Anda di halaman 1dari 11

Pemanfaatan Film Kolosal Dalam Mengembangkan Rekontruksi Suatu Peristiwa

Di Indonesia

BAB I
Pendahuluan
1. Latar belakang
Rekontruksi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sejarawan,
melihat kembali peristiwa masa lampau melalui kaca mata sejarah agar
dapat diambil teladan yang berguna bagi khalayak ramai. Didukung
perkembangan zaman, rekontruksi sejarah tidak lagi hanya memeanfaatkan
media tulisan dalam bentuk kitab yang ditulis oleh empu-empu kerajaan,
tetapi juga berkembang menjadi sandiwara radio seperti Saur Sepuh atau
Tutur Tinular dan film –film kolosal seperti Brama Kumbara atau Angling
Dharma.
Dengan hadirnya penemuan media film rekontruksi sejarah
semakin berkembang dan beragam serta dapat dinikmati oleh masyarakat
tanpa mengenal usia, semua semua orang dapat mempelajari sejarah untuk
diambil ibrohnya. Bila dilihat dari sejarahnya indonesia memiliki banyak
kisah peradaban yang berabad-abad dapat dijadikan narasi atau jalan cerita
sebuah film. Sebagai contoh film calon arang, film yang mengangkat
peristiwa pada masa Prabu Airlangga berpusat kerajaan di Dhaha tentang
janda Nyi Calon Arang pengguna ilmu hitam atau dalam hal ini adalah
Leak yang menyengsarakan masyarakat girah ( sekarang gurah ) karena
kecewa tidak ada seorang pemuda desa manapun terutama dari dhaha yang
mau melamar anak semata wayangnya dengan Mpu Kutturan yaitu Ratna
Manggali.
Kitab – kitab kuno seperti Pararaton, Negarakertaggama,
Jangkajayabhaya, dan lain sebagainya. Merupakan merupakan pemulaan
orang jaman dahulu yang paham sastra dan orang berada. Merekontruksi
peristiwa dengan apa yang dilihat, didengar, dan difahami tergantung
motif penulis kitab zaman dulu. Masalah yang ditimbulkan dalam media
kitab ini tentu dapat dibilang membosankan dan hanya orang – orang
tertentu yang mau mempelajari kitab kuno tersebut selain sejarawan.
Solusi dari masalah, mengapa kebanyakan orang selain sejarawan
bosan mempelajari serat atau kitab – kitab kuno ? karena sedikit dari
kebanyakan orang menganggap tidak menarik untuk dipelajari selain
bentuk fisik juga bahasanya kurang dapat dimengerti. Oleh karena itu
dengan hadirnya atau terciptanya media film orang dapat terhibur dengan
tampilan ilustrasi atau reka ulang peristiwa sejarah tertentu selain itu
bahasanya juga mulai disesuaikan dengan bahasa indonesia baik dan benar
serta dapat menjadi media pembelajaran sejarah yang menyenangkan.

2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang, makalah ini terdapat beberapa
rumusan masalah yang ingin dipaparkan. Antara lain:
2.1. Bagaimana sejarah awal historiografi atau penulisan sejarah dalam
merekontruksi peristiwa media kitab atau serat?
2.2. Bagaimana efektivitas dari rekontruksi sejarah media film?

3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, makalah ini bertujuan untuk
memaparkan:
3.1. Sejarah awal historiografi atau penulisan sejarah dalam merekontruksi
peristiwa media kitab atau serat.
3.2. efektivitas dari rekontruksi sejarah media film
BAB II
Pembahasan

