Anda di halaman 1dari 19

Tinjauan Kepustakaan

MANAGEMENT OF HEART FAILURE WITH CHRONIC KIDNEY DISEASE


Nadya Meilinar Samson
Yudi Her Oktaviono
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
RSUD dr. Soetomo – Universitas Airlangga Surabaya

1. ABSTRAK
Heart failure and chronic kidney disease have increasing incidence and
prevalence owing in part to the aging population and increasing rates of
hypertension, diabetes, and other cardiovascular and kidney
disease risk factors. The presence of one condition also has a strong
influence on the other, leading to greater risks for hospitalization,
morbidity, and death. Management of heart failure with chronic kidney
disease are decreasing the preload and aferload and to reduce LVH,
treating myocardial ischemia (if present), and inhibiting neurohumoral
hyperactivity, especially the sympathetic nervous system and the renin-
angiotensin-aldosterone system (RAAS). There are no consensus nor
guidelines for management of heart failure with chronic kidney disease.

Keywords : heart failure (HF); chronic kidney disease (CKD)

2. PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan penyakit umum dan diproyeksikan
mengenai lebih dari 8 juta penduduk Amerika Serikat di tahun 2030 dan
saat ini menjadi penyebab kematian pada 1 dari 9 penduduk Amerika
Serikat.1
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang sangat
umum dengan estimasi 500 juta penduduk dunia memiliki laju filtrasi
glomerulus (LFG) 4,5% dari populasi umum dengan LFG <60
mL/min/1.73m2, sementara 50% dari pasien gagal jantung akut dan

1
kronik (termasuk preserved dan reduced ejection fraction) memiliki
penurunan LFG yang sama1,2
Insiden dan prevalensi gagal jantung kronik dan PGK semakin
meningkat seiring meningkatnya populasi usia lanjut, hipertensi,
diabetes, dan faktor resiko lain penyebab penyakit ginjal dan
kardiovaskular.1 Diantara faktor resiko munculnya gagal jantung, PGK
adalah penyebab paling kuat dalam mekanisme kegagalan ventrikel kiri
yaitu pressure overload, volume overload dan kardiomiopati. Saat PGK
beranjak menjadi penyakit ginjal stadium akhir, ketiga mekanisme
tersebut semakin sulit untuk dikontrol karena pasien dengan dialisis
memiliki tekanan darah yang lebih tinggi, kontrol volume yang kurang
baik dan kardiomiopati yang ditandai hipertrofi ventrikel kiri yang semakin
berat, marker fibrosis jantung, penurunan densitas kapiler dan deposit
kalsifikasi pada katup mitral dan aorta.3

3. GAGAL JANTUNG
Menurut European Cardiology Society (ESC) definisi gagal
jantung adalah kumpulan gejala klinis atau sindroma yang ditandai
dengan gejala tipikal (sesak napas, pembengkakan di kedua kaki, dan
kelelahan) yang diikuti oleh tanda-tanda seperti peningkatan tekanan
vena jugular, ronkhi pada kedua lapang paru, atau edema perifer yang
disebabkan oleh abnormalitas struktural dan/atau fungsional jantung,
yang menyebabkan penurunan curah jantung (CO) dan/atau
peningkatan tekanan intrakardiak saat istirahat atau saat stress. 4

Terminologi yang digunakan pada gagal jantung saat ini


didasarkan pada left ventricle ejection fraction (LVEF) (gambar 1), onset
timbulnya gagal jantung, dan derajat keparahan dengan klasifikasi NYHA
(gambar 2). Berdasarkan onsetnya, pasien yang sudah mengalami gagal
jantung sebelumnya disebut ‘gagal jantung kronik’, sementara pasien
yang sudah mendapatkan terapi gagal jantung dengan tanda dan gejala
yang secara umum tidak berubah dalam minimal 1 bulan disebut ‘stabil’.

2
Pasien gagal jantung kronik yang mengalami penurunan kondisi dapat
disebut ‘dekompensata’.4

Gambar 1. Terminologi gagal jantung berdasarkan LVEF.4

Gambar 2. Terminologi gagal jantung berdasarkan klasifikasi NYHA.

