Anda di halaman 1dari 9

Anis Wahyuni

3101417025

Pend. Sejarah/5A

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan dimensi mikro dan makro dalam sejarah!
Berikan masing-masing contohnya dalam kerangka sejarah lokal!

Jawaban:
A. Dimensi Mikro dalam Sejarah

Sejarah mikro adalah investigasi sejarah yang intensif terhadap unit penelitian kecil yang
terdefinisi dengan baik (paling sering merupakan peristiwa tunggal, masyarakat desa, atau
individu). Namun, dalam ambisinya, sejarah mikro dapat dibedakan dari studi kasus
sederhana sepanjang sejarah mikro berusaha untuk “mempertanyakan permasalahan besar
ditempat yang kecil”, jika menggunakan definisi yang diberikan oleh Charles Joyner.

Contoh:

Gambar 1. Buku karya Nasirrun Purwokartun, berjudul “Penangsang: Tembang Rindu


Dendam” diterbitkan oleh Tiga Kelana, diterbitkan di Jakarta Timur pada Agustus 2010.

Gambar 2. Buku karya Nurul Hidayah, dkk. “Berjudul Sejarah dan Legenda Desa di
Temanggung, Magelang, dan Semarang.” Diterbitkan oleh CV. Pilar Nusantara pada Januari
2019.

Gambar 1 Gambar 2
B. Dimensi Makro dalam Sejarah

Sejarah Makro adalah lingkup historis yang bersifat meluas, cakupannya bukan hanya pada
lokalitas kecil wilayah atau masyarakat tertentu. Tapi mencakup berbagai lokalitas wilayah,
berbagai masyarakat, dan berbagai kebudayaan yang ada dalam satu wilayah yang luas.

Contoh:
Gambar 1. Buku karya Anisa Septianingrum dengan judul “Sejarah Asia Timur: Dari Masa
Peradaban Kuno Hingga Modern” diterbitkan oleh Gramedia Pustaka pada Juni 2017.

Gambar 2. Buku karya Marwati Djoened Poesponegoro dkk dengan judul “Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Pra Sejarah di Indonesia” diterbitkan oleh Banyumedia Publishing,
Yogyakarta pada tahun 2010.

Gambar 1 Gambar 2

2. Sebut dan jelaskan tipe-tipe sejarah lokal! Sertakan pula masing-masing contoh
dalam setiap tipe!

Jawaban:
Di Indonesia bisa dibedakan paling sedikit lima jenis penulisan sejarah lokal, yaitu:

a. Sejarah lokal tradisional

Sejarah lokal tradisional adalah hasil penyusunan sejarah dari berbagai kelompok etnik yang
tersebar di seluruh Indonesia yang sudah bersifat tertulis. Sejarah ini merupakan tipe sejarah
lokal yang pertama muncul di Indonesia. Sifat lokalitasnya mudah dimengerti karena belum
berkembangnya kesadaran akan kesatuan antar etnik dan sifat ikatan kekuasaannya masih
sangat longgar. Meskipun merupakan sejarah lokal yang pertama berkembang di Indonesia,
namun masih tetap bertahan, bukan saja sebagai warisan masa lampau komunitas, tetapi
sering juga isinya masih dipercaya sebagai gambaran sejarah masa lalu. Jadi bersifat
fungsional dalam kehidupan kelompok itu. Contohnya adalah Hikayat Aceh, Lontara, Tambo
Minangkabau, dan Babad Tanah Jawi.
Hikayat Aceh Tambo Minangkabau Lontara