2.1. Sejarah awal historiografi atau penulisan sejarah dalam merekontruksi


peristiwa media kitab atau serat.
Pada bab pertama di point latar belakang sudah disebutkan bahwa hanya
sebagian kecil orang termasuk yang bekerja dibidang berkaitan dengan sejarah
tertarik mempelajari kitab kuno, karena sebelum mempelajari kitab kuno
mereka harus belajar bahasa kuno serta hurufnya seperti bahasa jawa kuno
dengan aksara jawa kunonya, bahasa bali kuno dengan aksara bali kunonya,
dan bahasa serta aksara kuno lainnya. Sebagai penulis makalah ini seharusnya
membandingkan naskah kitab kuno dengan naskah novel sejarah modern,
karena medianya sama dari beberapa lembar kertas yang dijilid dengan cover
yang menarik perhatian pembaca serta bahasa yang mudah dipahami dengan
sedikit gubahan namun tetap pada alur sejarah berdasarkan fakta. Lantas
mengapa penulis lebih memilih membandingkan kitab kuno dengan film
kolosal? Sebab menurut penulis jika melalui media novel pembaca
kemungkinan ada yang kesulitan berimajinasi dan harus repot – repot membaca
catatan kaki yang memuat penjelasan maksud kata yang tertulis dalam novel
tersebut, maka dengan media filmlah penonton dapat belajar sejarah sekaligus
sebagai hiburan yang merefleksi pikiran setelah beraktifitas sehari – hari yang
melelahkan serta yang tertarik dengan peristiwa yang ada di film dapat
dipelajari lebih mendalam lagi. Seperti buku refrensi, literatur, atau internet.
Berlanjut tentang pembahasan awal dalam historiografi atau penulisan
sejarah dalam merekontruksi peristiwa media kitab kuno. Zaman dahulu
sebelum menemukan ide membuat lembaran kertas. Orang zaman dulu menulis
menggunakan bahaan seadanya seperti daun, batang bambu yang potong tipis
menyerupai lembaran, tanah liat, prasasti dari batu atau logam atau pun
tembaga, dan lain sebagainya. Bahan yang paling terkenal adalah daun lontar
dengan panjang 30 cm dan lebar 10 cm serta tetap disebut kitab kadang –
kadang juga disebut serat atau pun babad.
Historiografi terbentuk dari dua akar kata yaitu history (sejarah) dan graph
(tulisan).  Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat
ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem
oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan
berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja
penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang
dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis
tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga
tidak menggunakan metode penelitian.

2.1.1. Historiografi tadisional


Menurut titi, wahjudi, dan endah ( 2015 : 1) naskah kuno atau manuskrip
sebagai warisan budaya masa lalu berisi gambaran berbagai aspek kehidupan. Aneka
hasil budaya tercemin dalam naskah warisan leluhur. Naskah ada yangb berisi
ajaran, piwulang, pendidikan, pesan moral, cerita fiktif (pewayangan, panji,
dongeng, dan sebagainya), tradisi leluhur, kisah masa lalu, sejarah tradisional,
pengobatan tradisional dan sebagainya. Naskah kuno dengan beragam
kandungannya itu merupakan warisan tak ternilai bagi kehidupan masyarakat. Akan
tetapi, banyak naskah kuno yang belum terjamah sehingga isinya belum diketahui
oleh masyarakat luas. Dengan mengkaji, menelaah, dan menyebarluaskan
kandungan isinya maka nilai – nilai yang terdapat dalam naskah kuno akan diketahui
oleh masyarakat luas.
Tidak sedikit karya budaya warisan naskah kuno berisi cerita sejarah, yang
merupakan gambaran dunia nyata pada masa lampau atau kisah –kisah kehidupan
masa lalu,sebagai dokumentasi atas peristiwa, asal mula, situasi, atau bangunan
tertentu. Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak
penulisan  sejarah  yang  banyak  ditulis  oleh para  pujangga  kraton,  karya-
karya  mereka  bertujuan   untuk   melegitimasi   kedudukan   raja.   Dengan  
