Anda di halaman 1dari 250

1

BAB I
Pendahuluan

Om Swastyastu, Om Awignamastu.

Sembah sujud hamba, dari hati yang suci dan bersih


kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan semua prabawa
Beliau, terutama sekali dalam manifestasi Beliau sebagai Sang
Hyang Aji Saraswati, dewanya ilmu pengetahuan, yang menguasai
segala jenis pengetahuan suci. Juga sembah hamba kehadapan Ida
Bhatara Hyang Sinuhun, yang sudah menyatu didalam bentuk sari-
sari Om Kara Atma Mantram, yang sudah berlingga didalam lepihan
lontar dan tembaga serta sudah suci oleh kesucian Sapta Gangga,
sudah pula dipuja dengan Astra Mantra dilanjutkan dengan Puja
Pranayama, Jilga Krura oleh para Maha Rsi yang bijaksana dengan
kemampuan janyana yang maha tinggi, suci bersih memuja
kebesaran Hyang Widhi Wasa.
Dengan kerendahan hati hamba bersujud memohon
waranugraha, agar mampu, diberikan sinar suci serta tuntunan dalam
menyusun kisah perjalanan, penyebutan nama, pengungkapan kata
serta pikiran yang tertuang dalam karya sastra Raja Purana Jagat
Let.

Semoga dengan kebesaran prebawa Beliau dan kemaha


mulyaan Beliau, hamba dijauhkan dari segala kutuk dan mala
petaka, tulah pamidi cakra bawa dan raja pinulah. Semoga Beliau
berkenan mengampuni semua kesalahan yang hamba perbuat dan
memberikan anugrah kebahagiaan lahir batin, kesentosaan dan umur
yang pantas kepada kita semua. Mendapatkan kebahagiaan lahir
batin sakula gotra santana hamba, sehingga mendapatkan jagaditha
seusia bhumi. Om Nama Siwa Ya.

Kata Purana bisa jadi sudah tidak asing lagi bagi kita semua
karena Purana juga dikenal dengan nama “Pancama Weda” yaitu
Weda kelima setelah Catur Weda, karena kitab ini memberikan
2

penjelasan ajaran Weda di dalam bentuk cerita yang sangat mudah


dipahami oleh masyarakat umum khususnya di jaman Kali Yuga ini.

Sedangkan bila kita tinjau dari arti kata di dalam bahasa Sanskerta,
kata Purana berarti “Tua atau Kuno”. Dalam hal ini kata Purana
mempunyai arti kitab yang menguraikan suatu kejadian di masa
lampau yang disajikan di dalam bentuk cerita dan ajaran ajaran
mulia kemanusiaan. Jika ditinjau dari pengertian puitis, kata purana
juga bisa diartikan dari dua suku kata yaitu Purä –Nawa (kuno-baru
).

Dengan kata lain Purana adalah suatu kitab yang


menguraikan suatu kejadian yang telah terjadi dimasa lampau di
dalam bentuk cerita yang berisi ajaran ajaran yang sesuai dengan
ajaran Weda yang selalu baru dan bersifat segar serta tidak pernah
membosankan. Selalu segar dan tidak pernah membosankan
maksudnya adalah meskipun jika cerita ini didengarkan atau
diceritakan berulang kali, namun kisah kisah di dalam Purana selalu
akan menarik karena didalam kisah tersebut terkandung nilai rohani
yang sangat kuat dan memberikan kepuasan kepada sang roh yang
bersemayam di dalam badan.
3

BAB II
Jaman Bahari Nusantara.

Dalam untaian sejarah Nusantara terdapat tapsir bahwa


sebuah kerajaan yang dianggap besar dan berhasil adalah kerajaan
yang mampu menguasai daerah-daerah di bantaran aliran sungai,
dari hulu sampai hilir. Sebab hal ini membuktikan bahwa kerajaan
yang bersangkutan sudah mampu atau mempunyai kekuatan besar
menggabungkan daerah pedalaman yang agraris dan daerah muara
sungai sampai laut yang maritim.

Sejarah Nusantara telah mencatat kerajaan-kerajaan yang


berhasil melakukan hal semacam itu, yaitu Kahuripan Erlangga,
Singhasari Kertanegara, dan Majapahit Raden Wijaya-Hayam
Wuruk.

Kejayaan bahari pertama dalam skala besar ditunjukkan


oleh Kerajaan Sriwijaya. Bagaimana dapat dilihat dari stuktur
kapal- kapal perang mereka disekitaran abad ke 7 Masehi. Dapat
kita telusuri di dalam sebuah relief di dinding Candi Borobudur
yang terkenal itu.

Seorang ahli arkeologi jaman Belanda di Indonesia, yang


bernama Van Erp, pernah khusus datang ke Indonesia untuk
mempelajari sebelas relief kapal laut di candi Borobudur. Ia
berkesimpulan bahwa kapal-kapal itu dapat digolongkan ke dalam
tiga kelompok :

1. perahu lesung sederhana,


2. perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik,
3. perahu tanpa cadik.

Bagaimana Sriwijaya bisa menguasai lautan Nusantara di


wilayah seluruh Sumatra sampai Malaya sekarang adalah karena
kebijaksanaannya dalam memperkerjakan suku Orang Laut yang
4

piawai dalam teknologi pembuatan kapal dan strategi perang laut.


Suku Orang Laut mendiami daerah muara sunga-sungai dan hutan
bakau di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan pantai barat
Semenanjung Malaya. Waktu itu, Sriwijaya telah berhasil menjadi
kekuatan perdana dalam sejarah Nusantara yang mendominasi
wilayah sekitar perairan timur Pulau Sumatera, yang merupakan
jalur kunci perdagangan dan pelayaran internasional (sampai saat
ini). Ia bergerak ke perairan Laut Jawa untuk menguasai jalur
pelayaran rempah-rempah dan bahan pangan hasil pertanian.

Akan tetapi kerajaan Sriwijaya hanya kerajaan maritim dan


bukan agraris juga, itulah sebabnya tidak bisa bertahan lama. Di
beberapa catatan sejarah diuraikan bahwa setiap kota pelabuhan
seharusnya ditopang oleh hasil pertanian yang menjadi komoditas
unggulan dari wilayah pedalaman. Ketangguhan agraria dan maritim
adalah pilar-pilar utama untuk kejayaan kerajaan-kerajaan
Nusantara.

Ketangguhan agraris dan maritim pertama kali diperlihatkan


oleh kerajaan Singhasari di bawah pemerintahan raja Kertanegara
pada abad ke-13 Masehi. Cikal bakal kerajaan ini sejak abad ke-10
oleh kerajaan Medang, kerajaan Kahuripan, lalu kerajaan Kediri
telah punya kemampuan yang kuat menguasai wilayah tepian aliran
sungai Brantas dari hulu sampai hilirnya, menggabungkan kekuatan
agraria dan maritim. Itulah sebabnya saat raja Kertanegara tampil,
usaha memperluas wilayah kekuasaan untuk menguasai lautan
Nusantara menjadi tidak terhambat.

Dalam Kakawin yang termuat dalam naskah Negara


Kertagama, raja Kertanegara telah mengawali perluasan wilayah
kekuasaanya sampai ke luar Pulau Jawa, yang meliputi daerah
seluruh Dwipantara. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada
tandingannya. Pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan
balatantara bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin
persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju
Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara.
5

Tahun 1284 Masehi, ia menaklukkan Bali dalam


penyerangan laut ke timur. Dua pilar utama kekuatan agraris dan
maritim telah membawa Kertanegara menaklukkan : Pahang,
Melayu, Gurun (Indonesia Timur), Bakulapura (Kalimantan),
Sunda, Madura, dan seluruh Jawa.

Puncak kejayaan dari kerajaan bahari baru tercapai pada


abad ke-14, ketika Majapahit menguasai seluruh Nusantara. Bahkan
pengaruhnya meluas sampai ke negara-negara asing tetangganya.
Kerajaan Majapahit di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan
Gajah Mada telah berkembang pesat menjadi kerajaan besar yang
mampu memberikan jaminan bagi keamanan perdagangan di
wilayah Nusantara.

Keinginan yang kuat untuk membangun kerajaan yang


mengutamakan kekuatan maritim dan agraria telah menjadi tekad
Raden Wijaya, anak menantu Kertanegara. Cita-cita itu diwujudkan
dengan memilih lokasi ibukota Kerajaan Majapahit di daerah Tarik
di hilir sungai Brantas dengan maksud memudahkan pengawasan
perdagangan pesisir dan sekaligus dapat mengendalikan produksi
pertanian di pedalaman wilayah kekuasaan Majapahit.

Penyatuan Nusantara oleh Majapahit melalui penyerangan-


penyerangan bala tantara bahari dimulai tak lama setelah Mahapatih
Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang terkenal itu pada
tahun 1334 Masehi : tan amukti palapa,

“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita


palapa. Sira Gajah Mada lamun huwus kalah Nusantara ingsun
amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, ring Doran,
Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda,
Palembang,Tumasik, samana ingsun amukti Palapa”

Penyerangan laskar bahari ini tercatat dalam kitab Negara


Kertagama anggitan Mpu Prapanca pada tahun 1365. Buku ini
6

membagi wilayah kekuasaan Majapahit dalam empat kelompok


wilayah :

(1) wilayah-wilayah Melayu dan Sumatera : Jambi, Palembang,


Samudra dan Lamori (Aceh),

(2) wilayah-wilayah di Tanjung Negara (Kalimantan) dan


Tringgano (Trengganu),

(3) wilayah-wilayah di sekitar Tumasik (Singapura),

(4) wilayah-wilayah di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Nusa


Tenggara, Sulawesi, Maluku sampai Irian).

Daftar lengkap nama-nama wilayah taklukan Majapahit


tersebut ada di buku halaman 82-84 (Fruin-Mess mengumpulkannya
berdasarkan Pararaton, Negara Kertagama, dan Hikayat Raja-Raja
Pasai). Fruin-Mess (1919) menulis di halaman 84 (diterjemahkan
dari bahasa Belanda),

“Dengan demikian, orang akan melihat bahwa luas wilayah


Majapahit kurang lebih sama dengan wilayah Hindia Belanda
dikurangi dengan Jawa Barat karena dalam daftar tak disebutkan
nama Pasundan”

Bahkan juga terungkap dalam catatan sejarah bahwa


pengaruh Kerajaan Majapahit telah sampai kepada beberapa wilayah
negara asing : Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam,
India, Filipina, China.

II.1. Kerajaan Melayu Sri Boja.

Dari tinjauan yang dilakukan oleh beberapa ahli sejarah, di


sekitar tahun 500 Masehi, di wilayah Sumatra Utara banyak berdiri
kerajaan-kerajaan kecil, seperti : Kandhari, Pali, Malayu Sri Boja
dan masih banyak lagi kerajaan kecil lainnya. Kerajaan kerajaan
7

kecil tersebut kebanyakan didirikan oleh para pengungsi dari India.


Selama beberapa generasi daerah Sumatra Utara tentram dengan
raja-raja yang memerintah dengan sangat bijak, karena membawa
banyak budaya dan agama serta kepercayaan dari India.

Para bangsawan dan para Rsi India kebanyakan berdiam di


wilayah kerajaan Kandhari dan Kerajaan Pali. Keamanan itu bisa
bertahan sampai sekitar tahun 682 – 686 Masehi. Raja Sriwijaya,
Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan penyerangan ke wilayah
Malayu Sriboja keselatan dan dibagian utara wilayah Sumatra, juga
menaklukan Kerajaan Tarumanegara. Diantara kerajaan-kerajaan
Malayu, Kerajaan Kendari dan Kerajaan Pali dapat dikuasai, seperti
yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit (Tahun 683 Masehi),
Prasasti Talang Tuo (Tahun 684 Masehi) dan Prasasti Kota Kapur.

Akibat serangan Tentara Sriwijaya dibawah pemerintahan


Dapunta Hyang Sri Jayanaga, wilayah Malayu Sriboja menjadi tidak
tenang, hal itu yang kemudian membuat para bangsawan dan para
Rsi memutuskan untuk meninggalkan wilayah Malayu Sriboja,
tujuan mereka adalah mencari daerah yang baru di luar kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya. Para bangsawan dan Rsi yang dulunya berasal
dari India tersebut menyingkir kearah timur dengan perahu sampai
mendarat di wilayah Nusa Goh atau dikenal dengan nama Pulau
Sapi.

Di pulau inilah mereka kemudian mendirikan kerajaan yang


bermula dari sebuah desa kecil yang masih sunyi dan terpencil.
Nama yang baru didirikan itu sama dengan sewaktu masih di
Sumatra, yaitu kerajaan Pali yang beragama Budha. Lama-kelamaan
menjadi kerajaan Bali dalam tahun 683 Masehi. Seperti yang
termuat dalam pustaka Radya-Radya Ri Bhumi Nusantara I.1. 1984
: 64. Pernyataan pustaka ini bisa dicocokkan dengan penelitian R.
Goris dalam buku yang berjudul “Bali Kuna”, ternyata ada korelasi
yang sejalan, bahwa peninggalan kuno di Bali bercirikan Agama
Budha.
8

II.2. Kerajaan Mataram Hindhu.

Pada tahun 732 Masehi prasasti Canggal yang diketemukan


di Gunung Wukir Jawa Tengah menyatakan, bahwa Sang Ratu
Bumi Mataram, Sri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja
Pulau Jawa tidak termasuk tanah Sunda. Tahun 730 Masehi, Raja
Sanjaya dengan gemilang berhasil menaklukkan Sriwijaya, Ligor
(Thailand), Hujung Medini (Malaysia Barat). Dan Raja Sanjaya pula
yang berhasil “mengHindukan” kerajaan Bali di sekitar tahun 730
Masehi.

Raja Sanjaya dalam pemerintahannya gemar memelopori


dan membudayakan serta mengembangkan ajaran agama Hindu
dalam bentuk bangunan Linggayoni. Termasuk prasasti Canggal
yang didirikannya. Rsi Markandya yang merupakan Purohita
(Pendeta Kerajaan Sanjaya). pada tahun 730 Masehi tercatat pergi
ke arah timur untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari
Pasraman Gunung Wukir (Demalung) tempat di mana prasasti
Canggal ditemukan. Berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di
Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi sungai
Paralingga (Banyuwangi) kemudian berakhir di Gunung Agung
(Lingga Acala) tempat Pura Besakih sekarang.
9

Di lereng Gunung Raung juga banyak ditemukan barang


peninggalan kuno. Tepatnya di sekitar Desa Girimulya, Kecamatan
Glenmore dan di sekitar Tirta Empul, di Jawa Timur ditemukan juga
peninggalan-peninggalan kuno berupa arca-arca kecil pratima. Di
antaranya meliputi : arca perunggu Tri Murti ditemukan tahun 1984,
arca Rsi Markandya seukuran ibu jari ditemukan tahun 1985, tempat
Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, dua buah Bokor Perunggu,
arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi Durga, Gentha
Pandita dan tujuh bilah keris ditemukan tahun 1976. Kemudian
ditemukan juga batu Andesit diperkirakan dipakai untuk mengolah
obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga beberapa bilah daun
gamelan kuna.
10

BAB III
Perkembangan Agama Hindu Budha di Bali

III.1. Awal Perkembangan Agama Hindu Budha di Bali.

Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad


ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-
fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta.
Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai
tanah liat yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te
mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi.

Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata


“Siwas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris
menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh
berbunyi: “Siwa Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8,
Paksa Siwa Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya
sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang
secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat
tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu agama
Hindu sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-8
Masehi.

Bukti lain yang merupakan awal penyebaran agama Hindu


di Bali adalah ditemukannya arca Siwa di pura Putra Bhatara Desa
di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan
arca-arca Siwa dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang
menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu
Bali.

Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882


Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu
Siwaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Siwakangsita
membangun pertapaan di Cintamani, menunjukkan kemungkinan
11

telah terjadi pembauran antara Siwa dan Buddha di Bali dan bila
kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut
sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni agama Hindu.
Berkembangnya dan terjadinya pembauran antara Siwaisme dan
Buddhisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakkan diri pada
masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadewa,
karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.

Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada


abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang
menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya
agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-
stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Titiapi dan
Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng
dapat diselamatakan dan dipindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad
ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairawa dengan
peninggalan berupa arca-arca Bhairawa di pura Kebo Edan Pejeng.
Sekta ini berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis
dengan kerajaan Singhasari di jawa Timur pada masa pemerintahan
raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata
perkembangan awal kedatangan agama Hindu (Siwaisme) dan
Buddha (Mahayana) hampir pada saat yang bersamaman dan bahkan
akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu
seperti diwarisi di Bali saat ini.

Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan


berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad
ke-10 dengan ditandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma
Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa
pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni
prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa
Jawa Kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari
Jawa dan dikembangkan di Bali. Saat itu di Bali berkembang ajaran
Hindu yang disebut sekta.
12

Sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut


penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari :
Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Waisnawa, Bodha (Soghata),
Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya.

Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6


sekta (disebut Sad Agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahma,
Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Di antara seluruh sekta tersebut,
rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama
Hindu di Bali adalah Siwa Siddhanta dengan peninggalan beberapa
buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Wrhaspati Tattwa,
Tattwajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Widhisastra dan
lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para
pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan
Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siwa Siddhanta.

Masa Bali Kuno ini berakhir dengan pemerintahan raja


Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspedisi
Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa
Bali Kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan ke-14)
pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa
pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu
bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati I Kuturan (semacam
perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik
dan terwarisi hingga kini.

Awal mula perpaduan Agama Siwa Buddha tidak lepas dari


sejarah Kerajaan Mataram kuno yang terdiri dua dinasti, yakni
Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra. Wangsa Sanjaya yang
bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada tahun 732. Beberapa
saat kemudian, Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha
Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua wangsa ini
berkuasa berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri
pertama kali disebut pada prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
13

Wangsa Syailendra diduga berasal dari daratan Indocina


(sekarang Thailand dan Kamboja). Wangsa ini bercorak Buddha
Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era
Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan dibanding
Wangsa Sanjaya. Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812),
Syailendra mengadakan ekspedisi perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga
melakukan perkawinan politik: puteranya, Samaratungga,
dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun
790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja),
kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun.
Peninggalan terbesar Wangsa Syailendra adalah Candi Borobudur
yang selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga
(812-833).

Di setiap tingkatan Borobudur dipahat relief-relief pada


dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau
disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari
bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang
wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.

Wangsa Sanjaya didirikan oleh Raja Sanjaya atau Rakeyan


Jamri atau Prabu Harisdama, cicit Wretikandayun, raja kerajaan
Galuh pertama. Pada saat menjadi penguasa Kerajaan Sunda ia
dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah
menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari
Sanjaya adalah Sanaha, cucu Maharani Sima dari Kalingga, di
Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa atau Sena atau
Sanna, Raja Galuh ketiga. Sena adalah cucu Wretikandayun dari
putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709
Masehi). Sena di tahun 716 Masehi dilengserkan dari tahta Galuh
oleh Purbasora.

Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi


lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan,
pusat kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Raja
14

Tarusbawa. Ironis sekali, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya


menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari
Tarumanagara, sehingga kerajaan Tarumanagara terpecah dua
menjadi kerajaan Sunda dan kerajaan Galuh'

Di kemudian hari, Sanjaya, yang merupakan penerus Kerajaan


Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa
untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi raja Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh (723 – 732 Masehi), sehingga bekas
wilayah kekuasaan Tarumanagara dapat disatukan kembali dalam
satu kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda Galuh.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga


menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram
dalam tahun 732 Masehi. Dengan kata lain, Sanjaya adalah
penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga atau Kerajaan Mataram
(Hindu). Pada masa ini telah terbentuk semacam ikatan kekerabatan
di antara kerajaan-kerajaan tersebut. Hal ini mempengaruhi berbagai
keputusan politik pada masa-masa selanjutnya

Kekuasaan di Jawa Barat lalu diserahkan kepada putera


Sanjaya dari Tejakencana, putri Raja Tarusbawa dari kerajaan
Sunda, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban sedangkan penerus
Sanjaya di Kerajaan Mataram adalah Rakai Panangkaran, putera
Sanjaya dari Sudiwara, puteri Dewasinga raja Kalingga Selatan atau
Bumi Sambara. Jadi Rakai Panangkaran dan Rakeyan Panaraban
atau Tamperan adalah saudara seayah tapi lain ibu.

Pemimpin Mataram selanjutnya adalah, berturut-turut,


Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Rakai Garung
memiliki anak yaitu Rakai Pikatan. Rakai Pikatan, yang waktu itu
menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan
Pramodhawardhani (833-856), puteri raja Wangsa Syailendara
Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu
mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai
Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera
15

Samaratungga dan Dewi Tara). Tahun 850, era Wangsa Syailendra


berakhir yang ditandai dengan larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.

Pada tahun 910, Raja Tulodong mendirikan Candi


Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar
di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana
dalam Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan
istana Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur
(Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung Merapi,
atau mendapat serangan dari Sriwijaya.

Mpu Sendok adalah raja Mataram terkahir, Mpu Sendok


(929-947 Masehi) menghasilkan dua buku yang menguraikan ajaran
Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi
ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan
'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran
bagaimana orang dapat mencapai kelepasan. Pokok ajaran dalam
Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang
bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah
sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit
untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya
"Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha
sebagai satu Tuhan.

Pada jaman pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari


terakhir. Penyatuan Siwa dan Buddha adalah juga karena
toleransinya yang sangat besar dan juga alasan yang bersifat politik,
yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina,
Kubilai Khan.Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara
membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi
Singasari di dekat kota Malang.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit


antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya
yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini
dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang
16

didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa


(Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua
Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak
sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini
memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana Kenyataan Tertinggi
dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit


adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di
Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya
adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur
Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang
termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun
pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh
Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. Kenyataan Tertinggi
agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata
suci OM.

Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:

1. Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala


2. Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud
(sanakala-niskala)
3. Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)

Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa


yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri.
Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini.
Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di
India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya
melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan
memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama
Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu,
yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa
pelindung (istadewata).
17

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya


beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali
Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama
Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama
Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun
1447 Masehi. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan
Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha,
yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring
Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut
Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan


penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-
sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija
yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa saat itu masyarakat


Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama
besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada
Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua
mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi. Penganut
animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak
dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang.
Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagamaan karena belajar
dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Pelajaran dari masa lalui lah
yang membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka dan toleran
terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru
dan aneh.

Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan,


sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang
berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaan. Islam yang
lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoman
menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan
sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat itulah
seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit. Orang bule dengan
18

agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik.


Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi.

III.2. Peradaban Hindu Budha.

Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa dan batu bertulis


di situs Pejeng dengan angka tahun Isaka 700 (778 Masehi) dalam
bahasa Sanskerta adalah kutipan sebuah mantra Budha:

Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato Hyawadattesanca


Yo Nirodha Ewam Wadi Mahasramanah

artinya:

Keadaan tentang sebab-sebab kejadian (terciptanya dunia) sudah


dijelaskan oleh Sang Budha yang maha mulia.

Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya dilakukan


manusia (di dunia ini). Ini membuktikan Bali Kuna lebih dahulu
mengenal Agama Budha dari pada Agama Hindu. Karena perbedaan
waktu antara kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para
misionaris Hindu (antara lain Maha Rsi Markandeya) tidak banyak,
atau boleh dikatakan hampir bersamaan maka terjadilah
percampuran antara dua agama itu.

Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka (tahun 882 Masehi)


sudah menyebutkan nama-nama bulan kalender dengan solar system
(Hindu) seperti di India berturut-turut: Waisaka, Jyesta, Ashadha,
Srwana, Badrapada, Aswina, Kartika, Margasira, Pausha, Magha,
Phalguna, dan Chaitra. Selain itu, prasasti batu padas yang
ditemukan di Blanjong (Sanur) telah bertuliskan tahun Saka menurut
sistem candra sangkala dari peradaban Hindu: Khecara Wahni
Murti.
Murti = Siwa = 8; Wahni = cahaya = 3; Khecara = bintang = 9. Jadi
sistem candra sangkala itu menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka
839 (917 Masehi). Sistem candra sangkala selain menunjukkan
19

tahun kejadian, juga berbentuk kalimat yang dapat ditafsirkan


sebagai pemberitaan, dalam hal ini Khecara Wahni Murti, artinya:
Bintang yang terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.

Prasasti Blanjong

Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian kepada Raja:
Kesari Warmadewa yang ketika itu berkuasa dan beristana di
Singhadwala, beragama Budha dari sekte Mahayana. Percampuran
budaya Budha-Mahayana dengan Hindu sekte Siwa Sidantha dan
sekte Waisnawa telah terjadi di Bali Kuno setidak-tidaknya sejak
tahun 882 Masehi seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum
kejadian yang sama di Jawa Timur. Percampuran Siwa-Budha di
Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun 1365 Masehi oleh
Mpu Prapanca dalam tulisan kekawinnya berjudul: Desawarnana,
dan selanjutnya Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya:
Arjuna Wiwaha (1367 Masehi) dan Sutasoma (1380 Masehi).

Di Bali, Siwa-Buddha dan Wainawa dilebur menjadi agama Hindu


yang ada sekarang di bali oleh Mpu Kuturan. Sementara sejarah
keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet. Sebelum masuk
20

Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon,
akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.

Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri


Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa yang bertahta di
Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988 Masehi
sampai dengan tahun 1011 Masehi. Pada masa itu penduduk pulau
Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya
pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan
Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama
orang-orang Indu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak
adalah dari sekte Indra disamping yang menganut sekte Bayu,
Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu. Dengan demikian di Bali
terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-
perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu
akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte
yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan
sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya


gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa
dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat kurang baik ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan
sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana
Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang
oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih
beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
Dharmapatni / Udayana Warmadewa bersekepatan untuk
mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:

1. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat
Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning
Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun
caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
21

2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada


hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka
922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana
tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang,
maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku
babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya
berparhyangan di Cilayukti (Padang)
4. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari
Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa,
prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa
dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu
berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)

Keempat orang Brahmana dari Jawa Timur bersaudara 5 orang,


adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa
Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima
orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca
Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “dwijati” yaitu
menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Adapun Mpu Semeru yang
berparhyangan di Besakih dan Mpu Ghana yang berparhyangan di
Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak
mengadakan keturunan. Sedangkan Mpu Kuturan yang
berparhyangan di Cilayukti sebagai “Swala Brahmacari”
mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang
ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin)
yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu
Mpu Bahula.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti


peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di
Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih
terdapat:

1. Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah


tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
22

2. Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah


tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
3. Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II
Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
4. Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II
Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
5. Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem
bertahun caka 962 (1040M)
6. Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena
sudah rusak tidak tampak tahunnya
7. Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah
tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang


mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali dalam
tahun-tahun tersebut dan prasasti-prasasti itu merupakan firman
raja-raja yang bertahta di Bali yaitu:

1. Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa yang


bertahta dari tahun caka 910 sampai dengan 933(988-
1011M) menerbitkan prasasti pertama dan kedua
2. Cri Adnyadani yang bertahta dari tahun caka 933 sampai
928 (1011-1016M) menerbitkan prasasti yang ketiga
3. Cri Dharmawangsa Wardhana Marakatopangkaja Stano
Tunggadewa, yang bertahta dari tahun caka 938 sampai 962
(1016-1040M) menerbitkan prasasti keempat sampai
ketujuh

Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu


Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama
Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja.
Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga sebab
yaitu:

1. Memenuhi permintaan raja suami istri yang disebut diatas,


yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adapt dan
23

agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya


ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
2. Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai
magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang
dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng
Girah” (jandanya Raja Girah)
3. Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan
ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi

Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke


Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain
Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira
kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian senapati dan
para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat majelis yang
diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsure tiga kekuatan pada
saat itu, yaitu

 Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan


yang juga sebagai ketua sidang
 Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
 Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana


menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri
Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali
dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari
Sang Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan


pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali
ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai
persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha
harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja
Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-
masing bernama
24

1. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Bhatara


Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(tuhan)
2. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
3. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu
caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang
Widhi Wasa

Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi


lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga
juga dilahirkan suatu organisasi “Desa Pakraman” yang lebih
dikenal sebagai “desa adapt”, dan sejak saat itu berbagai perubahan
diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan
spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tsb semua prasasti ditulis
dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai
ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat
rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan Tiga.

Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau
Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun
baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada
Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya
Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni.
Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.

Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya


adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha. Pada Abad ke-
16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem
Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual
yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana.
Jejak-jejak kebuddhaan yang lain berupa tempat pemujaan Buddha
di sejumlah pura di Bali. Jejak peninggalan tersebut, juga kebesaran
konsep yang dipakai sampai sekarang masih tetap dipakai acuan
oleh masyarakat Bali.
25

BAB IV
Tokoh-Tokoh Penyebaran
Agama Hindu Budha di Bali.

Dalam perkembangan Agama Hindu di bali terdapat enam tokoh


suci yang sangat berperan penting. Keenam tokoh suci itu antara
lain:

IV. 1. Maha Rsi Markandya.

Dikisahkan dalam Lontar Bhuwana Tatwa Maharsi Markandya,


seorang Maha Rsi yang bernama Maharsi Meru, mengambil seorang
istri, berputra dua orang, yang sulung diberi nama Sang Ayati,
adiknya diberi nama Sang Niyata. Sang Ayati dan Sang Niyata
sangat tampan rupanya, berbudi sangat mulia dan berpikiran sangat
bijaksana. Seperti yang tertulis dalam sloka Bhuwana Tatwa
Maharsi Markandya, yang berbunyi :

“Sang Ayati mwang Sang Niyata pada pada sira apekik listu
paripurna, wicaksaneng aji, wibuhing sastra utama…….”

Sang Ayati melanjutkan jejak leluhurnya menjadi seorang pertapa,


beliau berputra, Sang Prana. Demikian pula adiknya, yang bernama
Sang Niyata, berputra Sang Mrakanda. Setelah dewasa Sang
Mrakanda beristrikan Dewi Manaswini, berputra Maharsi
Markandya. Selanjutnya Maharsi Markandya, beristrikan Dewi
Dumara. menurunkan Maharsi Dewa Sirah, yang beristrikan Dewi
Wipari, yang kemudian menurunkan banyak putera. Demikian
dikemukakan di dalam pustaka kuno Bhuwana Tatwa Maharsi
Markandya, tentang asal-usul Maharsi Markandya.

Salah seorang murid Maharsi Agastya yang bernama Sang Ila putra
dari Maharsi Trenawindhu, sedang bertapa di Jawa Dwipa Mandala.
Demikian pula Sang Aridewa dan Sang Anaka, melakukan Tapa
Samadhi di Pegunungan Adi Hyang, yang sekarang disebut
Pegunungan Dieng, seperti halnya Maharsi Markandya juga bertapa
26

di pegunungan Adi Hyang (Dieng), di Wukir Damalung, Jawa


Dwipa Mandala.

Lingga di Desa Girimulya

Di dalam prasasti, yang memiliki nilai sejarah yang autentik seperti


yang dikemukakan dalam prasasti Dinaya yang berangka tahun 682
Saka, (760 Masehi), dikemukakan bahwa Maha Rsi Agastya yang
mengembangkan ajaran Tri Murthi Paksa di Bhumi Nusantara ini,
yang merupakan penyatuan ajaran Tiga Paksa, yakni Salwa Paksa,
Brahmana Paksa, dan Waisnawa Paksa, yang pada kelanjutannya
kemudian berkembang juga di Bali Dwipa Mandala. Sehingga
dalam prasasti Dinaya ini, Maharsi Agastya, juga Abhiseka Sri
Bhatara Guru.

Seperti banyak tersurat dalam lontar dan Purana, di antaranya lontar


Markandya Purana, bahwa Sang Yogi Markandya yang “kawit hana
saking Hindu” (Yogi Rsi Markandya berasal dari India), melakukan
perjalanan suci menuju tanah Jawa Dwipa. Beliau sempat beryoga
semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang
(kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng),
27

berlokasi di Jawa Tengah. Lalu beliau melakukan Perjalanan Suci ke


arah timur, tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau
membuka pasraman di dampingi oleh para murid beliau yang di
sebut Wong Aga (orang-orang gunung pilihan). Kemudian di
Pasraman Gunung Raung beliau bersemedi, dalam semedinya beliau
mendengar sabda yang menyarankan beliau untuk melanjutkan
perjalanan ke arah timur yaitu ke Gunung Agung yang disebut juga
dengan nama Ukir Raja.

Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh


wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-
jronya (pemimpin-pemimpin mereka masing-masing). Kelompok-
kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa-desa di
Bali. Mereka adalah Orang Bali Mula, dan kemudian mereka lebih
dikenal dengan nama Pasek Bali.

Ketika itu, orang-orang Bali Mula belum menganut Agama, mereka


hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut
para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih
kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarikh
Masehi kurang lebih sekitar abad pertama Masehi. Dengan keadaan
Bali yang demikian maka mulailah berdatangan Para Rsi dari luar
pulau ke Bali. Disamping untuk mengajarkan Agama Hindu, mereka
juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Menurut
Lontar Bali Tattwa, untuk mengisi kekosongan kehidupan spiritual
Pulau Bali, kemudian datanglah seorang Maha Rsi ke Bali, beliau
bernama Maharsi Markandya.

Setelah menyiapkan diri dengan para pengikutnya yang berjumlah


800 orang, yang terdiri dari orang-orang Aga, berangkatlah
kemudian Maha Rsi Markandya ke arah timur dengan tempat tujuan
pertama adalah Gunung Agung. Rombongan Sang Maha Rsi turun
di pantai Pabahan Bali di Buleleng, beliau beserta pengikutnya
kemudian melakukan pembukaan hutan dengan menebangi kayu-
kayu besar di wilayah lereng Gunung Agung (Gunung Tohlangkir),
untuk lahan pertanian, dan tempat pemukiman. Akan tetapi atas
28

kehendak Hyang Jagatnatha banyak murid-murid beliau terkena


wabah penyakit aneh tanpa sebab, ada yang meninggal diterkam
binatang buas seperti Mranggi (Macan), Singa, dan Ular, ada juga
yang hilang tanpa jejak, tidak sedikit pengikut beliau yang gila.

Dengan semua kejadian itu, Wong Aga pengiring Sang Maharsi


yang awalnya berjumlah 800 orang, hanya tersisa hidup sejumlah
200 orang saja, mereka kemudian mendiami wilayah sekitar
perbukitan yang membentang dari selatan ke utara di Bali Tengah,
yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Diantaranya kampung-
kampung tua di sepanjang dataran subur yang diapit oleh dua aliran
sungai, Sungai Wos Lanang dan Sungai Wos Wadon. Dataran yang
membentang dari utara ke selatan dari Taro sampai Campuhan
Gunung Lebah di Ubud.

Melihat keadaan yang demikian memprihatinkan, Sang Maharsi


Markandya memutuskan untuk kembali ke Pesraman beliau di
Gunung Raung, di Pesraman beliau di Gunung Raung, kembali
beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang sudah menimpa
murid-murid beliau di Gunung Agung, sekaligus untuk menghimpun
kekuatan baru untuk kembali ke Gunung Agung. Maha Rsi
Markandya melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi untuk
memohon bimbingan dari Hyang Jagatnatha. Dari Tapa Semadhi
itulah diketahui bahwa pada waktu pertama merabas Hutan di lereng
Gunung Tohlangkir beliau tidak menghaturkan upacara (Homa) dan
tidak menanam Panca Datu.

Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke


Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak serta
pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan,
terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam
Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya
semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai
Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat
Maha Rsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi
nama Pura Besakih.
29

Padma Tiga Pura Besakih

Maharsi Markandya mengajak pengikut orang Aga guna diajak


merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil
menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada
pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan
rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu
desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro
Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar. Tentang
pembagian tanah dan kehadiran maha Rsi di Bali, dalam Markandya
Purana ada dijelaskan:

Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji,


mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang
Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha
samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha
pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken
wedha panulak sarwa marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa
yajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput
ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon
angrabas ikang wana balantara, angrebah kunang taru-taru,
ngawit saking Daksina ka Utara. Reh sampun makweh olih ngrabas
ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana
30

manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduhaken


wadwan ira araryan rumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira
sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,

Artinya:

Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji,


bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang
Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha
samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon
perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda
penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja
samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan
Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan
pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya
diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-
kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.

Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan


tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi
Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan
perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan
lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan,
serta pekarangan rumah,.....

Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu


Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang
datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar
dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata
Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di
tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan.
Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh
karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada.
Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak
bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi
kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro.
31

Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang
Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman
Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung
Raung.

Pelinggih Pura Gunung Raung

Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandya


kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar
terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan
dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi
ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya
melakukan yoga semadi. di tempat Maharsi beryoga itulah
selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Sekitar dua kilometer arah
tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi
Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini
dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari
segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala. Dalam
Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:

Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi
Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira
sang Bhujangga Waisnawa....”
32

Artinya :

di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai


pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti
sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.

Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan


sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura
Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang
menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di
desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan
orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam
yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi
Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima
dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.

IV.2. Mpu Sangkulputih.

Setelah Rsi Markandya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan


melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan
dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan
menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih,
daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-
bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan
antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras,
panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita,
durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten
dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada
Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih


dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor
pembuatan arca atau pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat
dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam
pemujaan Hyang Widhi tidak kurang pentingnya, beliau
mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura
33

Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan,


Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah
Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura
lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

IV.3. Mpu Kuturan.

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana dari


Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu
di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna
berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna
antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa,
Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte
tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan
(Ardhana 1989:56).

Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai


istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol)
tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama
sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.Perbedaan-
perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte
dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya
ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya


gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa
dampak jelek pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat jelek ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan
sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni atau
Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa
Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu
semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya
34

Dharmapatni atau Udayana Warmadewa bersekepatan untuk


mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:

a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat
Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning
Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun
Caka 921 atau 999 Masehi lalu berparhyangan di Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada
hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun Caka
922 atau 1000 Masehi, lalu berparhyangan di Gelgel.
c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana
tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang,
maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku
babahan atau tahun Caka 923 1001 Masehi, selanjutnya
berparhyangan di Silayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari
Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa,
prati padha Sukla (tanggal 1), Candra Sengkala Muka
Dikwitangcu (tahun Caka 928 atau 1006 Masehi lalu
berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang).

Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara


5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah
ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemah Tulis,
Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita
atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara
“wijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu
rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur
tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :

1. Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan


yang juga sebagai ketua siding
2. Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
3. Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana
menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
35

Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri


Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali
dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari
Sang Hyang Widhi Wasa.

Hal yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah


kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung
dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai
persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha
harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura) untuk memuja
Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-
masing bernama:

1. Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma


sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
2. Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai
perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
3. Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu
caktinya Bhatara Ciwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang
Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi
lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali. Sekaligus dengan
dikristalisasinya seluruh sekta tersebut dalam pemujaan kepada Tri
Murti menjadi landasan dalam pembangunan Desa Krama
(Pakraman) atau desa Adat di Bali. Sejak saat itu berbagai
perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik,
social, dan spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut
semua prasasti ditulis dengan menggunakan huruf Bali Kuna, maka
sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).

Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang


diberi nama Pura Samuan Tiga. Atas wahyu Hyang Widhi beliau
mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu
di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol
palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan
Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling
36

Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta


Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan
manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

IV. 4. Mpu Manik Angkeran

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh


Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit
putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini
tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh
luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali
diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra.
Tanah genting yang putus itu disebut Segara Rupek.

IV. 5. Mpu Jiwaya.

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri


terutama kepada kaum bangsawan di jaman Dinasti Warmadewa
(abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran
(tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang,
topeng, barong, dll.

IV. 6. Danghyang Dwijendra.

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa


dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di
Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran
cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa
yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa,
Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya
adalah Padmasari atau Padmasana.
37

Pelinggih Pura Purancak


Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang
Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah
pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Ketika itu Bali
Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan
rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan
diatur, hukum dan peradilan adat atau agama ditegakkan, prasasti-
prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh atau klan
disusun.

Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-


kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkat kan. Selain itu
beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara
kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung
Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran,
dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan
untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini
adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana
beliau pernah bermukim membimbing umat seperti : Pura
Purancak, Pura Rambut Siwi, Pura Pakendungan, Pura Hulu Watu,
Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung,Pura Sakenan, Pura Air Jeruk,
38

Pura Tugu, Pura Tengkulak, Pura Gowa Lawah, Pura Ponjok Batu,
Pura Suranadi (Lombok), Pura Pangajengan, Pura Masceti, Pura
Peti Tenget, Pura Amertasari, Pura Melanting, Pura Pulaki, Pura
Bukcabe, Pura Dalem Gandamayu, Pura Pucak Tedung, dan lain-
lain.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada
kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan
ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di
luar Bali.
39

BAB V
Kekuasaan Jawa yang Bepengaruh Langsung
Terhadap Sistem Pemerintahan Bali

V.1. Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang


berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari
Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S.
Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang
ramai.

V.1.1. Berdirinya Kerajaan Kediri

Penemuan Situs Tondo wongso pada awal tahun 2007, yang


diyakini para ahli sejarah sebagai peninggalan dari masa Kerajaan
besar Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak
informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno
peninggalan Kerajaan Kediri.
40

Situs Tondo wongso

Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka


karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Siwa Catur
Muka atau bermuka empat.

V.1.2. Kerajaan Kediri terpecah dua

Pada tahun 963 Saka atau tahun 1041 Masehi Raja Airlangga
memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian
kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal
akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharadah. Kedua kerajaan tersebut
dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan
Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas
dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya bertahun 1289 Masehi, kitab
Negarakertagama bertahun 1365 Masehi, dan kitab Calon Arang
bertahun 1540 Masehi. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua
agar tidak terjadi pertikaian.

Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas


dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu
41

kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan


nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing
kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga
terjadilah peperangan.

Patung Raja Airlangga

Pada akhir November tahun 1042 Masehi, Airlangga terpaksa


membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya
mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota
baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang
berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai
Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan yang
memerintah dari tahun 1042 sampai dengan tahun 1052 Masehi,
dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan
Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala


tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu atau Kediri yang
memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.
Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana
42

bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain


ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan
yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya
berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin
Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang
menceritakan tentang kemenangan Kediri atau Panjalu atas
Jenggala.

Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha


tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin
tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.
Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh
tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya
prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan
Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya yang memerintah dari
tahun 1185 sampai dengan tahun 1222 Masehi berselisih dengan
golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel
Tunggul Ametung.

Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas


bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan
Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan
Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan
Kertanegara di tahun 1268 sampai dengan tahun 1292 Masehi,
terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri
yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati
Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada
tahun 1292 Masehi, Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara
dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

V.1.3. Perkembangan politik kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja


Mapanji Alanjung memerintah dari tahun 1052 sampai dengan tahun
1059 Masehi. Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara
43

Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita


yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya
nama Raja Bameswara yang memerintah dari tahun 1116 sampai
dengan tahun1135 Masehi dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke
Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan
Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa
tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut
Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan
Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil
mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak
Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 Masehi Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang


Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan
Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil
dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari
Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya, Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir
hayatnya, Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan
44

dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga


meninggal pada tahun 1049 Masehi.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri


yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri.
Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra
Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara,
Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala
dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan
ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini
dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kediri tetap menjadi
kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai
sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada
dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap,
penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap
pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini
berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukan
di bawah kekuasaan Kediri.

V.1.4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Kediri

Dalam sejarah pemerintahan kerajaan Kediri selama berdirinya,


terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, adapun raja – raja yang
pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri antara lain :

 Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu

Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan


prasastinya yang berangka tahun 1104 Masehi. Ia menamakan
dirinya sebagai titisan Wisnu.

 Kameshwara

Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake


Sirikan Shri Kameshwara Sakala Bhuwana Tushtikarana
Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayottunggadewa,
45

yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I, yang berkuasa pada


tahun 1115 sampai dengan tahun 1130 Masehi. Lancana
kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut
Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja
telah mengubah kitab Samaradana. Dalam kitab ini sang raja di
puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibu kotanya yang
keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana.
Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.

 Jayabaya

Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarrya


Dipa Handa Bhuwana Palaka Parakrama Nindita Digjayo
Tungga Dewa Nama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada
tahun 1181 Masehi. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu
Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan.
Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya
termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu
dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo.
Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal
budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap
merakyat dan daya berpikir yang jauh kedepan menjadikan
prabu Jayabaya layak dikenang.

 Prabu Sarwaswera

Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera


sangat mencintai rakyatnya, sehingga beliau menjadi sangat
dekat dengan rakyat. Tujuan hidup manusia menurut prabu
Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan
jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu
yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi
kesatuan adalah tidak benar.

 Prabu Kroncharyadipa
46

Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang


senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk
agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya
dengan prinsip, menjunjung tinggi kebenaran dalam
pemerintahannya.

 Srengga Kertajaya

Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa


negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia
harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang
wayang dilukiskan oleh prapanca.

 Pemerintahan Kertajaya

Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta
sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur
marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama,
moksa.

V.1.5. Kehidupan sosial masyarakat kerajaan Kediri.

Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena


kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini
terlihat dari rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan
berlantai ubin yang berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang
Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan
kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat
berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni
sastra.

Hasil sastra tersebut, seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya


yang ditulis Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana
karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu
Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab
47

Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Semuanya itu dihasilkan


pada masa pemerintahan Kameswara.

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini


sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang
ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk
pertama kalinya ditemukan patung Dewa Siwa Catur Muka atau
bermuka empat.

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada jaman Kerajaan Kediri dapat


kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-
Fei pada tahun 1178 Masehi.

Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain


sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-
rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang
berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan
keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan
mengalami kemajuan yang cukup pesat.

Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi


tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.

1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat


yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum
kerabatnya serta kelompok pelayannya.

2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan


masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas
pemerintahan di wilayah thani (daerah).

3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan


masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan
48

hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat


wiraswasta.

Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan


mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000
pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota,
perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja


Airlangga, yang berkuasa dari tahun 1000 sampai dengan 1049
Masehi. Pemecahan ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di
antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas bagaimana
kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian.

Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima


bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang
sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya
sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu
Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau
dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

V.1.6. Kondisi Ekonomi pada Jaman Kerajaan Kadiri

Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan,


peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,
kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek
ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari
kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para
pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh
berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

V.1.7. Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri.

Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:


49

a. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 Masehi


menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas
Jenggala
b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 Masehi
menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja
Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu
Jayati yang artinya Kadiri Menang. Prasasti ini di
keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk
penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama
perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut
dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang
berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya
kembali dengan Kadiri.
c. Prasasti Jepun 1144 Masehi.
d. Prasasti Talan 1136 Masehi. Seni sastra juga mendapat
banyak perhatian pada jaman Kerajaan Kadiri.

Beberapa karya sastra yang ditulis pada masa pemerintahan Kediri


antara lain :

 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan


diselesaikan Mpu Panuluh Pada tahun 1157 Masehi.
 Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya ditulis oleh
Mpu Panuluh.
 Kakawin Smaradahana ditulis oleh Mpu Dharmaja pada
masa pemerintahan Sri Kameswara .
 Kakawin Sumanasantaka ditulis oleh Mpu Monaguna pada
jaman pemerintahan Kertajaya.
 Kakawin Kresnayana. ditulis oleh Mpu Triguna

Di samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga


ditemukan berita Cina yang banyak memberikan gambaran tentang
kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak
ditemukan dari sumber yang lain.
50

Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-


tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 Masehi dan kitab
Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 Masehi.
Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang
ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri.

V.1.8. Runtuhnya Kediri

Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan


Kertajaya, terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka
menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa
meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta
perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak
menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 Masehi.
Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya,
pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.

Setelah berhasil mengalah kan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit


kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang
pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan
diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang
memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik
sebagai daerah tempat tinggalnya.

Pada tahun 1293 Masehi, datang tentara Mongol yang dikirim oleh
Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap
Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk
menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol
dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk
menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang
mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan
Kediri.

V.2. Kerajaan Majapahit.

V.2.1. Berdirinya Majapahit.


51

Kerajaan Majapahit adalah nama sebuah kerajaan Hindu di Jawa


Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 Masehi.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari tahun 1350
sampai dengan tahun1389 Masehi yang didampingi oleh Patih
Gadjah Mada, Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasannya.

Setelah Raja Kertanegara gugur dalam peristiwa penyerangan Raja


Jayakatwang (Raja Kediri), berakhirlah riwayat Kerajaan Singasari.
Raja Kertanegara beserta petinggi kerajaan lainnya tewas dalam
penyerangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Raja Kertanegara)
segera melarikan diri ke Sumenep, Madura, dan mendapat
perlindungan dari Arya Wiraraja, penguasa Sumenep. Raja
Jayakatwang sangat menghormati Arya Wiraraja sehingga Raden
Wijaya diampuni. Setelah mendapat pengampunan dari Raja
Jayakatwang, Raden Wijaya beserta pengikutnya diizinkan untuk
membabat hutan Tarik (sekarang menjadi Desa Trowulan, Jawa
Timur) untuk dijadikan desa. Disinilah kemudian berdiri pusat
Kerajaan Majapahit.

V.2.2.Kertarajasa Jayawardhana
52

Pada 1293 Masehi pasukan Kubilai Khan dari Cina datang dengan
tujuan untuk menghancurkan Kerajaan Singasari. Mereka tidak
mengetahui bahwa Singasari telah hancur. Hal ini dimanfaatkan
oleh Raden Wijava untuk membalas dendam kepada Raja
Jayakatwang.

Pasukan Raden Wijaya bekerjasama dengan Kubilai Khan yang


berjumlah sekitar 20.000 orang. Dalam waktu singkat, Kerajaan
Kediri hancur dan Raja Jayakatwang terbunuh. Pasukan Kubilai
Khan kembali ke pelabuhan, namun di tengah perjalanan pasukan
Raden Wijaya dengan bantuan pasukan Sumenep menyerang
pasukan tersebut. Pasukan Kubilai Khan segera pergi dari tanah
Jawa dan Raden Wijaya menjadi raja dengan gelar Kertarajasa
Jayawardhana.

V.2.3.Para Penguasa Majapahit

Majapahit dari mulai berdirinya di tahun 1309 Masehi, sampai


dengan masa kehancurannya di tahun 1478 Masehi, tercatat
memiliki 12 raja yang pernah memerintah, antara lain :

1. Raden Wijaya pendiri Majapahit di tahun 1309 Masehi


2. Jayanegara berkuasa dari tahun 1309 sampai dengan tahun
1328 Masehi.
3. Tribhuwanatunggaldewi berkuasa dari tahun 1328 sampai
dengan tahun 1350 Masehi.
4. Hayam Wuruk berkuasa dari tahun 1350 sampai dengan
tahun 1389 Masehi.
5. Wikramawardhana berkuasa dari tahun 1389 sampai dengan
tahun 1429 Masehi .
6. Suhita berkuasa dari tahun 1429 sampai dengan tahun1447
Masehi.
7. Kertawijaya berkuasa dari tahun 1447 sampai dengan tahun
1451 Masehi .
8. Rajasawardhana berkuasa dari tahun 1451 sampai dengan
tahun 1453 Masehi .
53

9. Bhre Wengker berkuasa dari tahun 1456 sampai dengan


tahun 1466 Masehi .
10. Singhawikramawardhana berkuasa dari tahun 1466 sampai
dengan tahun 1468 Masehi .
11. Kertabhumi berkuasa dari tahun 1468 sampai dengan tahun
1478.
12. Ranawijaya atau Girindrawardhana berkuasa di tahun 1478
Masehi .

V.2.4.Wilayah Kekuasaan

Wilayah kekuasaan Majapahit meliputi seluruh Jawa (kecuali tanah


Sunda), sebagian besar Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, dan Indonesia bagian timur hingga Irian Jaya.
Perluasan wilayah ini dicapai berkat politik ekspansi yang dilakukan
oleh Patih Mangkubumi Gadjah Mada. Pada masa inilah Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

V.2.5.Keruntuhan Majapahit
54

Sepeninggal Raden Wijaya, Kerajaan Majapahit dilanda beberapa


pemberontakan. Pemberontakan tersebut antara lain ialah
pemberontakan Ranggalawe, Sora, dan Kuti selama masa
pemerintahan Jayanegara yang memerintah dari tahun 1309 sampai
dengan tahun 1328 Masehi, serta pemberontakan Sadeng dan Keta
pada masa Tribhuwana Tunggadewi yang memerintah dari tahun
1328 sampai dengan tahun 1350 Masehi. Pemberontakan baru dapat
berakhir pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk yang
memerintah dari tahun 1350 sampai dengan tahun 1389 Masehi.

Setelah masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk, pamor Kerajaan


Majapahit semakin menurun. Pada 1522 Masehi, Kerajaan
Majapahit hancur akibat terjadinya perang saudara. Selain itu, ada
hal lain yang juga mempengaruhi runtuhnya Kerajaan Majapahit
ialah munculnya Kerajaan Malaka dan berkembangnya kebudayaan
Islam.
55

BAB VI
Bali Masa Bali Kuno

VI.1.Definisi Bali Kuno

Yang dimagsud dengan Bali Kuna adalah Bali sebelum ditaklukkan


Majapahit, sekitar tahun 1343 Masehi. Penyebutan nama Bali Kuna
mula-mula diungkapkan oleh seorang ilmuan berkebangsaan
Belanda yang bernama Dr. Roelof Goris, pada tahun 1948. Beliau
adalah seorang anthropologist yang menetap di Singaraja cukup
lama. Istilah itu digunakan untuk membatasi wilayah penelitian
antara pra dan pasca pendudukan Majapahit yang membawa
pengaruh besar pada bidang: kehidupan sosial, budaya, politik, dan
perekonomian.

Tidak ada penjelasan tentang penggunaan kata Kuna dalam batasan


ini. Bali Kuna kemudian berubah menjadi Bali Aga, yakni sebutan
bagi penduduk Bali Kuna yang mengungsi ke pegunungan (Aga =
gunung) karena terdesak oleh migrasi besar-besaran dari Majapahit
di Jawa Timur sekitar abad ke-14, pada saat mana Agama Islam
mulai berkembang di Jawa.

Sumber sastra yang menguatkan hal ini terdapat pada Kidung Harsa
Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Sunda, Usana Jawa, Usana
Bali, Babad Dalem, dan Dwijendra Tattwa. Penelitian ilmiah
tentang Bali Kuna diadakan tahun 1885 oleh Dr. Van der Tuuk dan
Dr. Brandes berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di
Blantih, Sangsit, dan Klandis. Selanjutnya prasasti yang ditemukan
di Julah pada tahun 1890 lebih memudahkan penelitian Brandes.
Perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada sejarah Bali Kuna makin
mendalam, sehingga pada tahun 1926 terbitlah kumpulan dokumen
penelitian yang dinamakan Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr.
Van Stein Callenfels. Dokumen-dokumen itu kemudian terus
disempurnakan dengan foto arca-arca, dan Pura-Pura kuno serta
tambahan temuan-temuan dari Dr. Stutterheim.
56

Tahun 1930 terbitlah buku yang berjudul Oudheden van Bali yang
menguak tabir misteri Bali Kuna. Penulis menduga kata ‘Kuna’ oleh
Goris, mungkin dipengaruhi kata ‘Oudheden’ dari buku itu. Beliau
menggali lebih dalam berdasarkan temuan Drs. Soekmono (1973) ,
temuan Dr. R.P. Soejono (1961), dan tulisan I Made Sutaba,
masing-masing mengungkap keberadaan orang-orang Bali sejak
jaman batu, jaman perundagian, sampai jaman kehidupan agraris.
Mereka termasuk rumpun manusia Austronesia, yang belum
beragama.

VI.2.Raja-raja Bali Kuno.

Dalam perhitungan sejarah Bali Kuno, Pulau Bali tidak pernah


dikuasai secara mutlak oleh seorang Raja atau Penguasa saja. Di
jaman Bali Kuno, wilayah-wilayah tertentu dengan kelompok-
kelompok penghuninya dipimpin oleh tokoh berbeda, tanpa
hubungan darah satu dengan yang lain. Sering terjadi peperangan
diantara mereka untuk merebut kekuasaan. Berikut ini adalah daftar
Raja-Raja atau Penguasa yang pada umumnya mempunyai wilayah
dan pengaruh luas. Ada beberapa berasal dari dinasti yang sama,
misalnya dinasti Warmadewa.

 Tahun 912-942 Masehi berkuasa Raja Shri Ugrasena


berkedudukan di Singhamandawa (Kintamani Bangli)
 Tahun 913-955 Masehi berkuasa Raja Shri Kesari
Warmadewa, berkedudukan di keraton Singhadwala
(Besakih).
 Tahun 955-967 Masehi berkuasa Raja Shri Hari Tabanendra
Warmadewa dan Shri Subandrika Warmadewa
berkedudukan di Tabanan
 Tahun 967-968 Masehi berkuasa Raja Candrabhayasingha
Warmadewa, berkedudukan di Tampaksiring.
 Tahun 968-983 Masehi berkuasa Raja Janasadhu
Warmadewa berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 983-988 Masehi berkuasa Raja Shri Wijaya
Mahadewi berkedudukan di Kadiri.
57

 Tahun 983-1011 Masehi berkuasa Raja Shri Dharmodayana


Warmadewa atau Raja Udayana dengan permaisuri Shri
Mahendradatta atau Shri Gunapriya Dharmapatni,
berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1001-1015 Masehi berkuasa Raja Shri Adnyadewi
berkedudukan di Kintamani.
 Tahun 1011-1072 Masehi berkuasa Raja Shri Suradhipa
berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1072-1098 Masehi berkuasa Raja Anak Wungsu atau
Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana
Uttunggadewa berkedudukan di Tampaksiring.
 Tahun 1098-1133 Masehi bekuasa Raja Sakala Indukirana
Isanagunadharma Laksmi Dharawijaya Uttunggadewi
berkedudukan di Tampaksiring.
 Tahun 1133-1173 Masehi berkuasa raja Shri Jayapangus
berkedudukan di Kintamani.
 Tahun 1173-1198 Masehi berkuasa Raja jayasakti
berkedudukan di Kintamani.
 Tahun 1198-1284 berkuasa Raja Bhatara Sri Parameswara
Sri Hyangning Hyang Adidewa berkedudukan di
Kintamani.
 Tahun 1284-1324 Masehi, berkuasa Raja Kebo Parud
(Kerajaan Singasari-Jawa), berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1324-1325 Masehi, berkuasa Raja Shri Tarunajaya
berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1325-1328 Masehi, berkuasa Raja Shri Dharma
Uttungga Warmadewa, berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1328-1337 Masehi, berkuasa Raja Bhatara Sri Wala
Jaya Kertaning Rat, berkedudukan di Bedahulu.
 Tahun 1337-1343 Masehi, berkuasa Raja Bhatara Sri Asta
Asura Ratnabumibanten atau Shri Tapolung, berkedudukan
di Bedahulu.

VI.3. Sistim Pemerintahan.


58

Dalam pemerintahanLembaga tertinggi Pemerintah adalah sebuah


Badan Penasehat yang disebut dengan berbagai nama, yaitu:
Panglapuan, Samohanda, Senapati, Pasamaksa, dan Palapknan.
Badan ini bisa hanya satu orang saja, atau bisa lebih dari satu orang.
Mulai tahun 1001 pada Pemerintahan Raja Udayana, Badan
Penasehat itu bernama: Pakira-kiran I Jero Makabaihan diketuai
oleh Mpu Kuturan dan beranggotakan beberapa Senapati, Kasaiwan
(Pendeta-Pendeta Siwa), dan Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha).

Nama-nama Senapati yang menjadi anggota Pakiran-kiran I Jero


Makabaihan, adalah: Wrsabha (Wrsanten), Pancakala, Waranasi,
Tira, Danda (Waci), Wwit, Byut, Balabaksa, Dalem bunut (Balem
bunut), Dinganga, Maniringin, Pinatih, Srbwa, dan Tunggalan.

Nama-nama Pendeta Siwa dan Pendeta Budha yang menjadi


anggota Pakiran-kiran I Jero Makabaihan, tidak disebutkan dalam
prasasti-prasasti. Yang disebut hanyalah nama-nama Griya tempat
tinggal para Pendeta itu. Untuk Kasaiwan (Pendeta-Pendeta Siwa)
dari Griya-Griya: Air Garuda, Air Gajah, Antakunjara pada, Binor,
Dharma Hanar, Hari Tanten, Kanya bhawana, Kusumadanta,
Lokeswara, Suryamandala, dan Udayalaya.

Untuk Kasogatan (Pendeta-Pendeta Budha) dari Griya-Griya: Bajra


sikhara, Badaha, Wihara Bahung, Buruan, Canggini, Dharmarya,
Kusala, Kuti Hanar, Lwa Gajah, Nalanda, dan Waranasi. Raja dapat
mengambil keputusan sendiri, tetapi untuk masalah-masalah yang
penting misalnya: pengaturan keamanan atau pertahanan, perintah
perang, penetapan pajak, pengangkatan pejabat, dan penetapan
hukuman mati, Raja perlu mendapat pertimbangan dari Pakira-kiran
I Jero Makabaihan.

Penyelenggara Pemerintahan di Pusat Kerajaan dilaksanakan oleh


pegawai-pegawai yang dinamakan: Nayaka, Ser, dan Samgat.
Panglima Perang disebut: Rakyan. Penyelenggara Pemerintahan di
Sub-Wilayah adalah Senapati.
59

VI.4. Agama dan Peradaban.

Semua kekayaan kerajaan yang berupa laut, sungai, mata air, danau,
dan hutan dikuasai oleh Raja. Kelompok penduduk yang ingin
memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan harus meminta ijin
melalui Senapati setempat. Setelah mempertimbangkan dengan
seksama, Senapati meneruskan permohonan itu kepada Raja. Ijin
yang diberikan kepada kelompok ditulis dalam prasasti dari bahan
tembaga, lontar, atau batu. Pemberian ijin itu disertai dengan
kewajiban berupa pajak dan kewajiban menjaga kelestarian alam.
Ijin yang telah diberikan tidak boleh dipindah tangankan kepada
orang atau kelompok lain tanpa persetujuan Raja.

Senapati wajib menuntun rakyatnya untuk menyembah Bhatara-


Bhatari yang disakralkan seperti: Bhatara Da Tonta di Turunan
(Trunyan), Bhatari Mandul di Bukit Panulisan, Bhatari lumah ri:
Air Madatu, Buruan, Banyu Wka, Camara, Jalu, Dharma Hanar,
Banyu Palasa, Buah Rangga, Candri Manik, Candri Linggabhawana,
Dewastana, Air Talaga, dan Senamukha.

Bhatara Da Tonta adalah manifestasi Sanghyang Widhi yang dipuja


untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan, Bhatari lumah ri
adalah Roh-Roh leluhur dari Udayana dan Raja-Raja berikutnya dari
dinasti Warmadewa. Bhiksu-Bhiksu Budha banyak mendirikan
wihara di tepi-tepi sungai seperti: Patanu, Pakerisan, Uwos,
Kungkang. Di pegunungan seperti: Gunung Kawi, Goa Patinggi,
Gunung Agung, Bukit Petung, Cintamani, Songan, Watukaru. Di
danau-danau seperti: Batur dan Tamblingan. Di tepi pantai seperti:
Julah dan Dharmakuta.

VI.5. Perdagangan.

Sebagian besar penduduk Bali Kuno hidup dari penghasilan sektor


agraris: pertanian, peternakan, perikanan, dan mengumpulkan hasil
hutan. Sebagian kecil penduduk hidup dari sektor perdagangan
sebagai pengepul hasil bumi terutama beras, untuk dijual kepada
60

saudagar-saudagar Cina. Sebaliknya mereka membeli barang-barang


kelontong dan barang-barang kerajinan dari pedagang-pedagang
Cina seperti kain, porselain, pecah-belah, dan keperluan rumah
tangga lainnya. Perdagangan di pantai utara Pulau Bali lebih ramai
dari pantai selatan, karena kesibukan lalu lintas kapal-kapal dagang
lebih banyak di pantai utara.

Peta Pelabuhan Pabean Buleleng.

Jalur pelayaran di Nusantara mulai dari semenanjung Malaka


menyusuri pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai utara
Bali, berbelok ke selatan di Selat Lombok, seterusnya ke Sumbawa,
Sulawesi Selatan dan Maluku. Pelabuhan-pelabuhan laut di pantai
utara Bali adalah: Teluk Terima, Pemuteran, Buleleng, Sangsit,
Kubutambahan, dan Julah. Sedangkan pelabuhan di pantai selatan
Bali hanya Sanur. Jalur perdagangan di daratan pulau Bali bermula
dari pelabuhan menuju ke pegunungan. Dari Teluk Terima, jalur
darat menuju Desa-Desa: Busungbiu, Munduk, Tamblingan, Candi
Kuning, terus ke Tabanan. Dari Pemuteran mengikuti jalur yang
sama dengan jalur Teluk Terima.
61

Dari Buleleng, ada jalur ke: Gitgit, Wanagiri, Buyan, Candi Kuning,
terus bersatu dengan jalur ke Tabanan. Dari Sangsit, Kubutambahan
dan Julah, jalur yang paling ramai menuju Desa-Desa pegunungan
bagian timur, akhirnya menuju pusat kerajaan di Cintamani, dan
Bedahulu. Awalnya perdagangan dilakukan secara barter, yakni
tukar-menukar barang (mepurup-purup), karena Raja-Raja tidak
menciptakan mata uang bagi negerinya. Kedatangan saudagar-
saudagar Cina yang membawa mata uang Cina serta mengajarkan
kepada penduduk Bali Kuna sistem jual-beli menggunakan uang
kartal, menarik perhatian Raja Udayana.

System ini dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan,


dan memudahkan Raja memungut pajak. Walaupun penduduk telah
mengenal dan menggunakan mata uang Cina sebelum pemerintahan
Sri Ugrasena, namun Raja Udayanalah pada tahun 989 Masehi yang
secara resmi menetapkan berlakunya mata uang Cina sebagai uang
kartal atau alat tukar yang syah. Orang Bali Kuna menyebut mata
uang itu: pis-bolong. Pis bolong yang mulai beredar di Bali Kuna
pada abad ke-7 dibuat di Cina pada jaman pemerintahan Dinasti
Tang (618 M-907 Masehi). Peranan pis bolong sebagai alat tukar di
Bali Kuna makin kuat, karena beberapa hal, yaitu:

1. Perkawinan Raja Sri Jaya Pangus (1133 M – 1173 M)


dengan seorang putri Cina, kerabat Raja Khu Bilai Khan.
2. Bali Kuna pernah dijajah oleh kerajaan Singasari (1284 –
1324), sedangkan Singasari ketika itu dikuasai Cina di
bawah Gubernur militer Jendral Meng Khi. Pemerintahan
Singasari di Bali adalah untuk dan atas nama Jendral Meng
Khi. Pejabat yang ditunjuk, seorang panglima militer
Singasari bernama Kebo Parud.
3. Jalur perdagangan keluar negeri dari Bali dimonopoli Cina
untuk menjaga agar keuntungan dari perdagangan candu
(opium) terjaga.
4. Setelah pemerintahan Dinasti Tang di Cina berakhir, Dinasti
Sung malah lebih banyak menyebarkan pis bolong ke
Nusantara, khususnya ke Bali Kuna. Jumlah ekspor pis
62

bolong dari Cina ke Majapahit diperkirakan 1,8 miliar qian


(keteng) setahun.

VI.6.Pengaruh kebudayaan Cina pada Bali Kuna

Pelabuhan-pelabuhan penting di Bali Utara seperti Pabean Buleleng


dan Pabean Sangsit dikendalikan oleh pedagang terkemuka, sekalian
merangkap sebagai pejabat militer Cina. Di Pabean Buleleng pejabat
itu berpangkat Kapitain (tidak jelas namanya), dan seorang
berpangkat Mayor yang bernama Kho Bun Sing sebagai penguasa di
Pabean Sangsit. Pejabat dan saudagar-saudagar ini sangat kaya dan
berpengaruh. Mereka menguasai tanah pertanian yang luas dari
praktek meminjamkan uang kepada para petani dengan suku bunga
tinggi atau disebut sistim riba.

Penduduk Bali Kuna yang dahulunya belum mengenal candu


(opium), kemudian menjadi ‘kecanduan’ sehingga hidupnya
sengsara; sawah – kebun tergadai, kehilangan pekerjaan, sampai ada
yang menjual anak-anak untuk menjadi budak saudagar-saudagar
Cina. Orang Bali Kuna menamakan candu: madat. Kebiasaan
berjudi pada orang-orang Cina ditiru oleh penduduk lokal, seperti
permainan: Ceki, Cap Bi Kie, Mong-mong, Tokek, Tog-tog,
Contok, dan Truwie. Dengan adanya pis bolong sebagai mata uang
kartal yang sah, perjudian semakin marak, menyebab kan penduduk
asli banyak yang jatuh miskin karena kalah berjudi. Penduduk mulai
mengenal pola-pola pikir spekulatif, ingin mendapat keuntungan
dengan cepat, dan yang berniat melakukan kejahatan pencurian dan
perampokan makin berpeluang. Yang terakhir ini menjadi lebih
mudah karena penduduk asli yang semula menimbun hasil panen
dalam bentuk natura, kemudian menabung dalam bentuk uang
kartal, sehingga memudahkan para pencuri dan perampok menguras
harta benda mereka.

Perkawinan Raja Sri Jayapangus dengan seorang wanita Cina,


dipuja-puja rakyatnya. Bentuk pemujaan ini dengan menstanakan
Bhatari Cina di Pura Ulun Danu Batur, Bhatari Ratu Subandar di
63

Besakih, dan simbol-simbol lain misalnya adanya barong landung


lanang wadon yang merupakan replika Sri Jayapangus dan
permaisurinya. Cerita-cerita rakyat Cina-pun menyebar di Bali,
misalnya kisah Sampik – Ing Tay. Ilmu silat dari Cina juga
berkembang di Bali Kuna dalam bentuk pencak, dan dalam bentuk
tarian masal, misalnya: baris dapdap, baris demung, baris presi,
baris tumbak, baris tamiang, dan lain-lain.

Pis bolong selain digunakan sebagai uang kartal, juga digunakan


dalam upacara dan upakara. Beberapa jenis banten harus
menggunakan pis bolong. Pretima dan prerai dibuat dari pis bolong
tertentu yang dinamakan pis koci. Pis bolong yang bernama pis
krinyah digunakan dalam upacara kematian. Canang sari dan
kwangen menggunakan pis lumrah. Jenis-jenis pis bolong yang
disebutkan di atas disakralkan, tidak boleh digunakan berjudi. Untuk
berjudi digunakan jenis pis wadon, pis lembang dan pis jahi. Ada
juga jenis pis bolong yang digunakan sebagai jimat, misalnya pis
Siwa, pis Gana, pis Jogor Manik, pis rerajahan, pis Anoman, pis
Kresna, pis Rama, pis Bima, pis Rejuna, pis Dedari, pis Jaran, pis
Padang, dan pis Jaring.

Di bidang kemiliteran, tentara Bali Kuno mulai mengenal senjata-


senjata jenis panah, tombak, pedang dan perisai (tamiang) yang
lebih berkualitas karena dibuat dari baja yang halus dan tajam.
Industri peleburan baja belum ada di Bali. Oleh karena itu senjata-
senjata jenis itu kebanyakan diimpor dari Cina. Pakaian-pakaian
mahal yang digunakan oleh Raja-Raja dan kaum bangsawan
berbahan sutera (kain pere) yang dibeli dari saudagar-saudagar Cina.
Sejenis kertas buatan Cina yang dinamakan kertas ulantaga, di Bali
Kuna disakralkan, hanya digunakan sebagai salah satu sarana
penting dalam upacara kematian. Perkawinan campuran antara
orang-orang Cina dengan penduduk asli banyak terjadi. Orang Cina
yang sudah membaur menjadi penduduk Bali biasanya
menggunakan nama kombinasi Cina-Bali, misalnya: Babah Ketut,
Babah Nyoman, dll.
64

Di kalangan bangsawan dan saudagar kaya, dikenal nama-nama


yang berbau Cina, misalnya: Kho Cin Bun (yang menetap di Desa
Sinabun), Kho Ping Gan (yang menetap di Desa Pinggan –
Kintamani), Ma Sui La dan Ma Sui Lie, keluarga Beng Kui Lun
yang menetap di Desa Bungkulan, dan keluarga Ma Pa Cung yang
menetap di Desa Pacung.

VI.7. Pulau Bali Dibawah Kekuasaan Singasari.

Sebelum balatentara Singasari menaklukan Bali, wilayah Bali


adalah daerah yang berdaulat, dibawah kekuasaan raja-raja besar,
kebanyakan berasal dari dinasti Warmadewa. Sementara di Jawa
Kerajaan Singosari mencapai jaman keemasan pada masa
pemerintahan Kerthanegara. Pada masa kekuasaan Kerthanagaralah
Singasari mulai menaklukan daerah-daerah di luar pulau Jawa, salah
satunya adalah Bali. Diawali dengan pengiriman bala tentara ke
Malayu, bala tentara Singosari dengan gemilang berhasil
menaklukan kerajaan kerajaan Malayu sebagai daerah
kekuasaannya. Tahun 1284 Bala tentara Singosari menyerang Bali,
dengan balatentara yang banyak dan dipimpin oleh para senopati
handal yang mumpuni dalam siasat dan gelar perang, diantaranya
Senopati Jaran Waha, Ki Kebo Bungalan, Ki Patih Nengah, Ki Arya
Sidi, Ki Kebo Anabrang dan senopati Ki Amarajaya.

Kapal-kapal perang kerajaan Singasari mendarat di pesisir


Kubutambahan Buleleng, saat itu yang berkuasa di Bali adalah Raja
yang bergelar Paduka Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang
Adi Dewa Lancana. Setelah perang besar akhirnya Bali takluk, Raja
Bali Paduka Bhatara Parameswara Shri Hyangning Hyang Adi
Dewa Lancana di boyong ke Jawa sebagai tawanan perang. Karena
Bali sudah menjadi daerah taklukan, maka diangkatlah kemudian Ki
Kebo Bungalan oleh Kertanegara sebagai penguasa Bali dengan
gelar Rakriyan Demung Sasabungalan dibawah kekuasaan kerajaan
Singasari. Kepemerintahan Ki Kebo Bungalan dibawah naungan
Singasari di Bali kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Ki Kebo Parud. Dalam pemerintahan Ki Kebo Parud banyak
65

mengeluarkan prasasti, diantaranya bertahun Saka 1218 berisikan


aturan tentang Desa Kedisan, prasasti bertahun Saka 1222 berisikan
aturan tentang Desa Sukawana. Sementara arca Raja Kerthanagara
yang bewujud Biksu masih tersimpan di Tropen Museum Leiden
Belanda, juga tersimpan arca Bhairawa yang mencirikan ajaran
Wajrayana dari aliran Tantrisme Budha.

Pada masa pemerintahan Ki Kebo Parud di Bali, agama Budha dan


Siwa berkembang pesat dan berdampingan, dengan banyaknya
dibangun wihara-wihara Budha dan Siwa, juga arca-arca Bhairawa.
Ki Kebo Parud tercatat dalam sejarah Bali memerintah dari tahun
1296 sampai dengan tahun 1324 Masehi. Tahun 1293 kerajaan
Singasari runtuh oleh pemberontakan Jayakatwang. Raden Wijaya
berhasil memadamkan pemberontakan tersebut dan kemudian
mendirikan kerajaan Majapahit. Majapahit kemudian mengambil
alih semua wilayah kekuasaan Singasari, juga termasuk wilayah
Bali. Tahun 1296 Masehi, raja Majapahit yang bergelar Shri Rajasa
jaya Wardana menunjuk Ki Kebo Parud sebagai penguasa Bali di
bawah Majapahit, dengan gelar Raja Patih.

Setelah Bali dirasa aman, maka pada tahun 1324 Masehi atas
perintah Jayanegara, raja Majapahit ke 2, pemerintahan Bali
dikembalikan kepada Wangsa Warma. Raja Shri Dharma Utungga
Dewa Warmadewa memerintah di Bali dari Tahun 1324 sampai
dengan tahun 1328 Masehi, bergelar Shri Paduka Maharaja Bhatara
Mahaguru, dibawah pemerintahan Majapahit.beristana di Bedahulu
yang berada diantara wilayah Bedulu dan Pejeng Gianyar. Untuk
menjalankan pemerintahan beliau mengangkat beberapa petinggi
kerajaan, baik yang berasal dari Majapahit maupun petinggi yang
berasal dari Bali, senapati-senapati itu antara lain : Senopati Kuturan
dipegang oleh Ki Dalang Camok, Senapati Sarbwa diduduki oleh Ki
Candi Lengis, Senapati Weresanten dipegang oleh Ki Jagatrang, Ki
Pindamacan diangkat menjadi senapati Balembunut, Senapati
Baladyaksa dipercayakan kepada Ki Gagak Sumeningrat, senapati
Danda dijabat oleh Ki Kuda Makara atau yang dikenal dengan nama
Ki Kuda Langkat-langkat. Ki Lembu Lateng diangkat menjadi
66

senapati Manyiringan, Senapati Dinganga dijabat oleh Ki Gagak


Lepas. Sementara Sekretaris Kehakiman dijabat oleh mantra Irah
Prana, Mantri Wadyawadana dan Ki Panji Singaraja.

Dalam bidang keagamaan diangkat juga wakil-wakil dari para


pendeta Siwa dan Budha, diantaranya pendeta Siwa Paduka raja
Guru diangkat menjadi pendeta besar berkedudukan di
Dharmahanyar, Paduka Raja Dyaksa menjadi pendeta besar
berkedudukan di Air Gajah atau Goa Gajah, sedangkan di Trinayana
(Kutri) diangkat pendeta besar Paduka Raja Manggala.

Diangkat pula dua orang pendeta Budha, diantaranya : Di Bihara


Nasi diangkat pendeta besar Dhang Upadyaya Pujayanti, di
Puranagara diangkat pendeta besar Dhang Upadyaya Karmagga.
Para pendeta besar Siwa dan Budha inilah yang bertanggung jawab
terhadap kegiatan keagamaan di wilayah istana dan wilayah-wilayah
kekuasaan raja. Selain tugas keagamaan itu para pendeta besar juga
sangat diperlukan dalam rapat-rapat kerajaan yang bersipat penting
untuk memutuskan sebuah perkara yang penting, sering kali para
pendeta besar dimintai pertimbangan oleh raja.

Pada masa pemerintahan Raja Shri Dharma Utungga Dewa


Warmadewa, Negara dalam keadaan aman dan tentram, banyak
parahyangan-parahyangan yang beliau dirikan untuk memuja Tuhan
dan para leluhur beliau. Sang raja juga mendirikan sebuah taman
yang indah di perbatasan bagian selatan Bangli, berdampingan
dengan parahyangan pemujaan leluhur beliau yang dinamakan Gua
Merku. Sementara taman yang dipenuhi dengan banyak patung
Makaradewi tersebut kini dikenal dengan nama Taman Bali.

Raja Shri Dharma Utungga Dewa Warmadewa mangkat di tahun


1328 Masehi, kemudian dicandikan di Candi Manik. Digantikan
oleh putraya yang bernama Trunajaya dengan gelar Shri Walanjaya
Kertaningrat, seperti yang tersurat dalam prasasti yang ditemukan di
desa Selembung Karangasem. Shri walanjaya kerthaningrat
memerintah dari tahun 1328 sampai tahun 1337 Masehi. Pada masa
67

pemerintahan beliau Desa Selumbung dibebaskan dari pembayaran


pajak dan pekerjaan, karena desa tersebut sudah bertugas khusus
memelihara keberadaan Candi yang ada di Linggabhuwana. Pada
Tahun 1337 Raja Shri Walanjaya Kertaningrat mangkat, beliau
digantikan oleh saudaranya dengan gelar Shri Astasura Ratna Bhumi
Banten. Nama beliau bisa diartikan Asta berarti delapan, Sura
berarti Dewa, ratna berarti Permata dan Bhumi Banten berarti tanah
Bali, apabila digabungkan menjadi Permata dari delapan dewa yang
ada di pulau Bali. Masa pemerintahan beliau tercantum dalam
prasasti yang ditemukan di desa Langgahan.