Diagnosis gagal jantung pada kondisi non-akut dapat dilihat pada


gambar 3. Pasien yang datang dengan tanda dan gejala gagal jantung
untuk pertama kali, pasien di fasilitas kesehatan primer yang tidak
urgent, atau pada rawat jalan di rumah sakit, maka kemungkinan gagal
jantung wajib dievaluasi berdasarkan riwayat penyakit pasien seperti
riwayat penyakit coroner, hipertensi, penggunaan obat kardiotoksik,
penggunaan diuretik, dan orthopnoea maupun paroxysmal nocturnal
dyspnea, didukung oleh pemeriksaan fisik dan EKG. Bila semua
pemeriksaan normal, maka gagal jantung merupakan kemungkinan kecil
dan diagnosis lain harus dipertimbangkan. Apabila salah satu
pemeriksaan abnormal, maka pemeriksaan kadar natriuretic peptide
wajib dilaksanakan, untuk mengidentifikasi mana yang memerlukan
pemeriksaan ekokardiografi.4

3
Gambar 3. Algoritma diagnosis gagal jantung.4

4. PENYAKIT GINJAL KRONIK


Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) pada tahun
2012 mendefinisikan PGK sebagai abnormalitas struktur atau fungsi
ginjal yang terjadi >3 bulan disertai implikasi pada kesehatan. Adapun
yang digunakan sebagai kriteria PGK adalah sebagaimana dibawah ini. 5

Tabel 1. Kriteria PGK berdasarkan KDIGO. 5


Kriteria PGK (salah satu dari yang ada dibawah ini) berlangsung >3 bulan
Penanda PGK Albuminuria (AER ≥30mg/24 jam, ACR ≥ 30mg/g(≥3 mg/mmol)
(1 atau lebih) Abnormalitas sedimen urin
Abnormalitas elektrolit dan lainnya oleh karena kelainan tubuler
Abnormalitas histologi
Abnormalitas struktural berdasarkan pemeriksaan radiologi
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG LFG<60ml/menit/1.73m2 (kategori LFG G3a-G5)

4
Estimasi LFG (eGFR) dihitung menggunakan rumus Cockroft
Gault berikut ini : 6
Klirens kreatinin = (140-umur) x berat badan
x 0,85 (jika wanita)
(ml/men) 72 x kreatinin serum

NKF K/DOQI tahun 2003 mengklasifikasikan PGK berdasarkan


beratnya penyakit yang ditentukan dari LFG, maka KDIGO tahun 2012
merekomendasikan bahwa PGK selain berdasakan kategori LFG dapat
diklasifikasikan juga berdasarkan penyebab, dan derajat albuminuria. 5

Tabel 2. Stadium Penyakit Ginjal Kronik menurut KDIGO. 5


Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Terminologi
G1 ≤ 90 Normal atau tinggi
G2 60–89 Penurunan ringan
G3a 45–59 Penurunan ringan sampai sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 ≤15 atau dialisis Gagal ginjal

Tabel 3. Kategori albuminuria pada PGK berdasarkan KDIGO. 5

AER ACR (± ekivalen)


Kategori Terminologi
(mg/24jam)
(mg/mmol) (mg/g)
A1 < 30 <3 < 30 Normal sampai meningkat ringan
A2 30 - 300 3-30 30-300 Meningkat sedang
A3 >300 > 30 > 300 Meningkat berat

End Stage Renal Disease (ESRD)


Batasan ESRD adalah PGK dengan fungsi ginjal yang sangat
menurun sampai pada tahap yang membutuhkan terapi pengganti ginjal
(TPG). Penyakit Ginjal Kronik stadium 5 tidak sama dengan ESRD oleh
karena tidak semua pasien dengan LFG <15 ml/menit/1.73 m 2
membutuhkan TPG, beberapa pasien dengan LFG >15 ml/menit/1.73
m2 sudah menunjukkan gejala dan membutuhkan TPG, resipien
transplantasi ginjal seringkali mempunyai LFG >15 ml/menit/1.73 m 2.7
ESRD atau dikenal juga sebagai End Stage Kidney Disease
(ESKD) merupakan istilah yang secara umum digunakan untuk gagal
ginjal yang mendapat terapi dialisis atau transplantasi, berapapun

