PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini sejarah merupakan bagian dari rumpun ilmu sosial. Meskipun begitu,
ada keunikan tersendiri pada sejarah dibanding dengan disiplin ilmu sosial lainnya.
akan tetapi, beberapa keunikan ini menyebabkan perdebatan mengenai pemasukan
sejarah sebagai ilmu dan bagian dari ilmu sosial. Dengan beberapa masalah diatas,
1
menimbulkan minat kami untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan sejarah
sebagai humaniora dan juga sejarah sebagai ilmu sosial.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan posisi sejarah dalam ilmu pengetahuan?
2. Mengapa terjadi permasalahan mengenai sejarah sebagai ilmu?
3. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai humaniora?
4. Apa fungsi sejarah sebagai humaniora dalam dunia pendidikan?
5. Apa yang dimaksud dengan sejarah sebagai seni dan ilmu?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui penjelasan dimana letak sejarah dalam ilmu
pengetahuan.
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi masalah mengenai sejarah sebagai
ilmu sehingga banyak menimbulkan perdebatan.
3. Untuk mengetahui maksud dari pengertian sejarah sebagai humaniora.
4. Untuk mengetahui apa fungsi sejarah sebagai humaniora.
5. Untuk mengetahui maksud dari sejarah sebagai ilmu dan seni, serta
D. Manfaat Penulisan
Besar harapan penulis untuk mampu menjadikan makalah ini sebagai sumber
acuan atau referensi bagi rekan-rekan mahasiswa untuk lebih memahami mengenai apa
arti dari sejarah sebagai humaniora dan ilmu sosial. Mengingat betapa pentingnya
nilai- nilai kemanusiaan kita terapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu
pula, banyak perdebatan mengenai apakah pantas sejarah dimasukkan sebagai ilmu,
sedangkan sejarah memiliki perbedaan dengan ilmu- ilmu sosial apalagi ilmu eksakta.
Penulis berharap semoga makalah ini mampu memberikan cahaya yang lebih terang
dalam memahami posisi sejarah sebagai ilmu sosial bagi rekan- rekan mahasiswa.
2
BAB II
Sejarah adalah salah satu disiplin ilmu tertua yang embrio-embrionya telah ada
dalam cerita-cerita rakyat atau mitos yang berkembang dalam kehidupan di masyarakat
yang paling sederhana. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homo sapiens memiliki
potensi untuk menyimpan pengalamannya di dalam memorinya (ingatan), dan
sewaktu-waktu diperlukan dapat diproduksi (keluarkan) baik dalam angan- angannya
maupun dalam bentuk cerita (Kartodirdjo, 1993: 58). Sehingga pada mulanya, sejarah
banyak meriwayatkan tokoh- tokoh mitologis dan kepahlawanan (sage), dan memuat
banyak mitos di dalamnya.
Penulisan sejarah sebetulnya telah ada sebelum Herodotus (198-117 SM), yaitu
tulisan karya Homerus yang berjudul Illiad dan Odyssey (Supardan, 2011: 312).
SyairIlliad yang berkisah mengenai perang antara Yunani dan Troya pada kurun waktu
sekitar 1200 SM. Sedangkan syair odyssey berkisah mengenai petualangan panjang
Odysseus setelah jatuhnya kota Troya. Tulisan ini muncul dalam bentuk puisi serta di
dalamnya banyak memuat mitos dan lebih merupakan sebuah legenda daripada karya
sejarah yang sesungguhnya. Bahkan peradaban Mesir, Sumeria, Babilonia dan Cina
merupakan bangsa-bangsa yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Meskipun
begitu peradaban-peradaban kuno tersebut tidak bisa memperkuat realitas sebagai
peradaban yang melahirkan ilmu sejarah yang pertama, karena orang-orang Mesir,
Sumeria, Babilonia dan Cina tidak menulis mengenai ilmu sejarah.
