Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini, sangat


perlu adanya nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung. Dengan nilai-nilai tersebut
memungkinkan kondisi yang dicita-citakan dapat terwujud. Namun, seiring
modernisasi dan globalisasi yang semakin cepat dan tak bisa dihindari, maka orang-
orang saat ini cenderung meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula yang
terjadi di sekolah- sekolah saat ini, siswa-siswi hanya mendalami ilmu eksakta dalam
belajarnya sedangkan ilmu sosialnya cenderung mereka abaikan. Hal ini menimbulkan
dua sisi yang seolah berdampingan akan tetapi terjadi tabrakan nilai-nilai. Di satu sisi,
siswa-siswi disini akan memperlihatkan daya saing mereka antar individu dalam
proses pembelajaran, karena pada dasarnya ilmu eksakta akan meningkatkan tingkat
kecerdasan siswa-siswi dalam aspek kognitif. Namun disisi lain, akan memperlihatkan
persaingan mereka yang sifatnya individualistis, tidak peduli terhadap sesama (apatis)
dan seolah-olah teman-teman sekelas adalah musuh. Hal ini banyak terjadi pada
mereka yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak terdapat
pada ilmu sosial, khususnya sejarah.

Dengan demikian, pendidikan humaniora sangat penting diterapkan di sekolah-


sekolah dengan tujuan dapat menyeimbangkan antara aspek kognitif dengan apektif
siswa-siswi. Dengan pendidikan humaniora, siswa-siswi dapat belajar bagaimana cara
berbangsa, bernegara dan beretika dalam bermasyarakat yang baik, karena siswa-siswi
inilah yang selanjutnya akan menjadi the new generations bagi negeri ini di masa
depan. Dengan sejarah, tentunya akan mampu menjadikan the new
generations menjadi the golden age generations, karena sejarah mampu
mengembangkan identitas sosial dan prospek masa depan melalui gudang-gudang
pengalaman dan ingatan kolektif.

Saat ini sejarah merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Meskipun begitu,
ada keunikan tersendiri pada sejarah dibanding dengan disiplin ilmu sosial lainnya.
akan tetapi, beberapa keunikan ini menyebabkan perdebatan mengenai pemasukan
sejarah sebagai ilmu dan bagian dari ilmu sosial. Dengan beberapa masalah diatas,

1
menimbulkan minat kami untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan sejarah
sebagai humaniora dan juga sejarah sebagai ilmu sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan posisi sejarah dalam ilmu pengetahuan?
2. Mengapa terjadi permasalahan mengenai sejarah sebagai ilmu?
3. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora?
4. Apa fungsi sejarah sebagai humaniora dalam dunia pendidikan?
5. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai seni dan ilmu?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penjelasan dimana letak sejarah dalam ilmu
pengetahuan.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi masalah mengenai sejarah sebagai
ilmu sehingga banyak menimbulkan perdebatan.
3. Untuk mengetahui maksud dari pengertian sejarah sebagai humaniora.
4. Untuk mengetahui apa fungsi sejarah sebagai humaniora.
5. Untuk mengetahui maksud dari sejarah sebagai ilmu dan seni, serta
D. Manfaat Penulisan

Besar harapan penulis untuk mampu menjadikan makalah ini sebagai sumber
acuan atau referensi bagi rekan-rekan mahasiswa untuk lebih memahami mengenai apa
arti dari sejarah sebagai humaniora dan ilmu sosial. Mengingat betapa pentingnya
nilai- nilai kemanusiaan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu
pula, banyak perdebatan mengenai apakah pantas sejarah dimasukkan sebagai ilmu,
sedangkan sejarah memiliki perbedaan dengan ilmu- ilmu sosial apalagi ilmu eksakta.
Penulis berharap semoga makalah ini mampu memberikan cahaya yang lebih terang
dalam memahami posisi sejarah sebagai ilmu sosial bagi rekan- rekan mahasiswa.

2
BAB II

SEJARAH SEBAGAI HUMANIORA dan SEBAGAI ILMU SOSIAL

A. Perkembangan Sejarah Sebagai Ilmu

Sejarah adalah salah satu disiplin ilmu tertua yang embrio-embrionya telah ada
dalam cerita-cerita rakyat atau mitos yang berkembang dalam kehidupan di masyarakat
yang paling sederhana. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homo sapiens memiliki
potensi untuk menyimpan pengalamannya di dalam memorinya (ingatan), dan
sewaktu-waktu diperlukan dapat diproduksi (keluarkan) baik dalam angan- angannya
maupun dalam bentuk cerita (Kartodirdjo, 1993: 58). Sehingga pada mulanya, sejarah
banyak meriwayatkan tokoh- tokoh mitologis dan kepahlawanan (sage), dan memuat
banyak mitos di dalamnya.

Penulisan sejarah sebetulnya telah ada sebelum Herodotus (198-117 SM), yaitu
tulisan karya Homerus yang berjudul Illiad dan Odyssey (Supardan, 2011: 312).
SyairIlliad yang berkisah mengenai perang antara Yunani dan Troya pada kurun waktu
sekitar 1200 SM. Sedangkan syair odyssey berkisah mengenai petualangan panjang
Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Tulisan ini muncul dalam bentuk puisi serta di
dalamnya banyak memuat mitos dan lebih merupakan sebuah legenda daripada karya
sejarah yang sesungguhnya. Bahkan peradaban Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina
merupakan bangsa-bangsa yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Meskipun
begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai
peradaban yang melahirkan ilmu sejarah yang pertama, karena orang-orang Mesir,
Sumeria, Babilonia dan Cina tidak menulis mengenai ilmu sejarah.

Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM) yang
dijuluki sebagai “Bapak Sejarah”. Hal ini tidak terlepas dari sikap objektif yang
ditunjukannya dalam karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah
Perang-perang Persia). Herodotus melihat bahwa perang ini merupakan bentrokan dua
peradaban yang berbeda, antara Yunani dan Persia. Berbeda dengan Homerus,
Herodotus berusaha keras untuk melakukan inkuiri atau penelitian secara kritis dan
memberi penjelasan-penjelasan yang naturalistik serta tidak banyak menunjukan
adanya “campur tangan” para dewa. Adapun Thucydides yang menulis tentang The
Peloponnesian War (431-404 SM) berkisah mengenai perang saudara antara dua polis

3
yang berbeda antara  Athena dan Sparta. Sebuah hal yang penting bagi perkembangan
penulisan sejarah adalah Thucydides mencoba mencari sebab dari segala peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Sedangkan Polybius adalah sejarawan yang mengembangkan
metode kritis dalam penulisan sejarah.

Sejarah yang mula mulanya berkisah mengenai tokoh mitologi dan


kepahlawanan, di dalamnya juga banyak terdapat mitos, sehingga sangat sukar
dibedakan antara permainan imajinasi dengan realita yang terjadi sebagaimana
keadaannya. Di dalamnya sukar dibedakan antara Dichtung und Wahrnheit atau antara
rekaan dengan yang sebenarnya (Ismaun, 2005: 150). Mengatasi hal tersebut maka
munculah kritik sejarah yang merupakan inti dari metodologi sejarah.

Kritik sejarah berkembang pada abad ke- 17 hingga akhirnya  mencapai taraf


kematangan pada abad ke- 19. Kebangkitan sejarah sebagai disiplin ilmiah dimulai di
Jerman, dimana Leopold von Ranke mencetuskan diktumnya dalam karyanya yang
berjudul A Critique of Modern Historical Writers, bahwa tugas sejarah hanyalah
menunjukan apa yang benar- benar telah terjadi (wie es eigentlich gewesen ist)
(Ismaun, 2005: 152-153). Maka sejak abad ke- 18, para sejarawan mulai meninggalkan
paradigma sejarah klasik. Mereka mulai memusatkan perhatian pada pemaparan
narasi-narasi peristiwa politik yang terutama didasarkan pada dokumen- dokumen
resmi.

Akan tetapi, setelah adanya perjuangan pemisahan antara sejarah dengan sastra
dan seni untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu, setingkat dengan ilmu- ilmu
kealaman yang ketika itu mencapai puncak perkembangannya, ada proses dalam
sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah, yang sesuai dengan ukuran
ilmu- ilmu kealaman. Timbul sebuah kesadaran, meskipun sejarawan berpegang teguh
terhadap ajaran Ranke ada soal-soal yang tidak bisa dipecahkan untuk membela
pendiriannya.

Memang ciri- ciri pengetahuan yang ilmiah, menurut W. H. Walsh (Ismaun,


2005: 153) ialah: (1) diperoleh secara metodik dan disusun secara sistematis; (2) terdiri
dari setidak- tidaknya mencakup sejumlah kebenaran umum; (3) memberikan
kemampuan untuk membuat prediksi yang berhasil, sehingga dengan demikian kita
dapat mengamati arah proses kejadian-kejadian ke arah masa depan, setidak- tidak

4
dalam batas waktu tertentu; (4) objektif dalam pengertian bahwa setiap peneliti harus
mau menerima kebenaran di dalamnya, bagaimanapun kecenderungan pribadinya.

Sebagai reaksi akan timbulnya “sejarah ilmiah”, timbullah dua macam


anggapan mengenai ciri- ciri disiplin sejarah. Pertama, mereka berpendapat bahwa
sejarah adalah disiplin ilmiah, akan tetapi merupakan ilmu yang khas, yang lain
daripada ilmu kealaman. Kedua, mengatakan bahwa sejarah adalah tetaplah sebagai
suatu seni, dalam konteks ini seni yang setingkat dengan ilmu.

Maka, baiknya kita melihat prosedur penulisan itu sendiri untuk mengatasi
silang pendapat seperti ini. Sifat ilmiah dari sejarah dapat dilihat dari betapa tajamnya
kritik sumber yang dipakai dalam meniliti sumber-sumber sejarah. Sifat ilmiah ini
didapat seperti ketika sejarah menggunakan alat-alat atau bahan- bahan kimia untuk
menentukan palsu tidaknya sebuah dokumen. Pada hakikatnya, sejarah adalah sebuah
kisah, sehingga hasil penelitian tersebut belum dikatakan sebagai sejarah tanpa adanya
narasi. Maka disamping sejarah yang ilmiah, sejarah pun masuk dalam seni karena
penggunaan tata bahasa yang indah untuk menarik minat pembaca.

Kedudukan sejarah sebagai ilmu adalah khas dan unik, karena sejarah benar-
benar memenuhi persyaratan sebagai ilmu jika dipandang dari sudut metode dalam
taraf penelitian sumber- sumbernya. Sejarah dipandang sebagai seni dalam aspek
kemahiran penafsiran atau interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun
dalam penyajian materi sejarah. Dalam interpretasi inilah sering menimbulkan apa
yang dinamakan sebagai subjektivitas karena faktor latar belakang pengetahuan,
keyakinan, pandangan hidup atau tujuan.