5
derajat fungsi ginjalnya, dan istilah ini digunakan untuk kepentingan
administrasi.7

5. HUBUNGAN GAGAL JANTUNG DENGAN PENYAKIT GINJAL


KRONIK
Jantung dan ginjal sangat essensial pada homeostasis
kardiovaskular. Fungsi jantung yang baik mengakibatkan aliran darah
dan oksigen ke seluruh organ cukup, sementara ginjal memainkan peran
dalam mengeliminasi produk limbah metabolik, mempertahankan
keseimbangan asam, basa, ekektrolit, serta cairan dalam tubuh.
Perubahan hemodinamik pada jantung dapat menyebabkan perubahan
pada ginjal dan sebaliknya. 8 Keduanya dapat muncul bersamaan akibat
dari faktor resiko atau penyakit sistemik lainnya, sehingga disebut
sindroma kardiorenal.1
Gagal jantung berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal
dan laju fitrasi glomerulus (LFG), dan proteinuria. Faktor-faktor tersebut
menyebabkan produksi sitokin, kerusakan glomerulus, mesangium, sel
tubulus dan sel interstisial yang menyebabkan fibrosis ginjal yang
progresif. Fibrosis ginjal yang progresif menyebabkan terjadinya aktivasi
sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatik
yang sifatnya toksik pada jaringan ginjal. Kadar angiotensin II yang tinggi
pada jantung dapat menyebabkan hipertrofi miosit, fibrosis pada
interstisial, penyakit mikrovaskuler, gangguan pada jantung, gangguan
sistem konduksi, QT berkepanjangan, dan akhirnya aritmia.Tingginya
kadar aldosterone dalam darah juga dapat menyebabkan fibrosis
miokardium.9
Penyakit ginjal kronik (PGK) sebaliknya memperburuk kondisi
gagal jantung. Peningkatan serum kreatinin adalah salah satu prediktor
kematian pada gagal jantung. Perubahan yang terjadi pada konsisi
jantung uremik adalah :
1. Plak aterosklerotik tumbuh lebih cepat pada kondisi uremik.

6
2. Pertumbuhan micro-vessel yang kurang dibandingkan proses
hipertrofi miosit jantung. Hal ini membuat miosit kehilangan suplai
oksigen. Iskemia merangsang apoptosis sel miokard serta akumulasi
matriks ekstraseluler dan kolagen, mengakibatkan fibrosis interstitial.
Fibrosis mempromosikan kekakuan ventrikel kiri, peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kiri, pengisian diastolik yang lemah, dan
akhirnya gangguan fungsi diastolik. Fibrosis miokardium juga
memperburuk iskemia dengan mengurangi capillary density dan
capillary reserve, dan sangat meningkatkan risiko aritmia ventrikel
dan kematian jantung mendadak.
3. Kegagalan vasodilatasi arteri koroner sebagai akibat dari disfungsi
endotel.
4. Studi tentang metabolisme jantung pada kondisi uremik telah
menunjukkan peluruhan nukleotida kaya energi, terutama ATP.
Dengan demikian, ada pengurangan energi simpanan.
5. Aktivitas simpatik meningkat, begitu juga dengan apoptosis.
Kemoreseptor dan baroreseptor pada ginjal yang sudah rusak
diaktivasi dan menyebabkan beban yang lebih besar pada jantung
dengan respon meningkatkan detak jantung dan kontraksi, serta
predisposisi untuk terjadinya aritmia. Apoptosis terjadi karena
ketidakseimbangan aktivitas simpatis dari otot jantung. Overaktivitas
simpatik bahkan mungkin menyebabkan remodeling konsentrik dari
ventrikel kiri.
6. Uremia menyebabkan beberapa kelainan fungsi otot jantung,
termasuk siklus kalsium yang abnormal sehingga mempengaruhi
fungsi kontraktilitasnya.10