Raja Shri Asta Sura Ratna Bhumi Banten beristana di Bedahulu,


dalam pemerintahannya beliau mengangkat banyak senapati juga
Amangkubumi atau Patih. Patih beliau bernama Ki Pasung Grigis
berkedudukan di Desa Tengkulak. Pembantu utamanya bernama Ki
Kebo Iwa berkedudukan di Blahbatuh. Sedangkan para senapati
beliau antara lain : Di Buleleng diangkat Senapati Kriyan Girikmana
berkedudukan di Desa Loring Giri Ularan. Untuk penguasa
Jimbaran diangkat Ki Tambyak, Penguasa Tenganan diangkat
Kriyan Tunjung Tutur, Kriyan Buwahan diangkat untuk menguasai
Desa Batur, Kriyan Tunjung Biru diangkat sebagai penguasa
Tianyar, di Sraya diangkat adipati Kriyan Kopang, Di Taro diangkat
ki walung Sari dan Kriyan Walung Singkal, dan Kriyan Kala Gemet
diangkat menjadi adipati di Tangkas.

Dikarenakan kesaktian beliau dan para pembantunya, membuat


Sang raja Bali yang berkedudukan di Bedahulu ini dengan terang-
terangan menyatakan tidak mau tunduk terhadap Majapahit. Tidak
pernah mengirim utusan ke Majapahit, apalagi untuk mengirim upeti
sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Dengan terang-terangan
menyatakan diri sebagai kerajaan yang bebas dari Majapahit. Oleh
penguasa majapahit saat itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi
menjuluki Raja Shri Asta Sura Ratna Bhumi Banten sebagai Raja
Bedahulu, yang artinya Raja bawahan yang berbeda dari atasannya
di Majapahit. Maka beliau kemudian memerintahkan Patih Gajah
Mada menggalang prajurit untuk menaklukan Bali.
68
69

BAB IV
Kerajaan Gelgel.

Balatentara Majapahit menyerang Bali pada tahun Saka 1265 atau


tahun Masehi 1343. Kerajaan Bedahulu takluk, Raja dan beberapa
patih kerajaan Bedahulu gugur dalap perang itu, beberapa dari
mereka menyerah dan diampuni. Setelah Bali Bedahulu takluk,
pulau Bali menjadi tanpa raja, kehidupan masyarakat di Bali tidak
menentu, hukum rimba berlaku, yang kuat menindas yang lemah,
jadilah pulau Bali sangat mencekam. Tatanan kehidupan bernegara
dan bermasyarakat yang sudah ditanamkan semenjak kerajaan Bali
Kuno seakan-akan hilang ditelan waktu.

Berkaitan dengan hal tersebut kemudian para Arya Bali keturunan


dari Mpu Dwijaksara berangkat menuju ke Majapahit dengan tujuan
memohon pemimpin untuk Bali. Para Arya yang berangkat saat itu
antara lain : Kyai Patih Ulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan
dan Kyai Padang Subadra. Permohonan para Arya Bali dikabulkan

VII.1. Raja-raja Dinasti Gelgel.

VII.1.1. Shri Aji Kresna Kepakisan Raja I

Setelah berhasil menguasai Bali dengan menaklukkan Raja Bali


Kuna Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada tahun 1343 Masehi,
Penaklukan Bali oleh Majapahit ini dilakukan pada jaman
pemerintahan Tribuwana Tunggadewi yang berkuasa pada periode
1328 - 1350 Masehi. Sering terjadi pemberontakan orang-orang
Bali Aga dengan pasukan Majapahit.

Untuk mengatasi hal itu Patih Gajah Mada dibawah restu Ratu Tri
Bhuwana Tunggadewi memutuskan mendudukkan Sri Aji Kresna
Kepakisan sebagai adipati Majapahit di Bali pada tahun 1352
Masehi. Beristana di Samprangan sebelah Timur Kota Gianyar
sekarang. Sehingga pada jamannya disebut Dhalem Samprangan.
70

Beliau adalah putera bungsu dari Brahmana Mpu Kepakisan. Gelar


Mpu sebagai Brahmana berubah menjadi Sri, sebagai penguasa.
Beliau didampingi oleh 11 orang Arya dan masing-masing diberikan
tempat kedudukan, sebagai berikut:

1. Arya Kutawaringin berkedudukan di Gelgel


2. Arya kenceng di Buwahan berkedudukan Tabanan
3. Arya Belog berkedudukan di Kaba-kaba
4. Arya Dalancang berkedudukan di Kapal
5. Arya Sentong berkedudukan di Carangsari
6. Arya Kanuruhan berkedudukan di Tangkas
7. Arya Punta berkedudukan di Mambal
8. Arya Jerudeh berkedudukan di Temukti
9. Arya Tumenggung berkedudukan di Petemon
10. Arya Pemacekan berkedudukan di Bondalem
11. Arya Beleteng berkedudukan di pacung

Sebagai Patih Agung diangkat Pengeran Nyuhaya putera dari Arya


Kepakisan turunan dari Prabu Airlangga. Selain itu pengangkatan
beliau dilengkapi dengan alat-alat kebesaran seperti: Keris Ki Ganja
Dungkul dan Tombak Ki Olang Guguh.

Sri Aji Kresna Kepakisan berpulang pada tahun 1380 Masehi,


meninggalkan putera dan puteri, masing-masing: beribu dari Ki
Gusti Ayu Gajah Para berputera: Dhalem Hile, Dhalem Tarukan,
Dewa Ayu Swabhawa, Dhalem Ketut Ngulesir. Beribu Ki Gusti
Ayu Kutawaringan berputera: I Dewa Tegal Besung.

VII.1.2. Sri Agra Kepakisan Raja II

Setelah Sri Aji Kresna Kepakisan berpulang, beliau digantikan oleh


puteranya yang sulung, yaitu Dhalem Hile bergelar Sri Agra
Kepakisan. Masih menempati istana lama. Namun beliau tidak
mempunyai kepribadian ketatanegaraan. Beliau lamban, suka lama-
lama berhias, membuat para mentri lama menunggu di balai
penghadapan. Sementara adiknya Dhalem Tarukan lebih memilih
71

beristana di Tarukan, bertani dan beternak. Akhirnya Kyai


Klapodyana atau Kyai Kubon Tubuh (Kyai Bendesa Gelgel)
mengambil inisiatif mencari Dhelem Ketut Ngulesir untuk
menggantikan kedudukan kakak beliau menjadi raja di Samprangan.
Dhalem Hile berputera: I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I
Dewa Anggungan, I Dewa Pagedangan, dan I Dewa Bangli.

VII.1.3. Shri Smara Kepakisan Raja III

Dhalem Ketut Ngulesir ditemui di rumah judi di desa Pandak


Tabanan, sedang bermain judi. Setelah diyakinkan oleh Kyai
Bendesa Gelgel, baru bersedia menggantikan kakaknya. Beliau
beristana di kediaman Kyai Bendesa Gelgel, yang kemudian
disebut Suweca Linggarsapura. Beliau sendiri karena tampannya
bergelar Sri Smara Kepakisan.

Dengan diangkatnya Dhalem Ketut Ngulesir, maka pada masa itu


Bali mempunyai 2 orang raja yang beristana di 2 istana, Gelgel dan
Samprangan. Saat itulah mulai masa kerajaan dan keraton Gelgel.
Setelah beberapa lamanya Patih Agung Pangeran Nyuhaya
mendampingi Shri Aji Smara Kepakisan, akhirnya beliau berpulang,
digantikan oleh putra beliau yang bernama Kyai Gusti Arya
Petandakan.

Pada masa awal pemerintahan adipati Bali Majapahit Shri Aji Smara
Kepakisan, masih sering terjadi gejolak-gejolak di wilayah
pedalaman Bali, dilakukan oleh orang-orang Bali Aga yang masih
belum bisa menerima beliau sebagai pemimpin Bali. Berkaitan
dengan hal tersebut, Adipati Bali mengusahakan berbagai cara untuk
mengambil hati Penduduk Bali. Salah satunya dengan melaksanakan
upacara besar di Pura Tegeh Kahuripan atau Pura Bukit Penulisan,
sebagai bentuk penghormatan terhadap arwah raja-raja Bali dahulu.

Setelah melalui upaya yang keras, juga dengan mendirikan Pura


Dasar Bhuwana di bekas pasraman Mpu Ghana di Gelgel, akhirnya
beliau mulai bias diterima oleh penduduk Bali. Pada masa
72

pemerintahan Shri Hayam Wuruk, adipati Bali Shri Aji Smara


Kepakisan tercatat pernah menghadap ke Majapahit, dikisaran tahun
1350 sampai dengan 1389 Masehi.

VII.1.4. Dhalem Batur Enggong Raja IV.

Dhalem Batur Enggong naik tahta menggantikan raja sebelumya,


Shri Aji Smara Kepakisan di tahun 1460 Masehi. Patih Agung Arya
Petandakan berpulang diganti oleh putranya yang bernama Kyai
Gusti Arya Batanjeruk. Pada masa pemerintahan Dhalem Batur
Enggong, Bali mencapai puncak kejayaanya atau keemasannya,
berkuasa sampai wilayah-wilayah di luar pulau Bali, seperti :
Pasuruhan, Blambangan, Lombok dan Sumbawa. Bali juga menjalin
hubungan yang sangat baik dengan kerajaan kerajaan besar
Nusantara.

Di tahun 1489 Masehi, seorang penghulu agama Siwa dari Jawa


datang ke Bali, beliau bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh
atau Dhang Hyang Dwijendra atau Dhang Hyang Nirarta. Dhalem
Batur Enggong kemudian mengangkat Dhang Hyang Nirarta
sebagai Purohita Bali, sekaligus sebagai guru nabe dari Dhalem
Batur Enggong saat mediksa. Dhalem Batur Enggong juga pernah
mengirim utusan ke Keling untuk mendatangkan Dhang Hyang
Angsoka, akan tetapi Dhang Hyang Angsoka tidak bias memenuhi
permohonan Dhalem Batur Enggong, sebagai gantinya Dhang
Hyang Angsoka mengirim putra beliau bernama Dhang Hyang
Astapaka ke Bali.

Pada saat Dhalem Batur Enggong menyelenggarakan Karya Agung


Tawur Eka Dasa Ludra di Pura Besakih, Dhang Hyang Astapaka
dan Dhang Hyang Nirartalah yang memimpin upacara tersebut.
Sebagai bukti manunggalnya Siwa Budha di Bali, dibawah
pemerintahan Dhalem Batur Enggong.

Dhalem Batur Enggong berpulang di tahun 1552 Masehi, beliau


menurunkan dua orang putra yang masih belia, yaitu I Dewa
73

Pamahyun yang bergelar Dhalem Bekung dan I Dewa Anom


Dimadya yang kemudian bergelar Dhalem Sagening.

VII.1.5. Dhalem Bekung Raja V


74

Setelah Dhalem Batur Enggong berpulang di tahun 1552 Masehi,


maka pemerintahan Bali diserahkan kepada putra beliau yang
bernama Dhalem Pamahyun. Karena beliau masih belia dan tidak
terlalu faham dengan pemerintahan, maka pemerintahan lebih
banyak diatur oleh Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk mengatas
namakan paman-paman beliau.

Karena tergoda dengan kemegahan dan kemilaunya kekuasaan,


Patih Agung I Gusti Arya Batanjeruk kemudian melakukan gerakan
pemberontakan. Dhang Hyang Astapaka sebagai guru spiritual Arya
Batanjeruk tidak mampu meredam keinginan muridnya untuk
memberontak, sehingga beliau memutuskan untuk meninggalkan
Gelgel. Dalam pemberontakan itu Kyai Arya Batanjeruk dibantu
oleh para pengikutnya yang setia, seperti : I Dewa Anggungan, I
Gusti Tohjiwa, dan I Gusti Padhe Basa putera Pangeran Dawuh
Penulisan.

Dalam pemberontakan itu Dhalem Bekung dan adiknya Dhalem


Sagening dikurung dalam istana Gelgel untuk beberapa lama,
sampai akhirnya dibebaskan oleh Kyai Kebon Tubuh, dibantu oleh
laskar dari kapal dibawah pimpinan Kriyan Manginte, putra dari
Pangeran Asak yang mampu menumpas pemberontakan di Gelgel.
Terjadi pertempuran yang sengit, Patih Agung I Gusti Arya
Batanjeruk tewas di Bungaya atau Jungutan di tahun 1556 Masehi, I
Gusti Tohjiwa tewas di dekat istana Gelgel, I Dewa Anggungan
diturunkan wangsanya, dan I Gusti Pande Basa diberikan
pengampunan.

Setelah sekian lama pemeberontakan tersebut bisa ditumpas, giliran


I Gusti Pande Basa yang melakukan pemberontakan, hal itu dipicu
karena I Gusti Pande Basa tidak terima dengan hubungan asmara
terselubung di istana, diantaranya yang dilakukan oleh I Gusti
Telabah dan I Gusti Ayu Samantiga yang merupakan salah satu selir
dari Dhalem. Kembali terjadi perang yang sengit, sehingga I Gusti
Pande Basa Gugur dalam perang tersebut, perang itu terjadi sekitar
bulan agustus tahun 1578 Masehi.
75

Karena merasa tidak mampu memimpin kerajaan, akhirnya Dhalem


Bekung mundur dari kedudukannya sebagai Dhalem, dan memilih
berpuri di Desa kapal.

VII.1.6. Dhalem Segening Raja VI

Dhalem Segening menggantikan kakaknya dinobatkan tahun 1580


Masehi. Sebagai Patih Agung adalah I Gusti Agung Maruti (I Gusti
Agung Widia) putera dari I Gusti Agung Manginte, sedang sebagai
Demung adalah I Gusti Di Ler Prenawa. Dhalem Segening
mempunyai banyak putra, beliau menempatkan putera-puteranya di
daerah-daerah tertentu sebagai jabatan anglurah, dengan tujuan
menjaga keamanan daerah kekuasaan Gelgel seperti: I Dewa Anom
Pemahyun di tempatkan di desa Sidemen (Singharsa), I Dewa
Manggis Kuning (I Dewa Anom Manggis) di Gianyar, Kyai Barak
Panji ( I Gusti Ngurah Panji Sakti) di Den Bukit.

VII.1.7. Dhalem Pemahyun Raja VII

Setelah Dhalem Sagening berpulang karena usia yang lanjut,


digantikan oleh putranya yang bernama I Dewa Anom Pemahyun,
bergelar Dhalem Pemahyun. Beliau tidak lama berkuasa karena
penuh dengan intrik-intrik politik di kalangan istana. Patih Agung I
Gusti Agung Maruti menghendaki I Dewa Di Made menjadi raja
karena mereka ada hubungan ipar. Untuk menghindari jatuhnya
korban lebih jauh Dhalem Pemahyun rela melepas tahta dan pergi
menuju desa Purasi Karangasem, tempat pesanggarahan Dhalem
Bekung dahulu. Dari Purasi (sekarang Perasi) beliau menuju desa
Temega bersama puteranya yang bernama I Dewa Anom Pemahyun
Di Made.

VII.1.8. Dhalem Di Made Raja VIII

Setelah I Dewa Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, I


Dewa Di Made dinobatkan jadi raja bergelar Dhalem Di Made.
Patih Agung I Gusti Agung Maruti melakukan pemberontakan.
76

Dalam serangan mendadak ini Dhalem tidak dapat mengadakan


perlawanan. Beliau mengungsi ke desa Guliang Bangli, diikuti oleh
seorang puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe Pule
Badung dan rakyat 300 orang. Sementara I Dewa Pemayun sudah
lama menetap di puri Tampaksiring. Dengan demikian Dhalem Di
Made adalah generasi terakhir dinasti Sri Kresna Kepakisan di
keraton Gelgel. Dhalem Di Made berpulang dalam pengungsian di
desa Guliang.

VII.2. Kekacauan dikerajaan Gelgel.

Sepanjang perjalanan kerajaan Gelgel, banyak terjadi usaha-usaha


penggulingan kekuasaan terhadap raja atau adipati Bali. Baik yang
datang dari dalam kerajaan sendiri maupun dari luar kerajaan yang
tidak puas dengan cara pemerintahan Gelgel.

VII.2.1. Pemberontakan Penduduk Bali Aga.

Pemerintahan Dhalem Gelgel yang dimulai di tahun 1380 dibawah


kekuasaan Dhalem Shri Semara Kepakisan sampai dengan
kepemimpinan Dhalem Di Made terjadi beberapa kekacauan yang
berkaitan dengan kekuasaan, belum lagi gejolak-gejolak yang terjadi
si desa-desa tua di pegunungan Bali.

Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai


dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga
seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan,
Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista,
Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan,
Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas
peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem merasa putus
asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dhalem
tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan
persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna
Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian
77

kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama


Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.

VII.2.2. Pemberontakan Gusti Batanjeruk.

I Dewa Pamahyun atau Dalem Bekung yang menduduki tahta


kerajaan belum berusia dewasa sehingga belum mengerti cara cara
menghadapi serangan musuh. Rupanya tindakan Gusti Batan Jeruk
dilakukan tanpa memperhitung kan kekuatan lannya di luar istana
Gelgel.

Kriyan Gusti Batan Jeruk sudah dinasehati oleh pendeta Budha


sebagai bagawanta di Kerajaan Gelgel agar jangan sekali kali
menyamai kedudukan Dalem sebagai penguasa di Kerajaan Gelgel
namun nasehat tersebut diacuhkan oleh beliau. Demikianlah
akhirnya pemberontakan tersebut dilakukan dengan menyerbu
kedalam istana Gelgel oleh Gusti Batan Jeruk dan Dewa Anggungan
dibantu oleh Kriyan Tohjiwa dan Kriyan Pande sebab Kriyan Pande
merupakan satu keluarga dengan Gusti Bantan Jeruk terhitung
menekan dari sepupu putra tertua dari Kriyan Dawuh Baleagung dan
cucu Pangeran Akah.

Pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 1556 Masehi tahun Caka


1478, tidak dikisahkan betapa hebatnya pertempuran antara
pendamping yang masih setia kepada Dalem dengan para
pemberontak. Raja hampir hampir menderita kekalahan karena para
menteri dan pejabat pejabat tinggi kerajaan hampir semuanya
memihak kepada Gusti Batan Jeruk. Hanya Kyai Kebon Tubuh dan
keempat pamannya yang masih setia kepada Dalem Bekung.

Tersebutlah Kriyan Dawuh Nginte yang bermukim di Kapal


mendengar berita adanya pemberontakan tersebut, memohon ijin
kepada ayahnya untuk membantu menyelamatkan Raja Gelgel.
Setelah mendapat ijin ayahnya maka mulailah perjalanan beliau
dengan pasukannya menuju Kerajaan Gelgel dengan diiringi oleh
Kiyai Pedarungan Putra Kriyan Patih Tuwa.
78

Singkat cerita setelah Dawuh Nginte tiba di Istana Gelgel beliau


kemudian membujuk para menteri yang semula berpihak kepada
Gusti Batan Jeruk untuk kembali berpihak kepada raja. Usaha beliau
berhasil sehingga para menteri tersebut akhirnya membatu Dawuh
Nginte untuk berperang melawan Gusti Batan Jeruk.

Kriyan Dawuh Nginte tampil sebagai pimpinan pasukan diikuti oleh


Kyai Panatyan, Kiyai Ngurah Tabanan, Kyai Tegeh Kori, Kyai
Kaba Kaba, Kyai Buringkit, Kiyai Pering, Kiyai Cagahan, Kyai
Sukahet dan Kyai Berangsinga. Mereka serempak masuk keistana
untuk membebaskan dua putra Raja yaitu Dalem Bekung dan Dalem
Segening yang ditawan oleh pihak pemberontak.

Kiyai Kebon Tubuh berhasil menyelamatkan Putra raja tersebut


dengan melewati lubang tembok pagar tembus ke rumah Kryan
Dawuh Bale Agung di sebelah barat pasar kemudian keluar dari
Pikandelan. Tidak berselang beberapa lama datanglah Kriyan Batan
Jeruk dan Dewa Anggungan dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan
Tohjiwa mengamuk secara membabi buta didalam istana. Adapun
adik Raja Dalem Bekung seorang putri masih berada didalam istana
dibunuh tanpa perlawanan.

Kriyan Pande bersama Kriyan Tohjiwa bermaksud untuk merusak


pintu istana dengan kapak namun dapat dicegah oleh Kriyan Dawuh
Nginte sehingga terjadi perang tanding diantara mereka. Kriyan
Tohjiwa tewas dalam perang tanding tersebut dan Kriyan Pande
menyerahkan diri.

Akhirnya pemberontakan Gusti Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan


dapat dipadamkan dan Gusti Batan Jeruk beserta sanak keluarganya
melarikan diri dari Gelgel menuju ke arah timur dengan
mengenakan kain lembaran sudamala. memakai kampuh sutera
lumut dan menyunting sehelai bunga kembang sepatu. Demikian
pula Dewa Anggungan ikut melarikan diri kearah timur.
79

Namun pelarian tersebut terkejar pasukan yang setia kepada Dalem


sampai di desa Jungutan Bungaya Karangasem sehingga terjadilah
perang tanding yang mengakibatkan tewasnya I Gusti Batan Jeruk. I
Dewa Anggungan kemudian meyerahkan diri tetapi hubungan
kekeluargaanya dilepas oleh keempat saudaranya dengan
menurunkan derajat kebangsawanannya menjadi Sang Anggungan
dan tidak diakui lagi sebagai Dewa.

Keluarga Gusti Batan jeruk lainnya seperti Kriyan Bebengan,


Kriyan Abian Nangka dan Kriyan Tusan terus menyelamatkan diri
dari kejaran pasukan yang setia kepada Raja bersembunyi di
dibawah tumbuh tumbuhan jawa yang diatasnya bertengger burung
perkutut yang sedang berkicau. Karena terhindar dari bahaya
tersebut maka maka keturunannya pantang makan jawa dan burung
perkutut.

Setelah Gusti Batan Jeruk tewas maka sanak keluarganya tidak


berani lagi tinggal di Gelgel mereka berpencar ke segala arah serta
menyembunyikan indentitas dirinya (Nyineb Wangsa). Adalah
Kiyai Agung Petandakan putra pertama pangeran Nyuhaya yang
ikut melarikan diri kearah timur. Adapun janda Gusti Batan Jeruk
dan anak angkatnya I Gusti Oka dapat meloloskan diri dan tinggal di
desa Budakeling (Persraman Danghyang Astapaka).

VII.2.3. Pemberontakan I Gusti Pandhe Basa.

Berikutnya I Gusti Pandhe Basa melakukan pemberontakan karena


tidak menerima adanya skandal seksual dan praktek-praktek
percabulan di kalangan istana. Terjadi hubungan gelap antara I Gusti
Telabah dengan selir Dhalem Bekung I Gusti Ayu Samantiga.
Pertikaian antara kedua pihak ternyata banyak menimbulkan korban
jiwa. I Gusti Pandhe Basa gugur dalam peristiwa ini yang terjadi
tahun 1578 M. Pemberontakan ini membuat Dhalem Bekung
memutuskan mengundurkan diri, pindah ke desa Kapal, disanalah
beliau kemudian membangun puri, karena merasa tidak mampu
mengatur pemerintahan. Dhalem Segening menggantikan kakaknya
80

dinobatkan tahun 1580 M. Sebagai Patih Agung adalah I Gusti


Agung Maruti (I Gusti Agung Widia) putera dari I Gusti Agung
Manginte, sedang sebagai Demung adalah I Gusti Di Ler Prenawa.

VII.2.4. Pemberontakan Di Nusa Penida

Menurut “Babad Blahbatuh” disebutkan bahwa semasa


Pemerintahan Dalem Di Made telah terjadi pemberontakan terhadap
kekuasaan kerajaan Gelgel di Nusa Penida oleg Dalem Bungkut.
Untuk mengatasi pemberotakan tersebut Dalem Di Made kemudian
menugaskan Ki Bogol/ Kyai Jelantik Bongahya untuk bertindak
sebagai pimpinan pasukan Gelgel ke daerah Nusa Penida.

Laskar Gelgel bertolak dari pantai Kusamba dengan pasukan yang


berkuatan 200 orang prajurit pilihan. Perjalanan Kyai Jelantik
disertai oleh istrinya Gusti Ayu Kaler dan senjata sakti andalannya “
Ki Pencok Sahang”. Setelah menempuh satu jam perjalanan maka
sampailah mereka di suatu tempat yang bernama Jungut Batu.
Disana telah menanti rakyat Nusa Penida yang tertindas oleh
pemerintahan Dalem Bungkut di Nusa Penida dan kedatangan laskar
Gelgel sangat diharapkan untuk membebaskan dirinya dari belenggu
kekuasaan Dalem Bungkut.

Perlawanan Dalem Bungkut tidak berlangsung lama karena tidak


mendapat dukungan penh dari rakyatnya sehingga memungkinkan
Kiyai Jelantik berhadapan langsung dengan Dalem Bungkut. Dalam
perang tanding tersebut Dalem Bungkut menderita kekalahan dan
beliau tewas terkena sabetan keris sakti Ki Pencok Sahang. Sisa
pendukungnya kemudian menyerahkan diri karena pimpinannya
sudah tidak ada lagi. Keamanan dan ketentraman daerah Nusa
Penida akhirnya kembali normal dan Kiyai Jelantik kembali ke
Gelgel untuk melaporkannya kepada Dalem Di Made. Keberhasilan
Kyai Jelantik memadamkan pemberontakan di Nusa Penida
mendapat penghargaan dari Dalem Di Made.

VII.2.5. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti


81

Setelah I Dewa Di Made dinobatkan jadi raja bergelar Dhalem Di


Made. Patih Agung I Gusti Agung Maruti melakukan
pemberontakan. Dalam serangan mendadak ini Dhalem tidak dapat
mengadakan perlawanan. Beliau mengungsi ke desa Guliang Bangli,
diikuti oleh seorang puteranya I Dewa Jambe beribu dari treh Jambe
Pule Badung dan rakyat 300 orang. Sementara I Dewa Pemayun
sudah lama menetap di Tampaksiring. Dengan demikian Dhalem Di
Made adalah generasi terakhir dinasti Sri Kresna Kepakisan di
keraton Gelgel. Dhalem Di Made wafat dalam pengungsian di desa
Guliang.

Tampilnya Patih Agung sebagai raja Gelgel mengundang antipati


raja-raja lain di Bali. Masing-masing melepaskan diri dari kerajaan
Gelgel. Muncul kerajaan-kerajaan baru, seperti: kerajaan Mengwi,
kerajaan Gianyar, kerajaan Klungkung, dan Dhalem Sukawati.
Setelah gagal mempertahankan kekuasaanaya di Gelgel, lari ke
daerah Jimbaran, terus menuju Badung bermaksud menghamba
kepada Kyai Tegeh Kori. Oleh Kyai Tegeh Kori disarankan agar
menuju ke Kapal, dimana I Gusti Agung Maruti ada hubungan
keluarga dengan penguasa desa Kapal. Namun desa kapal bukanlah
akhir dari kehidupannya, I Gusti Agung Maruti terakhir mengungsi
ke desa Kuramas (Keramas sekarang), hingga wafat di Puri
Kuramas.

VII.3. Masa keemasan Kerajaan Gelgel.

Dalem Baturenggong dikenal sepenuhnya dari sumber kemudian


hari yang banyak. Dia secara singkat tercatat sebagai raja dalam teks
Usana Bali dan agama Rajapurana Besakih, di bawah nama
Enggong. Keterangan lengkap ditemukan pada abad ke-18 Babad
Dalem sejarah. Menurut teks ini dia adalah putra dari Dalem Ketut,
Raja pertama dari Gelgel, yang memerintah sekitar jatuhnya
kerajaan Majapahit Jawa (awal abad 16). Beliau menepatkan diri
sebagai musuh Pasuruan dan Mataram di Jawa. Nama beliau
semakin kemilau dan bersinar sangat dengan kedatangan Dhang
Hyang Nirartha, Brahmana dari Jawa, yang mendirikan hubungan
82

ideal antara imam dan pelindung dan dilaksanakan kegiatan sastra


yang luas. Nirartha adalah tanggal pada tahun 1537 Masehi dari
salah satu teks, yang tanggal kemudian akan menjadi floruit
perkiraan pemerintahan Dalem Baturenggong itu.

Dalem Watu Renggong yang memerintah dari tahun 1460 sampai


dengan tahun 1550 Masehi, sebagai raja kedua di keraton Gelgel,
oleh beberapa penulis babad dikisahkan sebagai sebuah kerajaan
yang mengalami masa keemasan (Golden Age). Ketika Gelgel
mengalami kejayaan pada masa Dalem Watu Renggong ini
hubungan antara kerajaan Gelgel dengan Majapahit dianggap telah
tiada.

Hal ini disebabkan bukan karena lunturnya kesetiaan raja Bali, tetapi
lebih banyak disebabkan oleh kondisi pusat kerajaan yang sedang
mengalami kekacauan. Dengan demikian kehancuran Majapahit
yang ditandai dengan

Sirna (0) hilang (0) kertaning (4) bumi (1)

yang merujuk pada angka 1400 yaitu 1478 Masehi, dianggap


sebagai sebuah kesempatan bagi Dalem Watu Renggong untuk
mempertahankan tradisi Majapahit dan Agama Hindu agar Bali
dapat dianggap sebagai penerus budaya Majapahit yang pernah
besar di Nusantara. Untuk kepentingan ini Dalem Watu Renggong
mendatangkan Dang Hyang Angsoka, Dang Hyang Astapaka, dan
Dang Hyang Nirartha dalam rangka untuk memperkuat akar-akar
budaya dan agama Hindu.

Sebagai masa yang gemilang, jaman keemasan, maka berbagai jenis


seni budaya berhasil diciptakan untuk memperkaya tradisi budaya
yang ada di Bali. Munculnya banyak karya-karya sastra yang
dikarang oleh I Gusti Dauh Bale Agung dan Dang Hyang Nirarta
sebagai pendeta kerajaan, dapat diduga bahwa berbagai jenis
kesenian juga muncul, karena daya cipta kesenian bersumber pada
karya-karya sastra tersebut. Munculnya seni lukis wayang di
83

Kamasan juga diduga berkembang sejak jaman itu. Berbagai jenis


kesenian seperti Gambuh, Wayang Wong dan seni pertunjukan
Topeng juga sangat pesat perkembangannya pada saat itu. Masa
kejayaan Waturenggong ini dihubungkan oleh penulis sejarah
dengan kemampuannya membendung kuatnya penyebaran agama
non Hindu pada abad XV ke Bali.

Dengan demikian cerita-cerita kepahlawanan seperti: Mahabharata,


Ramayana, Panji dan Babad akan menjadi sajian yang sangat
menarik pada kesenian untuk mengekspos kebesaran
Waturenggong. Seni pertunjukan dikembangkan sebagai wahana
untuk melakukan sosialisasi terhadap ajaran agama untuk
memperkuat tradisi budaya yang berakar pada tradisi budaya
Majapahit.
84

BAB VIII.
Terbentuknya Dinasti Panji Sakti.

VIII.1. Cikal bakal kerajaan Buleleng.

Berawal dari istana Gelgel pada sekitar tahun 1568 dalam suasana
tenang, dimana Raja Sri Aji Dalem Sigening menitahkan putrannya
yang bernama Ki Barak Sakti, supaya kembali ketempat tumpah
darah Bundanya di Den Bukit (Bali Utara). Ki Barak Panji bersama
ibunya yang bernama Siluh Pasek, setelah memohon diri kehadapan
Sri Aji Dalem lalu berangkat menuju Den Bukit diantar oleh empat
puluh orang laskar yang dipimpin oleh Ki Dosot dan Ki Dumpyung..

Perjalanan mereka sangat panjang memasuki hutan lebat yang


sangat mengerikan, juga udara yang sangat dingin dipegunungan,
menembus celah-celah bukit, mendaki Gunung-gunung meninggi,
menuruni jurang-jurang curam, dan akhirnya mereka tiba pada suatu
tempat yang agak mendatar. Pada tempat itulah mereka melepaskan
lelah seraya membuka bungkusan bekal mereka. Sekali mereka
makan ketupat, mereka sembahyang, kemudian mereka diperciki
air/tirta oleh Si Luh Pasek, demi keselamatan perjalanannya,
belakangan tempat itu diberi nama “Yeh Ketipat”. Rombongan Ki
Barak Panji telah tiba di Desa Gendis atau desa Panji dengan
selamat tidak kurang suatu apapun.

VIII.2. Ki Barak Panji Merebut Desa Gendis.

Tercerita keberadaan desa Gendis atau desa Panji saat itu dipimpin
oleh seorang pemimpin yang memerintah dengan sewenang-
wenang, sama sekali tidak menghiraukan kepentingan warga desa
yang dipimpinnya. Ki Pungakan Gendis hanya memerintah untuk
kepentingannya sendiri, menindas rakyat dan setiap hari hanya
berjudi sabungan ayam, tidak perduli dengan masyarakatnya yang
hidup sengsara. Hal itu yang membuat masyarakat Desa Gendis
membenci pemimpinnya. Dalam sebuah kesempatan terjadilah adu
85

kesaktian antara Pungakan dengan Ki Barak Panji, dalam


pertarungan itu Ki Pungakan Gendis tewas.

Mulai saat itu masyarakat Desa Gendis mengangkat Ki Barak Panji


sebagai pemimpin desa, Ki Barak Panji dicintai oleh rakyatnya,
karena beliau bisa memimpin desa Gendis dengan gagah berani,
bersifat adil dan sangat bijaksana. Masyarakat Gendis secara
perlahan mulai tertata kehidupannya, bahu membahu mulai
membangun Desa Gendis sehingga menjadi desa yang maju dan
berkembang dengan sangat pesat.

Pada sebuah kesempatan, terdengar berita ada kapal milik saudagar


Tionghoa yang bernama Ki Mpu Awwang terdampar dan kandas di
Pantai Segara Penimbangan. Seorang peminpin desa yang bernama
Ki Bandesa Gendis sudah mengerahkan semua pengikutnya untuk
menarik perahu tersebut, hal itu dilakukan oleh Ki Bandesa Gendis
karena ada janji dari Ki Mpu Awwang, siapa saja yang bisa
menyelamatkan kapalnya akan diberikan upah setengah dari isi
kapal, yang berupa segala ragam barang yang indah-indah, seperti :
pakaian sutra, cangkir, cawan, piring, pinggan, uang kepeng serta
bermacam-macam ramuan.

Berkali-kali dicoba oleh pengikut Ki Bandesa Gendis menarik


perahu tersebut, tetapi sedikitpun tidak bisa bergerak, hal tersebut
membuat pengikut Ki Bandesa Gendis putus asa. Saat itulah
kemudian Ki Barak Panji yang membawa keris pusaka pemberian
Dhalem dulu, diiringi oleh kedua pengikutnya yang setia, yaitu Ki
Dumpyung dan Ki Dosot tiba. Mungkin karena memang kehendak
yang Maha Kuasa, perahu itu bisa ditarik ketengah samudra oleh Ki
Barak Panji, sehingga terbebas dari jepitan karang. Melihat
kesaktian dari Ki Barak Panji, semua penduduk yang ada di pantai,
termasuk Ki Bandesa Gendis tahu, bahwa Ki Barak Panji bukanlah
orang sembarangan, menjadikan mereka bertambah hormat dan
kagum. Ki Mpu Awwang, sang pemilik perahu kemudian menepati
janjinya, memberikan seluruh isi perahunya kepada Ki Barak Panji
sebelum bertolak pulang ke Jawa.
86

VIII.3. Ki Barak Panji dinobatkan dengan gelar Ki Gusti


Ngurah Panji Sakti.

Berkat kejadian perahu kandas milik Ki Mpu Awwang, dan


keberhasilan Ki Barak Panji menarik perahu itu ke tengah lautan,
membuat nama beliau terkenal sebagai seorang yang sakti, pintar,
pemberani dan welas asih. Beliau semakin dicintai oleh penduduk
Gendis dan sekitarnya. Beliau juga menjadi sangat kaya karena
mendapat hadiah seluruh isi kapal Ki Mpu Awwang.

Hal itulah kemudian yang membuat masyarakat sekitar menobatkan


beliau menjadi raja, dengan Gelar Ki Gusti Ngurah Panji Sakti atau
Ida Anak Agung Aglurah Panji Sakti. Penobatan itu terjadi pada
tahun 1565 Masehi, saat bulan terang, dan matahari condong ke
utara (Uttara Yana).

Tidak beberapa lama kemudian beliau mendirikan istana yang


megah di sebelah utara Desa Panji. Juga memindahkan pusat kota
Gendis ke istananya yang baru, kayangan Bale Agung dan kayangan
lainnya mulai dibangun, disesuaikan dengan letak yang benar
menurut aturan sastra agama. Pada saat dinobatkan itulah beliau
mengambil istri, putri dari Ki Pungakan Gendis yang bernama Ki
Dewa Ayu Juruh

Guna memenuhi kepentingan rakyatnya untuk menghantar


persembahyangan di dalam pura maupun upacara di luar pura, serta
untuk hiburan-hiburan lainnya, maka beliau membuat seperangkat
gamelan gong yang masing-masing di beri nama sebagai berikut :
 Dua buah gongnya di beri nama Bentar Kedaton
 Sebuah bendennya di beri nama Ki Gagak Ora
 Sebuah keniknya bernama Ki Tudung Musuh
 Teropong bernama Glagah Ketunon
 Gendangnya bernama Gelap Kesanga
 Keseluruhannya bernama Juruh Satukad.

VIII.4. Pemerintahan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti.


87

Tidak bisa diceritakan tentang kemasyuran Ki Gusti Ngurah Panji


Sakti yang menjadi raja di keraton Panji, berkat kebijaksanaanya
memimpin wilayah, menjadikan wilayah Panji ramai oleh
pendatang, mereka berasal dari desa-desa tetangga, yang kemudian
memutuskan untuk menetap di Desa Panji.

Tidak hanya masyarakat biasa yang tunduk dan simpati kepada Ki


Gusti Ngurah Panji Sakti. Banyak raja-raja kecil yang dulunya
berkuasa di daerah Buleleng menyatakan diri takluk dan tunduk
kepada beliau. Diceritakan Kyai Alit Mandala, penguasa kawasan
Bondalem, menyatakan tunduk dibawah Ki Gusti Ngurah Panji
Sakti, yang kemudian diangkat oleh beliau, diberikan tugas sebagai
angelurah Bondalem, Buleleng bagian timur.

VIII.5. Puri Sukasada.

Sekitar tahun 1584 Masehi, untuk mencari tempat yang lebih baik
untuk dipakai sebagai ibu kota maka Kota Panji kemudian
dipindahkan kesebelah Utara Desa Sangket. Pada tempat yang baru
inilah Baginda selalu bersuka ria bersama rakyatnya sambil
membangun dan kemudian tempat yang baru ini di beri nama “
Sukasada” yang artinya selalu Besuka ria. Selanjutnya di ceritakan
berkat keunggulan Ki Gusti Panji Sakti, maka Kyai Sasangka Adri,
88

Lurah kawasan Tebu Salah (Buleleng Barat) tunduk kepada


baginda. Karena keinganan yang kuat dari Kyai Sasangka Adri yang
ingin mengabdi kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, Lalu atas
kebijaksanaan beliau maka Kyai Sasangka Adri diangkat kembali
menjadi Lurah di kawasan Bali Utara Bagian Barat.

VIII.5. Laskar Teruna Goak.

