Anda di halaman 1dari 14

BAB II

SEJARAH SASTRA INDONESIA

2.1 Bidang Sejarah Sastra


Seperti umumnya bidang garapan sejarah, sejarah sastra pun pada dasarnya adalah
pembicaraan mengenai peristwa-peristiwa penting. Peristiwa-peristiwa itu dibicarakan terurut
secara kronologis sehingga tergambar adanya sebuah perkembangan.
Tentu saja yang dimaksud peristiwa penting dalam sejarah sastra adalah peristiwa-
peristiwa kesastraan, bersangkutan dengan lahirnya karya -karya sastra, pengarangnya,
kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, dll. serta situasi sosial-budaya-politik yang
melatarbelakangi terjadinya peristiwa penting itu.
Pada kenyataannya tidak setiap karya mendapat pembicaraan yang sama luasnya.
Demikian pula, mengenai pengarang. Hal itu bergantung pada pentingnya kedudukan karya
atau pengarang yang bersangkutan dalam masanya atau dalam hubungan dengan masa
selanjutnya.
Para penulis sejarah sastra sangat mungkin mempunyai pandangan yang berbeda
dalam menentukan mana yang lebih penting. Karena itu, buku-buku sejarah sastra yang
ditulisnya sering menunjukkan adanya perbedaan penekanan. Lebih jauh dari itu, para penulis
yang melihat pentingnya peranan seorang atau beberapa orang pengarang, maka lalu menulis
buku tersendiri tentang mereka. Demikian pula, para penulis yang melihat pentingnya karya-
karya sastra dari suatu masa (periode) maka lalu menerbitkan antologi dengan pembahasan
kesejarahan, khusus untuk peniode itu.
Terjadinya perbedaan mengikhtisarkan perkembangan sejarah sastra Indonesia, ke
dalam bentuk periodisasi, serta tentang perselisihan paham mengenai lahirnya sebuah
angkatan, juga bisa dipahami sebagai adanya perbedaan pandangan di kalangan para ahli
tentang peristiwa-peristiwa penting itu.