demikian, historiografi pada masa ini mempunyai ciri-ciri magis, religius, 
bersifat  sakral,  menekankan  kultus,  dewa  raja  dan mitologi, bersifat
anakronisme,  etnosentrisme,  dan  berfungsi  sosial  psikologis  untuk  memberi 
kohesi  pada  suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu
dinasti.
Semua naskah kuno itu naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair).
historiografi tradisional berkembang setelah suatu kelompok dalam masyarakat
Indonesia membentuk suatu kesatuan politik. Dengan timbulnya kerajaan atau
kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan politk, dibina pula historiografi yang
menghasilkan naskah sebgai karya sastra sejarah. Pembinaan historiografi
diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai daerah di Indonesia. Karya sastra
sejarah yang dihasilkan terdiri dari naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah
dan sejarah di dalamnya masih difungsikan sebagai mitos.
Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan
keraton ini hasil karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya
sejarah yang berbentuk historiografi tradisional bercorak Hindu/ Buddha seperti
Babad Tanah Pasundan, Babad Parahiangan, Babad Tanah Jawa, Pararaton,
Nagarakertagama, Babad Galuh, Babad Sriwijaya. Sedangkan karya historiografi
tradisional yang bercorak Islam seperti Babad Cirebon, Babad  Banten, Babad
Dipenogoro, Babad Demak, Babad Aceh dan lain-lain.
Karakteristik Historiografi Tradisional adalah sebagai berikut :
2.1.1.1. Bersifat istana/kraton sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak
mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya
rakyat jelata tidak  mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata
dianggap a-historis.
2.1.1.2. Bersifat Religio-magis, artinya dalam historigrafi tradisional seorang
raja ditulis sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah,
dianggap memiliki kekuatan gaib. Tujuannya agar seorang raja mendapat
apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya, sehingga rakyat takut, patuh, dan
mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan memandang, bahwa seorang raja
keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai perwujudan atau perwakilan
dari Tuhan.
2.1.1.3. Bersifat regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada
kedudukan sentral raja, sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai
contoh, ada historiografi tradisional dengan memakai judul dari nama wilayah
kekuasaannya, seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.
2.1.1.4. Bersifat etnosentris artinya dalam historiografi tradisional ditulis
dengan penekanan pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya
yang ada dalam wilayah kerajaan.
2.1.1.5. Bersifat psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis
oleh para pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang
raja, sehingga karya historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh
sang raja dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu
terlampau heran kalau karya historiografi tradisional oleh masyarakat
setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh dengan fatwa
para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Karena banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan
sejarah budaya dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil
kebudayaan di masyarakat dan banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis
naskah atau masyarakatnya. Melukiskan kenyataan jauh dari fakta yang
sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan fakta. Namun historiografi
tradisional dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber untuk penulisan
sejarah karena masih dapat mengambil nama tokoh, nama wilayah/daerah dan
tahun kejadian.

