3.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gangguan Cemas pada Pasien
Hemodialisis
Hemodialisis mengharuskan pasien untuk beradaptasi dengan berbagai
pantangan, seperti harus mengontrol makanan, asupan cairan, nyeri kronis dan
rasa tidak nyaman saat dilakukannya punksi fistula arteriovenous saat hari
dialisis. Berbagai gangguan somatik lain seperti adanya penyakit penyerta dan
frekuensi masuk rumah sakit akan memperlemah kondisi pasien pasca dialisis.
Selain itu juga, permasalahan fungsional sehari-hari dan rasa takut akan
memperparah gejala depresi dan cemas yang dialami pasien.4 Sumber utama
kecemasan pasien yang menjalani HD adalah prosedur invasif seperti: insersi
jarum ke fistula arteriovenous, pemasangan kateter vena sentral (central venous
catheter, CVC), alarm mesin HD dan pergantian jaga staf di ruang HD (berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam melakukan prosedur punksi
fistula arteriovenous).23, 25
Penelitian yang dilakukan Seeman tahun 2018 menunjukkan prevalensi 56%
pasien dengan gejala kecemasan, dengan derajat berikut: 44% minimum, 30%
rendah, 10% sedang, dan 16% tinggi. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah
tidak rileks, perasaan takut mati, dan takikardia. Frekuensi penggunaan obat
anxiolitik adalah 14%. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa kecemasan
dan depresi dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup, yang akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, gangguan depresi dan kecemasan
perlu ditangani ketika merawat pasien dialisis. 5
Hemodialisis jangka panjang akan menimbulkan berbagai emosi negatif
seperti kemurungan, marah, ketidakpuasan dan kekecewaan. Sumber utama
kecemasan pada pasien yang menjalani hemodialis jangka panjang tidak lain

17
adalah kondisi klinis saat itu dan kesadaran akan penurunan kontrol atas kesehatan
dirinya sendiri. PGK menimbulkan berbagai krisis kesehatan yang muncul secara
tiba-tiba dan tidak dapat diprediksikan. Di Amerika, bunuh diri merupakan
penyebab kematian ketiga pada pasien dialisis. Pasien dialisis tidak dapat
memprediksikan bagaimana mereka mendapat respon terapi, yang akan
menimbulkan perasaan tidak berdaya.25
Pasien PGK yang menjalani hemodialisis reguler umumnya mengalami
penurunan kualitas hidup, kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari dan
penampilan fisiknya. Bebagai studi melaporkan bahwa gangguan cemas dan
depresi berhubungan dengan penurunan kualitas hidup dan kemampuan
melakukan aktifitas sehari-hari. Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian khusus
dalam aplikasi klinis, karena dapat meningkatkan frekuensi masuk rumah sakit
dan mortalitas. 6,25
Bukti menunjukkan bahwa 12% hingga 52% pasien dengan hemodialisis
mengalami gangguan cemas pada penelitian Murtagh dkk tahun 2007. Penyebab
kecemasan ini adalah kekhawatiran menjalani tindakan hemodialisis rutin,
memiliki alat hemodialisa di dalam tubuh, dan mendengar bunyi alarm mesin
dialisis pada penelitian Feroze dkk tahun 2012. Stres juga diidentifikasi sebagai
faktor signifikan yang mempengaruhi kualitas hidup pada populasi yang
menjalani dialisis.6
Penelitian menunjukkan bahwa gangguan kecemasan sulit didiagnosis
sehingga tatalaksananya tidak efektif. Meskipun 24,1% pasien dengan gangguan
kecemasan berobat sendiri, hanya 2,4% yang mengonsumsi anxiolitik dari
prevalensi 39,6%. Kurang terdiagnosa masalah kesehatan mental ini di unit
dialisis kemungkinan akibat miripnya dengan efek samping dialisis. Pasien
dengan gagal ginjal mengalami kelelahan, kurang nafsu makan, gangguan energi
dan tidur yang dapat dikaitkan dengan uremia. Namun gejala-gejala ini mungkin
juga mencerminkan depresi dan gangguan cemas yang mendasarinya.4
Pasien tanpa kecemasan atau depresi sering memiliki skor KDQOL
(kuisioner untuk kualitas hidup) yang lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
kecemasan atau depresi. Skor yang jauh lebih rendah pada pasien dengan
kecemasan dan depresi sangat umum untuk efek penyakit ginjal, gangguan tidur