2.2 Pengertian Sejarah


Pelajaran sejarah tidak asing lagi bagi siapa pun lulusan atau tamatan sekolah
menengah atas (SMA). Akan tetapi, ilmu sejarah di Indonesia terbilang tidak populer. Usianya
juga relatif masih muda kalau dihitung dari pertumbuhannya pada akhir tahun 1950- an.
Padahal manfaatnya sering dikatakan penting oleh para ahli dan penguasa. Misalnya, sering
terdengar slogan “jangan melupakan sejarah” dalam pidato politik. Maksudnya agar
masyarakat mau belajar dari pengalaman masa lampau dengan harapan memperoleh masa
depan yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya, menurut Kuntowijoyo (1994: 17) sejarah
masih merupakan barang mewah yang sedikit peminatnya.
Sementara itu, pendapat Moedjanto (1994) menegaskan kesyukurannya bahwa di dunia
ini masih ada ilmuwan sosial dan humaniora, bahkan ilmuwan eksakta, yang mempunyai
keyakinan bahwa dunia tidak hanya memerlukan insinyur, industriawan, dan bankir. Mereka
berkeyakinan demi tertib dunia masa sekarang dan masa datang manusia memerlukan pelbagai
disiplin ilmu, termasuk sejarah. Disiplin sejarah, bersama dengan pelbagai disiplin humaniora
yang lain, serta disiplin-disiplin sosial, diperlukan demi pemanusiaan (hominisasi) dan
pembudayaan (humanisasi) umat manusia.
Apabila dilihat secara individual, setiap orang dewasa pasti telah memiliki sejarah atau
riwayat hidupnya sendiri. Seorang remaja yang mulai memasuki dunia perguruan tinggi dapat
membuka catatan harian atau ingatan dan kenangan pribadinya tentang banyak hal yang sudah
terjadi di masa lampau. Misalnya, mengingat kembali kampus sekolahnya, kawan-kawannya,
guru-gurunya, dan pelbagai peristiwa yang penuh kenangan. Tentu saja tidak mungkin seluruh
pengalaman masa lampau itu teringat kembali karena keterbatasan daya ingat manusia.
Biasanya pengalaman yang teringat terbatas pada hal-hal yang luar biasa, hebat,
berkesan, dan terikat juga oleh rentang waktu kehidupannya. Semakin jauh jarak pengalaman
dengan kekinian seseorang maka terjadilah kekaburan atau kelupaan, kecuali terdukung oleh
bukti-bukti sejarah atau riwayat pribadi, seperti foto-foto, dokumen, buku harian, dan
pengakuan orang lain. Ketika seseorang mengingat-ingat atau mengenang kembali pengalaman
masa lampau sebenarnya sedang merekonstruksi sejarah sesuai dengan tafsiran atau
kepentingannya sendiri. Apa yang dianggap penting bagi dirinya belum tentu tampak penting
juga di mata orang lain.
Apabila pengalaman pribadi itu disusun dan ditulis secara sistematis maka jadilah buku
biografi seperti yang sudah banyak diterbitkan orang belakangan ini. Contoh klasik adalah
biografi Ir. Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia (1966). Kemudian terbitlah biografi Hatta, Soeharto, Adam Malik, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, P.K. Ojong, Titiek Puspa, dan lain-lain. Penulisan biografi tokoh mana
pun pasti berdasarkan anggapan dan kesadaran bahwa ada banyak hal yang penting dan sangat
pribadi dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat zamannya.
Kepentingan itu dapat bergeser menjadi kepentingan kelompok, seperti keluarga,
rukun tetangga (RT), kelurahan, kota, negara, partai, dan organisasi. Sejumlah pribadi di
suatu RT misalnya dapat membangun kesepahaman atau kesepakatan tentang apa saja yang
penting dalam riwayat atau sejarah RT. Kalau hal itu diperluas maka jadilah kesepahaman
tentang sejarah kota, provinsi, negara, dan lain-lain. Kesepahaman itu tidak cukup didasarkan
pada pengalaman pribadi, tetapi harus didasarkan pada pengalaman banyak orang atau
peristiwa-peristiwa objektif yang pernah terjadi. Apabila pengalaman itu disusun dan ditulis
dengan pendekatan tertentu maka jadilah apa yang disebut sejarah.
Dalam tradisi pemerintahan kerajaan di Jawa telah populer apa yang disebut babad,
seperti Babad Tanah Jawi, Babad Demak, dan Babad Giyanti. Babad merupakan catatan atau
rekaman peristiwa masa lampau sebagaimana dikehendaki oleh penguasa tertentu. Dalam
pengantar Babad Tanah Jawi (Rochyatmo dkk, 2004: xi), misalnya, disebutkan bahwa babad
adalah cerita rekaan yang berdasarkan peristiwa sejarah. Istilah ini juga dipakai dalam makna
yang sama dalam kesusastraan berbahasa Sunda, Bali, Lombok, dan Madura. Babad
merupakan salah satu genre di antara sekian banyak karya sastra Jawa yang mengisahkan
cerita sejarah. Sasarannya adalah asal-usul, pertumbuhan, dan perkembangan kelompok
masyarakat setempat.
Tentu saja ilustrasi singkat itu belum mencerminkan pengertian sejarah secara ilmiah
atau akademis. Akan tetapi, dapat dipergunakan sebagai titik tolak pembicaraan sejarah yang
sebenarnya tidak asing lagi bagi banyak orang. Kalaupun pemahaman ilmiah terhadap sejarah
apa pun belum seperti yang diharapkan para ahli, tidak berarti sia-sadalah upaya ilmiah setiap
ahli sejarah untuk terus menerus menyatakan pendapat. Sementara itu, pengetahuan
elementer mengenai teori dan metode sejarah di kalangan masyarakat luas pastilah
bermanfaat bagi pengembangan ilmu sejarah dan masa depan bangsa. Dalam hubungannya
dengan pelajaran sejarah sastra Indonesia, kiranya jelas diperlukan juga pengetahuan
elementer mengenai teori dan metode sejarah agar berkembang pemahaman yang dinamik di
kalangan mahasiswa yang kelak akan menjadi ahli-ahli sastra Indonesia.