Untuk lebih memperkuat dalam memepertahankan daerahnya, Ki


Gusti Ngurah Panji Sakti segera membentuk pasukan yang di sebut
“Truna Goak” di Desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan
memperpolitik seni permainan burung gagak, yang dalam Bahasa
Bali disebut “Magoak-goakan”. Dari permainan ini akhirnya
terbentuknya pasukan Truna Goak yang berjumlah 2000 orang, yang
terdiri dari para pemuda perwira berbadan tegap, tangkas, serta
memiliki moral yang tinggi di bawah pimpinan perang yang
bernama Ki Gusti Tamblang Sampun dan di wakili oleh Ki Gusti
Made Batan.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta putra-putra Baginda dan


perwira lainnya, memimpin pasukan Truna Goak yang semuanya
siap bertempur berangkat menuju daerah Blambangan. Dalam
pertempuran ini Raja Blambangan gugur di medan perang dengan
demikian kerajaan Blambangan dengan seluruh penduduknya
tunduk pada Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Berita kemenangan
ini segera di dengar oleh Raja Mataram Sri Dalem Solo dan
kemudian beliau menghadiahkan seekor gajah dengan 3 orang
pengembalanya kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Menundukkan
kerajaan Blambangan harus ditebus dengan kehilangan seorang
putra Baginda bernama Ki Gusti Ngurah Panji Nyoman, hal mana
mengakibatkan Baginda Raja selalu nampak bermuram durjan.
Hanya berkat nasehat-nasehat Pandita Purohito, akhirnya kesedihan
Baginda dapat terlupakan dan kemudian terkandung maksud untuk
membangun istana yang baru di sebelah Utara Sukasada.

VIII.6. Puri Singaraja.


89

Pada sekitar tahun Candrasangkala “Raja Manon Buta Tunggal”


atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun caka 1526 atau
tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti memerintahkan
rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana di atas
padang rumput alang-alang, yakni ladang tempat pengembala
ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada
ladang Buleleng itu Baginda melihat beberapa buah pondok-pondok
yang berjejer memanjang. Di sanalah beliau mendirikan istana yang
baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu,
jatuh pada tanggal “30 Maret 1604”.

Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “Singaraja”


karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji
Sakti tak ubahnya seperti Singa.
90

BAB IX
Cikal bakal Desa Let

IX.1. Desa Let Jaman Bali Kuno

Desa Let adalah desa tua yang diperkirakan sudah ada


semenjak Masa Perundagian yang merupakan babakan terakhir dari
masa prasejarah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai penemuan yang
ditemukan oleh penduduk desa berupa gelang tangan dan kaki
(Gelang Dukuh), gerabah, juga cawan-cawan dari tembaga, cupu
manik dari perunggu, beberapa arca Dewa, genta kuno dan altar
tempat memuja terbuat dari tembaga, hampir mirip dengan sejumlah
temuan di daerah Gunung Raung tepatnya di Desa Girimulya di
Jawa Timur, antara lain : arca perunggu Tri Murti, arca Rsi
Markandya, tempat Tirta berupa Cupu Manik dari perunggu, Bokor
Perunggu, arca perunggu Bhatara Wisnu, arca perunggu Dewi
Durga, Gentha Pandita dan tujuh bilah keris.

Foto Gelang Tangan dan kaki yang ditemukan oleh penduduk Desa Let,
disekitar areal Pura Dukuh Desa Let.
91

Guci yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal Pura Dukuh
Desa Let.

Foto Cawan yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar areal pura
Dukuh Desa Let.

Kemudian ditemukan juga batu Andesit diperkirakan


dipakai untuk mengolah obat saat itu. Dan terakhir ditemukan juga
beberapa bilah daun gamelan kuna. Penduduk Desa Let diperkirakan
92

terdiri dari orang-orang Aga pengikut Rsi Markandya, seperti yang


termuat dalam beberapa sumber.

Kedatangan beliau yang pertama mengalami kegagalan,


banyak diantara pengikut beliau yang terdiri dari orang-orang Aga
meninggal karena terjangkit wabah penyakit, ada juga yang tewas
karena diterkam binatang buas, karena wilayah Bali pada masa itu
masih terdiri dari hutan belantara yang lebat.

Foto Cawan Tembaga yang ditemukan oleh penduduk Desa Let, disekitar
areal Pura Dukuh Desa Let.

Sisa dari pengikut Rsi Markandya yang meninggal itu,


mendiami wilayah-wilayah pegunungan yang membentang dari
utara sampai keselatan, dari wilayah Taro sampai ke Campuhan
Ubud yang dikenal dengan nama Munduk Taro. Mereka mencari
pemukiman yang dekat dengan sumber air untuk bisa bertahan
hidup dan mulai bercocok tanam, menghentikan kehidupan
berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain untuk
membuka lahan tempat tinggal baru.

Kehidupan bercocok tanam mendorong mereka bertempat


tinggal tetap dan membangun perkampungan dengan organisasi
yang semakin teratur. Perkampungan-perkampungan itu disebut
93

dengan Kuwu atau Karang dengan anggota berkisar dari 10 sampai


25 kepala keluarga, dikepalai oleh seorang tetua yang bertugas
mengatur perekonomian dan keagamaan. Mereka juga sudah mulai
melakukan pemujaan kepada alam dan arwah leluhur, dengan
tempat pemujaan yang masih sederhana, terbuat dari batu yang
bersusun-susun menyerupai altar, belum memakai bangunan suci
atau berpagar. Mereka mulai menanam berbagai macam tanaman
yang cepat menghasilkan seperti umbi-umbian dan biji-bijian.

Di sebuah tempat di wilayah bagian utara barisan bukit


Taro, bermukim 12 orang kepala keluarga Aga yang membentuk
sebuah kuwu atau karang, tempat yang subur, diapit oleh 2 buah
aliran sungai, tempat yang sangat dekat dengan sumber air di
sebelah timur Pekuwuan atau Pekarangan, pekuwuan atau
pekarangan yang diitari oleh hutan lebat penuh dengan semak dan
pohon perdu membuat Pekuwuan atau Pekarangan itu tersembunyi
dari dunia luar.

Hubungan interaksi antara penduduk terjalin rapi dengan


Tetua yang bijaksana. Mereka masih sering melakukan komunikasi
dengan penduduk Aga yang juga mendiami sepanjang aliran sungai
yang mengapit dataran perbukitan tersebut. Apabila ada rencana
Raja berencana akan melakukan perburuan di Hutan maka
dikirimlah kurir dari Kerajaan menuju ke Wilayah Peujung yang
sekarang dikenal dengan nama Pujung (Wilayah ujung desa atau
ujung wilayah perburuan Raja), semua perintah Raja dibacakan di
sana, agar dilaksanakan oleh penduduk Pekarangan. Utusan Raja
atau kurir tersebut memberikan perintah, agar masyarakat
Pekarangan bersiap mengiringi raja dan para Mantri saat melakukan
perburuan. Termasuk juga menyiapkan tempat untuk raja dan para
pengiringnya bermalam.

Pada masa ini diperkirakan oleh para ahli sudah terjadi


perdagangan dengan cara tukar barang atau barter. Wilayah untuk
melakukan barter itu dilakukan di daerah bagian selatan bukit,
dengan melalui jalan di tepian sungai yang berair dangkal. Mereka
94

kebanyakan bermata pencaharian dengan berladang, berburu dan


menangkap ikan. Kaum perempuan tinggal di kuwu-kuwu
menyiapkan makanan dan membuat pakaian, yang sebagian besar
dipintal dari serat pepohonan sejenis palem. Mereka hidup tentram
dan berlimpah sumber makanan.

Wilayah Bali diantara Tahun 882 sampai dengan Tahun 955


Masehi, masih belum ditemukan nama raja yang berkuasa,
rentangan waktu ini disebut dengan periode Singhamandawa, hal ini
ditunjang dengan prasasti-prasasti pada periode itu dikeluarkan oleh
Panglapuan di Singamandawa. Menurut R. Gorris, ada 7 buah
prasasti yang yang dikeluarkan tanpa nama raja atau pejabat yang
membuatnya, prasati itu antara lain :

 Prasasti Sukawana AI (804 Saka),


 Prasasti Bebetin AI (818 Saka),
 Prasasti Trunyan AI (833 Saka),
 Prasasti Trunyan B (833 Saka),
 Prasasti Bangli, Pura Kehen A,
 Prasasti Gobleg, Pura Desa I (836 Saka),
 Prasasti Angsri A.

Dari ketujuh prasasti tersebut yang sudah aus dimakan


waktu, banyak diterangkan kehidupan di daerah lereng bukit
Cintamani (Kintamani). Bangunan suci disebut dengan Ulan, terdiri
dari daerah yang disakralkan dengan pokok tempat pemujaan
memakai tumpukan batu sebagai altar. Pemimpin pemerintahan dan
keagamaan pada saat itu disebut dengan nama Sarbwa, Dinganga,
Nayakan, Makarun, dan Manuratang Ajna. Mereka mempunyai
tempat yang sangat dihormati oleh masyarakat, jabatan-jabatan ini
tetap bertahan selama periode Singhamandawa, yakni ketika
prasasti-prasasti dikeluarkan di panglapuan di Singhamandawa
(882-942).

IX.2. Desa Let Jaman Kedatangan Para Rsi Agung


95

Dalam Pustaka Kuno, Babad Bali dinyatakan sekitar Tahun


716 Masehi berangkatlah tiga orang guru agama dari Jawa ke Bali,

 Hyang Gni Jaya yang kemudian berparahyangan di Gunung


Abang,
 Mpu Withadharma berparahyangan di Gelgel, dan
 Sang Atapa Hyang atau Sang Kulputih berparahyangan di
Besakih.

Para Guru Agama inilah yang mengajarkan tentang berbagai


hal yang berkaitan dengan Agama Brahma. Memberikan
pengetahuan tentang kaidah agama dan cara memuja Tuhan dalam
berbagai sekte yang banyak terdapat di Bali. Yang dianut oleh
penduduk yang tinggal dalam kuwu-kuwu, atau karang-karang,
terutama di wilayah perbukitan yang membentang dari selatan ke
utara.

Dalam bait di Lontar Calonarang dipaparkan bahwa pada


suatu hari yang baik Rabu Kliwon wuku Pahang, Maduraksa
(tanggal ping 6), Candra Sengkala Agni Suku Babahan atau tahun
Saka 923 (1001 Masehi) kembali datang seorang Mpu dari Kediri
Jawa Timur, beliau adalah Mpu Kuturan, tempat yang pertama kali
beliau kunjungi adalah Hutan Cekik yang berlokasi di daerah
pertigaan Negara dan Singaraja. Dari Cekik beliau berjalan kaki
menuju istana Raja Udayana Warmadewa yang ketika itu berada di
wilayah Serai (dekat Kintamani). Di sekitaran Tahun 1011 beliau
menghadap Raja Udayana Warmadewa. Ida Mpu Kuturan, lama
menetap di Serai, mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan
keagamaan kepada penduduk sekitar Serai, termasuk di dalamnya
adalah daerah Pakuwuan atau pekarangan.

Mulai saat itulah kemudian didirikan Kayangan Puseh dan


Kayangan Desa di desa-desa sekitar Serai. Kahyangan-kahyangan
itulah yang sampai saat ini berdiri megah di semua desa-desa adat di
Bali. Selain Kahyangan Desa dan Puseh, Sang Mpu juga
menyarankan penduduk untuk membangun Sanggah di setiap
96

pekarangan rumah, utamanya membangun Pelinggih Rong Tiga atau


Kemulan, sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dalam prebhawa beliau sebagai Tri Murti.

Dari wilayah Serai beliau kemudian pindah ke Bedahulu


(Bedulu) mengiringi Raja Udayana Warmadewa bersama
permaisurinya Gunapria Dharmapatni. Ida Mpu Kuturan, selain
sebagai Purohita (pendeta kerajaan, penasihat Raja), juga sebagai
Senapati dengan gelar: ‘Pakiran-kiran I Jero Makabehan’. Dalam
kedudukan beliau sebagai Senapati Kerajaan Bali, beliau berhasil
menata kehidupan masyarakat Bali dengan jalan menyatukan 9 sekte
yang ada di Bali:

 Sekte Pasupata,
 Sekte Linggayat
 Sekte Bhagawata,
 Sekte Waisnawa,
 Sekte Indra,
 Sekte Saura,
 Sekte Brahma,
 Sekte Saiwa,
 Sekte Bhairawa.

Persatuan itu diikrarkan di Pura Samuan Tiga, dan konsep


beliau dikenal sebagai konsep Trimurti.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7


prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu
Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut
kini masih terdapat:

1. Di desa Serai, Kintamani, Bangli, bertahun Caka 915 atau


993 Masehi
2. Di desa Batur, Kintamani, Bangli, bertahun caka 933 atau
1011 Masehi
97

3. Di desa Sambiran, Tejakula, Buleleng, bertahun caka 938


atau 1016 Masehi
4. Di desa Batuan, Sukawati, Gianyar bertahun caka 944 (1022
Masehi)
5. Di desa Ujung, Karangasem bertahun caka 962 (1040
Masehi)
6. Di Pura Kehen Bangli, Bangli, karena sudah rusak tidak
tampak tahunnya
7. Di desa Buahan, Kintamani, Bangli bertahun caka 947
(1025 Masehi)

Foto jenis wilayah Kahyangan Puseh yang Mretiwi (Puseh Lembau)

Dengan dekatnya wilayah-wilayah ditemukan prasasti


tersebut dengan wilayah Pekarangan atau Pakuwuan, dapat
diprediksi daerah Pekarangan pada jaman ini menjadi daerah
perlintasan penyebaran paham baru yang dibawa dari Jawa oleh
Mpu Kuturan. Hal itu diperkuat dengan banyaknya ditemukan
barang-barang kuno kisaran tahun 900 sampai 1100 Masehi.
Utamanya paham Tri Murthi yang terkenal sampai sekarang. Daerah
Pekarangan menjadi daerah yang dihuni oleh para penduduk yang
mendapat tugas khusus menjaga kawasan hutan tempat Sang Raja
berburu.

Pada masa pemerintahan sekian raja di Bali, keadaan


Pakuwuan atau Pekarangan semakin berkembang, walaupun
98

berpenduduk sedikit, tetapi hutan disekitarnya memiliki binatang


buruan yang sangat banyak untuk masing masing penguasa, daerah
sekitar Pakuwuan atau Pekarangan itu dijadikan tempat berburu oleh
para penguasa, dengan nama “anak mabwatthaji di buru”, masing
masing daerah mempunyai tugas masing-masing, terutama
penduduk yang menepati tanah ‘Drwyahaji’ (Milik Raja / Penguasa)
seperti yang termuat dalam prasasti Sawan A I, Prasasti Tengkulak
A, Prasasti Buwahan B.

Tempat Pemujaan bercorak Mretiwi (Puseh Lembau)

Di daerah Pakuwuan atau Pekarangan sudah tertata dengan


baik, ada bagian daerah pemujaan disebelah utara desa, daerah
bercocok tanam dengan palawija di bagian timur desa, rumah-rumah
penduduk berjejer disebelah barat desa dekat dengan sungai, berarti
pada masa pemerintahan raja-raja Bali, daerah ini sudah tertata
dengan sangat baik. Beberapa tempat pemujaan dibangun di hulu
desa, seperti Kayangan Puseh Agung dan Kayangan Dalem Alit dan
beberapa kayangan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
kemanusiaan, misalnya Hulu Tegal, Hulu Tukad, Hulu Pati, masing-
masing mempunyai makna tersendiri, Di daerah sumber air juga
berdiri kayangan sederhana sebagai pemujaan terhadap penguasa
sumber air.

IX.3. Desa Let Jaman Dhalem Bali


99

Enam tahun setelah Astasura Ratna Bhumi Banten


mengeluarkan prasasti Langgahan (1259 Saka), yakni pada tahun
1265 Saka (1343) ekspedisi tentara Majapahit yang dipimpin oleh
Gajah Mada menyerang Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan
Bali, setelah lebih dahulu bisa menewaskan dengan siasat, Patih Bali
yang terkenal, yaitu Kebo Iwa atau Kebo Taruna di Jawa. Maha
Patih Gajah Mada, dengan dibantu oleh para Senapati Majapahit,
diantaranya : Arya Damar, Kyai Sentong, Kyai Kutawaringin, Kyai
Leteng, Kyai Kenceng dan Kyai Belog. Perang besar berkecamuk di
daerah Tengkulak, antara tentara Majapahit dan Tentara Bali.
Tercatat di Tahun 1343 Masehi, Prabu Gajah Waktra, Patih Kebo
Mayura, Patih Gudug Basur gugur dalam pertempuran di
Tengkulak. Patih Pasung Grigis menyerah dan kemudian diberikan
tempat di Batuan, menduduki jabatan sebagai Senapati Agung.
Tetapi kemudian Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam
peperangan saat menyerang Sumbawa. Saat itu Raja Sumbawa
Dedelanatha tidak bersedia takluk di bawah kekuasaan Majapahit,
maka dikirimlah Laskar Bali dibawah pinpinan Ki Pasung Grigis ke
Sumbawa. Senapati Agung Pasung Grigis gugur dalam adu
kesaktian dengan Raja Sumbawa, demikian juga dengan Raja
Sumbawa. Setelah Bali takluk di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit, jadilah Pulau Bali tanpa pemimpin. Gejolak-gejolak
terus terjadi, saling curigai dan saling bunuh, banyak penduduk yang
merasa kuat berlaku sewenang-wenang, terutama yang menguasai
ilmu kebal dan ilmu hitam. Dalam masa kekosongan pemerintahan
itu Pulau Bali menjadi sangat mencekam bagi penduduknya sendiri.

Dalam keadaan seperti itu, munculah niat para Pemuka Bali


memohon pemimpin untuk Bali ke Majapahit. Dikirimlah utusan
Bali ke Majapahit, dipimpin oleh Bandesa dan Pasek. Permohonan
itu dikabulkan oleh Raja Majapahit, dikirimlah Dhalem Ketut
sebagai Adipati Bali di tahun 1345 Masehi, bersamaan dengan
pengangkatan saudara-saudara Dhalem Ketut di berbagai daerah,
seperti : Dhalem Wayan diangkat menjadi Adipati Blambangan,
Dhalem Made di Solo, Dhalem Nyoman di Pasuruan, dan Dhalem
Istri di Sumbawa. Dhalem Ketut kemudian bergelar Dhalem Sri
100

Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali


Dwipa pada tahun 1350 Masehi atau 1272 Isaka. Oleh penduduk
Bali, Beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dhalem
Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali
rombongan dari Majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke
arah timur laut menuju Samprangan

Dalam pemerintahannya Dhalem Sri Kresna Kepakisan


didampingi oleh Arya Kepakisan / Sri Nararya Kresna Kepakisan
yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti
Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri.
Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu
desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di
Bali menggunakan nama yang hampir sama yaitu Adipatinya
bergelar Dhalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih
agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna
Kepakisan. Dalam pemerintahannya Dhalem didampingi oleh Ki
Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota
Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan).
Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah
Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai
perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk
menyerang kerajaan Bedahulu.

Dari Babad Dhalem diketahui bahwa dalam menjalankan


pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dhalem
Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan
dan sebilah keris yang bernama Ki Ganja Dungkul yang
memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan
Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai
symbol atau lambang kekuasaan yang sah.

Semasa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Samprangan


diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali
Aga seperti:
101

 Desa Batur,
 Desa Cempaga,
 Desa Songan,
 Desa Kedisan,
 Desa Abang,
 Desa Pinggan,
 Desa Munting,
 Desa Manikliyu,
 Desa Bonyoh,
 Desa Katung,
 Desa Taro,
 Desa Bayan,
 Desa Tista,
 Desa Margatiga,
 Desa Buwahan,
 Desa Bulakan,
 Desa Merita,
 Desa Wasudawa,
 Desa Bantas,
 Desa Pedahan,
 Desa Belong,
 Desa Paselatan,
 Desa Kadampal dan beberapa desa yang lain.

Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dhalem


merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan
bahwa Dhalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk
memecahkan persoalan ini, Rakryan Maha Patih Gajah Mada
memberikan nasehat kepada Dhalem Kresna Kepakisan, serta
simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris
pusaka bernama Ki Lobar disamping keris pusaka yang bernama Ki
Tanda Langlang yang terlebih dahulu beliau bawa.

Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia,


memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak
102

kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah


pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan
tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi
raja diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu
oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja.
Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara
Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra. Selain itu ada
juga jabatan penting yang diberi nama Dharma Dyaksa, yang
bergerak dalam mengurus masalah keagamaan, Dharma Dyaksa
dibagi menjadi 2 yaitu Dharma Dyaksa Kasaiwan untuk Agama
Siwa dan Dharma Dyaksa Kasogatan untuk Agama Budha.

Akibat Kerajaan Samprangan yang berdiri tidak terlalu


lama, juga karena pengaruh pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi di beberapa wilayah Bali, membuat kehidupan beragama
tidak berkembang terlalu pesat. Agama yang dianut pada masa itu
adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara
keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting,
Agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena
menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih
dulu dari agama Budha.

Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-
Sidhanta dengan konsep Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang
Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi
akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali dengan
nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu:

 Pura Desa atau Bale Agung sebagai Sthana dari Dewa


Brahma,
 Pura Puseh Sthana Wisnu dan
 Pura Dalem Sthana Siwa.

Selain Pura-Pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta


manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci
103

leluhur yakni Bhatara atau Bhatari yang disebut: Sanggah atau


Pemerajan, Dadia atau Paibon, Padharman.

Dhalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte


Waisnawa, dari Sub Sekte Bhagawata, mengingat nama Kresna
yang beliau pergunakan sehingga wajarlah dalam pemerintahan nya
beliau didampingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga
Waisnawa yang di Bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa.

Pada jaman ini seni budaya berkembang dengan mengambil


budaya-budaya Bali kuno dan Budaya Jawa Majapahit, yang
kemudian dipadukan. Seperti diketahui, pada masa Bali Kuno sudah
mengenal berbagai jenis kesenian, seperti: lakon topeng, dimana
pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama Pertapukan. Demikian
pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang
disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti
Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang
kendang, peniup seruling dan lain-lainnya Ketika masa Samprangan
masyarakat Bali telah mengenal beberapa Kitab Kesusastraan yang
berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka
dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama.

Beberapa Kitab Kesusastraan yang dikenal ketika masa


Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharata Yuddha,
Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain. Pada masa ini wilayah
pekarangan dan sekitarnya berada di wilayah penguasa Cagahan,
sehingga kehidupan beragama dan kebudayaan tumbuh subur di
Pekarangan. Walaupun daerah Pekarangan masih dikelilingi oleh
hutan yang lebat, terutama ditumbuhi oleh pohon enau dan pohon
rotan yang berduri. Tetapi masih tetap dipakai sebagai daerah
berburu oleh raja dan para bangsawan Bali.

Dhalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373


Masehi atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua
yaitu Dhalem Wayan, bergelar Dhalem Sri Agra Samprangan. Di
awal pemerintahan Dhalem Sri Agra Samprangan (tahun 1373
104

Masehi atau 1295 Saka) terasa situasi di Puri Samprangan


memburuk, yaitu adanya upaya mengadu domba Raja dengan adik-
adik beliau yang dilakukan oleh para Menteri dan pembantu dekat
Raja. Untuk menghindari pertengkaran, maka kedua adik Dhalem
yaitu Dhalem Di-Madia dan Dhalem Ketut, memilih tinggal di luar
istana. Dhalem Di-Madia membangun istana dan bermukim di Desa
Tarukan, Pejeng, oleh karena itu beliau bergelar : Dhalem Tarukan.

Dhalem Ketut, tidak menetap. Beliau berpindah-pindah dari


satu Desa ke Desa lain, menyamar sebagai penjudi ayam aduan,
penduduk lalu menjuluki beliau : Dhalem Ketut Ngulesir. Selain
untuk menghindari pertengkaran, beliau berdua juga bermaksud
menyelidiki dukungan rakyat Bali (Bali-Aga) terhadap
pemerintahan Samprangan serta mengadakan pendekatan dengan
rakyat. Dhalem Tarukan memilih Desa Tarukan di Pejeng sebagai
istana, karena dekat dengan rakyat Bedahulu yang sebagian besar
masih belum mengakui pemerintahan Samprangan.

Karena sebuah kesalahpahaman terjadilah perselisihan


antara Dhalem Samprangan dengan Dhalem Tarukan, istana
Tarukan di Pejeng diserang oleh Dulang Mangap Gelgel sampai
hancur, Dhalem Tarukan kemudian mengungsi, meninggalkan istana
Tarukan menuju Desa Taro dan lama bersembunyi di daerah
Pekarangan, beliau sangat dicintai oleh penduduk keturunan Aga
karena memahami sekali ilmu bercocok tanam, beliau berbaur
dengan penduduk Pekarangan dan wilayah sekitarnya, terutama
sekali penduduk yang kesehariannya sebagai petani, cukup lama
beliau menyamar menjadi penduduk biasa di daerah Pekarangan,
sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju

 Tapuwagan,
 Desa Pantunan,
 Desa Poh Tegeh (Suter),
 Pedukuhan Bunga,
 Sekahan,
 Sekardadi,
105

 Panarajon,
 Balingkang,
 Sukawana,
 Desa Penek,
 Baan,
 Temangkung,
 Cerucut,

Dan sampai meninggal beliau di Sukadana, daerah pesisir


utara Pulau Bali. Saat-saat terakhir beliau ditemani oleh pengikut
setia beliau, antara lain :

 Ki Pasek Jatituhu,
 Ki Pasek Bunga,
 Ki Pasek Darmaji,
 Ki Pasek Ban,
 Ki Pasek Daya,
 Ki Pasek Penek,
 Ki Pasek Temakung,
 Ki Pasek Sikawan,
 Dukuh Bunga,
 Dukuh Jatituhu, dan
 Dukuh Pantunan.

Dalam Babad Dhalem, Babad Buleleng dan Babad Jelantik


ada diceritakan ditahun 1553 Masehi tahun Saka 1475, Setelah masa
pemerintahan Dhalem Sagening berakhir, akhirnya Gelgel
diperintah oleh Dhalem Dimade sekaligus sebagai raja terakhir masa
kerajaan Gelgel. Saat-saat damai yang pernah dirintis oleh Dhalem
Segening tidak dapat dipertahankan oleh Dhalem Di Made. Hal ini
disebabkan karena Dhalem Di Made terlalu memberikan
kepercayaan yang berlebihan kepada Patih Agungnya yang bernama
Ki Gusti Agung Maruti. Sehingga pembesar-pembesar lainnya
memilih untuk meninggalkan Puri. Terjadi gejolak di Gelgel saling
curiga mencurigai terjadi di golongan istana, karena siasat dari Patih
106

Agung untuk menyingkirkan para pembesar istana yang setia kepada


Dhalem.

Berkat siasat Patih Agung Dalem termakan isyu sehingga


curiga dengan Ki Gusti Jelantik, beberapa kali pembunuh bayaran
dikirim ke rumah Kyai Jelantik, Tetapi semua gagal. Keadaan
seperti itulah yang membuat Kyai Jelantik memutuskan meminta
bantuan Penguasa Buleleng yang masih keluarganya, untuk
menolong seluruh keluarga dan para pengikutnya keluar dari
wilayah Jelantik.

Maka oleh Penguasa Buleleng Ki Gusti Panji Sakti,


dikirimlah bala yuda pilihan yang terdiri dari pasukan Teruna Goak,
termasuk prajurit-prajurit tambahan yang berasal dari daerah
taklukan Buleleng, penuh sesak sepanjang jalan tidak terhitung
jumlah Laskar Buleleng. Jumlah senjatanya yang dibawa tidak
terhitung, lengkap dengan pelurunya, diantar oleh pemimpin
pasukan masing masing, sama sama mengendarai kuda, berjalan di
depan, kemudian datang pasukan perancak emas, kira kira
sebanyak enam ratus orang, dibelakangnya pasukan berencong
merah menyala, dibelakang pasukan berencong ada pasukan tulup
yang bertahtahkan emas, kira kira sebanyak empat puluh orang,
dibelakangnya lagi pasukan bandrangan sebanyak empat puluh
orang, yang merah sepuluh, putih sepuluh, rijasa sepuluh, dan
lainnya berwarna biru, dibelakangnya lagi Teruna Goak sebanyak
seratus orang, memegang perisai yang menyala, semuanya
berjengot, dibelakangnya pasukan kelewang yang sudah terhunus
dan bertahtahkan emas, sebanyak dua puluh. Di belakangnya
tampak Ki Gusti Ngurah Panji dengan mengendarai kuda putih,
dipayungi dengan payung warna putih, memegang senjata
andalannya bernama Ki Tunjung Tutur, diapit oleh patihnya yang
perkasa Ki Gusti Tamblang Sampun dan Ki Gusti Made Batan.
Dibelakangnya ada pasukan tombak kira kira sebanyak delapan
ratus orang, sama sama putih menyala.
107

Pergerakan Laskar Buleleng tersebut bertujuan memberikan


bantuan mengawal perjalanan Ki Gusti Ngurah Jelantik dan
keluarga keluar dari Jelantik wilayah Gelgel kearah barat menuju
Blahbatuh. Dari pusat pemerintahan Buleleng, Pasukan Buleleng
terus bergerak kearah selatan, melewati dataran pegunungan Batur
di Kintamani terus menuju arah selatan, melewati daerah Pludu dan
Abuan. Penduduk Pekarangan yang melihat banyak Laskar
membuka kemah di perbatasan utara desa mereka, ketakutan dan
panik, segera mereka mengemasi barang-barang mereka lalu
mengungsi keselatan desa, ke wilayah yang terlindung oleh lebatnya
hutan enau dan rotan yang berduri (Bandil). Mereka lari
menyelamatkan diri karena ketakutan, ada yang kearah selatan,
kearah timur dan kearah barat, terpecah-pecah dalam kelompok-
kelompok kecil. Mereka hanya membawa barang-barang keperluan
hidup saja, sementara barang-barang lain yang mereka anggap tidak
terlalu perlu, berupa peninggalan-peninggalan leluhur, mereka
tanam di sekitar parahyangan, agar mudah dikenali.

Patih Den Bukit Ki Tamblang Sampun yang melihat banyak


penduduk Pekarangan mengungsi dari desanya sendiri, karena
kedatangan Laskar Buleleng, kemudian memerintah kan beberapa
Laskar untuk menemui penduduk agar menerangkan bahwa Laskar
Denbukit tidak mempunyai niat buruk terhadap Penduduk
Pekarangan. Tetapi penduduk lebih memilih untuk mengungsi
keselatan di perbatasan desa Pekarangan dan wilayah hutan
perburuan raja yang masih berupa belantara. Setelah semua
penduduk berkumpul dibuatlah perkampungan baru dengan nama
Let, yang artinya wilayah perbatasan bagian belakang. Berasal dari
bahasa Kawi yang artinya antara, perbatasan, atau ekor (Menurut
kamus Jawa Kuno P.J. Zoetmulder). Penduduk juga mengartikannya
karena daerah hutan itu masih perawan, sulit dilalui, kalau ingin
memasuki desa harus dengan berhati-hati, bahasa Balinya Kelet,
yang berarti Ramai, Sesak atau Penuh (Menurut Kamus Bali I Gusti
Made Sutjaja). Beberapa akhli juga mengartikan Kata Let bermakna
Tua atau lampau.
108

Di desa mereka yang baru inilah penduduk Pekarangan


membangun desa baru, akan tetapi masih tetap mengadopsi tata
letak dan jajar desa seperti jajar desa di pekarangan. Yaitu Jajar
Desa Hulu Teben. Dengan Konsep Jalan desa membatasi dua jejer
rumah warga yang dibangun dikiri dan kanan jalan desa. Konsep
pemade dan Penyoman itu sampai saai ini terlihat dengan jelas di
desa Let. Jalan desa membentang dari utara keselatan, ujung utara
sebagai hulu dengan beberapa Kayangan. Diujung selatan atau
Teben dibuatalah setra atau kuburan untuk masyarakat desa yang
tutup usia. Apabila dikaitkan dengan konsep kehidupan, dihulu atau
Luanan adalah tempat mencari penghidupan, untuk makan dan
minum (diibaratkan kepala manusia). Di dalam desa makanan dan
minuman itu diolah (diibaratkan Badan atau Perut).

Sementara di Teben atau ujung desa bagian selatan adalah


tempat membuang segala bentuk hasil yang sudah tidak dipakai lagi
(diibaratkan sebagai kaki atau anus manusia). Ketiga hal diatas,
antara memasukkan makanan, mengolah dan membuangnya harus
seimbang, agar mendapatkan badan yang benar-benar sehat.
Demikian pula konsep dari desa Hulu Teben di Desa Let, sepanjang
konsep memuja Tuhan, saling menghormati antara warga desa, dan
sayang serta selalu perduli dengan alam sekitar, desa akan menjadi
tentram. Setelah proses itulah kemudian Pekarangan berubah nama
menjadi Let, sampai saat ini.
109

BAB X
Desa Let Jaman Kekinian

X.1. Logo Desa Let dan Artinya

Arti Lambang Desa Pakraman Let

1. Segi lima : Desa Pakraman Let berpedoman kepada


Pancasila sebagai dasar dan jiwa Negara
Republik Indonesia.
2. Ongkara : Krama Desa Pakraman Let mengutamakan
dan menyepakati bahwa kasucian Agama
Hindu sebagai jiwa dari Desa Pakraman
Let.
3. Padi dan kapas : Ketika membangun dan mencari
Jagadhita, Krama Desa Pakraman Let
tidak henti-hentinya berusaha
meningkatkan Tri Boga Yaitu: Bhoga,
Upabhoga, Dan Paribhoga.
4. Tiga gelang : Selain mengakui dan mengukuhkan
Pancasila, Desa Pakraman Let Juga
Mengakui Tri Hita Karana.
110

5. Padma : Krama Desa Pakraman Let mengutamakan


Agama Hindu dan Seni Budaya Bali yang
sudah terkenal sampai ke Luar Negeri
6. Slogan “TANI UBHAYANING PRAJAHITA”

Kesejahteraan Krama Desa Pakraman Let


seperti kesejahteraan petani, dapat
menciptakan kesejahteraan bagi Bangsa
dan Negara.

X.2. Wilayah dan Penduduk Desa Pakraman Let.

Melalui catatan dari berbagai sumber yang didapat, bisalah


dipastikan bahwa Desa Pakraman Let adalah salah satu dari sekian
banyak desa tua Bali Aga, walaupun sebelumnya bukan bernama
Desa Let.

Wilayah ini adalah tempat bermukimnya para pengikut Sang


Maha Rsi Markandya, disamping daerah-daerah lainnya di
sepanjang perbukitan Taro sampai Ubud. Sepanjang perjalanan
jaman kemudian berkembang menjadi desa yang makmur dan tertata
dengan sangat baik.

Para penduduk desa tidak pernah mengenal lelah melalui


rasa kebersamaan Menyama Braya membangun desa, baik secara
fisik maupun secara spirit. Terhitung sampai bulan Desember 2012,
terdapat 58 pekarangan desa yang resmi, ditambah dengan
penduduk yang mendiami wilayah ladang (Memondok) di sekitar
Desa Pakraman Let. Desa Let memiliki 51 orang Pengayah Desa,
dan 114 orang atau kepala keluarga sebagai Pengayah Banjar.

Desa Pakraman Let tercatat memiliki Laba pura yang


tersebar di beberapa tempat, diantaranya :

 Laba Pura Desa Let No 66 II dp, 0,970


 Laba Pura Desa Let No 66. 29 dp.PD III. 0,640.
111

 Laba Pura Dalem Let No 67. 16 dp. II. 0,660


 Laba Pura Dalem Let No 67. 15. dp II. 0,400 dan
1.100
 Laba Pura Dalem 71,5 di Banjar Tengah Kauh
 Laba Pura Desa 82,5 di Banjar Susut Kaja
 Laba Desa Pakraman Let 1,76 di Banjar Tengah
Kauh.
 Laba Desa Pakraman Let 1,26 di Banjar pelapuan.

Gambar tanah Laba Desa Pakraman Let


112

Denah Desa Let

Dalam usaha memajukan desa secara fisik dan spiritual Desa Let
dipimpin oleh Manggala Kayangan (Pemangku), Manggala Adat
(Para Juru Adat), dan Manggala Dinas (Para Juru Dinas). Saat ini
Desa Let dipimpin oleh beberapa pemuka masyarakat yang duduk
dalam ke Para Juruan,

1. Bendesa : I Made Doni


2. Penyarikan : I Made Sanu
3. Pekaseh : I Wayan Munjuk
4. Kelihan Dinas/Adat : I Made Tekek
5. Kelihan Subak/Wakil Kelihan : I Wayan Nita
6. Hansip/Ketua Pecalang : I Made Eguk
7. Hansip/Wakil Pecalang : I Made Raka
8. BPD : I Made Rika
9. LPM : I Ketut Masuk Yasa
113

Foto Para Juru Adat dan Dinas Desa Let

Dari keterangan pemuka masyarakat Desa Pakraman Let, diketahui


beberapa pemimpin yang pernah duduk dalam kepengurusan Desa
Adat maupun Dinas (Para Juru Adat dan Dinas), antara lain :

Bendesa Adat Desa Pakraman Let Taro.

1. I Gejen
2. I Made Gundil.
3. I Wayan Genjir.
4. I Wayan Saip
5. I Made Genjing.
6. I Made Malen.
7. I Made Pageh.
8. I Made Kantor.
9. I Wayan Krama.
10. I Made Pageh.
11. I Wayan Badung.
12. I Nyaman Jodog.
13. I Made Doni.

Kelihan Adat atau Kelihan Dinas Let Taro.


114

1. I Wayan Godo.
2. I Ngawir
3. I Wayan Nawi.
4. I Made Mangkreg.
5. I Nyoman Legoh.
6. I Wayan Murya.
7. I Nyoman Rinca.
8. I Wayan Puja.
9. I Ketut Gati.
10. I Ketut Kerug.
11. I Made Tekek.

Foto anggota Pecalang Desa Pakraman Let

X.3. Pura Kayangan Desa Pakraman Let

Desa Pakraman Let berbatasan dengan Desa Abuan


Kintamani di sebelah utara desa, berbatasan dengan Desa Pisang di
wilayah timur, Desa Patas di sebelah selatan, dan Desa Tebuwana di
sebelah barat desa.
115

Foto Para Pamangku / Pinandita Desa Pakraman Let

Ada 9 Kayangan Desa yang diempon oleh Desa Pakraman


Let, antara lain : Pura Dalem Suci / Dalem Lingsir, Pura Dukuh
(Pura Pucak Andong), Pura Masceti, Pura Taman (Pesiraman Ratu
Puseh), Pura Tegal Suci, Pura Puseh dan Bale Agung, Pura
Pengangon dan Pura Dalem Pingit.

Dalam usaha warga menjaga adat istiadat terutama sekali


menyiapkan segala bentuk upakara di kahyangan-kahyangan Desa
Pakraman Let, dilaksanakan oleh para Serati atau tukang banten
Desa Pakraman Let, diantaranya :

X.3.1. Pura Dalem Suci / Dalem Lingsir

Pura Dalem Suci terletak di wilayah utara Desa Pakraman


Let, disebelah barat jalan desa. Dengan piodalan jatuh pada setiap
Saniscara Kliwon Klurut. Jajar Pelinggih yang ada di Pura Dalem
Suci antara lain:

1.Di wilayah Uttama Mandala

 Padma
116

 Piyasan
 Padma Pelinggih Ratu Sakti
 Padma Pelinggih Ratu Lingsir

Di wilayah Nista Mandala

 Padma Pelinggih Sangging Ratu Sakti/ Pelinggih


Kyayi Bangkalan

Padma Pelinggih Sangging Ratu Sakti Pelinggih Kyai Bangkalan

Pelinggih Piyasan Dalem Suci


117

Denah Pura Dalem Lingsir atau Dalem Lingsir

X.3.2. Pura Dukuh Sakti (Pura Pucak Andong)

Pura Dukuh Sakti atau dikenal dengan nama Pura Pucak


Andong, masih terletak di hulu desa, di timur jalan Desa Let.
Dengan piodalan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wariga di
Pelinggih Padma Pucak Andong, Anggara Kliwon Julungwangi, di
Pelinggih Padma Dukuh Sakti dan Saniscara Kliwon Kuningan di
Pelinggih Padma Siwa Budha.
118

Pelinggih Mertiwi

Di sebelah utara pura tumbuh pohon Rijasa, daerah timur


pura tumbuh juga pohon Rijasa, Pohon Bunut dan Pohon Enau
(Jaka). Di sebelah barat pura tumbuh Pohon Rijasa dan

Arca Ratu Dukuh Sakti


119

Denah Pura Dukuh Sakti

Pohon Sambuk. Pura Dukuh Sakti atau Pura Pucak Andong


hanya terdiri dari Uttama Mandala, dengan jajar Pelinggih sebagai
berikut: Pelinggih Mertiwi, Padma Pucak Andong, Padma Dukuh
Sakti, Padma Siwa Budha.