6. PENGELOLAAN GAGAL JANTUNG DENGAN PENYAKIT GINJAL


KRONIK
Saat ini belum ada konsensus maupun guideline khusus yang
membahas tentang tatalaksana gagal jantung pada pasien PGK

7
dikarenakan minimnya penelitian tentang gagal jantung pada pasien
PGK dan pasien PGK stadium 4-5 sering dieksklusikan dari penelitian. 9,11
Tujuan terapi menurut Wang dan Sanderson pada pasien gagal
jantung dengan PGK adalah (1) mengurangi preload dan afterload dan
mengurangi hipertrofi ventrikel kiri, (2) melakukan tatalaksana iskemi
miokardium, (3) menghambat hiperaktifitas neurohormonal, terutama
sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS). 9

6.1 Modifikasi gaya hidup


 Asupan natrium wajib dibatasi untuk mengontrol status volume pada
pasien gagal jantung dengan PGK.9 Menurut ESC tahun 2012, asupan
natrium yang disanakan <2,0 g/hari (< 90 mmol/hari) 12, sama dengan
asupan natrium yang disarankan pada pasien PGK (1D).5
 Mengurangi atau mempertahankan berat badan normal (BMI 20-25)
(1D).5
 Program latihan fisik yang sesuai dengan kondisi kardiovaskular dan
toleransi pasien, menuju 30 menit per hari, 5 kali dalam seminggu (1D). 5
 Pemberian cairan per 24 jam disesuaikan dengan produksi urin, yaitu
produksi urin total dalam 24 jam ditambah 500 ml. 5 Dan berdasarkan
ESC, <1,5 l/hari.12
 Mengurangi konsumsi alkohol dan merokok.12

6.2 Farmakoterapi
Beberapa obat antihipertensi perlu penyesuaian dosis pada pasien PGK
terkait ekskresi sebagian besar obat melalui ginjal. 13 Penyesuaian dosis
terlampir dalam lampiran 1 dan 2.

6.2.1 Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor


 Memiliki efek kardioprotektif dan renoprotektif. 9
 Direkomendasikan pada semua pasien HFrEF apabila tidak terdapat
kontraindikasi. Dapat menurukan resiko kematian dan angka

8
hospitalisasi pada pasien HFrEF, terutama digunakan bersama dengan
beta blocker (1A). 4
 Direkomendasikan digunakan pada pasien dewasa dengan PGK dan
ekskresi albumin urin 30-300 mg/24 jam (atau ekivalen) (2D) dan
ekskresi albumin urin >300 mg/24 jam (atau ekivalen) (1B). 5
 ACE inhibitor digunakan dengan hati-hati, diperlukan monitoring ketat
serum kreatinin dan kadar kalium, serta dihentikan bila ada penurunan
LFG >25% atau timbulnya hiperkalemia (>5.5 mmol/L). 14

6.2.2 Beta blocker


 Dari 8 penelitian meta-analisis pada pasien PGK stadium 3-5 didapatkan
bahwa beta blocker menurunkan angka mortalitas kardiovaskular dan
penyebab lain pada pasien gagal jantung tetapi dengan peningkatan
resiko hipotensi dan bradikardia.14
 Direkomendasikan pada pasien gagal jantung HFrEF digunakan dengan
ACE inhibitor pada pasien HFrEF yang stabil, untuk menurunkan resiko
kematian dan hospitalisasi (1A).4
 Atenolol and bisoprolol dapat terakumulasi pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik dan menyebabkan bradiaritmia, sementara carvedilol,
metoprolol dan propranolol tidak.5

6.2.3 Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA)


 Saat digunakan bersamaan dengan ACE inhibitor dan ARB, dapat
meningkatkan penurunan angka mortalitas dan kejadian kardiovaskular
secara jangka panjang.9
 Direkomendasikan pada pasien gagal jantung HFrEF yang tetap
simtomatik dengan pemberian ACE inhibitor dan beta blocker, untuk
menurunkan resiko kematian dan hospitalisasi (1A). 4

 Pada pasien PGK stadium 3, dapat digunakan dengan kehati-hatian,


dengan dosis maksimal 25 mg/hari dengan monitoring ketat kadar
kalium. Pada pasien dengan PGK stadium 4 dan 5, MRA tidak
disarankan.9