18
tidur, kesejahteraan emosional, kelelahan, dan skor kesehatan mental. Penelitian
ini menegaskan bahwa penurunan kualitas hidup serta kecemasan, depresi,
aktivitas fisik harian, dan penurunan kinerja fisik biasanya terjadi pada pasien
yang menjalani hemodialisis. Depresi dan gangguan kecemasan berhubungan
dengan kualitas hidup yang rendah dan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien hemodialisis serta pada orang yang tidak mengalami gagal ginjal.
Mekanisme yang mendasari hubungan antara kecemasan dan kematian pada
pasien hemodialisis termasuk ketidakpatuhan terhadap pengobatan dialisis yang
ditentukan, hiperparatiroidisme, malnutrisi, dan peradangan kronis.11
Gangguan kecemasan dilaporkan secara konsisten berhubungan dengan
persepsi terhadap kualitas hidup pada pasien dengan penyakit ginjal. Persepsi
kualitas hidup dikaitkan dengan hasil klinis pengobatan penyakit ginjal termasuk
kepatuhan terhadap pengobatan, status gizi, dan mortalitas. Gejala lain yang
sering muncul pada pasien ginjal adalah nyeri. Nyeri telah didefinisikan oleh
International Association for the Study of Pain sebagai pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan potensi kerusakan
jaringan. Tinjauan literatur tahun 2013 memperkirakan prevalensi rata-rata nyeri
pada pasien ginjal adalah 65%, dengan rentang 38% hingga 90%. Seperti dengan
kecemasan dan depresi, nyeri dikaitkan dengan outcome yang buruk untuk pasien
ginjal. Penelitian telah menunjukkan rasa sakit dapat meingkatkan cemas, depresi,
pola tidur yang buruk, dan kecenderungan untuk tidak patuh terhadap dialisis.12
Sitokin merupakan protein, peptida, atau glikoprotein yang dilepaskan oleh
sel yang berfungsi sebagai sinyal seluler untuk mengatur respons imun terhadap
cedera dan infeksi. Awalnya digambarkan sebagai mediator sel imun perifer,
sitokin juga terdapat di dalam SSP dan terlibat dalam modulasi berbagai fungsi
neurologis. Sinyal sitokin yang berasal dari perifer mencapai otak melalui jalur
humoral, saraf, dan seluler. Sitokin diklasifikasikan sebagai proinflamasi dan anti-
inflamasi. Sitokin proinflamasi termasuk IL-1, IL-6, dan TNF yang meningkatkan
peradangan, merupakan respon kekebalan awal terhadap infeksi atau cedera.
Tujuan utama dari sitokin adalah untuk menarik sel-sel imun ke area infeksi atau
cedera dan mengaktifkannya. Tujuan lainnya termasuk perubahan dalam fisiologi
untuk merespon peradangan, seperti perubahan metabolisme dan pengaturan suhu.

19
Sitokin anti-inflamasi seperti IL-10 dan IL-13 meredam respon imun, sehingga
menyebabkan pemulihan fungsi seluler dan penghambatan sintesis sitokin
proinflamasi.13
Respons inflamasi sistem imun dapat dipicu dengan berbagai cara, termasuk
infeksi dan trauma. Mediator inflamasi lain yang umum dikenal termasuk molekul
adhesi komplemen, enzim cyclooxygenase (COX), dan produk mereka. Sitokin
proinflamasi, tidak hanya dilepaskan oleh sel imun aktif terhadap invasi patogen
atau selama cedera jaringan tetapi juga pada tekanan psikologis. Pelepasan sitokin
proinflamasi selama respon imun umumnya sementara dan diatur oleh mekanisme
anti-inflamasi. Namun, ketika tantangan imun menjadi kronis, seperti yang pada
pasien dengan penyakit kronis dan/atau menghadapi stres psikologis yang
persisten, efek perilaku dari sitokin dan respon inflamasi yang dihasilkan dapat
berkontribusi pada perkembangan penyakit neuropsikiatrik. Menariknya, stres
psikologis telah terbukti meningkatkan produksi sitokin. Sinyal sitokin di otak
dikenal untuk mengatur fungsi otak yang penting termasuk metabolisme
neurotransmitter, fungsi neuroendokrin, plastisitas sinaptik, dan sirkuit saraf yang
mengatur suasana hati. Hasil perilaku dari semua jenis disregulasi sistem
kekebalan tubuh di SSP dapat menyebabkan terjadinya depresi, kecemasan,
disfungsi kognitif, dan gangguan tidur.13
Stres oksidatif adalah keadaan tingkat oksidan (hidrogen peroksida,
superoksida, oksida nitrat, dll.) yang dihasilkan oleh reaksi biologis melebihi
kapasitas oksidan dari sel. Oksidan ini memodifikasi makromolekul seluler
(protein, DNA, lipid) dan mengubah fungsi seluler. Meningkatnya kerusakan
oksidatif kemungkinan besar terjadi pada sebagian besar penyakit. Stres oksidatif
bertindak sebagai inisiator dan/atau mediator beberapa penyakit. Peningkatan stres
oksidatif dan nitrosative yang dipicu melalui pembentukan reactive oxygen species
(ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) yang terjadi pada beberapa gangguan
SSP. Hubungan ini sebagian besar disebabkan oleh kerentanan otak yang tinggi
terhadap beban oksidatif. Penghambat COX menunjukkan manfaat perlindungan
yang serupa dalam paradigma stres akut perilaku seperti kecemasan dan
kerusakan oksidatif. Stres akut juga diketahui menghasilkan beberapa perubahan
perilaku, neurokimia, dan biokimia. Penelitian tahun 2011 oleh Chen dkk, dalam