X.3.3. Pura Masceti

Pura Masceti Desa Pakraman Let terletak di tengah-tengah


desa, disisi sebelah barat jalan desa, masih diwilayah sebelah barat
Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Let. Pura ini hanya terdiri dari
satu pelebahan Uttama Mandala, dengan Pelinggih sederhana,
berupa Pelinggih Padma.

Piodalan jatuh pada masa setiap Padi di sawah berumur


kurang lebih 3 bulan, bersamaan dengan prosesi upacara Mendak
Tirtha. Jadi tidak ada hari yang pasti dalam piodalan, kebiasaan
penduduk mencari hari baik, dalam masa padi sudah mulai
menampakan buahnya. Hanya para tetua desa menyebutkan,
piodalan yang diambil menghindari hari Pasah dalam Tri Waranya.
120

Denah Pura Masceti

Pelinggih Padma Masceti

X.3.4. Pura Tegal Suci

Pura Tegal Suci terletak di tengah-tengah Desa Let, berdampingan,


dengan Pura Puseh dan Bale Agung. Tepatnya di belakang Pura
Puseh dan Bale Agung. Dengan jajar Pelinggih antara lain :
121

Di Lokasi Uttama Mandala :

1. Pelinggih Piyasan Tegal Suci


2. Pelinggih Ratu Dhalem Puri
3. Padma
4. Pelinggih Tetanduran Rambut Sedana
5. Pelinggih Penyawangan Kebo Edan

Di Lokasi Madya Mandala :

1. Bale Petemon
2. Prantenan
3. Prantenan
4. Padma Perantenan
5. Prantenan

Pelinggih Penyawangan Kebo Edan


122

Piyasan dan Pelinggih Gedong Ratu Kebo Iwa

Denah Pura Tegal Suci

X.3.6. Pura Puseh dan Bale Agung.

Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Let dibangun dalam
satu kawasan, hanya dibatasi dengan tembok penyengker.
123

Denah Pura Puseh

Dibangun di pusat Desa, di pinggir utara dan timur jalan Desa


Pakraman Let. Piodalan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon wuku
Landep, baik di Pura Puseh maupun di Pura Dalem. Dengan jajar
Pelinggih, antara lain :

Di Lokasi Uttama Mandala Pura Puseh

1. Padma Basukian
2. Pelinggih Penyawangan Kemulan Pura Lumbau
3. Pelinggih Penyawangan Dukuh Sakti
4. Pelinggih Penyawangan Pucak Gunung Mangu
124

5. Pelinggih Penyawangan Ratu Bebotoh


6. Meru Pelinggih Ratu Maspait Majapahit
7. Pelinggih Penyawangan Ratu Gunung Raung
8. Pelinggih Penyawangan Ratu Gunung Lebah
9. Padmasana
10. Pelinggih Penyawangan Meru Gunung Agung
11. Pelinggih Penyawangan Putran Gunung Agung
12. Pelinggih Penyawangan Gunung Batur
13. Kemulan Puseh
14. Pelinggih Peselang
15. Pelinggih Penyawangan Ratu Gua Lawah
16. Pelinggih Penyawangan Ratu Batu Karu
17. Pelinggih Bale Pelik
18. Pengaruman
19. Piyasan Pura Lumbau
20. Padma Tetanduran
21. Bale Patok

Di Lokasi Madya Mandala Pura Desa

1. Pelinggih Penyawangan Kemulan Puseh Nengdengan


2. Bale Agung Dangin
3. Bale Gong
4. Pelinggih Gedong Simpen
5. Pelinggih Kemulan Dasar/Bali mula
6. Pesamuan
7. Bale Agung Dauh
8. Pelinggih Pejenengan
9. Penglurah Agung
125

Kori Agung Pura Bale Agung

Di Lokasi Madya Mandala

1. Kori Agung
2. Apit Lawang
3. Apit Lawang
4. Bale Kemit
5. Bale Kulkul
6. Titi Gonggang
7. Wantilan

Pelinggih Meru Ratu Maspait Majapahit


126

Pelinggih Pengaruman Puseh

Tercatat beberapa nama Penduduk yang Ngayah menjadi Pemangku


Pura Puseh Desa Pakraman Let, antara lain : Mangku Wayan Pagon,
Mangku Made Mawa dan Mangku Made Sana. Sedangkan nama
penduduk yang Ngayah menjadi Pemangku di Pura Desa adalah
Mangku I Ketut Ngetis.

X.3.7. Pura Pengangon.

Pura Pengangon Desa Pakraman Let dibangun di wilayah desa agak


keselatan, letaknya di barat jalan Desa, terdiri dari satu pelebahan
Utama Mandala, dengan jajar Pelinggih, antara lain : Pelinggih
Pengangon, Gedong Simpen Sedahan Pengangon, Padma, Gedong
Sari dan Penglurah.
127

Pelinggih Pengangon

Piodalan jatuh pada setiap hari Saniscara Kliwon Uye di Pelinggih


Pengangon, dan setiap hari Sukra Umanis Klawu di Pelinggih
Gedong Sari (Pelinggih Bhatari Sri).
128

Pelinggih Gedong Simpen Sedahan Pengangon

X.3.8. Pura Dalem Pingit.

Pura Dalem Pingit Desa Pakraman Let dibangun di wilayah


hilir desa paling selatan, letaknya di timur jalan Desa, terdiri dari
satu pelebahan Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista
Mandala serta satu bidang Setra Desa Pakraman, piodalan jatuh
pada Tileming Jyesta. Dengan jajar Pelinggih, antara lain :
129

Denah Pura Dalem Pingit

Di Lokasi Uttama Mandala :

1. Padmasana
2. Pelinggih Gedong Dalem Pingit
3. Piyasan
4. Pengrurah
5. Gedong simpen
130

Pelinggih Padma di Pura Dalem Pingit

Di Lokasi Madya Mandala :

1. Plapuan
2. Padma Tegal Suci

Di Lokasi Nista Mandala :

1. Merajapati

Menurut keterangan para tetua desa, di Pura Dalem ada


tercatat beberapa nama penduduk yang Ngayah sebagai Pemangku
Dalem, antara lain : Jero Mangku Binder, Jero Mangku Wayan
Jerembe dan Jero Mangku Made Mangkreg.

Sedangkan di Pura Merajapati tercatat pula beberapa


penduduk yang ngayah sebagai pemangku, antara lain : Jero
Mangku Pupul, Jero Mangku Gereh, Jero Mangku Nyoman Legoh
dan Jero Mangku Wayan Dabdab.
131

Pelinggih Gedong Dalem Pingit

X.3.9. Pura Taman.

Pura Taman, Desa Pakraman Let terletak di timur laut Pura


Puseh dan Bale Agung, terdiri dari satu Mandala, yaitu Uttama
Mandala, dengan satu buah Pelinggih berbentuk Babaturan.
Piodalan jatuh setiap hari Saniscara Kliwon Landep, sama dengan
Wali di Pura Puseh dan Bale Agung Desa Pakraman Let.

Denah Pura Taman


132

Pelinggih di Pura Taman

X.3.10. Pura Prajapati dan Setra Desa Pakraman Let.

Dalam konsep Bali yang dikenal dengan nama Tri Hita


Karana, wilayah Desa Pakraman juga terdiri dari tiga bagian
wilayah yang mempunyai fungsi yang berbeda akan tetapi saling
berkaitan satu dengan yang lainnya. Ketiga bagian itu antara lain
wilayah Parahyangan terdiri dari pura-pura, taman dan tegal suci,
sebagai wilayah yang disucikan atau disakralkan sebagai tempat
warga berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi dengan segala
manifestasi beliau. Wilayah ini dikenal dengan nama wilayah
kepala, hulu atau luwanan.
133

Foto Rumah Penduduk di wilayah Pekarangan jaman kuno th 1901

Wilayah kedua adalah wilayah tegalan, ladang, sawah dan kelompok


perumahan warga, sebagai tempat beraktivitas melanjutkan
kehidupan, proses proses kehidupan, mulai dari mengandung, lahir
dan bertumbuh kembang warga terjadi di wilayah ini.

Pura Mrajapati

Wilayah yang dikenal dengan nama madya, badan atau


Angga difungsikan sebagai wilayah interaksi atau hubungan antara
warga desa dengan segala permasalahan sosial masyarakat.
134

Foto Pelinggih Tegal Suci di Pura Dalem

Wilayah terakhir, disebut dengan teben atau nista mandala


atau hilir, terdiri dari setra atau sema, sungai, jurang dan laut.
Wilayah ini difungsikan sebagai tempat akhir kehidupan, akhir dari
segala kegiatan kemayarakatan.Wilayah hulu desa pakraman di Bali
selalu terletak di bagian utara atau timur wilayah desa pakraman.
Setra Desa pakraman Let terletak di bagian hilir, yaitu wilayah
paling selatan desa, sedikit agak jauh dari daerah pemukiman
penduduk. Setra Desa pakraman Let terbentang dengan tiga bagian,
terdiri dari wilayah setra Bajang yang difungsikan sebagai
penguburan warga yang meninggal sebelum dewasa (Anak-anak)
terletak paling ujung utara setra.

Foto Pelinggih Ulun Setra


135

Setra utama terdiri dari 2 bagian sebagian kecil setra


difungsikan sebagai tempat penguburan warga yang meninggal
akibat kecelakaan dan bunuh diri (Salah Pati dan Ulah Pati),
Sementara sebagian besar wilayah setra diperuntukkan sebagai
tempat melaksanakan prosesi penguburan warga yang meninggal
kebanyakan (Meninggal Wajar).

Foto Setra Desa Pakraman Let

Dalam berbagai sastra agama Hidu disiratkan Setra adalah


tempat peristirahatan yang tenang bagi kehidupan. Pura Mrajapati
adalah tempat pemujaan alam kosmis, sedangkan setra adalah
tempat atau panggung transformasi ajian Dewi Durga yang
cenderung bergerak ke kiri atau kiwa. Karena itu, Pura Dalem
adalah stana Siwa yang berfungsi sebagai penetralisir kekuatan
positif dan negatif yang ditimbulkan oleh praktik-praktik ajian
Durga tersebut. Jika demikian tata hubungan ketiga tempat
pemujaan itu, maka di Pura Dalem umat melakukan aktivitas ritual
dan persembahan yang bertujuan untuk mendapatkan kerahayuan
dan terhindar dari pengaruh negatif dua kekuatan lainnya, yakni
Mrajapati dan setra. Di Mrajapati umat membayangkan kekuatan
alam, dan setra adalah tempat untuk melakukan upacara kematian.
Di Mrajapati sendiri distanakan Durga dengan tiga kekuatannya,
136

yakni Anggapati, Prajapati dan Banaspati. Kanda Pat menyebutkan


Anggapati berarti kala atau nafsu di badan, Mrajapati berarti
penguasa Durga setra Gandamayu, sedangkan Banaspati berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti iblis, tonya atau hantu hutan, atau
raja hutan, raja pepohonan, dan penjaga lembah, sungai dan tempat-
tempat angker lainnya. Sumber lain menyebutkan Banaspati adalah
gelar Hyang Siwa yang mengendalikan dan menentukan hidup dan
kehidupan semua ciptaannya (sarwa bhutesu).
137

BAB IV
Upaya Krama Desa
Menjaga Kekuatan Spiritual Desa Let

XI.1. Membangun dan Memperbaiki Pelinggih

Desa Pakraman Let memiliki 9 pelebahan pura yang berjejer


dari hulu desa sampai ke hilir desa, dari ujung utara desa sampai
keselatan desa. Pura-pura yang pada masa lampau kebanyakan
terdiri dari Pelinggih sederhana, mulai ditata secara bertahap,
renovasi dan perbaikan pura dilaksanakan oleh krama desa dengan
jalan bergotong royong, baik yang menyangkut masalah bahan pura
maupun proses pengerjaanya. Hal itu dilakukan berdasarkan
semangat kebersamaan dan rasa tanggung jawab, sekaligus rasa
syukur dan sukacita masyarakat terhadap segala bentuk anugrah dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

XI.2. Nangiyang Tapakan Dan Ngodakin Sesuhunan Desa


Pakraman Let.

XI.2.1. Latar belakang.

Srada dan Bhakti bagi umat Hindu dapat diwujudkan dalam


berbagai segi kehidupan masyarakat. Pada tahun 1983 masyarakat
Desa Pakraman Let mulai pemugaran dan pembangunan Pura di
lingkungan Desa Pakraman Let, yang di beberapa pura, pemugaran
dan pembangunan masih berlangsung sampai sekarang. Selanjutnya
masyarakat Desa Pakraman Let mulai memikirkan pelaksanaan
Upacara Piodalan (Karya Agung), yang merupakan penyelesaian
dari segala pembangunan yang dilaksanakan di Desa Pakraman Let,
dimana upacara ini memiliki tujuan untuk menyucikan segala jenis
kekotoran yang melekat. Dengan pelaksanaan upacara ini
diharapkan seluruh pura yang berada di lingkungan Desa Pakraman
Let memperoleh kesucian secara Sekala dan Niskala.
138

Selama pelaksanaan pembangunan berlangsung kehidupan


masyarakat baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya serta
spiritual di Desa Pakraman Let berlangsung dan mengalir, sebagai
halnya masyarakat di pedesaan. Segala kepentingan diadopsi
sehingga memperkaya cara pandang warga masyarakat Desa
Pakraman Let. Selama pembangunan pula, masyarakat banyak
mendapatkan tanda-tanda niskala yang terjadi di wilayah Desa,
diantara banyaknya tanda alam dan sipta, adapun yang dapat
ditangkap oleh para Pinandita dan Pinisepuh beserta Prajuru Desa
Pakraman Let diantaranya adalah seringnya Pemangku mendapatkan
wangsit dari Ida Bhatara. Diantaranya: Pada hari Sabtu Kliwon
Landep atau Tumpek Landep tanggal 9 Oktober 2010 masyarakat
Desa Pakraman Let melaksanakan pementasan Calonarang, saat itu
ada beberapa orang krama yang kerauhan dan mengatakan “Nira
Seneng Masolah”, serta Jro Mangku Puseh yang mendapatkan
penampakan orang yang tak dikenal yang menyampaikan pesan agar
masyarakat ngodakin dan nangiyang Karas marupa Barong Ket.
Setelah itu kejadian kerauhan tersebut terus berulang, sehingga
masyarakat Desa Pakraman Let melaksanakan Parum Desa dan
Parum Banjar.

XI.2.2 Paruman Desa dan Paruman Banjar

Dengan banyaknya kejadian seperti tersebut diatas,


membuat para Pinisepuh, para Pinandita, para Prajuru Banjar Let
serta masyarakat Banjar pada Saniscara Kliwon (Tumpek)
melaksanakan Paruman atau Sangkep terkait dengan tanda atau sipta
yang diterima oleh masyarakat dan Jro Mangku Puseh, untuk
Ngodakin Ratu Lingsir dan Nangiyang Sesuhunan Barong dan
Rangda tapi rencana Ngodakin Ratu Lingsir lan Nangiyang Tapakan
Barong dan Rangda belum menemukan kesepakatan bersama oleh
Krama Banjar (belum Parum).

Delapan bulan kemudian, para Juru kembali melaksanakan


Parum, atau rapat bersama Krama Desa Pakraman Let, pada Parum
ini baru disetujui untuk Ngodakin dan Nangiyang Barong dan
139

Sesuhunan dengan catatan akan dilaksanakan upacara nunasang


yang akan dilaksanakan di natar Pura Puseh tetapi dalam
pelaksanaanya krama desa tidak mendapatkan hasil apapun.
Kemudian kembali dilaksanakan Parum dan disepakati bahwa akan
dilaksanakan upacara memasar ke Banjar Bayad, Payangan, yang
akan dilaksanakan pada hari Soma Umanis Kelawu diawali dengan
nunas ica yang dilaksanakan oleh seluruh Pinandita, Para Dulu
Adat, beserta dengan masyarakat Desa Pakraman Let. Pada hari itu
juga sekitar jam 19.00 wita masyarakat kembali melaksanakan
Parum terkait dengan hasil memasar ka Banjar Bayad, Payangan
dalam Parum tersebut disepakati bahwa akan dilaksanakan upacara
Matur Piuning atau Nyanjan di Pura Puseh, saat pelaksanaan matur
piuning kembali ada yang kerauhan dan menuju Pura Dalem Pingit,
disana kembali ada masyarakat yang kerauhan dan mebaos bahwa
masyarakat Desa Pakraman Let agar secepatnya Ngodakin Ida Ratu
Lingsir dan Nangiyang Barong Ket dan Ratu Sakti.

Tiga hari kemudian Jro Mangku Puseh meminta masyarakat


untuk tangkil ka Pura Dalem Pingit untuk ngaturan banten Guru
Piduka, ketika ini pun kembali ada yang kerauhan sebagai tanda
Bhakti dan mengikuti Bhisama dari leluhur masyarakat Desa
Pakraman Desa Let untuk Ngodakin Sesuhunan Ratu Lingsir dan
Nangiyang Sesuhunan Barong dan Rangda sesuai dengan Bhisama
yang diterima.

Bahkan saat pelaksanaan Ngodakin Ratu Lingsir dan


Nangiyang Tapakan Barong dan Rangda kembali ada Sesuhunan
yang tedun dan mengatakan bahwa masyarakat harus Nangiyang
Karas Ratu Anom dan Karas Ratu Bale Agung.

XI.2.3 Memilih Tempat Nunas Taru

Berdasarkan keputusan yang didapat dan berbagai tanda


alam atau sipta yang diterima baik oleh para Juru, Jro Mangku serta
masyarakat maka masyarakat setuju untuk Ngodakin Ratu Lingsir
dan Nangiyang Tapakan Barong dan Rangda. Pada tanggal 7
140

November 2011 masyarakat kembali mendapatkan baos dari


Sesuhunan terkait dengan kayu yang akan dipakai sebagai Prerai
Ratu Mas Ayu terdapat di sebelah barat setra dan kayu Prerai Ratu
Sakti terdapat di sebelah barat daya Dalem Lingsir atau Dalem Suci.
Pada tanggal 10 November 2011 yaitu pada hari Wrespati Paing
Dukut dilaksanakan prosesi nunas taru yang terdapat di sebelah
barat daya Pura Dalem Suci yaitu di tegal milik I Nyoman Meling
sebagai kayu Prerai Ratu Sakti dan kayu yang terdapat di sebelah
barat Setra yaitu di tegal milik I Wayan Keplus sebagai kayu Prerai
Ratu Mas.

Pada hari Wrespati Paing Kulantir tanggal 15 Desember


2011 kembali dilaksanakan upacara nunas taru untuk Prerai Ratu
Anom dan Ratu Bale Agung sesuai dengan baos yang diterima oleh
masyarakat desa Pakraman Let pada tanggal 24 November 2011,
yang mana taru yang akan digunakan untuk Prerai Ratu Anom
terdapat di Pura Taman dan taru Prerai Ratu Bale Agung terdapat di
Setra.

XI.2.4 Prosesi Nangiyang Sesuhunan

Guna menindak lanjuti hasil baos yang diterima para Juru


dan masyarakat, maka pada tanggal 10 November 2011
dilaksanakan upacara nunas taru Prerai Ratu Sakti, dan Prerai Ratu
Mas. Kemudian pada hari Redite Kliwon Watugunung tanggal 13
November 2011 mulai dilaksanakan prosesi Ngodakin yang
dilaksanakan oleh Jro Sangging yang bernama Mangku Karma yang
berasal dari Banjar Mukti, Singapadu. Gianyar. Selama pelaksanaan
prosesi Ngodakin kembali ada baos dari Sesuhunan agar beliau
dibuatkan Kekereb atau Leluhur, selama itu pula banyak Sesuhunan
yang tedun diantaranya Ratu Anom dan Ratu Bale Agung agar
Beliau dibuatkan Tapakan.

Pada hari Soma Kliwon Landep tanggal 28 November 2011


masyarakat Desa Pakraman Let melaksanakan upacara Pasupati
Tapakan Ratu Sakti dan Ratu Mas yang dilaksanakan di Pura Dukuh
141

Sakti atau Pura Pucak Andong, kemudia pada hari Saniscara Wage
Prangbakat tanggal 5 Mei 2012 kembali masyarakat melaksanakan
upacara Pasupati Tapakan yang dilaksanakan oleh Jro Mangku
Puseh dan Jro Mangku Bale Agung serta semua Tapakan, disaksikan
oleh semua krama Desa Pakraman Let.

Ratu Mas Gede Maha Bhumi

Selama prosesi Ngodakin dan Nangiyang Barong dan Rangda


banyak diterima baos atau pawisik yang terkait dengan tata cara
ngiring dan nyangra Tapakan, beserta tata cara masyarakat dalam
melaksanakan kehidupan spiritual terkait dengan keberadaan Ratu
Lingsir beserta dengan Tapakan sami.
142

Ratu Bale Agung Bandawati

Ratu Anom Putu Putra Wesnawa


143

Ratu Lingsir Maspahit Majapahit

Ratu Sakti Kyai Sapuh Jagat Bherawa/ Rambut Jadma


144

XI.3. Menyelenggarakan Upacara Ngusabha.

Kata Yadnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar


kata “Yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban.
Kemudian penulisannya di-Indonesiakan dari Yajna menjadi
Yadnya.

XI.3.1. Hakekat Yadnya

Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu


perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran
untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti
upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan
mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan
dukungan sikap dan mental yang suci juga.

Didalam kitab Bhagavadgita III.14 menyatakan bahwa


“Yadnya berasal dari karma”. Ini berarti bahwa dalam Yadnya perlu
adanya kerja, karena dalam Yadnya menuntut adanya perbuatan.
Tuhan menciptakan alam beserta isinya diciptakan dengan Yadnya
maka patutlah manusia pun melaksanakan Yadnya untuk
memelihara kehidupan didunia ini. Tanpa adanya Yadnya maka
perputaran roda kehidupan akan berhenti. Yadnya merupakan salah
satu wujud dari Tri Kerangka Agama Hindu yaitu termasuk Upacara
atau Ritual. Hal ini dikarenakan penerapan Yadnya dikaitkan
dengan Upacara Agama Hindu yaitu dalam bentuk Ritual.

Yang berarti Yadnya merupakan bentuk penerapan ajaran


Agama Hindu dengan cara perbuatan, atau disebut juga Karma
Kanda atau Karma Sanyasa atau Prawerti. Di dalam setiap
pelaksanaan Yadnya, Agni sebagai penghubung atau perantara
antara manusia dengan Tuhan yang biasanya dalam bentuk Pasepan
ataupun Dupa, Agni juga sebagai pelengkap atau penyempurna
segala kekurangan yang terjadi dalam setiap prosesinya.
145

Yadnya dapat diartikan merupakan segala bentuk pemujaan


atau persembahan dan pengorbanan yang tulus iklhas yang timbul
dari hati yang suci demi maksud-maksud mulia dan luhur. Sehingga
Yadnya bukan saja dilakukan dalam bentuk ritual atau dalam
kegiatan agama saja, namun perbuatan yang tulus iklhas juga masuk
didalamnya. Ditinjau dari pelaksanaannya Yadnya terdiri dari
beberapa unsur, antara lain, adanya unsur Karya (kerja),segala
sesuatunya haruslah dikerjakan atau adanya perbuatan, unsur Sreya
(ketulusan), bahwa disetiap Yadnya yang dilakukan didasari oleh
ketulusan hati tanpa adanya suatu paksaan dari siapapun, sehingga
rasa iklas muncul dari dalam hati.

Selanjutnya dalam pelaksanaan Yadnya manusia akan selalu


ingat akan kodratnya didunia, dengan berbagai kekurangan yang
dibawa dari lahir, adanya kesadaran tersebut sehingga terbebaslah
manusia dari kebingungan, kegelapan sang jati diri (Atman) dari
belenggu dunia maya, kepalsuan dunia. Dengan demikian Atman
akan dapat terhubung dengan Tuhan lewat pelaksanaan Yadnya
yang dilambari ketulus-iklasan. Dalam Bhagavadgita III.9
menyatakan bahwa :

”Para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan


kebahagiaan, karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan
bila tidak membalas pemberian itu dengan Yadnya pada hakekatnya
dia adalah pencuri”.

Ini berarti bahwa antara manusia dengan para Dewa harus


ada hubungan yang harmonis sehingga terwujud suatu kebahagiaan.
Hal tersebut terjalin dengan adanya idep yang merupakan
kelebihannya manusia dari ciptaan Tuhan yang lain.

Selanjutnya dalam Bhagavadgita, Sri Kresna bersabda yaitu:

“orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa dari
persembahan/Yadnya”.
146

Ini berarti bahwa dalam kehidupan ini manusia harus


senantiasa menikmati makanan hasil persembahannya kepada
Tuhan. Bilamana manusia memakan yang bukan hasil persembahan
pada Tuhan berarti dia memakan dosa. Agar terhindar dari dosa itu,
manusia sebelum makan haruslah mempersembahkannya terlebih
dahulu pada Tuhan. Sehingga makan hasil persembahan yang
dimakan adalah anugerah dari Tuhan yang disebut dengan
“Prasadham” yang istilah Balinya disebut dengan ”Lungsuran”.
Yadnya Sesa (matur saiban) merupakan salah satu bentuk Yadnya
yang dilakukan sehari-hari setelah memasak. Dalam Atharwa veda
XII.1 dikatakan bahwa

“Yadnya merupakan salah satu pilar penyangga tegaknya


kehidupan di dunia ini”.

Jadi bilamana Yadnya tidak dilakukan lagi akan menjadikan


alam beserta kehidupannya tidak akan dapat berlangsung. Pada
Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya
Yadnya menyatakan bahwa

“Alam ini ada berdasarkan Yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan


Yadnya dewa memelihara manusia dan dengan Yadnya manusia
memelihara Dewa”.

Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta


beserta isinya ini adalah adanya Yadnya Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Maha Purusa. Selanjutnya para Dewa yang
merupakan sinar suci dari Tuhan pun memelihara kehidupan dialam
semesta ini dengan Yadnya, sehingga dengan demikian manusia pun
harus melaksanakan Yadnya untuk memelihara Dewa. Adanya
hubungan timbal Balik antara manusia dan Dewa serta dengan
terjaganya saling memelihara ini akan menciptakan kebahagiaan
bagi semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam Bhagawad gita
III.11 yang isinya adalah
147

“Saling memelihara satu sama lain maka manusia akan mencapai


kebahagiaan”.

Ketika hubungan timbal Balik ini tidak dilaksanakan


niscaya alam semesta ini akan hancur. Kita tahu bahwa Tuhan
melingkupi serta menyusupi semua yang ada, jadi ketika kita tidak
bisa menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama
manusia dan dengan alam yang merupakan bagian dari
kemahakuasaan Tuhan akan menimbulkan kesengsaraan. Misalnya
saja kita tidak menghormati lingkungan maka pastinya alam pun
akan tidak bersahabat dengan manusia itu sendiri.

XI.3.2.Persiapan nangun Yadnya

Di dalam persiapan Nangun Yadnya Agung Krama Desa


Pakraman Let sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan
mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang penuh
dengan kesucian.

Dharma Wacana Oleh Pengelingsir Puri Ubud

Yasa Kerti dalam hal perbuatan yang baik dituangkan dalam butir
sebagai berikut :
148

 Semua warga Desa Pakraman agar selalu memakai pakaian


adat yang pantas, juga diwajibkan memakai ikat kepala,
baik laki-laki maupun wanita.
 Bagi Krama Desa yang mempunyai cacat kelahiran
diharapkan tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara
Suci, Catur dan upakara lain yang dihaturkan di Sanggar,
untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan muspa tidak
ada larangan. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra agama
adalah warga yang kumpul kebo, anak yang lahir tanpa
orang tua yang syah dan yang lainnya dilarang memasuki
wilayah Pura. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan
untuk menggagalkan rangkaian upacara agar dijauhkan.
 Apabila ada Kematian di salah satu anggota keluarga Krama
Desa, terhitung mulai dari dilaksanakannya upacara
Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan Karya Agung,
agar melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara kentongan
serta tidak memakai upacara upakara. Apabila yang
meninggal tidak akan boleh dipendam, seperti Sulinggih,
Pemangku agar dititip dahulu (Tidak diupacara). Apabila
kematian yang boleh dipendem, agar prosesi dilaksanakan
setelah matahari tenggelam dengan upacara seperti biasa.
Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara Kelayu
Sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka satu rumah dihitung
sampai prosesi upacara keseluruhan selesai. Pengapit
terkena cuntaka selama 12 hari. Para Juru Desa dan Dinas
tidak terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi
pemakaman.
 Apabila ada Krama Desa yang melahirkan terkena cuntaka
42 hari bagi yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena
cuntaka sampai 12 hari, bagi anggota keluarga yang sudah
berlainan dapur tetapi masih dalam satu pekarangan, terkena
cuntaka selama 3 hari. Apabila ada salah satu krama yang
keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki atau
perempuan. Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati
oleh Krama Desa Pakraman Let dalam rangka menyambut
Karya Agung Ngusabha Desa Ngusabha Nini, Tawur
149

Pedanan dan Prayascitha Bhumi di Pura Puseh dan Bale


Agung Desa Pakraman Let.

XI.3.3 Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk


Pedagingan, Tawur Agung Pedanan, Ngusabha Desa, Ngusaba
Nini dan Prayascita Bhumi di Desa Pakraman Let,

Upacara persembahan Karya Agung Ngusaba Desa dan


Ngusaba Nini di Desa Pakraman Let, merupakan ungkapan terima
kasih, merupakan astiti bhakti warga desa Pakraman Let kepada Ida
Shang Hyang Widhi Wasa yang tentunya berpijak pada ajaran-
ajaran Agama, terutama ajaran Sastra dari Widhi Sastra dan Sri
Tattwa dan beberapa sastra pendukung lainnya seperti Gong Besi,
Bhama Kertih, Kramaning Anangun Kahyangan, lontar Pengusabha
dan lontar-lontar lainnya. Ngusabha berasal dari bahasa Sanskerta
dari kata dasar Utsava atau Utsawa dalam bahasa Jawa Kuno.

Dalam bahasa Bali menjadi Usaba atau Ngusaban yang


artinya menyiapkan perjamuan. Bertujuan untuk mengucapkan atau
ungkapan terima kasih kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa,
serta memohon anugrah-Nya untuk senantiasa menganugrahkan
kedamaian dengan terpeliharanya unsur-unsur Panca Maha Bhuta
yang merupakan dasar kehidupan masyarakat seluruhnya. Karya
Agung ini merupakan karya pada tingkatan yang “utama” pada
tingkatan Pura Kahyangan Tiga, yang dilaksanakan dalam kurun
waktu 15 tahun atau 25 tahun sekali, serta ditunjang juga oleh
kemampuan Desa Pakraman yang bersangkutan.

Dengan “ehed” karya Mamungkah, Ngenteg Linggih,


Mupuk Pedagingan, Tawur Pedanan, yang diawali dengan
persembahan atau pemujaan Muktyaning karya selanjutnya Makebat
Daun. Upacara Mamungkah berkaitan dengan adanya beberapa
Pelinggih yang telah diperbaiki. Semua rangkaian upacara-upakara
dituntun oleh Yajamana Karya, Ida Paranda ring Giriya Selat Duda
dan Maha Tapini, Ida Peranda Giriya Ketewel serta Pengerajeg
Karya Pengelingsir Puri Agung Ubud.
150

XI.3.4 Ehedan Karya Agung Mamungkah,

Untuk lebih memahami dan menghayati jalannya upacara,


tidak ada salahnya diketahui juga makna dan arti rangkaian upacara,
antara lain :

 Matur Piuning.

Upacara Matur Piuning yang dilaksanakan pada, Selasa,13


Nopember 2012, di Pura Kayangan Tiga dan Pura-Pura yang terkait
lainnya bertujuan sebagai permakluman sekaligus untuk memohon
kerahayuan dan tuntunan Ida Sang Hyang Widhi, agar apa yang
dikerjakan dan akan dikerjakan dalam kaitan Karya Agung tersebut
berhasil sesuai dengan harapan dan tujuan Krama Let khususnya
dan Bali umumnya.

 Nyukat Genah dan Mendak Tirta.

Upacara Nyukat Genah yang dilakukan pada hari Jumat, 16


Nopember 2012, yang bertempat di Pura Kayangan Tiga dan Pura-
Pura yang lain di wilayah Let, secara niskala bertujuan untuk
membuat batas antara Parahyangan dengan Tri Mandala.
Selanjutnya dilakukan Mendak Tirta diantaranya Tirta Empul, Tirta
Selukat, Tirta Segara dan Tirta Sidha Karya di Badung, yang
dilaksanakan oleh perwakilan masing-masing krama desa adat yang
dipimpin oleh para Pemangku Kayangan tanggal 28 Desember 2012
151

dilaksanakan juga upacara prosesi Mendak Tirta di luar Bali,


diantaranya Pura Gunung Raung, Pura Gunung Semeru dan Pura
Gunung Bromo.

Selain itu dilaksanakan juga mendak Tirta Kayangan di


Bali, antara lain : Pura Penataran Agung Besakih, Pura Tirta
Tunggang Besakih, Tirta Suda Mala Dalem Puri Besakih, Tirta Ulun
Danu Batur, Danau Tamblingan Tabanan, Batu Karu Tabanan,
Lempuyang Karangasem, Pura Jati Batur dan Pura Gunung Raung
Taro.

 Nanceb Sanggar Tawang dan Nuasen Karya .

Acara Nanceb Sanggar Tawang dilakukan pada hari


Minggu, 18 Nopember 2012.

Yang dipuput oleh Ida Paranda Istri (Giriya Ketewel) dilanjutkan


dengan prosesi Negtegang dilaksanakan di Pura Desa lan Puseh ,
Nyangling / Ngisah / Nyuci, Ngadegan Sanghyang Tapini,
Ngadegan Sanghyang Guru Dadi, Ngadegang Sanghyang Pengemit
Karya, Ngadegan Rare Angon, Nyengker Setra

 Upakara Mlaspas, Mecaru Rsi Ghana.


152

Prosesi Upakara Mlaspas, Mecaru Rsi Ghana dilaksanakan


pada hari Senin, 21 Januari 2012. Dilaksanakan di Pura Desa lan
Puseh Desa Pakraman Let.

Prosesi upacara ini dilaksanakan di Uttama Mandala, di


Natar Bale Agung, di Nista Mandala (Taman), di Pura Prajapati, di
Ulun Setra. dilaksanakan juga acara Nedunang Bhatara Sami.

 Melasti

Melasti dalam bahasa Bali terdiri dari dua kata : Mala


artinya kekotoran atau noda, Asti artinya dibuang. Jadi Melasti yang
berasal kata mala- asti, yang artinya menghanyutkan kekotoran.

Prosesi Melasti
153

Upacara Melasti di lakukan di laut, karena kegiatan Melasti


meliputi dua tujuan yaitu, menghilangkan kotoran dan meminta
Tirta Kamandalu, yakni Tirta Suci yang diyakini membawa
kesucian, kebaikan, kemakmuran dan kejayaan atau umur yang
panjang. Dilaksanakan pada hari Anggara Umanis Landep, tanggal
22 Januari 2012. Dilaksanakan juga upacara Melaspas Bagia
Pulekerti dan Memendak.

 Pedanan, Mepada Agung

Kedua runtutan upacara ini adalah upacara pokok dalam


ehedan Karya Agung Ngusabha Desa Ngusaba Nini di Desa
Pakraman Let.

Tawur Wrespati Kalpa dilaksanakan pada Wrespati Landep


Tanggal 24 Januari 2012 di Pura Puseh, Tawur Walik Sumpah
dilaksanakan di Catus Pata Desa Pakraman Let. Mapepada Agung di
laksanakan Sukra Wage Landep, Tanggal 25 Januari 2012 di Pura
Desa lan Puseh.

 Puncak Karya.

Upacara Karya Agung Memungkah Ngenteg Linggih,


Mupuk Pedagingan, Ngusaba Desa Ngusaba Nini dan Prayascita
Bhumi, puncaknya dilaksanakan pada Saniscara Kliwon Landep,
Tanggal 26 Januari 2012, dengan Upakara lengkap di Sanggar
154

Tawang, di sor Sanggar Tawang, di seluruh Pelinggih, di


Panggungan, di Lantaran, Pura Tegal Suci dan di Pedanan.

Setelah prosesi upacara ini kemudian dilanjutkan dengan


ehedan upacara lain seperti : Nganyarin, Nglemekin, Bangun Ayu,
Makebat Daun, Rsi Bhujana, Nyenuk, Nyineb, Nuek Bagia,
Nyegara Gunung. Dan semua rangkaian upacara diatas kemudian
ditutup dengan upacara satu bulan tujuh hari. Dengan demikian
berakhirlah ehedan upacara diatas, selesai sudah seluruh prosesi
Upacara Karya Agung Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk
Pedagingan, Tawur Agung Pedanan, Ngusaba Desa Ngusaba Nini
dan Prayascita Bhumi di Desa Pakraman Let, Desa Taro, Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar.

Foto Meajar-ajar
155

BAB XII
Berbagai Bentuk Upacara Yadnya
di Desa Pakraman Let

XII.1. Pengertian Yadnya

Kata Yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari akar


kata “yaj” yang artinya memuja, mempersembahkan, atau korban.
Kemudian penulisannya diindonesiakan dari Yajna menjadi Yadnya.
Dalam kitab Bhagawadgita dijelaskan Yadnya artinya suatu
perbuatan yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan kesadaran
untuk melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Yadnya berarti
upacara persembahan korban suci. Pemujaan yang dilakukan dengan
mempergunakan korban suci sudah barang tentu memerlukan
dukungan sikap dan mental yang suci juga.

XII.2. Tujuan Yadnya

Bila direnungkan tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu


untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang
Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal
tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini:

“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema


prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”

Artinya:

Pada jaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa)
menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini
engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi)
dari keinginanmu.

Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa kita
melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan mengawali menciptakan
156

dunia besrta isinya berdasarkan Yadnuhan itu diteruskan agar


kehidupan di dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.

Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu


menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar tercipta hokum
keseimbangan, maka rnam itu harus dibayar dengan Yadnya (Tri
Rna). Tri Rna ini dalam kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan
melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna dibayar dengan
Dewa Yadnya dan dibayar dengan Bhuta Yadnya, kemudian Rsi
Rna dibayar dengan Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna
dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

Memang konsep Agama Hindu adalah mewujudkan


keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan berarti terwujud
pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh setiap orang di
dunia ini. Untuk terwujudnya keseimbangan tersebut dalam Umat
Hindu diajarkan Tri Hita Karana yaitu tiga factor yang
menyebabkan terwujudnya suatu kebahagiaan. Berkaitan dengan itu,
dalam Bhagawadgita III.2 menyebutkan:

“ishtan bhogan hivoDewa, donsyante yajna bhavitah, tair dattan


apradayabho, yobhunkte stena eca sah”

Artinya:

Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan memberikan kamu


kesenangan yang kamu inginkan. Ia yang menikmati pemberian ini,
tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri.

Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13 menyebutkan:

“yajna sisyah sinah santo, nucyanta sarwa kilbisaih, bhujate


tuagham papa, ye pacauty atmakatanat”

Artinya:
157

Orang yang baik, maka apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu
terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang
menyediakan makanan kepentingan sendiri, mereka itu adalah
makan dosanya sendiri.

Jadi dengan petikan sloka di atas dapat ditegaskan bahwa


Yadnya itu bertujuan untuk melangsungkan kehidupan yang
berkesinambungan yaitu dengan cara Membayar Rna (hutang) untuk
mencapai kesempurnaan hidup danMelebur dosa untuk mencapai
kebebasan yang sempurna.

XII.3. Fungsi Dan Makna Yadnya

Jika kita lihat dari tujuan pelaksanaan Yadnya yang


dijelaskan diatas maka secara umum fungsi daripada Yadnya adalah
sebagai sarana untuk mengembangkan serta memelihara kehidupan
agar terwujud kehidupan yang sejahtra dan bahagia atau kelepasan
yakni menyatu dengan Sang Pencipta. Berdasarkan uraian diatas
dapat dijabarkan fungsi dari pelaksanaan Yadnya, yaitu sebagai
berikut:

 Sarana untuk mengamalkan Weda

Yadnya adalah sarana untuk mengamalkan Weda yang


dilukiskan dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa. Yang
kemudian symbol tersebut menjadi realisasi dari ajaran Agama
Hindu.

