Anda di halaman 1dari 6

Positivistik Ilmu Sejarah di Indonesia

Ilmu sejarah sangat memerlukan filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan yang
diadopsi secara epistemologi sehingga melahirkan Filsafat Sejarah. Para sejarawan
menjadikan filsafat sejarah sebagai sebuah legitimasi keilmuannya, karena dalam
proses kelahirannya dalam sejarah awal ilmu pengetahuan, sejarah sebatas pencarian
pengalaman atas masa lalu. Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan berkelindan
pada karya sastra yang dicenderungi sebagai sampiran ilmu pengetahuan masa itu.
Pencarian sejarawan pada Sejarah sebagai ilmu pengetahuan di Indonesia bahkan
terlihat “gontai” dan tidak pasti. Mereka masih terjebak pada diferensiasi apakah
sejarah masuk ke humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan, atau ilmu-ilmu sosial
(Abdullah, 2006).
Filsafat dan sejarah berjalan beriringan sejak kemunculannya. Filsafat
merupakan jalan pencarian dan pencapaian tingkat kearifan atau kebijaksanaan
(Sophia). Sementara sejarah kala itu menjadi “media tulis” bagaimana dan siapa yang
mencapai jalan Sophia tersebut. Renungan-renungan atau daya nalar filsuf
berdasarkan metode pencapaian Sophia tidak akan “membumi” tanpa peran sejarah
sebagai alat penulisan. Jejak perkembangan filsafat sebagaimana perjalanan filsuf
Solon mengetahui, mendapatkan pengalaman tentang ragam manusia dan kebudayaan
yang berbeda satu sama lain tidak semata memunculkan filsafat spekulatif, tapi juga
filsafat sejarah spekulatif. Maka dari itu, perkembangan filsafat sebagai ilmu
pengetahuan dan sejarah sebagai disiplin ilmu saling beririsan, dan tidak bisa
dilepaskan begitu saja.
Filsafat adalah akar dari semua ilmu pengetahuan, termasuk Ilmu Sejarah.
Secara natural, Ilmu Sejarah lahir dari Filsafat. Filsafat pada awalnya melahirkan
Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu menumbuhkan filsafat sejarah. Dan filsafat sejarah
memunculkan Ilmu Sejarah (SUWIRTA, 2015). Salah satu periode sejarah yang
sangat berpengaruh pada kelahiran filsafat sejarah adalah era Hellenisme.
Filsafat Hellenisme tidak semata berpengaruh pada perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi lebih “modern”, tapi juga pemaknaan sejarah yang melahirkan
filsafat sejarah; apa tujuan dan hukum-hukum pokok mana yang mengatur
perkembangan serta perubahan dalam sejarah (Gardiner, 1985). Bila filsafat
Hellenisme membincangkan hidup bajik yang logis, etis, dan sosiologis, serta
mengembangkan wacana teoretis. Maka Ilmu Sejarah modern terikat pada
pemaknaan historiografis yang dituntut menghasilkan narasi-narasi logis dan etis.
Selain itu, historiografi atau karya sejarah berkembang menjadi objek filsafat sejarah
yang menelusuri jejak-jejak intelektualitas si sejarawan selama proses produksi
karyanya. Namun dalam perkembangan epistemologi sejarah, paradigma positivisme
dan skeptismu sangat berpengaruh pada pemahaman dan pekerjaan sejarawan
modern. Sebelum sampai pada refleksi akan paradigma positivistik dan skeptisisme
dalam ilmu sejarah, maka penting untuk menjelaskan dulu sejarah sebagai ilmu dan
filosofinya.