20
studi mereka pada pasien hemodialisis menunjukkan bahwa sementara terapi
kognitive behavioral efektif dalam memperbaiki pola tidur yang tidak teratur,
terapi ini juga mengurangi peradangan, stres oksidatif, dan kecemasan. Hal ini
mungkin karena sinyal sitokin proinflamasi yang tinggi dapat meningkatkan
pembentukan ROS dan menyebabkan kerusakan oksidatif, dan merupakan salah
satu mekanisme yang menghubungkan inflamasi dengan penyakit neuropsikiatrik.
Aktivitas reseptor angiotensin II AT1 yang berlebihan juga dikaitkan dengan
peradangan perifer dan otak yang meningkat, yang biasanya dinormalkan dengan
pemberian ARB. Pada umumnya ARB digunakan untuk mengobati gangguan
kardiovaskular dan metabolisme di mana peradangan merupakan faktor patogen
utama. Perilaku cemas juga disertai dengan peningkatan stres oksidatif.13
Beberapa penanda biologis telah ditunjukkan untuk memprediksi
peningkatan mortalitas pada pasien dialisis, sementara mekanisme lain mungkin
termasuk modifikasi respon imunologi dan stres. Semakin banyak bukti bahwa
protein C reaktif (CRP) diregulasi dan dapat memprediksi kematian
kardiovaskular pada pasien gagal ginjal. Pasien dengan depresi dan kecemasan
memiliki tingkat CRP yang tinggi dan lebih dari 50% meninggal karena penyakit
kardiovaskular. 14

Penelitian juga menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi berhubungan


dengan gangguan kualitas hidup. Hal ini menekankan kebutuhan untuk
mendeteksi dan mengobati kecemasan dan depresi komorbid pada pasien ginjal.
Prevalensi depresi dan kecemasan cukup signifikan pada pasien ginjal.14

21
Gambar 2.5 Mekanisme yang diduga terkait dalam kecemasan.13

Pasien PGK yang mengalami masalah psikologis, umumnya mereka tidak


didiagnosis dan tidak ada evaluasi psikiatri yang sistematis di bangsal
hemodialisis menyebabkan pasien tidak menerima perawatan yang tepat. Oleh
karena itu, mayoritas pasien dengan depresi dan kecemasan tidak menyadari
masalah kesehatan mental mereka. Pengobatan kecemasan dan depresi pada
pasien hemodialisis membutuhkan penilaian yang efektif dan intervensi terencana
untuk peningkatan kesehatan mental. Perawatan dari gangguan kesehatan mental
membutuhkan metode farmakologis dan non-farmakologis. Karena pasien
hemodialisis memerlukan berbagai obat yang sebagian besar diekskresi melalui
ginjal, menambahkan lebih banyak obat untuk meningkatkan kondisi kesehatan
mental dapat menyebabkan masalah kesehatan baru. Oleh karena itu, pasien
sering menolak untuk penambahan obat baru, terutama anxiolitik oral pada pasien
pada hemodialisis. Metode non-farmakologis termasuk Complementary and
Alternative Medicine (CAM) dapat meredakan kecemasan dan depresi sebagai
penggabungan teknik perawatan non-tradisional dan tradisional.15
Fokus pada hal-hal yang menyenangkan seperti pantai, suara burung laut,
dan gelombang laut dapat mengurangi kecemasan yang terkait dengan pikiran
negatif tentang penyakit dan hemodialisis. Teori pikiran-tubuh juga menyatakan
bahwa mengganti pikiran dan emosi negatif dengan pikiran dan imajinasi yang
menyenangkan dapat mengurangi kecemasan dan gejala fisik dan mental.16
Gangguan cemas sering luput dari diagnosis oleh karena keluhan yang
dirasakan bersifat umum atau tidak khas. Namun sesungguhnya, ada berbagai
instrumentasi yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis ini
dengan mengukur derajat kecemasan, seperti Hamilton Rating Scale for Anxiety
(HRSA), Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS), Beck Anxiety Inventory
(BAI) dan Beck Depression Inventory-II (BDI), Goldberg Test (GHQ), dan lain-
lain. Studi yang dilakukan oleh Yi-Nan pada tahun 2016 melaporkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan skor kualitas hidup yang
diukur dengan Kidney Disease and Quality of Life – Short Form (KDQOL-SF)
dan kecemasan pada pasien PGK yang menjalani HD reguler yang diukur dengan

