Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN ILMU DAN FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH

Oleh: Fuad Ramly,S.Ag,M.Hum (Dosen Fak. Usuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh & Kandidat Doktor Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta) Abstrak Kemajuan yang tiada tara dalam sejarah intelektualitas manusia dipandang identik dengan kemajuan ilmu dalam berbagai bidang yang mencapai puncaknya pada abad ke 20. Abad ke 20 merupakan abad yang sangat mengagumkan bagi ilmu seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi mutakhir yang semakin pesat. Keunggulan ilmu disinyalir pula sebagai simbol keunggulan peradaban manusia dalam sejarahnya. Karena ilmu menjadi salah satu topik perbincangan yang paling menarik sekaligus sebagai sentral polemik yang paling aktual dalam diskursus kontemporer. Pengantar Jika ditelusuri dari akar sejarahnya, perkembangan dan kemajuan ilmu tidak terlepas dari mata-rantai hubungannya dengan filsafat. Berbicara tentang ilmu dalam berbagi dimensinya mesti terkait dengan pembicaraan tentang filsafat. Sinyalemen ini senada dengan ilustrasi Will Durant dalam karyanya The Story of Philosopy : filsafat ibarat pasukan marinir yang merebut pantai itu untuk mendaratkan pasukan infanteri (ilmuilmu). Setelah itu ia pun kembali pergi menjelajah lautan lepas untuk berspekulasi. Meskipun ilustrasi ini berbentuk analogi, namum mengandung makna historis yang cukup argumentative dan dapat dijadikan starting point untuk memahami hubungna antar ilmu dan filsafat. Akan tetapi di dalam Persfektif realitas masa sekarang. Model pemahaman versi analogi Durant tersebut belum sepenuhnya berkembang secara wajar. Berbagai distorsi dalam memahami eksistensi filsafat dan hubungannya dengan ilmu bisa saja terjadi karena desakan hegemoni ilmu yang semakin otoriter dan munculnya pola pemahaman tentang hubungan ilmu dan filsafat secara historis dan subjektif. Seperti munculnya fenomena yang mengharuskan filsafat tunduk pada hukum-hukum ilmiah. Sebagai bagian dari ilmu, atau bahkan filsafat mesti menjadi ilmu empiris sebagiman ilmu-ilmu lainnya. Fenomena ini bukan saja dapat menghilangkan nilai historis hubungan ilmu dan filsafat. Tetapi juga memunculkan citra (image) negatif tentang otonomi dan otoritas filsafat sebgai salah satu aspek terpenting pemikiran manusia. Justru itu, untuk memahami hubungan ilmu dan filsafat diperlukan reinterpretasi yang memadai berdasarkan klarifikasi historis yang lebih objektif. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menampilkan generalisasi deskriftif tentang objektifitas dan historitas hubungan ilmu dan filsafat yang berlangsung sampai pada masa sekarang. Titik Tolak Historis : Ilmu sebagai Filsafat Pada zaman Yunani kuno, sejak lahirnya filsafat, dan ilmu merupakan jalinan yang tidak dapat terpisahkan. Pada masa ini tidak terdapat pembedaan antara filsafat dan ilmu. Juga tidak dikenal pengertian ilmu seperti pada masa sekarang. Fenomena ini sudah tercermin dari pemikiran filsuf pertama, Thales, Bahwa ilmu sebagai bagian dari filsafat. Berbicara tentang ilmu sama halnya berbicara tentang filsafat menyangkut objek material tertentu seperti tentang alam materi (fisik), sekalipun terdapat perbedaan hanyalah dari segi objek material, yakni ilmusebagaimana ilmu yang pada masa sekarang pada masa itu merupakan filsafat kealaman atau juga diistilahkan sebagai filsafat kedua dalam taksonomi aristoteles, yang mengkaji objek-objek fisik (konkrit/ eksak) secara empiris. Secara historis, filsafat dan ilmu memiliki akar terminologis yang sama yaitu episteme yang kemudian berkembang menjadi istilah philosophia. Istilah philosophia itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Pythagoras (abad ke 6 SM) yang berarti cinta kebijaksanaan. Dan pencinta kebijaksaan dinamakan philosophos

