Anda di halaman 1dari 5

-Konferensi

Nasional Bahasa dan Sastra III-

REKONTRUKSI SEJARAH DAN DIALEKTIKA BUDAYA MELAYU


DALAM NOVEL BULANG CAHAYA KARYA RIDA K LIAMSI
DAN TAMBO KARYA GUS TF SAKAI

Tjahjono Widijanto
tjahwid@yahoo.co.id

Abstrak
Sebuah teks sastra dapat dipahami sebagai sulingan, saringan, endapan, penghayatan, pemikiran,
serta penggagasan sastrwan atas pelbagai peristiwa, pengalaman budaya, serta realitas hidup dan
kehidupan yang dilakoninya. Di dalam sebuah teks sastra (baik prosa atau puisi) antara realitas
dan imajinasi tidak dapat ditentukan mana yang lebih penting karena kedua-duanya bercabang,
berkelindan dan berpagutan menjadi satu. Fakta dan iksi, faktual dan imajinatif bersenyawa
dalam teks sastra. Sudah semenjak awal kelahiran sastra Indonesia modern banyak sastrawan yang
memanfaatkan peristiwa kesejarahan sebagai sumber inspirasi kreatifnya. melalui dialektika budaya
yang terdapat di dalamnya, baik novel Bulang Cahaya maupun novel Tambo memberikan gambaran
bagaimana Melayu senantiasa berproses untuk terus membentuk “ke-Melayuannya” dengan
mengakomodasi, berdialog dan bersilangan dengan pola-pola kebudayaan lainnya. Sehingga bisa jadi
wajah Melayu kini menjadi semakin kompleks dan berbeda dengan Melaya lama.
Kata Kunci: sastra, bulang, tambo, dialektika budaya

Pendahuluan
Berhadapan dengan teks (novel-novel) sastrawan Melayu terkini, pembaca tidak saja
dapat menikmati cerita dalam novel tersebut namun dimungkinkan dapat pula menelusuri
“berita pikiran” tentang rekonstruksi budaya dan penggambaran dialektika budaya Melayu
dengan budaya-budaya lainnya. Mengingat cakupan “wlayah Melayu” yang sangat luas, dalam
pembahasan ini dipilah dua novel karya sastrawan dari Melayu (Sumatera) yakni novel Bulang
Cahaya(JP. Book, Juli 2007) karya Rida K Liamsi, dan novel Tambo (Grasindo, 200) karya Gus
tf. Sakai. Pemilihan kedua novel ini didasarkan pada dua hal, kedua novel ini dianggap penulis
mewakili dua kutub kebudayaan Melayu, yakni Melayu tua dan Melayu muda. Melayu tua
bersumber dari Kerajaan Pagarruyung Minangkabau (abad 14) yang dianggap cikal bakal
Melayu, dan Melayu muda atau Melayu Riau yang berada di wilayah bekas Kerajaan Riau-
Lingga dan Johor (abad 19). Melayu muda diwakili novel Bulang Cahaya, sedangkan Melayu Tua
diwakili oleh novel Tambo. Kedua, kedua novel-novel ini sarat dan kental dengan sejarah dan
warna budaya Melayu yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Melayu terkini yang hidup dan
mencipta pada zaman globalisasi, meskipun bisa jadi menghadapi problematika yang berbeda-
beda.
Sudah semenjak awal kelahiran sastra Indonesia modern banyak sastrawan yang
memanfaatkan peristiwa kesejarahan sebagai sumber inspirasi kreatifnya. Dalam mengolah
peristiwa kesejarahan tersebut sastrawan sebagai sang kreator dihadapkan pada dua pilihan.
Pilihan pertama pengarang berada atau mengambil posisi yang “linear” dengan sejarah yang
dianggap “resmi”, sedangkan pilihan kedua, pengarang mengambil posisi berseberangan
dengan sejarah “resmi”. Berhadapan dengan kedua novel: Bulang Cahaya, dan Tambo, dengan
jelas terlihat upaya pengarang-pengarangnya dalam memanfaatkan sejarah untuk melakukan
rekonstruksi ulang tentang sejarah dan identitas budaya Melayu. Tentu saja rekonstruksi sejarah
dan identitas budaya yang dilakukan pada kedua novel ini tidak seperti apa yang dilakukan
oleh para ahli sejarah dari sudut akademi sejarah ansich, tetapi lebih cenderung seperti apa
yang dikatakan sejarawan Tau ik Abdullah (1983) sebagai ‘nothing but story’, sejarah yang

342
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

menekankan gaya literer. Novel dan sejarah saling mempengaruhi sebagai suatu narasi yang
harus dapat dinikmati tapi tak terlepas dari kenyataan empiris.