Maka sejarah bisa merupakan bagian dari ilmu humaniora karena ada unsur-
unsur memelihara budaya dan memberi makna atas perkembangan umat manusia.
Sejarah digolongkan sebagai ilmu sosial karena sejarah mencari generalisasi-
generalisasi sosial dan pola- pola aktivitas manusia melalui analitis, kemudian sejarah
memakai generalisasi tersebut untuk mendapatkan kekhususan atau spesialis
(Gottschalk, 2008: 30).

Dengan demikian, sejarah mempunyai aspek masuk ke dalam ilmu-ilmu sosial,


maupun masuk ke dalam ilmu humaniora. Baik yang unik dan khas atau yang berulang
dan umum. Sesuai dengan guna pada suatu waktu yang kita pentingkan, guna reflektif

5
dan guna inspiratif lebih memerlukan peristiwa- perisitiwa yang digambarkan secara
unik dan khas. Sedangkan guna instruktif ataupun edukatif lebih memerlukan
penyajian yang dititikberatkan  pada yang berulang dan umum.

B. Permasalahan Sejarah Sebagai Ilmu

Pada abad ke- 18 dan ke- 19 perkembangan ilmu mencapai fase positivisme
yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, sehingga diberi fungsi normatif untuk
menentukan seberapa jauh pelbagai cabang ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu,
bahkan dominasi pikiran positivisme ini masih sangat kuat hingga abad ke- 20. Dalil-
dalil atau hukum- hukum yang dapat dirumuskan sehingga mampu membuat
generalisasi dan memprediksi atau membuat proyeksi ke masa depan  merupakan salah
satu kriteria yang digunakan (Kartodirdjo, 1993: 126-127).

Menurut aliran positivisme, ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah, tidaklah


bisa dikatakan sebagai ilmu karena memang tidak mampu membuat hukum- hukum.
Sama halnya sejarah sebagai ilmu menurut Auguste Comte (1798-1857) dalam
bukunya yang berjudul Course de Philosophie Positive, metodologi ilmiah umum,
artinya dapat diterapkan terhadap semua ilmu pengetahuan yang ada (Kartodirdjo,
1980: 18). Artinya, bagi Comte, sejarah harus menerapkan metode dengan prosedur
yang sama seperti halnya dalam fisika.

Pada akhir abad ke- 19 timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai kaum
neo-Kantianis sebagai sanggahan atas pendapat kaum positivisme. Golongan ini
dipelopori oleh beberapa filsuf Jerman seperti Johan Gustav Droysen (1808-1884),
Wilhelm Dilthey (1833-1911), Heinrich Rickert (1863-1936) serta Wilhelm
Windelband (1848-1915) yang kemudian mendapat dukungan dari beberapa kalangan
filsuf dari luar Jerman, seperti Benedetto Croce dari Italia (1866-1952) dan R. G.
Collingwood dari Inggris (1889- 1945). Mereka menerangkan sejarah berdasarkan
teori idealisme bahwa adanya perbedaan fundamental antara ilmu sejarah dan ilmu-
ilmu kealaman. Dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam (realie) dan ilmu
humaniora atau ilmu kemanusiaan, keduanya generik dan berdiri sejajar, masing-
masing mempunyai kedudukan otonom (Kartodirdjo, 1993: 127).

 Skema dikotomi menurut Sartono Kartodirdjo:

6
Ilmu Alam Ilmu Kemanusiaan

1.        Nomothetis 1.     Idiografis

2.        Generalisasi 2.     Keunikan

3.        Deskriptif- analitis 3.     Deskriptif- naratif

4.        Eksplanasi 4.     Interpretasi

5.        Kuantitatif 5.     Kualitatif

6.        Objektif 6.     Subjektif

Dalam ilmu kealaman diadakan tinjauan terhadap gejala-gejala yang serba


universal atau generalis, sedangkan dalam humaniora diadakan tinjauan terhadap
gejala-gejala serba unik atau individual. Dalam ilmu kealaman bersifat nomothetis atau
menjabarkan hukum- hukum, sedangkan dalam ilmu humaniora bersifat idiografis,
yakni menggambarkan pengertian- pengertian dengan mengadakan individualisasi dan
memperhatikan keunikan (Ismaun, 2005: 163-164).

Generalisasi dicapai melalui analisis, sedangkan gambaran yang khusus dicapai


melalui narasi. Apabila ilmu alam bersifat kuantitatif, maka ilmu humaniora lebih
bersifat kualitatif. Penggunaan kausalitas dalam menghubungkan sebuah gejala
menjadikan ilmu alam terumuskan dalam sebuah eksplanasi, sedangkan hubungan
kualitatif dirumuskan dengan menggunakan interpretasi (tafsiran). Dengan demikian,
terlihat bahwa ilmu alam akan lebih bersifat objektif terhadap objek kajiannya,
sedangkan ilmu humaniora mempunyai tendensi cara kerja subjektif. Dalam hal ini,
ilmu sosial mengambil tempat di tengahnya tetapi cenderung lebih dekat kepada ilmu
alam karena kajiannya tentang tindakan dan kelakuan manusia menunjukan perhatian
kepada keteraturan atau keajegan. Jadi, dalam mengamati pola, struktur, lembaga,
kecenderungan, semuanya mirip dengan hukum- hukum.

Dikotomi (pemisahan atau pembelahan) dalam ilmu antara ilmu alam dengan
humaniora yang disebabkan pertentangan antara teori positivisme dengan teori
idealisme mengakibatkan adanya dua pendapat mengenai sejarah sebagai ilmu, yaitu
sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah sebagai humaniora. Sejarah

7
sebagai ilmu-ilmu sosial lebih cenderung pada aspek nomothetis sedangkan sejarah
sebagai humaniora masuk ke dalam aspek idiografis.