9
10
6.2.4 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
 Direkomendasikan untuk menurunkan resiko hospitalisasi terkait gagal
jantung dan kematian pada pasien yang tidak dapat menoleransi ACE-i
(pasien harus menerima terapi beta blocker dan MRA) (1B).4
 Dapat diberikan pada pasien yang tetap simtomatik setelah pemberian
beta blocker yang tidak dapat menoleransi MRA untuk menurunkan
resiko hospitalisasi terkait gagal jantung dan kematian (2b/C). 4
 Direkomendasikan digunakan pada pasien dewasa dengan PGK dan
ekskresi albumin urin 30-300 mg/24 jam (atau ekivalen) (2D) dan
ekskresi albumin urin >300 mg/24 jam (atau ekivalen) (1B). 5

6.2.5 Diuretik
 Diuretik digunakan untuk memperbaiki gejala dan kapasitas latihan fisik
pada pasien dengan/tanpa tanda-tanda kongesti (1B). 4
 Diuretik juga disarankan untuk menurunkan resiko hospitalisasi pada
pasien dengan dengan/tanpa tanda-tanda kongesti (2a/B). 4
 Loop diuretics digunakan sebagai agen lini pertama pada pasien PGK
karena penggunaan golongan thiazide relative inefektif saat digunakan
tunggal. Loop diuretics diberikan pada pasien dengan LFG <30 mL
/min/1.73m2 (PGK stadium 4-5).9
 Pada pasien yang resisten terhadap loop diuretics, dosis total harian
dapat ditingkatkan atau frekuensi ditingkatakan, atau dikombinasi
dengan diuretik lainnya.9
 Potassium-sparing diuretics diberikan dengan hati-hati pada pasien
dengan LFG <30 mL /min/1.73m 2 (PGK stadium 4-5), pasien dengan
terapi ACE inhibitor atau ARB, dan pasien dengan faktor resiko
hiperkalemia.1
 Pasien dengan terapi diuretik wajib dimonitoring untuk tanda-tanda
deplesi volume berupa hipotensi atau penurunan LFG, kadar kalium dan
abnormalitas elektrolit lainnya. 1

 Penggunaan diuretik secara bolus pada pasien dengan gagal jantung


akut dapat digunakan disertai optimalisasi status volume dan tekanan

11
darah. Bila tetap terjadi oligouria/anuria persisten atau terjadi gagal ginjal
akut maka dapat diberikan furosemide kontinyu, bumetanide, atau
kombinasi furosemide dan metalozone. Apabila tidak terjadi perbaikan,
maka dapat digunakan continuous renal replacement therapy (CRRT).15

6.2.6 Digoksin
 Dapat digunakan dengan monitoring konsentrasi digoksin pada pasien
PGK stadium 3-5.9
 Dapat dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan irama sinus
selain terapi dengan ACE-I (atau ARB), beta blocker dan MRA untuk
menurunkan resiko hospitalisasi.4

6.2.7 Ivabradine
 Harus dipertimbangkan untuk menurukan resiko kematian akibat
kardiovaskular dan angka hospitalisasi pada pasien dengan LVEF ≤35%
dengan irama sinus dan denyut jantung ≥70 x/m pada pasien yang
sudah mendapatkan terapi optimal dengan beta blocker (sampai dosis
maksimal), ACE-i, dan MRA (2a/B).4
 Pada pasien PGK tidak diperlukan penyesuaian dosis tetapi tidak
dianjurkan bila LFG <15 mL /min/1.73m2 karena minimnya data.11

6.2.8 Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI)


 Sacubitril/valsartan direkomendasikan sebagai terapi penggani ACE-i
dan menurunkan angka hospitalisasi akibat gagal jantung dan resiko
kematian pada pasien HFrEF rawat jalan yang tetap simtomatik
walaupun telah mendapatkan terapi optimal dengan ACE-i, beta blocker,
dan MRA (1B).4