Pertanyaan utama secara ontologis dalam ilmu sejarah adalah apakah masa
lampau itu benar-benar ada atau nyata? Maka dari itu, bagi si sejarawan masa lampau
mesti dihadirkan (existence), dinyatakan (reality), dan ada (being). Secara ontologis
sejarah sebagai realitas masa lalu bukan saja diakui eksistensinya, tapi juga diyakini
sebagai kenyataan. Ia bukanlah fiksi, melainkan non-fiksi (SUWIRTA, 2015). Oleh
karena itu seorang sejarawan mesti orang pertama yang percaya kalau masa lalu ada
dan nyata. Tanpa hal ini maka hakikat ilmu sejarah tidak dapat disebut ilmu.
Bagaimana masa lalu diketahui dan dikaji para sejarawan? Pertanyaan dasar
yang diajukan si sejarawan adalah; apakah masa lalu manusia dapat diketahui?
Dengan apakah seorang sejarawan mengetahui masa lampau manusia? Dalam
konteks inilah sejarah sesungguhnya memiliki sistem pengetahuannya sendiri, atau
epistemologi. Sejarah memiliki sistem epistemologinya sendiri, yakni metode
mendapatkan pengetahuan akan masa lalu yang disebut heuristis, pencarian sumber,
validitas sumber dan data yang dikenal dengan kritik, dan kebenaran dalam bentuk
narasi-narasi yang eksplanatif dari penjelasan-penjelasan dari objek formal dan objek
material yang diangkat.
Ketika sejarah telah dideklarasikan sebagai realitas manusia masa lampau. Ada.
Sebuah kenyataan yang terbatas. Lantas apa nilai manfaat, kegunaan, atau hakikat
ilmu sejarah? Apakah aspek aksiologi dari ilmu sejarah itu? Secara umum para
sejarawan bersetuju secara aksiologis ilmu sejarah merupakan sumber inspirasi;
nasionalisme, perubahan sosial, dan sebagainya. Sejarah juga merupakan
pembelajaran akan kesalahan masa lalu dalam kredo historia magistra vitae (sejarah
adalah guru kehidupan). Selain itu, bagi yang lain, terutama para aktor-aktor sejarah,
menuliskan kisah mereka sendiri atau dituliskan merupakan sebuah rekreasi
(SUWIRTA, 2015).
Keberadaan epistemologi, ontologi, dan aksiologi dalam ilmu sejarah
menempatkannya sebagai salah satu ilmu yang relatif berkembang, terutama pada
abad ke-19. Namun perkembangan itu diikatkan pada kemajuan paradigma
positivisme dan skeptisisme yang berkembang kemudian. Dua hal ini pada akhirnya
melahirkan paradigma sejarah kritis yang dikembangkan kaum Annales di Perancis,
dan diperkaya dengan pengaruh kaum Mazhab Frankfurt, dengan tokoh seperti Marc
Bloch, Lucien Febvre, Fernand Braudel, Theodor W Adorno, Jurgen Habermas, dan
lain-lain.
Pertama, sejarah sebagai ilmu tidak bisa lepas dari paradigma positivisme.
Sebagai pengetahuan yang dipengaruhi paradigma positivisme, ilmu sejarah terikat
pada aturan-aturan penyelidikan ilmiah dalam upayanya mendapatkan objektivitas
apa yang terjadi di masa lalu. Untuk mencapai tujuan-tujuan ilmiah dan objektivitas
tersebut sejarawan kemudian memformulasi metode penelitian sendiri yang mengacu
pada langkah-langkah ilmu eksak dan berusaha melahirkan generalisasi-generalisasi.
Tapi berbeda generalisasi dalam ilmu alam, sejarah melahirkan generalisasi
konseptual (Kuntowijoyo, 2008). Pada sejarawan yang positivistik, mereka tidak
percaya pada adanya subyektivitas sejarawan. Apa yang terjadi di masa lalu, pilihan-
pilihan dan pengalaman manusia dalam satu ruang waktu dapat dijelaskan melalui
metode-metode empiris dengan hukum-hukum ilmu sosial lain. Pencarian hukum-
hukum itu pada akhirnya akan melahirkan objektivitas yang bebas nilai dan
menjelaskan “apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu”. Sejarah positivistik
melahirkan karya-karya sejarah yang kuantitatif, atau dapat diukur melalui serangkai
tabel-tabel angka.