Pembahasan
Sebagai kisah-kisah narasi yang dapat dinikmati, baik novel Tambo atau Bulang Cahaya
menyuguhkan suatu cerita manusia yang di dalamnya penuh dengan tematik-tematik kehidupan.
Di dalamya terdapat tragedi, penderitaan, kekuasaan, cinta dan kon lik-kon lik internal
psikologis seperti lazimnya sebuah kehidupan. Dalam hubungannya dengan sejarah, cerita atau
naratif itu dipusatkan pada suatu pusaran waktu atau periode tertentu, yang di dalam pusaran
waktu yang tertentu itu terkait peristiwa-peristiwa yang mungkin secara lahiriah hanya terjadi
atau ditemukan pada periode masa itu. Sifat simbolis yang menyediakan medan luas yang kaya
dengan interpretasi, bagaimanapun juga novel akhirnya memang tidak dapat dijadikan sumber
utama sejarah meskipun sebenarnya ia ‘mempertanyakan’ sejarah. Pertanyaan-pertanyaan
elementer dalam disiplin ilmu sejarah tentang “apa, siapa, di mana dan apabila” tidak bisa
mendapatkan jawaban yang mutlak dengan menggunakan novel sebagai sumber. Tetapi dengan
memanfaatkan sejarah, baik Rida K Liamsi melalui novel Bulang Cahaya dan Gus T melalui novel
Tambo dapat memberikan ‘pantulan-pantulan’ tertentu tentang perkembangan pikiran.
1. Novel Bulang Cahaya
Novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi merupakan sebuah teks sastra yang terinspirasi
sekaligus mencoba mengolah sejarah Kerajaan Riau-Lingga yang membentang dari kepulauan
Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia. Sebagai sebuah novel yang mengolah
sejarah, novel ini mencoba menafsirkan tentang suatu masa dalam sejarah Riau dan kisah
tragedi percintaan tokoh-tokohnya, dan sebagai berita pikiran novel ini mencoba menyampaikan
gagasan, pemikiran dan pendapatnya sendiri tentang realitas (termasuk realitas sejarah).
Menurut data sejarah, akhirnya kedua saudara tiri yang berseteru ini melibatkan pihak-pihak
asing yang justru membelah kerajaan. Sultan Husin meminta bantuan pihak Inggris sedangkan
kelak Sultan Abdurrahman meminta bantuan pemerintah Hindia Belanda. Novel Bulang Cahaya
ini berakhir pada saat Sultan Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan oleh Raja Jaafar yang
menjabat wali negara. Hal yang menjadi perhatian utama dalam kaitannya dengan identitas
budaya adalah persoalan marwah dan martabat Melayu. Marwah merupakan kunci identitas
kebudayaan Melayu sekaligus merupakan trade mark budaya Melayu yang tak lekang oleh
zaman. Marwah yang berkaitan dengan kebesaran kedaulatan (kerajaan) sering disimbolkan
dengan alat-alat upacara yang dipakai dalam ritual kenegaraan. Menurut berbagai sumber
dari sejarah Melayu, regelia kerajaan atau alat-alat kebesaran adat istiadat dalam adat istiadat
Melayu dianggap sakral dan keramat karena melambangkan kebesaran dan kekuasaan yang
berpengaruh pada kosmologi kesemestaan merupakan puncak simbolisasi dari marwah
kebudayaan Kerajaan Riau Lingga.

2. Novel Tambo
Kesadaran pengarang untuk mencoba merekonstruksi sejarah sekaligus melakukan
otokritik budaya secara gamblang justru tampak pada bab terakhir (bab 23, Alangkah Banyak
Serpihan) yang kelihatannya memang disengaja sebagai semacam pengakuan proses penulisan
novel. Sejarah yang meskipun merupakan masa lampau terpisah dari “masa kini”, namun bukan
berarti tidak berhubungan. Sutan masa lalu yang bernama Sutan Balun adik Sutan Marajo Basa
atau Adityawarman raja Minangkabau bertemu dalam alam mimpi dengan Sutan masa kini,
Sutan Rido, seorang mahasiswa ‘abadi’ yang gelisah menyikapi dan mencari akar sejarah dan
identitas budayanya (hal, 24). Sutan masa kini mencoba menelusuri dan membangun sejarahnya,
masa lampaunya kembali melalui tokoh Sutan Balun. Terjadilah re leksi kembali atau kilas
balik sejarah kebudayaan dan peradaban yang digambarkan melalui perjuangan Sutan Balun
membentuk sebuah peradaban baru Minangkabau masa lampau. Sutan Rido, seorang manusia