Dalam Mengerti Sejarah (Gottschalk, 1975) dijelaskan secara panjang lebar
pengertian sejarah (history) yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti ‘ilmu’.
Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai
seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan faktor atau tidak di dalam
pertelaan. Pengetahuan itu masih tetap hidup dalam bahasa Inggris dengan sebutan natural
history. Namun, dalam perkembangan kemudian, kata Latin scientia lebih sering
dipergunakan untuk menyebut pertelaan sistematik nonkronologis mengenai gejala alam,
sedangkan istoria biasanya dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala (terutama
hal-ihwal manusia) dalam urutan kronologis.
Kini history berarti masa lampau umat manusia. Dalam bahasa Jerman terdapat kata
Geschichte, dan kata geschehen (= terjadi) yang selanjutnya sering dipakai untuk pengertian
pelajaran sejarah. Dalam pengertian itu, tergambar ketidakmungkinan masa lampau umat
manusia untuk direkonstruksi. Sebab, pengalaman umat manusia di masa lampau sangat
banyak untuk diingat kembali, direkam, dan dicatat, apalagi direkonstruksi. Dengan kata lain,
masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Dalam
kehidupan semua orang, pastilah ada peristiwa, orang, kata-kata, pikiran-pikiran, tempat-
tempat, dan bayangan-bayangan yang ketika terjadi sama sekali tidak menimbulkan kesan
atau yang kini telah dilupakan.
Lebih daripada itu, pengalaman suatu generasi yang telah lama mati yang sebagian
besar di antara anggotanya tidak meninggalkan rekaman-rekaman atau yang rekaman-
rekamannya tidak pernah sampai ke tangan sejarawan, tidak mungkin diingat kembali secara
lengkap. Dengan demikian, rekonstruksi masa lampau umat manusia merupakan tujuan yang
sebenarnya tidak akan pernah tercapai. Akan tetapi, ada kesadaran masyarakat mana pun
untuk memandang masa lampau sebagai salah satu cara memperoleh identitas, patriotisme,
atau kebanggaan walaupun cara pandang itu belum tentu berarti sejarah.
Masa lampau itu dapat digambarkan atau dibayangkan secara imajinatif tanpa
mempertimbangkan kebenarannya secara berlebihan, tetapi dapat juga dideskripsikan secara
ilmiah berdasarkan sumber dan metode tertentu. Dengan kemungkinan pertama itu sejarah
boleh dipandang sebagai seni sastra (cerita rekaan), sedangkan dengan kemungkinan kedua
jelaslah sejarah sebagai ilmu. Tujuannya adalah mendekati sedekat-dekatnya suatu masa
lampau yang telah lenyap yang merupakan suatu proses objektif dan bukannya kepastian
eksperimental mengenai suatu realitas objektif. Sejarah berusaha memperoleh pendekatan
kepada kebenaran masa lampau sedekat-dekatnya, sejauh dapat dicapai dengan koreksi terus-
menerus terhadap gambaran mental dan sekaligus mengakui kenyataan bahwa kebenaran itu
telah lenyap. Dengan kata lain, tujuan sejarawan adalah gambaran objektif masa lampau yang
sedekat-dekatnya dengan realitas berdasarkan sejumlah sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bagi sejarawan, sejarah hanyalah bagian masa
lampau manusia yang dapat disusun kembali secara berarti berdasarkan rekaman-rekaman
yang ada dan berdasarkan kesimpulan mengenai lingkungannya.
Adapun rekaman atau sumber sejarah dapat berupa artefak atau benda-benda (bekas
bangunan, candi, keramik, peralatan, dan lain-lain), dokumen tertulis (surat, naskah, buku,
dan lain-lain), gambar, foto, dan kesaksian pelaku sejauh dapat dijangkau. Semua itu harus
teruji kebenarannya sehingga relevan untuk menyusun gambaran masa lampau yang
mendekati objektif. Selanjutnya, gambaran itu harus dipaparkan secara tertulis dengan kaidah
penulisan karya ilmiah agar berbeda dengan karya fiksi, seperti roman atau novel sejarah.
Secara umum objek penulisan sejarah adalah masa lampau umat manusia dengan
segala kegiatannya yang tampak pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan
secara khusus objek penulisan sejarah adalah bidang-bidang tertentu, seperti politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, kesenian, dan sastra. Setiap bidang masih dapat dibatasi lagi
pada objek yang spesifik. Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan berkembang
penulisan sejarah politik, sejarah perekonomian, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah desa,
sejarah kebudayaan, sejarah kesenian, sejarah sastra, dan lain-lain (lihat juga Sejarah Dewasa
ini oleh Yuliet Gardiner, 1996). Masih sangat banyak masalah sejarah yang pantas diketahui
siapa pun yang meminatinya, tetapi untuk sementara baiklah dibatasi sampai di sini dengan
alasan sekadar pengetahuan elementer bagi mahasiswa atau calon sarjana sastra. Tentu saja
pendalaman dan pengembangannya menjadi tanggung jawab profesi di masa depan. Akan
tetapi, pantas dicatat bahwa sarjana sastra tidak harus menjadi sejarawan lebih dahulu untuk
menulis sejarah sastra. Analog dengan hal itu, sarjana sastra tidak harus menjadi sosiolog
lebih dahulu untuk meneliti aspek sosial karya sastra. Sarjana sastra pun tidak harus menjadi
psikolog untuk mengkaji aspek psikologis tokoh-tokoh cerpen, novel atau roman. Akan
tetapi, sarjana sastra harus memahami prinsip-prinsip sosiologi, psikologi, antropologi,
filsafat, sejarah, dan lain-lain yang merupakan ilmu bantu pengkajian sastra.