Penulis sejarah Yunani yang terkenal adalah Herodotus (198-117 SM) yang
dijuluki sebagai “Bapak Sejarah”. Hal ini tidak terlepas dari sikap objektif yang
ditunjukannya dalam karyanya yang berjudul History of the Persian Wars (Sejarah
Perang-perang Persia). Herodotus melihat bahwa perang ini merupakan bentrokan dua
peradaban yang berbeda, antara Yunani dan Persia. Berbeda dengan Homerus,
Herodotus berusaha keras untuk melakukan inkuiri atau penelitian secara kritis dan
memberi penjelasan-penjelasan yang naturalistik serta tidak banyak menunjukan
adanya “campur tangan” para dewa. Adapun Thucydides yang menulis tentang The
Peloponnesian War (431-404 SM) berkisah mengenai perang saudara antara dua polis
3
yang berbeda antara Athena dan Sparta. Sebuah hal yang penting bagi perkembangan
penulisan sejarah adalah Thucydides mencoba mencari sebab dari segala peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Sedangkan Polybius adalah sejarawan yang mengembangkan
metode kritis dalam penulisan sejarah.
Akan tetapi, setelah adanya perjuangan pemisahan antara sejarah dengan sastra
dan seni untuk menjadikan sejarah sebagai ilmu, setingkat dengan ilmu- ilmu
kealaman yang ketika itu mencapai puncak perkembangannya, ada proses dalam
sejarah yang tidak cocok dengan proses-proses ilmiah, yang sesuai dengan ukuran
ilmu- ilmu kealaman. Timbul sebuah kesadaran, meskipun sejarawan berpegang teguh
terhadap ajaran Ranke ada soal-soal yang tidak bisa dipecahkan untuk membela
pendiriannya.
4
dalam batas waktu tertentu; (4) objektif dalam pengertian bahwa setiap peneliti harus
mau menerima kebenaran di dalamnya, bagaimanapun kecenderungan pribadinya.
Maka, baiknya kita melihat prosedur penulisan itu sendiri untuk mengatasi
silang pendapat seperti ini. Sifat ilmiah dari sejarah dapat dilihat dari betapa tajamnya
kritik sumber yang dipakai dalam meniliti sumber-sumber sejarah. Sifat ilmiah ini
didapat seperti ketika sejarah menggunakan alat-alat atau bahan- bahan kimia untuk
menentukan palsu tidaknya sebuah dokumen. Pada hakikatnya, sejarah adalah sebuah
kisah, sehingga hasil penelitian tersebut belum dikatakan sebagai sejarah tanpa adanya
narasi. Maka disamping sejarah yang ilmiah, sejarah pun masuk dalam seni karena
penggunaan tata bahasa yang indah untuk menarik minat pembaca.
Kedudukan sejarah sebagai ilmu adalah khas dan unik, karena sejarah benar-
benar memenuhi persyaratan sebagai ilmu jika dipandang dari sudut metode dalam
taraf penelitian sumber- sumbernya. Sejarah dipandang sebagai seni dalam aspek
kemahiran penafsiran atau interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun
dalam penyajian materi sejarah. Dalam interpretasi inilah sering menimbulkan apa
yang dinamakan sebagai subjektivitas karena faktor latar belakang pengetahuan,
keyakinan, pandangan hidup atau tujuan.
Maka sejarah bisa merupakan bagian dari ilmu humaniora karena ada unsur-
unsur memelihara budaya dan memberi makna atas perkembangan umat manusia.
Sejarah digolongkan sebagai ilmu sosial karena sejarah mencari generalisasi-
generalisasi sosial dan pola- pola aktivitas manusia melalui analitis, kemudian sejarah
memakai generalisasi tersebut untuk mendapatkan kekhususan atau spesialis
(Gottschalk, 2008: 30).
5
dan guna inspiratif lebih memerlukan peristiwa- perisitiwa yang digambarkan secara
unik dan khas. Sedangkan guna instruktif ataupun edukatif lebih memerlukan
penyajian yang dititikberatkan pada yang berulang dan umum.
Pada abad ke- 18 dan ke- 19 perkembangan ilmu mencapai fase positivisme
yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmu alam, sehingga diberi fungsi normatif untuk
menentukan seberapa jauh pelbagai cabang ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu,
bahkan dominasi pikiran positivisme ini masih sangat kuat hingga abad ke- 20. Dalil-
dalil atau hukum- hukum yang dapat dirumuskan sehingga mampu membuat
generalisasi dan memprediksi atau membuat proyeksi ke masa depan merupakan salah
satu kriteria yang digunakan (Kartodirdjo, 1993: 126-127).