343
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

mahasiswa masa kini yang hidup di alam modern berusaha menyingkap akar budayanya
dengan pengidenti ikasian diri melalui Sutan masa lalu, Sutan Marajo Basa, yang hidup di masa
kejayaan Pagaruyung dengan berbagai konstelasinya pada masa itu dengan himpitan pengaruh
dua arus kebudayaan besar yakni kebudayaan Jawa melalui hegemoni Kerajaan Majapahit dan
kebudayaan Melayu. Dalam ‘tamasya, ke masa lampau itu ternyata seperti halnya peradaban
modern terjadi berbagai persilangan, perbenturan, kon lik dan kompromi-kompromi budaya
yang akhirnya dapat membentuk sebuah warna kebudayaan baru.
Tidak hanya memandang sejarah sebagai past signi icane (hanya penting untuk peristiwa
masa lampau), tetapi secara kreatif mencoba memandang sejarah dengan hubungannya
dengan masa kini (present meaning), bahkan masa yang kelak datang (future meaning). Sejarah
menjadi sebuah medan yang selain membuka tafsir baru ia juga menyimpan potensi-potensi
yang signi ikan untuk lahirnya sejarah baru sekaligus juga berfungsi sebagai tengara untuk
mengingatkan manusia atas berbagai kemungkinan baik atau buruk pada masa silam dan masa
datang.
Kebudayaan selamanya ditandai dengan inkonsistensi, inkoherensi, serta sisi-sisi yang
maknanya bagi daya kognisi kita masih dalam proses menjadi. Kebudayaan adalah suatu
proses dialektika yang dinamis, kebudayaan bukan sesuatu yang given yang dengan sendirinya
ada dan tidak akan berubah. Dalam novel Bulang Cahaya dan Tambo selain tergambar upaya
rekonstruksi sejarah dan identitas budaya, juga diperlihatkan bagaimana sebuah sistem budaya
lahir melalui dialog dan proses pertukaran dan pengaruh-mempengaruhi antara budaya-budaya
yang berlainan. Dalam Bulang Cahaya tampak bagaimana terjadinya pertemuan budaya Bugis
dan Melayu yang mempengaruhi kekuasaan di Kerajaan Riau Lingga. Pertemuan sekaligus
dialektika budaya Bugis-Melayu menandai dinasti baru dalam Kerajaan Riau yakni dinasti
Abdul Jalil Riayatsyah sebelum akhirnya 100 tahun kemudian terbelah karena Perjanjian
Trakat London. Dialektika budaya Bugis-Riau ini akhirnya membuahkan sistem ketatanegaraan
Melayu menjadi dua sistem penyelenggara pemerintahan, yakni jabatan Yang Dipertuan
Besar dan jabatan Yang Dipertuan Muda. Yang Dipertuan Besar merupakan puncak pimpinan
pemerintahan atau Sultan yang mengurusi masalah agama, adat dan pemerintahan umum dan
jabatan ini senantiasa menjadi hak keturunan Melayu. Sutan Balun dengan kakaknya Sutan
Marajo digambarkan pertemuan dua paham kebudayaan yang bertolak belakang. Sutan Marajo
atau Adityawarman, yang karena sejak kecil di besarkan di Jawa (Majapahit) menganut paham
kekuasaan sentralistik, otoriter, dengan tumpuan pada pemujaan kekuatan perang berhadapan
dengan Sutan Balun yang karena pengembaraannya yang luas lebih condong pada paham yang
berpola desentralistik dan lebih egaliter.
Perbendaharaan budaya Indonesia yang memang diwakili dua kutub yang saling bertolak
belakang. Kutub Jawa yang berpola sentralistik, sentripetal, dan feodalistik berhadapan dan
bersinggungan dengan kutub budaya Melayu yang berpola desentralistik, sentrifugal, dan lebih
egaliter. Pilar budaya Jawa secara par excellence diwakili budaya Mataram (Mentaraman) yang
berakar dari kebudayaan Majapahit, dan budaya Melayu yang secara par excellence pula diwakili
Minangkabau. Dalam novel Tambo, kebudayaan Jawa diwakili oleh tokoh Adityawarman alias
Sutan Marajo dan kebudayaan Melayu Minangkabau diwakili oleh Sutan Balun.
Tokoh Sutan Marajo atau Adityawarman sebagai mantan panglima perang Majapahit
digambarkan sangat memuja pada otoritas kekuasaan tunggal dengan penekanan kekuatan
armada perangnya. Kekuatan pasukan dan perang menjadi mesin legitimasi dan dominasi
budaya merupakan pilihan pertama bagi kelangsungan hegemoni kekuasaan dan kebudayaan.
Konsepsi pola kepemimpinan Jawa di mana raja dipandang sebagai pusat kekuasaan dan
kekuatan bahkan pusat kosmologi semesta. Konsep ini tercermin dengan doktrin kekuasaan
dan gelar-gelar raja Majapahit dan selanjutnya menurun pada dinasti Kerajaan Mataram sebagai
penguasa-penguasa besar di tanah Jawa.