 Sarana untuk meningkatkan kualitas diri

Setiap kelahiran manusia selalu disertai oleh karma wasana.


Demikian pula setiap kelahiran bertujuan untuk meningkatkan
kualitas jiwatman sehingga tujuan tertinggi yaitu bersatunya atman
dengan brahman ( brahman atman aikyam ) dapat tercapai. Dalam
upaya meningkatkan kualitas diri, umat Hindu selalu diajarkan
untuk buatan baik. Perbuatan baik yang paling utama adalah melalui
158

Yadnya. Dengan demikian setiap yadnya yang kita lakukan hasilnya


adalah terjadinya peningkatan kualitas jiwatman.

 Sebagai sarana penyucian

Dengan sebuah Yadnya sesuatu hal bisa disucikan seperti


diadakannya Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra
Yadnya dan Manusa Yadnya yaitu pada bagian-bagian tertentu
mengandung makna dan tujuan untuk penyucian atau pembersihan.

 Sarana untuk terhubung Kepada Ida Sang Hyang


Widhi

Yadnya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk


mengadakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya, seperti yang sering dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari.

 Sarana untuk mengungkapkan rasa terima kasih

Dengan sebuah yadnya seseorang mampu mengungkapkan


rasa syukur dan ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, sesama manusia, maupun kepada alam, seperti yang sudah
biasa dilakukan dalam penerapan Panca Yadnya.

XII.4. Upacara Manusa Yadnya

Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci atau pengorbanan


suci demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan
upacara Manusa Yadnya masalah tempat, keadaan, dan waktu
sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat
anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada
saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai
atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta
kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk
yang lebih nyata demi kernajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain
159

guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Tujuan dari


Manusa Yadnya atau Sarira Samskara adalah untuk menyucikan diri
lahir bathin (pamari sudha raga) dan memohon keselamatan dalam
upaya peningkatan kehidupan spiritual menuju kebahagian baik di
dunia maupun di alam niskala.

 Bentuk upakara di saat bayi baru lahir

Apabila ada Bayi baru lahir, maka dibuatkanlah beberapa


upakara sebagai wujud terima kasih atas anugrah Ida Sang Hyang
Widhi, sehingga Bayi yang lahir sehat dan selamat. Juga upacara ini
ditujukan untuk sebuah harapan si Bayi yang masih dipengaruhi
oleh unsur-unsur ke Dewa an bisa panjang umur dan dijauhkan dari
pengaruh-pengaruh jahat, sarana yang dipakai adalah upakara
Penyeneng dan pemapag

 Ngelepas.

Setelah bayi kira-kira berusia 3 sampai 7 hari, saat tali pusar


bayi lepas, maka dibuatkanlah upacara sederhana, yang masih
dilakukan oleh keluarga dekat orang tua si bayi. Penyucian bayi dari
unsur-unsur kelahiran yang masih tersisa di tali pusar bayi. Untuk
itu dibuatkanlah upakara berupa Soroan peras penyeneng
pengelepas, Soroan genep, dan Canang Kumara. Canang Kumara ini
berfungsi melinggihkan Ida Sang Hyang Kumara, sebagai dewa
pelindung bayi. Isinya antara lain, Beras, uang kepeng, pipil dan
Banten Pecaplikan, yang terdiri dari banten yang tujuannya
dihaturkan kepada Sang Catur Sanak si bayi.

 Pangeroras

Setelah bayi tadi berusia 12 hari, kembali dibuatkan


upakara. Dalam prosesi pengororas dibagi menjadi tiga tahapan
yang dilakukan dalam waktu yang sama. Diantaranya:
160

 Pangeroras. Upakara Pengeroras ini terdiri dari beberapa


banten, diantaranya, Banten Pamali yang terdiri dari
Penyeneng dengan tipat akelan (6), blayag akelan (6),
memakai penjor, pusuh mareka atau mapayas, papah mareka
atau mapayas dan buah Bluluk.
 Upakara ke Segara (laut). Upakara ini sebagai niyasa
harapan keluarga agar si bayi mendapatkan air susu yang
berlimpah, seperti limpahan air laut yang tidak pernah
kering, sehingga bayi bisa tumbuh dengan baik, tidak
kekurangan makanan dan minuman., bentuk upakaranya
memakai Kelanan dampulan dan Bayoan atau bayuwan
panglukatan
 Di halaman rumah (natah) juga disiapkan upakara sesuai
dengan kemampuan orang tua si bayi. Upakara ini berniasa,
agar si bayi mendapat ruang yang luas bila ingin bermain-
main di halaman rumah, tidak ada yang menganggu, karena
alam sudah dimohonkan sebagai penjaga bayi yang sedang
bermain. Upakara ini terdiri dari Soroan genep,2 soroh,
Penyambut asoroh, jinah pengempu, Banten Pacaplikan,
banten Canang Kumara, dan pras penganteb untuk
pemangku ngastawa.

XII.4.4.Akambuhan.

Apabila bayi sudah menginjak 42 hari, maka dibuatkanlah


upacara upakara yang juga mempunyai nilai niyasa agar bayi
senantiasa dijaga dengan baik dan dipanjangkan usianya, agar selalu
sehat dan tidak rewel. Bentuk upakaranya antara lain: Soroan peras
penyeneng satu soroh, Jerimpen pengempu satu soroh, Canang
kumara satu soroh, Upakara Pecaplikan satu soroh, banten
Penyambutan 1 soroh dan satu soroh banten Penganteb.

 Tiga Bulanan

Setelah bayi berusia tiga bulan kalender lunar Bali, kembali


keluarga si bayi membuat rentetan upacara sebagai niasa bentuk
161

ucapan terima kasih yang tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, juga kepada Leluhur yang sudah berkenan lahir kembali
(Manresti) di keluarganya. Bentuk upakara dibagi diantara 2 tempat
antara lain :

Bentuk upakara Tiga Bulanan

Di Pemrajan atau di Sanggah dihaturkan upakara atau


banten Kapialang, rawosan tumpeng 6 biji, juga menghaturkan
upasaksi dengan daksina serta wangsuh pada, memohon tirta
amertha untuk si bayi dan orang tua, disamping bertujuan untuk
menghilangkan reged (Cuntaka), menghaturkan ungkapan terima
kasih, juga bermakna memohon anugrah.

Serati (Tukang Banten) yang memberikan keterangan tentang berbagai


upakara yang dipakai dalam kaitan Manusa Yadnya.
162

Khusus upakara yang dipakai untuk mohor tirtha pengelebar


pialang, terdiri dari Suci 1 soroh dan sorohan suci tumpeng 6 biji.
Juga menyertakan banten sorohan ajuman putih kuning pemohon
tirtha.

Upakara di Bale Dangin juga dibuatkan upacara terdiri dari


dua bagian, Upakara yang bertujuan untuk memohon anugrah ke
laut atau Segara, ditempatkan di sebelah barat Bale utama, biasanya
dibuat bale tambahan, diantara bale utama dan adegan bale sebelah
barat, kedudukannya lebih rendah dari bale utama.

Selanjutkan disebut bale tengen. Di Bale tengen dihaturkan


upakara ke laut atau segara, dengan banten Jejanganan 1 soroh,
Soroan tumpeng 6, 1 soroh, Tegen- tegenan nista, Bayuwan
pangalukatan 1 soroh, Toyo tanah atau pagogo-gogowan 1 soroh,
Penyeneng dengan daging ayam biying (Merah) dipanggang.

Banten Peledukan terdiri dari jejatah (sate) 1 soroh, Banten


Tetebek, yang terdiri dari nasi sasah yang ditempatkan pada daun
nangka yang dibentuk macekelungan dan diletakan pada dua buah
tamas yang masing-masing tamas berisi daun nangka dengan daun
nangka yang menghadap ke atas, dan daun nangka pada tamas yang
satunya menghadap ke bawah hingga antara ke dua tamas
membentuk sisi yang berbeda (hitam dan putih). Selain semua
upakara diatas, dihaturkan juga Banten Enyer-enyeran yang isinya
antara lain: wewakulan daksina, jaja matusuk, daun pisang
majerenteng. Didalamnya berisi jatah (sate) berjumlah 4 biji (4
katih) dan di tambah dengan sate pamogpog.

Upakara di Bale permanen sebelah timur, merupakan tempat


untuk ditempatkannya upakara yang di tatab. Dengan bentuk
upakara antara lain : Soroan tumpeng 17 (santun 17), Santun 2.
Kedua bentuk upakara ini bisa dipergunakan dan bisa juga tidak di
pergunakan, tergantung bentuk upakara yang di laksanakan. Selain
itu berisi juga Santun penganteb, Canang lantasan panganteb,
Malang – malangan, Canang kumara ditambah penyeneng putih
163

diisi daging ayan putih (maulam ayam putih), Kecaplikan,


Penyambutan (soroan peras penyeneng), Sorowan tataban ditambah
sorowan tumpeng 17, Soroan tumpeng guling babi (guling bawi).

Banten Bayuwan pangalukatan, diantaranya : Jerimpen


Penganpu, Jerimpen Sate, Jerimpen Tegeh. Peras ajengan santun
paguntingan, Santun penganteb 1 soroh, Santun sorowan tumpeng
17, 1 soroh, Penyambutan 1 soroh, Canang kumara 1 soroh,
Bayuwan pangalukatan 1 soroh, Panganteb 1 soroh, dan Tirta
pamutus dari sanggah atau pamrajaan.

Demikianlah runtutan upacara dan upakara tiga bulanan yang


berlaku dan dilanjutkan oleh krama desa Let. Jika sudah melewati
tiga oton (3 oton), untuk otonan selanjutnya dapat menggunakan
banten upakara seadanya atau sasidan- sidan.

 Matatah atau mapandes (Potong Gigi)

Upacara ini merupakan wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa)


kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk
ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra
yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra Adapun tujuan dari
upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja
Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat
menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat
penjelmaannya sebagai manusia.

Prabot Sangging, piranti yang digunakan oleh Sangging dalam upacara


Metatah.
164

Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga


Atma Prasangsa, maka upacara Mapandes mengandung tujuan,
seperti: Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang
anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut
berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla,
Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengaruhi pribadi manusia,
di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi
hormon pendorong lebido seksualitas.

Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan


dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur.
Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti
kepada-Nya.

Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka


dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat
kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan
kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yadnya dalam
pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi
pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga
seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Bentuk upakaranya dibagi menjadi beberapa bagian antara lain :

 Ring luhur, menghaturkan Tebasan widiadara- widiadari 2


soroh. Santun pasangihan disesuaikan dengan jumlah orang
yang melaksanakan mepandes (matatah).
 Piranti pesangihan (alat - alat yang digunakan untuk
natahin), terdiri dari pahat, palu dari kayu (Pengotok), Kikir,
Pengilap yang terdiri dari potongan Batu Kilap, Payem
Praja. Setelah semua prosesi metatah selesai, saat turun dari
bale pesangihan, teruna atau teruni ini turun dengan
mempergunakan pijakan Padi Sepingan (Padi yang dipanen
dengan cara tradisional masih ikut batangnya).
 Setelah selesai metatah (mepandes), dilanjutkan dengan
ritual megunting, dan pergi ke salah satu permandian yang
165

berisi mata air (beji / kayuwan). Pada rentetan ritual ini


tidak menggunakan boreh yang seperti di gunakan pada
umumnya.
 Gelang yang dipergunakan untuk mesangih yaitu berupa
uang kepeng yang berjumlah 225 kepeng dan di tanbahkan
dengan satu kuwangen yang berisi uang kepeng berjumlah
11. Bekas gigi di tempatkan pada sebuah bungkak kelapa
gading dan di tanam di belakang kemulan.
 Bentuk upakara tataban yang di tempatkan di bale dangin
antara lain: Tebasan Prascita, Tebasan Sapu Lara, Tebasan
Melaradan, Tebasan Kenyung Manis, Tebasan Pepek Bayu,
Tebasan Bayu Teka dan Panglastan .
 Setelah selesai semua prosesi matatah, tiga hari kemudian
(ketelunan) disiapkan upakara antara lain: Tebasan
Pangelepas Brata, Banten pangrombowan (dilaksanakan
atau diambil oleh keluarga bersangkutan) sebelum
melakukan ritual maya bakan yang melakukan petatahan
(mepandes) diharuskan tidur di bale dangin selama ketelun
(3 hari), dan melskukan aktifitas seperti biasanya.

 Pesakapan (Pernikahan)

Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti


penting yaitu :

 Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri


kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam
membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan
keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita
orang tua/leluhur.
 Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan
seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi
suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung
jawab bersama.
 Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya
Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi
166

dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis


Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu
mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala
Keluarga.

Upakara Pekala-kalan di Halaman.

Di desa Let Taro, prosesi upacara perkawinan itu


mempergunakan beberapa bentuk upakara yang di pergunakan
dalam tiga tempat yang berbeda, diantaranya:

 Upakara Upasaksi di sanggah / pamrajaan bentuk


upakaranya adalah dengan memakai Pejati 1 soroh,
ditambah dengan Sesantun 1. Ada juga ritual yang dikenal
dengan nama Maya bakat (Naur Bakatan merupakan suatu
ritual untuk matur piuning atau minta izin secara niskala
agar pengantin bisa masuk ke jeroan) dengan upakara
diantaranya: soroan peras panyeneng 2 soroh, diisi beras
sebanyak dua paatan, kelapa 3 butir. Sesarinya dengan
menggunakan uang kepeng sebanyak 200 kepeng (uang
kepeng kuno) dan Pras Penganteb.
167

 Upakara Tataban di bale, terdiri dari : Sorowan tumpeng 17


satu soroh, dengan daging ayam panggang. Tebasan Pepek
Bayu, Bayu Teka (Tebasan Nganten), Daksina Nganten,
Tebasan Sapuh Lara, Tebasan Melaradan, Prascita, Ketupat
(anaman) pejatian, Canang Rantasan dan Santun Penganteb.
 Upakara Di Halaman rumah (di natah), upakara mekalan-
kalan (mabeya kala) diantaranya: Soroan Peras Penyeneng 1
soroh, kekeb, obor- obor, sesimbuh (lengkap). Di pamedal
sanggah / pamrajaan dihaturkan upakara: sorowan manca
(ditempatkan sesuai dengan tempat / warna dari arah
penjuru mata angin). Juga Tebasan Pengerantas, Tebasan
Prascita Durmangala, Canang Rantasan dan Santun
Penganteb. Perlu juga disiapkan Bayuwan Panglukatan,
Carang Dapdap sebanyak 2 batang, benang tukelan. Sok
dagang – dagangan, ditambahkan sambuk sebagai tempat
duduk disaat upacara pedagang- dagangan di mulai.

Dalam prosesi upacara pesakapan yang dilakukan di desa


Let, Para Para Juru Adat berperanan aktif sebagai upasaksi pada
prosesi Mapakidihan saja, juga bertugas untuk mengatur suara
kentongan, tanda resminya upacara perkawinan anggota desanya.
Suara kentongan yang dipakai tanda selesainya proses Mapakidihan
adalah suara kentongan lanang 1 tulud. Sedangkan pada saat prosesi
upacara yang dilakukan di rumah mempelai hanya disaksikan oleh
keluarga besar kedua mempelai dan jero mangku sebagai pemuput
upacara.

XII.5. Upacara Pitra Yadnya

Upacara Meyanin atau Ngaben adalah salah satu bagian dari


Upacara Panca Yadnya di Bali, yaitu Pitra Yadnya. Pitra artinya
arwah manusia yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas.

Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci


yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan
168

meralina (kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah


meninggal menurut ajaran Agama Hindu. Yang dimaksud dengan
mralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu) adalah merubah
suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali
kepada asal semula. Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal
manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah,
angin dan akasa.

Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci)


sedangkan untuk pralina digunakan api pralina (api alat kremasi).
Akan tetapi tidak demikian dengan prosesi pitra yadnya di desa Let
Taro. Walaupun memiliki makna dan tujuan yang sama, akan tetapi
prosesinya yang berbeda dari yang biasa kita jumpai di masyarakat
Hindu. Karena unsur Prelina dengan apai tidak dilaksanakan. Hal itu
berkaitan dengan kepercayaan Bali Aga yang banyak mengadopsi
budaya religius pegunungan Bali dengan pokok Banua penyungsung
pura Pucak Penulisan.

 Prosesi Upacara Meyanin (Ngaben)

Di desa Let, Prosesi Pitra Yadnya disebut dengan Upacara


Meyanin atau Ngaben. Didahului dengan prosesi kremasi, yang
dikenal dengan nama Nusang. Dari jenis upakara dan prosesinya
mempunyai nilai filosofi yang tinggi, yang sedikit berbeda dengan
prosesi pada kebanyakan masyarakat Hindu Bali di daerah lainnya.
Perbedaannya dapat kita lihat dari sarana upakara yang di gunakan
dalam upacara ini dan dapat pula kita lihat pada saat prosesinya
dilakukan. Adapun bentuk upakara yang di pergunakan adalah
sebagai berikut :
169

Dua orang Serati (Tukang Banten) Desa Let yang memberikan keterangan
tentang Upakara Meyanin dan Metuwun.

Apabila ada diantara krama desa yang meninggal, pada saat


baru meninggalnya disiapkan upakara seperti :

 Santun Bekel,
 Pujung Sagi,
 Galeng Uang kepeng berisi uang kepeng 25.

Apabila sudah ada hari baik mulailah bisa disiapkan prosesi


Ngaben atau Miyanin. Ada ketentuan hari yang tidak bisa dipakai
untuk melaksanakan upacara Ngaben atau Meyanin, antara lain :
Pasah, Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan apabila bertepatan
dengan adanya upacara di kayangan Desa Pakraman Let. Bila ada
diantara penduduk yang meninggal saat Piodalan di Kayangan,
maka Mayat warga dibawa ke Setra (Kuburan), dikubur dengan
prosesi Mekingsan (Dititip) atau Nyauban. Apabila sudah berakhir
prosesi Piodalan di Kayangan Desa Pakraman barulah kemudian
diperkenankan untuk melaksanakan upacara Ngaben atau Meyanin,
dengan mengganti mayat yang sudah dikubur itu memakai batang
kayu Sakti atau Dadap, yang dibentuk menyerupai manusia.
170

Diawali dengan prosesi upacara Mresihin Sawa (Nusang


Sawa) dilaksanakan di halaman rumah, sesaat setelah Sawa (Mayat)
keluar dari kamar tempat meninggalnya, upakaranya, antara lain :

 Pebresihan,
 Pengurug-urug,
 Pengerekan,
 Leluwur,
 Pras Ajengan,
 Santun Pengelukatan dan
 Santun Penganteb.

Sarana Toya Penembak dimohonkan di Temuku Aya,


dengan sarana Canang sari memakai Uang kepeng sebagai
sesarinya. Alas sawa saat Nusang atau Mresihin memakai Bedeg
Penusangan, Ketungan.

Foto Upakara di Bale Dangin sebelum sawa (Mayat) dibawa ke kuburan.

Dalam prosesi upacara Ngaben atau Meyanin, memakai


berbagai upakara yang agak sedikit berbeda dengan upakara yang
berlaku di wilayah Bali Dataran atau Bali Tengah. Upakara Pejati
171

dipergunakan dihaturkan di Sanggah atau Pemrajan, dipelinggih-


pelinggih: Kamulan, Pangelurah dan Piyasan, terdiri dari Pejati dan
Pangkonan, dengan Kawisan sebagai ulamnya. Di Sanggah atau
Pemerajan juga menghaturkan upacara sebagai sarana memohon air
suci (Tirtha), terutama sekali di Pelinggih Kamulan, upakaranya
berupa :

 Pras Ajengan,
 Base Taksu atau Base Kaput
 Segan.

Upakara yang di pergunakan di halaman rumah / natah


diantaranya:

 Peras ajengan,
 Santun,
 Lis panglukatan,
 Penganteb dan
 Segehan manca warna.

Adapun eteh-eteh yang dipergunakan pada saat pembersihan


antara lain :

 Galeng dengan mempergunakan uang kepeng berjumlah


225 kepeng (uang kepeng kuno),
 Kuangen berisi uang kepeng berjumlah 11,
 Penanjung menggunakan kuangen berisi uang kepeng
berjumlah 5,
 Buku-buku badan menggunakan kawangen berisi uang
kepeng masing-masing satu kepeng.
 Gegemelan menggunakan kawangen berisi uang kepeng
berjumlah sebelas (11),
 Slaka,
 Mon-mon,
 Angkeb Rai,
172

 Angkeb Baga
 menggunakan pembersihan lengkap.

Tirta yang di pergunakan pada saat penusangan antara lain :

 Tirta di sangah / pamrajaan,


 Tirta pangentas,
 memohon di beji dan
 Tirta panembak memohon di beji

Sesudah semua itu dilaksanakan pada mayat dilanjutkan


dengan prosesi peringkesan, disertai dengan suara kentungan
pertanda prosesi peringkesan sudah berakhir. Mayat kemudian
disemayamkan di Bale Adat (Bale Dangin), dialasi dengan tumpang
salu. Adapun ayaban yang di siapkan di bale antara lain:

 Tumpeng 17,
 Banten Pejuitan,
 Angkeb nasi dan
 Base Penamyung

Semua upakara diatas memakai daging ayam panggang


sebagai Ulamnya.

Adapun isi dari dari baten Pajuitan andalah daging ayam


utuh yang di tempatkan pada angkeb nasi. Keesokan harinya daging
ayam itu di ganti dengan daging babi dilengkapi dengan pangkonan
7 soroh. Sesaat sawa sebelum brangkat ke setra Gesi-gesi pun di
jalankan terlebih dahulu.
173

Bentuk upakara Pemerasan, dilaksanakan di halaman rumah

Prosesi Pemerasan juga berjalan, sebelum sawa berjalan


keluar bentuk upakaranya antara lain:

 Keris, Uang kepeng berjumlah dari 225 menurun


 Rawosan tumpeng lima (5) berjumlah 4 soroh diantaranya:
1. Pemerasan Toya,
2. Pemanah Geginan,
3. Pemanah Bacin,
4. Pemanah Cucu.
 Pangkonan,
 santun masing -masing berjumlah 4,
 Penggorengan,
 jukung (geginan)

Pada sebuah rangkaian upacara Meyanin, dihulu pekarangan


yang letaknya dipojok timur laut dari Bale Meten, dibangun sebuah
sanggar yang menyatu dengan bangunan Bale Meten, kira-kira
berukuran 1 kali 1,5 Meter. Tiangnya terbuat dari bambu dengan
balai-balai, lengkap beralas tikar. Atapnya memakai sejenis
tumbuhan menyerupai ilalang yang bilahnya agak besar. Sanggar
ini dikenal dengan nama Bale Pengerekan.
174

Foto Bentuk Bale Pangerekan

Setelah upacara lewat 1 bulan 7 hari Bali (42 hari) barulah


Bale pengerekan ini dibongkar dan bahan-bahan balainya dibuang
ke perbatasan desa atau ujung Setra (Kuburan). Dalam prosesi
Meyanin ini ada beberapa upakara yang dihaturkan di Bale
Pengerekan, antara lain:

 Peras ajengan 2 soroh,


 Ulam Kawisan,
 Bebakaran, dan
 Rawosan penganteban 1 soroh.

Pada saat Sawa (Mayat mulai diangkat dari Bale Adat untuk
diusung ke Setra (Kuburan Adat), di dahului dengan orob, madik
penatas, tabunan dan Sekar ura (uparengga depan sama seperti
ngaben pada umumnya). Wimba Watangan (Mayat) menggunakan
menggunakan kayu dadap sebagai peminda watangan (sebagai
pengganti mayat) dan dibungkus dengan kain kemudian di bungkus
kembali dengan rante yang di buat dari banbu, dan sawapun di
175

upakarai dengan upakara yang di sebut sawa prateka atau di sebut


juga dengan kata Miyanin. Miyanin sendiri proses upacaranya
terlibat langsung dengan sawa yang ada.syarat dan isyarat
pemberitahuan dalam berbagai upacara yang akan dilaksanakan di
desa Let tersendiri adalah di cirikan oleh adanya suara kentungan
yang memiliki ciri khas tersendiri, Jika ada orang meninggal
kentungan di bunyikan sebanyak tiga (3) pukulan.
Pada setiap ada warga yang meninggal di salah satu
keluarga di desa Let, maka masyarakat yang berkaitan akan
melaksanakan pegebagan atau meramaikan ditempat orang yang
meninggal selama tiga hari berturut-turut dimulai dari pembersihan.
Adapun sejumlah tokoh masyarakat yang tidak bisa menghadiri
dalam prosesi tersebut yang dilakukan dari awal sampai akhir
prosesi upacara pengabenan adalah :Pemangku kayangan, Bendesa,
Penyarikan dan Pekaseh. Itu sebabnya pada setiap prosesi para
penghulu adat tidak bisa ikut serta, yang hadir sebagai penyaksi
prosesi hanya parajuru dinas saja, sekaligus mengatur semua
upacara, menggerakkan krama desa dan para serati.
Prosesi upacara Pemegat dilaksanakan pada saat Sawa
(Mayat) sudah diusung keluar pekarangan, upacara ini berlangsung
di jalan di depan rumah orang meninggal. Mempunyai niyasa agar
sang meninggal tenang dalam berjalan menuju alam sunia, tidak lagi
ingat dengan hal-hal yang ada dirumah, demikian juga bagi yang
ditinggalkan agar tidak bersedih terus menerus, karena Lahir, hidup
dan mati adalah sebuah siklus kehidupan dan harus dijalani oleh
semua mahluk hidup. Dalam prosesi ini juga disiratkan unsur-unsur
pebersihan dari segala unsur-unsur kekotoran bagi semua anggota
keluarga yang ditinggalkan, termasuk juga bayi bayi-bayi yang
belum tanggal gigi dengan prosesi memasukkan bayi dalam
kurungan ayam.
176

Upakara dan Prosesi Mapegat


Prosesi memasukan bayi dalam sangkar ayam beberapa saat
sebanyak tiga kali, mempunyai nilai filosofi tinggi, sebagai harapan
semua orang tua dan keluarga, agar bayi dalam kehidupan
mendatangnya dijauhkan dari unsur-unsur yang tidak baik, agar
nanti tidak mementingkan hal-hal yang bersifat pribadi, dan
memandang dunia ini tidak hanya sebatas lingkungan keluarga saja,
pada intinya nilai harapan agar si bayi kelak setelah dewasa bisa
berguna bagi Agama dan Negara.
Bentuk upakara pamegat yaitu digunakan pada saat sawa
(mayat) baru keluar dari rumah. Diantaranya: Panglukatan jangkep,
Lesung berisi air kelapa yang di belah (digunakan sebagai
panglukatan).

Upakara Pejuitan yang dihaturkan di Pura Dalem


177

Bentuk upakara yang dipergunakan untuk di Pura Dalem


diantaranya:
 Rawosan tumpeng solas (11),
 santun di ulu,
 peras ajengan,
 pisang matah dan lebeng.
 Ulam jatah,
 kepala babi utuh.
Untuk jatahnya masing- masing berjumlah 20 batang terdiri
dari 10 macam jatah di tambahkan pengapit.adapun hitungan dari
pengapit dari jumlah 33, 11, 7, 5, 3 dan di tambahkan dengan
kawisan. Sedangkan upakara yang dipakai sebagai sarana memohon
air suci di Pura Dalem, bentuk dan jenisnya sama dengan upakara
yang dipakai memohon air suci di Sanggah atau Pemrajan. Bentuk
upakara yang dihaturkan di Pura Prajapati diantaranya:
 Rawosan tumpeng 7,
 Rawosan ajengan,
 santun pangkonan 2 soroh,
 ulam bawi (Daging Babi)
 Ketengan dan
 Kawisan.
Upakara yang dihaturkan di Ulun setra antara lain:
 Peras Ajengan,
 Santun 2 soroh,
 Pangkonan 2, dan
 Segehan.
Upakara yang dipergunakan untuk di tempat penguburan
mayat (Bangbang) diantaranya : Sama seperti ayaban yang di
pergunakan di bale di tambahkan Rawosan sebanyak 3 soroh, dan
iber- iber yang terdiri dari 2 anak ayam sebagai penyilur bambang
(Pengganti Kubur) Bentuk upakara yang dipergunakan untuk di
kuburan (setra) ini memiliki kesamaan dengan upakara yang di
178

pergunakan di bale namun di tambahkan dengan beberapa bentuk


upakara diantaranya:
 Sok Bekel,
 Tipat Suarga Menga,
 Ajengan,
 Angapan,
 Tebu dan
 Peselet untuk mayat berjenis kelamin perempuan
menggunakan pisau kecil, sedangkan yang laki-laki
menggunakan keris.

Prosesi penguburan di Setra Let


Penggunaan (Pemargi) tirta diantaranya :
 Tirta di Pura Dalem,
 Tirta di Sanggah dan
 Tirta pemanah toya yang dibuat oleh Mangku.
Sementara itu upakara yang di gunakan pada darpana yang
di gunakan 2 kali penggunaan diantaranya di Kuburan (setra)= 1kali
179

dan di bale =1 kali. Di Sanggar Surya saat penguburan memakai


upakara
 Rawosan tumpeng lima asoroh,
 Peras Ajengan dan
 Sasantun.
 Siwa Budha (tebasan Siwa Budha) diselatan menggunakan
ulam ketengan kawisan, dan sebelah utara menggunakan
hati ayam, dan Banten Rawosan pelinggih terdiri dari :
canang gantalan, tapakan, dan santun.
Di Sor Sanggar Surya dihaturkan beberapa upakara, seperti;

 Peras ajengan santun,


 Peras ajengan pangkonan dan
 Segehan.
Masa Cuntaka dilaksanakan oleh masyarakat desa selama 12
hari, dan bagi yang memiliki sawa (Kematian) cuntaka dilaksanakan
selama 1 bulan 7 hari atau 42 hari (Abulan Pitung Dina) dari mulai
mersihin sawa.
Setelah sawa (Mayat) di kubur, dilanjutkan dengan prosesi
metanuran yaitu prosesi menanam segala macam biji – bijian, dan
menggunakan sesawen / pengingat berupa ranting pohon kelawasan.
Upacara pengiriman merupakan rangkaian upacara ngaben
yang dilaksanaka berselang satu hari setelah ngaben dilaksanakan.
Adapun bentuk – bentuk dan rangkaian upakara dan upacaranya
sebagai berikut : sehari setelah pengabenan, bentuk upakaranya :
Rawosan tumpeng lima, Pangkonan 2 soroh dan Peras penganteb.
Ditaruh di perbatasan pintu masuk kuburan (setra) dan rurup di
sertakan ke kuburan (setra). Ritual upacara Memunjung
dilaksanakan di tempat -tempat tertentu dengan selang waktu yang
berbeda. Diantaranya : Satu hari setelah pengabenan di laksanakan
di pintu masuk kuburan (setra), Dua hari setelah pengabenan
dilaksanakan di pemangkan dan Tiga hari setelah pengabenan
dilaksanakan di bale.
180

Setelah tiga hari setelah penguburan (Tutug Ketelun)


kembali dilaksanakan upacara Pamegatan, dilaksanakan oleh
anggota keluarga yang bersangkutan, laki-laki maupun perempuan,
Pemegatan yang laki- laki menggunakan tegen – tegenan dan yang
perempuan menggunakan suwun– suwunan, yang mengandung nilai
filosofi tentang tanggung jawab anggota keluarga terhadap bentuk
upakara, yang laki-laki bertanggung jawab 2 kali lebih banyak dari
yang wanita, demikian juga tanggung jawab niskala terhadap arwah
anggota keluarga mereka yang sudah meninggal. Upakaranya
menggunakan Tetampok, sorohan tumpeng 7 sebanyak 2 soroh,
Penyambutan tumpeng 5 asoroh, memakai ulam daging ayam.
Setelah tiga hari dari upacara penguburan ini juga diadakan
upacara Ngeluwar Gesi-gesi, yang dibawa ke Lebuh (Jalan Raya di
depan pintu masuk pekarangan), disanalah kemudian gesi-gesi itu
dibagikan kepada semua anggota keluarga. Ritual ini mengandung
makna keadilan dan keterbukaan. Gesi-gesi yang dibagikan itu
diibaratkan semua harta benda yang dimiliki oleh anggota keluarga
yang berpulang, setelah dia tidak memerlukan lagi benda-benda itu,
maka harus dibagikan kepada semua anggota keluarga secara
terbuka, disaksikan oleh semua penduduk, itulah makanya prosesi
upacara tersebut dilakukan di jalan desa. Setelah semua harta benda
yang meninggal dibagikan kepada anggota keluarga, diharapkan
secara niyasa, semua anggota keluarga memakai isi Gesi-gesi itu
sebagai modal awal untuk persiapan menyongsong upacara-upacara
setelahnya, baik manusa yadnya, dewa yadnya, pitra yadnya, butha
yadnya dan rsi yadnya. Yang utama sekali bahwa isi gesi-gesi yang
tidak seberapa itu agar diolah oleh anggota keluarga sehingga bisa
bertambah dan semakin banyak, sehingga bisa dipakai modal untuk
nangun yadnya, termasuk didalamnya melaksanakan upacara ritual
Metuwun.
Bagi Bayi yang belum tanggal gigi yang meninggal
dibuatkan upakara dengan nama Ngelungah, dengan upakara dan
piranti menggunakan; Pejatian, Rosan tumpeng tujuh (pitu) asoroh.
Kelungah kelapa gading di hiasi dengan kain (mekamen) di
tempatkan di kuburan (setra) dan ditambahkan rosan penganteb.
181

Prosesi ini dilaksanakan di Hulu setra (Bagian sebelah utara


Kuburan).
Dimulai dari sesaat gesi–gesi turun dari bale dan
menghadap sanggar surya yang terbuat dari bambu di tempatkan
disebelah timur halaman pekarangan rumah (pada sebelah kiri
pamedal sanggah atau pamrajaan) dan di sembahyangkan oleh
keluarganya yang bertujuan untuk berpamitan dari dunia ini untuk
menuju kealam pitra. Setelah persembahyangan selesai, kemudian
gesi-gersipun dihadapkan kearah barat untuk memulai prosesi
pemerasan yang di pimpin oleh seorang pemangku. anggota yang di
peras terdiri dari anak dan cucu dari orang yang telah meninggal,
dengan alat-alat yang di gunakan dalam prosesi pamerasan
diantaranya: Keris, kain, uang kepeng yang berjumlah 225 kepeng
(uang kepeng kuno).
Selesai proses pemerasan gesi-gesi pun kembali
ditempatkan di bale dengan melewati sebelah selatan adegan (tiang)
bale bagian tengah. Dilanjutkan dengan proses pemerasan yang ke
dua yaitu salah seorang anak diumpamakan melihat pitra dengan
menggunakan simbol-simbol yang diantaranya berupa jarum,
potongan bambu, dan prahu-prahuan kecil. Baru kemudian
pemangku mulai mempersembahkan ayaban (sesajen) terhadap pitra
(orang yang sudah meninggal) alat yang di pakai untuk ngayabang
di beri nama dengan Taapan yaitu sebidang daun pisang yang di
bentuk menyerupai tekor atau krucut tak beraturan.
Ketika sesajen sudah selesai dipersembahkan kepada pitra,
hiasan-hiasan yang menghiasi bale pun dibongkar, seperti leluhur,
kelabang dan sebagainya, dilanjutkan membuka kain yang menutupi
sawa dan yang diperlihatkan hanya Rante yang terbuat dari bambu,
kemudian sawa pun diturunkan untuk menuju ke kuburan, yang di
gotong dengan menggunakan bambu disertai pula dengan
penuntunan yang ujungnya juga menggunakan bambu.
Setelah sawa sampai atau berada di jalan tepatnya di depan
pintu masuk rumah, disana dilaksanakan pula prosesi upacara yang
di sebut dengan upacara pamegatan dalam bentuk-bentuk yang di
182

pergunakan dalam upakara pemegatan tersebut, tempat tirta yang di


gunakan menggunakan Kele yaitu potongan bambu yang berisi ruas
bambu dengan berbagai ukuran tersendiri. Kelapa di pecahkan,
airnya dimasukan ke dalam kele dan di tumbuk dengan kayu, air
kelapa itulah yang dipercikan ke seluruh anggota keluarga. selama
prosesi ini dilaksanakan suatu prosesi yang di laksanakan di pura
Dalem juga dilaksanakan yaitu dengan prosesi mepamit oleh
anggota keluarga yang lainnya dengan menggunakan sesajen berupa
daging babi lengkap dan selesai menghaturkan sesajen di pura
Dalem daging tersebut di bawa kembali ke balai banjar untuk
nantinya akan di lelang oleh warga.
Sesampainya sawa di kuburan (setra) ketika itu pula tanah
tempat penguburan mulai digali untuk liang kubur kemudian
didalamnya diisi alas berupa daun paku (Pakis). Sesampainya
rombongan pengusung sawa di pinggir liang kubur sawa memutar
tiga kali mengelilingi lobang yang sudah disiapkan tersebut
melingkar kekiri kemudian sawa di masukan kedalam lubang dan di
kubur. Diatas kuburan ditanami dengan biji- bijian dan di sesawen.
XII.5.2. Prosesi Upacara Metuwun (Nyekah)
Apabila sudah ada kesepakatan antara keluarga dan ijin dari
krama desa Pakraman kapan akan dilaksanakan upacara Metuwun
atau Nyekah, maka dilaksanakan prosesi Matur piuning di semua
kahyangan,
183

Prosesi Matuwun (Nyekah)

bahwa akan ada pelaksanaan upacara Meyanin atau Nyekah, dengan


sarana uapakara Canang Santun. Dilanjutkan dengan upacara
Mlaspas Gesi-gesi atau Puspa, memakai upakara
 Suci 1 Pasang,
 Darpana 1 pasang,
 Rawosan Penganteb,
 Segan Manca 1 pasang.
Sebelas hari sebelum upacara dilaksanakan atur piuning
kembali dengan sarana upakara; Canang Santun, Base Kaput di
Sanggah Kamulan dan di Pura Dalem. Terhitung tiga hari sebelum
acara kembali melaksanakan atur piuning dengan piranti upakara
yang sama. Dilanjutkan dengan Prosesi Mendak Sang Pitara atau
Memohon Arwah Leluhur di Pura Dalem, dengan upakara;
 Suci 1 soroh,
 Pejatian,
 Pras Ajengan,
184

 Santun Lantasan, dan


 Base Kaput.
Upakara yang dihaturkan di Prajapati,
 Suci asoroh.
Di Ulun Setra menghaturkan upakara
 Suci 2 soroh.

Setelah semua upacara Atur Piuning dilaksanakan,


dilanjutkan dengan prosesi Ngeplugin di Pemangkalan, dengan
melinggihkan Gesi-gesi atau Puspa dengan upakara;

 Keplugan Nasi Takilan,


 Tulung Urip,
 Suci 1 pasang,
 Bayuan 1 pasang,
 Rawosan Tumpeng 7 satu pasang,
 Lis Pengelukatan 1 pasang,
 Pangkonan 2 pasang,
 Rawosan Penganteb,
 Segan 1 pasang dan
 Canang Pengajuman.
185

Gesi-gesi atau Puspa itu kemudian dibawa ke Balai Banjar


dan dilinggihkan serta dihaturkan upakara Penamiyu antara lain:

 Rujak,
 Wedang,
 Soda.

Dihaturkan juga upakara Penelesan, seperti:

 Bayuan 1 pasang,
 Suci 1 pasang,
 Jejanganan 1 pasang,
 Darpana 1 pasang,
 Pepleduk 2 pasang,
 Haturan Madahar 1 pasang soroh 11,
 Malang-malang 2 pasang,
 Itik Hitam 2 pasang,
 Itik Putih 2 pasang,
 Kelepon 2 pasang,
 Soroh Tutu Babi 2 pasang,
 Soroh Tutu Bebek 1 pasang,
 Soroh Tutu Ayam 1 Pasang,
 Kakul 1 pasang,
 Telur 1 pasang,
 Palang Tangar,
 Enjer-enjer 2 pasang,
 Jerimpen Tegeh 1 pasang,
 Jerimpen Sate 1 Pasang,
 Jerimpen Pengempu 1 pasang,
 Pengelukatan 1 pasang,
 Rawosan Tumpeng 11,
 Tegen-tegenan,
 Rosan Penganteb.
186

Untuk Tataban Sang Pitara dihaturkan upakara

 Suci 1 pasang dan


 Jerimpen Sate 1 pasang.