Pertentangan antara teori positivisme dengan teori idealisme sebenarnya bisa


dikurangi ketajamannya dan didekatkan dalam suatu sintesis. Hukum alam yang keras
bagaikan “hukum besi” dan mempertahankan determinismenya tidak sekeras dahulu
menurut anggapan semula. Dalam psikologi, bahkan dalam fisika sendiri, dalam
mekanika dan astronomi dikenal prinsip-prinsip relativitas atau kenisbian (Ismaun’
2005: 169).

Dalam sejarah, selain memusatkan perhatian pada yang serba unik, harus juga
dapat melihat pada suatu yang seba unik, khusus dan individual ada faset serba umum
dan ada fenomena yang berulang dengan tendensi serba universal. Artinya sesuatu
yang serba unik tidak dapat dinyatakan dengan menyampingkan yang serba umum,
sebaliknya sesuatu yang serba umum tidak dapat ditunjukan tanpa memperhatikan
yang serba unik.

Dalam menerangkan sejarah maka harus  dengan mencari koligasi antar fakta-


fakta sejarah, dicarilah hubungan intrinsik antar fakta dan dan fungsi fakta- fakta.
Koligasi antar fakta dalam penulisan sejarah sangat penting sehingga cerita dalam
sejarah tidak hanya mengenai tentang apa, dimana, kapan dan siapa, akan tetapi juga
harus menjelaskan  bagaimananya dan sebab peristiwanya.

Sejarah memberikan pengetahuan perspektif, yaitu pengetahuan berupa


interpretasi atau penafsiran yang ditentukan oleh pandangan kita terhadap peristiwa-
peristiwa sejarah. Ada berbagai macam cerita sejarah dimulai dari yang paling
sederhana sampai yang paling rumit atau sering disebut dengan istilah sophisticated,
dari yang naif sampai yang sangat kritis. Pada umumnya sebagian besar cerita-cerita
sejarah berbentuk uraian mengenai peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis dan
deskripsi tokoh- tokoh serta situasi dan kondisinya (Ismaun, 2005: 172).

Dalam perkembangan sejarah sebagai ilmu telah banyak timbul banyak


persoalan mengenai metodologinya. Sebagian besar sejarawan saat ini tidak
membedakan dirinya antara golongan sejarawan sebagai ilmuan humaniora dengan
golongan sejarawan sebagai ilmuwan sosial. Persoalan tersebut diantaranya,

8
(1) mengenai pendekatan, generalisasi kontra individualisasi, umum dengan abstrak
atau nomothetis kontra idiografis; (2)  mengenai metode, sistem kontra kiat seni (art),
maksudnya sejarawan ilmu sosial menggunakan metodologi dengan prosedur dalam
suatu sistem yang ketat untuk merumuskan  keumuman atau generalisasi. Sedangkan
sejarawan humaniora biasanya tidak memulai dengan pernyataan hipotesis (dugaan
sementara), meskipun ia beranggapan menggunakan metode yang ketat; (3) mengenai
analisis, pro dan kontra kuantifikasi, maksudnya sejarawan sosial menggunakan aspek
kuantitatif seperti angka- angka statistik meskipun itu dalam bentuk perkiraan,
sedangkan sejarawan humaniora bersikap skeptis terhadap kuantifikasi karena bagi
mereka banyak sekali aspek- aspek yang tidak bisa diukur dengan angka- angka; (4)
mengenai estetika, dimana sejarawan lebih mengutamakan ide untuk mencapai
kecermatan dan kejelasan melalui keketatan metode analisis, sedangkan sejarawan
humaniora mengutamakan ide untuk mencapai karya tulis sejarah yang bernilai sastra.

Penggunaan kuantifikasi atau angka-angka statistika mempunyai kelebihan


tersendiri. Pertama, penyajian kuantitatif akan membantu para sejarawan menjelaskan
argumennya secara sistematis dan jelas, serta mempersiapkan diri ketika adanya
penolakan. Kedua, akan mendorong sejarawan untuk lebih memperhatikan
keseluruhan rentetan perubahan dan keseluruhan corak yang kontras pada perbedaan
antara perode-periode, situasi-situasi dan struktur- struktur. Ketiga, memungkinkan
kepada peneliti yang lain dalam subjek yang sama untuk menambah, memperbaiki atau
menolak hasil dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan data kuantitatif dapat dihindari
distorsi sejarah atau pemutar balikan fakta ataupun penyimpangan secara ideologis
daripada pemakaian kualitatif dan intuitif (Ismaun, 2005: 176-177).

Namun, ada penolakan mengenai penggunaan kuantifikasi dalam penulisan


sejarah, penggunaan data kuantifikasi menimbulkan kekaburan dan pengingkaran
tanggung jawab. Argumentasi ini didasarkan secara ekstrem pada subjektivisme yang
mendasar bahwa tidak ada sejarah yang objektif, karena sejarawan dikuasai oleh
subjektivitas-subjektivitas masing-masing. Disamping itu, penggunaan data
kuantifikasi sangat sulit untuk dilaksanakan karena sukarnya pengolahan, sulit
dipelajari dan biayanya yang relatif sangat mahal.