6.2.8 Hydralazine dan isosorbid dinitrate (H-ISDN)


 Tidak terdapat interaksi antara adanya gangguan renal dengan efek dari
(H-ISDN).11

12
 Harus dipertimbangkan pada pasien ras kulit hitam dengan dengan
LVEF ≤35% atau LVEF <45% dengan dilatasi ventrikel kiri pada NYHA
kelas III-IV selain terapi dengan ACE-i, beta blocker dan MRA untuk

menurunkan resiko hospitalisasi akibat gagal jantung dan kematian


(2a/B).4
Gambar 4. Evidence terapi farmakologi pada pasien gagal jantung dan PGK
stadium 3–5.11

6.3 Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)


 Direkomendasikan pada pasien dengan HFrEF (1A). 4
 Penggunaan pada pasien PGK terutama stadium 4-5 memiliki
keuntungan yang besar dan menurunkan angka mortalitas akibat
kardiovaskular.3

13
6.4 Anemia
 Pada pasien gagal jantung dengan PGK, anemia berhubungan dengan
dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Didapatkannya anemia pada pasien
dengan terapi pengganti ginjal (TPG) berhubungan dengan peningkatan
prevalensi hipertrofi ventrikel kiri.9
 Belum ada RCT tentang target serum hemoglobin pada pasien gagal
jantung dengan PGK hingga saat ini. 9 Target Hb yang diharapkan tidak
melebihi 12 g/dl. 12

6.5 Ultrafiltrasi
 Penggunaan ultrafiltrasi yang adekuat pada pasien gagal jantung
dengan PGK berguna dalam mengontrol overhidrasi, mengontol
tekanan darah, mencegah dan mengurangi hipertrofi dan dilatasi dari
ventrikel kiri.9
 Ultrafiltrasi yang digunakan harus dengan dialisat yang rendah natrium
dan didinginkan dan menghindari ultrafiltrasi dalam volume yang besar
untuk mencegah myocardial stunning, dan menghindari penggunaan
high-flow arteriovenous fistula (meningkatkan curah jantung dan
menginduksi hipertrofi eksentrik ventrikel kiri). 9,10
 Frekuensi yang dipersering dengan durasi yang pendek (cth. 4-6 kali
per minggu) memiliki hasil yang lebih signifikan dalam mengurangi
indeks massa ventrikel kiri.9
 Pada pasien gagal jantung akut, ultrafiltrasi dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan kongesti yang refrakter, yang tidak respon dengan
diuretik (2b/B). TPG dipertimbangkan pada pasien yang mengalami
kondisi overload yang refrakter dan gagal ginjal akut (2a/C). 4
 CRRT dapat dipertimbangkan pada kondisi gagal jantung akut yang
berat dan dalam kondisi overload cairan, yang tidak respon terhadap
diuretik, oligouria, dan/atau terjadinya gagal ginjal. CRRT memiliki sifat
hemodinamik yang netral dan efek minimal terhadap mean arterial
pressure (MAP) terutama pada kondisi overload. CRRT juga dapat

14
mengeliminasi zat toksik pada sistem kardiopulmonari dan myocardial
depressant factors.16,15

6.6 Monitoring
 Darah lengkap, urinalisis, serum elektrolit, dapat abnormal akibat retensi
cairan atau disfungsi ginjal.10
 Kadar blood urea nitrogen (BUN) dan serum kreatinin, menunjukkan
ada tidaknya penurunan fungsi ginjal. 10

 Tes fungsi liver, peningkatan dapat menjadi akibat dari gagal jantung.
 Kadar B-type natriuretic peptide (BNP) and N-terminal pro-Btype
10
natriuretic peptide (NT pro BNP), meningkat pada gagal jantung.
 Elektrokardiogram 12 lead yang dapat menunjukkan aritmia, iskemia,
10
infark, atau penyakit arteri koroner.
 Foto toraks (postero-anterior dan lateral), menunjukkan adanya kongesti
10
pulmonum atau ada tidaknya kardiomegali.
 Ekokardiografi 2 dimensi dan studi Doppler flow ultra-sonographic,
dapat menunjukkan disfungsi ventrikel maupun pembesaran ruang
jantung. 10
10
 Arteriografi koroner, bila ada gejala dan tanda iskemia jantung.
 Selain itu perlu monitoring ketat dari status cairan pasien. 10