22
Beck Anxiety Inventory (BAI) dan Hospital Anxiety and Depression Scale
(HADS-Anxiety).16
Tabel 5. Perbandingan komponen KDQOL antara individu normal dan
penderita PGK yang menjalani HD reguler serta korelasinya dengan gangguan
cemas.16
Korelasi KDQOL dan
PGK HD
Kontrol kecemasan
Komponen KDQOL reguler
(n = 39) HADS-
(n = 72) BAI
Anxiety
Gejala klinis 79.9 ± 16.3a 95.8 ± 4.4 – 0.59c – 0.46c
Efek penyakit ginjal 65.0 ± 25.9 - – 0.35 c
– 0.46c
Beban penyakit ginjal 43.2 ± 27.6 - – 0.22 – 0.44c
Status pekerjaan 30.6 ± 38.0a 82.1 ± 26.9 – 0.08 – 0.18
Fungsi kognitif 82.2 ± 18.2a 91.3 ± 10.7 – 0.38 – 0.57c
Kualitas interaksi sosial 82.1 ± 18.2 87.9 ± 11.7 – 0.27d – 0.45c
Fungsi seksual 77.9 ± 29.3a 95.3 ± 10.3 – 0.03 – 0.32c
Tidur 60.6 ± 21.9a 78.3 ± 13.8 – 0.56 c
– 0.46c
Dukungan sosial 81.5 ± 26.5 86.9 ± 14.3 – 0.28 d
– 0.31c
Dukungan staf dialisis 76.2 ± 23.4 - – 0.25 d
– 0.20
Kepuasan pasien 73.8 ± 23.4 - – 0.24d – 0.33
Gabungan skor SF-36
Gabungan skor kesehatan 40.4 ± 9.5a 53.0 ± 4.8 – 0.42c – 0.29d
fisik
Gabungan skor kesehatan 50.6 ± 10.2 53.7 ± 6.9 – 0.37c – 0.62c
mental
Peran kondisi fisik 44.8 ± 43.2a 90.4 ± 23.4 – 0.20 – 0.24d
Nyeri 74.4 ± 26.6 b
86.0 ± 20.7 – 0.48 c
– 0.35c
Kesehatan umum 51.3 ± 20.6 a
75.6 ± 15.9 – 0.34 c
– 0.48c
Emosi 79.1 ± 17.5 82.6 ± 15.9 – 0.46 c
– 0.67c
Peran emosi 70.8 ± 41.8 a
93.2 ± 21.9 – 0.20 – 0.39c
Fungsi social 71.9 ± 24.7 a
91.0 ± 12.5 – 0.47 c
– 0.60c
Enerni/kelemahan 56.7 ± 22.2 a
74.4 ± 14.3 – 0.47 c
– 0.50c
PGK: Chronic kidney disease, HD: Hemodialisa, KDQOL: Kidney Disease and Quality of Life,
BAI: Beck Anxiety Inventory, HADS: Hospital Anxiety and Depression Scale, SF-36: 36-item
Short Form Health Survey
a
Penderita PGK dengan HD reguler vs individu normal dengan uji t tidak berpasangan (P < 0.01)
b
Penderita PGK dengan HD reguler vs individu normal dengan uji t tidak berpasangan (0.01 ≤ P < 0.05)
c
Korelasi skor komponen KDQOL dan skor kecemasan pada pasien PGK dengan HD reguler (P < 0.01)
d
Korelasi skor komponen KDQOL dan skor kecemasan pada pasien PGK dengan HD reguler (0.01 ≤ P <
0.05)

Skor KDQOL merupakan salah satu modalitas untuk menilai kualitas hidup
penderita PGK yang terdiri dari 11 komponen penilaian. Skor KDQOL diukur
secara kuantitatif menggunakan skor 0 hingga 100, dimana kalkulasi skor yang
semakin tinggi menggambarkan kualitas hidup yang semakin baik. Selanjutnya
pada penelitian tersebut juga menilai kecemasan pasien menggunakan 2 alat ukur,
yaitu BAI dan HADS. Beck Anxiety Inventory terdiri dari 21 komponen penilaian
yang berguna untuk mengukur derajat keparahan kecemasan secara klinis. Hasil
penilaian BAI dapat diinterpretasikan sebagai: skor 0 – 7 (gangguan cemas

23
minimal), 8 – 15 (gangguan cemas ringan), 16 – 25 (gangguan cemas sedang) dan
26 – 63 (gangguan cemas berat). Berbeda dengan BAI, HADS digunakan untuk
menilai gejala gangguan cemas yang dialami pasien. Penilaian HADS dapat
diinterpretasikan sebagai: skor 0 – 7 (tidak cemas atau gangguan cemas ringan), 8
– 10 (gangguan cemas sedang), dan 11 – 21 (gangguan cemas berat). 14 Titik
potong 7/8 pada skala ukur penilaian kecemasan HADS (HADS-Anxiety)
memiliki sensitivitas 47.6%, spesifisitas 90,2%, nilai duga positif 47,6%, dan nilai
duga negatif 90,2% dengan area dibawah kurva (AUC) 0,73. 26