Kedua, apakah si sejarawan betul-betul bisa lepas dari subyektivitasnya sebagai
peneliti? Bukankah ketika ia telah menetapkan siapa dan apa yang menjadi objek
kajiannya, ketika itu ia sesungguhnya telah memulai kerja subyektivitasnya sendiri?
Bila demikian, sejarah sebagai ilmu tentang manusia tidak bisa dilepaskan dari
ikatan-ikatan subyektivitas, dan pelekatan nilai atau makna atas objek risetnya.
Kepastian pada akhirnya adalah penjelasan atau eksplanasi berdasarkan “si sejarawan
memahami”, dan “si sejarawan memprediksi” dalam karya historiografinya. Pada
kondisi ini skeptisisme merupakan paradigma penting sejarah sebagai ilmu
humaniora.
Skeptisisme dalam ilmu sejarah sesungguh sikap ilmiah yang alamiah dalam
“darah” dan “nadi” ilmu sejarah itu sendiri. Masa lalu tidak pernah bisa
direkonstruksi secara utuh. Masa lalu manusia sebagai objek kajian ilmu sejarah tidak
pernah bisa benar-benar dihadirkan “sebagaimana ia terjadi”. Apa yang dilakukan
sejarawan melalui metode penelitian dan eksplanasi sejarahnya hanya mampu
memberi kebenaran yang parsial, yakni masa lalu sebagaimana dipahami oleh si
sejarawan itu sendiri. Namun pemahaman setiap orang berbeda. Maka dari itu satu
fenomena kesejarahan dapat melahirkan berbagai penjelasan berdasarkan pemahaman
dan tujuan penelitian dilakukan. Dengan demikian, kebenaran dalam sejarah tidak
pernah tunggal.
Skeptisisme dalam ilmu sejarah telah menempatkan bidang pengetahuan ini
pada jajaran pengetahuan humaniora. Skeptisisme dalam ilmu sejarah
menyumbangkan rasa empati dan simpati pada berbagai aspek dalam kajian sejarah
(tokoh, peristiwa, dll). Pada rasa empati dan simpati ini sejarah mengukuhkan dirinya
sebagai ilmu humaniora, serta menguatkan paradigma skeptisisme keilmuannya.
Paradigma ini menjadikan ilmu sejarah sebagai salah satu keilmuan kritis
mengevaluasi realitas atau apa yang kita percaya hari ini sebagai kebenaran yang
belum pasti dan sempurna.
Skeptisisme dalam ilmu dan filsafat sejarah melahirkan sub-sub kajian yang
kritis atas apa yang terjadi di masa lalu. Sejarah yang dalam paradigma positivistik
melahirkan kajian-kajian sejarah politik, sejarah orang-orang besar, atau sejarah
sosial. Namun masuknya paradigma skeptisisme dalam ilmu dan filsafat sejarah
justru melahirkan perspektif baru dalam penulisan sejarah (Nordholt et al., 2008).
Tafsir atau interpretasi menjadi instrumen penting dalam paradigma skeptisisme
ilmu sejarah. Tafsir dalam filsafat ilmu sejarah mengurangi faktor-faktor determinan
yang mengunci perdebatan soal objektivitas-subyektivitas dalam kajian sejarah. Hal
kemudian yang muncul dalam filsafat ilmu sejarah adalah gagasan “new-historism”.
Historisme-baru ini menurut Alan Munslow merupakan sebuah upaya dekonstruksi
yang tidak semata ke dalam menantang tradisi kajian sejarah konvensional, tapi juga
paradigma empiris (Purwanto, 2001). Pada tataran ini, dekonstruksi kajian sejarah
tidak lagi pada tuntutan kebenaran empiris dan komitmen pada intersubjektivitas pada
rekonstruksi aktivitas manusia lampau. Pengkajian sejarah telah bergerak dari sejarah
makro yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial, ke arah sejarah mikro yang
berbasis pada pengalaman hidup sehari-hari, sehingga sejarah menjadi manusiawi.