DAFTAR PUSTAKA
1. House AA. Management of Heart Failure in Advancing CKD: Core
Curriculum 2018. Am J Kidney Dis. 2018;72(2):284-295.
doi:10.1053/j.ajkd.2017.12.006
2. Damman K, Testani JM. The kidney in heart failure: An update. Eur Heart
J. 2015;36(23):1437-1444. doi:10.1093/eurheartj/ehv010
3. McCullough PA, Afzal A, Kale P. Goal-Directed Heart Failure Care in
Patients With Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease.
JACC Hear Fail. 2016;4(8):662-663. doi:10.1016/j.jchf.2016.03.014
4. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, et al. 2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur Heart J.
2016;37(27):2129-2200m. doi:10.1093/eurheartj/ehw128
5. National Kidney Foundation. KDIGO Clinical Practice Guideline for the
Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease. Kidney Int.
2012;Supp:2(5):337-414. doi:10.1038/kisup.2012.7

15
6. Mardiana N, Aditiawardana. Penyakit Ginjal Kronis. In: Tjokroprawiro A,
Setiawan PB, Effendi C, Santoso D, Soegiarto G, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press;
2015:484-492.
7. Reutens A, Atkins R. Chronic kidney duisease (CKD): the scope of the
global problem. In: Nahas M, Levin A, eds. Chronic Kidney Disease a
Practical Guide to Understanding and Management. 1st ed. Oxford:
Oxford university press; 2009:39-75.
8. Boudoulas KD, Triposkiadis F, Parissis J, Butler J, Boudoulas H. The
Cardio-Renal Interrelationship. Prog Cardiovasc Dis. 2017;59(6):636-648.
doi:10.1016/j.pcad.2016.12.003
9. Segall L, Nistor I, Covic A. Heart failure in patients with chronic kidney
disease: A systematic integrative review. Biomed Res Int. 2014;2014.
doi:10.1155/2014/937398
10. Alshahrani SMS, Alghamdi SAS, Kadasah AS, et al. Congestive Heart
Failure in Patients with Chronic Kidney Disease on Dialysis. Egypt J Hosp
Med. 2017;69:2730-2735. doi:10.12816/0042256
11. Damman K, Tang WHW, Felker GM, et al. Current Evidence on
Treatment of Patients With Chronic Systolic Heart Failure and Renal
Insufficiency. J Am Coll Cardiol. 2014;63(9):853-871.
doi:10.1016/j.jacc.2013.11.031
12. Strödter D, Santosa F. State-of-the-Art Treatment of Heart Failure. 1st ed.
London: UNI-MED Verlag AG; 2016.
13. Munar MY, Singh H. Drug Dosing Adjustments in Patients with Chronic
Kidney Disease. Vol 75. American Academy of Family Physicians; 2007.
https://www.aafp.org/afp/2007/0515/p1487.html. Accessed October 15,
2018.
14. Bhatti NK, Karimi Galougahi K, Paz Y, et al. Diagnosis and Management
of Cardiovascular Disease in Advanced and End‐Stage Renal Disease. J
Am Heart Assoc. 2016;5(8). doi:10.1161/JAHA.116.003648
15. Krügar W, Ludman A. Acute Heart Failure. 1st ed. Berlin: Birkhäuser
Verlag AG; 2009.
16. Krüger, Wolfgang , Ludman A. Cardiogenic Shock. In: Acute Heart
Failure : Putting the Puzzle of Pathophysiology and Evidence Together in
Daily Practice. Berlin: Birkhäuser Verlag AG; 2009:84.

16
LAMPIRAN 1. Penyesuaian Dosis Antihipertensi pada pasien PGK. 13

17
LAMPIRAN 2. Penyesuaian Dosis Antihipertensi pada pasien PGK. 11

18
LAMPIRAN 2. Penyesuaian Dosis Antihipertensi pada pasien PGK. 11

19

Anda mungkin juga menyukai