Oleh
Aminuddin Kasdi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan penelitian Brandes bahwa sebelum masuknhya pengaruh
budaya asing ke Indonesia di sekitar permulaan abad Masehi bangsa Indonesia
telah memiliki budaya khususnya dalam bidang pemerntahan, yaitu pemerintahan
yang teratur.1 Saat itu komunitas yang terbentuk adalah komunitas desa. Jadi
sistem pemerintahan yang terselenggara pastilah pemerintahan tingkat desa.
Satuan komunitas desa kemudian diberitakan dalam prasasti yang tertua antara
lain prasasti Canggal (732 M) dengan nama wanua. Pada tahap selanjutnya
terjadilah konsolidasi antar wanua (dipimpin oleh rama-bapak) dikarenakan mulai
terbukanya perdagangan Indonesia dengan pihak asing yaitu Cina dan India pada
abad-abad pertama Masehi kedua kerajaan di subcontinent Asia tersebut
mengalami masa keemasan dibawah Dinasti Han (Cina) dan Dinasti Maurya dan
Gupta (India) 2. Hubungan dagang itu yang mendatangkan keuntungan sangat
besar. Untuk memperebutkan sumber daya ekonomi itulah yang menyebabkan
terjadinya konsolidasi kekuasaan dari pemerintahan tingkat wanua ke tingkat
lebih tinggi yaitu wateg.Pemimpin wanua pemenang sebagai kepala wateg
selanjutnya “dipertua” oleh para rama bawahannya dengan sebutan raka. Dalam
perkembangan selanjutnya dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan wateg
maka raka yang bersangkutan memerlukan sejumlah petugas uantuk bidang-
bidang tertentu yang dalam perkembangannya di Jawa disebut sebagai nayaka
atau birokrasi di Barat. Birokrasi yang semula sebagai pembantu para rama atau
buyut kemudian juga sebagai pembantu para raka setelah masuknya budaya
1
Koentjaraningrat, Metode Anthropologi, Ichtisar dari Metode-metode Anthropologi dalam
Penjelidikan Masjarakat dan Kebudajaan Indonesia, Penerbitan Universitas, Djakarta, 1958, hlm.
455.Hasil penelitin Brandes terkenal dengan sebutan Brandes ten point yaitu : seni wayang, seni
gamelan, seni batik, metrum, memandai logam, sistem mata uang, pengetahuan pelayaran,
astronomi, pertanian dengan irigasi, dan susunan pemerintahan yang luas.
2
Nio Yu Lan, Tiongkok Sepandjang Abad, Balai Pustaka Djakarta, 1952, hlm. 70-79.
T.S.G. Mulia, India, Sedjarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, Balai Pustaka, Djakarta, 1952,
hlm.15-30.
Hindu dengan stratifikasi sosialnya maka kedudukan raka bergeser dari achieved
status (kedudukan karena faktor prestasi) menjadi ascribe status (kedudukan
karena faktor keturunan). Demikian pula nayaka selanjutnya juga menjadi “milik”
raka yang setelah dihindukan menjadi raja. Raja pertama di Indonesia yang
muncul dari proses ini adalah Raja Mulawarman dari Kutei. Tampaknya Kutei
telah mengalami proses hindunisasi pada masa ayahnya Aswawarman, sedang
kakeknya Kudungga masih hidup dalam suasana Indonesia asli, yaitu sebagai
raka i Kutei. 3 Seiring dengan pemerintahan kerajaan yang terus berlanjut baik
pada periode Indonesia kuna atau Indonesia Hindu ( s/d. 1500 M), periode Islam
(1500-1700), dan periode transisi kekuasaan Belanda (1749-1945) maka
mengikuti perkembangan tersebut juga sistem birokrasinya. Apabila pada masa
transisi ke pengaruh Hindu-Budha birokrasi di Jawa belum dapat dipastikan
bentuk dan srukturnya, maka pada masa pengaruh Hindu-Budha mulai abad VII
sampai abad XVI sistem birokrasi di Jawa telah berkembang dengan signifikan.
Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada zaman Mataram pada abad
XVII-XVIII. Dibandingkan dengan sistem birokrasi yang berkembang pada era
modern sekarang maka sistem birokrasi yang berkmbang di Indonesia sampai
abad XVIII disebut sebagai tradisional dan feodal. Hal ini disebabkan yang
menjadi acuan adalah tradisi yang telah berurat berakar dalam masyarakat feodal.
B. Permasalahan
3
Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I, Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952, hlm. 9-10.
4. Bagaimana perkembangan birokrasi pada abad XVII-XVIII atau Mataram
Akhir ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dan penulisan berjudul Perkembangan Birokrasi di Jawa pada
Abad XVII-XVIII (Akhir Mataram), bertujuan sebagai berikut.
1. Mengungkapkan terbentuknya birokrasi dalam sejarah Indonesia.
2. Menganalisis perkembangan birokrasi pada zaman kuno atau zaman Hindu-
Budha dari abad VII-XVI
3. Mengidentifikasi perkembangan pemerintahan di Indonesia pada zaman kuno
(Hindu-Budha) dan perkembangan pemerintahan pada zaman madya (Islam)
dan perkembangan pememrintahan pada abad XVII-XVIII.
4. Menganalisis perkembangan birokrasi di Jawa khususnya di Mataram pada
abad XVII-XVIII.
D. Metode Penelitian
Penulisan buku berjudul Perkembangan Birokrasi Tardisional di Jawa
anad XVII-XVIII, Studi Pada Akhir Periode Matarm, merupakan penelitian
sejarah. Sehubungan dengan itu penulisannya juga mengimplementasikan metode
sejarah yang terdiri dari laangkah-langkah sebagai berikut.
1. Heuristik atau pengumpulan sumber sejarah. Sumber sejarah yang digunakan
meliputi sumber-sumber sebagai berikut.
1.1. Tertulis baik berupa inskripsi, prasasti, perjanjian, laporan-laporan, dan
arsip, dokumen perjanjian, dan penulisan sejarah tradisional.
1.1.1. Sumber prasasti terhimpun dalam “Oud-Javaansche Oorkonden
Nagelaten Transcripties” dalam VBG Deel LX (1913).
1.1.2. Sumber prasasti terhimpun dalam Tatanegara Majapahit
Saptaparwa I,II,III oleh H.M. Yamin (1960).
1.1.3. Sumber prasasti dalam Java in The 14Th. Centuries A Study of
Cultural History I-V oleh Th. G. Th. Pigeaud (1960-1962).
1.1.4. Sumber berupa laporan dalam Nagarakrtagama oleh Prapanca
ditulis pada abad XIV (1365).
1.1.5. Perjanjian antara Mataram dan VOC tahun 1946, 1677, 1678, 1705,
1733, dan 1743.
1.1.6. Arsip atau dokumen dalam bentuk seperti yang telah diterbitkan
dalam De Opkomst van het Nederlandsch Gezaag in Oost Indie, oleh
J.K.J. de Jonge (1867)
1.1.7. Berupa penulisan tradisional : Serat Pararaton (oleh Brandes,
1913), Babad Tanah Djawi (oleh Olthof, 1941), Babad Gresik,
Babad Itih, Babad Mataram, Babad Karatasura, (transkrip koleksi
Rekspustaka Mangkunegaran, Surakarta), dll.
1.2. Sumber berita asing
1.2.1. Berita Portugis Summa Oriental of Tome Pires (1941).
1.2.2. The Voyages oleh Admr Esq. Jhon Splinter Stavorinus (1789)
1.2.3. Berita China dalam Historical Notes on Indonesia and Malaja
compiled from Chinese sources, oleh W.P. Groenveldt (1960).
1.2.4. Dll.
2. Melakukan kritik terhadap sumber, yaitu dengan membaca, mengambil data
dan mengkalssifikannya menjadi data nama-nama, kejadian-kejadian, dan
tahun-tahun, kemudian mencari hubungan intrinsik antar data gunaa
menafsirkaan dan menempatkan dalam konteks sejarah.
3. Menginterpretasikan. Pada tahap ini faakta-fafta yang telah dapat dikonstruksi
kemudian dilakaukan penghubungan aantara fakta berdasarkan asas coherence
theory of truth (bahwa faktaa yang dianggap benar adalah faakta yang cocok
dengan fakta-fakta lain yang juga telah diakui kebenarannya).
4. Menuangkan konstruk atau bangunan ceritera sejarah yang disusun dari
hubungan antar fakta cecara koheren dengan bahasa yang menarik dan enak
dibaca.
E. Kajian Pustaka
4
Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta, 1979.
5
Soemarsid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa lampau, Studi
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.
perhatian. Lampiran-lampiran Remmelink dalam karyanya sangat membantu
penyusunan buku ini. 6
Th. G. Th. Pigeaud, dalam Java in The 14Th. Century, A Study of Cultural
History IV pada Chapter 7 : Political Order in the 14th. Century Majapahit
Realm. Bab itu hanya membahas secara garis besar struktur birokrasi pada masa
Maajaphit dan unsur-unsurnya yang bertahan pada masa Mataram, namun tidak
membahas struktur dan perkembangannya baik padaa masa Majapahit maupun
padaa masa Mataraam pada abad XVII-XVIII.8
F. Sistematika
Sistematika buku Perkembangan Birokrasi Tradisional di Jawa Abad
XVII-XVIII, Studi Birokrasi di Mataram , terdiri dari Bab-bab sebagaai berikut.
Bab I Pendaahuluan, berisi tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian, Kajian Pustaka dan Sistematika.
Bab II Tebentuknya Birokrasi Tradisional
Bab III Perkembangan Birokrasi Tardisional pada Masa Majaphit atau sebelum
Mataram
Bab IV Struktur Pembagian Wilayah Mataram
Bab V Struktur Birokrasi Mataram
Bab VI Penutup
6
W.G.J. Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743, Jendela,
Yogyakarta, 2002.
7
F.A. Sutjipto, “Birokrasi Mataram”, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Edisi
Maret-Juni 1968, Fakultas Sastra UI.
8
Th. G. Th. Pigeaud, Java in The 14Th. Century, A Study in Cultural History IV,
Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.
BAB II
BIROKRASI TRADISIONAL
PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGANNYA
9
Max Weber, Economy and Society, An Outline of Iterpretive Sociology, Edited by
Guenther Roth and Claus Wittich, The Regent of the University of California, Berkeley-Los
Angeles, 1978, hlm. 131.
pewayangan seperti Parikesit, Arjuna,Sakri, dan seterusnya sampai deaw-dewa
Hindu dan berujung pada tokoh Nabi Adam. 10 Rajalah yang dianggap sebagai
penerus tradisi dan sabda leluhur bagi keturunannya yang masih hidup. 11
10
W.L. Olthof, Poenika Sreat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing
Taoen 1647, Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage, 1941, hlm. 7-46.
11
David E. Apter, Ghana in Transition, Atheneum, New York, 1963, hlm.
12
Issawi, Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddimah karangan Ibn
Khaldun dari Tunis (1332-1406), terjemahan A. Mukti Ali, Tintanas, Djakarta, 1962, hlm...
13
Max Weber, op. cit.,
14
Rushton Coulborn, op. cit., hlm. 4-9.
berbagai ekspedisi dan penaklukan-penaklukan.15 Kondisi itu merupakan akibat
logis dari perjuangan raja sebagai tanggapan terhadap tantangan tertentu yang
merusak atau melemahkan suatu sistem sosial politik dari imperium ataupun
kerajaan yang diorganisasikan secara ketat, misalnya berdasarkan genealogi. 16
Dalam hubungannya dengan birokrasi, yang semula diambil terbatas di
lingkungan sesuku atau seketurunan, setelah wilayah kekuasaan kerajaan
sedemikian luas terjadilah penataan dan pengembangan baik struktur, jenis,
simbol-simbol maupun tingkatannya.
15
Penaklukan oleh kekuatan Majapahit terakhir mencapai wilayah yang diberitakan dalam
Nagarakrtagama . Penaklukan Mataram dilakukan oleh Sultan Agung dari 1613-1641 dengan luas
wilayah dari Priangan sampai Blambangan (Banyuwangi.
16
Issawi, Charles, op. cit.
17
George Balandier, op. cit., hlm. 99.
B. Perkembangan Birokrasi Tradisional
Tatkala suatu negara atau suatu kerajaan tumbuh dalam tingkatannya yang
pertama dan wilayah kekuasaannya sangat terbatas, tenaga birokrasi dimbil dan
digunakan oleh penguasa untuk menyelenggarakan kekuasaannya berasal baik
dari keluarga raja terdekat maupun yang jauh (nak-sanak), pengikut, rakyat
ataupun sekutunya. Saat itu faktor solidaritas sosial dan hubungan pribadi dan
kesetiaan merekalah yang membantu raja menegakkan pemerintahan. Setelah
suatu negara atau kerajaan menjadi besar, raja-rajanya berhasil memperluas
wilayah serta memonopoli kekuasaan. Akibatnya, sanak keluarga, suku dan
rakyatnya sendiri tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan tenaga birokrasi. Sang
Raja atau penguasa kemudian mengambil tenaga lain, misalnya dari penguasa
yang ditaklukkan, sekutu ataupun orang-orang asing lainnya. Tidak jarang
golongan kedua ini mendapatkan perlakuan lebih istimewa dibandingkan
perlakuan raja terhadap anggota sukunya sendiri ataupun terhadap penguasa
taklukan. Keistimewaan itu antara lain dilakukan lewat usaha mengawinkan
golongan kedua tersebut dengan keluarga raja. 18 Perbedaan perlakuan antara
pengikut lama dan pengikut baru itu menyebabkan soolidaritas terhadap raja dari
kelompok pertama yang semula menjadi tulang punggung kekuasaannya menjadi
longgar bahkan lemah, dan kemudian menjadi lenyap. 19 Perkembangan baru
ditandai dengan adanya ambisi dan persekongkolan dalam memperebutkan posisi
18
W.L. Olthof, op. cit., hlm. 134.
19
Charles Issawi, op. cit., hlm. 168.
serta berbagai kepentingan di sekeliling raja. Konflik-konflik itu apabila tidak ada
yang mampu mengelolanya tidak mustahil selanjutnya akan berkembang menjadi
perlawanan terhadap raja atau sang penguasa 20.
Dalam birokrasi kerajaan feodal seperti halnya para raja atau penguasa di
Indonesia pada zaman kuna, pengangkatannya tidak menggunakan kriteria yang
obyektif dan rasional, melainkan berdasarkan penunjukan. Meskipun demikian
peran-peran tertentu masih terbuka bagi individun yang memiliki kualitas khusus,
namun kualitas itu pada umumnya berdasarkan pada kriteria kelahiran (ascribe
status) dan kesetiaan (loyalitas) pada raja. Kerajaan-kerajaan feodal seperti halnya
Singasari, Majapahit dan juga Mataram dalam pengelolaan aparat birokrasinya
tidak terlepas dari sifat-sifat itu.21
20
Ibid.,
21
Masalah birokrasi kerajaan patriarkhal, patrimonial dan feodal dibahas secara
mendalam oleh Max Weber dalam Economy and Society, hlm, 231-232, 1013. Lihat juga Samuel
Huntington, Political Order in Changing Societies, New Haven, London-Yale University Press,
hlm. 148-149. Lihat juga George Balandier, op. cit., hlm. 99, David E. Apter, op. cit., hlm. 83,
Lucy Mair dalam Primitive Government, hlm. 1441.
22
Max Weber, op. cit., hlm. 1006
23
Samuel Huntington, loc. cit.
Militer dalam kerajaan tradisional adalah bagian dari birokrasi. Dalam hal
kemiliteran raja menggunakannya sebagai penyangga utama kekuasaan dinasti
patrimonial dan feodal dari kalangan ; (1) budak atau sahaya patrimonial, pelayan
upahan atau kolonis, (2) orang-orang yang sepenuhnya terpisah dari kegiatn ataua
produksi pertanian, (3) tenaga yang secara khusus dikerahkan sebagai tentara,
seperti Janitsari, di kerajaanj Turki Usmani, (4) tentara sewaan atau upahan, (5)
orang-orang yang memiliki kepentingan sama dengan kepentingan raja atau
penguasa. 24
24
Max Weber, loc. cit.
25
Aminuddin Kasdi, Perlawanan Para Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa, Relasi
Pusat – daerah pada Periode Akhir Mataram (1726-1745), Jendela Press, Yogyakarta, 2003.
26
waktu yang ditentukan , (2) para pejabat atau penguasa vasal harus menetap di
ibu kota kerajaan, raja kemudian mengawinkannya dengan salah seorang anggota
keluarga raja, (3) menyandera putera penguasa lokal sebagai abdi di istana, (4)
mengangkat anggota keluarga penguasa lokal atau pejabat yang dicurigai
menduduki jabatan penting dengan tugas dan fungsi yang tidak jelas atau bahkan
bertabrakan dengan tugas dan fungsi pejabat atau penguasa vasal lainnya, (5)
membatasi masa jabatan pada posisi tertentu dalam waktu singkat, (6)
memisahkan pejabat atau penguasa yang dicurigai dari basis atau daeraah
kekuasaannya, dan (7) menciptakan persaingan serta situasi saling curiga diantara
pejabat atau penguasa vasal27.