Namun dalam proses historismenya, pencarian sejarah sebagai ilmu atau diakui
sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan dalam ranah ilmiah atau akademik bukan jalan
mudah. Jalan ini berliku, bahkan terkadang “ditemukan” atau dikerjakan oleh mereka
yang berada di luar ilmuan yang menyatakan diri sebagai sejarawan murni. Sejarah
dalam kerja-kerja filsafat preskriptif, yakni mencari standar, dasar atau kriteria nilai,
metode atau metodologi dalam membangun asumsi objektivitas atau subyektivitas,
dalam proses melahirkan historiografi sangat terikat pada kualitas ontologis,
epistemologi, dan aksiologi si sejarawan itu sendiri.
Persoalan hari ini adalah bagaimana Ilmu Sejarah memberi kontribusi pada
persoalan kemanusiaan. Sejarah adalah ilmu yang menjadikan manusia sebagai objek
kajian. Maka dari itu, arah dan perspektif baru ilmu sejarah mesti mengarah pada
penggalian lebih dalam akan seluruh pengalaman masa lalu manusia yang dapat
digunakan memperbaiki kualitas hidup manusia di zaman kini dan akan datang. Oleh
sebab itu, para sejarawan perlu mendefinisikan dan re-sistematisasi kerangka pikir
filosofi keilmuannya (epistemologi, ontologi, dan aksiologinya) hari ini.
Redefinisi dan re-sistematisasi paradigma filsafat keilmuan sejarah dibutuhkan
hari ini ketika berbagai historiografi yang lahir bukannya makin membawa orang-
orang pada pencerahan, namun konflik horizontal berkepanjangan antar-anak bangsa.
Dalam kondisi ini yang dibutuhkan adalah filsafat sejarah positif dalam artian
menulis sejarah apa adanya yang disertai kesadaran bahwa masa lalu bukan
pewarisan dendam satu generasi ke generasi berikutnya sebagaimana terjadi dalam
kurun 40 tahun ini. Sejarah positif adalah sebuah konsep yang melahirkan sejarah
yang manusiawi.
Sejarah manusiawi merupakan tuntutan keilmuan filsafat ilmu pengetahuan
sejarah hari ini. Tanpa filsafat sejarah manusiawi maka sejarah senantiasa menjadi
objek kekuasaan, penghakiman, dan legitimasi kesengsaraan (playing victim) mereka
yang merasa dianiaya satu masa. Kasus kajian sejarah Peristiwa Gerakan 30
September 1965 (G30S/ 1965) merupakan salah satu tuntutan pentingnya aksiologi
sejarah yang manusiawi.
Tidak ada peristiwa sejarah masa lalu yang begitu mencukam dalam ingatan
masyarakat Indonesia hari ini kecuali apa yang terjadi pada malam-malam tanggal 30
September 1965. Pada dini hari sekawanan tentara yang kemudian diketahui prajurit
Cakrabirawa, pengawal pribadi Presiden Sukarno, mendatangi rumah-rumah petinggi
Angkatan Darat (AD) di Jakarta. Mereka memaksa membawa para jenderal tersebut
menemui presiden untuk menjelaskan adanya isu Dewan Jendral yang dianggap
komplotan untuk menjatuhkan kekuasaan Sukarno. Namun para jenderal itu menolak
dan melawan. Mereka akhirnya terbunuh dan dimasukkan ke Lubang Buaya.
Peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal AD itu kemudian merenteti
berbagai tragedi kemanusiaan setelah tanggal 1 Maret 1966, ketika Jenderal Suharto
menyatakan G30S didalangi PKI dan organisasi binaannya. Massa dengan dukungan
tentara menangkapi mereka yang menjadi anggota PKI dan organisasi binaannya.