Babad Tanah Jawi

b. Sejarah lokal dilentatis

Tujuan penyusunannya umumnya untuk memenuhi rasa estetis individu melaui lukisan
peristiwa masa lampau. Jadi lebih bersifat memenuhi tuntutan keingintahuan pribadi.
Biasanya mereka (para dilentatis) terutama tertarik menyusun sejarah dari lingkungannya
sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber yang umumnya dikenalnya dengan baik.
Kegairahan untuk menyusun sejarah lingkungannya sendiri biasanya berkaitan dengan rasa
bangga akan lingkungannya, misalnya daerahnya pernah menjadi markasa gerliya atau pusat
perdagangan kecil. Peran mereka cukup penting bagi studi sejarah lokal, terutama karena
mereka umumnya menggunakan sumber-sumber tangan pertama yang ada di daerahnya.
Melalui peran dilentatis, sumber-sumber tangan pertama ini bisa dikenal oleh para sejarawan
profesional terutama yang bukan berasal dari daerah tersebut. Bahkan hasi karya para
dilentatis mungkin bisa dimanfaatkan oleh sejarawan profesional, meskipun melalui proses
kritik sejarah yang cermat. Contohnya, Keadaan Jakarta Tempoe Doeloe, Robohnja Sumatera
Kami, Tjerita dari Blora.
Keadaan Jakarta Robohnja Tjerita dari
Tempoe Doeloe Sumatera Kami Blora

c. Sejarah lokal edukatif inspiratif

Sejarah lokal jenis ini disusun dalam rangka mengembangkan kecintaan sejarah, terutama
pada sejarah lingkungannya dalam rangka kesadaran sejarah nasional. Guna edukatif sejarah
berarti menyadari makna sejarah sebagai gambaran peristiwa masa lampau yang penuh arti.
Insipiratif mengandung arti, daya gugah yang ditimbulkan oleh usaha mempelajari sejarah.
Tujuan utamanya bukan semata-mata suatu kajian ilmiah, maka tidak mengherankan
kebanyakan kegiatan ini dilakukan oleh kelompok sejarawan non-profesional. Banyak
diantaranya adalah guru-guru, khususnya guru sejarah, disamping unsur-unsur masyarkat
setempat yang dianggapnya memiliki minat sejarah. Tidak jarang sejarawan profesional juga
ikut dilibatkan. Contohnya, Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi
Indonesia (Surabaya 1926-1946).

Pandangan
dan Gejolak

d. Sejarah lokal kolonial

Sejarah lokal jenis ini sebagian besar para penyusunnya adalah pejabat-pejabat pemerintah
kolonial, seperti Residen, Asisten Residen, Kontrolir, atau pejabat-pejabat pribumi atas
dorongan pemerintah Belanda. Sebagian besar dari tulisan yang bisa dikategorikan sebagai
sejarah lokal kolonial ini terutama berupa leporan dari pejabat-pejabat kolonial di daerah.
Laporan ini bisa memori serah jabatan atau laporan khusus kepada pemerintah pusat di
Batavia. Pada umumnya kelihatan ada usaha untuk mengemukakan data yang lengkap,
meskipun dengan sendirinya ada unsur subjektivitas. Sering terjadi, bahwa dalam uraian yang
disusun para pejabat itu masuk pula pendapat-pendapat mereka dalam rangka mencari
dukungan pejabat pemerintah pusat. Walaupun subjektivitas, tetapi ada uraian yang cukup
berbobot, misalnya uraian itu dilengkapi angka statistik yang cukup cermat. Contohnya,

History of Java Aceh

e. Sejarah lokal kritis analitis

Karakteristik tpe sejarah ini, sifat uraian atau pembahasan masalahnya telah menggunakan
metodologis sejarah yang bersifat ketat. Mulai dari pemilihan objek studi, langkah-langkah
atau prosedur kerja sampai ke penulisan laporan pada umumnya didasarkan pada konsep-
konsep metodologi yang mantap. Pelaksanaan penelitiannya umumnya ditangani oleh
sejarawan profesioanal. Profesionalisme bukan saja ditentukan oleh latar belakang
pendidikan, tetapi juga karena keterampilan di lapangan. Studi yang dilakukan pada suatu
peristiwa tertentu, misalnya “Pemberontakan Banten.” Studi yang lebih ditekankan pada
struktur misalnya karya Clifford Geertz tentang suatu kota kecil di Jawa Timur, Mojokuto.
Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu dari masa ke
masa, misalnya tentang perkembangan pendidikan di Sumatera Barat. Studi sejarah umum,
yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke
masa.
Pemberontakan Agama Jawa
Petani Banten
1888

3. Salah satu sumber utama dalam penulisan sejarah lokal adalah tradisi lisan dan
kumpulan dari historiografi tradisional, namun kebanyakan dari kedua jenis sumber
tersebut sangan dipengaruhi aspek-aspek mistisme. Bagaimana cara seorang sejarawan
mengatasi permasalahan ini? Sertakan contoh pendukung!