2.3 Sejarah Sastra


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra
yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah
sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu,
tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa
pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Telah disinggung di depan bahwa
sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan
lain-lain.
Dalam Pengantar Ilmu Sastra (Luxemburg, 1982: 200-212) dijelaskan bahwa dalam
sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-
pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan di
luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan
perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra
di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan
pada zaman Romantik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu
bangsa. Adapun dasarnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas,
yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. Dalam hal sastra,
sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui asal
usulnya yang bersumber pada riwayat hidup pengarang dari zaman yang melingkunginya.
Tokoh yang berpengaruh besar terhadap pandangan tersebut adalah Hypolyte Tame
(1828-1893). Pandangannya menegaskan bahwa seorang pengarang dipengaruhi oleh ras,
lingkungan, dan momen atau saat. Ras adalah apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan
raganya, lingkungan meliputi keadaan alam dan sosial, sedangkan momen adalah situasi
sosio-politik pada zaman tertentu. Apabila ketiga fakta itu diketahui dengan baik maka
dimungkinkan simpulan mengenai iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang
pengarang beserta karyanya.
Ahli sejarah sastra Jerman, Wilhelm Scherer (1841-1886) mempergunakan tiga faktor
penentu, yaitu das Ererbte (warisan), das Erlebte (pengalaman), dan das Erlernte (hasil
proses belajar). Penerapannya menuntut kerja sama yang erat antara ahli fisiologi, psikologi,
linguistik, dan sejarah kebudayaan. Dia menegaskan bahwa seorang penulis sejarah sastra
harus mampu menyelami seluruh kehidupan manusia, baik jasmani maupun rohani, dalam
kebertautan yang kausal.
Positivisme telah berjasa terhadap penulisan sejarah sastra yang menghubungkan
perkembangan sastra dengan kejadian-kejadian di dalam bidang sejarah, politik, dan sosial
dengan kecenderungan terhadap data pengarang dan karya mereka disertai komentar evaluatif
si penulis. Pada perkembangan kemudian (awal abad ke 20) tampaklah munculnya teori
formalisme, strukturalisme, dan sejarah resepsi yang pantas dikaji dalam penulisan sejarah
sastra.
Formalisme dipelopori oleh dua tokoh ilmuwan Rusia, Sjklovski dan Joeri Tynjanov
yang menekankan perkembangan sastra intern. Mereka berpendapat bahwa pengamatan atau
pencerapan berkaitan dengan automatisme. Artinya, pengamatan terhadap suatu objek secara
terus-menerus akan menghasilkan penilaian yang klise sehingga objek itu sendiri justru tidak
kelihatan atau tidak dikenal lagi. Suatu objek yang akan dilihat secara sungguh-sungguh atau
mendalam harus dilepaskan dari konteksnya yang biasa. Dengan kata lain, pengamatan itu
harus diprovokasi atau dipancing sehingga objek itu kelihatan dari kebekuannya.
Sjklovski berpendapat bahwa tugas khas kesenian adalah mengajak manusia
memandang dunia yang melingkunginya dengan suatu cara baru. Dalam bidang sastra,
seorang pengarang harus berusaha mendobrak norma literer yang sedang berlaku dan
menyimpang dari yang sudah ada.
Sementara itu, Joeri Tynjanov memandang karya sastra sebagai suatu sistem dan
menekankan pada fungsi pelbagai unsur di dalam sistem itu. Unsur tertetu dapat berfungsi
dominan pada suatu masa dan digeser oleh unsur lain pada masa yang lain karena pengaruh
tradisi. Untuk menentukan unsur mana yang berfungsi paling tepat dalam sistem sastra maka
harus dilakukan penyelidikan sejauh mana unsur itu telah berakar pada tradisi. Adapun
pandangannya mengenai perkembangan sastra relatif sama dengan Sjklovski mengenai
automatisasi. Prinsipnya, perkembangan sastra harus dihubungkan dengan sistem-sistem lain
di dalam perkembangan masyarakat.
Formalisme di Rusia tidak dapat berkembang subur karena dibungkam oleh keadaan
politik, namun kemudian dikembangkan oleh kaum strukturalis Praha yang dipelopori Felix
Vodicka. Pada tahun 1942, Vodicka menulis teori penulisan sejarah sastra yang mencakup
tiga tugas utama. Tentu saja terlalu panjang untuk dipaparkan dalam buku ini, sedangkan
garis besarnya dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, analisis objektif terhadap teks sastra sehingga diperoleh efek estetik dengan
mempertimbangkan kemungkinan perubahan yang terjadi melalui perbandingan pelbagai
karya sastra. Dengan cara itu, terbuka kesempatan untuk menunjukkan arah perkembangan
sastra. Kedua, penulisan sejarah sastra bersangkutan dengan riwayat terjadinya sebuah karya
dalam hubungannya dengan dunia pengarang dan realitas sosial. Dasarnya adalah pandangan
Tynjanov dan Jakobson yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan kenyataan sosial
karena diciptakan oleh manusia yang pasti terikat dengan kehidupan sosial dan kultural.
Segala yang terdapat dalam karya sastra berasal dari pengarang, sedangkan pengarang
menimba dari pelbagai sumber. Oleh karena itu, penulisan sejarah sastra bertugas melacak
sumber-sumber yang bersangkutan.
Adapun tugas ketiga adalah penelitian resepsi karya sastra yang terbuka kemungkinan
berubah karena pengaruh subjektivitas pembaca dan perubahan kebudayaan. Resepsi adalah
penerimaan atau pemahaman pembaca terhadap karya sastra tertentu berdasarkan konsep atau
pandangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa pembaca itu jamak dan tidak hanya sezaman
dengan karya sastra tertentu. Pembaca mana pun terikat dengan norma atau pandangan yang
berlaku pada zaman masing-masing. Oleh karena itu, wajar terjadi perubahan pandangan atau
pemahaman pembaca terhadap karya sastra. Perubahan pandangan itu dapat dijelaskan oleh
sejarah sastra.
Berdasankan ringkasan tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa penulisan sejarah
sastra bukan masalah yang sederhana. Dengan mengacu kepada teori klasik itu saja sudah
tampak kerumitannya. Namun, hal itu tidak boleh mengurangi semangat siapa pun yang
berminat terhadap pengkajian sejarah sastra untuk mempelajarinya secara bertahap.