Dilihat dari kepentingan pendukung yang loyal bagi tegaknya kekuasaan
feodal dan patrimonial, para pejabat birokrasi dan para penguasa vasal untuk
menopang hidupnya menerima imbalan (1) hidup atas tanggungan raja, (2)
memperoleh tunjangan yang diambilkan dari perbendaharaan raja, (3)
memperoleh hak pakai atas tanah (lungguh), (4) menerima sebagian upeti, dan (5)
mendapat triman (menerima anugerah atau ganjaran mantan isteri atau keluargaa
raja) untuk meningkatkan status sosial mereka. 28
Ditinjau dari sudut hubungan antara raja dan kawula ataau rakyatnya,
maka raja-raja tradisional atau feodal memiliki sistem hubungan dengaan
karakteristik sebagai berikut. (1) Kekuasaaan raja berdasarkan legitimasi tradisi,
(2) raja berkuasa secara mutlak atas wilayah atau daerah kekuasaannya, baik
terhadap penduduk atau sumber daya manusia maupun sumber daya ekonominya,
(3) semua kebutuhan raja disediakan oleh kawula. Sebagai imbalannya raja
26
Pada zaman Majapahit upacara seba ini diselenggarakan pada bulan Phalguna dan
Jiesta setiap tahun. Pada kesempatan tersebut juga dilakukan berbagai macam acara : kesenian,
olah raga, menghadap raja, pembacaan undang-undang baru, dan pesta di lapangan Bubat. Pada
masa Mataram upacara seba tersebut diselenggarakaan bertepatan peringatan kelahiran Maulid
Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Maulud (Rab‟ulawal), pada sepuluh hari terakhir setiap
bulan Puasa (maleman), dan pada Harai Raya Haji atau besaran. Tiga momentum kemudian
menjadi peringatan garebeg Maulud, garebeg Ramadan dan garebeg Besaran.
27
Max Weber, op. cit.
28
Dalam Babad Tanah Djawi versi Olthof, hlm. 20, antara lain dinyatakan pemberian
triman oleh raja Majapahit kepada Arya Damar penguasa Palembang. Selanjutnya padaa hlm. 134
pemberian triman kepada penguasa Surabaya “ mboten antawis dangoe Pangeran Pekik ladjeng
katrimanan raji sang praboe ...”
menganuegrahkan kehormatan kepada mereka yang berjasa dalam suatu peristiwa
tertentu, (4) kekuasaaan raja bergantung kepada kekuatan militer, (5) pemkaian
kekuasaan oleh raja terhadap kawula biasanya tanpa kendali, (6) kawula dalam
menjalankan kewajibannya hanya menerima imbalan berupa makan dan
perlengkapan perang 29. Dari sumber babad dan serat ketentuan tersebut dilakukan
sepenuhnya oleh raja-raja Mataram. Untuk menyediakan perlengkapan perang,
terutama untuk membuat pelbagai senjata tajam, raja memiliki petugas khusus
yaitu Ngabehi Pande30.
Dalam usaha menjamin stabilitas kekuasaannya, raja memiliki sistem
terinci untuk memata-matai sikap dan gerakan kawula atau rakyatnya. Untuk
kepentingan itu raja memasang telinga di segala penjuru kerajaan melalui tetua
atau pejabat birokrasi. Jika ada gerakan yang dianggap berbahaya maka raja
mengkategorikannya sebagai gerakan oposisi.Denga cara itu raja dapat engetahui
pelbagai gerak ataau gejolak yang terjadi dalam masyarakat. Para pejabat atau
penguasa yang melewati batas wewenangnya akan dipecat oleh raja atau
dipindahkan ke lokasi lain 31.
Perkembangan birokrasi Mataram dibandingkan dengan birokrasi kerajaan
Islam sebelumnya seperti Demak dan Pajang, maupun birokrasi dari kerajaan-
kerajaan sebelum Islam seperti Majapahit (1292-1527), Singasari (1222-1293),
Kediri (1080-1222) maupun birokrasi dari zaman Kahuripan (1019-1042) tertata
sangat rapi, terorganisir dan berkembang telah menimbulkan stratifikasi
Segala bidang dengan aneka ragam persoalan. Intensifnya penetrasi
kerajaan Mataram terhadap daerah lain menyebabakan terjadinya peperangan
untuk memperebutkan hegemoni dan sumber daya manusia maupun sumber daya
ekonomi. Penguasaan sumber daya ekonomi sangat diperlukan karena kekayaan
atau perbendaharaan kerajaan merupakan salah satu unsur vital bagi eksistensi
suatu negara atau kerajaan. Unsur-unsur lainnya yang diperlukan adalah raja, para
29
Ibid.
30
Serat Pranatan Nalika Jaman Negari Dalem ing Kartasura kala ing tahun angka 1655
(1730) ; babon saking Raden Ngabehi Ranggawarsita, koleksi Rekspustaka, Mangkunegaran,
kode MS B 113
31
. David E. Apter, Ghana in Transition, Artenneum, New York, 1963, hlm. 84.
pejabat tinggi, wilayah dengan penduduknya, ibu kota, kekuatan militer, negara
sekutu dan negara sahabat.32 Tragisnya akibat ekspansi Mataram pada abad XVII
yang terjadi komunitas-komunitas lokal kehilangan otonomi, sumber daya
ekonominya juga lenyap. Otonomi komunitas lokal hilang karena raja-raja
Mataram berusaha memantapkan kekuasaan tertingginya yang utuh dan terpusat.
Meskipun raja-raja Mataram mampu memobilasikan komunitas lokal sebagai
sumber daya politik bagi kepentingan dinastinya, namun potensi ekonominya
khususnya di sektor perdagangan laut hancur.
Di lain fihak, ekspansi dan pemusatan pelbagai sumber daya oleh raja-raja
feodal dan tradisional pada abad XVII-XVIII seperti halnya Mataram
menimbulkan situasi tertentu yang menyangkut hubunan pusat dan daerah.
Misalnya, disharmoni hubungan antara penguasa pusat dan penguasa vasal atau
32
John W. Spellman, Political Theory of Ancient India : A Study of Kingship from the
Earliest Times circa A.D. 1300, Clarendon Press, Oxford , 1964, hlm. 132.
33
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit” dalam 700 Tahun
Majapahit (1293-1993), Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata Provinsi Dat I Jawa Timur,
Surabaya, 1993, hlm. 33.
34
Ibid. Hlm. 53.
penguasa lokal, munculnya klik, intrik dengan jaringana-jaringannya,
persekongkolan para penguasa lokal yang menentang pusat dan lain-lain. Dalam
jaringan ini keterlibatan unsur birokrasi di Mataram tidak dapat dipungkiri.
Dinamika sejarahnya pun akhirnya dapat dipetakan dari gerakan kekuatan
sentripetal dan sentrifugal yang menyilang terhadap kelompok konsentris di pusat
kerajaan. 35 Disharmoni itu berpuncak pada masa Pakubuwana II. Implikasinya,
Mataram pada abad XVIII baik secara sosial, politik, dan ekonomis menjadi
sangat terisolasi dari hubungan dan perdagangan internasional. Feodalisme
dengan ciri khas Jawa menjadi menguat di Mataram. Dalam kondisi demikian,
penghasilan kerajaan sangat bergantung pada sektor pertanian. Akibatnya peranan
status dalam kehidupan sosial menjadi sangat penting 36. Konndisi feodalisme di
Jawa yang demikian itu muncul karena masing-masing negeri mengembangkan
sendiri struktur budayanya. Akan tetapi perbedaan itu dapat dijelaskan dengan
melihat tradisi sistem politiknya.37
Peranan dan status dalam kehidupan masyarakat Jawa pada abad XVII-
XVIII menjadi sangat penting karena, tertutupnya Mataram dari pengaruh dunia
luar. Sebagai kerajaan yang hampir sepenuhnya bersifat agraris, struktur sosil di
Mataram terdiri dari ; (1) raja, (2) kaum bangsawan, (3) para pejabat kerajaan atau
birokrasi, (4) orang-orang bebas yaitu para petani dan pedagang, dan (5) penyakap
38
. Dalam penentuan status seseorang pada kurun waktu abad XVIII khususnya di
Mataram menggunakan kriteria (1) hubungan darah dengan penguasa, khususnya
araja, dan (2) posisi yang bersangkutan dalam hierarki birokrasi. Secara hierarkis
35
Sartono Kartodirdjo, “The Concept of Regional History” dalam bernard Dahm, Region
and Regional Development in the Malay-Indonesia World, Otto Harrasowitz, Westbaden, 1992,
hlm. 13-32.
36
D.H. Burger, Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Bhratara, Jakarta, 1983,
hlm. 86-104.
37
Reinhard Bendix, King and People : Mandate to Rule, Berkeley, University of
California Press, 1956, hlm. 3-60.
38
S.N. Einstadt, The Polytical Systems of Empires, The Free Press of Glencoe, Cloller-
Macmillan Ltd., hlm. 34.
urutan banagsawan sesudah raja adalah putera mahkota (bangsawan tertinggi),
sedangkan raden adalah status bangsawan yang paling rendah. 39
39
L.C.W. van den Berg, De Inladsche Rangen en Titles op Java en Madoera,
Landrukkerij, Batavia, 1887, hlm. 37-41. Lihat Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban
Priyayi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 4-11.
40
David E. Apter, op. cit.
41
Slametmulyana, Menudju Puntjak Kemegahan (Sedjarah Keradjaan Madjapahit)
Djakarta, balai Pustaka, 1969,. Lihat juga Max Weber dalam Economy and Society, An Outline of
Interpretive Sociology, Edited by Guenther Roth and Claus Wittich, berkeley, Los Angeles, The
Regent of the University of California hlm. 147, hlm. 1025-1031.
membahayakan tahtanya. Misalnya, dengan memindahkan penguasa itu ke tempat
lain atau memaksanya untuk menetap di ibu kota kerajaan 42.
BAB IV
42
Lucy Mair, Primitive Government, Baltimore, Penguin Books, 1962, hlm. 67.
43
Antono Pigafetta, L’Indonesia Nella relazionie di Viaggio di antonio Pigafetta, Instituto
italiano Per il Medio ed Estremo Oriente Centro Italiano de Cultura, Roma, 1979, hlm. 142-145.
Lihat Hasan Ja’far, Girindrawaardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan Dana
Pendidikan Budha Nalanda, Jakarta, 1978, hlm. 108.
44
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi, de prozaversie van Ng. Kertaapradja, Forish Publication,
Dordrecht/Providence , USA, hlm.
45
Ibid., hlm. 44-90.
46
Kerajaan Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan, sebagai hadiah Sultan Pajang
atas jasa-jasanya dalam menaklukan Jipang. Rijklofz van Goens dalam Corte Beschrijvinge van’t
Eijland Java, hlm. 352 menyatakan “... dit eijland Java heeft over 80 jaeren nogh bestaen in 14
vrije provintien...” Pada catatan kaki 4 dikatakan bahwa Keraton Mataram diperkirakan ndidirikan
pada tahun 1578. Selanjutnya berdasarkan Perjanajian Giyanti 1755 Kerajaan Mataram dibagi
menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwana III dan Kasultanan
Yogyakarta di bawah Sultan Hamengkubuwana. I
Kerajaan Pajang, penerus Demak, lebih beruntung daripada pendahulunya
karena saingan utama Demak yaitu Kerajaan Jipang dapat dikalahkan. Pada masa
Pajang (1546-1582), situasinya telah terkendali sehingga memungkinkan Pajang
untuk mengatur pemerintahan yang wilayahnya meliputi sebagian besar Jawa.
Wilayah Kerajaan Pajang meliputi : (1) daerah Pajang sebagai wilayah inti
kerajaan dengan keraton sebagai pusatnya; (2) pesisir utara Jawa Tengah dan
sebagian pesisir utara Jawa Timur; (3) pesisir Barat yang meliputi Banten,
Jayakarta dan Cirebon; (4) mancanegara dan bang wetan. Sumber lain
mengatakan bahwa Jawa pada periode peralihan dari Demak ke Pajang terbagi
menjadi delapan wilayah pemerintahan yang merdeka dan terpisah yaitu : Banten,
Jakarta, Cirebon, Prawata atau sekitar Grobongan, Kalinyamat atau Japara,
Pajang, Kedu dan Madura. 47 Kedua kerajaan tersebut tidak banyak meninggalkan
sumber-sumber sejarah yang dapat memberikan informasi secara jelas bagaimana
sebenarnya struktur pemerintahan dan struktur pembagian wilayahnya.
Kerajaan Mataram sebagai penerus kedua Kerajaan Islam tersebut
memiliki umur lebih panjang yaitu sekitar dua ratus tahun. Keberadaannya juga
banyak diberitakan oleh sumber-sumber tradisional dan berita asing. Sumber-
sumber tradisional tersebut antara lain Babad Tanah Djawi,48 Babad Kraton,49
Babad Kartasura,50 Babad Pacina,51 Babad Momana,52 Babad Mentawis,53
Babad Itih,54 Babad Giyanti,55 Serat Pustaka Raja Puwara, 56 dan masih banyak
47
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 44.Lihat Thomas stamford Raffles, The History of
Java I, II48, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1978, hlm. 139.
Babad Tanah Djawi memiliki berbagai versi dan edisi, antara lain : Meinsma (1899), W.P.
Olthof (1941), J.J. Ras (1987) dalam bentuk prosa atau gancaran, dan edisi Bale Poestaka (1940)
dalam bentuk
49
puisi.
J.J. Ras, Babad Kraton I-II, Jambatan, Jakarta, 1992. Jilid I menceriterakan sejarah Kraton
Jawa dari Nabi Adam sampai jatuhnya Kraton Mataram di Plered; Jilid II tentang beririnya Kraton
Kartasura
50
sampai Perang China.
51
Babad Kartasura, koleksi Reksapustaka,B.
52
Babad Pacina, koleksi Reksapustaka Mangkunegaran, Surakarta, No. 22B.
53
Babad Momana, koleksi Perpustakaan Sanabudaya, Yogyakarta, No. S3 PBE 100.173.
54
Babad Mataram, koleksi Reksapustaka, Mangkunegaran, Surakarta, No. 17-18i.
55
Babad Itih, koleksi Reksapustaka, Mangkunegaran, Surakarta, 13a-13j.
56
R. Ng. Yasadipura, Babad Giyanti I-VII, Bale Pustaka, Batavia, 1937.
Pustaka Raja Puwara dalam Serat Pranatan Jaman Kartasura tahun 1655 J. (1730 M.),
koleksi Reksapustaka, Mangkunegaran, Surakarta, No. M.S. 113 ; Lihat juga Robert van Niel, A
Survey of Historical Materials in Java and manila, University of hawai Press, Hawaii, 1970, hlm.
140. Lihat juga J. Brandes, “Register of de Proza Omzetting van Babad Tanah Djawi” dalam
Vehandelingen Bataviaasch Genotschap Deel LI, Albrecht & Co.,/Martinus Nijhoff, Batavia/The
hague, 1900.
lagi serat atau babad yang memberitakan berbagai peristiwa tertentu seperti Babad
Banyumas, Babad Pasir, Babad Pasuruan, dan Babad Madura.57
Dari sumber-sumber asing, khususnya yang berasal dari VOC,
pemberitaan tentang struktur pembagian wilayah Kerajaan Mataram itu terdapat
dalam laporan-laporan dan salinan-salinan arsip yang dikerjakan oleh J.K.J. de
Jonge dalam De Opkomst van het Nederlandsch Gezaag Oost Indie, 58 Corpus
Diplomaticum Neerlando-Indicum terbitan J.E. Heeres dan dihimpun oleh F.W.
Stapel,59 laporan perjalanan ke ibu kota Mataram oleh Rijklof van Goens yaitu
“Corte Beschrijvinge van‟t eijland Java, Derselver Propintien, Landdeelinge,
Rijkdom en Inwoonders” dalam De Vijf Gezantschapsreizen van Rojklof van
Goens Naar het hof van Mataram 1648-165460 oleh H.J. De Graaf, 61 laporan
Francois Valentjin, Oud en Nieuw Oost-Indien yang diterbitkan oleh S. Keijzer.62
Beberapa laporan para pelayar yang mengunjungi kepulauan Nusantara pada abad
ke-17 hingga ke-18 misalnya John Nieuhoff (1654),63 John Splinter Stavorinus
(1774-1775) dan Ong Thae Hae (1783).64
Dari berbagai sumber yang telah disebutkan, dapat dikatakan bahwa
pembagian wilayah Kerajaan Mataram diatur secara konsentris. Dalam struktur
ini, ibu kota dengan istana atau keraton sebagai pusat kerajaan ditempatkan di
tengah, disebut sebagai khutagara, kutharaja (kota tempat tinggal raja) atau
narawita (berasal dari nara yang berarti manusia, wita berarti suwita, artinya
57
Wirjaatmadja, Babad Banjoemas, Electrische Drukkerij, Poerbalingga. Lihat Babad
Madura, koleksi Th.G. Th. Pigeaud di Perpustakaan fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) UI, no.