Jawaban:

Cara yang dapat dilakukan oleh Sejarawan dalam menghadapi tradisi lisan dan historiografi
tradisional yang dipengaruhi oleh aspek mistisme:

Jika kita cemati historiografi Indonesia, maka mitologi sudah hidup sejak historiografi
tradisional. Anthony H. Johns menulis “The Role of Structural Organisation and Myth in
Javanese Historiography” yang diterbitkan dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 24, No.
1. (Nov., 1964), hlm. 91-99. Dalam tulisannya, ia memaparkan bahwa mitos itu sudah ada
dalam tulisan Jawa dan Melayu, tetapi sulit untuk dinilai kebenaran fakta dari fiksi yang
ada,terutama dalam bagian pengantar. Misalnya Sejarah Melayu, sebuah kronik Dinasti
Malaka (1403-1511), Pararaton, dan Babad Tanah Jawi. Cara yang dilakukannya ketika
menggunakan dokumen berupa Pararaton dan Babad Tanah Jawi, adalah dengan
menggunakan konsep-konsep analitik dari Pararaton dan Babad Tanah Jawi melalui
perspektif budaya. Kronik-kronik yang terdapat dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi dapat
diartikan dengan tepat dalam konteks keseluruhan sistem budaya yang menghasilkannya.
Sejarawan lain, seperti dalam buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813, yang ditulis oleh Dr. Sri
Margana, beliau memberikan contoh tentang apa yang harus dilakukan sejarwan ketika
berhadap dengan sumber yang berbabu mitos. Beliau menggunakan Babad Blambangan,
Babad Semar, kakawin, Negarakertagama, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Serat Pararaton
dalam mengungkap sejarah Blambangan. Oleh karena itu, sejarawan harus bersikap hati-hati
ketika berhadapan dengan dokumen tradisonal, perlu penguasaan konsep-konsep tertentu,
sepeti konsep analitik yang dilakukan oleh John sehingga akan diperoleh bukti-bukti sejarah
yang jauh dari mitos.

4. Cari satu buah buku sejarah lokal (tipe bebas). Silahkan review buku tersebut
dengan melihat kelebihan dan kekurangan buku tersebut (kerjakan minimal satu
halaman kertas A4)!

Jawaban:

A. Identitas Buku

Judul : Perang Konvoi: Sukabumi-Cianjur 1945-1946

Penulis : Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi, dan Jajang Suryani

Penerbit : Matapadi Pressindo, Yogyakarta

No. ISBN : 9786021634172

Tahun Terbit : 2016

Jumlah Halaman : 202 halaman

B. Judul

“Review Buku Perang Konvoi: Sukabumi-Cianjur 1945-1946”


C. Ringkasan Buku

Perang Konvoi yang berlangsung di front Jawa Barat, beberapa bulan setelah proklamasi,
hanyalah satu dari peristiwa penting sejarah yang belum sepenuhnya terdokumentasi. Allied
Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jendral Sir Philip
Chritison (Inggris) sebagai perwakilan Sekutu, memasuki Indonesia untuk menjalankan misi
Internasional melucuti serta memulangkan balatentara Jepang, dan mengirimkan perbekalan
serta memulangkan tawanan perang dan interniran atau Allied Prisoners of War and Internees
(APWI). Misi yang seharusnya berjalan damai, sayangnya berubah menjadi medan perang
baru bagi tentara Inggris. Perkembangan yang mencemaskan ini tidak terlepas dari peran
Belanda yang mendompleng masuk di belakang Sekutu.

Perang Konvoi yang terjadi di sepanjang jalan antara Bogor-Cianjur-Sukabumi-Bandung


berlangsung dalam dua periode. Perang pertama terjadi pada 9-12 Desember 1945 dan
berpusat di Bojong Kokosan. TKR bersama barisan laskar berhasil memukul konvoi Sekutu
meski dengan persenjataan seadanya. Perang kedua terjadi pada 10-14 Maret 1946 dan
puncaknya terjadi saat pengepungan terhadap tiga batalion Inggris di tengah kota Sukabumi.