Pada akhir abad ke- 19 timbul reaksi dari golongan yang terkenal sebagai kaum
neo-Kantianis sebagai sanggahan atas pendapat kaum positivisme. Golongan ini
dipelopori oleh beberapa filsuf Jerman seperti Johan Gustav Droysen (1808-1884),
Wilhelm Dilthey (1833-1911), Heinrich Rickert (1863-1936) serta Wilhelm
Windelband (1848-1915) yang kemudian mendapat dukungan dari beberapa kalangan
filsuf dari luar Jerman, seperti Benedetto Croce dari Italia (1866-1952) dan R. G.
Collingwood dari Inggris (1889- 1945). Mereka menerangkan sejarah berdasarkan
teori idealisme bahwa adanya perbedaan fundamental antara ilmu sejarah dan ilmu-
ilmu kealaman. Dalam ilmu ada dikhotomi, yaitu ilmu alam (realie) dan ilmu
humaniora atau ilmu kemanusiaan, keduanya generik dan berdiri sejajar, masing-
masing mempunyai kedudukan otonom (Kartodirdjo, 1993: 127).
6
Ilmu Alam Ilmu Kemanusiaan
1. Nomothetis 1. Idiografis
2. Generalisasi 2. Keunikan
4. Eksplanasi 4. Interpretasi
5. Kuantitatif 5. Kualitatif
6. Objektif 6. Subjektif
Dikotomi (pemisahan atau pembelahan) dalam ilmu antara ilmu alam dengan
humaniora yang disebabkan pertentangan antara teori positivisme dengan teori
idealisme mengakibatkan adanya dua pendapat mengenai sejarah sebagai ilmu, yaitu
sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah sebagai humaniora. Sejarah
7
sebagai ilmu-ilmu sosial lebih cenderung pada aspek nomothetis sedangkan sejarah
sebagai humaniora masuk ke dalam aspek idiografis.
Dalam sejarah, selain memusatkan perhatian pada yang serba unik, harus juga
dapat melihat pada suatu yang seba unik, khusus dan individual ada faset serba umum
dan ada fenomena yang berulang dengan tendensi serba universal. Artinya sesuatu
yang serba unik tidak dapat dinyatakan dengan menyampingkan yang serba umum,
sebaliknya sesuatu yang serba umum tidak dapat ditunjukan tanpa memperhatikan
yang serba unik.
8
(1) mengenai pendekatan, generalisasi kontra individualisasi, umum dengan abstrak
atau nomothetis kontra idiografis; (2) mengenai metode, sistem kontra kiat seni (art),
maksudnya sejarawan ilmu sosial menggunakan metodologi dengan prosedur dalam
suatu sistem yang ketat untuk merumuskan keumuman atau generalisasi. Sedangkan
sejarawan humaniora biasanya tidak memulai dengan pernyataan hipotesis (dugaan
sementara), meskipun ia beranggapan menggunakan metode yang ketat; (3) mengenai
analisis, pro dan kontra kuantifikasi, maksudnya sejarawan sosial menggunakan aspek
kuantitatif seperti angka- angka statistik meskipun itu dalam bentuk perkiraan,
sedangkan sejarawan humaniora bersikap skeptis terhadap kuantifikasi karena bagi
mereka banyak sekali aspek- aspek yang tidak bisa diukur dengan angka- angka; (4)
mengenai estetika, dimana sejarawan lebih mengutamakan ide untuk mencapai
kecermatan dan kejelasan melalui keketatan metode analisis, sedangkan sejarawan
humaniora mengutamakan ide untuk mencapai karya tulis sejarah yang bernilai sastra.
9
dikenali menurut sebagaimana keadaannya, atau ada keunikan- keunikan pada sifat-
sifat insani, sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya, hal ini dapat menyesatkan
atau anggapan ini harus ditolak. Carl Becker (Supardan, 2011: 318) mengatakan
bahwa pemujaan terhadap fakta dan pembedaan fakta antara fakta keras dan fakta
lunak merupakan sebuah ilusi. Sebab fakta sejarah tidaklah seperti batu bata yang
mudah dipasang. Akan tetapi, fakta itu sengaja dipilih oleh sejarawan yang relevan
dengan kebutuhan penelitian.