NK 54.
58
J.K.J. de Jonge, De Opkomst van het Nedelandsch Gezaag in Oost Indie Deel I-X, Martinus
Nijhoff/Frederik Muller, ‘s-Gravenhage/Amsterdam 1857-1864. Lihat juga J.E. Heeres, Corpus
Diplomaticum Neerlando Indicum, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1934.
59
J.E. Heeres, Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum I, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage,
1934.
60
Rijklof van Goens, Javense Reyse, De bezoeken van een VOC-gezant aan het Hof van
Mataram, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1995.
61
H.J. de Graaf, De Vijf Gezantschapreizen van Rijklof van Goens naar het Hof van
Mataram, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1956.
62
Francois Valentijn, Oud en Nieuw oosst-Indien II, Wed J.C. van Kesetern en zoon,
Amsterdam, 1862,
63
Johan Niehoff, Voyages, Travels to the East Indies, Oxford University Press, Oxford, 1988.
64
John Splinter Stavorinus, Esq., Voyages to the east Indises, G.G. and J. Robinson
Paterooster Raw, 1798. Lihat juga Ong Thae Hae, The Chinamen Abroad or Desultory Account of
the Malayan Archipel particularly Java, The Mission Press, Shang Hae, 1849.
mengabdikan diri). Ibu kota dan istana itu dikelilingi negeri-negeri kecil sebagai
kerajaan bawahan yang lokasinya dari pusat kerajaan mengikuti empat atau
delapan penjuru angin. Wilayah ini disebut sebagai nagaragung.
Di luar wilayah nagaragung adalah wilayah mancanegara yang terbagi dua
yaitu mancanegara kulon (mancanegara barat), dan mancanegara wetan
(mancanegara timur). Istilah mancanegara berarti negeri lain, negeri taklukan atau
negeri pengikut.65 Wilayah pesisir atau pantai utara Jawa juga dibagi menjadi dua
wilayah yaitu pesisir kulon (wilayah pantai sebelah barat) dan pesisir wetan
(wilayah pantai sebelah timur). Wilayah mancanegara kulon dan pesisir kulon
biasanya juga disebut sebagai bang kulon (wilayah barat kerajaan). Wilayah
mancanegara wetan disebut sebagai bang wetan.66
Sesungguhnya struktur pembagian wilayah seperti itu dapat dilacak pada
masa kebesaran Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389).
Berdasarkan pengertian Nagarakrtagama, dalam struktur tersebut, ibu kota
dengan keratonnya terletak di wilayah inti kerajaan, yaitu Kahuripan dan Daha,
yang masing-masing diperintah oleh Bhre Kahuripan (Tribhuwanatunggadewi)
dan Bhree Daha (Rajadewi Maharajasa). Kedua orang itu adalah ibu dan bibi
hayam Wuruk. Posisi inti tersebut dikelilingi pula oleh empat kerajaan lainnya
sebagai provinsi atau nagaragung. Keempat kerajaan tersebut adalah Pajang di
sebelah barat, Lasem di utara, Lodaya atau Balitar di selatan dan Lumajang di
timur.67 Wilayah di luar inti kerajaan dan keempat kerajaan kecil yang
mengelilingi ibu kota Majapahit (nagaragung) disebut sebagai wilayah
mancanegara. Jadi istilah mancanegara itu telah dikenal pada zaman Majapahit. 68
65
J.J. Ras, op. cit. Hlm. 44 antara lain menyatakan “ ... ingkang mogok kagebug ing prang.
Tanah pesisir, toewin manatjanagari, toewin bang wetan, toewin pasisir kilen sadaya sampoen
soejoed ...”
66
Th. G. Th. Pigeaud, Java I ..., hlm. 15 pupuh 17-6,7.
67
Th. G. Th. Pigeaud, Java IV ..., hlm. 47-48.
68
Th.G. Th. Pigeaud, Java I, op. cit., hlm. 20 pupuh 25-2,1 menyatakan “ ...sakweh san para
mantry amancanagaramunwin pakuwwan kabeh (semua mantri mancanagara di pakuwon) ;
pupuh 34-3,1 “... sanamantry amancanagara karuhun ...”. Dalam Raja Kapa-kapa 2-3 “...
maantri amancanagara : tumenggung, demung laan rangga nenggih kanduruwan, lan patih
punika ...”
Kerajaan Majapahit dalam perkembangannya telah mampu mencapai
integrasi politik, tanpa disertai integrasi territorial secara ketat. Dalam kondisi
demikian, selain di pusat dan di wilayah inti kerajaan, masing-masing wilayah
secara politik cukup menyatakan tunduk dan menyerahkan upeti dalam jumlah
tertentu. Namun wilayah-wilayah tersebut dalam kadar tertentu masih memiliki
kebebasan. Misalnya dalam hal penetapan suksesi penguasa dan pengaturan
sumber daya ekonomi. Dengan demikian Majapahit sebagai kerajaan patrimonial
hanya mengakui keturunan pendiri kerajaan sebagai penguasa yang sah, namun
unsur-unsur penguasa feodal di masing-masing daerah masih tetap berfungsi dan
memiliki otonomi dalam sistem politik ketatanegaraan yang bersifat patrimonial
feodal.69
Tradisi dari zaman Majapahit itu masih terus bertahan dengan berbagai
penyesuaian. Kerajaan Majapahit secara politik kenegaraan memang telah runtuh
namun unsur-unsur kehidupan sosial budayanya masih terus berkembang. Juga
karena sistem ketatanegaraan dan struktur pembagian wilayah Kerajaan Majapahit
merupakan unsur budaya endogenus (kekuatan yang tumbuh dari dalam)
masyarakat Jawa yang telah berkembang sejak abad ke-9 dan ke-10, ketika pulau
Jawa mengalami proses integrasi politik dengan Majapahit sebagai puncaknya.
Meskipun kepulauan Nusantara umumnya serta pulau Jawa khususnya pada abad
ke-16 telah mengalami proses islamisasi namun proses tersebut tidak banyak
berpengaruh terhadap sistem ketatanegaraan.
69
Max Weber, Economy and Society, an Outline of interpretive Sociology, University of
California Press, Berkeley, hlm. 259-262. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem
Politik Majapahit”, dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993), Suatu bunga Rampai, Dinas
Pariwisata Dati I Jawa Timur, Surabaya, 1993. hlm. 35-37.
Di lain pihak, interaksi antara Kerajaan Mataram dengan pihak Belanda (VOC)
baru mulai intensif pada periode akhir Mataram dengan ibu kota dan keratonnya
di Plered. 70
Dari sumber-sumber tradisional dan sumber-sumber Belanda diketahui
bahwa pembagian struktur wilayah Kerajaan Mataram yang bersifat konsentris
merupakan hasil dari proses yang disebabkan oleh berbagai faktor : pertama,
faktor politik untuk mengamankan wilayah inti kerajaan (keraton, khutagara dan
nagaragung), dari gejolak perlawanan dan pemberontakan. Misalnya perlawanan
Ki Ageng Mangir, perlawanan Adipati Pajang, Adipati Demak, serta Adipati Pati
yang semuanya berada di sekitar wilayah inti Kerajaan Mataram; 71 kedua, untuk
penataan administrasi pemerintahan. Berkat penaklukan-penaklukan yang
dilakukan oleh Sultan Agung, Kerajaan Mataram berhasil menundukkan hampir
seluruh Jawa kecuali Banten dan Batavia.
Kerajaan Mataram yang semula merupakan negeri kecil di pedalaman
dalam waktu relatif singkat mampu menguasai wilayah yang sangat luas dengan
tingkat interaksi antar wilayah dan mobilitas penduduk yang makin tinggi
sehingga jumlah petugas kerajaan pun membengkak. Sudah tentu hal ini
memerlukan penataan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian terhadap
stabilitas serta keamanan wilayah, perilaku para pejabat kerajaan (birokrasi) serta
para penguasa di daerah yang masih memiliki otonomi tertentu. Dalam hal ini
diperlukan ikatan yang mempersatukan para pejabat kerajaan yaitu loyalitas
mereka terhadap raja dan kemampuan kontrol raja dalam menghadapi berbagai
70
Antoinette Barret Jones, early tenth Century from Inscriptions ; A Study of Economic,
Social, and Administration conditions in the First Quarter of the Century, Foris Publication,
Dordrecht-Holland, Cinaminson-USA, 1984, hlm. 59-110. Lihat Jan Wisseman Christie, “Raja dan
rama, Negara Klasik di Jawa di Masa Awal” dalam Pusat, Simbol dan Hirarki Kerajaan, Yayasan
Obor, Jakarta, 1989. Misalnya berdasarkan prasasti Anjuk Ladang (937 M) dari masa Pu Sindok
telah terdapat struktur (1) pemerintahan pusat di bawah maharaja, (2) pemerintahan daerah
wateg meliputi sejumlah desa/waanua/dapur di bawah pamget/samget atau raka i, dan (3)
pemerintahan desa atau wanua, dapur di bawah buyut, rama. Pada masa Majapahit (1293-1527)
muncul pemmerintahan setingkst propinsi yaitu nagara seperti Kahuripan, Daha, Wengker,
Pajang, Lasem, mataram, Matahun, dll. yang membawahi sejumlah wateg, pakuwon yang
dipimpin oleh akuwu, anden atau pangalasan.
71
W.P. Olthof, op. cit., hlm. 114-115. Dalam kasus ini baik Panembahan Senapati maupun
Sultan Agung bertindak tegas, yaitu dengan membunuh pemimoin pemberontak seperti Ki
Ageng Mangir dan Adipati Panji Pergola.
intrik, konspirasi, perlawanan dan pemberontakan. Hal lainnya yang perlu
diperhatikan adalah faktor ekonomi. Sebagai konsekuensi kehidupan istana yang
makin mewah, jumlah kaum bangsawan pun bertambah banyak sehingga biaya
penyelenggaraan pemerintahan terus membesar. Apalagi setelah raja-raja
Mataram menandatangani beberapa perjanjian atau kontrak dengan pihak VOC
untuk mempertahankan tahta kerajaan sehingga pihak Mataram harus mengganti
biaya perang yang dikeluarkan VOC untuk kepentingan tersebut.72
Berdasarkan pemberitaan Rijklof van Goens, Jawa pada masa Pajang
(1578) dibagi menjadi empat belas provinsi yang diperintah oleh seorang
pangeran, adipati atau raja yang dapat dikatakan memiliki kekuasaan mutlak.
Dengan demikian yang dimaksud dengan istilah provinsi menurut van Goens
adalah daerah-daerah kadipaten di Jawa pada abad ke-17. Sembilan di antara
provinsi-provinsi itu terletak di wilayah pesisir, yaitu Blambangan, Surabaya,
Tuban, Pati, Demak, Pemalang, Cirebon, Jayakarta dan Banten. Lima provinsi
lain tampaknya merupakan apanage atau lungguh bagi para pangeran yaitu daerah
Kediri, (lungguh) Pangeran Balitar, Madiun (lungguh Aria Mataram), Pagelen
(lungguh) Pangeran Krapyak, dan Banyumas (lungguh Pangeran Silarong).
Kelima provinsi yang disebut terakhir ini terletak di pedalaman. 73
Pemberian nama-nama pangeran di daerah-daerah lungguh itu
mengingatkan kita pada situasi serupa di Majapahit pada abad ke-14. Misalnya
Tribuwanatunggadewi sebagai penguasa Kahuripan mendapat gelar Bhre
Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa sebagai penguasa Kediri atau Daha bergelar
Bhre Daha. Gelar-gelar lain seperti Bhre Panjang, Bhre Mataram, Bhre Lasem,
Bhre Matahun dan lain-lain mengindikasikan eratnya hubungan antara para
pangeran dan daerah yang dikuasainya. 74
Pada 1600-an, ketika orang-orang Belanda melakukan interaksi yang lebih
intensif dengan pihak Jawa, mereka menyatakan bahwa Jawa terbagi ke dalam
72
Kontrak-kontrak yang dimaksud antara lain : tanggal 28 Februari 1677, 19 Oktober 1677,
15 Januari 1678, 5 Oktober 1705, 15 februari 1733, dan 11 November 1743.
73
G.P. Rouffaer, “ Vorstenlanden” dalam Adatrechtbundels XXXIV : Java en Madoera I,
Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage, 1931.
74
Th. G. Th. Pigeaud, Java I ..., loc. cit.
berbagai jenis pemerintahan lokal atau negeri (Jawa:nagari) yang dikepalai oleh
bupati, adipati bahkan raja. 75
Pengaturan struktur wilayah Kerajaan Mataram secara lebih sistematis
dilakukan oleh Sultan Agung (1613-1645). Setelah berhasil menuntaskan
penaklukan atas Jawa yang ditandai dengan jatuhnya Giri pada 1673, 76 Sultan
Agung merasa perlu melakukan registrasi wilayah yang telah dikuasainya
berdasarkan kesatuan teritorialnya masing-masing. Dalam audiensi dengan para
bupati bang wetan pada 1560 J. (1638 M) Sultan Agung melakukan penghitungan
atas luas wilayah tanah Jawa yang berkewajiban menyerahkan upeti dan kerja
wajib kepada kerajaan. Nama-nama daerah dan luasnya masing-masing (dalam
cacah) yang tercantum dalam Babad Momana adalah :77
I. Daerah Mataram dan sekitarnya : Mataram (41.345), Pajang (25.380), Sela
(5.00), Nglegok (1.100), Kedu (25.387), Gowong (800), Bagelan (2.700),
Jawikori (675), Roma (1.112), Kartanagara (100), Selamanik (750), Tengahan
(100), Siti Merdangga (4.568), Gunung Kidul (1.448), Gunung Kendeng (808),
Gunung Lawu (158), Sukawati (5.446), Bahwarayang (750), Trapkaras (700)
dan Pacitan (400).
Jumlah tanah di Mataram dan sekitarnya = 114.137 cacah.
Jumlah pajak setahun = 623.426 real batu (Rds).
II. Pesisir Batavia dan sekitarnya : Batavia (9.000), Sukapura (2.000), Karawang
(1.000), Cirebon (9.000), Cianjur (2.000), Dremayu (Indramayu) (3.000),
Sumedang (2.300) dan Sunda (200).
Jumlah tanah di pesisir Batavia = 28.500 cacah.
Jumlah pajak setahun = 679.800 real batu (Rds).
III. Wilayah Semarang dan sekitarnya : Semarang (300), Tegal (5.000), Wiradesa
(2.000), Kaliwungu (2.000), Bentar (600), Lembahrawa (400), Brebes (5.000),
Batang (400), Kendal (2.900), Terbaya (600) dan Gemolak (100).
75
H.J. de Graaf, DeVijf Gezant ..., hlm. 222.
76
H.J. de Graaf, Puncak Kebesaran Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafitipers,
Jakarta, 1986, hlm. 211. Lihat Babad Momana, hlm. 159-162.
77
Babad Momana, koleksi Perpustakaan sanabudaya, Yogyakarta, S3 PBE 100. 173.
Jumlah luas tanah di pesisir sekitar Semarang = 19.300 cacah.
Jumlah pajak setahun = 679.800 real batu (Rds).
IV. Pesisir Wetan (pesisir timur) : Demak (8.000), Japara (5.200), Lasem (2.000),
Pati (1.900), Kudus (2.000), Juwana, Rembang (2.000), Gresik (5.000),
Surabaya (8.900), Bangil (6.000), Pasuruan (6.000), Prabalingga (1.000),
Pokang (2.000), Lumajang (7.000), Puger (2.000), Gembong (1.000),
Blambangan (2.000) dan Banyuwangi (1.500).
Jumlah luas tanah di pesisir wetan = 63.500 cacah.
Jumlah pajak setahun = 126.400 real batu (Rds).
83
H.J. de Graaf, De Expeditie van Anthonio Hurdt Raad van Indie als Admiraal en
Suoerintendent naar Java Sept-Dec. 1678, Martinus Nijhoff, ‘s-Gravenhage, 1971, hlm. 178-179.
84
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Ruler and realm in Early Java, W. Van
Hoeve, 1957, hlm. 153-156.
85
H.J. de Graaf, Runtuhnya Istana Mataram, Grafitipers, 1987, hlm. 106-111.
86
B. Schrieke, loc. cit.
87
J.K.J. de Jonge, Opkomst VII ..., hlm. 163-164.