2.1.2. Historiografi modern


Menurut Rintani Johan Pradana (dalam Lohanda, 2011: 190) yang disampaikan
sebagai materi dalam workshop penulisan jurnal 19 Desember 2016, historiografi :
sebuah hasil yang tak pernah sudah bahwa karya sejarah dihasilkan melalui
penelitian lebih lanjut. Penilitian merupakan sebuah kegiatan untuk mencari
pemahaman lebih lanjut atas sebuah permasalahan. Penelitian juga memiliki suatu
kontribusi yang besar dalam dunia akademik untuk memberikan sumbangasih
terhadap kemajuan dunia akademik begitu pula dengan penelitian sejarah. Proses
penelitian sejarah hingga tahap historiografi akan menghasilkan sebuah tulisan yang
memberikan sebuah temuan- temuan baru terkait suatu peristiwa sejarah. Penulisan
merupakan suatu hal yang menentukan keberhasilan seorang sejarawan sebagai
peneliti yang telah melakukan serangkaian proses mulai dari riset – penulisan dan
publikasi.
Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam
mendapatkan fakta sejarah. Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode
penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan dan
rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu periode baru dalam perkembangan
historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah kritis. Dalam
penulisan tentang sejarah kritis dipergunakan prinsip-prinsip metode sejarah.
Studi sejarah kritis juga memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk
mempertajam analisanya. Hal ini merupakan implikasi dari mulai sedikitnya
peran analisa tekstual dengan  bantuan filologi terhadap studi sejarah Indonesia
modern. Di sini yang harus diperbaiki adalah alat-alat analitis serta
metodologis.
Bertolak dari hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial
mulai dicantumkan dalam studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit
makro merupakan kerangka referensi bagi sejarah lokal/regional yang dapat
dipandang sebagai unit mikro. Sejarah nasional sebagai macro-history
mencakup interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran,
perdagangan, perang, penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan
antara lembaga-lembaga nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional
bukan jumlah dari sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian
pada tingkat sejarah lokal diterangkan dalam hubungannya dengan proses
nasional.
Historiografi modern, merupakan suatu periode perkembangan baru
dalam historiografi  Indonesia atau nasional. Diawali dengan munculnya karya
Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen van de Sejarah  Banten, 
kemudian  karya-karya sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh
karya ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk
melengkapi  atau  menulis  suatu  karya  sejarah. Di jaman Jepang, Sanusi Pane
dan Douwes Dekker sudah memelopori menulis Sejarah Indonesia dengan
semangat nasionalisme. Karya mereka walaupun dari sudut ilmiah tidak
mendapat penilaian yang tinggi, namun telah banyak membantu guru yang
mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan jaman berikutnya.
Sejumlah tulisan sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan
metodologis untuk menangani masalah-masalah penulisan sejarah nasional
Indonesia, secara komprehensif dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali
dengan judul Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang
menerapkan metode yang sophisticated dengan pendekatan neo sosial ilmiah
dengan menggunakan konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial.
Pendekatan yang digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula antara
sejarah naratif dan non naratif.
Sejarah naratif, sebagai hasil dari historiografi konvensional,
menyusun cerita untuk membuat deskripsi tentang masa lampau dengan
merekontruksi “apa yang terjadi” melalui seleksi “kejadian-kejadian” penting
yang diatur menurut poros waktu dalam urutan kronologis. Sedangkan sejarah
non-naratif tidak menyusun cerita yang merangkaikan deretan peristiwa
menurut poros waktu, tetapi berpusat pada masalah (problem oriented).
Karakteristik historiografi modern adalah sebagai berikut :
2.1.2.1. Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia
diinterpretasikan sebagai sejarah nasional dan ditulis dari sudut kepentingan
rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional adalah “membongkar dan
merevisi”  historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh
para sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan,
khususnya pembangunan sikap mental bangsa   (terutama generasi muda)
Indonesia dewasa ini.
2.1.2.2. Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia
menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk
ilmu sosial.
2.1.2.3. Bersifat kritis historis, yang berarti substansi penulisan sejarah
Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