10
Sejarah dan Ilmu Kemanusiaan erat hubungannya dengan pendidikan, sebab
digunakan untuk kepentingan pendidikan. Konsepsi klasik tentang Humaniora berasal
dari tradisi Hellenistik paidagogia (Yunani = training, latihan) yang diperlukan bagi
pendidikan umum untuk mengembangkan pribadi seseorang agar tumbuh harmonis
dan seimbang. Sejarah Humaniora berawal dari retorik Socrates, seorang juru pidato
dan guru pidato bangsa Yunani. Oleh orang Romawi konsepsi retorik dari Socrates ini
dimasukkan dalam Artes Liberales atau pendidikan liberal sebagai suatu seni diskusi,
yang sesuai tentang pemerintahan dan etika. Pendidikan liberal disini bisa diartikan
untuk mengajarkan kepada manusia akan kebebasan dalam berpendapat.
11
Hal ini menjadikan manusia membutuhkan suatu pengetahuan tradisional yang
relevan sebagai tambahan terhadap pengetahuan yang diberikan setiap hari sebagai
tuntutan untuk dapat hidup layak dalam suatu masyarakat industri. Dengan demikian,
sebagai alasan utama dan sederhana dari humaniora adalah bahwa humaniora dapat
mengisi kebutuhan pengetahuan tradisional dan mengingatkan mereka, bahwa dalam
zaman mesinpun, mereka tetaplah manusia (Sjamsuddin, 2007: 279).
Menurut Earl C. Kelley (Sjamsuddin, 2007: 279), (Kartodirdjo, 2005: 184), ada
enam dasar fundamental sebagai alasan tambahan kepada pendekatan ilmu- ilmu
kemanusiaan berasal dari kebutuhan untuk mendidik orang-orang untuk hidup dalam
masyarakat demokratis, yaitu pertama manusia memerlukan manusia lainnya, artinya
manusia ketika pertama kali lahir harus dibesarkan dan belajar lebih dahulu kepada
orang lain, tanpa itu semua manusia akan mati, karena pada dasarnya manusia
bukanlah hewan yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya semenjak
lahir. Kedua, manusia memerlukan komunikasi antara yang tua dengan yang muda.
Didalamnya mencakup saling pengertian ketika terjadi interaksi diantara
keduanya. Ketiga, manusia juga harus menikmati hubungan kasih sayang dengan
sesama. Cinta kasih adalah prinsip terkuat dalam ilmu pendidikan. keempat, setiap
orang memerlukan suatu konsep kerja tentang jati diri. Seseorang dapat berpikir baik
tentang dirinya, ia dapat bekerja efektif di sekolah atau dunia pada umumnya. Kelima,
untuk mengembangkan seluruh potensinya, maka manusia memerlukan kemerdekaan.
Kemerdekaan ini adalah sebagai suatu kebutuhan bagi suatu bangsa dimana
manusia hidup berdekatan satu sama lain.Keenam, setiap individu patut mendapatkan
kesempatan untuk berkreasi. Dalam konteks ilmu kemanusiaan, kreativitas adalah
cara-cara baru untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia.
12
2. Mengenal bahwa ia bagian dari masyarakat dan harus mencari tempatnya
dalam sistem yang berlaku, mengubah apa yang dapat dilakukannya dan
menyesuaikan diri dengan apa yang tidak dapat diubahnya.
3. Menunjukan bahwa ia kreatif, bukan saja dalam menyesuaikan diri dengan
kehidupan sehari-hari tetapi dalam mengalami atau membuat sesuatu yang
belum ada sebelumnya dalam musik, seni plastis, atau dalam sastra.
4. Menimbang bahwa semua pengetahuan berhubungan satu sama lain.
Kompartementalisasi pendidikan harus dipertanyakan sehubungan dengan
pembagian dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Kompartementalisasi adalah
bentuk disosiasi yang lebih rendah, dimana bagian diri terpisah dari kesadaran
bagian lain dan berperilaku seolah- olah memiliki kepribadian yang terpisah
dari nilai-nilai aslli mereka.
5. Harus menemukan dirinya sendiri dengan pertanyaan- pertanyaan yang
mendasar bersifat filosofis, seperti “siapa aku ini?”; :apa artinya hidup ini?”.