Ada pula pusat-pusat pemerintahan yang dipindahkan ke tempat lain di
dekatnya, misalnya Prabalingga ke Pajarakan, Bangil ke Penanggungan dan
Blambangan ke Blater (?) karena alasan-alasan keamanan.
Berdasarkan sumber manuskrip yang berasal dari instruksi Sunan
Amangkurat II pada 2 Desember 1677 kepada semua bupati di pelabuhan-
pelabuhan dan wilayah lainnya di pedalaman untuk mengekspor padi kepada
VOC, yang kemudian disalin oleh G.P. Rouffaer di Yogyakarta, dapat diketahui
bahwa wilayah Mataram ketika terjadi Perang Trunajaya (1677-1680) adalah :
I. Nagaragung. Mataram dan Pajang.
II. Pesisir kulon (pesisir barat) : Semarang, Tegal (terbagi menjadi dua daerah),
Wiradesa, Kaliwungu, Lembah Rawa, Brebes (terbagi menjadi dua daearah),
Kendal, Terbaya, Pakalongan, Kaligawe, Pemalang, Losari dan Dremayu
(Indramayu?).
III. Mancanagara kulon (mancanagara barat) : Banyumas, Ayah, Kedu, Bocor,
Salinga, Suran Tinga dan Garuda (Ciamis).
IV. Mancanagara wetan (mancanagara timur) : Panaraga (5.000 cacah),
Caruban (600 cacah), Wirasaba (2.000 cacah), Jagaraga (1.200 cacah),
Madiun (2.000 cacah), Jipan, Japan (2.000 cacah), Pace (1.000 cacah),
Berbek (700 cacah), Nganjuk (450 cacah), Kertasana (3.000 cacah),
Pakuncen (200 cacah), Kediri (-), Balitar (2.000 cacah), Kalangbret (800
cacah), Magetan (600 cacah), Kadawung (2.000 cacah), Rawa (400 cacah),
Grobongan, Sela, Warung (bagian Jipang), Blora (-), Bagelen (-) dan Kalatak
(-).
Wilayah pesisir timur dan Madura tidak muncul dalam daftar karena dikuasai oleh
Trunajaya.
Untuk merebut kembali tahtanya dan menindas perlawanan Trunajaya,
Amangkurat II (waktu itu masih berstatus Pangeran Adipati Anom) meminta
bantuan VOC. Untuk kepentingan itu ia harus menandatangani perjanjian dengan
VOC pada 28 Februari 1677. Isi perjanjian itu menyebutkan perihal pemberian
izin bagi VOC untuk mendirikan tempat tinggal dan pos-pos militer di pesisir dan
di pedalaman. Perjanjian tanggal 19 Oktober 1677, berisi penggadaian seluruh
pelabuhan di pantai utara Jawa dan perluasan wilayah Batavia dari Sungai
Karawang sampai Sungai Pamanukan. 88 Berikutnya diadakan perjanjian pada 15
Januari 1678 yang menyebutkan bahwa Mataram harus menyerahkan Semarang
dan Kaliwage kepada VOC. 89 Pada perang 1677-1680, sebagian besar wilayah
Kerajaan Mataram berada dalam keadaan kacau dan tidak aman. Berbagai daerah
yang mengalami gangguan keamanan itu juga dilaporkan oleh Mataram kepada
VOC. Dalam laporan yang diserahkan oleh Amangkurat II itu dicantumkan pula
jumlah penduduknya, khususnya di wilayah mancanagara timur, seperti tampak
pada daftar. Schrieke menyamakan jumlah penduduk tersebut dengan jumlah
cacah, padahal dalam laporan yang diserahkan oleh Amangkurat II kepada VOC
pada 26 Nopember 1678 dikatakan secara jelas bahwa jumlah penduduk itu
disebut dengan istilah man.90 Di sini, tampaknya mulai terjadi kekacauan terhadap
pemahaman dan pemakaian istilah cacah, sehingga pada 1709 arti cacah telah
berubah dari istilah ukuran tanah menjadi jumlah orang untuk keperluan
pembayaran pajak (unit tax).
Pada 1703 Amangkurat II digantikan oleh putranya, Sunan Mas atau
Amangkurat III. Sementara itu Pangeran Puger (adik Amangkurat II) berhasilkan
meloloskan diri ke Semarang. Di sana, Pangeran Puger dengan dukungan Adipati
Surabaya dan Adipati Madura kemudian dilantik oleh VOC sebagai raja Mataram
dengan gelar Susuhunan Pakubuwana Senapati Ing Alaga Abdur Rahman Sayidin
Panatagama. Dia kemudian terkenal dengan julukan Pakubuwana I. Berkat
bantuan VOC, dia berhasil merebut ibu kota dan keraton Kartasura dari tangan
Amangkurat III pada 10 September 1705 (20 Jumadil‟awal, Jimawal 1629 J). 91
Pada masa pemerintahan Pakubuwana I (1705-1719), wilayah yang
dikuasai VOC berdasarkan perjanjian 1678 terbentang dari Batavia hingga Sungai
Pamanukan di sebelah timur. Kemudian berdasarkan kontrak antara VOC dengan
88
J.E. Heeres, op. cit., hlm. 70-83.
89
F.W. Stapel, Corpus V ..., hlm. 242-251.
90
J.K.J. de Jonge, Opkomst ..., hlm. 249 menyatakan “ ... klagten over ‘t rooven en
plunderen. Een plakaat daartegen door Hurdt gepubliceerd, de plaatsen die zich aan den
Soesoehoenan hebben ge submitteerd zijn ; in het westen Pakoutyn, 200 man sterk, kalambret
200 man sterk, rawa 400 man sterk ..”
91
M.C. Ricklefs, Modern Javanese Tradition, A Study on Oriental on Oriental Kartasura,
Chronicle and Materials¸ SOAS-University of London, London, 1978, hlm. 192.
Pakubuwana I tahun 1705, wilayah kekuasaan Mataram makin berkurang karena
harus diserahkan kepada VOC sebagai kompensasi atas biaya perang yang
dikeluarkan Belanda. Daerah-daerah yang harus diserahkan itu adalah Sumenep
dan Pamekasan di Madura, Semarang dan Kaliwage di Jawa Tengah, dan batas
wilayah VOC diperluas kea rah timur sampai Sungai Cilosari di pantai utara serta
sungai di pantai selatan.92
Gambaran struktur pembagian wilayah Mataram pada masa pemerintahan
Pakubuwana I antara lain terdapat dalam Babad Tanah Djawi. Setelah
penobatannya sebagai susuhunan di Semarang (1705) ia juga mengangkat
Pangeran Cakraningrat (II) sebagai wedana bupati seluruh wilayah pesisir dan
Adipati Jangrana dari Surabaya sebagai pembantu (kliwon).93 Laporan
Commandeur Govert Cnoll pada 25 Juni 1706 menyebutkan kerajaan dan
penduduk yang berada di bawah kekuasaan Pakubuwana I adalah :
I. Wilayah khutagara dan sekitarnya : Kartasura, Mataram dan Kedu berjumlah
6.300 orang, Bagelen (700 orang) dan Banyumas (7.000 orang). Jumlah
semuanya 14.000 orang. Wilayah khutagara dan sekitarnya menyediakan
tenaga manusia dan senjata api, senjata tajam serta tenaga pengangkut barang.
II. Wilayah pesisir barat : Demak (400 orang), Kaliwungu (200 orang), Kendal
(400 orang), Batang (3.066 orang), Pakalongan (4.000 orang), Pemalang
(2.666 orang), Tegal (3.750 orang) dan Brebes (1.066 orang). Jumlah
semuanya seluruhnya yang disiapkan adalah 15.948 orang. Sedangkan jumlah
seluruhnya yang disiapkan adalah 29.548 orang.
Daerah-daerah seperti Kediri, Kadawung, Magetan, Madiun, Caruban,
Kertasana, masih dikuasai oleh Amangkurat III atau Sunan Mas. Daerah-daerah
lainnya seperti Japan, Wirasaba, Surabaya, Tuban, Gresik, Lamongan tidak
disebutkan. Daerah Pasuruan, Malang dan sekitarnya dikuasai oleh Surapati. 94
Sempitnya wilayah kekuasaan Pakubuwana I antara 1705-1709 dikarenakan pada
92
W.L. Olthof, op. cit., hlm. 278.
93
J.K.J. de Jonge, Opkomst VIII ..., hlm. 285-290. Lihat B. Schrieke, loc. cit.
94
A.K.A. Gijsberti Hodenpijl, “De Onderwerping van Pangeran Adipati Anom alias Soenan
Mas aan de hooge regering te Batavia, op. de 6e September 1708”, dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde vol. 78 (1922), hlm. 385-402. Lihat M.C. Ricklefs, Modern ..., op. cit., hlm.
118-119, 193.
saat itu terjadi perebutan mahkota atau Perang Suksesi Jawa I. Perang tersebut
berakhir ketika Amangkurat III menyerah kepada VOC pada 6 September 1708.95
Pada 1709 wilayah Kerajaan Mataram telah kembali kecuali Pasuruan dan
sekitarnya yang masih dikuasai oleh Surapati. Dalam masa yang relatif damai
antara 1709-1719 hingga pecahnya Perang Surabaya dan meninggalnya
Pakubuwana I, Mataram harus memenuhi beberapa komoditi yang diperlukan
oleh VOC. Untuk Pakubuwana I wajib menyerahkan daftar daerah yang harus
melakukan penyerahan wajib (Verplichte leverentien) komoditi yang diperlukan
oleh VOC. Dari daftar itu tergambar daerah-daerah kekuasaan Mataram dengan
struktur susunan wilayahnya sebagai berikut :
I. Wilayah nagaragung : Kartasura dan Mataram.
II. Wilayah pesisir barat : Tegal, Wiradesa, Kaliwung, Lembah Rawa, Batang,
Kendal, Pakalongan, Demak, Pematang dan Brebes.
III. Wilayah pesisir timur : Japara, Kudus, Pati, Juwana, Lasem, Tuban, Sedayu,
Gresik, Lamongan, Surabaya, Cengkalsewu dan Madura.
IV. Mancanagara barat : Banyumas, Kedu-Wates dan Bagelen (?)
V. Mancanagara timur : dibagi menjadi dua wilayah kawedanan bupati atau
provinsi yaitu yang berada di bawah kekuasaan Tumenggung Surawijaya di
Jipang (Jipang, Madiun, Rawa-Kalangbret, Jagaraga, Pacitan-Kadawung,
Japan, Selakaras, dan Warung-Kuwu), dan yang ada di bawah kekuasaan
Adipati Ketawengan (Kediri-Balitar, Srengat, Kertasana, Pace, Japan,
Wirasaba, Panaraga dan Blora).
Dari daftar itu Grobongan dan Magetan tidak tercatat di bawah yurisdiksi
Jipang maupun Kediri. 96 Daftar (lijst) yang terdapat dalam surat-surat dengan
lampirannya antara 29 Januari 1709 hingga 5 Desember 1709 menyebutkan istilah
mancanagara dan secara jelas membedakan wilayah pesisir barat (westerse
stranden) secara pesisir timur (oosterse stranden). Sementara itu daerah
mancanagara yang disebutkan hanyalah wilayah mancanagara timur.97 Hal ini
menunjukkan bahwa pada awal ke-18 wilayah Kerajaan Mataram mulai memiliki
95
J.K.J. de Jonge, Opkomst VIII ..., hlm. 362-363.
96
Ibid.
97
G.P. Rouffaer, op. cit., hlm. 283.
struktur pembagian wilayah yang teratur. Rouffaer memperkirakan bahwa pada
saat itu juga terjadi pembentukan empat wilayah kawedanan Dawi dan empat
provinsi pesisir seperti Pati, Demak, Japara dan Semarang. 98 Kemudian pada akhir
kekuasaan Amangkurat pemerintahan di daerah pesisir itu disederhanakan
menjadi pesisir barat dengan adipati Tegal yaitu Martalaya sebagai gubernur, dan
pesisir timur yang berada di bawah yurisdiksi Adipati Martapura dari Japara
sebagai gubernur.99 Fakta-fakta itu diperkuat oleh pemberitaan Babad Tanah
Djawi tentang pengangkatan Tumenggung Surawijaya (Adipati Jipang), pada
1705 sebagai gubernur (wedana) yang menguasai seluruh wilayah mancanagara.
Karena tengah berada dalam situasi perang melawan Surapati maka Mataram
memecah lagi wilayah mancanagara timur menjadi wilayah yang dipimpin oleh
dua orang yaitu Adipati Jipang dan Adipati Kediri. 100 Sebagai pemimpin seluruh
wilayah pesisir itu Mataram mengangkat Panembahan Cakraningrat II dari
Madura sebagai wedana (gubernur) dan Adipati Jangrana dari Surabaya sebagai
kliwon (pembantu).
Pada masa akhir pemerintahan Pakubuwana I muncul berbagai gejolak.
Misalnya perlawanan Adipati Jayapuspita dari Surabaya yang dilakukan sebagai
usaha membalas dendam atas kematian Jangrana yang dibunuh di Kartasura.
Pembunuhan itu sendiri terjadi karena kehendak VOC yang sebelumnya telah
menuduh Jangrana bersekutu dengan kekuatan Surapati di Pasuruan. 101 Pertikaian
lainnya muncul karena dipicu oleh tindakan Pangeran Dipanagara, salah seorang
putra Pakubuwana I dari selir, yang bergabung dengan para penentang dari
Surabaya. 102 Setelah Pakubuwana I meninggal pada 22 Februari 1719, tahta
kerajaan jatuh kepada R.M. Suryaputra yang kemudian terkenal dengan julukan
Prabu Amangkurat Jawa atau Amangkurat IV. Di bawah pemerintahan
Amangkurat IV wilayah kekuasaan Mataram makin berkeping-keping karena para
98
J.K.J. de Jonge, Opkomst VI ..., hlm. 40-46. Lihat G.P. Rouffaer, ibid.
99
J.K.J. de Jonge, opkomst, VIII ..., hlm. 274-322.
100
M.C. Ricklefs, War, Culture, and Economy Java 1677-1726, Allen & Unwin, Sydney,
1993, hlm. 354-355. Lihat J.K.J. de Jonge, Opkomst VIII ..., 354-355.
101
M.C. Ricklefs, War ..., hlm. 354. J.K.J. de Jonge, Opkomst IX ..., hlm. 20, 46. Lihat juga
J.J. Ras, op. cit., hlm. 627-628.
102
J.K.J. de Jonge, Opkomst ..., hlm. 20.
pangeran saudara raja dari permaisuri (Panembahan Purbaya, Pangeran Balitar,
Pangeran Dipasanta dan paman raja yaitu Pangeran Aria Mataram) melakukan
pemberontakan. Perang ini berlangsung dari 17,18 Oktober 1718 sampai 24 Juni
1723 dan lazim disebut sebagai Perang Suksesi Jawa II.103 Sementara
ketidakstabilan Mataram pada dasawarsa kedua abad ke-18 muncul karena Perang
Suksesi Jawa II dan Perlawanan Pangeran Dipanagara, Adipati Jayapuspita dari
Surabaya serta putra-putra Surapati di Pasuruan.104
Pelbagai perlawanan itu ternyata terpusat di wilayah Jawa Timur atau
mancanagara wetan karena wilayah ini memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan wilayah mancanagara kulon. Misalnya karena wilayahnya lebih
luas, secara ekonomis lebih kaya, jauh dari pusat kekuasaan, berada di dekat
lungguh-nya masing-masing (Pangeran Aria Balitar di Blitar dan Panembahan
Purbaya di Lumajang) dan kondisi lahan yang relatif lebih landai hingga
memudahkan untuk bergerak.
Pemberontakkan itu hanya dapat dipadamkan berkat bantuan VOC,
sehingga kekuasaan serta keamanan di wilayah Mataram pun berhasil ditegakkan
kembali. Namun Mataram menjadi semakin bergantung pada Belanda. Mataram
juga makin dililit utang hingga sulit bagi kerajaan itu untuk melunasinya. 105
Tahun-tahun terakhir pemerintahan Amangkurat IV (1723-1726) merupakan masa
damai106 yang berlangsung setidaknya hingga paruh pertama masa pemerintahan
Pakubuwana II (1726-1749) yang menjadi penggantinya.
Pada 1733 Mataram memecah empat wilayah kawedanan nagaragung. Siti
Bumi dipecah menjadi bumi (daerah Kedu bagian barat Kali Praga), Siti Ageng
(bumi gede) dipecah menjadi Siti Ageng ingkang kiwa (daerah sebelah barat jalan
Kartasura-Demak) dan Siti Ageng
103
M.C. Ricklefs, War ..., op. cit., hlm. 203-221.
104
Serat Pustaka Raja Puwara, hlm, 22-23.