Aksi TRI bersama barisan laskar menjadi mimpi buruk bagi tentara Inggris. Bahkan para
tentara Gurkha dari Nepal dan Batalyon Jats dan Patiala dari India yang sudah sangat terkenal
sebagai mesin perang yang menakutkan dibuat tidak berdaya menghadapi gempuran pejuang
Republik.

Kekalahan ini meyakinkan Inggris dan Sekutu akan keberadaan TRI sebagai kesatuan tentara
regular di bawah negara yang berdaulat. Peristiwa ini juga, bersama dengan perang “Bandung
Lautan Api”, memaksa Sekutu kembali memasuki meja perundingan dan akhirnya bersedia
melibatkan pihak Indonesia dalam misi APWI. Lewat perundingan di Yogyakarta tanggal 2
April 1946, yang disebut “Djogjakarta Agreement, kemudian dibentuk suatu badan
pelaksanaan yang dinamai POPDA (Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI),
terdiri dari tenaga sejumlah instansi pemerintah yang terkait, dengan berintikan TRI untuk
membantu misi Sekutu.

Perang Konvoi adalah sebuah catatan prestasi penting bagi TRI, khususnya Resimen
Sukabumi bersama barisan Hizbullah, Sabilillah, Pesindo, Banteng, Pemuda Proletar, KRIS,
PRD, Laskar Merah dan laskar lainnya di bawah koordinasi komando Letkol Eddie Soekardi.
Kemenangan ini menjadi bagian dari sejarah keberhasilan TKR/TRI sebagai tentara
profesional Indonesia dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
di kancah Internasional.

C. Isi

Buku dengan judul “Perang Konvoi: Sukabumi-Cianjur 1945-1946” ini cukup menarik
karena berisi tentang satu dari peristiwa penting sejarah yang belum sepenuhnya
terdokumentasi. Pertama kali melihat buku ini saya mengamati sampulnya yang cukup
menarik perhatian karena gambar dan warna yang serasi, sesuai tema dan tata letak tulisan
yang simbang, dengan melihat desain sampulnya saya sudah dapat membayangkan tulisan
semacam apa yang akan dibahas. Saat mulai membaca, saya merasa terbantu dengan adanya
gambar-gambar real dan ilustrasi-ilustrasi yang mewakili cerita sejarah yang dibahas. Bahan
kertas yang digunakan juga berkualitas baik sehingga saya tidak merasa kesulitan saat hendak
membuka bab berikutnya. Dibagian akhir buku juga dilengkapi dengan lampiran-lampiran
berisi gambar para tokoh sejarah dalam perang konvoi sehingga saya tidak hanya menerka-
nerka tapi juga dapat melihat sosok yang dimaksudkan. Bahasa yang digunakan mudah
dipahami saya seolah-olah membaca novel sejarah yang menarik. Sayangnya tata letak atau
layout buku ini masih harus diperbaiki karena cukup mengganggu saat mulai membaca.
Konten Bahasan yang ada di dalamnya mencakup BAB 1. NICA di Belakang Sekutu, BAB 2.
Sekutu di Jawa Barat, BAB 3. Sukabumi di Ambang Perang, BAB 4. Perang Konvoi I, BAB
5. Mencari Jalan Damai, BAB 6. Konsolidasi di Masa Damai yang Rentan, BAB 7. Perang
Konvoi II, 10-14 Maret 1946, BAB 8. Kirikumi, BAB 9. Mimpi Buruk Wingrove, BAB 10.
Mengepung Sukabumi.

d. Penutup

Secara garis besar saya merekomendasikan buku ini bagi mereka yang ingin mengetahui
lebih dalam mengenai revolusi fisik Agresi Militer Belanda 1 dan ingin menguak lebih lanjut
tentang perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang di Sukabumi dan Cianjur. Jika
diharuskan untuk menilai dengan angka maksimal 100, maka saya akan memberi nilai 90
karena kelebihan-kelebihan buku ini yang telah saya bahas sebelumnya. Pun demikian tidak
ada yang benar-benar sempurna dalam sebuah karya, tentu ada kekurangan yang perlu untuk
direvisi. Saya berharap jika buku ini kelak akan dicetak ulang, editor perlu memberikan
performa yang lebih baik agar tidak pembaca tidak merasa terganggu dengan layout dan tata
letak.

Anda mungkin juga menyukai