Kritik berdasarkan subjektivisme  yang sangat ekstrem adalah sangat


berbahaya. Kritik ini percaya bahwa semua kenyataan pada hakikatnya tidak dapat

9
dikenali menurut sebagaimana keadaannya, atau ada keunikan- keunikan pada sifat-
sifat insani, sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya, hal ini dapat menyesatkan
atau anggapan ini harus ditolak. Carl Becker (Supardan, 2011: 318) mengatakan
bahwa pemujaan terhadap fakta dan pembedaan fakta antara fakta keras dan fakta
lunak merupakan sebuah ilusi. Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang
mudah dipasang. Akan tetapi, fakta itu  sengaja dipilih oleh sejarawan yang relevan
dengan kebutuhan penelitian.

Untuk itu, dalam menghadapi permasalahan yang yang mengandung


komplikasi dan kontroversi, baiknya kita memiliki pendirian seperti, berusaha
memperoleh pengetahuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan dengan
argumentasi yang lebih meyakinkan dan dilengkapi dengan dokumentasi yang lebih
baik. Selanjutnya, pengetahuan sejarah diupayakan penyajiannya dekat dengan
kebenaran, dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis, historis
substantif dan sosial-budaya. Menggunakan cara pendekatan kualitatif ataupun
kuantitatif sesuai dengan efektivitas dan kemampuan kita.

C. Sejarah Sebagai Humaniora

Pengetahuan manusia umunya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar,


yaitu ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau sering
disebut dengan istilah humaniora. Pada mulanya sejarah merupakan bagian dari ilmu
humaniora dan kemudian sejarah menjadi bagian dari disiplin ilmu- ilmu
sosial. Pengertian humaniora sampai saat ini masih belum baku, menurut Ralph Barton
Perry (Sjamsuddin, 2007: 274) menyebutkan bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan itu adalah
cabang-cabang dari pengetahuan santun. Ilmu kemanusiaan merupakan cabang-cabang
dari kajian-kajian tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk memanusiakan
manusia (humanize) sebagai lawan dari ilmu fisika yang cenderung untuk
mengembangkan kemampuan- kemampuan intelektual manusia.

Pokok-pokok kajian humaniora ialah filsafat, interpretasi tentang sastra dan


sejarah, kritik tentang seni, musik dan teater yang semuanya membahas tentang batas-
batas, kedalaman-kedalaman dan kapasitas-kapasitas dari semangat manusia. termasuk
juga didalamnya pendidikan liberal yang merupakan lawan dari pendidikan praktis.

10
Sejarah dan Ilmu Kemanusiaan erat hubungannya dengan pendidikan, sebab
digunakan untuk kepentingan pendidikan. Konsepsi klasik tentang Humaniora berasal
dari tradisi Hellenistik paidagogia (Yunani = training, latihan) yang diperlukan bagi
pendidikan umum untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis
dan seimbang. Sejarah Humaniora berawal dari retorik Socrates, seorang juru pidato
dan guru pidato bangsa Yunani. Oleh orang Romawi konsepsi retorik dari Socrates ini
dimasukkan dalam Artes Liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni diskusi,
yang sesuai tentang pemerintahan dan etika. Pendidikan liberal disini bisa diartikan
untuk mengajarkan kepada manusia akan kebebasan dalam berpendapat.

Humaniora berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan. Pengetahuan ketika


itu dibagi atas dua kelompok: pertama, Quadrivium yaitu ilmu berhitung seperti
geometrika, astronomi, dan music, Kedua Trivium yaitu ilmu bahasa, dialektika,
retorika, yang dikenal juga dengan artes liberales. Dalam perkembangan kemudian
yang termasuk humaniora adalah bahasa, filsafat, musik, seni– seni visual, dan sejarah.
Semuanya dipisahkan dengan matematika, sains, atau ilmu– ilmu alamiah serta ilmu–
ilmu social yang baru berkembang kemudian.

Humaniora menekankan kepada kedua hal, yang pertama keunikan manusia di


dalam alam dimana manusia sendiri, melalui intelegensinya, mampu mengontrol
perkembangan fisik dan mental. Kedua, pencarian manusia akan nilai- nilai (values),
dalam pencarian ini manusia mempergunakan daya-daya kreatifnya.

Mengenai alasan dilakukan pendekatan humaniora dalam pendidikan di


sekolah-sekolah berpangkal pada kebutuhan-kebutuhan hidup modern yang mutakhir
dari masyarakat yang sudah sangat industrialistis. Perkembangan ilmu alam dan
teknologi telah meningkatkan taraf hidup, produksi, distribusi dan konsumsi barang-
barang telah mencapai suatu puncak tertinggi. Akan tetapi, pada perkembangan
selanjutnya, masyarakat tersebut bisa menjadi pemberontak akan kemapanan nilai-nilai
keluarganya, sekolah, lingkungan hidup dan keagamaannya. Tetapi dalam peranannnya
sebagai pemberontak, personalitasnya yang menonjol mendesaknya untuk bertindak,
merasa, berpikir dan percaya kepada visi pribadinya tentang dunia. Keadaan
ambivalensi terhadap masyarakat yang seperti ini, para siswa acapkali menolak tujuan-
tujuan dan isi dari mata pelajaran yang diberikan.

11
Hal ini menjadikan manusia membutuhkan suatu pengetahuan tradisional yang
relevan  sebagai tambahan terhadap pengetahuan yang diberikan setiap hari sebagai
tuntutan untuk dapat hidup layak dalam suatu masyarakat industri. Dengan demikian,
sebagai alasan utama dan sederhana dari humaniora adalah bahwa humaniora dapat
mengisi kebutuhan pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka, bahwa dalam
zaman mesinpun, mereka tetaplah manusia (Sjamsuddin, 2007: 279).