105
J.K.J. de Jonge, De Opkomst IX ..., hlm. 20
ingkang tengen (daerah Pajang), Penumping dipecah menjadi Penumping (daerah
Sukawati) dan Panekar, Siti sewu dipecah menjadi bumi sewu (daerah Kebumen
dan sekitarnya) serta daerah Numbak Anyar (Bagelan). Wilayah nagaragung
sebelah selatan disebut Gading Mataram. 107 Serat Pustaka Raja Puwara yang
diperkirakan ditulis tahun 1733-an, telah memberikan gambaran struktur
pembagian wilayah Mataram yang relatif lengkap. Selain struktur pembagian
wilayah, disebutkan juga nama kepala daerah, luas, jumlah pajak (paos) dan jenis-
jenis upeti yang harus diserahkan setiap tahun kepada kerajaan. Jika nama-nama
daerah Kerajaan Mataram yang tercantum dalam Serat Pustaka Raja Puwara
dibandingkan dengan keterangan sumber VOC tahun 1733, 1737 dan 1744, maka
nama-nama itu sebagaian besar ternyata sama. Perbedaan antara kedua sumber
tersebut terdapat dalam jumlah dan nama wilayah :
1. Dalam Serat Pustaka Raja Puwara, daerah mancanagara kulon terbagi
menjadi Kaliber, Siti Rangkah, Worah-Warih, Terpana, Karimandi, Bobotsari,
Lebaksiyu dan Bentar. Di mancanagara wetan terdapat nama-nama Barebeg
dan Pace (dekat Nganjuk). Dalam laporan VOC tahun 1733 dan 1737 wilayah
mancanagara kulon terdiri dari Banyumas, Pamerden dan Dayaluhur. Pada
laporan VOC tahun 1744 nama-nama daerah yang berada di wilayah
mancanagara kulon itu tidak ada. Nama-nama Pace dan Barebeg juga tidak
muncul dalam laporan VOC tahun 1733, 1737 dan 1744. Nama-nama daerah di
wilayah mancanagara kulon yang tercantum secara rinci itu memperkuat
dugaan bahwa Serat Pustaka Raja Puwara itu ditulis pada akhir 1740-an.
Pakubuwana II kemudian mengintensifkan pengembangan wilayah di
mancanagara kulon untuk mengganti daerah-daerah Mataram yang telah
diserahkan kepada VOC pada 1975.
2. Pada Serat Pustaka Raja Puwara nama Tengger tidak ada, dan muncul nama
Srengat untuk menyebut Balitar. Dalam laporan VOC tahun 1733, 1737 dan
1744 di wilayah mancanagara wetan terdapat nama Tengger (1737, 1744),
Balitar (1737, 1744 digabung dengan Srengat).
107
Serat Pustaka Raja Puwara ..., op. cit., hlm. 22-23.
3. Pada Serat Pustaka Raja Puwara nama-nama daerah disertai juga pejabat, luas
dan jumlah pajak yang dibayarnya. Dalam laporan VOC nama daerah diikuti
nama-nama pejabatnya, tanpa jumlah luas dan pajaknya.
Berdasarkan data yang digunakan tampaknya waktu penyusutan Serat
Pustaka Raja Puwara berkisar antara 1722 hingga 1740-an. Rouffaer
mengemukakan rentang waktu terakhir penyusunan serat tersebut hingga 1744.108
Nama-nama daerah atau wilayah dengan luasnya yang disebutkan oleh
Serat Pustaka Raja Puwara adalah :
a. Kuthagara atau nagara merupakan wilayah tempat kedudukan keraton sebagai
kediaman Raja sang pemilik kerajaan sebagai inti kerajaan.
b. Nagaragung terdiri atas kawedanan Bumi (8.000), Bumija (8.000), Siti ageng
kiwa (8.000), Siti ageng tengen (8.000), Penumping (8.000), Panekar (8.000),
Numbak anyar (8.000) dan Sewu (8.000).
c. Pesisir barat terdiri dari : Brebes (3.050), Tegal (5.200), Pekalongan (8.000),
Batang (2.000), Kendal (2.000), Kaliwungu (2.000), Wiradesa dan Demak
(6.000).
d. Pesisir timur terdiri dari : Japara (4.000), Kudus (1.000), Pati (4.000),
Cengkalsewu (700), Juwana (1.000), Rembang (500), Lasem (2.900), Tuban
(3.000), Sidayu (3.000), Lamongan (1.000), Gresik (2.800), Surabaya (6.000),
Pasuruan (3.000), Bangil, Dringu, Besuki, Blambangan, Banyuwangi (10.080)
dan Madura (18.000).
e. Mancanagara timur terdiri dari : Blitar/Srengat (1.000), Rawa (800),
Kalangbret (600), Jipang (8.000), Wirasa (1.000), Kediri (4.000), Panaraga
(16.000), Caruban (500), Kertasana (600), Blora (3.000), Sesela, Warung
(3.000), Grobongan (5.000), Madiun (16.000), Jagaraga (15.000) dan Pacitan
(1.000).
f. Mancanagara barat terdiri dari : Kedu, Banyumas, Pamerden, Dayaluhur
(800), Kalibeber (450), Siti Rangkah (100), Worah-Warih (100), Terpana
108
G.P. Rouffaer, op. cit., hlm. 285. Lihat J.K.J. de Jonge, De Opkomst X ..., hlm. 282-287.
Dalam hal ini nama-nama daerah dan penguasanya bersumber pada ARNAS RI, Mataram, No. 303
(1733).
(100), Karimandi (100), Bobotsari (100), Lebaksiyu (102), Balapulang dan
Karangbolong (400). [Lihat Gambar 2].
Di Mataram terdapat pejabat-pejabat yang bertugas memimpin daerah
tertentu sebagai penguasa daerah dengan luas (apanage) masing-masing. Juga ada
sejumlah pejabat keraton dengan tugas-tugas tertentu yang mendapatkan lungguh
yang terletak di wilayah nagaragung dan mancanagara serta pesisir. Misalnya
patih, lungguh-nya ialah daerah Lasem, Rembang dan Pajangkungan. Luas
lungguh masing-masing pejabat adalah : Patih (5.000), Wedana sentana tengen
dan Kebayan (16.000), Wedana sentana kiwa dan kliwon, Kebayan (16.000),
Sarageni kanan-kiri (3.000), Kapilih kiri-kanan (3.000), Ketanggung (1.000),
Priyantaka (1.000), Pujangga-Wedana-Kliwon-Carik (2.000), Pandhe (1.000),
Kemasan (1.000), Niyaga (1.000), Gending (1.000), Sungging (500), Pangukir
jaraga (500), Jayagarwa-Selakarti (500), Jagal (500), Undhagi (500), Sayang
(500), Senepi (1.000), Pengulu, Ketib, Modin, Suragama (1.000), Tiyang pinggir
dan emban-nya (3.000), Demang lembah rawa (800), Abdi dalem tuwa buru
(3.000), Abdi dalem pecarat (1.000), Tresana/Gempuran (200), Ardi kidul (200),
Wedana miji dua orang (8.000), Gadhing Mataram (2.800) dan Wedana merdika
(1.000).
Jumlah lungguh para pejabat khusus = 49.800 karya.
Jumlah seluruh wilayah Mataram = 268.502 karya. 109
109
Serat Pustaka Raja Puwara, loc. cit.
Sultan Agung dengan cepat dapat dipadamkan.110 Akan tetapi ketika perpecahan
melanda di pusat dan di luar daerah inti kerajaan maka mekanisme pertahanan
ternyata tidak dapat diterapkan.
Apalagi bila dalam waktu bersamaan kekuatan lawan yang dibantu para
pendukungnya (terutama para bupati) secara serentak melancarkan serangan ke
ibu kota seperti yang terjadi pada perlawanan Trunajaya (1677), maka serangan
terhadap wilayah jantung kekuasaan itu menyebabkan hancurnya kekuasaan
Amangkurat I.111 Demikian pula kondisi Kartasura pada kurun waktu 1740-an.
Huru-hara Cina yang terjadi pada akhir 1740 di Batavia, dengan cepat melanda
sepanjang wilayah pesisir utara Jawa. Konflik-konflik bersenjata terjadi di
Cirebon, Semarang, Jepara, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya dan Pasuruan. 112
Sementara itu muncul pula persekutuan antara kekuatan Cina dan tentara Jawa di
Semarang.113 Kondisi kekuasaan Pakubuwana II yang kritis ini kemudian
dimanfaatkan oleh unsur-unsur anti VOC di Kartasura pada 20 Juli 1741.114
Gejolak anti-VOC mencapai puncaknya tatkala kaum pemberontak
mengumumkan Mas Garendi sebagai Sunan di Mataram. Kekuatan di Kartasura
terpecah, sebagian pangeran dan pejabat memihak Mas Garendi dan sebagaian
lainnya tetap setia kepada Sunan. Dalam serangan pada 30 Juli 1742 kaum
pemberontak berhasil menduduki dan merebut keraton di Kartasura sehingga
Pakubuwana II terpaksa mengungsi ke Panaraga. 115
110
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 327-328.
111
H.J. de Graaf, De Expeditie ...,op. cit., hlm. 76-277.
112
J.Th. Vermeulen, De Chinese te Batavia en de Troubelen van 1740, E. Ijdo, Leiden, 1938,
hlm. 89.
113
Ibid.
114
J.J. Meinsma, “Het Ford te Kartasoera in 1741”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Vokenkunde van Nederlandsch Indie, Deel VI, Frederik Muller, Amsterdam, 1863, hlm. 367-379.
115
Bale Poestaka, Babad Tanah Djawi XVIII ..., op. cit., hlm. 5-55.
rule atau aturan116.Dalam hal ini yang dimaksud birokrassi adaalah sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh pegawai yang berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Dalam
bahasa Jerman birokrasi berarti wewenang atau kekuasaan berbagaai departemen dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai pegawai pemerintah. Para pemegang wewenaang
atau kekuasaan itu adalaah para pegawai yang digaji dan pengangkatannya juga dipilih
oleh rakyat117.
Dalam lingkungan budaya yang menganggap raja sebagai pemilik segala urusan
negara dan pemerintahan, priyayi atau birokrat hanyalah perpanjangan tangan yang
melaksanakan kemauan raja. Tugas pokoknya menjalankan roda pemerintahan agara
123
K.N. Chouduri, “ East Indian Company’s Shipping (c. 1660-1760), dalam Ships, Sailors,
and Spices : East India Companies and their Shipping in the 16th. and 18 th. Centuries, NEHA,
Amsterdam, 1993, hlm, 49-80. Lihat ; John Nieuhof, Voyages & Travels n the East Indies 1653-
1670, Oxford University Press, Singapore, 1988, hlm. 278-280.
124
Max Weber, Economy and Society, An Outline of Interpretive Sociology, Edited by
Guenther Roth and Claus Wittich, The Regent of the University of California, Berkeley-Los
Angeles, 1978, hlm. 216-246.
125
Soemarsaid Moertono, State and Statecraft in Old Jaava ; A Study of the Later Mataram
Period 16th. to 19th, Souteast Asia Program Department of Asian Studies Cornell University,
Ithaca, 1974, hlm. 101-110.
keamanan dan kesejahteraan raja dan kerajaannya terjada serta terpelihara. Dalam
prakteknya tugas ini adalah menjaga Raja-raja Mataram dari gangguan musuh, baik dari
luar maupun musuh dari dalam. Untuk kepentingan itu di wilayah kerajaan disusunlah
hirarki jabatan yang banyak macam dan tingkatannya. Susunan jabatan birokrasi itu pada
abad XVII-XVIII yaitu pada zaman Mataram (Islam) tidak kurang dari 60 jenjang, mulai
dari yang tertinggi (patih) hingga terendah yaitu suratani (prajurit petani). Jabatan
tertinggi berada di pusat kerajaan atau istana, dan maaik jauh ke pelosok makin rendah. 126
126
Serat Pranatan, op. cit, hlm. 12-19.
127
J.L. Brandes, “Serat Pustaka Raja Puwara” dalam Register op de Proza Omzetting van
de Babad Tanah Djawa, Uitgave van Batavia 1874, Albrecht & Co., Batavia, 1900, 140-201.
128
Max Weber, op. cit.
129
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 324-328.
Kepala rumah tangga istana, (2) Kepala pelayan, (3) Pelayan dalam, (4) Polisi, (5)
Penguasa vasal atau keluarganya yang diwajibkan tinggal (disandera) di istana, petugas
khusus seperti ahli-ahli seni ukir, kecantikan, pakaian, tabib atau dokter. Di istana Raja-
raja Asia selain pejabat-pejabat itu, juga terdapat eunuch (petugas harem), executor
(pelaksana hukuman mati), di Mataram disebut sebagai martalulut singanagara, peramal
atau juru nujum130.
1. Dewan Mahkota
Dewan ini telah ada sejak zaman Majapahit (1293-1527) disebut Pahom
Nahendra. Saat itu Pahom Nahendra berdasarkan pemberitaan pupuh (syair, canto) 71,
syair 1-2 Nagarakrtagama terdiri dari Raja, ayah dan ibu suri, paman, bibi, dan saudara-
saudara kandung raja, dan ipar raja131. Tidak ada informasi tentang Dewan Mahkota pada
masa-masa Kerjaan Demak (1478-1549) dan Pajang (1549-1586). Pada masa
Pakubuwana II berdasarkan pemberitaan Babad Tanah Djawi, Dewan Mahkota Kerjaan
Mataram periode Kartasura (1680-1745) terdiri dari Raja, Ratu Eyang (nenek Raja), Ratu
Ibu atau Ratu Ageng (Ibu Raja), Ratu Kencana (permaisuri raja), Adipati Anom (Putera
Mahkota), dan Wedana Miji (Wedana Ibukota)132. Tugas Dewan Mahkota adalah
memberikan nasehat kepada raja dalam hal-hal khusus atau pada saat genting. Menurut
berbagai sumber babad, pengaruh Ratu Ibu atau Ratu Ageng (Ratu Amangkurat IV)
130
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 17.
131
Th. G. Th. Pigeaud, Java in The 14Th. Century, A Study in Cultural History IV, Martinus
Nijhoff, The Hague, 1962, hlm.
132
J.J. Brandes, op. cit., hlm. 181-182.
sangat dominan. Misalnya Pakubuwana II terpaksa tunduk kepada Ratu Ageng, untuk
membatalkan dukungan kepada gerakan Cina, yang diprakarsai oleh Patih Natakusuma,
padahal sebelumnya Pakubuwana II telah merestuinya 133. Sebenarnya ambisi Ratu Ageng
untuk mendominasi puteranya telah tampak tatkala Kartasura menghadapi krisis dari
Amangkurat IV kepada Pakubuwana II. Konflik ini berkaitan dengan adanya konflik
antara Pangeran Mangkunagara dan Pakubuwana II. Terdapat petunjuk bahwa
Amangkurat IV dan sejumlah pembesar menginginkan Mangkunagara sebagai
penggantinya134. Dalam kasus lainnya, yaitu jatuhnya Patih Danureja pada tahun 1733
tidak diragukan lagi keterlibatan Ratu Ageng dan pejabat-pejabat lain, seperti
Tirtawiguna135.
Pada awal Kerajaan Mataram mestinya Dewan mahkota memiliki peran yang
lebih berarti dan lebihluas. Babad Tanah Djawi memberitakan, tatkala Panembahan Seda
Krapyak (memerintah 1601-1613) akan mengangkat kakaknya Pangeran Puger sebagai
Bupati demak, ia lebih dahulu meminta persetujuan Dewan Penasehat136. Hal itu
dikarenakan keharusan memusyawarahkan sesuatu yang dianggap penting dengan para
senior dalam masyarakat Jawa merupakan aspek yang tidak dapat ditinggalkan.
Pada awal periode Kerajaan Mataram dalam proses pergantian tahta, sebelum
bangsawan yang paling senior dan berwibawa mengumumkan dalam sidang terbuka,
pastilah masalah itu telah dibahas lebih dahulu oleh Dewan Mahkota. Akan tetapi setelah
Kerajaan Mataram menjadi lemah dan menjadi tergantung kepada kekuatan VOC sebagai
pihak ketiga, maka pemberi legitimasi tahta Mataram, bukan laginDewan Mahkota,
melainkan Belanda. Nasib yang menimpa Amangkurat III, serta proses naik tahtanya
Pakubuwana I membuktikan hal itu 137.
133
Babad Itih, koleksi Rekspustaka, Mangkunegaran, Surakarta, No. B 20D, 20 E, 20F, 20 G,
dan 20 F.
134
Babad Pacina, koleksi Reksapustaka-Mangkunegaran, Surakarta No. MS M 20 d.
135
W.G.J. Remmelink, Babak Pertama Pemerintahan Pakubuwana II, 1726-1733, Menurut
sumber Babad dan Sumber VOC, Proyek Javanologi, Yogyakarta, 1993, hlm. 9-10.
136
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 114-115.