(filsuf). Menurut aristoteles, episteme merupakan an organized body of rational knowledge with its proper object (suatu kumpulan pengetahuan rasional yang teratur dan memiliki objek tertentu). Filsafat dan ilmu adalah pengetahuan rasional, pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran-pemikiran rasional. Atas dasar persamaan ini ilmu juga dipandang identik dengan filsafat atau dijuluki juga sebagai filsafat. Peristiwa lahirnya filsafat pada abad ke-6 SM, di Yunani, menanadai terciptanya sejarah pergeseran paradigma pemikiran manusia dari pandangan-pandangan mitologis ke pola-pikir logis ( intelek/ rasional). Dan dari pendekatan-pendekatan praktis-alamiah menuju kerangka berpikir teoritis-ilmiah, pemikiran filsafat pada masa tersebut tidak hanya dipahami sebagai filsafat dalam pengertian sempit, tetapi mencakup pemikiran ilmiah pada umumnya. Pemikiran filsafat yang lahir di Yunani bukan hanya sebagai cikal-bakal filsafat sistematis sebagaimana yang dikenala pada masa sekarang. Tetapi sekaligus juga sebagai nenek moyang pemikiran ilmiah ( ilmu) yang berkembang dewasa ini. Justru itu para filsuf kenamaan yang datang kemudian seperti Descartes. Kant, Hegel, atau Husserl dan para ilmuan seperti Newton, Planck, atau Einstein memiliki leluhur yang sama di negeri Yunani. Eratnya hubungan antara ilmu dan filsafat juga dapat dipahami dari berbagai persepsi muncul dikalangan para pemikir. Francis Bacon. Misalnya, mengartikan filsafat sebagai induk dari ilmu-ilmu. Henry Sidgwick memandang filsafat sebagai ilmu dari ilmu-ilmu ( Scentia Scientiarum ). Seluruh cabang ilmu berakar dari filsafat sebagai dasarnya yang paling fundamental. Tidak satupun ilmu atau cabang-cabang ilmu ilmu yang dapat berdiri sendiri atau terlepas eksistensinya dari filsafat sebagai landasan historisnya. Hubungan ilmu dan filsafat terjalin dalam bingkai pengetahuan rasional. Sebuah konstruksi pengetahuan teoritis (Body of Knowledge) yang diilhami oleh penalaran logis dan tersususn secara sistematis. Perkembangan Dikotomis: Ilmu versus Filsafat Jalinan kesatuan antara ilmu dengan filsafat- dalam pengertian bahwa ilmu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat ternyata tidaklah bertahan sampai pada masa sekarang. Peristiwa ini dapat disaksikan melalaui peta perkembangan ilmu yang semakain pesat sejaka masa Renaissance (abad ke 14-16) sebagai inspirator utama modernisme. Lahirnya zaman Renaissance di Barat disinyalir sebagai peristiwa sejarah yang paling monumental bagi terciptanya paradigma baru dalam bidang keilmuan dan dunia kefilsafatan. Dalam bidang keilmuan. Zaman Renaissance melahirkan dominasi Copernican Revolution (Revolusi Kopernikan) yang telah menggeser otoritas pemahaman tentang alam versi Aristotelian yang telah sekian lama menguasai zaman Pertengahan. Sedangkan dalam dunia kefilsafatan, pengaruh Renaissance memunculkan dominasi Cartesian Revolution (Revolusi Kartesian) yang memberikan ekspresi filsafat kepada pandangan mekanis tentang alam sebagi tonggak filsafat Zaman modern. Pada zaman Renaissance manusia seakan terlahir kembali dalam dunia yang sama sekali berbeda dengan periode zaman-zaman sebelumnya. Manusia dipandang telah