Tujuan- tujuan diatas yang menekankan suatu kesatuan tentang visi, tentang
kehidupan dapat tercakup dalam jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini.
6. Mengidentifikasikan kebutuhan akan nilai-nilai dalam suatu masyarakat bebas
(a free society). Dapat dikatakan bahwa suatu nilai adalah suatu sikap yang
permanen, suatu standar untul membuat pilihan-pilihan yang
menyangkut concern individu, komunitasnya dan bangsanya. Jadi , suatu
perasaan (sense) apa yang penting sebagai pedoman dalam berperilaku
sehari- hari adalah hasil yang paling signifikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
13
sejarah merupakan produk rekonstruksi sejarawan atas dasar sumber- sumber sejarah
yang ada.
Selain sejarah sebagai seni dan ilmu, fungsi sejarah juga terlihat dari ungkapan
latin, Historia Magistra Vitae yang artinya “sejarah adalah guru kehidupan”.
Sebagaimana sebuah tulisan karya Andrik Purwasito yang berjudul “Menggugat
Historiografi Indonesia” dalam Jurnal Sejarah vol. 13, beliau mengemukakan bahwa:
Sejarah adalah memori kesadaran yang mampu membentuk watak dan jati diri
bangsa. Sejarah yang salah (dalam memaknai evenement) akan membentuk watak dan
jati diri yang menyimpang juga. Demikian saya katakan, bahwa sejarah adalah ibu
kandung dari sejatinya kehidupan rohani bangsa. Artinya sejarah yang benar akan
membawa kita ke dalam situasi yang penuh persaudaraan, kebebasan tanpa
kecurigaan, dan kesederajatan yang tidak memandang suku, ras, agama, golongan,
partai atau kekayaan...
Ketika merujuk definisi tersebut, maka tidak salah jika para sejarawan dahulu
memasukan ilmu sejarah ke dalam ilmu humaniora atau ilmu mengenai nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan kata lain, bahwa sejarah mempunyai kecenderungan untuk
memanusiakan manusia dengan memasukan unsur- unsur yang mengandung nilai
nasionalisme, patriotisme yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam
kehidupan manusia. Pendapat ini sama halnya dengan yang dungkapkan oleh John
Tosh (Sjamsuddin, 2007: 285), (Ismaun, 2005: 189) serta Trouillot (Nordholt,
Purwanto dan Saptari, 2013: 1). Dengan fungsi tersebut, sejarah akan mampu
menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat sejarah
akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.
14
1. Sejarah sebagai deskriftif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk
menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.
2. Pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat
untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala
tersebut.
3. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan yang pesat, sehingga dapat
menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan
sekali untuk keperluan analisis historis.
4. Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian pada pengkajian hal-hal informatif
tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak
pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam
pelbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis
yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola dan
sebagainya.
Peminjaman alat analitis dari ilmu- ilmu sosial adalah wajar karena sejarah
konvensional tidak memiliki hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya
kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta cukup memakai bahasa
kehidupan sehari- hari dan common sense. Pada periode rapproachement itu terjadi
inovasi yang sangat penting dalam studi sejarah, sehingga sejarah terhindar dari
kemacetan.
1. Suatu sistem terdiri atas unsur–unsur atau aspek–aspek yang merupakan suatu
kesatuan
2. Fungsi–fungsi unsur–unsur tersebut saling pengaruhi–mempengaruhi dan ada
saling ketergantungan, dan bersama–sama mendukung fungsi sistem
3. Saling ketergantungan disebabkan karena setiap unsur memiliki dimensi–
dimensi unsur lain
4. Dalam mendeskripsi unsur–unsur serta salaing pengaruhnya tidak ada faktor
atau dimensi yang deterministik
15
5. Dalam studi sejarah pendekatan sistem yang sinkronis sidatnya perlu diimbangi
oleh pendekatan diakronis
16
Kajian sejarah terikat pada waktu, terutama pada kelampauan. Faktor waktu ini
yang amat membedakan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya sehingga sering
dikatakan bahwa sejarah adalah kajian yang berkaitan dengan manusia pada masa
lampau, sedangkan ilmu sosial adalah pengkajian manusia pada masa kini. Meskipun
begitu, sejarah mengkaji masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu, tetapi kajian
ini bisa digunakan untuk pedoman di masa yang akan datang.