Gambar 2.6 Area Under Curve (AUC) Hospital Anxiety and Depression
Scale26

Hospital Anxiety and Depression Scale telah dikembangkan oleh Zigmond


dan Sanith untuk mengidentifikasi indeks kecemasan dan depresi pada pasien
non-psikiatri. Hospital Anxiety and Depression Scale terdiri dari 14 item dengan
dua subskala kecemasan (HADS-A) dan depresi (HADS-D). Setiap subskala
berisi 7 item sebagai berikut: item kecemasan: 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13; item
depresi: 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14. Subskala kecemasan dan depresi memiliki skala
Likert 4 poin, dimulai dari 0 (tidak ada gejala) hingga 3 (presentasi gejala
maksimal). Skor untuk setiap tingkat kecemasan dan depresi berkisar dari 0
hingga 21 dan skor dikategorikan sebagai berikut: normal: 0–7, ringan: 8–10,
sedang: 11–14 dan berat: 15–21. Oleh karena itu, skor yang lebih tinggi
menunjukkan tingkat kecemasan atau depresi yang lebih tinggi. Skor kuantitatif

24
dari kedua sub-skala berkisar dari 0 hingga 27. Skor ≥ 8 pada subskala kecemasan
atau depresi mengindikasikan kemungkinan gangguan kecemasan atau depresi.
Skor ≥ 5 dikaitkan dengan kecemasan atau depresi ringan, skor ≥ 10
menunjukkan kecemasan atau depresi sedang, skor ≥ 15 mengindikasikan
kecemasan atau depresi yang cukup berat, sementara skor ≥ 20 menandakan
kecemasan atau depresi yang berat. Hospital Anxiety and Depression Scale dapat
diterima sebagai alat yang valid dan dapat diandalkan untuk menentukan tekanan
psikologis, di mana koefisien alpha Cronbach adalah 0,78 untuk kecemasan dan
0,86 untuk subskala depresi.15
Hospital Anxiety and Depression Scale dilaporkan sebagai instrumen
skrining untuk depresi dan kecemasan pada pasien dialisis. Instrumen ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Prancis, Jerman, Belanda, Ibrani, Italia,
Swedia dan Spanyol. Versi Arab valid di Arab Saudi dan di Uni Emirat Arab
dengan alpha Cronbach 0,73 untuk HADS-A dan 0,77 untuk HADS-D. Para
penulis merekomendasikan skor cut-off ≥8 pada HADS-A dan HADS-D. Namun,
pada pasien dialisis, Penelitian oleh Preljevic dkk tahun 2012 merekomendasikan
skor cut-off ≥7 untuk HADS-D dan ≥ 6 untuk HADS-A, karena menunjukkan
keseimbangan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik pada pasien gagal
ginjal. Alpha Cronbach untuk HADS-A dan HADS-D berkisar antara 0,67 hingga
0,93, dengan rata-rata 0,82 dalam semua terjemahannya. Pada penelitian yang
dilakukan Seeman dkk, subskala depresi dengan skor antara 0 dan 6 mewakili
kasus normal, 7–10 kasus borderline, dan 11–21 kasus abnormal {11–14:
(Sedang); 15–21: (Parah)}. Pada subskala kecemasan, 0–5 dianggap normal dan
6-10 sebagai kasus borderline. Skor untuk kasus sedang dan berat, sama dengan
depresi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan kurang
terdiagnosis dan terobati. Bahkan, peserta yang melaporkan gejala depresi hanya
12%, sedangkan skor HADS-D menunjukkan 40,8% pasien memiliki
kemungkinan depresi. Selain itu, meskipun 24,1% kecemasan yang dilaporkan
sendiri oleh pasien, hanya 2,4% pasien yang menggunakan anxiolitik dan skor
HADS-A menunjukkan prevalensi sebanyak 39,6%. Prevalensi kecemasan dan
depresi yang mungkin dalam penelitian ini lebih dari apa yang dilaporkan oleh
Turkistani dkk, tahun 2014 di Arab Saudi, yang menggunakan HADS. Prevalensi

25
kemungkinan depresi adalah 21,1% dan kemungkinan kecemasan adalah 23,3% di
Arab Saudi. Hospital Anxiety and Depression Scale dapat digunakan sebagai tes
skrining, tetapi diagnosis akhir harus dibuat oleh profesional kesehatan mental.5