2.4 Sejarah Sastra Indonesia


Perhatian masyarakat sastra Indonesia terhadap masalah sejarah kebudayaan,
termasuk sastra, telah tampak sejak awal pertumbuhan sastra Indonesia di tahun 1930-an
sebagaimana terbaca dalam Polemik Kebudayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977).
Polemik yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Poerbatjaraka, M. Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain memang tidak secara
khusus memperdebatkan konsep kesusastraan Indonesia, tetapi telah memperlihatkan
kesadaran mereka terhadap sejarah kebudayaan Indonesia.
Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa sebutan Indonesia telah dipergunakan secara
luas dan kabur sehingga tidak secara tegas menunjuk pada semangat keIndonesiaan yang baru
sebagai awal pembangunan kebudayaan Indonesia Raya. Menurut Takdir, semangat
keIndonesiaan yang baru seharusnya berkiblat ke Barat dengan menyerap semangat atau jiwa
intelektualnya agar wajahnya berbeda dengan masyarakat kebudayaan pra-Indonesja. Namun,
pendapat yang teoretis itu dikritik oleh Sanusi Pane yang berpendapat bahwa keIndonesiaan
itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah
natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.
Menurut Sanusi Pane, kebudayaan Barat yang mengutamakan intelektualitas untuk
kehidupan jasmani tidak dengan sendirinya istimewa karena terbentuk oleh tantangan alam
yang keras sehingga orang harus berpikir dan bekerja keras. Sementara itu, kebudayaan
Timur pun memiliki keunggulan, yaitu mengutamakan kehidupan rohani karena kehidupan
jasmani telah dimanjakan oleh alam yang serba memberikan kemudahan. Oleh karena itu,
kebudayaan Indonesia baru dapat dibentuk dengan mempertemukan semangat intelektualitas
Barat dengan semangat kerohanian Timur.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa sambungan kesejarahan itu sudah ada dan tidak
boleh diabajkan. Oleh karena itu, diperlukan penyelidikan tentang jalannya sejarah sehingga
orang dapat menengok ke belakang sebagai landasan melihat keadaan zaman yang
bersangkutan dan selanjutnya mengatur hal-hal yang akan datang.
Lintasan pendapat itu mengisyaratkan kesadaran para tokoh intelektual Indonesia
tahun l930-an terhadap sejarah kebudayaan. Adapun kesadaran terhadap sejarah sastra
Indonesia makin tampak pada tahun l940-an ketika S. Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru
(1946) dan H.B. Jassin menyusun antologi Gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan
Indonesia di Masa Jepang (1948). Perhatian yang lebih bersungguh-sungguh terhadap
masalah tersebut makin tampak dalam buku A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam
Kesusasteraan Indonesia Baru (1952), buku Bakri Siregar, Sejarah Sastra Indonesia Modern
(1964), buku Ajip Rosidi Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), dan buku Jakob Sumardjo,
Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992).
Harus dicatat pula pendapat Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya (1995) dan pendapat Maman S. Mahayana dalam Sembilan
Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (2005) dan Bermain dengan Cerpen:
Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia (2006).
Di samping itu, masih tercatat pendapat-pendapat lain seperti Umar Junus, Nugroho
Notosusanto, Slamet Muljana, dan Simorangkir Simanjutak. Akan tetapi, berhubung
pendapat mereka itu sudah terserap ke dalarn buku-buku tersebut, boleh kiranya tidak
dibicarakan secara khusus dengan tetap disertai hormat dan penghargaan terhadapnya.
Bahkan terselip juga dorongan kepada siapa pun yang hendak membahasnya secara lebih
mendalam.
Sekarang baiklah disimak secara singkat pendapat Takdir Alisjahbana dan H.B.
Jassin.
Menurut Takdir, perkenalan masyarakat bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa
selama berabad-abad telah menimbulkan perubahan besar dalam gaya hidup dan pemikiran
sehingga pada abad ke-19 boleh dikatakan bangsa Indonesia telah memasuki zaman modern.
Tentu saja tidak berarti setiap individu menjadi orang modern, tetapi masih terbatas pada
kaum terpelajar yang telah mengenal kebudayaan Barat secara intensif melalui pendidikan
sekolah. Pengaruh kebudayaan Barat itu kemudian menyadarkan mereka terhadap
kemungkinan menyatakan pendapat secara individual sebagaimana yang terjadi dalam sastra
Eropa sehingga lahirlah sajak-sajak atau puisi baru yang mencerminkan individualitas
penyair (Alisjahbana, 1996: 13-15).
Apa yang tampak di mata Takdir sejalan dengan apa yang terlihat oleh H.B. Jassin
ketika menyusun antologi prosa dan puisi Gema Tanah Air pada tahun 1948. Dikatakannya
bahwa penikmatan hasil kesusastraan bukan lagi hanya soal keindahan bahasa, tetapi perlu
pula pengetahuan latar belakang kemasyarakatan dan kesejarahan. Dibedakan pula gaya
pengucapan para pengarang Sesudah perang (1945) dengan pengarang masa sebelumnya.
Menurut Jassin (1992: 16), perbedaan itu tidak terbatas pada bentuk, tetapi juga dalam gaya
yang berakar pada isi. Isi kesusastraan sesudah perang adalah kehidupan sendiri dan
berbicara tentang kesusastraan adalah berfilsafat tentang kehidupan.
Dari dua pendapat itu jelaslah pandangan terhadap kesusastraan Indonesia tidak
terlepas dari latar belakang sejarah dan kemasyarakatan. Hal itu pun tampak jelas pada buku
Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru (1952).
Dijelaskan Teeuw bahwa pembicaraan awal tentang sastra Indonesia pasti terkait dengan
sejarah pertumbuhan bahasa Melayu yang bermula pada abad ke-7 hingga kemudian menjadi
bahasa Indonesia pada awal abad ke-20 sebagaimana tercetus dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Menurut Teeuw,
Barangsiapa hendak memperkatakan kesusasteraan Indonesia, baildah dengan cara yang agak
panjang lebar membicarakan bahasa yang dipakai sebagai bahasa pengantar kesusasteraan
itu. Yang saya maksudkan bukanlah hal-hal istimewa yang terdapat pada tatabahasa dan
logatnya, hal-hal yang demikian memang penting, hanya kurang tepat, jika di sini
dibicarakan. Tetapi perlu dengan cara mendalam dipersoalkan masalah betapa bahasa itu,
yakni bahasa Indonesia, dengan tilikan selayang pandang seolah-olah secara tiba-tiba saja
telah menjadi bahasa pengantar kesusasteraan yang baru itu, sebab bagi menyelidiki
kesusasteraan itu, banyaldah yang dapat dipelajari dan dan dijelaskan oleh peristiwa
perkembangan bahasa Melayu itu menjadi bahasa Indonesia. (Teeuw, 1952: 13).
Perjalanan bahasa Melayu hingga menjadi bahasa Indonesia sebagaimana
dipaparkan panjang lebar oleh Teeuw tidaklah relevan disajikan lagi dalam buku ini dengan
pertimbangan masalah tersebut dianggap sudah populer bagi kebanyakan orang terpelajar
Indonesia zaman sekarang, sedangkan paparan Teeuw dimaksudkan sebagai bacaan
pembimbmg atau penerang bagi khalayak yang lebih luas daripada masyarakat Indonesia
sendiri. Jadi, masalah yang dipentingkan di sini terbatas pada kaitan sastra Indonesia dengan
latar sejarah masyarakat dan bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia
melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dapat dibayangkan bahwa masalah bahasa pada zaman itu terbilang rumit kanena di
samping bahasa Melayu ada bahasa-bahasa daerah yang penting, seperti Jawa dan Sunda, dan
sudah diperkenalkan juga bahasa Belanda di kalangan kaum terpelajar. Akan tetapi,
dijelaskan oleh Teeuw dengan rujukan tulisan Takdir Alisjahbana mengenai pidato-pidato
Yamin sebagai berikut.
Dengan mengetahui bahasa Melayu setiap orang akan mendapat kesempatan untuk berhubungan
dengan orang-orang Jawa, Sunda, Melayu, dan Arab, dengan siapa ia akan dapat berunding. Hal im
berlaku bagi para pegawal, pedagang, petani, yang akan berhubungan dengan kaum tengah rakyat.
Dalam kalangan ekonomi perdagangan dan dalam kehidupan politik bahasa Melayu itu telah
memperoleh kemenangan. Proses sejarah itu harus dipahamkan dahulu apabila hendak melanjutkan
pembangunan atas apa-apa yang sudah ada. Saya sendiri (baca: Yamin; penulis) di samping itu
menaruh keyakinan, bahwa bahasa Melayu itu lambat laun akan menjadi bahasa perundingan atau
bahasa persatuan satu-satunya bagi bangsa Indonesia dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa
datang akan dilahirkan dalam bahasa itu. (Teeuw, 1952: 30).