Menurut Earl C. Kelley (Sjamsuddin, 2007: 279), (Kartodirdjo, 2005: 184), ada
enam dasar fundamental sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu- ilmu
kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam
masyarakat demokratis, yaitu pertama manusia memerlukan manusia lainnya, artinya
manusia ketika pertama kali lahir harus dibesarkan dan belajar lebih dahulu kepada
orang lain, tanpa itu semua manusia akan mati, karena pada dasarnya manusia
bukanlah hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya semenjak
lahir. Kedua, manusia memerlukan komunikasi antara yang tua dengan yang muda.
Didalamnya mencakup saling pengertian ketika terjadi interaksi diantara
keduanya. Ketiga, manusia juga harus menikmati hubungan kasih sayang dengan
sesama. Cinta kasih adalah prinsip terkuat dalam ilmu pendidikan. keempat, setiap
orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri. Seseorang dapat berpikir baik
tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau dunia pada umumnya. Kelima,
untuk mengembangkan seluruh potensinya, maka manusia memerlukan kemerdekaan.
Kemerdekaan ini adalah sebagai suatu kebutuhan bagi suatu bangsa  dimana
manusia  hidup berdekatan satu sama lain.Keenam, setiap individu patut mendapatkan
kesempatan untuk berkreasi. Dalam konteks ilmu kemanusiaan, kreativitas adalah
cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia.

Ketika ada alasan-alasan dasar penggunaan  pendekatan humaniora dalam


pendidikan, maka ada tujuan-tujuan  yang ingin dicapai dari humaniora, yaitu berupa
perbaikan tingkah laku dan juga sikap-sikap yang diharapkan pada diri siswa yang
telah menggunakan waktunya untuk mengikuti program ilmu-ilmu kemanusiaan.

1. Adapun mata pelajaran humaniora yang efektif mencoba mencapai tujuan-


tujuan berikut ini: Menyimpulkan bahwa ia manusia dan karena itu ia penting.
Seorang siswa harus melihat bahwa dalam semua sifat (nature), ia unik karena
kecerdasannya (intelegencinya).

12
2. Mengenal bahwa ia bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya
dalam sistem yang berlaku, mengubah apa yang dapat dilakukannya dan
menyesuaikan diri dengan apa yang tidak dapat diubahnya.
3. Menunjukan bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan
kehidupan sehari-hari tetapi dalam mengalami atau membuat sesuatu yang
belum ada sebelumnya dalam musik, seni plastis, atau dalam sastra.
4. Menimbang bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain.
Kompartementalisasi pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan
pembagian dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Kompartementalisasi adalah
bentuk disosiasi yang lebih rendah, dimana bagian diri terpisah dari kesadaran
bagian lain dan berperilaku seolah- olah memiliki kepribadian yang terpisah
dari nilai-nilai aslli mereka.
5. Harus menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan- pertanyaan yang
mendasar bersifat filosofis, seperti “siapa aku ini?”; :apa artinya hidup ini?”.
Tujuan- tujuan diatas yang menekankan suatu kesatuan  tentang visi, tentang
kehidupan dapat tercakup dalam jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini.
6. Mengidentifikasikan kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas
(a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu sikap yang
permanen, suatu standar untul membuat pilihan-pilihan yang
menyangkut concern individu, komunitasnya dan bangsanya. Jadi , suatu
perasaan  (sense) apa yang penting  sebagai pedoman dalam berperilaku
sehari- hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.

Sejarah mempunyai fungsi dalam humaniora, seringkali sejarah disebut sebagai


seni dan ilmu. Sejarah sebagai ilmu karena sejarah termasuk dalam disiplin ilmu-ilmu
sosial yang memiliki metodologi dalam penulisan sejarah. Sedangkan sejarah sebagai
seni terlihat pada tahap penafsiran atau interpretasi dan penulisan sejarah, dimana
sejarawan harus menggunakan bahasa dan retorika. Deskripsi tentang peristiwa-
peristiwa, tentang pelaku-pelaku sejarah, semuanya menggunakan media bahasa
sehingga menghasilkan  suatu narasi (cerita) sejarah yang menarik. Penggunaan
retorika membuat membuat sejarah erat sekali hubungannya dengan sastra sehingga
sejarah dianggap sebagai suatu “seni” dan karena itu termasuk ke dalam ilmu
humaniora atauartes liberales. Yang membedakannya dengan sastra murni adalah

13
sejarah merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber- sumber sejarah
yang ada.

Selain sejarah sebagai seni dan ilmu, fungsi sejarah juga terlihat dari ungkapan
latin, Historia Magistra Vitae yang artinya “sejarah adalah guru kehidupan”.
Sebagaimana sebuah tulisan karya Andrik Purwasito yang berjudul “Menggugat
Historiografi Indonesia” dalam Jurnal Sejarah vol. 13, beliau mengemukakan bahwa:

Sejarah adalah memori kesadaran yang mampu membentuk watak dan jati diri
bangsa. Sejarah yang salah (dalam memaknai evenement) akan membentuk watak dan
jati diri yang menyimpang juga. Demikian saya katakan, bahwa sejarah adalah ibu
kandung  dari sejatinya kehidupan rohani bangsa. Artinya sejarah yang benar akan
membawa  kita ke dalam situasi yang penuh persaudaraan, kebebasan tanpa
kecurigaan, dan kesederajatan yang tidak memandang suku, ras, agama, golongan,
partai atau kekayaan...