Responden memilih respons yang paling akurat menggambarkan perasaan


mereka selama seminggu terakhir. Para peneliti mengeluarkan gejala-gejala
somatik kecemasan dan depresi untuk mencegah bias dari penyakit fisik yang
tidak terkait dengan kecemasan atau depresi. Sebuah tinjauan terhadap lebih dari
700 penelitian yang menggunakan HADS menemukan bahwa kuesioner ini
memiliki sifat psikometrik yang baik dan secara efektif menilai kecemasan dan
gangguan depresi di berbagai tingkat kesehatan dalam populasi umum. Hospital
Anxiety and Depression Scale disarankan sebagai alat skrining untuk kecemasan
dan depresi pada pasien dengan penyakit ginjal karena rehabilitas internal yang
baik. Namun hanya sedikit yang diketahui tentang skrining kecemasan atau alat
skrining yang tepat dalam populasi ginjal. Studi ini juga menunjukkan bahwa
HADS adalah instrumen yang dapat diterima dari penilaian gangguan psikis,
tetapi tidak efektif untuk menilai gangguan kecemasan secara khusus.12
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk. menggunakan BAI dan BDI
serta HADS. Beck Anxiety Inventory adalah memiliki 21-item untuk menilai
tingkat keparahan kecemasan. Subjek menilai setiap item pada skala 4, dimulai
dari 0 (tidak sama sekali) sampai 3 (sering) sehubungan dengan gejala terkait
kecemasan yang dirasakan selama seminggu. Beck Anxiety Inventory dinilai
dengan merangkum tingkat keparahan di seluruh item; total skor dapat berkisar
dari 0 hingga 63. Skor diklasifikasikan sebagai berikut: 0 hingga 7, tidak ada
kecemasan; 8 hingga 15, kecemasan ringan; 16 hingga 25, kecemasan sedang; dan
26 hingga 63, kecemasan berat. Beck Depression Inventory-II menyediakan 21
item untuk mengukur tingkat keparahan gejala depresi. Semua item dinilai dari 0
hingga 3, dan responden diminta untuk menilai gejala depresi yang dirasakan
selama 2 minggu sebelumnya. Beck Depression Inventory-II juga dinilai dengan
merangkum penilaian tingkat keparahan di seluruh item dengan skor total dapat
berkisar dari 0 hingga 63. Skor BDI diklasifikasikan sebagai berikut: 0 hingga 13,
tidak ada depresi; 14-19, depresi ringan; 20 hingga 28, depresi sedang; dan 29
hingga 63, depresi berat. Dalam penelitian yang disajikan di sini, sebagaimana

26
dinilai oleh skor BAI dan BDI, 43% pasien hemodialisis menunjukkan kecemasan
ringan atau lebih parah dan 33% pasien menunjukkan depresi ringan atau lebih
berat, dibandingkan dengan 3% dan 5% dari kontrol normal. Prevalensi
kecemasan dan depresi pada pasien hemodialisa lebih jarang dideteksi oleh skor
HADS-A dan HADS-D, menunjukkan bahwa setidaknya pada pasien ini mungkin
kurang sensitif dalam mendeteksi kecemasan atau depresi. Beck Anxiety Inventory
dan Beck Depression Inventory-II secara luas menggunakan ukuran kecemasan
dan depresi. Prevalensi kecemasan dan depresi yang lebih besar pada diabetes
dibandingkan dengan pasien hemodialisa nondiabetes dapat mencerminkan beban
penyakit yang lebih besar.17
Untuk menilai tingkat gejala kecemasan, juga menggunakan Hamilton
Anxiety Rating Scale (HARS). Hamilton Anxiety Rating Scale terdiri dari 14 item
yang mengevaluasi aspek fisik, psikologis dan perilaku kecemasan. Referensi
waktu dalam kasus ini terdiri dari beberapa hari terakhir dalam semua item
kecuali yang item terakhir, yang menilai pasien selama wawancara. Rentang
skornya adalah 0–56.. Titik cut-off yang disarankan adalah sebagai berikut: tidak
ada gejala kecemasan, 0–5 poin; gejala kecemasan ringan, 6-14 poin; gejala
kecemasan sedang-berat, poin ≥15. Fakta bahwa depresi dan cemas dapat
dikaitkan dengan perubahan dalam sistem kekebalan dan tingkat tinggi sitokin
pro-inflamasi dan pada orang yang depresi dengan gangguan medis kronis seperti
rheumatoid arthritis, kanker dan penyakit kardiovaskular. Pertama kalinya
hubungan tersebut diamati pada pasien penyakit ginjal stadium akhir yang
menerima perawatan HD. Namun, karena penelitian ini merupakan studi cross-
sectional, mekanisme penyebab antara perubahan pola IL-6 dan gejala depresi
tidak dapat ditentukan. Namun demikian, data ini dapat mewakili stimulus untuk
merancang penelitian longitudinal untuk mengevaluasi kemungkinan peran IL-6
pada onset depresi pada pasien HD.18
Alat ukur lain yang umum digunakan untuk menilai kecemasan adalah the
state-trait anxiety inventory (STAI). the state-trait anxiety inventory memiliki
tingkat kepercayaan yang baik untuk menilai kecemasan dalam aplikasi klinis atau
penelitian. Alat ukur ini terdiri dari 20 komponen pertanyaan untuk menilai
perasanaan responden di waktu itu “right now, at this moment”. Hasil penilaian