Pada pendapat Teeuw, penjadian bahasa Indonesia dan bahasa Melayu pada Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan “saat permandian” dan bahkan dapat disebut
“pengakuan keyakinan”, jadi bukan saat kelahirannya, karena prosesnya telah berjalan pada
masa sebelumnya di tangan para tokoh pergerakan nasional dan pemuda terpelajan, seperti
Muhammad Yamin, Rustam Effendi, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane,
Armijn Pane, dan J.E. Tatengkeng. Mereka itu kemudian disebut sebagai perintis dan
pembuka jalan lahirnya sastra Indonesia karena dan tangan merekalah terlahir karya sastra
yang bentuk dan semangatnya sudah berbeda dari tradisi sastra Nusantara, bahkan terbentuk
gerakan kebudayaan Pujangga Baru.
Sementara itu, ditegaskan oleh Bakri Siregar bahwa masa awal sastra Indonesia
modern tidak bisa dipisahkan dari masalah masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
perkembangan sejarahnya dan dengan alat sastra itulah tampak kesadaran sosial dan politik
bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Kutipan pendapat Bakri dapat dibaca sebagai
berikut.
Dengan demikian, sastera Indonesia modern bermula dengan lahirnya kesadaran nasional
tersebut, yang tercermin dalam hasil-hasil sastrawan dalam tingkatan dan tarap yang berbeda-sesuai
dengan masa dan lingkungannya sebagai ternyata dalam kritik sosial dan cita-cita politik yang
dikemukakannya, serta alat bahasa yang dipergunakannya.
Tidak benar jadinya untuk memulai sastera Indonesia modern baru pada Pujangga Baru dengan
alasan bahwa Pujangga Baru mengadakan pembaruan dalam sastera Indonesia. Kesadaran nasional
dalam hasil-hasil sastera Indonesia bukan baru pada Pujangga Baru sekitar tahun 1930, tapi sudah ada
pada hasil-hasil sekitar 1920, malah sebelumnya, seperti ternyata dalam hasil-hasil Mas Marco
Kartodikromo, yang baik dalam bahasa daerah Jawa maupun dalam bahasa persatuan Indonesia secara
tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodalisme.
(Siregar, 1964: 10)
Dengan pandangan seperti itulah kemudian disebutkan oleh Bakri Siregar tokoh-
tokoh Multatuli, R.A. Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan
Rustam Effendi sebagai juru bicara kesadaran sosial yang melawan kolonialisme Belanda
(Siregar, 1964: 17-30). Menurut Bakri tokoh Multatuli (Eduard Douwes Dekker, 1820-1887)
adalah orang Belanda yang humanis dan menaruh simpati besar terhadap penderitaan rakyat
Indonesia, khususnya di Jawa. Selama menjabat Asisten Residen di Lebak, Banten Selatan,
Multatuli mengetahui sendiri kezaliman para pejabat Belanda terhadap rakyat dan menuntut
tindakan tegas terhadap para pelaku. Akan tetapi, tuntutan itu tidak diperhatikan oleh
atasannya, bahkan pada akhirnya dia diberhentikan dari jabatannya. Ternyata hal itu tidak
mengurangi semangatnya membela nasib rakyat priburni, dan lahirlah karyanya yang terkenal
berjudul Max Havelaar.
Raden Ajeng Kartim (1879-1904) disebut juga sebagai juru bicara kesadaran sosial
melawan kolonialisme karena tulisan-tulisannya mengandung simpati kepada rakyat jelata
dan mengkritik kolonialisme dengan bahasanya yang lembut. Tulisan-tulisan R.A. Kartini
kemudian terkenal setelah diterbitkan dalam buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap
Terbitlah Terang), sedangkan edisi barunya terbit dengan judul Surat-Surat Kartini:
Renungan tentang dan untuk Bangsanya (tenjemahan Sulastin Sutrisno, 1979). Adapun Ki
Hajar Dewantara yang terkenal sebagai pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa diakui
ketokohannya oleh Bakri Siregar dalam konteks pendidikan dan pengajaran yang benar-benar
berpihak kepada pribumi, sedangkan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam
Effendi didudukkan sebagai tokoh-tokoh pergerakan politik dan perjuangan yang
berkesempatan juga mengarang sastra.
Dari tangan Mas Marco lahirlah Student Hijo (1919) dan Rasa Merdeka (1924); dari
Semaun lahir Hikayat Kadirun (1924), dan dari Rustam Effendi lahirlah Bebasari (1926)
yang semuanya telah menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Perjuangan
itu pun diperlihatkan oleh Bakri Siregar pada gerakan kebudayaan Pujangga Baru dengan
pernyataan bahwa Pujangga Baru sampai pada batas-batas tertentu memberikan kemungkinan
untuk saluran gerakan nasional dalam politik, mulai dari yang kiri sampai yang kanan, dari
yang sadar politik sampai pada yang tidak sadar politik, bahkan memisahkan diri dari
perjuangan politik. Dengan demikian, segi positif Pujangga Baru adalah keberhasilannya
mempersatukan pelbagai potensi dalam masyarakat sehingga meliputi lapangan kegiatan
yang luas. Akan tetapi, disayangkan bahwa Pujangga Baru memisahkan diri dari perjuangan
politik (Siregan, 1964: 79
Sekilas baca tampaklah warna atau nuansa politik yang kental pada pandangan Bakri
Siregar terhadap lahirnya sastra Indonesia. Hal itu dapat dipahami dalam kaitannya dengan
jabatan Bakri Siregar sebagai Ketua Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan
guru besar sastra Indonesia modern di Universitas Peking (1959-1963) yang dapat juga
dibayangkan tak terpisahkan dari ketokohannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
sebuah orgarisasi kebudayaan yang didirkan oleh Partai Komunis Indonesia (PM) pada tahun
1950. Kalaupun kemudian pendapat Bakri Siregar kini tak terdengar lagi, jelas terkait dengan
terhapusnya jejak-jejak Lekra setelah terjadi geger politik dan tragedi nasional pada akhir
September 1965. Namun, sebagai data sejarah pantaslah pendapat apa pun dicatat dan
dipahami secara kritis sambil diperbandingkan dengan pendapat para pakar yang berkembang
kemudian.
Sampailah sekarang pada pendapat Ajip Rosidi dan Jakob Sumardjo.
Pendapat Ajip Rosidi dalam bagian awal Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969: 1-13) dapat
diringkas sebagai berikut.
Perkenalan masyarakat Nusantara dengan bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris pada
abad ke-16 dan ke-17 telah mengubah nasib masyarakat Nusantara dan bangsa mereka
menjadi bangsa jajahan Belanda selama ratusan tahun. Politik Belanda dalam menjajah
Indonesia sangat keras dengan segala macam cara yang semata-mata menguntungkan
kepentingannya. Baru pada awal abad ke-20 politik Belanda melunak dengan melaksanakan
politik etis sebagai tebusan politik tanam paksa yang sangat merusak kehidupan rakyat
jajahan. Dengan politik etis itu dimaksudkan agar bangsa Indonesia merasa dekat dengan
bangsa Belanda. Oleh karena itu, mulailah dibuka sekolah-sekolah untuk anak bumiputra
dengan mata pelajaran mengenai tata cara kehidupan, ilmu bumi negeri Belanda,
pengetahuan umum, moral, dan bahkan bahasa Belanda. Usaha tersebut menimbulkan reaksi
para pemimpin nasional Indonesia yang kemudian giat memperjuangkan bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan nasional sehingga pada 28 Oktober 1928 tercetuslah Sumpah
Pemuda.
Sejak masa itu banyak tokoh, seperti Abdul Muis, Haji Agus Salim, Cipto
Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Muhammad Yamin, Semaun, Soekarno, dan Tan
Malaka, yang semula terbiasa berbahasa Belanda dalam berpidato dan menulis lantas beralih
ke bahasa Indonesia. Soekarno adalah tokoh yang besar jasanya dalam menghidupkan bahasa
Indonesia yang mudah dicerna oleh banyak orang sehingga makin populer.
Dalam konteks pertumbuhan sastra Indonesia, dikatakan Ajip bahwa tradisi sastra
berbahasa daerah Nusantara, termasuk bahasa Melayu, telah berkembang marak selama
berabad-abad dengan khazanah yang berlimpah. Perubahan pun terjadi sejalan dengan
tumbuhnya pers (surat kabar) mulai pertengahan abad ke-19 yang memperkenalkan bahasa
prosa yang lugas dan praktis untuk menyampaikan peristiwa kehidupan sehari-hari. Ditambah
dengan pengaruh bacaan sastra Eropa melalui Belanda maka mulailah orang mempergunakan
bahasa prosa untuk bercerita. Gejala itu kemudian melahirkan roman-roman yang terbit
sebagai cerita bersambung di koran-koran, dan baru pada tahun 1920-an terbitlah roman-
roman berbahaSa Melayu melalui Penerbit Balai Pustaka.
Ringkasan pandangan Ajip Rosidi mengenai awal mula sejarah sastra Indonesia itu
dapat diperbandingkan dengan pendapat Jakob Sumardjo.
Dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), Jakob Sumardio mengajak masyarakat sastra
Indonesia untuk memerhatikan sastra Melayu Rendah dan sastra peranakan Tionghoa yang
berkembang pada akhir abad ke-19 sebagai embrio sastra Indonesia sehingga awal sastra Indonesia
tidak semata-mata pada peranan Balai Pustaka tahun 1917.
Dalain zaman penjajahan Belanda abad ke-19 belum ada bahasa Indonesia. Yang berkembang adalah
bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Sunda, Jawa, dan Bali. Dengan sendirinya sastra yang
berkembang pun berasal dari pelbagai bahasa daerah itu, sedangkan yang berperan penting adalah
bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Di samping itu, ada juga bahasa yang dipergunakan oleh penduduk
kota-kota besar Indonesia, yaitu bahasa Melayu Rendah dengan pemakai terbanyak adalah golongan
Tionghoa.