344
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

3. Dialektika Novel Bulang Cahaya dan Novel Tambo


Dari uraian-uraian di atas, melalui dialektika budaya yang terdapat di dalamnya, baik novel
Bulang Cahaya maupun novel Tambo memberikan gambaran bagaimana Melayu senantiasa
berproses untuk terus membentuk “ke-Melayuannya” dengan mengakomodasi, berdialog dan
bersilangan dengan pola-pola kebudayaan lainnya. Sehingga bisa jadi wajah Melayu kini menjadi
semakin kompleka dan berbeda dengan Melayu lama. Kedua novel itu juga mengingatkan
bahwa bipolarisme budaya dan warna lokal budaya merupakan sebuah kewajaran. Bipolarisme
dan warna lokal budaya mestinya tidak ditanggapi secara subyektif, emosional dan politis
dan dianggap sebagai “sara”, tetapi harus ditanggapi secara rasional, kritis dan intelektual.
Dengan menanggapi bipolarisme secara kritis-intelektual-rasional justru dapat dikaji sisi-sisi
kelemahan dan keunggulan kutub-kutub budaya bangsa sekaligus dapat dilihat sejauh mana
validitas dan signi ikansinya bagi sebuah pertemuan dan dialektika antar budaya yang fair dan
balance.
Dengan dialektika budaya di dalamya, novel Tambo dan Bulang Cahaya juga membuka
mata bahwa budaya dan kebudayaan tidak harus selalu disikapi sebagai sesuatu yang “harus
harmoni”, tetapi budaya dan kebudayaan selain mengandung unsur harmoni juga menyimpan
unsur “kon lik” yang justru berguna bagi keberlangsungan kebudayaan selama “kon lik” itu
terjadi secara fair, sehat, dan alamiah. Kon lik budaya yang fair akan membuka pintu terciptanya
dialektika budaya dan pada gilirannya dapat membawa ke arah proses transformasi budaya
etnik ke budaya negara-kebangsaan serta transformasi sosial-politik yang lebih egaliter. Novel
Tambo secara cerdas berhasil menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada sebuah budaya
yang paling adi luhung, paling syah dan paling benar. Upaya penting rekonstruksi sejarah
dan dialektika budaya di dalamnya, menghidupkan kembali tetapi dengan lebih menekankan
kepada ke-bhineka-annya, kepada keberagamannya, bukan pada ika-nya. Pemahaman kesatuan
dan bangunan nasionalisme justru harus mencerminkan secara keanekaragaman berbagai
sistem budaya di nusantara yang saling melengkapi. Masing-masing keanekaragaman itu harus
disikapi sebagai produk-produk budaya yang sama-sama memiliki potensi yang berimbang dan
sederajat untuk membentuk kebudayaan Melayu baru.

Penutup
Di dalam sebuah teks sastra (baik prosa atau puisi) antara realitas dan imajinasi tidak
dapat ditentukan mana yang lebih penting karena kedua-duanya bercabang, berkelindan dan
berpagutan menjadi satu. Fakta dan iksi, faktual dan imajinatif bersenyawa dalam teks sastra.
Sudah semenjak awal kelahiran sastra Indonesia modern banyak sastrawan yang memanfaatkan
peristiwa kesejarahan sebagai sumber inspirasi kreatifnya. melalui dialektika budaya yang
terdapat di dalamnya, baik novel Bulang Cahaya maupun novel Tambo memberikan gambaran
bagaimana Melayu senantiasa berproses untuk terus membentuk “ke-Melayuannya” dengan
mengakomodasi, berdialog dan bersilangan dengan pola-pola kebudayaan lainnya.

Daftar Pustaka
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman (Terjemahan oleh Hasan Basari). 1990. Tafsir Sosial atas
Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahu an. Jakarta: LP3ES.
Cassirer, Ernst (Terjemahan Alois A. Nugroho). 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei
tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1999.Politik Ideologi dan Sastra Hibrida.. Jakarta: Pustaka Firdaus..

345
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-

Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New York:
Pantheon.
Kartodirdjo, Sartono. 1988. Modern Indonesia: Tradition and Transforma tion. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam KeIndonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Soedjatmoko. 1994. Menjelajah Cakrawala. Jakarta: PT Gramedia bekerja sama dengan Yayasan
Soedjatmoko.
Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Widijanto, Tjahjono. 2011. Sastra Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Telaah
Sastra. Surabaya: Buku Kita.

346

Anda mungkin juga menyukai