Di semua pelinggih dihaturkan upakara Suci sebanyak 6


soroh. Sementara Upakara Bilang Bucu dihaturkan Penyeneng untuk
Timur Laut, di Tenggara dihaturkan Penyeneng dengan Ulam
Balung Katupang dan Padang Belulang. Di Barat Daya dihaturkan
Penyeneng Ulam Balung Bolong, Padang Genta dan Segan Manca.
Di Barat Laut, dihaturkan Penyeneng Ulam Padang Gajah, dan
Segeh Manca. Sedangkan untuk ditengah dihaturkan Penyeneng
Brunbun dan Segan Manca.

Untuk upakara Penamiyu dihaturkan

 Suci 1 soroh,
 Base Taksu,
 Jajan Pasar,
 Kopi dan
 Segeh Manca.
187

Pada Prosesi Metuwun, wewalen yang diadakan adalah


Wayang Penyudamalan, disamping Gong. Setelah prosesi upacara
Penelasan, Sang Pitara digantikan Wastra atau pakaian, disembah
oleh para sentananya, kemudian Mepamit dari Bale Banjar,
dilanjutkan dengan prosesi Ngening di mata air atau pemandian,
diiringi dengan wewalen Gong dengan upakara

 Suci 1 pasang,
 Eteh-eteh Pelinggih,
 Rawosan penganteb dan
 Segan Manca.

Dari Pemandian Sang Pitara dibawa dan dilinggihkan di


Petak-petak. Dihaturkan upakara di hadapan Puspa, antara lain :

 Pejati,
 Canang Lantasan,
 Cepale,
 Soda,
 Suci,
 Darpana
 Sangsangan.
 Dapetan,
 Tetabuwan,
 Rawosan Pulagembal 1 pasang,
 Suci 6 soroh,
 Tebasan Prayascitha Durmanggala dan
 Pengelasta.

Di Peturon dihaturkan upakaran

 Suci 4 soroh,
 Bebek Guling dan
 Pejatian 1 pasang.
188

Di Pelinggih Surya dihaturkan upakara Piranti (Alat-alat)


tapakan Pelinggih,

 Suci 4 soroh,
 Bebek Guling,
 Ketengan,
 Kawisan,
 Penganteban,
 Jauman dan
 Tebasan Kusuma Jati.

Dibawah Sanggar Surya dihaturkan upakara,

 Santun Gede,
 Memasak Bubur Soda beralaskan daun pisang.

Dengan selesainya semua prosesi upacara upakara diatas,


maka Sang Pitara sudah dianggap dan disebut Bhatara Hyang Guru.
Dilanjutkan dengan mengiring Beliau melaksanakan prosesi
Nyegara Gunung di depan Tretemanan, dengan upakara:

 Suci 4 soroh, Jauman 1 pasang,


 Rawosan Penganteb dan
 Segeh Manca.

Setelah ritual persembahyangan kembali diputar sebanyak 3


kali baru kemudian diiring ke rumah masing-masing, Ida Bhatara
Hyang Guru dilinggihkan di Sanggah atau Mrajan, lanjut dihaturkan
upakara:

 Segehan,
 Suci,
 Pejati juga
 Pakalayangan Pamutus,
 Tirtha Dukuh,
189

 Tirtha Pura Kayangan Tiga,


 Tirtha Bale Bang,
 juga tirta di Sanggah.

Di setiap Kayangan Desa juga melaksanakan prosesi Matur


Piuning, dilanjutkan dengan Acara Pekeludan tiga setelah upacara
selesai dilaksanakan.

Demikianlah prosesi dan urutan tata pelaksanaan uapacara


Pitra Yadnya di Desa Let, yang merupakan warisan leluhur sudah
dilaksanakan dari dahulu kala, konon tidak diperkenankan untuk
merubahnya, bagi siapa saja yang berkehendak merubah, akan
mendapatkan kutuk dan alpa serta mendapatkan bahayanya.

XII.6. Upacara Dewa Yadnya

Upacara dewa yadnya adalah upacara pemujaan dan


persembahan sebagai wujud bakti kehadapan Hyang Widhi dan
segala manifestasi-Nya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam
bentuk upakara. Upacara ini bertujuan untuk pengucapan terima
kasih kepada Hyang Widhi atas kasih, rahmat dan karunia-Nya
sehingga kehidupan dapat berjalan damai.

Upacara dewa yadnya umumnya dilaksanakan di sanggah-


sanggah, pamerajan, pura, kayangan dan tempat suci lainnya yang
setingkat dengan itu. Upacara dewa yadnya ada yang dilakukan
setiap hari dan ada juga yang dilakukan secara periodik atau berkala.
Contoh dari upacara dewa yadnya yang dilakukan setiap hari adalah
puja tri sandya dan Yadnya Sesa. Sedangkan upacara Dewa Yadnya
yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti: Galungan, Kuningan,
Saraswati, Siwaratri, Purnama dan Tilem, dan piodalan lainnya.

"Brahma rpanam brahma havir,


brahmagnau bahmana hutam,
brahmai va tena gantavyam,
brahma karma samadhina"
190

(Bhagawad Gita IV.24)

"Dipujanya Brahman, persembahannya Brahman,


oleh Brahman dipersembahkan dalam api Brahman,
dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman,
dalam kerja ia mencapai Brahman".

Di Desa pakraman Let upacara Dewa Yadnya juga


dilakukan di Kayangan-kayangan, baik Kayangan Tiga maupun
Kayangan Desa. Ada beberapa upakara yang dihaturkan berkaitan
dengan prosesi Upacara panca Yadnya. Antara lain:

 Upacara Setiap Tumpek Landep.

Umat Hindu merayakan rerahinan Tumpek Landep, Sabtu


Kliwon Wuku Landep. Pada Tumpek Landep, umat Hindu memuja
Ida Sang Hyang Widhi dalam prebawa-nya sebagai Sang Hyang
Pasupati yang telah menganugerahkan kecerdasan atau ketajaman
pikiran sehingga mampu menciptakan teknologi atau benda-benda
yang dapat mempermudah dan memperlancar hidup, seperti sepeda
motor, mobil, mesin, komputer (laptop) dan sebagainya. Tetapi
dalam konteks itu umat bukanlah menyembah mobil, komputer,
tetapi memohon kepada Ida Sang Hyang Pasupati agar benda-benda
tersebut betul-betul dapat berguna bagi kehidupan manusia. Landep
dalam Tumpek Landep memiliki pengertian lancip. Secara harfiah
diartikan senjata tajam seperti tombak dan keris. Benda-benda
tersebut dulunya difungsikan sebagai senjata hidup untuk
menegakkan kebenaran. Secara sekala, benda-benda tersebut
diupacarai dalam Tumpek Landep.

Namun dalam konteks kekinian, senjata lancip itu sudah


meluas. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta
karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda
motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah
yang diupacarai. Namun harus disadari, dalam konteks itu umat
bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon
191

kepada Ida Sang Hyang Widi dalam prebawa-nya sebagai Sang


Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda
tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup. Dalam
pengertian, bahwa umat patut bersyukur kepada Tuhan karena telah
diberikan kemampuan atau ketajaman pikiran sehingga mampu
menciptakan aneka benda atau teknologi yang dapat mempermudah
hidup.

Sementara dalam kaitan dengan buana alit (diri manusia),


Tumpek Landep itu sesungguhnya momentum untuk selalu
menajamkan pikiran (landeping idep), menajamkan perkataan
(landeping wak) dan menajamkan perbuatan (landeping kaya).
Ketiga unsur Tri Kaya Parisuda tersebut perlu lebih dipertajam agar
berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Buah pikiran perlu
dipertajam untuk kepentingan umat manusia, demikian pula
perbuatan dan perkataan yang dapat menentramkan pikiran dan
batin orang lain. Pikiran kita mesti selalu diasah agar mengalami
ketajaman. Ilmu pengetahuanlah alat untuk menajamkan pikiran.
Komputer yang diciptakan untuk mempertajam pikiran, hendaknya
dimanfaatkan denganbaik. Internet mesti digunakan untuk
mengakses informasi sehingga wawasan dan kecerdasan bertambah,
bukan untuk mengunduh yang lain-lain.

Jadi Tumpek Landep memiliki nilai filosofi agar umat selalu


menajamkan pikiran. Setiap enam bulan sekali umat diingatkan
melakukan evaluasi apakah pikiran sudah selalu dijernihkan atau
diasah agar tajam? Sebab, dengan pikiran yang tajam, umat menjadi
lebih cerdas, lebih jernih melakukan analisa, lebih tepat menentukan
keputusan dan sebagainya. Lewat perayaan Tumpek Landep itu
umat diingatkan agar selalu menggunakan pikiran yang tajam
sebagai tali kendali kehidupan. Misalnya, ketika umat memerlukan
sarana untuk memudahkan hidup, seperti mobil, sepeda motor dan
sebagainya, pikiran yang tajam itu mesti dijadikan kendali.
Keinginan mesti mampu dikendalikan oleh pikiran. Dengan
demikian keinginan memiliki benda-benda itu tidak berdasarkan
atas gengsi, tetapi betul-betul berfungsi untuk menguatkan hidup
192

sehingga betul-betul tepat guna. Rerahinan Tumpek Landep inilah


sesungguhnya momen bagi kita untuk lebih menajamkan pikiran.

Di Desa Pakraman Let Prosesi Upacara pada saat Tumpek


Landep mempunyai arti yang lebih, karena bertepatan dengan
piodalan di Pura Puseh dan Bale Agung. Prosesi itu sudah berjalan
mulai pada hari Buda Pahing, dengan menghaturkan upakara di
Pelinggih Bali Aga, upakara itu antara lain:

Pada Hari Buda Pahing dengan menghaturkan Upakara :

 Suci 9 Soroh
 Soroan 2 Soroh
 Tebasan Pemiakala
 Tebasan Perascita
 Tebasan Durmengala
 Tebasan Kusumajati
 Tebasan Panca Kelud
 Dengan Ulam Bebek Belang Kalung
 Ayam 1 Manca
 Ayam Metunu 1 Manca

Pada Hari Buda Pahing Landep Juga menghaturkan Canang


Raka Penguntap ke Dura Desa :

 Sengkaduan
 Tebuana
 Belong
 Taro Kelod
 Bonjaka
 Pujung Kaja
 Tumbakasa

Pada Hari Kamis Pon Landep Prosesi Ngingsah dilakukan


pada Siang hari dengan Upakara :
193

 Soroan Tumpeng 7 ( 2 Soroh )


 Penganteb 1 Soroh
 Tegteg, Segehan Manca
 Canang Lantasan
 Beras 1 patan dan 4 patan sebanyak 4 wadah

Beras yang 1 patan diatasnya berisi beruk metekep kukusan.


Keesokan harinya beras itu diambil dan di kukus, setelah matang
nasi itu metatakan don telujungan, diatasnya berisi canang Yasa Sari
aunggan dan kembali dilinggihkan di palinggih pangenteg.

Beras yang 4 patan berisi canang Sayut Kunyit, Gamongan,


Tapuk Manggis aji busung metekep kukusan.

Di palinggih Pangenteg di Balai Agung Dauh di haturkan


upakara :

 Soroan Tumpeng 7
 Penganteb
 Canang Lantasan
 Cawu Petik Rujak
 Minyak wangi
 Segehan Manca

Pada Hari Kamis Pon Landep, Prosesi Nuhur dilakukan


pada sore hari, diawali dengan matur piuning di Kemulan Bali Aga,
dengan menghaturkan Upakara :

 Soroan tumpeng 7
 Penganteb
 Segehan Manca

Pada prosesi penuhuran diawali dari Meru Puseh, berlanjut


ke masing-masing palinggih. Kemudian menghaturkan penuhuran
Ratu Dalem Pingit di depan Titi Gonggang menghadap ke selatan.
Dilanjutkan nuhur ke Pura Dalem nuhur Ratu Lingsir.
194

Setelah prosesi nuhur katuran dapetan di pelinggih


pesamuan dengan menghaturkan Upakara :

 Rosan Tumpeng 11 ( 1 Soroh )


 Rosan Tumpeng 7 ( 3 Soroh )
 Rayunan 4 Soroh
 Segehan Manca serta haturan krama desa.

Ratu Bali Aga disetanakan di Kemulan Bali Aga dengan


menghaturkan upakara :

 Suci asoroh
 Rayunan 1 soroh dan
 Segehan Manca

Pada hari Jumat Wage Landep, dilaksanakan prosesi Menek


Canang. Siang harinya dilanjutkan dengan acara nanceb penjor
ageng dan sanggah cukcuk bilang bucu, dengan menghaturkan
Upakara :

 Kaler Kangin : penyeneng maulam Taluh


Meguling (telor guling)
 Kaler kauh : penyeneng meulam Padang Genta
 Kelod Kauh : Penyeneng meulam Padang
Belulang
 Kelod Kangin : penyeneng meulam Balung
Ketupang
 Di Tengah : muncuk nasi meulam Bakaran
 Di Perantenan : Santun Karangan meulam
Ketengan, Kawisan dan Segehan Manca

Setiap prosesi Wali Perempahan Bawi, selalu menghaturkan


Kedusan sebelum warga Nunas, baru kemudian menghaturkan
prosesi pengiyas memakai sarana batang bakung, dengan upakara
soroan tumpeng 7 (2 soroh), dilanjutkan dengan prosesi mesucian di
Champuan dengan upakara :
195

 Pejati Jauman Asoroh


 Bayuan
 Eteh-eteh pengelukatan Jangkep
 Tebasan Pemiakala
 Tebasan Durmangala
 Suci 3 meulam bebek meguling 1 soroh

Dari Campuan kemudianmenuju ke pura Tegal Suci untuk


melaksanakan prosesi Mesucian, nunas tirta di Pura Taman dengan
Upakara : Suci 2 soroh meulam bebek meguling 1 soroh.

Di depan Titi Gonggang juga menghaturkan Upakara :


segehan Agung dengan sambleh lengkap, antara lain :

 1 ekor ayam hitam


 1 butir Telor ayam kampung
 1 ekor Kucit butuan hitam (Anak babi hitam yang belum
dikebiri).
 Bubuh tabah beralaskan daun dapdap 118 lembar dengan
lauk putih telor.
 Rokok ganda 118 linting
 Gantal 118
 Segehan hitam cacahan 118
 1 soroh Suci hitam
 1 soroh Jauman hitam
 1 soroh Pejati hitam
 1 soroh Santun (soroh 4)
 Penganteb 1, santun 1
 Tapakan pemendak lengkap
 Jinah bolong (uang kepeng) dipakai jan 11 satak, berisi base
tampel dan samsam
 Beras kuning biyu kayu 2x4
 Plantar kasa putih (Kain putih)

Di jeroan Kori Agung menghaturkan Upakara :


196

 1 soroh Suci
 Timamah bebek putih ketengan 8, kawisan 1, sanggah
cucuk
 Tebasan Pancawara
 1 soroh Santun (soroh 4)
 Penganteb dan Segehan manca

Setelah selesai dihaturkan upakara Segeh Agung, Ida


Bhatara di iring mepada / mengitari pelinggih sebanyak 3 kali, baru
kemudian Ida Bhatara melinggih di pengaruman. Di Pengaruman
Ida Bhatara dihaturkan upakara :

 4 soroh Suci
 Suci 1 soroh di pelinggih Ratu Pujung
 Suci 3 soroh di ajeng sesuunan
 Suci 1 soroh di pelinggih Kemulan Bali Aga
 Soroan tumpeng 7 asoroh di pelinggih Pengenteg
 Canang Sasidan dari persembahan krama desa
 Linggih selam 8 soroh
 Linggih bawi 10 soroh
 Rayunan 5 soroh

Pada hari Sabtu Keliwon Wuku Landep Karya Peneman di


Pura Puseh dan Balai Agung. Di palinggih Padma dihaturkan
Upakara :

 Suci 7 soroh
 Rosan tumpeng 17 (1 soroh)
 Rosan tumpeng 11 (1 soroh)
 Rosan tumpeng 7 (2 soroh)
 Pejati 1 soroh
 Pebangkit 1 soroh
 Bangun ayu bebek 1 soroh
 Bebek putih meguling 1 ekor
 Bebek sebulu meguling 1 ekor
197

 Eteh-eteh pelinggih jangkep


 Jajan jejangan, sate jejanganan
 Pregemal dan pegeneng gelar sanga

Juga beberapa tandingan tebasan antara lain :

 Tebasan prascita
 Tebasan durmangala
 Tebasan kusumajati
 Santun gede 1 soroh
 Lis gede aprancak
 Tapakan ungan
 Pegeneng gelar sanga

Di pelinggih pengaruman dihaturkan upakara :

 Suci 10 soroh
 Rempahan bebek 3 soroh
 Rosan tumpeng 7 (3 soroh)
 Rosan tumpeng 11 (3 soroh)
 Penuhuran suci (1 soroh)
 Penyimpenan suci (1 soroh)
 Rosan tumpeng 17 (1 soroh)
 Tapakan 3 soroh
 Bangkit bebek 1 soroh
 Dan pegeneng gelar sanga

Aturan Siwa Budha dengan bentuk upakara berisi :

 Nasi 3 takep
 Telor bebek di kukus 1 takir
 Telor ayam di kukus 2 takir
 Cabai 2 takir
 Garam 2 takir
 Bebek guling 1 ekor
198

 Cepala 1 pasang
 Aqua, teh, kopi, air bungkak
 Rokok 1 bungkus dan korek

Di luhur akasa dihaturkan :

 Tapakan pelinggih 1,
 Pejati 1,
 Soroan 1,
 Suci 1 soroh,
 Jauman, penyeneng biying, meraka – raka, nyanyah
gringsing, pisang mas, panca pala.

Di bawah luhur akasa dihaturkan :

 Segeh agung,
 Santun gede,
 Panca pala.

Di tetanduran alit dihaturkan Pejatian hitam. Selain


upacara upakara diatas, juga dihaturkan berbagai berbagai macam
Tebasan, antara lain :

 Tebasan Dewa Rauh


 Tebasan Penyapa Dewa
 Tebasan Guru
 Tebasan Kesumajati
 Tebasan Durmangala
 Tebasan Puncak Manik
 Tebasan Pengenteg Linggih
 Tebasan Pucuk Bakti
 Rayunan 5 soroh
 Santun gede 3 soroh
 Lis gede 1 soroh
 Pejati 1 soroh
199

 Jauman 1 soroh

Di pelinggih Ratu Pujung dihaturkan suci 1 soroh, di Balai


Agung Dangin dihaturkan upakara antara lain :

 Canang gantal 1 pasang


 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Ajengan Ratu Alit nasi mewadah
 Ituk 11 tanding meulam ayam selem
 Linggih 4 tanding meulam sate kawisan
 Malang inuman 53 meulam sate katik 7
 Penganteb dan segehan manca
 Penangkan bawi 1 soroh

Di pelinggih Surya dihaturkan upakara :

 Suci 2 soroh meulam bebek putih meguling


 Santun gede
 Eteh-eteh pelinggih
 Jauman 1 soroh
 Tebasan Kusumajati
 Penganteb dan segehan manca

Di gender wayang dihaturkan upakara :

 Suci 1 soroh
 Penangkan 1 meulam 33an
 Segehan manca

Di pelinggih meru dihaturkan upakara :

 Rosan suci tumpeng 11 meulam bebek putih meguling

Di pelinggih Piasan dihaturkan upakara :


200

 Rosan tumpeng 11 (1 soroh )


 Suci 1 soroh

Di pelinggih Balai Pelik dihaturkan upakara :

 Suci 1 soroh
 Jerimpen sate bawi 1 soroh

Di masing-masing pelinggih dihaturkan upakara :

 Suci 1 soroh

Di wewalen gong dihaturkan upakara :

 Suci 1 soroh
 Pras ajengan santun
 Penangkan 1 meulam 33an
 Lengkap berisi canang lenga wangi, burat wangi
 Nasi gibungan
 Penganteb dan segehan manca

Di pelinggih Panggungan dihaturkan upakara :

 Suci 14 soroh
 Pebangkit 1 soroh
 Rosan tumpeng 17 (1 Soroh)
 Rosan tumpeng 11 (2 soroh)
 Rosan tumpeng 7 (2 soroh)
 Bangun urip itik (1 soroh)
 Pejati 1 soroh
 Lis gede
 Pregembal
 Jejanganan
 Pegendeng gelar sanga
 Tutuan
201

 Jauman
 Santun gede
 Rerasmen : Kacang ijo 11 tangkih dan Sambel Rajang 11
tangkih

Ririan pebangkit mulai dari :

 Tumpeng 66
 Tumpeng 33
 Tumpeng 22
 Tumpeng 17
 Tumpeng 11
 Tumpeng 9
 Tumpeng 5 manca
 Tumpeng 3
 Tumpeng 1

Ririan Pregembal mulai dari :

 Tumpeng 33
 Tumpeng 22
 Tumpeng 17
 Tumpeng 11
 Tumpeng 9
 Tumpeng 5
 Tumpeng 3
 Tumpeng 1

Dan Tebasan 5 macam, antara lain :

 Tebasan Penyapa Dewa


 Tebasan Dewa Rauh
 Tebasan Guru
 Tebasan Prascita
 Tebasan Durmangala
202

 Tebasan Pemutus

Di pelinggih Surya panggungan dihaturkan upakara

 Suci 2 soroh meulam bebek meguling


 Eteh-eteh pelinggih asele / asibak
 Tebasan Ksumajati
 Jauman

Eteh-eteh penganteb di sor surya dihaturkan :

 Santun Gede
 Segehan Manca

Pada setiap prosesi wali perempahan bawi, dihaturkan


upakara Nasar Penangkan Gede yang terdiri dari :

 Soroan tumpeng 7 (1 Soroh)


 Canang lenga wangi burat wangi
 Rosan penganteb
 Di lakukan pemujaan di “dura desa” 33, Segehan Manca

Di Pelinggih Padma Balai Banjar, menghaturkan upakara :

 Suci 1 soroh
 Pejati 1
 Penangkan 33 = 1
 Segehan nuut urip

Di pelinggih Tugu Balai Banjar dihaturkan upakara :

 Soroan tumpeng 7 = 1 soroh


 Tipat kelan dampulan
 Penangkan cenik
 Segehan manca 1
203

 Penganteb

Pada hari Minggu Umanis dilaksanakan upacara Nganyarin


dengan upakara :

 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)


 Suci 2 soroh

Saat penyiiban dihaturkan upakara:

 Suci 1 soroh
 tumpeng 11 (1 soroh) meulam itik meguling

Penyiiban di Dalem Pingit dilaksanakan dengan


menghaturkan upakara suci (1 soroh). Dalam rentetan prosesi wali
juga dilaksanakan wewalen topeng dengan upakara diantaranya:

 Suci 1 soroh
 Pras ajengan santun
 Pis bolong 11 keteng
 Sekerura pis 11
 Beras kuning medaging samsam canang sari
 Penganteb, segehan manca

Para deha Rejang dalam prosesi tari wali membawa canang


genten, sementara teruna Baris membawa tombak yang kembali
menyimbolkan tiori Purusa Predana. Mesabuh – sabuh memakai
sarana antara lain :

 Tapakan pelinggih asele


 Tapan 5
 Muncuk dadap 5 pesel
 Tetabuhan 5 macam
 Di tabuhkan 9 kali di depan kemulan Bali Aga : samsam,
beras kuning
204

 Pis bolong 33 keteng


 Penganteb, segehan manca

Pada setiap wali merempah bawi dilaksanakan wali ngelebar


dengan upakara :

 Pemugbug asoroh meulam jerimpen sate asibak, kuku


rambut
 Salaran berisikan tegen-tegenan, salaran diputar 3 kali
setelah itu di cabut bulu ekornya lalu di bakar di api takep
dilanjutkan dengan prosesi membunyikan pejenengan Balai
Agung Dangin, bakti di pakai ngelebar semuanya.

Upacara Setiap Odalan Aji Saraswati.

Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia


dirayakan setiap 210 hari sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni
pada setiap Saniscara Umanis Watugunung. Arti Kata Saraswati
Kata Saraswati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang
artinya mengalir. Saraswati berarti aliran air yang melimpah menuju
danau atau kolam. Di dalam Reg Weda, Saraswati dipuji dan dipuja
lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering
dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewa Wiswe Dewah
disamping juga dipuja bersamaan dengan Saraswati.

Tentang Saraswati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C.


Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in Hindu-
Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber
kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang
jumlahnya tidak terlalu banyak. Saraswati di Bali dipuja dengan
perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya dengan
menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorang pemangku melakukan pemujaan pada hari


Saraswati, ia mengucapkan dua bait mantra berikut :
205

Om Saraswati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha


karisyami, siddhir bhavantu mesada.Pranamya sarya-Dewana ca,
Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Saraswati (n)
namamy aham.

(Saraswati 1-2.)

Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang


memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan
Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.
Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau
keutamaan dari setiap istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku
seorang anak yang sangat mulia, karena kemuliaan-Mu pula semua
yang mulia menyatu.

Om Saraswati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Saraswatistava I)

Om Hyang Widhi dalam wujud-MU sebagai dewi Saraswati,


pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan.
Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas
karuniaMu

Beberapa Makna Penggambaran atau simbol dari Dewi Saraswati


antara lain

 Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam


Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih
merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-
gunatmika dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima
jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan dengan Sattvam-
jnanam.
206

 Catur bhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis


gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan
kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina
(di tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam)
dan saat alam tercipta muncul nada melodi (nada - brahman)
berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta
atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang)
melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan
tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya
yang putih menunjukkan bahwa ilmu itu selalu putih,
mengingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak
tercela (Shakunthala, 1989: 38).
 Vahana. Saraswati duduk diatas bunga teratai dengan
kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas
yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan
dan spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita
terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-
bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa
mampu membedakan antara susu dengan air sebelum
meminum yang pertama. Kendaraan yang lain adalh seekor
burung merak yang melambangkan kebijaksanaan
(Shakunthala, 1989 : 38)..

Pada Saat Piodalan Aji Saraswati Ngerainin, Krama Desa


Pakraman Let Menghaturkan berbagai bentuk upakara sebagai
wujud bakti terhadap beliau yang menguasai dan menurunkan
semua jenis Ilmu Pengetahuan Suci ke dunia ini. Upakara itu antara
lain

 Tapakan pelinggih lengkap


 Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
 Soroan tumpeng 6 (2 soroh)
 Penganteb (1 soroh)

 Upacara Setiap Senin Kliwon Pemacekan


(Merebu)
207

Dalam rangkaian upacara Merebu dihaturkan beberapa


upakara Peserah, berupa

 Sate 150 batang terdiri dari Sate Lembat dan Asem,


Serapah, Ketengan,
 Lekesan 50 diikat tali berisi uang kepeng,
 Nasi 1 patan.
 Pejati,
 Canang Santun Penganteb di pelinggih Ngerurah Agung,
Peras Penyeneng dibalai agung .

Upacara Setiap Sabtu Kliwon Kuningan.

Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan


sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku
Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya
Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke
dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di
dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada
hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari,
sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.

Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10


hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan
yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada
Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya.
Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para
Dewa dan leluhur kita.

Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang


kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima
kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan
Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan
yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas
dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada
hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua
208

akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya


bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita
dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan.
Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari
Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu
menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan
tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.

Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara


adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di
pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal.
Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat
waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu
adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon,
wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan
hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan.
Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa,
panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai
pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah
semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari.

Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri
adalah memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan,
perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara,
dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan
terlaksana seijin Hyang Widhi.

Di desa Pakraman Let setiap hari raya Kuningan ada sebuah


prosesi upakara yang sedikit berbeda dengan wilayah-wilayah lain
di Bali. Yaitu dengan menghaturkan upakara Nempuh, yang terdiri
dari banten Pras, Ajengan dan Santun.

Upacara Nebasin.
209

Pada setiap acara upacara nebasin menghaturkan :


 Dapetan,
 Bangun Ayu Bawi 1,
 Tapakan Pelinggih Lengkap,
 Pemugbug bawi 1,
 Malang – malang 1,
 Soroan tumpeng Solas (1 Soroh),
 Soroan tumpeng pitu (2 soroh),
 Soroan tumpeng solas selem (1 Soroh) Ulamne Guling
ayam selem 11,
 Soroan tumpeng pitu selem (1 Soroh) ulamne guling bawi
selem, ketengan guling solas,
 Salaran (1 soroh),
 Pejati 1 (1 soroh),
 Santun gede (1 soroh),
 Jajen laklak, tape, bantal,
 Upakara siwa budha : nasi 3 takep, bebek guling 1, telur
bebek yang dikukus 1 takir,telur ayam yang di kukus 2 takir,
cabe 2 takir, garam 2 takir, minuman, pancapala 1 pasang.
 Tebasan Kusuma Jati : penglastan dan prascita durmangala.
 Tebasan Durga Dewi : Tumpeng agung 1, telur, daging
ayam putih kedas diguling dan rerasmen kacang komak,
Tebasan Setata Raja : tumpeng brumbun 9, tumpeng agung
1, daging ayam brumun diguling 1 ekor.
 Tebasan Durga Siwi : tumeng 9, telur bebek 5, eteh – etel
santun 5, kelapa 1, daging bebek putih diguling 1 ekor.
 Tebasan Siwa Tulus Sujati : tumpeng 5, telur bebek 1, telur
ayam kampong 5, daging ayam putih kedas di guling 1 ekor.
 Tebasan Siwa Guru : tumpeng agung 1, tumpeng alit 33,
daging ayam putih kedas di guling 1 ekor, bunga tunjung 1,
muncuk dapdap 3, tebasan pemutus / tebasan tajen.
Upakara yang di haturkan di Bale Agung Dangin, antara lain :
 Olahan bebek hitam 1 ( 1 soroh )
210

 Jajan kuskus barak putih


 Sumping
 Godoh yang di kuskus
Upakara di Bale Gong :
 peras ajuman santun
 penangkan 33 jengkep canang lenge wangi burat wangi
 segan manca warna
Upacara Ngunya
Adanya prosesi malancaran atau Ngunya Ida Bhatara
memiliki makna filosofis luas dan dalam sebagai penuntun hidup di
bumi ini. Lontar Barong Swari menceritakan bahwa Dewi Durgha
menguji manusia sebagai peringatan, karena semakin banyak
berbuat adharma. Dewi Durgha menyebarkan wabah penyakit yang
disebut gering. Dari utara diserang dengan Gering Lumintu, dari
timur Gering Utah Bayar, dari selatan Gering Rug Bhuwana, dari
barat Gering Amancuh. Dengan serangan empat gering dari empat
penjuru ini keadaan manusia benar-benar sangat menderita. Saat itu
muncullah kesadaran, mereka pun berbakti dengan sungguh-
sungguh dipimpin oleh para pandita suci.
Dari bakti itulah turun Sang Hyang Tri Murti dalam wujud
kesenian. Bhatara Brahma menjadi Topeng Bang, Bhatara Wisnu
sebagai Topeng Telek dan Bhatara Iswara sebagai Barong. Mitologi
Lontar Barong Swari itu mengandung konsep universal tentang
nilai-nilai kehidupan untuk dijadikan pegangan dalam mengatasi
berbagai persoalan hidup.
Mitologi turunnya Sang Hyang Tri Murti ini
menyelamatkan dunia ini banyak versinya. Lontar Babad Gunung
Agung menceritakan saat Bali kacau karena dipimpin oleh Raja
Cengker yang bengis, sehingga keadaan alam dan masyarakat Bali
amat menderita. Sang Hyang Tri Murti turun menyelamatkan Bali.
Bhatara Brahma menjadi Naga Ananta Bhoga masuk ke bumi
menyuburkan bumi. Bhatara Wisnu turun menjadi Naga Basuki
masuk ke laut dan sumber-sumber air untuk memurnikan air.
211

Bhatara Iswara turun menjadi Naga Taksaka masuk ke angkasa


menyucikan udara.
Dalam Lontar Babad Rangda dan Barong diceritakan Dewi
Maya Kresna yang juga bernama Dewi Pucak Manik yang amat
sakti. Dewi Pucak Manik kawin dengan adik Raja Erlangga. Setelah
punya anak satu, suaminya meninggal. Saat dia janda dia
mendapatkan pustaka yang sesungguhnya isinya tutur atau ajaran
tentang kehidupan yang baik. Lontar Tutur itu pernah dibalik
mengamalkannya sampai dia memiliki kemampuan ngeleak dengan
aji ugig-nya membuat wabah penyakit. Karena Dewi Maya Kresna
itu janda dia disebut Rangda. Karena janda dalam bahasa Jawa Kuna
disebut Rangda.
Dari Lontar Turut itulah Rangda mengeluarkan Kanda
Empat. Di Timur Anggapati, di Selatan Mrajapati, di Barat
Banaspati dan di Utara Banaspati Raja dalam wujud Barong.
Banaspati Raja ini artinya rajanya hutan. Dengan demikian adanya
barong ngelawang itu di samping untuk menyebarkan ajaran
kemasyarakatan juga menyebarkan ajaran untuk menjaga kesuburan
alam. Sumber kesuburan alam itu adalah hutan yang berfungsi
menyimpan air, tentunya kalau hutannya lebat dan luasnya memadai
dengan luas areal bumi ini.
Barong ngelawang atau Ngunya bermakna untuk
mendorong manusia menjaga sistem sosial dan alam yang baik.
Sistem sosial dan sistem alam yang terjaga dengan baik akan dapat
mencegah, setidak-tidaknya semakin mengurangi berbagai
penderitaan hidup ini. Berkaitan dengan hal itu setiap adanya prosesi
Ngunya, disertai dengan berbagai upakara. Diantara upakara yang
disiapkan dalam rangkaian ritual Ida Bhatara Ngunya Desa di Desa
Pakraman Let, antara lain:
Upacara didepan sesuhunan terdiri dari :
 Pesucian,
 Rayunan.
 Buah-buhan
 Asam
212

Setelah Ida Bhatara kembali dari ngunya di depan titi


gonggang di pendak dengan upakara :
 Segeh Agung,
 Sambleh ayam hitam 1,
 Telur 3 butir,
 Telur ayam kampung 1 butir,
Sementara untuk prakangge di haturkan :
 Bubur tabah yang di hidangkan di atas daun dapdap
sebanyak 118 tanding,
 Lekesan 118, rokok ganda 118,
 jajan laklak, tape,
 tetabuhan arak berem.
Setelah Ida Bhatara berlingga di Pelinggih, dihadapan beliau
kemudian dihaturkan upakara Rayunan dan Upakara yang
dihaturkan oleh krama desa. Prosesi upakara Ngunya ini
dilaksanakan setiap Kajeng Kliwon uku Galungan.
Upacara Wali di Pura Dalem Pingit.
Setiap Wali di Pura Dalem Pingit, didahului dengan prosesi
Ngingsah utawi Negtegan tiga hari sebelum puncak wali, dengan
upakara antara lain :
 Tegteg
 Soroan tumpeng 7 (2 soroh)
 Cawu petik 1
 Canang santun
 Rujak
 Lenga wangi
 Penganteb jangkep
Pada wali mekelud dihaturkan upakara :
 Suci 9 soroh
 Penganteb 1 soroh
 Pejati 1 soroh
213

 Pengulapan 1 soroh
 Dapetan sorwan tumpeng 7 (2soroh)
 Jauman
 Tebasan ksumajati
 Tebasan pancakelud
 Tebasan penyapa dewa
 Tebasan biakala
 Tebasan prascita durmangala
 Lis 1 soroh
 Canang tapakan
 Santun gede 1
 Tutuan
 Ayam manca melayang amanca
 Bebek welang kalung
 Ayam manca metunu amanca
Pecaruan di jaba tengah memakai sarana ayam brumbun
melayang layang dengan upakaralengkap. Sedangkan pada prosesi
upacara Penyeeban / pengulapan di jaba Pura Dugul dilaksanakan
dengan upakara :
 Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
 Tebasan prascita
 Tebasan durmangala
 Tebasan pemiakala
 Lis gede
 Eteh-eteh penganteb jangkep
 Segehan manca
Beberapa jenis upakara dipergunakan untuk prosesi mesucian di
jaba Pura Dugul diantaranya:
 Penyeeban 1 soroh
 Pengulapan 1 soroh
 Dapetan sorpan tumpeng 7 (2 soroh)
 Suci 1 soroh meulam bebek meguling
 Lis 1 soroh
214

 Jauman
 Rosan penganteb
 Segehan manca
Upakara di jeroan Pura Dugul :
 Suci 2 soroh
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Pejati
 Penganteb jangkep
 Segehan manca
Upakara yang di haturkan di palinggih Padma antara lain :
 Tapakan pelinggih jangkep
 Pebangkit selam 1 soroh
 Pregemal 1 soroh
 Pemugbug malang-malang
 Soroan tumpeng 17 (1 soroh)
 Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Suci 7 soroh
 Eteh-eteh gelar sanga jangkep
 Jejangannan
 Santun sarwa pat (2 soroh)
 Pejati 1 soroh
 Penganteb 2 soroh
 Penyeneng, canang raka, ajuman
 Tegteg 1, lis gede 1
 Jerimpen apasang
 Tutuan, jemek, jauman
 Tebasan Penyapa Dewa,
 Tebasan Dewa Rauh
 Tebasan Guru,
 Tebasan Prascita,
 Tebasan Durmangala
215

 Segehan manca 2 soroh


 Di masing-masing pelinggih dihaturkan suci 1 soroh
Ririan pebangkit selam mulai dari :
 Tumpeng 33
 Tumpeng 22
 Tumpeng 17
 Tumpeng 11
 Tumpeng 9
 Tumpeng 7
 Tumpeng 5
 Tumpeng 3
 Tumpeng 1
Ririan pregemal selam mulai dari :
 Tumpeng 22
 Tumpeng 17
 Tumpeng 11
 Tumpeng 9
 Tumpeng 7
 Tumpeng 5
 Tumpeng 3
 Tumpeng 1
Upacara di Padma Penangkan Gede, antara lain:
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Canang lenga wangi burat wangi
 Rosan penganteb, segehan manca
 Dilakukan pemujaan di “dura desa” 33
Setelah kembali dari tempat mesucian, di jaba Pura Dalem
di haturkan upakara :
 Segeh agung ayam selem 1 ekor
 Anak babi butuan 1 ekor
 Suci selem 1
216

 Pejati selem 1
 Jauman selem apasang
 Segehan cacan 118 selem
 Gantal 118, rokok 118
 Bubuh tabah 118, ulam putih telur
 Metatakan don dapdap
 Dan juga yang terdiri dari aturan warga desa
Sesampai di jeroan Pura Dalem dihaturkan upakara :
 Timamah atau plantar
 Itik putih melayang
 Tebasan Panca Wara
Di ayun widhi dihaturkan upakara :
 Bangkit bawi 1 soroh
 Kucit pineng meguling
 Eteh-eteh pelinggih lengkap 3 soroh
 Pemugbug 11 soroh
 Bangun urip itik 1 soroh
 Santun gede 1 soroh
 Pregemal 1 soroh
 Jejangan 1 soroh
 Rosan penyeneng mumbul
 Jauman 1 soroh
 Pejati santun gede
 Eteh-eteh gelar sanga lengkap
 Penyineban suci
 Ulam itik meguling
 Soroan tumpeng 17 (11 soroh)
 Soroan tumpeng 11 (3 soroh)
 Soroan tumpeng 11 selem (1 soroh)
 Soroan tumpeng 7 (3 soroh)
 Tebasan Penyapa Dewa terdiri dari :
o Tebasan Dewa rauh
o Tebasan Guru
217

o Tebasan Prascita Durmangala


o Tebasan Pengenteg
o Tebasan Durga Dewi
o Tebasan Puncak manic
o Tebasan Pemutus
Juga dihaturkan upakara :
 Pemugbug kucit pineng beralaskan nyiru
 Daksina paso
 Malang-malang 11, sile-sile 11
 Pisang matah lebeng
 Santun ajengan apasang
 Canang raka apasang
 Nasi sokan apasang
 Nasi uyah apasang
 Raka galan, tumpengne 11
 Jajan pemugbug apasang
 Pangkonan apasang
 Tipat kelanan akelan
 Tumpeng guling 5 bungkul
 Taluh lebeng 3 butir, segehan apasang
Untuk pemujaan Siwa Buda, memakai sarana upakara:
 Nasi 3 takep
 Telor bebek di kukus 1 takir
 Telor ayam di kukus 2 takir
 Cabe 2 takir
 Garam 2 takir
 Aqua, teh, kopi, toya bungkak
 Bebek guling 1 ekor
 Cepala 1 pasang
 Rokok 1 bungkus + korek
Persembahan terhadap Ratu Pujung dengan sarana upakara:
 Eteh-eteh pelinggih lengkap
218

 Soroan tumpeng 11 (1 soroh)


 Suci 2 soroh
 Rempahan bebek 1 soroh
 Soroan tumpeng 7 ( 1 soroh )
Persembahan terhadap Ratu Lingsir :
 Eteh-eteh pelinggih lengkap
 Soroan tumpeng 11 (1 soroh )
 Suci 2 soroh
 Rempahan bebek 1 soroh
 Soroan tumpeng 7 ( 1 soroh )
Upakara yang di haturkan di Luwur Akasa :
 Tapakan pelinggih
 Pejati 1 soroh
 Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
 Suci 1 soroh
 Penyeneng biying
 Jauman
 Raka-raka, nyanyah gringsing
 Rosan penganteb jangkep
 Santun gede
 Pisang mas dan panca pala
Upakara yang di haturkan ring sor (bawah) akasa :
 Segeh agung
 Pancapala
 Santun gede
 Sambleh ayam hitam 1 ekor
 Segehan manca
Di pelinggih Pura Dalem Pelapuan di haturkan upakara :
 Tapakan pelinggihlengkap
 Soroan tumpeng 11 (1 soroh)
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
219

 Pejati 1 soroh
 Pemugbug 1 soroh
 Malang-malang 1 soroh
 Suci 1 soroh
 Rempahan bebek 1 soroh
 Penganteb, segehan manca
Setiap tilem di haturkan Malang nurut krama banjar bergilir
di jaba pura Pelapuan dilaksanakan prosesi menghaturkan beberapa
upakara antara lain :
 Di Pelinggih Surya di haturkan upakara :
o Tapakan pelinggih
o Jauman 1 soroh
o Suci 1 soroh
o Tebasan Kusumajati
o Pejati 1
o Penganteb
 Di sor surya di harturkan upakara :
o Santun gede
o Penyeeban 1 soroh
o Bayuan 1 soroh
o Pengulapan 1 soroh
o Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
o Tebasan Pamiakala
o Tebasan Prascita,
o Tebasan Durmangala
o Segehan sepesatus
o Cau dan nasi mekaput 99
Memakai caru godel dengan upakara :
 Suci 1 soroh
 Penganteb jangkep
 Tapakan di ulu godel (santun gede 1 soroh)
Di pura Dalem Merajapati di haturkan upakara :
 Bencahan itik 1 soroh
220

 Suci 1 soroh
 Tapakan palinggih jangkep
 Soroan tumpeng 11 (11 soroh)
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Pemugbug bebek 1
 Malang-malang 22
 Pejati 1
 Jauman 2
 Tebasan Prascita,
 Tebasan Durmangala
 Penganteb
 Segehan manca.
Di Hulun Setra di haturkan upakara :
 Suci 2 soroh
 Pras ajengan santun 2
 Darpana 2
 Penangan 2
 Penganteb
 Segehan manca
Upacara penyiiban di haturkan :
 Suci 1 soroh dengan ulam bebek meguling
 Suci tumpeng 11 asoroh
 Santun gede
 Segehan manca
Di ayun widi dihaturkan upakara :
 Upakara pemlaspas bakti dengan peras ajengan santun
 Upakara penunasan penurgan prejuru dan krame sami
dengan pras ajengan santun,
 Penyiksikan gede, tubungan 66, jinah bolong 66, beras
apatan, canang aungan
 Aturan krame agar dilengkapi dengan tegteg
221

Dalam prosesi mesucian di pura dugul di haturkan upakara :


 Penyeeban 1 soroh
 Pengulapan 1 soroh
 Dapetan soroan tumpeng 7 (2 soroh)
 Suci 1 soroh ulam bebek meguling
 Lis 1 soroh
 Jauman
 Rosan penganteb
 Segehan manca
Upakara di jaba pura dugul
 Penyeeban / pengulapan
 Dapetan tumpeng 7 (2 soroh)
 Tebasan Prascita
 Tebasan Durmangala
 Tebasan Pemiakala
 Lis gede 1
 Eteh-eteh penganteb jangkep
 Segehan manca
Upakara di Pura Dugul, antara lain :
 Suci 2 soroh
 Soroan tumpeng 7 (1 soroh)
 Pejati
 Penganteb jangkep
 Segehan manca
Di Balai Agung Dauh pada prosesi Wali Ngantukkan Laba,
menghaturkan berbagai upakara, antara lain:
 Rayunan 1
 Segehan manca mekepelan 11
 Soroan tumpeng 7=1
 Penangkan selam 1 soroh
 Penangkan bawi 1 soroh
222

Upacara Wali di Pura Tegal Suci.