Dapat dipahami apabila masyarakat Tionghoa di Indonesia tidak memiliki tradisi


sastra sendiri karena sudah lama tercerabut dari akar budaya nenek moyang di Cina. Wajarlah
apabila mereka pun mencari-cari pijakan budaya yang sesuai dengan tradisi setempat.
Namun, secara keseluruhan mereka dapat dikatakan sebagai masyarakat yang kurang jelas
pijakan budayanya. Itulah sebabnya mereka mudah menerima “kebudayaan baru” yang
berorientasi Barat (Eropa) sebagaimana tampak dalam kehidupan masyarakat umum di kota-
kota besar. Sementara itu, pertumbuhan surat kabar berbahasa Melayu Rendah yang
kebanyakan dimodali oleh golongan Tionghoa merupakan faktor penting yang semakin
memapankan aspirasi budaya dan sastra golongan Tionghoa.
Sejarah menunjukkan pesatnya perkembangan sastra golongan Tionghoa yang
memakai bahasa Melayu Rendah, baik di kalangan mereka sendiri maupun di kebanyakan
masyarakat Nusantara yang telah mengenal pendidikan. Sementara itu, sastra daerah (seperti
Melayu, Sunda, dan Jawa) yang mulai bersentuhan dengan kebudayaan Barat tidak dapat
menjangkau masyarakat yang luas karena kendala bahasa. Sastra Sunda modern dan sastra
Jawa modern tetap terbatas berkembang di kalangan masyarakatnya sendiri, sedangkan sastra
Melayu makin berbaur dengan sastra golongan Tionghoa yang berbahasa Melayu Rendah.
Dengan demikian, dapat dipahami besarnya pengaruh sastra golongan Tionghoa terhadap
partumbuhan sastra Indonesia karena sastra mereka memakai bahasa Melayu Rendah yang
telah dikenal dan dipergunakan juga oleh masyarakat Nusantasa.
Pelbagai pendapat itu telah ditanggapi oleh Maman S. Mahayana melalui artikehiya
berjudul “Masalah Angkatan dalam Sastra Indonesia” yang dimuat dalam Sembilan Jawaban
Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik (Mahayana, 2005: 389-400). Menurut Maman, Ajip
dan Teeuw secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia modern
hanya berdasarkan karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya yang terbit dalam majalah
dan surat kabar telah ditenggelamkan. Oleh karena itu, pelacakan lebih lanjut mengenai
sumbangan media massa itu bagi kesusastraan Indonesia merupakan tuntutan yang mendesak.
Dengan demikian, pemahaman mengenai periode Balai Pustaka mesti dimaknai sebagai masa
menjelang dan awal berdirinya lembaga penerbitan itu. Di bagian lain Maman
mengatakan .bahwa dari periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45 ada kesadaran kolektif
sastrawan pada kebutuhan pemikiran, kecendekiaan, dari ilmu sebagaimana dikatakan Budi
Darma. Dari kesadaran itu justru dalam kerangka élan nasionalisme dan cita-cita membangun
masyarakat Indonesia yang merdeka (Mahayana, 2005: 392-394).
Hingga di sini telah disajikan ringkasan pandangan sejumlah tokoh yang
memerhatikan sejarah sastra Indonesia. Simpulan singkatnya adalah pertumbuhan sastra
Indonesia sungguh tak terpisahkan dari dinamika sosial budaya masyarakat pemangkunya
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dinamika itu dapat ditelaah dari pelbagai sudut
pandang, seperti politik, kebudayaan, kebahasaan, kemasyarakatan, dan penerbitan.
Pendapat-pendapat itu sebenarnya sudah dengan sendirinya menjelaskan atau
menjawab pertanyaan mengenai kapan lahirnya sastra Indonesia, suatu masalah yang dapat
dipandang penting dalam pembahasan sejarah sastra Indonesia. Masalah itu pun sudah
dibahas Ajip Rosidi dalam artikelnya berjudul “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir”
(1962) yang dimuat lagi dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985). Menurut
Ajip, unsur semangat kebangsaan atau nasionalisme hendaknya ditempatkan lebih penting
daripada unsur bahasa dalam menentukan lahirnya sastra Indonesia. Simpulan Ajip, sejarah
sastra Indonesia dimulai dari sajak-sajak Muhammad Yamin dan Rustam Effendi tahun 1921
yang telah mengisyaratkan semangat kebangsaan walaupun belum secara tegas menyebut
nama Indonesia.
Ajip pun berkeberatan terhadap sejumlah pendapat terdahulu yang cenderung
menempatkan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi sebagai perintis sastra Indonesia. Dia juga
menolak pendapat Umar Junus yang menegaskan kelahiran sastra Indonesia pada tahun 1933
dengan terbitnya majalah Pujangga Baru setelah tercetus Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
yang menyatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional.
Pendapat Ajip yang kukuh argumentasinya itu boleh dikatakan bertahan sampai
sekarang walaupun belakangan berkembang pandangan baru yang mempertimbangkan
keberadaan sastra Melayu Rendah dan sastra peranakan Tionghoa pada paruh kedua abad ke-
19 sebagai bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia seperti ditawarkan Jakob Sumardjo
(1992) dan Leo Suryadinata (1996). Tanggapan Maman pun terbatas pada masalah penerbitan
majalah dan surat kabar, sedangkan masa atau waktunya tetap berkisar pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20. Dengan demikian, sementara ini dapat ditawarkan pendapat mengenai
awal sejarah sastra Indonesia adalah tahun 1900-an, baik ditinjau dan segi kebahasaan,
kemasyarakatan, kebangsaan, maupun penerbitannya. Tentu saja angka tahun tersebut hanya
semacam ancar-ancar, sedangkan realitasnya dapat bergerak lebih lama lagi dengan
memperhatikan tradisi penulisan sastra dalam surat kabar dan majalah yang terbit pada
pertengahan kedua abad ke-19.
Hingga sekarang sejarah sastra Indonesia telah berlangsung relatif panjang dengan
perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar.
Hal itu dapat dipandang sebagai tantangan besar ahli sastra Indonesia. Akan tetapi, pada
kenyataannya buku-buku sejarah sastra Indonesia masih relatif sangat sedikit dibandingkan
dengan buku-buku kritik, esai, dan apresiasi sastra. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia
tercatat secara kronologis sebagai berikut:
1. Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru oleh A. Teeuw (1952),
2. Sejarah Sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964),
3. Kesusasteraan Baru Indonesia oleh Zuber Usman (1964),
4. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969),
5. Modern Indonesian Literature I-II oleh A.Teeuw (1979),
6. Sastra Baru Indonesia oleh A. Teeuw (1980),
7. Sari Kesusastraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),
8. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern oleh Pamusuk Eneste (1988),
9. Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 oleh Jakob Sumardjo (1992), dan
10. Sejarah Sastra Indonesia Modern oleh Sarwadi (2004).
Di balik semua itu, barangkali sudah ditulis telaah sejarah sastra Indonesia dalam
skripsi, tesis, dan disertasi. Akan tetapi, datanya masih sulit diandalkan sebagai rujukan untuk
kepentingan pelajaran ini apabila belum terbit sebagai buku umum. Yang jelas, pelbagai hasil
penelitian itu merupakan bahan yang penting untuk penyusunan sejarah sastra Indonesia
secara menyeluruh. Adapun sejumlah buku yang telah memperlihatkan persoalan-persoalan
tertentu dalam sejarah sastra Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia oleh Boen S.Oemarjati (1971),
2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir Sebuah Pembicaraan oleh Korrie Layun Rampan (1982),
3. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajip Rosidi (1985),
4. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1973),
5. Pengadilan Puisi oleh Pamusuk Eneste (1986),
6. Perkembangan Novel-Novel Indonesia oleh Umar Junus (1974),
7. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984),
8. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia oleh Jakob Sumardjo (1997),
9. Prahara Budaya oleh D.S.Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995),
10. Puisi Indonesia Kini Sebuah Perkenalan oleh Korrie Layun Rampan (1980),
11. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Jawa Barat oleh Diana N. Muis, dkk. (2000),
12. Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia di Maluku oleh T. Tomasoa dkk.(2000),
13. Sejarah Pertumbuhan Sastra Indonesia di Sumatera Utara oleh Aiyub dkk. (2000), dan
14. Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994 oleh Suripan Sadi Hutomo (1995).