Ketika merujuk definisi tersebut, maka tidak salah jika para sejarawan dahulu
memasukan ilmu sejarah ke dalam ilmu humaniora atau ilmu mengenai nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk
memanusiakan manusia dengan memasukan unsur- unsur yang mengandung nilai
nasionalisme, patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam
kehidupan manusia. Pendapat ini sama halnya dengan yang dungkapkan oleh John
Tosh (Sjamsuddin, 2007: 285), (Ismaun, 2005: 189) serta Trouillot (Nordholt,
Purwanto dan Saptari, 2013: 1). Dengan fungsi tersebut, sejarah akan mampu
menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah
akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.

D. Sejarah Sebagai Ilmu Sosial

Perkembangan sejarah secara kritis semakin berkembang di abad ke- 18 dan


ke- 19. Kemudian setelah terjadinya perang dunia ke II, sejarah cenderung
menggunakan pendekatan ilmu sosial. Proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan
ilmu- ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

14
1. Sejarah sebagai deskriftif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk
menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.
2. Pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat
untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala
tersebut.
3. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat
menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan
sekali untuk keperluan analisis historis.
4. Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian pada pengkajian hal-hal informatif
tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak
pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam
pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis
yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola dan
sebagainya.

Peminjaman alat analitis dari ilmu- ilmu sosial adalah wajar karena sejarah
konvensional tidak memiliki hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya
kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai bahasa
kehidupan sehari- hari dan common sense. Pada periode rapproachement itu terjadi
inovasi yang sangat penting dalam studi sejarah, sehingga sejarah terhindar dari
kemacetan.

Relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan Ilmu Sosial, bertolak dari


konsep sejarah sebagai sistem. Konsep sistem sendiri mencakup prinsip – prinsip
sebagai berikut:

1. Suatu sistem terdiri atas unsur–unsur atau aspek–aspek yang merupakan suatu
kesatuan
2. Fungsi–fungsi unsur–unsur tersebut saling pengaruhi–mempengaruhi dan ada
saling ketergantungan, dan bersama–sama mendukung fungsi sistem
3. Saling ketergantungan disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi–
dimensi unsur lain
4. Dalam mendeskripsi unsur–unsur serta salaing pengaruhnya tidak ada faktor
atau dimensi yang deterministik

15
5. Dalam studi sejarah pendekatan sistem yang sinkronis sidatnya perlu diimbangi
oleh pendekatan diakronis

Dipandang dari titik pendirian sejarah konvensional perubahan metodologi


tersebut sangat revolusioner, meninggalkan penulisan sejarah yang naratif. (Sartono
Kartodirdjo, halaman 121)

Sebagai ilmu, karena sejarah memiliki metodologi penelitian yang mampu


dipertanggung jawabkan metode-metode ilmiah yang objektif dalam penelitian sejarah
terletak pada heuristik, kritik sumber dan juga penulisan sejarah berdasarkan analisis.
Kemudian sebagai ilmu, sejarah masuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial karena
fokus kajiannya adalah manusia meskipun perhatian utama terletak pada perisitiwa di
masa lampau yang tidak berulang dan laporan yang bersifat sastra. Dalam kerja sama
ini ilmu-ilmu sosial pun menggunakan pendekatan historis untuk dapat
mengungkapkan kecenderungan-kecenderungan serta pola-pola umum sebelum dapat
melakukan ramalan-ramalan (prediksi) masa yang akan datang (Kartodirdjo, 1993:
209)

Sebenarnya sejarah mempunyai kedudukan yang unik di dalam rumpun ilmu-


ilmu sosial. Meskipun sejarah termasuk sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial,
namun antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya itu masih dapat dibedakan.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dari bagan berikut ini

Sejarah Ilmu- ilmu Sosial


Masa lampau (past) Masa kini
Temporal- spasial Atemporal- aspasial
Diakronik Sinkronik
Ideografik Nomotetik
Partikularistik Generalistik
Terjadi sekali (einmalig) Terjadi berulang- ulang
Tidak teratur Beraturan
Tidak dapat dieksperimen Dapat dilakukan eksperimen
Tidak untuk meramal Dapat untuk meramal

16
Kajian sejarah terikat pada waktu, terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini
yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sehingga sering
dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia pada masa
lampau, sedangkan ilmu sosial adalah pengkajian manusia pada masa kini. Meskipun
begitu, sejarah mengkaji masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu, tetapi kajian
ini bisa digunakan untuk pedoman di masa yang akan datang.

Selain memperhatikan masalah temporal, sejarah juga sangat memperhatikan


masalah spasial atau ruang, karena kejadian atau peristiwa yang terjadi pasti
ditanyakan kapan dan dimana. Ilmu sosial cenderung mengabaikan hal ini karena bagi
ilmu sosial, suatu kejadian bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Dalam penggunaan
perspektif juga terdapat perbedaan antara sejarah dengan ilmu sosial. Ilmu sejarah
menggunakan perspektif diakronik, sedangkan ilmu sosial memakai perspektif
sinkronik. Perbedaan keduanya dapat diumpamakan oleh Sartono Kartodirdjo seperti
penampang batang kayu. Jika diakronik penampang vertikal,  maka diakronik
penampang horizontal. Untuk fenomena yang ditandai secara utuh diperlukan
pendekatan secara diakronik, sedangkan ilmu-ilmu sosial yang mencari keumuman
memakai perspektif sinkronik sehingga berbentuk seperti garis yang mendatar.