Upacara wali di Pura Tegalsuci dilaksanakan bertepatan
dengan hari suci Pemaridan Guru, dengan menghaturkan berbagai
jenis upakara sebagai ungkapan terima kasih kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, diantaranya :
Di wilayah Utama Mandala dihaturkan upakara :
 Tapakan Pelinggih 1,
 Pejati 1,
 Bangun urip 1,
 Pemugbug 1,
 Malang – malang 1,
 Tebasan Prascita Durmangala 1,
 Rayunan 5,
 Timbungan ayam 1.
Di luur akasa menghaturkan upakara :
 Tapakan pelinggih 1,
 Pejati 1,
 Soroan 1,
 Jauman,
 Penyeneng biying,
 Meraka – raka,
 Nyanyah gringsing,
 Biu mas,
 Panca pala.
Di bawah luur akasa menghaturkan upakara :
 Segeh agung,
 Santun gede,
 panca pala.
Di Natar dihaturkan : Gibungan beralaskan daun tlujungan
tiga nasi meulam telur di goring dan di kukus, kacang saur
Di Madya Mandala :
223

 Gibungan 5 tanding,
 Segeh agung,
 Telur 2, telur ayam kampung 1,
 Kucit butuan 1,
 Suci selem 1,
 Pejati selem 1,
 Jauman selem 1 pasang,
 Segehan cacah 118,
 Santun sarwa 4 ( 1 Soroh )
Aturan untuk prakangge antara lain :
 Bubuh tabah yang di hidangkan di atas daun dapdap
sebanyak 118 tanding,
 Lekesan 118, rokok ganda 118,
 Jajan laklak, tape,
 Tetabuhan arak berem,
Di natar madya mandala ada juga dihaturkan upakara:
Gibungan beralaskan daun telujungan ulam telur goreng sebelas
telur di kukus 5 kacang saur, Gerang. Sementara upakara di
trowongan terdiri dari : Pejati 1 dan segan manca.
 Upacara Wali di pura Dukuh atau di Pelinggih Buda
Upacara wali di Pura Tegalsuci dilaksanakan pada saat
Tumpek Kuningan atau hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan dengan
menghaturkan beberapa upakara, antara lain:
 Rempahan Itik,
 Tapakan Pelinggih lengkap,
 Pemugbug (1 soroh),
 Malang-Malang (1 soroh),
 Salaran dan
 Segehan

Upacara Wali Di Pura Pucak Andong.


224

Upacara di Pura Pucak Andong dilaksanakan pada hari


Sabtu Kliwon Wuku Wariga, dengan upakara Merempah
dihaturkan:
 Tapakan lengkap,
 sorowan Tumpeng 11,
 Pemugpug,
 Jerimpen (1 pasang),
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip,
 Itik Bulu Kerep,
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Tebasan Pemutus,
 Canang Panca Pala,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Pejati,
 Salaran Penyeneng,
 Santun Penganteb,
 Segan Manca Warna dan membagikan Tirta yang digunakan
di perumahan dan tegalan atau perkebunan.
Dalam prosesi Wali Ngalitin Menghaturkan:
 Tapakan jangkep,
 Canang Cepala,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pejati,
 Santun Penganteb,
 Penyeneng Tebasan Pemutus,
 Segan Manca Warna, dan membagikan Tirta kepada krama
desa untuk dipakai di perumahan dan perkebunan.
Di perumahan atau di tempat suci atau pemerajan atau
Sanggah dihaturkan upakara:
225

 Rosan Tumpeng 6, atau di pemerajan,


 Segan Manca Warna berisi Suyuk,
 memohon tirta di Pura Puncak Andong atau Pura Puseh.
Di Palemahan atau di kebun dihaturkan upakara:
 Rosan tumpeng 6, atau Ajuman Putih-Kuning,
 Segan Manca Warna, dengan Tirta yang kemudian
dipercikan di kebun.

 Upacara di Pura Dukuh Sakti


Upacara Di Pura Dukuh Sakti dilaksanakan pada hari Selasa
Kliwon, wuku Julungwangi dengan menghaturkan upakara
 Tapakan lengkap,
 Sorwan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pemugbug (1 soroh),
 Jrimpen (1 pasang),
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip,
 Itik Kerep Bulu,
 Canang Cepala,
 Canang Lenga Wangi-Burat Wangi,
 Pejati, Rosan,
 Tumpeng 6,
 Daging Itik diguling (1 ekor),
 Salaran,
 Tebasan Pemutus,
 Penyeneng,
 Santun Penganteb,
 Segan Manca Warna.
Juga menghaturkan:
 Tapakan lengkap,
 Canang Cepale,
226

 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,


 Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pejati,
 Santun Penganteb,
 Penyeneng,
 Tebasan Pemutus,
 Segan Manca Warna, dengan membagikan Tirta yang
diperuntukan di masing rumah dan tegalan atau kebun.
Sedangkan upakara yang dihaturkan untuk di rumah warga
dan di tempat sucinya atau mrajan antara lain:
 Ajuman Putih Kuning,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi dan
 Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan untuk di palemahan dan atau ditegalan
atau kebun diantaranya:
 Ajuman Putih Kuning,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi dan
 Segan Manca Warna.
Upacara Wali di Pura Pengangon.
Upacara Wali di Pura Pengangon dilaksanakan setiap hari
Sabtu Kliwon, Wuku Uye atau Tumpek Uye, dengan upakara
Merempah menghaturkan:
 Tapakan Lengkap,
 Sorowan, Tumpeng 11,
 Pemugpug, Jrimpen (1 pasang),
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip,
 Itik Kerep Bulu,
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Tebasan Pemutus,
 Canang Pancapala,
227

 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,


 Pejati, Salaran dan
 Penyeneng,
 Santun Penganteb,
 Segan Manca Warna, serta membagikan Tirta untuk di
Wewalungan.
Pada saat Wali ngalitin, Menghaturkan:
 Tapakan Lengkap,
 Canang Cepala,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pejati,
 Santun Penganteb,
 Penyeneng,
 Tebasan Pemutus.
 Segan Manca Warna serta membagikan Tirta untuk di
Wewalungan.
Upacara di pawongan atau di mrajan antara lain: Rosan
tumpeng 6, dan di Merajan atau Sanggah menghaturkan Segan
Manca Warna. di Palemahan atau di Pategalan penduduk,
menghaturkan : Rosan tumpeng 6 atau ajuman putih kuning, segan
manca warna, serta Tirta untuk dipercikan di Wewalungan.
Upacara Ngendag Pertiwi atau Ngemping.
Upacara Ngendag Pertiwi atau Ngemping dilaksanakan
setiap Purnama yang jatuh pada Sasih Kadasa, dengan prosesi awal,
memohon Tirtha kekuluh di Pura Ulundanu Batur. Di Pelinggih
Kayangan Pura Pucak, menghaturkan :
 Rosan tumpeng 6 (4 soroh),
 Segan Manca Warna.
Upacara di Padma Penangkan Gede.
 Sorowan Tumpeng 6 (1 soroh),
228

 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,


 Dilakukan pemujaan di “Dura Desa”33.
Upakara Dipemandian atau Beji atau ”Kayan”.
 Pras Ajengan Santun,
 Kelanan Dampulan,
 Penangkan 33,
 Jangkep Rosan Tumpeng 6,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan di Pura Besukian.
 Pejati,
 Sorowan Tumpeng 6,
 Ajuman Manca Warna, Maulam Telur,
 Segan Manca Warna,
 Nasi Pinanaga,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upacara yang dihaturkan di Gong:
 Pras Ajengan Santun,
 Penangkan 33 jangkep
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di pasamuan Bale Agung;
 Tapakan lengkap,
 Sorowan Tumpeng 11,
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pemugpug,
 Jrimpen sepasang,
 Malang-malang =33,
 Kalu-Kalu Berisi Raka-Raka,
 Emping Jangkep,
 Pejati Rayunan,
 Ajengan Ratu Sakti,
229

 salaran,
 Tebasan Pemutus atau Rejang Baris,
 Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di Bale Agung Dangin.
 Linggih 4 tanding,
 Ulam Kawisan.
 Malang Inum sejumlah Krama Subak,
 Sorowan 1,
 Segan Manca Warna.
 Tapakan dene jangkep,
 Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 tumpeng 6 (1 soroh),
 Pemugpug,
 Jrimpen sepasang,
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip,
 Itik Kerep Bulu,
 Rayunan,
 Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di Bale Agung Dauh:
 Rosan tumpeng 6.
Upacara yang dihaturkan di Ngrurah Agung;
 Sorowan tumpeng 6 = 1,
 santun 1,
 penagkan 33 abesik,
 rayunan sesolahan sabuh-sabuhan,
 segan manca warna.
Upacara yang dihaturkan pada saat prosesi Ngelebar:
 Rosan tumpeng 11,
 Santun,
 Jrimpen Jatah Asese,
230

 Salaran,
 Segan Manca Warna.
Upacara yang dihaturkan di rumah-rumah atau di Pamerajan.
 Ajuman Putih Kuning,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Segan (5 tanding).
Upacara yang dihaturkan di kebun atau palemahan.
 Pengendag Pertiwi,
 Tulung Urip,
 Ajuman Putih Kuning,
 Alis acarang Pucuk Putih,
 Segan 5 tanding putih kuning.
Prosesi Upacara Mulai Menanam Padi di Sawah Desa.
Prosesi Upacara mulai menanam Padi di Sawah Desa
dilakukan saat bulan pertama bertemu Purnama atau upacara yang
dilaksanakan bersamaan bulan Purnama. Seing disebut upacara
memulai menanam padi atau Ngembak Duasa nandur padi. Di Pura
Subak atau Pura Pucak Andong, Rosan Tumpeng 6 (4 soroh).
Upakara yang dihaturkan di Padma Penyawangan Dura desa:
 Penangkan 33,
 Sorowan 1 soroh,
 Segan Manca Warna.
Upakara di Beji atau Pemandian Suci:
 Pras ajengan,
 Santun,
 Kelanan Dampulan,
 Penangkan 33 jangkep,
 Rosan Tumpang 6 (1 soroh),
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Segan Manca.
231

Upakara yang dihaturkan di Pelinggih Basukian.


 Pejati,
 Sorowan Tumpeng 6 (1 soroh),
 Ajuman Manca Warna,
 Segan Manca Warna,
 Nasi Pinda Naga (Nasi berbentuk Naga),
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara di Gong, antara lain:
 Pras Ajengan Santun,
 Penangkan 33 jangkep,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan di Pesamuan;
 Tapakan Lengkap,
 sorowan tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pejati,
 Tumpeng Lanjar (11 bungkul),
 Pemugpug,
 Jrimpen (1 pasang),
 Malang-malang 33,
 Tebasan Pemutus,
 Rayunan,
 Salaran,
 Pemuput Rejang Baris,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Segan Manca (1 soroh),
 Bangun Ayu Bawi (1 soroh).
Upakara di Bale Agung Dangin;
 Linggih (4 tanding),
 Ulam Kawisan,
 Malang Inum sejumlah Krama subak,
232

 Ulam Katik 5,
 Rosan Tumpeng 6 (1 soroh).
 Tapakan Dene Jangkep Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pemugpug Jrimpen (1 pasang),
 Malang-malang 22 tanding,
 Bangun Urip,
 Itik Kerep Bulu,
 Segan Manca Warna.

Upakara di Pelinggih Ngrurah Agung.


 sorowan tumpeng 6 satu,
 Santun (1 soroh),
 Penangkan ,33
 Meruntutan Sesolahan,
 Sabuh Sabuhan,
 Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan pada prosesi Nglebar, antara lain:
 Rosan Tumpeng 1.
 Tegenan,
 Jrimpen Jatah Asele,
 Salaran,
 Santun 1,
 Segan Manca Warna.
Upakara yang dihaturkan di rumah warga atau Mrajan atau
Sanggah:
 Ajuman Putih Kuning,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Segan Cacahan (5 tanding).
Upakara yang dihaturkan di Palemahan atau kebun/tegalan milik
warga desa:
233

 Ajuman Putih Kuning,


 Canang Lenga Wangi Burat Wangi.
Upakara yang dihaturkan saat memulai menanam padi:
 Ancak Bingin,
 Ubi
 Kladi,
 Plawa,
 Batang kayu dapdap (11 batang),
 Ajuman Putih Kuning,
 Muncuk Kukusan,
 Segan Manca Warna.

 Prosesi Upacara Matajuk.


Upakara yang dihaturkan pada prosesi Upacara Metajuk,
antara lain:
 Kukus Putih Kuning,
 Batun Cuku,
 Muncuk Kukusan,
 Cau (2 tanding)
 lauk dari daging ayam,
 Betutu,
 Canang Yasa,
 Canang Sari.
Upacara atau Wali Penyeheban Di Titi Gonggang.
Beberapa Upakara Yang dihaturkan saat Upacara atau Wali
Penyeheban Di Titi Gonggang antara lain:
 Disanggah tutuan, dihaturkan:
o Canang Tapakan lengkap,
o Suci (2 soroh),
o Jauman,
o Tebasan Kesuma Jati,
o Penyeneng (1 soroh),
234

 Dibawah Sanggah Tutuwan, dihaturkan


o Santun Gede (1 soroh),
o Suci penyeheban (6 soroh),
o Bayuan (1 soroh),
o Tebasan Pemiyakala,
o Prayascita Durmanggala,
o Penyapa Dewa-Dewa Rawuh,
o Guru Pangenteg Linggih,
o Pemutus,
o Pangulapan.
 Caru pamahayu:
o Olahan Godel (99 ketengan),
o Kawisan (2 tanding),
o Sengkuwi (99 tanding),
o Suci (1 soroh),
o Tapakan (1 soroh),
o Santun Gede (1 soroh),
o Segan Manca Warna,
o Penyeneng (1 soroh).
o Penganteb Santun,
o Penganteb 1,
o Payuk Kukusan,
o Sedok Pepek,
o Lis 1.
 Upacara di pawongan atau di Mrajan:
o Banten ajuman putih kuning,
o Canang lenga wangi burat wangi,
o Segehan cacahan (5 tanding).
 Upacara dipalemahan atau Tegalan atau kebun:
o Ajuman putih kuning mendak pertiwi atau
memohon “Bongkala” atau bungkahan dibawa ke
luar Pura atau jaba Pura, ditaruh ditempat api / Gni,
segan cacahan 5.
 Upacara / Wali Nukub Di Pura Tembuku Aya /
Masceti.
235

Beberapa Upakara Yang dihaturkan saat Upacara / Wali


Nukub Di Pura Tembuku Aya / Masceti, antara lain sebagai berikut:
 Di Pura Masceti Dihaturkan:
o Tapakan dene jangkep/lengkap,
o Suci Putih (1 soroh),
o Suci Selem (1 soroh),
o Bangun Urip Itik Putih,
o Tumpeng 11 (1 soroh),
o Tumpeng 6 (1 soroh),
o Pemugpug
o Jerimpen (1 pasang),
o Malang-malang (22 tanding),
o Pejati,
o Tebasan Pemutus,
o Cau Dandan maulam ayam putih melablab
(direbus).
 Upakara Pemagpag Toya,
o Sorowan Tumpeng 6,
o Guling Babi (1 ekor),
o Bubuh Tabah Putih Kuning,
o Ketipat Dampulan,
o Ketipat Gong,dena jangkep,
o Teteg Ajuman Putih Kuning,
o Penjor Punggul berisi kasna di tempat Tirta,
o Penganteb (penyeneng santun 1).
 Upacara di Palemahan atau di Mrajan atau di Sanggah
krama desa.
o Banten Ajuman Putih Kuning,
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segaan Cacahan (5 tanding).
 Upacara di Palemahan atau Kebun / Pategalan.
o Ajuman Putih Kuning,
o Cau (2 tanding),
o Bubuh Tabah Putih-Kuning,
236

o Penjor Punggul berisi Tirta dipersembahkan


kehadapan “Penuwasan”.
Upacara / Wali Nyungsung.
Upacara / wali Nyungsung dilaksanakan dijaba pura dengan
ngadegang asagan, menghaturkan upakara:
 Tapakan dene jangkep / lengkap,
 Pemugpug,
 Jerimpen (1 pasang),
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip Itik Kerep Bulu,
 Rosan Tumpeng 11,
 Tumpeng 6,
 diikuti persembahan Krama Desa, antara lain :
o Tatag,
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Manca Warna,
o Penyeneng 1.
Upacara / Wali Ngentegan di Pura Bale Agung.
Upacara di Bale Agung acara ngentegan dihaturkan:
 Tapakan dene jangkep / lengkap,
 Rosan Tumpeng 11,
 Pemugpug Jerimpen (1 pasang),
 Malang-malang (22 tanding),
 Bangun Urip Itik Kerep Bulu,
 Persembahan Krama Desa,
 Ajuman Putih Kuning,
 Teteg.
Upacara di Parahyangan / Mrajan:
 Banten ajuman putih-kuning,
 Canang Lenge Wangi Burat Wangi,
 Segahan Cacahan (5 tanding).
237

Upacara di rumah-rumah atau Tegalan, dengan sanggah dihaturkan:


 Teteg Rosan,
 Peras Penyeneng dagingnya ayam,
 Penyeneng,
 Segahan Cacahan (5 tanding).
Upacara / Wali Biyu Kukung di Pura Subak
Prosesi Upacara / Wali Biu Kukung dilaksanakan di Pura
Subak, Di Mrajan atau Sanggah Krama dan di tegalan milik krama
desa. Dengan menghaturkan beberapa upakara penting yang
berkaitan dengan Wali Biyu Kukung.
 Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan
beberapa upakara, diantaranya:
o Rosan Tumpeng 6 (3 soroh),
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
 Upacara di Mrajan dilaksanakan dengan menghaturkan
beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
 Upacara di Rumah /Tegalan dilaksanakan dengan
menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Membuat Sanggah atau Penjor,
o Rosan Tumpeng 6,
o Dagingnya ayam,
o Tipat Penyambut,
o Segan Manca Warna.
Upacara / Wali Ngampung atau Manyi atau Panen.
Prosesi Upacara / Wali Ngampung atau Manyi atau Panen
dilaksanakan di Pura Subak, Di Mrajan atau Sanggah Krama dan di
tegalan milik krama desa. Dengan menghaturkan beberapa upakara
penting yang berkaitan dengan Ngampung atau Manyi atau Panen.
238

 Upakara di Pura Subak dilaksanakan dengan menghaturkan


beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Santun Asoroh.
o Seluruh masyaraka desa menghaturkan
persembahan berupa ajuman putih-kuning.
 Upacara di mrajan, Upakara di Pura Subak dilaksanakan
dengan menghaturkan beberapa upakara, diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
 Upacara di Rumah / Tegalan, Upakara di Pura Subak
dilaksanakan dengan menghaturkan beberapa upakara,
diantaranya:
o Ajuman Putih Kuning,
o Rosan Peras Penyeneng,
o Pengulapan,
o Ngadegan Nini.
Upacara / Wali Ngetimusan Di Pura Dalem Pingit.
Upacara / Wali Ngetimusan dilaksanakan setelah acara
“Ngampung Merempah.” Merempah, dihaturkan upakara:
 Tapakan dene jangkep / lengkap,
 Sorowan Tumpeng 11,
 Pemugpug,
 Jerimpen (1 pasang),
 Malang-malang 22,
 Bangun Urip,
 Itik Kerep Bulu,
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Tebasan Pemutus,
 Canang Pancapala,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Pejati,
 Salaran,
 Penyeneng,
239

 Santun Penganteb,
 Segahan Manca Warna.
Dalam prosesi upacara yang lebih kecil (wali ngalitin),
dihaturkan upakara:
 Tapakan lengkap,
 Canang Cepala,
 Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
 Rosan Tumpeng 1 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pejati,
 Santun Penganteb,
 Penyeneng,
 Tebasan Pemutus,
 Segahan Manca Warna.
Jenis upakara yang dihaturkan di Pura Dalem Pelapuan, antara lain:
 Rosan tumpeng 6,
 Timus persembahan Krama,
 Segahan Manca Warna.
Jenis upakara yang dihaturkan di Rumah dan Mrajan atau Sanggah
Krama, antara lain:
 Ajuman Putih Kuning atau Timus,
 Raka Jangkep,
 Segehan Cacahan (5 tanding).
Jenis upakara yang dihaturkan di Tegalan atau Palemahan, antara
lain:
 Ajuman putih kuning,
 segahan manca warna.
240

Upacara / Wali Mendak Nini.


Rangkaian upacara Mendak Nini terdiri dari berbagai
prosesi memakai upakara bertempat di beberapa tempat yang
berbeda, diantaranya:
 Upacara di Pesamuan Bale Agung, menggunakan sarana
upakara:
o Tapakan Dene Jangkep/lengkap atau Nini,
o Subak sowang-sowang, katurang
 Suci Pamendak
 Rosan Tumpeng 11 (1 soroh),
 Tumpeng 6 (1 soroh),
 Pemugpug,
 Jerimpen (1 pasang),
 Malang-malang 33,
 Bangun Ayu Baur (1 soroh),
 Pemutus,
 Salaran
 Wawalen Rejang Baris.
 Upacara di Padma Penyawangan di luar Desa menghaturkan
upakara:
o Penangkan (33 tanding),
o Rosan tumpeng 6,
o Penyeneng,
o Segahan Manca.
 Upacara di Besakih:
o Pejati,
o Ajuman Manca Warna dengan daging telur masing-
masing satu,
o Segahan Manca Warna,
o Nasi Mepinda (berbentuk) naga.
 Upacara di Tembuku Aya / Masceti:
o Peras Ajengan Santun,
o Kelanan Dampulan,
o Penangkan Satu Tanding,
o Segan Manca Warna.
241

 Upacara di Gong.
o Peras Ajengan Santun,
o Nasi Megibungan Dengan Daging Sate 33,
o Segan Manca Warna,
o Penyeneng
 Upacara di Bale Agung Dangin.
o Linggih (4 tanding),
o Daging (ulam) kawisan,
o Ajengan Ratu Alit (4 tanding),
o Malang Inumang Manut Ketekan Krama,
o Maulan / Daging Jatah/ Sate Babi (katik 5).
o Tapakan Dene Jangkep,
o Pamugpug,
o Jerimpen (1 pasang),
o Malang-malang 22 tanding,
o Rosan Tumpeng 11,
o Tumpeng 6,
o Pejati,
o Bangunurip Itik,
o Segan Manca Warna,
o Rayunan,
o Penyeneng.
 Upacara di Bale Agung Dauh:
o Rosan tumpeng 6 satu.
 Upacara di Ratu Ngruruah Agung:
o Peras Ajengan,
o Santun,
o Penengkan (1 tanding),
o Segan Manca Warna,
o Pamuput Sasolahan Sabuh-Sabuhan.
 Upacara Nglebar.
o Rosan Tumpeng 11,
o Jerimpen Asele,
o Santun ,
o Salaran,
o Segahan Manca Warna.
242

 Upacara di Pura Tegal Suci.


o Rosan tumpeng 11 (1 soroh),
o Tumpeng 6 (1 soroh),
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Tapakan Lengkap.
o Persembahan dari Krama Subak / masyarakat yang
berupa yang dipikul / tegenan atau yang di ”suhun”
/ jingjing di kepala,serta mohon Tirta untuk
dipergunakan dilumbung masing-masing.
 Upacara di lumbung masing-masing rumah.
o Rosan Tumpeng 6,
o Pengulapan Cau Satu Soroh,
o Tebasan Penyapa Dewa-Dewa Rauh,
o Segan Manca Warna.
 Upacara di masing-masing Mrajan / sanggah.
o Ajuman Putih Kuning,
o Canang Lenga Wangi Burat Wangi,
o Segahan Cacahan (5 tanding).
 Upacara di Tegalan /Palemahan.
o Ajuman Putih Kuning,
o Cau.
 Upacara untuk alat-alat Subak.
o Tenggala,
o Lampit atau yang lainnya,
o Cau (1 soroh),
o Segahan Cacahan (5 tanding).

Demikianlah beberapa prosesi upacara di Desa Pakramat


Let, juga beberapa upakaranya, yang kebanyakan berniasa linggih
Ida Sang Hyang Widhi, sebagai bentuk ungkapan terima kasih
kehadapan Beliau dengan segala prebawa beliau. Rangkaian upacara
dan jenis upakara ini sudah diwariskan semenjak dahulu, dan sudah
mengalami beberapa perubahan dari masa-kemasa. Akan tetapi
esensi serta makna yang terkandung didalamnya masih tetap
mengacu pada budaya Tinut kepada Pendahulu.
243

BAB XIII
Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat berbagai bentuk.
Rasa syukur atas anugrah Beliau, memuja dan mensucikan
Pelinggih Arcana Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih
Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial religius masyarakat setempat, adalah sebagian
kecil bentuk Sradha Bakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala
sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat
pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai
kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah terpatri dalam
jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali
khususnya merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan
yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis
dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan alam
lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana.
Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana tersebut dipakai
sebagai dasar kehidupan di Desa Pakraman. Hal ini diperkuat
dengan adanya Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau
Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi menjadi tiga
wilayah, atau Tri Mandala, yaitu Uttama Mandala, Madya Mandala
dan Nista Mandala.
Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya terdiri
dari Kahyangan Tiga sebagai wilayah yang disakralkan oleh
penduduk, dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara
keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu
wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena menjadi
tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas rumah tangga. Nista
Mandala adalah wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan sebagainya,
merupakan wilayah profan tempat masyarakat melakukan aktivitas
pekerjaan untuk melanjutkan kehidupannya.
244

Desa Pakraman sebagai suatu kesatuan wilayah


Parahyangan, Pawongan dan Palemahan, merupakan wadah
pelaksanaan Agama Hindu Bali dan perkembangan berbagai
kebudayaan Bali, serta berperanan aktif sebagai penyaring bagi
masuknya kebudayaan asing. Oleh karena Desa Pakraman adalah
merupakan satu kesatuan adat, yang di dalamnya mengatur
sekelompok masyarakat adat, maka dibuatlah aturan adat yang
disebut dengan nama Awig-awig Desa. Pada dasarnya Awig-awig
Desa Pakraman mengatur tiga hal utama, yaitu Sukerthaning
Parahyangan, Sukerthaning Pawongan dan Sukerthaning
Palemahan.
Filsafat hulu-teben sebagai landasan masyarakat Let dalam
melaksanakan upacara, ritual dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan
timbul karena masyarakat sulit membayangkan Ida Sang Hyang
Widhi, kemudian "menganggap" Hyang Widhi seperti organ tubuh
manusia yang mempunyai unsur-unsur kepala, badan dan kaki.
Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan
kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Konsep ini
membawa tatanan kehidupan "skala" (nyata) dan "niskala" (tidak
nyata), misalnya dalam aturan-aturan membangun Pura. Adanya
bagian yang sangat sakral disebut sebagai "utama mandala", bagian
yang kurang sakral disebut sebagai "madya mandala" dan bagian
yang tidak sakral disebut sebagai "nista mandala".
Hulu - Teben memakai dua acuan yaitu Timur sebagai hulu dan
Barat sebagai teben, atau Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai
teben. Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit.
Matahari dalam pandangan Hindu adalah sumber energi yang
menghidupi semua mahluk, sedangkan Gunung sebagai hulu karena
berfungsi sebagai pengikat awan yang turun menjadi hujan
kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan sumber
mata air kehidupan. Tiada kehidupan tanpa air.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau
arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan
terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
245

1. Arah Timur, dan


2. Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan
menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit.
Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan
tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-
benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau
tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung
atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di
utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas,
jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut,
demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan
mata angin akan memudahkan membangun pelinggih - pelinggih
dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
Dengan demikian sangat jelas bahwa Desa Pakraman
bertujuan utama mewujudkan kebahagiaan krama desa dengan
melaksanakan aturan-aturan yang bersifat baik (Sukertha) terkait
dengan pelaksanaan keagamaan, kemasyarakatan dan lingkungan.
Dalam Desa Pakraman ada Banjar. Di Setiap Banjar ada pemujaan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai
Bhatara Panyarikan. Tujuan pemujaan tersebut agar umat di Banjar
tersebut memiliki moral dan mental agar dapat menempuh
perjalanan hidup sesuai dengan tahapan hidup dan Brahmacari
Asrama menuju Ghrehasta dan Wanaprastha Asrama.Tujuan utama
Desa Pakraman dengan Banjar adalah untuk mengamalkan ajaran
Hindu yaitu ajaran Catur Asrama, ajaran Tri Kona dan ajaran Tri
Guna.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Payangan, 15 April 2013
246

Daftar pustaka

 Jawaharlal Nehru (1964) : A Glimpses of World History –


Oxford University Press, New York,
 Pramudya Toer (1998) : Hoakiau di Indonesia – Garba
Budaya, Jakarta.
 Fruin-Mess (1919) “Geschiedenis van Java”
 Anthony Reid (1996) : Indonesian Heritage : Early Modern
History – Archipelago Press, Jakarta, atau Djoko Pramono
(2005) : Budaya Bahari – Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 Roelof Gorris Inscripties Voor Anak Wungsu (1954)
Transkrif Prasasti Kedukan Bukit (Tahun 683 Masehi),
Prasasti Talang Tuo (Tahun 684 Masehi) dan Prasasti Kota
Kapur.
 Radya-Radya Ri Bhumi Nusantara I.1. 1984
 Salinan Lontar Bhuwana Tattwa Maharsi Markandya
 Salinan lontar Markandya Purana
 Salinan Lontar Bali Tattwa
 Salinan Lontar Kidung Harsa Wijaya,
 Salinan Lontar Kidung Ranggalawe,
 Salinan Lontar Kidung Sunda,
 Salinan Lontar Usana Jawa,
 Salinan Lontar Usana Bali,
 Salinan Lontar Babad Dalem
 Salinan Lontar Dwijendra Tattwa
 Dr. Van Stein Callenfels. (1926) Epigraphia Balica
247

 Dr. Van der Tuuk dan Dr. Brandes (1885). kumpulan


dokumen penelitian Bali.
 Adrian Vickers, Bali, A Paradise Created. Singapore:
Periplus 1989,
 David Stuart-Fox, Pura Besakih; A Study of Balinese
Religion and Society. PhD Thesis, ANU, Canberra 1987,
 Adrian Vickers, Bali, A Paradise Created. Singapore:
Periplus 1989,
 Thomas A. Reuter, Custodians Of The Sacred Mountains,
Obor Indonesia, Th 2005.
 Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
 Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
 Usana Bali Nomor/ kode : Va. 5090, Gedong Kirtya,
Singaraja Koleksi : Puri Balayu,
 Perjalanan Danghyang Nirarta Dr. Soegianto Sastrodiwiryo
 Babad Dhalem, Koleksi AA Made Regeg Puri Anyar
Klungkung
 Babad Dhalem, Koleksi Ida I Dewa Gde Catra, Sidemen –
Karangasem
 Babad Keramas, koleksi A. A. Raka Parta. Puri Blahbatuh,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar.
 Babad Durmanggala Gedong Kirtya Singaraja Nomor/ kode
: Va.4419, Milik Geria Anyar, Kabakaba, Kadiri, Tabanan.
 Babad Dalem Pabancangah Ida I Dewa Lampijeh, Koleksi
Jero Saren Kelod Manggis – Karangasem –Maret 2011
 Amboinsche Reteitkamer. G.E Rumphius, 1705
 W.O.J Nieuwenkamp, 1906
 K.C Crucq tahun 1932
 Raja Purana Besakih
 Raja Purana Ulundanu Batur
 De Stamboom van Erlangga. oleh F.D.K. Bosch : 1950
 Stein Callenfels : Sriwijaya
 Catatan L.C. Damais
 Lontar Bali Tattwa
248

 Babad Bali. Kirtya No 6776/Va


 Markandya Purana
 Transkrif Prasasti Pandak
 Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandya
 Ubud The Spirit of Bali, Hermawan Kertajaya
 Babad Buleleng
 Babad Arya Jelantik
 Custodians of The Sacred Mountains. Thomas A Router.
 Babad Pulasari
 A Balinese Dynastic The Hague Martinus Nijhoff, oleh P J
Worsly Th 1972
 Kamus Jawa Kuno P.J.Zoetmulder.
 Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja
 Babad Dhalem Koleksi : I Dewa Gde Puja. Alamat : Jero
Kanginan, Sidemen, Karangasem.
 Babad Dhalem milik Dinas Kebudayaan Provinsi Bali,
editor Drs. I Wayan Warna dkk, tahun 1986. Lontar
bertahun 1840, tulisan Ida Bagus Nyoman, Giriya Pidada.
 Babad Dhalem, druwen Ida Tjokorda Gede Agung, Puri
Kaleran Sukawati, tahun 1981.
 Babad Pasek, diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa,
tahun 1956.
 Babad Brahmana Siwa, Milik Giriya Gunung, Payangan,
Gianyar, bertahun 1858 Masehi.
 Babad Mengwi, no./kode : Va.1340/12, Gedong Kirtya
Singaraja. Koleksi : I Gusti Putu Mayun. Alamajt :
Abiansemal, Badung.
 Babad Mengwi Buleleng, no./kode : Va.1135/10, Gedong
Kirtya Singaraja. Koleksi : Ida Anak Agung Negara
Buleleng.
 Babad Arya, no.kode PB.140/GGP/IV/2007. Milik Ida
Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad Arya Wang Bang Pinatih Sentana Bun, no.kode
PB.143/GGP/IV/2007. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
249

 Babad Pasek Tangkas Kori Agung, no.kode


PB.137/GGP/IV/2007. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali, Th. 2012 Analisis
Pengkajian Sejarah dan Babad Abad XVII-XX, Ringkasan
Sejarah Bali Abad XVI-XX no.kode PS.180/GGP/V/2002.
Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Babad Dhalem Pemayun, no.kode PB.208/GGP/V/2002.
Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Babad Arya Sentong, no.kode PB.20/GGP/V/2005. Milik
Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Rsi Markandya dan Mpu Kuturan, no.kode
PS.08/GGP/II/2005. . Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad Bangli, no.kode PB.108/GGP/III/2005. . Milik Ida
Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Sejarah Berdirinya Kerajaan Mengwi, no.kode
PS.124/GGP/III/2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad I Gusti Agung Maruti, no.kode
PB.14/GGP/VIII/2008. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad Pasek Badak, no.kode PB.213/GGP/VIII/2002. Milik
Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Catatan Runtuhnya Mengwi (belum bernomor) File kerja
Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Mengwi Akhir Abad 14, akhir Abad 17 (belum bernomor)
File kerja Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Wawancara dengan Para Pengelingsir Desa Pakraman Let,
Taro.
 Penelitian Dr. W.F. Stutterheim Boda en Sogatha in Bali.
250

 Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein


Callenfels.
 Lontar Gong Besi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Lontar Kramaning Anangun Yadnya. Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Lontar Widhi Sastra Dang Hyang Dwijendra. Milik Ida
Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Lontar Widhi Sastra Dharma Yogi. Milik Ida Bagus Bajra,
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Kamus Kawi Bali. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Bhagawadgita. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Sarasamuscaya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Atharwa Weda. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Dll.

Anda mungkin juga menyukai