137
M.C. Ricklef, War,Culture and Economy in Java 1677-1726, Asian and Eropean
Imperialism in the Eaarly Kartasura Period, Allen & Unwin, Sydney, 1993, hlm. 274-280.
dibandingkan dengan keterangan Nagarakrtagama yang menyatakan bahwa setelah
Gajah Mada meninggal Pahom Nahendra segera bersidang untuk memilih pengganti
patih itu138, maka pemecatan Patih Danureja (1733) dan pemecatan Patih Natakusuma
(1742), diduga bukanlah kehendak Pakubuwana II melainkan tidak mustaahil bahwa
tindakan itu karena tekanan anggota Dewan Mahkota yang paling berpengaruh dan
terlibat konflik dengan kedua patih itu, yaitu Ratu Ageng139.
2. Patih
Patih adalah jabatan tertinggi dalam struktur birokrasi Mataram. Sebenarnya
jabatan patih telah ada sejak zaman sebelum Islam. Sumber-sumber prasasti dari abad IX
menyebutkan bahwa patih adalah jabatan yang berhubungan dengan masalah pedesaan
atau wanua berhubungan dengan pekerjaan pekerjaan. Misalnya dalam prasasti
Karangbogem, Gresik (1387) yaitu patih tambak, seorang patih yang khusus berkaitan
dengan pemeliharaan tambak atau empang. Patih sebagai pejabat tertinggi pada zaman
kuna, posisinya berada di setelah Raja, Rakryan Mahamantri I Hino, Rakryan
Mahamantri I Sirikan, dan Rakryan Mahamantri I Sirikan. Gelar lengkapnya adalah
Rakryan Mapatih 140.
141
Pada zaman Mataram (abaad XVII) pejabat paatih kerajaan bergelar Adipati .
Misalnya Ki Setrajaya (Patih Pangeran Puger), setelah diangkat sebagai patih Mataram
oleh Pakubuwana I namanya menjadi Adipati Cakrajaya. Pada masa Amangkurat IV
nama Cakrajaya diganti dengan Adipati Danureja. Apabila patih itu berasal dari kalangan
bangsawan, gelarnya Raden Adipati. Raden Tumenggung Natawijaya adalaah Wedana
Gedong Tengen yang pada tahun 1727 mendapat promosi sebagai wakil patih.
Selanjutnya pada tahun 1733 Natawijaya diangkat sebagai patih Mataram dengan nama
Raden Adipati Natakusuma 142.
138
Th. G. Th. Pigeaud¸ Java I..., hlm. 57.
139
Babad Kartasura, koleksi Reksapustaka-Mangkunegaran, Surakarta, No. MB 21 B.
140
M. Yamin¸ Tatanegara Majapaahit : Parwa II, Prpantja, Djakarta, 1962, hlm. 167-174.
Lihat J.L.A. Brandes, Oud-Javaansche Oorkonden Nagelaten Transcripties, VBG LX, Albrecht,
Batavia/ Martinus Nijhoff,’s-Gravenhage, 1913, hlm. 117-118. Dalam prasasti Pelem (971 M.)
disebutkan :...irikadiwacanajna paduka cri maharaja rake hino cri icanawikrama dyah
uttunggadewa tinadah de rakryan mapatih i halu, umingsor ...”
141
“Serat Waduaji” dalam Serat Pranatan Jaman Kartasura 1655 J (1730 M), koleksai
Rakspustaka-Mangkunegaran, Surakarta, No. MS B 113.
142
ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1737).
Dalam Serat Waduaji tugas patih dsiebutkan sebagai pejabat yang berwenang
dalam hal (1) memerintah semua pejabat, (2) menyempurnakan tugas-tugas
pemerintahan, (3) menerima perintah laangsung dari raja untuk melaksanakan tugas
umum dan tugas khusus, mislanya : pengangkatan seorang penguasa atau pejabat 143.
Selain itu di Kartasura Patih Dalem (Patih Kerajaan) bertugas memimpin para punggawa
dan nayaka (pejabat pemerintahan) di seluruh kerajaan, sedangkan Panegran Adipati
Anom (Putera Mahkota) membawahi para santana (bangsawan) di lingkungan istana.
Oleh Pakubuwana II kedudukan patih kerajaan (Patih Dalem) dpersamakan
kedudukannya dengan putera mahkota. Para bangsawan di wajibkan menyebut lurah,
baik kepada Patih danureja maupun kepada putera mahkota144.
Patih dan putera maahkota sebagai pejabat tinggi kerajaan selain mendapatkan
kediaman masing-masing yang disebut dengan kepatihan dan kadipaten, juga memiliki
simbol atau lambang kebesaran berupa payung (songsong). Payung patih berwarna hijau
dengan stri (Jawa : cleret, seret), sedang pada bagian salamnya berwarna putih dengan
bawat. Payung putera mahkota bagian luarnya berprada dan bagaiaan dalamanya
berwarna kuning, serta berbawat145.
Di Mataram terdapat dua patih, yaitu Patih Lebet (Patih Dalam) dan Patih Jawi
(Patih Luar). Apabila Patih Lebet membawahi empat wedana
143
Serat Pranatan, loc. cit.
144
Ibd.
145
Ibid.
146
Ibid.
kesalahan, dipecat dan diselong (di Ceylonkan) diganti oleh Natakusuma menjabat
sebagai patih jawi hingga 1742 lalu dipecat dan dibuang ke Ceilon karena dianggap
terlibat dalam huru-hara Cina. Penggantinya adalah Raden Adipati Pringgalaya
(sebelumnya dia adalah wakil patih). Karena kerajaan sedang berada dalam situasi perang
maka Pringgalaya baru dilantik pada November 1743. Untuk mendampingi Pringgalaya
yang bertugas di sisi kiri (kiwa), Pakubuwana juga mengangkat Tumenggung Tirtawiguna
dengan nama Raden Adipati Sindureja sebagai patih yang bertugas di sisi kanan
(tengen),sedang Pringgalaya bertugas di sisi kiri atau patih kiwa.147
147
ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1744).
148
Ibid.
149
Stamboom en Geslecht Register van de Regenten van Sidajoe van Maduresche
Afkomst,by J.A.B. Wisselius, 1872, hlm. 5-8.
150
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 114-115.
151
W.G.J. Remmelink, Emperor ..., hlm. 120. Jabatan patih untuk jenis pekerjaan
tertentu juga telah ada pada zaman Majapahit (abad XIV) misalnya patih tambak seperti
diinformasikan oleh prasasti Karang Bogem (1387). Lihat M.Yamin, op. cit., hlm. 143
(1719) dan perlawanan Mas Brahim, keturunan Surapati di pedalaman Jawa Timur.
Danureja dapat mengatasi semua tantangan dan rongrongan terhadap tahta Pakubuwana I
dan Amangkurat IV itu. Dia juga dapat menyelesaikan kemelut antara Mangkunagara dan
Pakubuwana II yang terjadi setelah Amangkurat IV meninggal hingga akhirnya
Mangkunagara dibuang ke Ceilon. 152
152
Babad Pacina, koleksi Reksapustaka-Mangkunegaran, Surakarta, No. B 22, hlm. 317.
153
Luc. Nagtegaal, Riding The Dutch Tiger : The Dutch East Indies Compaany and the North
Coast of Java 1680-1743, Leiden, KITLV, 1996, hlm. 80.
154
J. Brandes, Register ..., ihlm. 125-190. Menurut Brandes pada periode Kartasura ini
telah terjadi peperangan : Amangkurat II (12 kali), Pakubuwana I (43 kali), Amangkurat IV (21 kali)
dan Pakubuwana II (48 kali)
155
ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1737) ; W.G.J. Remmelink, Emperor ..., hlm. 120.
156
Rushton Coulborn, Feudalism in History, Princeton University Press, New Yersey, 1956,
hlm. 188-214. Zaman shogunat di Jepang meliputi periode-periode ; Kamakura (1192-1330),
Ashikaga (1336-1390), Muromaci (1392-1573), dan Tokugawa (1603-1857).
basa-basi dan intrik. Pada abad XVIII istana merupakan pusat berbagai kepentingan,
perilaku basa-basi dan penuh intrik. Mereka mereka yang berkumpul di sekeliling raja
atau istana senantiasa mengejar atau pemburu keuntungan untuk mereka sendiri. 157
Adalah wajar, bila perbuatan memperkuat posisi diri itu secara diam-diam senantiasa
diawasi oleh kelompok aristokrat lainnya, yang kemudian juga menyusun jaringan dan
kekuatan seperti yang dilakukan oleh Danureja. 158 Dengan demikian kondisi sosial di
sekeliling raja merupakan jaringan antar-klik dengan kepentingannya masing-masing.
Karena itu sedemikian ada peluang mereka segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
memenuhi ambisi masing-masing.
Pada 2 Agustus 1733, posisi Danureja sebagai patih diganti oleh Natakusuma. 159
Tokoh ini sebelumnya menjabat sebagai wedana gedong tengen. Pada 1727, ia
mendapatkan promosi sebagai wakil putih, kemudian sebagai patih (penuh) pada 1733.
Dari urutan promosi yang dialaminya, tampaknya Patih Danureja dan Patih Natakusuma
merupakan pejabat karir atau orang yang terus mengalami perkembangan dalam
jabatannya. Akan tetapi nepotisme yang telah dilakukan oleh Danureja ternyata diikuti
pula oleh Natakusuma. Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka dapat
menduduki posisi tertentu dalam birokrasi karena faktor karier atau faktor kesetiaan.
Akan tetapi dalam kondisi sosial budaya abad ke-18, peta jabatan itu juga memberikan
gambaran jaringan kekerabatan yang tersusun sekaligus juga mencerminkan besarnya
peran dan pengaruh pejabat tinggi yang bersangkutan. Para penguasa daerah yang
memiliki hubungan kekeluargaan atau patronase dengan Natakusuma, baik dengan
wedana maupun bupati, antara lain : Lembahrawa (anak, Anggadiwirya), Japara
(menantu, Citrasoma II), Pakalongan (anak, Sumadiwirya), Rembang (bekel, Hudarsana),
Juwana (menantu, Jayakrama), Surabaya (sepupu, Surengrana), Kediri (anak,
Natawijaya), Mangetan (sepupu, Sumaningrat), Rawa (sepupu, Subagiya), Batang
(pengikut, Puspanagara), Grobongan (pengikut, Mangunoneng). Juga pendukung
Natakusuma di lingkungan wedana nagaragung seperti Natayuda (wedana keparak
157
Reinhard Bendix, King or People : Power and the Mandate to Rule, University of
California Press, Berkeley, 1979, hlm. 232-235.
158
Babad Pacina ..., hlm. 79-82.
159
C.O. Blagden, Catalogue of Manuscripts in European Languages belonging to the
Library of the India Office, Volume I,Oxford University Press, London, 1916, hlm. 81. Tanggal 2
Agustus 1733 bertepatan dengan 21 Sapar 1658 J.
tengen, anak bupati Kediri sebelumnya), Wirajaya (wedana keparak kiwa), Mlayakusuma
(wedana siti ageng ingkang kiwa) dan Singaranu (wedana numbak).160
Pejabat lapis kedua setelah patih ialah empat wedana jero (lebet) yaitu wedana
gedong kiwa, wedana gedong tengen, wedana keparak kiwa, dan wedana keparak tengen.
Tugas wedana gedong adalah mengurusi masalah keuangan dan perbendaharaan istana,
sedangkan wedana keparak bertugas dalam bidang kemiliteran dan pengadilan.
Tampaknya pembagian tugas ini tidak selalu dilaksanakan secara ketat, misalnya dalam
160
ARNAS RI, Mataram No. 303 (1733). Lihat ARNAS RI No. 87 (1737), 1744. Lihat juga B.
Schrieke, Indonesische Sosioligical Studies Part One, W. Van Hoeve Ltd., The Hague/Bandung,
hlm. 153-217 ; Luc. Nagtegaal, op. cit., hlm. 55-58 ; W.G.J. Remmelink, Emperor ..., hlm. 245-260.
161
Babad Kartasura, loc. cit. ; Lihat ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1744). Lihat juga J.K.J. de
Jonge, Opkomst IX ..., hlm. 417, 432.
162
Babad Itih, loc. cit., ; Lihat ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1744).
situasi khusus yang membahayakan negara. Dalam kondisi darurat semacam itu usaha
untuk mengerahkan tenaga prajurit tidak hanya dilakukan oleh para wedana keparak
melainkan juga oleh para bupati, khususnya bupati di wilayah mancanagara. Bahkan
tugas memimpin ekspedisi yang seharusnya dilakukan oleh patih lebet justru dipegang
oleh patih jawi. Misalnya Danureja (patih jawi) selama bertahun-tahun memimpin tentara
Kartasura dalam perang Surabaya (1718-1722). Setelah itu barulah kemudian disusul oleh
Kartanagara (patih lebet) yang tewas dalam pertempuran di Malang pada 1721.164
Berdasarkan pemberitaan Serat Pustaka Raja Puwara (1733), dari laporan VOC
tahun 1737 dan 1744 dapat diketahui nama-nama para wedana lebet di Kartasura (1726-
1745) sebagai berikut.
1. Wedana gedong kiwa yang terdiri dari Tumenggung Mangunagara (1733), 165
Tumenggung Mangunagara (1737)166 dan Tumenggung Tirtawiguna (1744).167
2. Wedana gedong tengen yang terdiri dari Tumenggung Tirtawiguna (1733), 168
Tumenggung Tirtawiguna (1737) dan Tumenggung Wirareja (1744).169
3. Wedana keparak kiwa yang terdiri dari Tumenggung Wirajaya (1733),170 Tumenggung
Wirajaya (1737) dan Tumenggung Nitinagara (1744).171
4. Wedana keparak tengen yang terdiri dari Tumenggung Natayuda (1733), 172 Pangeran
Arya Purbaya atau Tumenggung Natayuda (1737) dan Tumenggung Kartanagara
(1744).173
164
M.C. Ricklefs, War ..., hlm. 198. Lihat : J.K.J. de Jonge, Opkomst VI ..., hlm. 46.
165
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 23. Dalam ARNAS RI, Matarm, No. 303 (1733) bernama
Aria Tuban
166
Dalam ARNAS RI, No. 87 (1737) bernama Tumenggung Natayuda menjabat Kepala Jaksa
pada tahun 1741, Mangunagara sebagai Wedana Sewu.
167
Dalam ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1733) tercatat sebagai Bendahara Sunan.
168
Ibid., pada tahun 1737 Tirtawiguna masih menjabat Wedana Gedong Tengen.,
kemudian pada tahun 1744 mutasi sebagai Wedana Gedong Kiwa, Lihat catatan 191.
169
Dalam ARNAS RI No. 87 (1744) diberitakan saat Sunan mengungsi ke Panaraga, diberi
gelar adipati, tetapi non job.
170
Dalam ARNAS RI, No. 87 (1744), sebagai Kepala Gladak (Keparak). Tatkala Pakubuwana
II mengungsi ke Panaraga (1742) Wirajaya semula mengikuti Sunan, kemudian kembali ke
Kartasura. Selanjutnya Wirajaya bergabung dengan Sunan Kuning.
171
Dalam ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1744) tercatat sebagai penasehat Sunan Bidang
pengadilan, memimpin 5000 orang keparak kiwa.
172
Sebelumnya menjabat Wedana Bumi, dalam ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1737)
sebagai Jaksa Sunan. Menurut Schrieke jabatan ini dari 1737-1738 ditempati Aria Purbaya.
Setelah Purbaya dibuang, tempat ini diisi oleh Natayuda, yang pada 1742 memihak Sunan Kuning.
173
Dalam ARNAS RI, Surakarta, No 87 (1744) disebut sbagai Kepala Kapedak (Keparak
Kiwa)
Masing-masing wedana lebet dibantu oleh seorang kliwon (patih atau lurah carik)
yang biasanya bergelar ngabehi, rangga, raden dan empat puluh orang mantra jajar.
Masing-masing wedana lebet memiliki lambing kebesaran :
1. Wedana Gedong Kiwa : warna biru muda strip kuning, disebut kluwung ngunjuk
(bianglala sedang minum), dengan gambar kerbau menghadapi ikatan padi.
2. Wedana Gedong Tengen : warna biru strip hijau, disebut candhik ayu, dengan gambar
perahu.
3. Wedana Keparak Kiwa : warna merah, pinggir hitam, disebut hutan terbakar,
gambarnya cakra.
4. Wedana Keparak Tengen : warna bangun tulak yaitu tengah hitam dan pinggir putih,
gambarnya aksara binedhaki.174
Di jabatan-jabatan tinggi itu, laporan VOC tahun 1744 masih menyebutkan
tumenggung yang diberi tugas memimpin kelompok : orang kalang (perambah hutan),
gowong, tuwaburu (penangkap binatang liar atau buas), kadipaten dan orang mardika
(mardijkers).175
Untuk mengurusi wilayah ibu kota kerajaan (kuthagara), sunan menunjuk pejabat
khusus yang disebut wedana miji. Posisi wedana miji langsung berada di bawah perintah
sunan. Jabatan wedana wiji dapat dibandingkan dengan jabatan walikota (stadhokder)
atau administrateur van het kroondomein. Pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I,
hanya ada seorang wedana miji di Mataram. Namun pada masa Pakubuwana II ada empat
orang wedana miji yaitu Raden Aria Indranata, Tumenggung Jayawinata, Tumenggung
Rajaniti dan Demang Jayasamodra. Masing-masing sebagai wedana I, II, III, dan IV.