Pada akhirnya ilmu sosial akan melihat kesamaan setiap peristiwa sejarah tanpa
terlalu memperhatikan perbedaan waktu dan tempat terjadinya sebuah peristiwa.
Selanjutnya sejarah akan menekankan pada kekhususan dari masing- masing peristiwa
sejarah dibanding dengan peristiwa sejarah lainnya, sehingga bagi sejarah suatu
peristiwa hanya terjadi sekali atau einmalig. Oleh sebab itu sejarah disebut juga kajian
yang ideografik, partikularistik, serta kekhasan. Sebaliknya, kajian ilmu-ilmu sosial
akan menekankan pada fenomena yang sama di semua peristiwa sejarah sehingga
dapat ditarik suatu hukum yang dapat berlaku secara umum. Oleh karena itu, kajian
ilmu-ilmu sosial disebut nomotetik atau generalistik, keumuman. Dengan adanya
perbedaan sifat-sifat tersebut menyebabkan sejarah bersifat tidak teratur sedangkan
ilmu sosial bersifat teratur karena peristiwanya yang berulang-ulang, sehingga ilmu
sosial dapat dipakai untuk meramal, sedangkan sejarah tidak bisa.
Pada dasarnya dikotomi antara sejarah dengan ilmu- ilmu sosial memiliki
kelemahan tersend iri, yaitu terlalu mengkotak- kotakkan ilmu seakan-akan terlihat
tidak ada keterkaitan satu sama lain. Padahal pada kenyataannya, antara sejarah dengan
17
ilmu-ilmu sosial lainnya saling memerlukan. Dalam mencapai kekhususan diperlukan
sebuah generalisasi atau keumuman untuk mencapai kesimpulan. Sebaliknya,
meskipun sejarah yang disimpulkan akan bersifat kekhususan, materi itulah yang akan
digunakan para ilmuan sosial untuk mengambil kesimpulan umum dan merumuskan
generalisasi atau teori atau “hukum umum” untuk “meramalkan” peristiwa-peristiwa
yang akan datang.
18
BAB III
KESIMPULAN
Kedudukan sejarah dalam ilmu sosial adalah unik dan khas karena sejarah
benar-benar memenuhi syarat sebagai ilmu jika dilihat dari metode penelitian dari
sumber-sumbernya. Sedangkan sejarah sebagai seni dapat dilihat dalam aspek
kemahiran interpretasi, penulisan dari hasil-hasil penelitian maupun dalam
penyampaian materi. Dalam hal interpretasi lah sering timbul subjektivitas karena
faktor latar belakang pengetahuan, keyakinan dan pandangan hidup ataupun tujuan
para sejarawan masing- masing.
Permasalahan sejarah sebagai ilmu bisa kita atasi dengan pendirian kita sendiri,
seperti berusaha memperoleh pengetahuan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan
dengan menggunakan argumentasi yang meyakinkan dan dilengkapi dengan
doumentasi yang baik. Kemudian pengetahuan sejarah tadi harus kita upayakan dekat
dengan kebenaran. Dengan menafsirkan sejarah melalui pendekatan analitis-kritis,
historis subtantif dan sosial-budaya. Selanjutnya menggunakan cara pendekatan yang
kualitatif atau kuantitatif sesuai dengan kemampuan kita.
Sejarah sebagai humaniora antara lain memiliki arti bahwa sejarah mempunyai
kecenderungan untuk memanusiakan manusia dengan memasukan unsur-unsur yang
mengandung nasionalisme maupun patriotisme yang mampu memberikan pengaruh
yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, fungsi dari sejarah yaitu akan
mampu menyiapkan generasi baru menjadi generasi emas bagi bangsanya, mengingat
sejarah akan memberikan ingatan kolektif dan penguatan identitas sehingga mampu
menguatkan watak dan jati diri bangsa.
19
Sejarah tidak menutup diri untuk menggunakan konsep-konsep yang umum
digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan. Selama penggunaan itu
untuk kepentingan analisis untuk menambah kejelasan eksplanasi atau interpretasi
sejarah maka penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu adalah wajar saja.
20
DAFTAR PUSTAKA
21