Sebagian ditangkapi, dibunuh, dan dipenjarakan. Pada tataran masyarakat bawah,
dendam menjadi latar munculnya korban-korban G30S/1965. Banyak korban
kemudian meninggal atau hilang karena “di-PKI-kan” oleh musuh-musuhnya yang
sering tidak berkaitan dengan apa yang terjadi di Jakarta kala itu.
Sejarah menuliskan ada ratusan ribu korban dari peristiwa pasca pembunuhan
para jenderal. Puluhan ribu lain tidak tahu rimbanya. Hilang ditelan malam-Malam
Djahanam, bila kita pakai judul karya lakon Motinggo Boesje. Rezim pasca Sukarno
kemudian menanamkan ingatan akan kekejaman PKI dan antek-anteknya. Buku-buku
ditulis dengan insentif negara. Film diproduksi. Karya-karya yang dianggap pro-PKI
atau komunis dilarang. Mereka yang kedapatan menulis atau membaca dimasukkan
ke penjara. Dan sejarah ditulis sebagai pembenaran atas apa yang telah terjadi.
Sejarah tidak lagi murni sebagai sebuah ilmu pengetahuan pencari kebenaran
yang bebas nilai. Ribuan karya hadir menjawab hakikat sejarah sebagai penguat basis
legitimasi rezim. Bahwa rezim Orde Baru merupakan penyelamat negara-bangsa dan
berkewajiban menjaga ideologi negara yang telah diselewengkan oleh PKI.
Tapi pada 1998 rezim Orde Baru tumbang. Kebutuhan narasi sejarah yang baru
berkecambah di tengah ketidakrelaan “generasi tua” yang masih mempercayai karya-
karya sejarah yang diproduksi Orde Baru. Reproduksi karya-karya sejarah seputar
G30S/1965 dan peristiwa yang kemudian saling saing-menyaingi dengan pendekatan
berbeda dan kaya. Namun reproduksi objek material yang lama itu, tidak diikuti
dengan diskusi objek formal dari keilmuan sejarah. Hal ini akhirnya memperuncing
permasalahan sosial di tengah masyarakat, apatah lagi negara mencoba absen.
Ketidakhadiran negara dalam menjembatani perdebatan objek-material dari
kajian sejarah tentang peristiwa 1965 (pembunuhan jenderal dan anggota PKI) justru
memperkuat toksin atau racun masa lalu ini. Dalam dunia yang terus berkembang,
energi mesti diarahkan pada satu pencapaian yang baru. Dalam hal inilah
sesungguhnya filsafat ilmu sejarah mestinya mulai melahirkan sejarah yang
manusiawi, yakni sejarah yang melahirkan pemahaman dan tingkat penerimaan atas
segala bopeng-bopeng wajah kita di masa lalu. Tanpa ini maka Indonesia tidak akan
pernah menjadi bangsa besar kecuali terus memupuk ingatan yang menyedihkan
sebagai bara dendam yang akan di wariskan turun-temurun. Sungguh ironis.

Daftar Kepustakaan
Abdullah, T. (Ed.). (2006). Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. PT Rajagrafindo Persada.
Gardiner, P. (1985). Filsafat Sejarah. In T. Abdullah & A. Surjomihadrjo (Eds.), Ilmu
Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif (pp. 123–136). Gramedia.
Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah. Tiara Wacana.
Nordholt, H. S., Purwanto, B., & Saptari, R. (Eds.). (2008). Perspektif baru penulisan
sejarah Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Purwanto, B. (2001). HISTORISISME BARU DAN KESADARAN DEKONSTRUKTIF:
KAJIAN KRITIS TERHADAP HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS*.
Humaniora, 13(1), 29–44.
SUWIRTA, M. D. K. & A. (2015). Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi\rIlmu Sejarah.
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(2) September 2015, 3(September), 2.

Anda mungkin juga menyukai