27
STAI berupa skor 20 hingga 80, dimana skor tertinggi mengindikasikan tidak
adanya gangguan cemas. Penelitian yang dilakukan oleh Gerogianni dkk. terhadap
414 pasien HD pada tahun 2017 melaporkan gangguan cemas pada pasien PGK
yang menjalani HD berhubungan dengan berbagai faktor sosio-demografi seperti
yang disajikan pada tabel 2 berikut22

Tabel 6. Hubungan kecemasan dan faktor sosio-demografi pada pasien HD.22


HADS – Anxiety STAI

Ringan Sedang Berat Nilai State Nilai Trait Nilai


N (%) N (%) N (%) p Med p Med p
Jenis Kelamin 0.001 0.002 0.001
Laki-laki 186 (71%) 45 (17,.2%) 31 (11.8%) 33 37
Perempuan 79 (52%) 33 (21.7%) 40 (26.3%) 38 42.5
Tempat tinggal 0.385 0.590 0.739
Perkotaan 235 (63.5%) 73 (19.7%) 62 (16.8%) 35 39
Pedesaan 30 (68.2) 5 (11.4%) 9 (20.5%) 31 37
Pendidikan 0.017 0.026 0.001
Primer 61 (59.2%) 17 (16.5%) 25 (24.3%) 37 43
Sekunder 112 (59.9%) 44 (23.5%) 31 (16.6%) 26 49
S1 – S2 – S3 92 (74.2%) 17 (13.7%) 15 (12.1%) 31 34
Pekerjaan 0.052 0.214 0.020
Bekerja 36 (80%) 5 (11.1%) 4 (8.9%) 32 36
Pensiunan 219 (61.5%) 71 (19.9%) 66 (18.5%) 35 40
Status finansial 0.001 0.001 0.001
Buruk 30 (43.5%) 17 (24.6%) 22 (31.9%) 44 46
Menengah 152 (65.5%) 43 (18.5%) 37 (15.9%) 34 39
Baik 83 (73.5%) 18 (15.9%) 12 (10.6%) 31 32
Penyakit Lain 0.004 0.038 0.001
Tidak ada 103 (75.2%) 18 (13.1%) 16 (11.7%) 33 35
Ada 162 (58.7%) 59 (21.4%) 55 (19.9%) 36 41
Pendamping HD 0.002 0.026 0.001
Tidak ada 175 (68.4%) 50 (19.5%) 31 (12.1%) 34 37
Ada 90 (57%) 28 (17.7%) 40 (25.3%) 37 41
Rencana 0.053 0.016 0.005
Transplantasi
Tidak 166 (60.4%) 54 (19.6%) 55 (20%) 37 40
Ya 99 (71.2%) 24 (17.3%) 16 (11.5%) 32 35
Med (IQR) Med (IQR) Med(IQR) Spear Nilai Spear Nilai
man p man p
Durasi HD 36 (17-72) 42 (16-72) 41 (14-78) 0.768 - 0.466 0.018 0.722
0.036
Usia 63.2 65.6 65.0 0.211 0.055 0.263 0.120 0.015
(52.9 - 71.6) (58.2 -73.7) (57.0 73.7)

Keterangan: Tulisan bercetak merah menandakan adanya hubungan antara skor kecemasan
dengan berbagai faktor sosio-demografi dan dapat digeneralisasi pada populasi pasien HD dengan
tingkat kepercayaan 95%

28
KECEMASAN

FAKTOR PSIKOSOSIAL/LINGKUNGAN DUKUNGAN SOSIAL

NYERI DEPRESI

KUALITAS HIDUP

Gambar 2.7. Gambaran skematik interaksi antara faktor psikososial dan


lingkungan dengan kecemasan yang mempengaruhi kualitas hidup pasien.27

2.3.2. Aspek Klinis dan Diagnosis Gangguan Cemas pada Pasien Hemodialisis
Gangguan cemas selama HD dapat muncul dalam berbagai rentang waktu
dan presentasi klinis yang berbeda-beda. Evaluasi klinis gangguan cemas harus
dimulai saat HD dimulai, saat terdapat kecurigaan pasien mengalami depresi saat
adanya perubahan status kesehatan pasien termasuk saat pasien tidak makan dan
berobat secara teratur atau saat ditemukan adanya perubahan prilaku pasien saat
HD. Jika gangguan cemas terdiagnosis, selanjutnya perlu dilakukan evaluasi
secara simultan terhadap depresi dan resiko untuk bunuh diri.27
Upaya diagnosis gangguan cemas memiliki tantangan tersendiri, oleh karena
gejala gangguan cemas sering kali tumpang tindih dengan gejala depresi. Selain
itu gejala gangguan cemas dapat tersamarkan oleh karena munculnya berbagai
komplikasi PGK berupa uremia, anemia, atau miopati. Berbagai manifestasi klinis
yang sering muncul pada gangguan cemas berupa palpitasi, tremor, perasaan
kebas/geli, gugup, diaforesis dan takut. Namun penting bagi klinisi untuk
mengevaluasi berbagai kondisi klinis spesifik seperti penyakit kardiovaskular,
pernapasan dan neurologi sebelum menganggap gejala tersebut berasal dari
gangguan cemas.27