Dalam laporan VOC jabatan wedana sering disamakan dengan bupati (regent).177
174
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 7-8. Yang dimaksud dengan orang Mardika ialah
sekelompok sosial keturunan dari percampuran darah berbagai ras, seperti ; Portugis, Jawa, etnis
dari Indonesia Timur dan lain-lain.
175
Ibid.
176
Ibd.
177
ARNAS RI, Surakarta, No. 87 (1744).
Penambahan wedana miji itu dianggap perlu karena situasi ibu kota yang kacau
setelah huru-hara Cina di Kartasura sepanjang tahun 1742 dan 1743. Posisi wedana miji
dianggap sangat penting karena bersama Ratu Eyang, Ratu Ageng, Ratu Kencana dan
Putra Mahkota menjadi anggota dewan tertinggi kerajaan atau Dewan Mahkota.178
d. Wedana Nagaragung
178
F.A. Sutjipto, Struktur Birokrasi Mataram” dalam Madjalah Ilmu-ilmu Sastra
Indonesia, Maret/Juni 1968, Djilid IV, No. 1,2, Bhratara, Jakarta, 1968. 51-70.
179
Ibid.
180
Ibid.
181
Ibid.
1. Wedana bumi terdiri dari : Tumenggung Natayuda (1720) dan pada 1733 menjadi
kepala jaksa,182 Raden Tumenggung Mangkupraja I (1733),183 Raden Tumenggung
Mangkupraja II, putra I (1737),184 dan Raden Tumenggung Mangkupraja III, putra II
(1744).185
2. Wedana Bumija terdiri dari : Raden Tumenggung Mangyuda I (1720-1733),186 Raden
Tumenggung Mangkuyuda I, putra I (1733), Tumenggung Mangkuyuda III, putra II
(1737), Tumenggung Mangkuyuda IV, putra III (1744) dan pada 1744 di hukum serta
digantikan oleh Tumenggung Natayuda.187
3. Wedana Siti Ageng ingkang Kiwa yang terdiri dari : Raden Tumenggung Natayuda
(1727) yang diangkat sebagai wakil patih tahun itu dan patih penuh pada 1733 dengan
nama Raden Adipati Natakusuma;188 Raden Tumenggung Pringgalaya (1733), pada
1739 diangkat sebagai wakil patih dan menjadi patih penuh pada 1743; Raden Aria
Wiryadiningrat (1745).
4. Wedana siti ageng ingkang tengen yang terdiri dari : Mangkubumi (1730) dan
meninggal pada 1730;189 Raden Aria Mlayakusuma (1733), cucu Aria Mataram yang
dibunuh di Japara pada 1719;190 Mlayakusuma (1742) pada 1742 berpihak kepada
Sunan Kuning.191
5. Wedana Sewu yang terdiri dari : Tumenggung Kartanagara (1733);192 Raden
Tumenggung Kartanagara (1737-1741), putra Patih Kartanagara yang tewas di Malang
pada 1721;193 Mangunagara I (1741), sebelumnya Wedana Gedong Kiwa; 194
Mangunagara II (1744).195
182
ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1737)
183
Serat Pranatan, loc. cit.
184
B. Schieke, op. cit., hlm. 176. Natayuda kemudian menjabat Wedana Keparak
Tengen.
185
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 30.
186
Mangkupraja adalah putera Natayuda, Wedana Keparak Tengan.
187
Puetra Natayuda, Wedana Keparang Tengen.
188
ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1744)
189
W.G.J. Remmelink, Emperor ..., hlm. 254.
190
B. Schrieke, loc. cit. Lihat ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1744)
191
Ibid.
192
ARNAS RI, No. 303 (1733) Kartaanagara terus menjabat sampai tahun 1741.
193
Ibid.
194
W.G.J. Remmelink, Emperor ...,hlm. 254, putera I yang tewas dalam penyerbuan ke
benteng Kartasura 1741.
195
Serat Pranatan, op. cit., ihlm. 30. Lihat ARNAS RI, Mataram No. 303 (1733)
6. Wedana Numbak Anyar yang terdiri dari : Raden Tumenggung Jayasudirga (1733) dan
meninggal pada 1737;196 Tumenggung Singaranu I (1737) dan terbunuh dalam
pertempuran di Bicak pada 1741;197 Tumenggung Sinagarau II (1742), putra I.
7. Wedana Penumping yang terdiri dari : Raden Tumenggung Wiraguna I (1733), putra
wakil Patih Somabrata pada masa Amangkurat III;198 Tumenggung Wiraguna II
(1733), putra I, meninggal pada 1741;199 Tumenggung Wiraguna III (1742), putra II
tewas dalam pertempuran di Bicak pada 1741;200 Raden Tumenggung Wiraguna IV
(1744), putra III.201
8. Wedana Panekar yang terdiri dari : Tumenggung Kanduruan (1733),202 Tumenggung
Jayabadrata (1737);203 Tumenggung Mangunagara II (1744), putra I wedana gedong
kiwa tahun 1737, dan Wedana Sewu tahun 1741.204
Para Wedana Nagaragung itu bertempat tinggal di Kartasura, masing-masing
mendapat lungguh seluas 1.500 karya. Namun Wedana Bumi dalam Serat Pusaka Raja
Purwara tercatat mendapat 1.400 karya. Masing-masing wedana dibantu oleh seorang
kliwon, seorang kebayan, empat puluh orang mantri jajar. Para pembantu wedana itu
seluruhnya mendapat lungguh berjumlah 6.500 karya.205
196
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 30. Lihat ARNAS RI, Mataram No. 303 (1733)
197
ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1737). Lihat J.K.J. de Jonge, De Opkomst VI ...,hlm. 91.
198
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 31. Dalam AENAS RI, Mataram No. 303 (1733), tercatat
sebagai salah seorang dari 12 wedana atau bupati terkemuka di istana Kartasura.
199
ARNAS RI, Surabakarta No. 87 (1737), tercatat sebagai Wedana Penumping sebelumnya
adalah Arung Binang
200
J.K.J. de Jonge, Opkomst VII ..., hlm. 392.
201
B. Schrieke, loc. cit.
202
Serat Pranatan, loc. cit.
203
Dalam ARNAS RI, Surakarta No. 87 (1737) tercatat nama Tumenggung Gruwakanda.
Menurut Schrieke adalah nama lain dari Jayabhrata.
204
J.K.J de Jonge, Opkomst IV ..., hlm. 46.
205
Serat Pranatan, ibid.
Bendera-bendera itu digunakan sebagai lambang kelompok atau daaerah yang
bersangkutan sekaligus tanda pengenal atau kesatuan di medan perang bagi tentara
(prajurit) mereka masing-masing.
Pada zaman Mataram (Islam), kewajiban menyerahkan upeti dan menghadap raja
(seba) dilakukan tiga kali dalam setahun, bertepatan dengan hari-hari besar Islam yaitu
Maulud Nabi (Garebeg Maulud atau perayaan terbesar), Idul Fitri (Garebeg Syawal) dan
Idul Adha (Garebeg Besar)208.
206
Soemarsaid Moertono, loc. cit.
207
Babad Itih, Naskah No. MS B 20 d, hlm. 13-15.
208
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., loc. cit.
209
Th. G. Th. Pigeaud, Java I ..., hlm. 4. dalamNagarakrtagama pupuh 3, 2-1 dinyatakan “
...cri bhupati sang pita nrpati mungwing sinhasry apageh ...”, artinya : “... sri baginda (raja)
ayahyandanya menetap di Singasari ..”
buyut; rama (desa), dari struktur ketatanegaraan di Jawa pada abad IX hingga X.
Demikian pula dengan gelar tumenggung.210
Pada zaman Mataram (Islam) kewajiban menyerahkan upeti dan menghadap raja
(Jawa : seba) dilakukan tiga (3) kali dalam setahu, bertepatan dengan hari-hari besar
Islam, yaitu Mauild Nabi (Garebeg Maulud-perayaan terbesar), Idul Fitri (Garebeg
Syawal), dan hari raya Idul Adha (Garebeg Besar)211.
210
Antoinette M. Berret Johnes, op. cit., hlm. 59-110.
211
J.J. ras, Babad Tanah Djawi ..., loc. cit.
212
Th. G. Th. Pigeaud, Java I ..., hlm. 4. Dalam Nagarakrtagama pupuh 3, 2-1 dinyatakan “
...cri bhupati sang pita nrpati mungwing sinhasry apageh ...”, artinya : “... sri baginda (raja)
ayahyandanya menetap di Singasari ..”
213
Antoinette M. Berret Jones, op. cit., hlm 59-110.
214
J. Brandes (1913), op. cit., hlm. 207-210. Lihat Slametmulyana, Menudju Puntjak
Kebesaran Madjapahit, Balai Pustaka, Jakarta, 1965, hlm. 66.
215
Armando Cortessau, The Summa Oriental of Tome Pires, Hakluyt Sociey, London, 1944,
hlm. 264-289. Lihat Babad Madura versi KBG 32, koleksi Perpustakaan Nasional RI, halaman 20-
40.
Surabaya. Sementara penguasa-penguasa di daerah-daerah yang kurang penting biasanya
bergelar rangga, ngabehi atau demang.216
Di pelbagai kota pelabuhan di pesisir utara Jawa terdapat jabatan bupati dan
syahbandar (bertugas mengurusi bea cukai dan perniagaan). Para syahbandar kebanyakan
keturunan etnis Cina namun juga ada yang berasal dari etnis lain. Misalnya syahbandar
Japara pada zaman Sultan Agung (1613-1645), dipegang oleh Koja Hulubalang,
keturunan etnis Gujarat. Orang-orang Cina itu selain menjadi pedagang ada juga yang
berhasil menjadi adipati atau tumenggung. Misalnya, bupati Pekalongan Adipati
Jayaningrat, bupati Batang Tumenggung Puspanagara dan bupati Semarang Adipati
Astrawijaya.221
216
ARNAS RI, Mataram, No. 303 (1733)
217
Max Weber, op. cit., hlm. 1006.
218
Babad Madura, loc. cit. Lihat J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 114-115. Lihat juga
Tambo Bangkahoeloe, Bale Poestaka, Batavia Centrum, 1933, hlm. 65-66.
219
H.J. de Graaf, Soerabja in de XVII eeuw, van Koningkrijk tot Regenschap, (Surabaya
dalam Abad XVII dari Kerajaan sampai Kabupaten, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,
Yogyakrta, 1981/1982), hlm. 1-60.
220
Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993, hlm. 29-31.
221
Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa, Suatu
Study Ekonomi, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, 1995, hlm. 21-22.
Di wilayah mancanagara dan pasisir ada dua jalur birokrasi. Jalur bersifat
politik-pemerintahan secara vertikal dari atas ke bawah adalah patih, adipati atau bupati,
rangga-ngabehi (tingkat distrik) dan demang (tingkat kecamatan). Jalur lainnya bersifat
ekonomis dan berhubungan dengan penduduk (sikep) adalah patih (bangsawan dan
pejabat tinggi istana), demang (tingkat kecamatan) dan bekel (tingkat desa).222
Para penguasa lokal sebagai elite sosial juga mempunyai adat, lambang dan
upacara sendiri. Misalnya bentuk rumah, pakaian, benda-benda upacara, bendera dan
payung. Ukurannya lebih kecil (miniatur) dibandingkan dengan simbol-simbol di Istana
Mataram. Benda-benda itu berfungsi magis sebagai lambang kebesaran sekaligus tanda
kesatuan tentara atau militer dalam pertempuran. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan
bahwa Sultan Balitar Ibnu Mustofa menggunakan songsong ketika bertempur di
Bebanar.223 Seorang kraman (pemberontak) di Pacitan yang mengangkat dirinya sebagai
bupati di tempat itu pada akhir ke-19, menggunakan songsong berwarna kuning yang
dibelinya di pasar.224 Sementara tanda songsong (payung) dan bendera untuk masing-
masing daerah di Kerajaan Mataram adalah : (1) Adipati menggunakan songsong
berwarna hijau dengan bawat, berbendera warna merah berhiaskan doa tulak yang ditulis
dengan huruf Arab; (2) Adipati Pakalongan, Japara dan Banyumas menggunakan
songsong berwarna hijau dengan bawat, ditulis dengan huruf Arab; (3) kliwon, panewu,
mantri dan demang menggunakan songsong berwarna biru, hitam, merah dan abu-abu,
tanpa bendera; (4) semua bupati bergelar adipati di bang wetan dan bang kilen diizinkan
memiliki alun-alun dan pohon beringin kurung di depan rumahnya serta mempunyai
prajurit sejumlah 120 orang.225
222
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hlm. 59.
223
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi, op. cit., hlm. 348. Lihat W.H. McNeill, Europe’s Steppe
Frontier 1500-1800, The University of Chicago Press, Chicago, 1964, hlm. 125-179.
224
Babad Pacitan (Anonim), Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 25-26.
225
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 10.
sebagai pintu untuk berhubungan dengan dunia luar. Hal inilah yang menyuburkan
inkulturasi atau sikap berorientasi ke atas di segenap lapisan masyarakat.226
Dari segi solidaritas sosial, para bupati itu lebih merupakan pengikat sentimen
lokal yang segera lenyap ketika ia meninggal. Para pengikutnya kemudian bertebaran
untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Secara vertikal, para bupati itu ditundukkan dan diikat oleh raja-raja Mataram
dengan sistem patron-client dan perkawinan. Ke atas ia mengakui raja sebagai tuannya,
sementara ke bawah ia memaksa penduduk untuk mengakuinya sebagai raja kecil.
Sebenarnya Sunan tidak memiliki hubungan langsung dengan penduduk di wilayah
mancanagara maupun di pasisir. Bupatilah yang memenuhi pelbagai keperluan Sunan.
Para pejabat itu bertindak sebagai makelar antara Sunan dan rakyat. Penyerahan pelbagai
keperluan Sunan itu merupakan transaksi pribadi dengan posisi yang tidak sama dan
tanpa perjanjian apa pun. Berbeda dengan ikatan feodal kontraktual di Barat yang tidak
menempatkan kedua belah pihak pada posisi atas-bawah atau patron-client.229
Dibandingkan dengan yang terjadi di Kerajaan Turki Ustmani, hubungan antara raja,
226
M.C. Ricklefs, War ..., halaman 150, 202.
227
Babad Itih, koleksi Reksapustaka-Mangkunegaran, Surakarta No. MS B. 20b.
229
Reinhard Bendix, Max Weber an Intelectual Portrait, Doubelday & Co., New York, 1962,
hlm. 360-1380.
bupati dan penduduknya di Mataram merupakan hubungan peraturan dan eksploitasi
berjenjang. 230
Berdasarkan pola hubungan itu, raja para bangsawan dan pejabat tinggi
menyusun jaringan relasi dan kekuatan dari pusat sampai ke daerah-daerah melalui ikatan
perkawinan, patronase dan kesetiaan. Basis utama kekuasaan raja adalah bupati. Bila para
bupati itu melepaskan kesetiaanya maka hal itu akan sangat membahayakan dan tidak
mustahil akan meruntuhkan kekuasaan raja. Peristiwa-peristiwa yang menimpa
Amangkurat I dan Amangkurat III merupakan gambaran nyata tentang pentingnya peran
bupati dalam struktur kekuasaan di Mataram. Meskipun efektivitas dari pola hubungan
semacam itu belum bisa diandalkan namun cukup membantu untuk memahami gambaran
jaringan kelompok di sekeliling raja, khususnya Pakubuwana II pada pertengahan abad
XVIII. Susunan bupati di wilayah mancanagara dan pasisir pada masa pemerintahan
Pakubuwana II terlampir.
230
W.H. McNeill, loc. cit. Lihat Rijklofs van Goens, Javaense Reyse ..., hlm. 100-102.
231
Luc. Nagtegaal, loc. cit.
hierarki pemerintahan pada zaman Majapahit dan Mataram. 232 Pada masa pasca
Majapahit wilayah Jawa Tengah bagian selatan terpecah-belah di bawah kekuasaan para
penguasa lokal setingkat wateg yang bergelar Ki Ageng atau Ki Gede. Penguasa lokal ini
menguasai sejumlah desa, dapur atau kabuyutan.233 Ki Ageng Pemanahan sebagai Ki
Gede Mataram adalah salah seorang dari mereka.