2.2. Efektivitas dari rekontruksi sejarah media film


Efektivitas merupakan sebuah kata yang umum untuk menunjukan sebuah
pengaruh suatu kebijakan tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan
sebelumnya baik kelebihan maupun kelemahan. Efektivitas merupakan tolok
ukur keberhasilan dari tujuan akhir yang hendak dicapai. Adanya efektivitas
diharapkan dapat melihat pembenahan sign system yang telah ada untuk menarik
minat penonton. Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan
prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk
menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas
menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan, jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi
efektivitasnya. Dengan demikian, efektivitas adalah pemanfaatan sumberdaya,
sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan
sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya.
Hubungan efektivitas dengan sign system yaitu keduanya ingin menunjukkan
keberhasilan dari tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Sign system jika
diterjemahkan secara langsung berarti sistem penanda, namun Sign system atau
sistem rambu dapat kita artikan sebuah sistem yang mengatur alur informasi
tertentu atau pesan tertentu dengan menggunakan media tanda sebagai sebuah
pesan. Umumnya sign system erat kaitannya dengan elemen visual dan terkait
dengan unsur arsitektural sebagai medium dari sign system tersebut. Sign system
merupakan bagian dari sebuah istilah yang dikenal dengan wayfinding, yaitu
sebuah metode yang mengatur atau mengarahkan orang melalui media sistem
rambu, agar mengikuti sesuai dengan yang diinginkan apalagi genre kolosal yang
memang serba besar pengeluarannya.
2.2.1. Kelebihan Rekontruksi Sejarah Media Film
2.2.1.1. prinsip penggunaan bahasa film. Komunikasi yang tercipta
melalui media film hanya berjalan satu arah yakni kepada komunikan atau
menonton. Dimulai dari gambar yang memang sebagai sarana utama
dalam film karena menjadi daya tarik tersendiri diluar alur cerita sehingga
lebih bisa mempertajam atau menarik perhatian penonton, disamping set,
properti, dan tata cahaya yang mempesona serta pendukung suasana/mood.
Kedua suara/audio sebagai sarana penunjang untuk memperkuat atau
mempertegas informasi yang hendak disampaikan melalui bahasa gambar
karena sound effect dan ilustrasi musik akan sangat berguna untuk
menciptakan mood atau suasana kejiwaan, memperkuat informasi
sekaligus mensuplai, atau pun mempertegas informasi. Dan terakhir
keterbatasan waktu dalam arti hanya informasi penting saja yang diberikan
sehingga tidak membingungkan imajinasi penonton.
2.2.1.2. Seni memahami karakter penonton. Dalam seni memahami
penonton yang pertama kemampuan menduga karena salah satu keasyikan
penonton yang harus dihargai adalah kemampuan menduga dan rasa ingin
tahu. Kedua faktor penurut yaitu ketika penonton cenderung menuruti alur
dan informasi yang diberikan meskipun informasi secara sengaja informasi
utama disembunyikan sehingga mereka salah mengerti atau salah
menduga. Ketiga indentifikasi yaitu setiap penonton cenderung tertarik
pada tokoh yang baik atau yang memiliki kemampuan hebat sehingga
mengidentifikasikan terbawa secara emosional kepada tokoh
tersebut( seolah dirinya tokoh tersebut. Dan keempat kemampuan
kalkulasi yaitu menitikberatkan pada keinginan penonton untuk
menghitung alur pemecahan masalah.
2.2.1.3. Mekanisme produksi seperti tahap –tahap yang biasa dilalui
dalam proses produksi. Pertama mengolah ide cerita agar arahan nya jelas
tidak melenceng jauh dari ide dasar. Kedua skenario draft awal yang telah
disetujui produser untuk kemudian dikembangkan ataupun disusutkan
guna mendapatkan draft final skenario ( diskusi antara produser, sutradara,
dan penulis skenario). Ketiga menyusun kru produksi dibalik layar untuk
perencanaan kebutuhan dalam film yang disepakati. Keempat melengkapi
formulir produksi guna menghasilkan pendoman produksi secara lengkap
sebagai petunjuk pelaksanaan dilapangan. Kelima casting pemeran yang
sesuai baik dari pembawaan naskah, akting, ataupun postur tubuh yang
sesuai dengan tuntutan skenario dan sutradara. Keenam reading and
rehearsal talent yaitu memantapkan karakter bila perlu dikarantina dalam
satu tempat khusus untuk beradaptasi antara satu sama lain dan fokus pada
film yang diperankan. Ketujuh menentukan lokasi yag tepat. Kedelapan
penyiapan perangkat roduksi agar bisa sesuai jadwal. Kesembilan briefing
produksi agar sesuai mekanisme dan produksi kerja. Kesepuluh shooting .
kesebelas evaluasi kerja produksi. Keduabelas editing seperti visual or
sound effect. Dan ketigabelas penayangan film perdana yang harapannya
penonton dapat tertarik dengan cerita sejarah dan menambah pengetahuan.
2.2.2. Kelemahan Rekontruksi Sejarah Media Film
2.2.2.1. prinsip penggunaan bahasa film. Dimulai dari gambar yang
memang sebagai sarana utama sehingga perlu teknik kamera mumpuni dan
casting pemain yang ideal. Kedua suara/audio harus pas dengan adegan
agar rekontruksi sejarah lebih hidup. Dan terakhir keterbatasan waktu
dalam arti hanya informasi penting karena untuk mempersingkat kurun
waktu yang bisa berjam – jam merekontruksi bila sesuai dengan
kronologinya dan hanya bagian menarik yang ditampilkan jadi jika
berbentuk sinetron pun membutuhkan waktu.
2.2.2.2. Seni memahami karakter penonton. Dalam seni memahami
penonton yang pertama kemampuan menduga karena bila penonton sudah
tahu alurnya akan membosankan, namun tergantung sutradara mengolah
film kolosal tersebut. Dan terakhir kemampuan mata serta telinga, namun
ketika salah satunya sudah menjadi andalan penonton kerepotan saat
berimajinasi dan takut dan imajinasinya keliru.
2.2.2.3. Mekanisme produksi seperti tahap –tahap yang biasa dilalui dalam
proses produksi. Mengolah ide cerita agar arahan nya jelas tidak
melenceng jauh dari ide dasar dan hal inilah yang sering karena hanya
mengejar rating banyak melenceng seperti segi emosionalnya yang lebih
ditonjolkan.
2.2.2.4. Mengeluarkan biaya banyak seperti gaji figuran dan properti yang
sesuai termasuk kostum.

Anda mungkin juga menyukai