29
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V adalah
ditandai dengan adanya rasa khawatir yang persisten kronis selama paling kurang
6 bulan dan disertai dengan minimal 3 gejala: kegelisahan, kelelahan, sulit
berkonsentrasi, cepat marah, ketegangan otot dan gangguan tidur.5
Hospital Anxiety and Depression Scale direkomendasikan untuk skrining
gangguan cemas, oleh karena alat ukur tersebut telah divalidasi untuk populasi
ESRD dan dapat dilakukan oleh pasien dan petugas secara cepat. 15, 17 Alat ukur
lainnya seperti BAI, Patient Health Questionnaire-9, dan Generalized Anxiety
Disorder-7 juga dapat digunakan untuk penapisan gangguan cemas.3 Pada skala
ukur penilaian kecemasan HADS-Anxiety memiliki sensitivitas 47.6%, spesifisitas
90,2% dengan area dibawah kurva (AUC) 0,73.26
Hospital Anxiety and Depression Scale terdiri dari 14 item dengan dua
subskala kecemasan (HADS-A) dan depresi (HADS-D). Subskala kecemasan dan
depresi memiliki skala Likert 4 poin, dimulai dari 0 (tidak ada gejala) hingga 3
(presentasi gejala maksimal). Skor untuk setiap tingkat kecemasan dan depresi
berkisar dari 0 hingga 21 dan skor dikategorikan sebagai berikut: normal: 0–7,
ringan: 8–10, sedang: 11–14 dan berat: 15–21.

30
Singkatan: BZD = benzodiazepine; CBT = cognitive behavior therapy; DSM-V =
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V; HADS = Hospital
Anxiety and Depression Scale; SSRI = selective serotonin reuptake inhibitor.

Gambar 2.8 Pendekatan klinis depresi dan cemas pada pasien ESRD. 28

31
2.3.3. Tatalaksana Gangguan Cemas Pada pada Pasien Hemodialisis
Studi yang mengevaluasi tatalaksana gangguan cemas pada pasien ESRD
masih sangat terbatas. Pilihan terapi yang dapat dilakukan berupa modifikasi gaya
hidup, intervensi psikoterapetik (cognitive-behavioral psychotherapies), dan
farmakologi seperti selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan
Benzodiazepine. Modifikasi gaya hidup harus didiskusikan dengan penderita
ESRD, seperti diantaranya latihan fisik reguler, tidur yang cukup, serta
menghidari rokok, kopi, dan alkohol.27,28
Psikoterapi seperti relaxation-based therapy, mindfulness-based therapy,
psychodynamic therapy, dan cognitive behavior therapy (CBT) telah terbukti
efektif sebagai tatalaksana gangguan cemas pada populasi umum.27,28 Cognitive
behavior therapy memiliki banyak fakta ilmiah yang mendukung perannya dalam
tatalaksana gangguan cemas pada populasi umum. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Cukor dkk. pada tahun 2014, CBT terbukti efektif sebagai
tatalaksana depresi pada pasien HD.29 Pengaruh psikoterapi secara langsung
terhadap gangguan cemas pada pasien ESRD yang menjalani HD perlu diteliti
lebih lanjut.
Terapi farmakologi yang umum digunakan untuk mengurangi gejala cemas
yang bersifat sementara khususnya pada pasien fobia social adalah
Benzodiazepine. Benzodiazepine sebaiknya tidak digunakan pada tatalaksana
jangka panjang atau pada pasien dengan gangguan adiksi. Penyekat beta (ß-
blocker) dapat digunakan untuk mengurangi gejala otonom dan tremor pada
pasien gangguan cemas. SSRI dan serotonin – norepinephrine reuptake inhibitors
telah berhasil digunakan untuk tatalaksana gangguan cemas pada populasi umum
dan dijadikan terapi farmakologi lini pertama. Berbagai pilihan terapi lain yang
dapat digunakan adalah buspirone, pregabalin, gabapentin dan quetiapine.
Sertraline merupakan pilihan terbaik untuk tatalaksana gangguan cemas karena
tidak membutuhkan penyesuain dosis ginjal (renal dose adjustment) dan aman
digunakan pada penyakit kardiovaskular yang menimbulkan berbagai faktor
resiko pada pasien ESRD. Namun demikian, penggunaan terapi fakmakologi pada
pasien ESRD membutuhkan penyesuian dosis dan waktu pelaksanaan HD untuk
menghindari dampak akibat kesalahan dosis obat (medication dosing errors). 27,28

32

Anda mungkin juga menyukai