Ada tiga jenis pemerintahan desa di wilayah Mataram sampai masa pemerintahan
Pakubuwana II. Pertama, desa yang berada di wilayah nagaragung. Wilayah ini dibagi
dalam beberapa bagian lungguh atau petak tanah dan penduduknya. Patuh (raja dan
bangsawan), kemudian menunjuk bekel sebagai wakilnya untuk menarik pajak di bagian
lungguh tertentu. Suatu desa bisa terbagi menjadi beberapa bekel (kabekelan) dari
lungguh dan patuh yang berbeda. Jadi, penduduk desa secara vertikal terbelah oleh
bermacam kelompok bekel yang memiliki kekuasaan mutlak atas dirinya. Orang yang
dianggap tidak mampu melaksanakan kewajibannya dapat diusir dari tanah garapannya
hingga ia tercerabut dari masyarakat desanya. Lebih buruk lagi, penduduk desa di
wilayah nagaragung tidak memiliki hak apa pun kecuali kewajiban-kewajiban yang
membebaninya. Mereka yang tidak tahan kemudian meninggalkan desanya. Bila eksodus
itu terjadi dalam jumlah besar maka terjadilah depopulasi.234 Di desa ini, masyarakatt
tidak diatur menjadi satuan pemerintahan. Oleh karena itu, tidak ada jabatan kepala desa.
Satu-satunya saluran komunikasi adalah para bekel. Namun para bekel itu tidak
bertanggung jawab dalam hal pemerintahan karena dia bertugas sebagai pengumpul pajak
dan hasil bumi yang menjadi hak patuh. Para wedana atau bupati Nagaragung dan
bawahannya juga tidak memiliki saluran yang langsung berhubungan dengan penduduk
kecuali lewat bekel.235 Di atas bekel terdapat jabatan demang yang membawahi sejumlah
232
Jan Wisseman Christie, “Raja dan Rama: Negara Klasik di Jawa”, dalam Pusat, Simbol
dan Hirarki kekuasaan : Esai-esai tentang Negara-negara klasik di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 10-11. Lihat F.H. van Naerssen, “ Tribute to the God and the King”
dalam Southeast Asia History and Historiography, Cornell University Press, Ithaca, 1976, hlm.
296-303.
233
J.J. Ras, Babad Tanah Djawi ..., hlm. 32-33. Lihat D.H. Burger, Perubahan ..., hlm. 50-51,
misalnya Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Karang Lo,
Ki Ageng Mangir, Ki Ageng Bungkul (di Surabaya), dan lain-lainnya.
234
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya III, Gramedia Pustakatama, Jakarta, 1996,
hlm. 142-168.
235
Suhartono, op. cit., hlm. 18-19.
kabekelan. Di sini pangkat lurah atau petinggi tidak berarti sebagai kepala desa
melainkan sebagai pemimpin sejumlah orang yang menjalankan tugas tertentu. 236
Jenis desa kedua ialah, desa sebagai bentuk satuan pemerintah dengan lungguh di
dalamnya. Masyarakat di desa ini berada di bawah kepemimpinan kepala desa. Penentuan
jabatan dilakukan dengan pilihan. Kepala desa dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
pejabat-pejabat yang bertanggung jawab dalam bidang keamanan, keagamaan, pengairan,
juru tulis, kematian dan lain-lain. Akan tetapi di desa ini terdapat sejumlah tanah lungguh
yang diurusi oleh bekel dan demang. Bila kepala desa bertanggung jawab kepada panewu
dan bupati masing-masing, maka bekel dan demang bertanggung jawab kepada patuh
(pemilik lungguh) mereka masing-masing di ibu kota kerajaan. Namun demikian yang
bertanggung jawab pada masalah keamanan desa secara keseluruhan adalah kepala
desa.237
Jenis ketiga, yaitu desa sebagai satuan pemerintahan namun di dalamnya tidak
terdapat lungguh. Desa kedua dan ketiga terdapat di wilayah mancanagara dan pasisir.
Sementara desa jenis ini berbeda di bawah kepemimpinan kepala desa yang juga disebut
sebagai petinggi, lurah atau buyut. Jika pejabat-pejabat yang posisinya lebih tinggi dari
pada kepala desa (panewu, bupati, dan wedana) rekrutmennya ditunjuk oleh raja atau
patih, maka kepala desa (petinggi, lurah dan buyut) dipilih oleh masyarakat desa yang
bersangkutan. Rothenbuhler, pejabat gezaghebber (penguasa, walikota) VOC di Surabaya
(1800-1809)238 melaporkan bahwa selain adanya desa-desa yang memilih kepala desa
dengan masa jabatan seumur hidup, ada pula model pemilihan kepala desa untuk masa
jabatan tertentu. Desa-desa di kota Surabaya memilih kepala desa untuk masa jabatan
sekitar dua sampai tiga tahun secara konstan atau ajeg. Menurut Rothenbuhler, keadaan
seperti ini telah muncul sejak zaman kuna dan tidak seorang pun berusaha
mengubahnya.239
Tatkala kaum pemberontak Cina dan para pengikutnya mengangkat Mas Garendi
sebagai Sunan Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat Amangkubuwana pada Juni
236
Serat Pranatan, op. cit., hlm. 18-19.
237
Soehartono, op. cit., hlm. 23.
238
J. Hageman, J.C.Z. “Namen der Gewestelijke Europesche Gezaghebbers Enz. Op Java en
Madoera”, dalam TILV IV, hlm. 249.
239
Rothenbuhler, “Rapport van den staat angesteldheid van het Landschap Sourabaja”
dalam Verhandelingen Bataviaasch Genootschap Deel XLI, Brunning & Co.,/M. Nijhoff, ‘s-Hage,
1881, hlm. 1-73.
1742 di Pati, ternyata di antara para pejabat itu ada yang memihak kaum pemberontak.
Tidak mengherankan jika pada 30 Juni 1742 mereka berhasil merebut Kartasura, ibu kota
Kerajaan Mataram.240 Para pejabat Mataram yang memihak kaum pemberontak itu antara
lain Tumenggung Wirajaya (wedana keparak kiwa), Tumenggung Natayuda (wedana
keparak tengen) dan Raden Arian Mlayakusuma (wedana siti ageng kiwa). Sementara
para penguasa lokal atau bupati yang mendukung kaum pemberontak antara lain bupati
Pekalongan Adipati Jayaningrat III, bupati Grobongan Tumenggung Martapura alias
Raden Paridan, bupati Surabaya Sawunggaling, bupati Semarang Astrawijaya. Juga para
mantan bupati seperti Tumenggung Mangunoneg III (mantan bupati Pati), dan
Tumenggung Puspanagara (mantan bupati Batang).
KEPUSTAKAAN
240
J.K.J. de Jonge, Opkomst IX ..., hlm. 416-417. Lihat A.K.A. Gijsberti Hodenpijl, “De
zwertocht van sultan Pakoeboewana II, na diens vlucht uit den kraton te Kartasoera op de 30 Juni
1742” dalam Bijdragen tot de Taal,- Land- en Volkenkunde No. 74, hlm. 562-614.
Berg, L.C.W. van, De Inladsche Rangen en Titles op Java en Madoera,
Landrukkerij , Batavia, 1887.
Brandes, J.L.A., “ Oud –Javaansche Oorkonden Nagelaten Transcripties”.dalam
Verhandelingen va het Bataviaasch Genotschap van Kunsten en
Wetenschappen, Deel LX Eerste stuk, Albrecht & Co.,/M. Nijhoff,
Batavia/‟s-Hage, 1913.
Brandes, J.L.A., Pararaton (Ken Arok) Het boek der Koningen van Tumapel en
van Majapahit, Martinus Nijhoff/Albrecht & Co., „s-Gravenhage/
Batavia, 1920.
Burger, D.H., Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, Bhratara, Jakarta,
1983, hlm. 86-104.
Casparis, Airlangga, Pidato Pengukuhan Jabatan guru Besar Sejarah Indonesia
dan Bahasa SansEkrta di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang,
Universitas Airlangga, Surabaya, 1958.
Coulborn, Rushton, Feudalism in History, Princeton University Press, New
Yersey, 1956, hlm. 188-214.
Cortessau, Armando, The Summa Oriental of Tome Pires, Hakluyt Sociey,
London, 1944.
Chouduri, K.N., “ East Indian Company‟s Shipping (c. 1660-1760), dalam Ships,
Sailors, and Spices : East India Companies and their Shipping in the 16th.
and 18 th. Centuries, NEHA, Amsterdam, 1993.
Christie, Jan Wisseman, “Raja dan Rama: Negara Klasik di Jawa”, dalam Pusat,
Simbol dan Hirarki kekuasaan : Esai-esai tentang Negara-negara klasik di
Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1839-1939, Taman
Siswa, Yogyakarta, 1989.
David E. Apter, Ghana in Transition, Atheneum, New York, 1963.
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustakaa, Jakarta,
1993, hlm. 120.
Einstadt, S.N., The Polytical Systems of Empires, The Free Press of Glencoe,
Cloller -Macmillan Ltd.
Goens, Rijklof van, Javense Reyse, De bezoeken van een VOC-gezant aan het
Hof van Mataram, Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage, 1995.
Graaf, H.J. de, De Vijf Gezantschapreizen van Rijklof van Goens naar het Hof van
Mataram, Martinus Nijhoff, „s -Gravenhage, 1956.
Graaf, H.J. de., Soerabja in de XVIIeeuw, van Koningkrijk tot Regenschap,
(Surabaya dalam Abad XVII dari Kerajaan sampai Kabupaten, Direktorat
Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional, Yogyakrta, 1981/1982.
Graaf, H.J. de, Puncak Kebesaran Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung,
Grafitipers, Jakarta, 1986.
Graaf, H.J. de, De Expeditie van Anthonio Hurdt Raad van Indie als Admiraal en
Suoerintendent naar Java Sept-Dec. 1678, Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage,
1971,
Graaf, H.J. de, Runtuhnya Istana Mataram, Grafitipers, 1987, hlm. 106-111.
Graaf, H.J. de, “De Opkomst van raden Trunadjaja”, dalam Djawa XX, hlm. 56-
86.
Graaf, H.J. de, “Gevangenneming en dood van raden Trunadjaja 26 Dec. 1679-2
Jan. 1680”,
dalam Tijdschrift voor de Taal -, Land- en Vokenkunde LXXXV, Martinus Nijhoff,
„s-Gravenhage, 1952.
Hageman, J.C.Z. J., “Namen der Gewestelijke Europesche Gezaghebbers Enz.
Op Java en Madoera”, dalam TILV 1854.
Hasan Ja‟far, Girindrawaardhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Yayasan
Dana Pendidikan BudhaNalanda, Jakarta, 1978,
Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Sinar Harapan, Jakarta,
1979.
Hodenpijl, A.K.A. Gijsberti., “De Onderwerping van Pangeran Adipati Anom
alias Soenan Mas aan de hooge regering te Batavia, op. de 6e September
1708”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde vol. 78 1922.
Heeres, J.E., Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum I, Martinus Nijhoff, „s-
Gravenhage, 1934.
Issawi, Charles, Filsafat Islam tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddimah
karangan Ibn Khaldun dari Tunis 1332-1406), terjemahan A. Mukti
Ali, Tintanas, Djakarta, 1962
Koentjaraningrat, Metode Anthropologi, Ichtisar dari Metode-metode
Anthropologi dalam Penjelidikan Masjarakat dan Kebudajaan
Indonesia, Penerbitan Universitas, Djakarta, 1958.
Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa,
Suatu Study Ekonomi, Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, 1995.
Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya III, Gramedia Pustakatama, Jakarta,
1996, hlm. 142-168.
Mair, Lucy, Primitive Government, Baltimore, Penguin Books, 1962.
Meinsma, J.J., “Het Ford te Kartasoera in 1741”, dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Vokenkunde van Nederlandsch Indie, Deel VI, Frederik Muller,
Amsterdam, 1863.
Mulia, T.S.G., India, Sedjarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, Balai
Pustaka, Djakarta.
Nagtegaal, Luc., Riding The Dutch Tiger : The Dutch East Indies Compaany and
the North Coast of Java 1680x-1743, Leiden, KITLV, 1996.
Naerssen, F.H. van, “ Tribute to the God and the King” dalam Southeast Asia
History and Historiography, Cornell University Press, Ithaca, 1976.
Niel, Robert van, A Survey of Historical Materials in Java and manila,
University of Hawai Press, Hawaii, 1970
Niehoff, Johan, Voyages, Travels to the East Indies, Oxford University Press,
Oxford, 1988.
Nio Yu Lan, Tiongkok Sepandjang Abad, Balai Pustaka Djakarta, 1952.
Olthof, W.L. Poenika Sreat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam
doemoegi ing Taoen 1647, Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage, 1941.
Pigeaud, Th. G. Th., Java in The 14Th. Century, A Study in Cultural History
I,II,III,IV,V, Martinus Nijhoff, The Hague, 1960
Pitono, R., Sedjarah Indonesia Lama, Lembaga Penerbitan IKIP Malang, 1963,
Raffles, Thomas Stamford The History of Java I, II , Oxford University Press,
Kuala Lumpur, 1978.
Ras, J.J., Babad Tanah Djawi, de prozaversie van Ng. Kertaapradja, Forish
Publication, Dordrecht/Providence , USA.
Ras, J.J., Babad Kraton I-II, Jambatan, Jakarta, 1992.
Remmelink, W.G.J., Babak Pertama Pemerintahan Pakubuwana II, 1726-1733,
Menurut sumber Babad dan Sumber VOC, Proyek Javanologi, Yogyakarta,
1993.
Ricklefs, M.C., Modern Javanese Tradition, A Study on Oriental on Oriental
Kartasura, Chronicle and Materials¸SOAS-University of London, London,
1978, hlm. 192.
Ricklefs, M.C., War, Culture, and Economy Java 1677-1726, Allen & Unwin,
Sydney, 1993,
Remmelink, W.G.J. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743,
Jendela, Yogyakarta, 2002.
Rouffaer, G.P., “ Vorstenlanden” dalam Adatrechtbundels XXXIV : Java en
Madoera I, Martinus Nijhoff, „s-Gravenhage, 1931.
Rothenbuhler, “Rapport van den staat angesteldheid van het Landschap
Sourabaja” dalam Verhandelingen Bataviaasch Genootschap Deel XLI,
Brunning & Co.,/M. Nijhoff, „s-Hage, 188.
Sartono Kartodirdjo, “The Concept of Regional History” dalam bernard Dahm,
Region and Regional Development in the Malay-Indonesia World, Otto
Harrasowitz, Westbaden, 1992.
Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993.
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit” dalam 700
Tahun Majapahit (1293-1993), Suatu Bunga Rampai, Dinas Pariwisata
Provinsi Dat I Jawa Timur, Surabaya, 1993.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies, Ruler and realm in Early Java, W.
Van Hoeve, 1957.
Serat Pranatan Nalika Jaman Negari Dalem ing Kartasura kala ing tahun angka
1655 (1730) ; Babon saking Raden Ngabehi Ranggawarsita, koleksi
Rekspustaka, Mangkunegaran, kode MS B 113
Slametmulyana, Menudju Puntjak Kemegahan (Sedjarah Keradjaan Madjapahit)
Djakarta, Balai Pustaka, 1969.
Soemarsid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa lampau,
Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1985.
Soeripto, Raden Mas, Ontwikellingsgang der Vorsten laandsch Wetboeken, N.V.
Boeken Steendrukkery Ijdo, Leiden, 1934, hlm. 181-188.
Spellman, John W., Political Theory of Ancient India : A Study of Kingship from
the Earliest Times circa A.D. 1300, Clarendon Press, Oxford , 1964.
Stamboom en Geslecht Register van de Regenten van Sidajoe van Maduresche
Afkomst,by J.A.B. Wisselius,1872..
Stavorinus, Esq., John Splinter, Voyages to the east Indises, G.G. and J.
Robinson Paterooster Raw, 1798.
Ong Thae Hae, The Chinamen Abroad or Desultory Account of the Malayan
Archipel particularly Java, The Mission Press, Shang Hae, 1849.
Sutjipto, F.A., “Birokrasi Mataram”, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia,
Edisi Maret-Juni 1968, Fakultas Sastra UI.
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.
Valentijn, Francois, Oud en Nieuw oosst-Indien II, Wed J.C. van Kesetern en
zoon, Amsterdam, 1862,
Vermeulen, J.Th., De Chinese te Batavia en de Troubelen van 1740, E. Ijdo,
Leiden, 1938
Weber, Max, Economy and Society, An Outline of Iterpretive Sociology, Edited
by Guenther Roth and Claus Wittich, The Regent of the University of
California, Berkeley-Los Angeles, 1978.
Yasadipura, R. NG., Babad Giyanti I-VII, Bale Pustaka, Batavia, 1937.
Zoetmoelder, P.J., Old Javanese English Dictionary I, Martinus Nijhoff, „s-
Gravenhage, 1982.