Tentu masih banyak tulisan di surat kabar, majalah, dan buku yang harus dicatat dan
disimak pada kesempatan lain sebagai bahan pengayaan dan peluasan wawasan. Akan tetapi,
sementara ini boleh saja terbatas dengan catatan bahwa pada masa mendatang terbuka banyak
kemungkinan yang dapat dilaksanakan para perninat dan ahli sejarah sastra Indonesia.
Dalam artikel “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra” (Damono, 2000)
tercatat pelbagai masalah penulisan sejarah sastra Indonesia, seperti siapa penulisnya, apa
ideologinya, siapa pembaca sasarannya, dan apa saja pokok bahasannya. Sejarah sastra
Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks
sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa sehingga
memiliki makna bagi masyarakatnya, memiliki kaitan yang erat dengan pelbagai masalah
yang dihadapi masyarakatnya. Dalam sejarah sastra, karya sastra tidak akan memiliki seluk-
beluk yang menjadi perhatian publik jika dianggap sebagai benda atau lembaga otonom yang
bisa mengatur makna dan perkembangan dirinya.
Dari catatan itu saja dapat dibayangkan pelbagai kemungkinan penulisan sejarah
sastra Indonesia. Terhadap sebuah karya sastra, misalnya, dapat dikembangkan telaah historis
mengenai asal-usulnya, penerbitannya, persebarannya, cetak ulangnya, tirasnya, kritiknya,
dan lain-lain. Misalnya, sejarah roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Roman ini menjadi
penting dalam sejarah sastra Indonesia karena pasti disebut dalam hampir setiap buku
pelajaran sastra Indonesia dengan alasan tertentu. Sampai sekarang roman ini telah dicetak
ulang lebih dari dua puluh kali, sehingga membuka pertanyaan sebagai awal telaah
historisnya, seperti berapa tiras (oplag) setiap kali terbit, berapa royaltinya, siapakah ahli
warisnya, apakah terjadi perubahan teks, dan bagaimana sambutan pembaca.
Contoh lain, banyak hal dapat dipertanyakan terhadap penulisan roman trilogi
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Misalnya, benarkah roman itu dipersiapkan
lebih dari sepuluh tahun, benarkah ada bagian yang disimpan oleh penerbit, berapa tirasnya,
bagaimana proses penerjemahannya ke bahasa Inggris dan Jepang, dan berapa penghasilan
pengarangnya.
Masalah kepengarangan dapat juga ditelaah dalam sejarah sastra Indonesia, misalnya
sejarah kepengarangan Achdiat K. Mihardja, Armijn Pane, Chairil Anwar, Nh. Dini,
Pramoedya Ananta Toer, Ramadhan K.H., Sanusi Pane, S. Takdir Ahisjahbana, dan Rendra.
Masalah pengajaran sastra Indonesia, misalnya, dapat juga ditulis menjadi sejarah pengajaran
sastra Indonesia di sekolah menengah yang di dalamnya dapat dibahas mendalam sejumlah
persoalan, seperti sejak kapan disusun kurikulum sastra, siapa saja perumusnya, bagaimana
penerapannya di sekolah, dan bagaimana perkembangannya. Pendek kata, sangat banyak
masalah yang dapat dijadikan objek penulisan sejarah sastra Indonesia.
Sejumlah persoalan sejarah sastra Indonesia telah dicatat dan ditawarkan juga oleh
Maman S. Mahayana, bahkan ditegaskan perlunya peninjauan kembali terhadap pemikiran
dan telaah terdahulu agar diperoleh kebenaran sejarah yang makin objektif. Dalam salah satu
artikelnya, terbaca gagasan Maman sebagai berikut.
Sejarah sastra Indonesia, terutama yang menyangkut kelahirannya, mutlak ditinjau kembali. Banyak
fakta yang mengecoh, dan lebih banyak yang ditenggelamkan, di dalamnya termasuk keberadaan
cerpen dan peran media massa. Terlalu lama membiarkan persoalan ini tanpa usaha perbaikan, sama
halnya dengan ikut membiarkan sejarah sastra Indonesia tetap berada dalam kondisi karut-manut.
Maka, kinilah saatnya kita meluruskan sejarah sastra Indonesia secara lebih objektif dan berpihak
pada kebenaran sejarah an sich. (Mahayana, 2005: 415)
Tentu saja tantangan yang cerdas semacam itu tidak akan terjawab hanya oleh
beberapa orang pakar atau ditulis dalam sejilid buku. Dengan kata lain, tantangan itu harus
dijawab oleh banyak pakar.

Anda mungkin juga menyukai