Pada akhirnya ilmu sosial akan melihat kesamaan setiap peristiwa sejarah tanpa
terlalu memperhatikan perbedaan waktu dan tempat terjadinya sebuah peristiwa.
Selanjutnya sejarah akan menekankan pada kekhususan dari masing- masing peristiwa
sejarah dibanding dengan peristiwa sejarah lainnya, sehingga bagi sejarah suatu
peristiwa hanya terjadi sekali atau einmalig. Oleh sebab itu sejarah disebut juga kajian
yang ideografik, partikularistik, serta kekhasan. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial
akan menekankan pada fenomena yang sama di semua peristiwa sejarah sehingga
dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku secara umum. Oleh karena itu, kajian
ilmu-ilmu sosial disebut nomotetik atau generalistik, keumuman. Dengan adanya
perbedaan sifat-sifat tersebut menyebabkan sejarah bersifat tidak teratur sedangkan
ilmu sosial bersifat teratur karena peristiwanya yang berulang-ulang, sehingga ilmu
sosial dapat dipakai untuk meramal, sedangkan sejarah tidak bisa.

Pada dasarnya dikotomi antara sejarah dengan ilmu- ilmu sosial memiliki
kelemahan tersend iri, yaitu terlalu mengkotak- kotakkan ilmu seakan-akan terlihat
tidak ada keterkaitan satu sama lain. Padahal pada kenyataannya, antara sejarah dengan

17
ilmu-ilmu sosial lainnya saling memerlukan. Dalam mencapai kekhususan diperlukan
sebuah generalisasi atau keumuman untuk mencapai kesimpulan. Sebaliknya,
meskipun sejarah yang disimpulkan akan bersifat kekhususan, materi itulah yang akan
digunakan para ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan
generalisasi atau teori atau “hukum umum” untuk “meramalkan”  peristiwa-peristiwa
yang akan datang.

Sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan


dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu untuk
kepentingan analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi atau interpretasi
sejarah, maka penggunaan ilmu-ilmu sosial itu wajar saja. Selain itu, pendekatan
antara sejarah dan ilmu- ilmu sosial ini ada hubungannya dengan ketidakpuasan para
sejarawan sendiri dalam bentuk- bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya
terbatas.

Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri


mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam
lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika
menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan
dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau
multidimensional yang memeberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan
akan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat
dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik
keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.

18
BAB III

KESIMPULAN

Seiring perkembangannya, sejarah terus mengikuti perkembangan-


perkembangan dalam bidang keilmuannya. Sejarah semakin kritis dalam meneliti
setiaap sumber- sumber sejarah. Namun disisi lain, sejarah tetap menarik dengan
penggunaan narasi dalam penulisan sejarahnya. Disinilah keunikan sebuah sejarah,
dimana mampu memadukan antara ilmu dengan seni. Meskipun banyak perdebatan
mengenai kedudukan sejarah sebagai ilmu, akan tetapi sejarah tetap mampu berdiri dan
memberikan keunikan tersendiri.

Kedudukan sejarah dalam ilmu sosial adalah unik dan khas karena sejarah
benar-benar memenuhi syarat sebagai ilmu jika dilihat dari metode penelitian dari
sumber-sumbernya. Sedangkan sejarah sebagai seni dapat dilihat dalam aspek
kemahiran interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam
penyampaian materi. Dalam hal interpretasi lah sering timbul subjektivitas karena
faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan dan pandangan hidup ataupun tujuan
para sejarawan masing- masing.

Permasalahan sejarah sebagai ilmu bisa kita atasi dengan pendirian kita sendiri,
seperti berusaha memperoleh pengetahuan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan
dengan menggunakan argumentasi yang meyakinkan dan dilengkapi dengan
doumentasi yang baik. Kemudian pengetahuan sejarah tadi harus kita upayakan dekat
dengan kebenaran. Dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis,
historis subtantif dan sosial-budaya. Selanjutnya menggunakan cara pendekatan yang
kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan kemampuan kita.

Sejarah sebagai humaniora antara lain memiliki arti bahwa sejarah mempunyai
kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur-unsur yang
mengandung nasionalisme maupun patriotisme yang mampu memberikan pengaruh
yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, fungsi dari sejarah yaitu akan
mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat
sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.

19
Sejarah tidak menutup diri untuk menggunakan konsep-konsep yang umum
digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu
untuk kepentingan analisis untuk menambah kejelasan eksplanasi atau interpretasi
sejarah maka penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu adalah wajar saja.

Pada perkembangan selanjutnya para sejarawan telah membiasakan diri


mengenal dan menggunakan sejumlah konsep-konsep, baik yang dikenal dari dalam
lingkungan sejarah sendiri maupun yang diangkat dari ilmu- ilmu sosial lain. Ketika
menganalisis suatu peristiwa, para sejarawan memakai disiplin ilmu lain yang relevan
dengan objek kajiannya, hal ini dikenal dengan istilah interdisipliner atau
multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Penggunaan
berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat
dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman mengenai suatu masalah, baik
keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.

  

20
DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta:
Depdiknas.

Ismaun. (2005). Pengantar Belajar. Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan.


Bandung: Historia Utama Press, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS.

Kartodirdjo, S. (1980).  Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia


(UI- Press)

Kartodirdjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama.

Nordholt, H.S., Purwanto, B. dan Saptari, R. (Eds) (2013). Perspektif Baru Penulisan


Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Purwasito, A. (2007). “Menggugat Historiografi Indonesia”. Jurnal Sejarah. 13,  (13),


55-65.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Supardan, D. (2011). Pengantar Ilmu Sosial. Sebuah Kajian Pendekatan


Struktural.Jakarta: Bumi Aksara.

21

Anda mungkin juga menyukai