menemukan jati diri yang sebenarnya, munculnya liberalisme intelektual dan kemerdekaan humanisme, serta menjamurnya kemajuan ilmu-ilmu alam dengan lahirnya berbagai penemuan-penemuan spektakuler yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Perkembangan ilmuilmu yang terjadi sejak masa Renaissance seiring dengan berkembangnya metode eksperimental ilmu-ilu kealaman sebagai metode yang terbukti paling berhasil pada masa itu. Namun perkembangan dan keberhasilan tersebut pada gilirannya justru menimbulkan akses dikotomis antara ilmu dan filsafat yang di tandai oleh lepas-landasnya ilmu-ilmu cabang dari filsafat sebagai induknya. Fenomena ini diawali oleh ilmu-ilmu alam, terutama fisika, yang memisahkan dari filsafat, melalui tokoh-tokoh revolusioner seperti Copernicus, Galileo, Kepler, Versalinus, dan Newton. Sampai abad ke 18 fisika masih merupakan bagian dari filsafat, sebagai filsafat alam. Tetapi sejak pertengahan abad ke 19,fisika, juga kimia dan biologi pada umumnya dinamakan ilmu-ilmu kealaman dan bukan merupakan cabang-cabang dari filsafat alam. Karena sudah terlepas dari filsafat.

Perkembangan dikotomis tersebut selanjutnya diikuti oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora seperti psikologi, sosiologi,antropologi, ekonomi, dan politik. Yang juga memisahkan diri dari filsafat dan menjadi ilmu-ilmu khusus (ilmu-ilmu cabang) yang berdiri sendiri. Pemisahan ini semakin memperbesar jurang perbedaan antara ilmu dan filsafat. Perbedaan yang paling menonjol antara ilmu dan filsafat, terutama sekali, terletak pada cirinya masingmasing. Dewasa ini ilmu-ilmu seperti fisika, biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial seperti ekonomi,sosiologi, ilmu hukum dan ilmu politik semuanya secara pasti menjadi ilmu-ilmu empiris. Ciri empiris inilah yang merupakan ciri umum ilmu-ilmu tersebut yang membedakannya dari filsafat. Lewis juga menambahkan bahwa ciri empiris, sebagai ciri umum ilmu. Telah memperoleh legitimasi melalui kesepakatan para ilmuan dan para filsuf. Ciri empiris ini pada dasarnya merupakan ciri ilmu-ilmu kealaman yang bertumpu pada generalisasi-generalisasi yang berdasarkan pengamatan (observasi) dan eksperimentasi, kecendrungan semacam ini selanjutnya merambah wilayah ilmu-ilmu sosial maupun psikologi dipandang ilmiah (valid dan benar) sejauh memiliki ciri empiris tersebut alias bercirikan model penyelidikan ilmu-ilmu alam. Di satu sisi, pemaksaan model pendekatan empiris dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora (ilmu-ilmu human) kelihatannya lebih didasarkan pada aspek historis keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam mendekati dan menguasai alam relatif secara memuaskan sebagaimana yang terjadi sejak masa Renaissance. Di sisi lain. Pendekatan empiris dinilai lebih objektif dalam mendeskripsikan fakta-fakta tentang manusia (sebagai objek) sebagaimana halnya dalam menjelaskan (eksplanasi) fenomena alam. Meskipun Wilhelm Dilthey secara tegas dan terang-terangan menolak pemaksaan metode eksplanasi (explanation/ erklaeren) untuk ilmu-ilmu kemanusian (Geisteswissenschaften) dan menawarkan metode verstehen (understanding) sebagai gantinya, tetapi sampai masa sekarang pemaksaan tersebut secara umum masih berlaku dalam dunia keilmuan. Konsenkuensi dari penekanan ciri empiris ilmu juga berbias pada aspek dikotomis filsafat dan ilmu menjadi semakin meluas. Dikotomi ilmu dan filsafat tidak hanya terletak pada perbedaan ciri umum (ciri umum ilmu: empiris versus ciri umum filsafat: spekulatif/ reflektif). Tetapi juga pada perbedaan metodologi (metode ilmiah versus metode filsafat). Azas pembuktian ( pembuktian ilmiah versus pembuktian filosofis). Sampai pada persoalan tentang kebenaran (kebenaran ilmiah versus kebenaran filosofis) dan seterusnya. Melalui ciri empiris itu pula ilmu telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan seperti peningkatan produktivitas. Efektivitas dan efisiensi kinerja manusia, serta menawarkan berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia yang semakin dapat dirasakan pada masa sekarang. Kemajuan-kemajuan tersebut juga tercermin dari keunggulankeunggulan produksinya dengan terciptanya teknologi-teknologi mutakhir, informatika, industrialisasi, komputerisasi dan sebagainya yang dewasa ini semakin tersosialisasi. Kendatipun semua itu tidak terlepas dari krirtik dan kelemahan-kelemahan karena efek negatif yang ditimbulkan. Sedangkan filsafat, karena tidak bercirikan empiris (observatif-eksperimental) sebagaimana halnya ilmu, tentu saja tidak memproduksi semua kemajuan tersebut, kecuali sebatas meletakkan dasar-dasar fundamental bagi ilmu-ilmu. Maka tidaklah mengherankan jika muncul berbagai kritik dan sikap ironis dari kalangan awam maupun kelompok ilmuan tertentu terhadap filsafat. Filsafat dinilai tidak pernah maju atau semakin tertinggal dibandingkan ilmu, sementara ilmu dikukuhkan sebagai primadona yang dipandang mampu mewujudkan berbagai harapan dan citacita manusia. Di sisi lain, otoritas ilmu bukan saja telah menggeser kedudukan filsafat, atau menjauhkan diri dari filsafat lantaran filsafat hanyahanya dinilai berhaluan spekulatif alias tidak empiris, atau memiliki kecendrungan yang kuat kearah pemikiran metafisik. Lebih dari itu, otoritasilmu dewasa ini ini kelihatannya tampil sebagai imperium baru yang diperkokoh oleh legitimasi-legitimasi cultural, politik dan ideologis manusia. Jika ini yang terjadi. Jurang dikotomis antara ilmu dan filsafat semakin memuncak dan berbias pada kontroversi ilmu dan filsafat yang lebih ekstrim sebagaimana yang terlintas didalam keprihatinan Bertrand Russels. Ia mengatakan : antara teologi dan ilmu terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun ilmu. Daerah tak bertuan ini adalah Filsafat . Mungkinkah kontroversi ini dileraikan sehingga akan menampilkan pemahaman yang saling menguntungkan ke dua belah pihak ( ilmu dan filsafat)? Atau paling tidak, mungkinkah terdapat alternatif lain untuk memahami kembali harmonisasi hubungan antara ilmu dan filsafat sebagaimana yang pernah terjalin pada

masa pra-renaissance? Jawaban yang paling arif untuk pertanyaaan ini, menurut penulis dapat dianalogikan pada model hubungan filsafat Dan ilmu dalam perspektif Filsafat ilmu. Filsafat Ilmu : Interaksi Ilmu dan Filsafat Meskipun ilmu-ilmu khusus telah berdiri sendiri terlepas dari filsafat, namaun dalam banyak cara ilmu-ilmu itu pada prinsipnya juga masih berhubungan dengan filsafat. Prof. Ferrrater Mora bahkan menegaskan bahwa ilmu berhubungan dengan filsafat dalam semua hal. Hubungan ini terjalin dalam bentuk interaksi yang dewasa ini lebih intensif dari yang pernah terjadi. Perkembangan teoritis-metodis ilmiah senantiasa terkait dengan pemikiranpemikiran filosofis. Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat. Dan filsafat merupakan pengkritik yang paling berharga bagi ilmu. Hubungan interaktif filsafat dan ilmu mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak berkembang maju tanpa terlibat dengan persoalan-persoalan ilmiah, dan ilmu tidak dapat berkembang secara kokoh tanpa kritik dari filsafat. Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Filsafat mengambil dan menyususn pengetahuan-pengetahuan yang terpenggal-penggal dari bermacam-macam ilmu. Hubungan interaktif ini menjadikan filsafat lebih bersifat ilmiah dan ilmu lebih bersifat filosofis. Sebagai konsekuensinya, mengutip pendapat Newman pada abad ke 19 dalam bukunya The Idea Of A University: Seorang intelektual, sebagaimana yang sekarang dipahami oleh dunia, adalah orang yang sarat dengan pandangan tentang semua pokok bahasan filsafat. Tentang semua masalah masa kini. Arthur Pap secara sangat mengesankan juga menggambarkan suasana tersebut sebagai berikut: Di satu pihak, ilmiawan-ilmiawan (para ilmuan) telah menjadi lebih filsafati (filosofis) karena kesulitan-kesulitan konseptual dan metodologis; kesulitan konseptual terutama dalam fisika kwantum pada masa sekarang dan kesulitan metodologis terutama dalam psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Di lain pihak, timbulnya filsafat analitik di Negara-negara yang berbahasa Inggris, yang secara tak terpisahkan terikat dengan kemajuan dalam logika dan semantik, telah membawa ketepatan ilmiah ke dalam filsafat, membuat filsafat lebih terhormat di mata ilmiawanilmiawan yang biasa dibikin muak oleh kekaburannya yang mengesankan dan perekaan-perekaan metafisis. Di dalam sistematika kefilsafatan, bidang kajian yang terkait dengan aneka persoalan tentang hubungan dan interaksi filsafat dan ilmu dikenal sebagai filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya sangat bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu. Hubungan timbal-balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu. Filsafat ilmu di satu sisi secara tidak terasa bernaung pada ilmu. Meskipun di sisi lain tetap bertumpu pada filsafat. Atas dasar ini pula di dalam terminology asing (Inggris) dikenal beberapa nama lain yang lazimnya dipandang identik dengan filsafat ilmu (Philosophy of Science). Seperti theory of science, metasciene, methaodology, dan science of science. Lahirnya filsafat ilmu secara definity bersamaan dengan munculnya gagasan Francis Bacon pada Abad ke 17 dan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada Abad ke 20. Peristiwa ini bermula dari kritik filosofis yang dilancarkan Bacon terhadap metode ilmiah. Terutama metode induktif, sebagai andil dan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan ilmu. Jejak Bacon selanjutnya diikuti oleh filsuf ilmu John Stuart Mill dan kemudian diteruskan oleh para filsuf ilmu kontemprorer (abad ke 20) seperti para pengikut kelompok lingkaran Wina (Vienna circle). Karl R. Popper. Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, para penganut Mazhab Franfurt dan sebagainya. Meskipun padangan mereka saling berbeda. Namun memiliki focus of interest yang sama yaitu menelaah berbagai persoalan keilmuan sebagai objek material filsafat mereka. Inilah yang membedakan mereka dari filsuf-filsuf yang lain. Filsafat ilmu berusaha menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu. Peran filsafat ilmu sangat penting artinya bagi perkembangan dan penyempurnaan ilmu. Meletakkan kerangka dasar orientasi dan visi penyelidikan ilmiah, dan menyediakan landasan-landasan ontologisme, epistemologis, dan aksiologis ilmu pada

umumnya. Filsafat ilmu melakukan kritik terhadap asumsi dan postulat ilmiah serta analisis-kritis tentang istilahistilah teknis yang berlaku dalam dunia keilmuan. Filsafat ilmu juga menjadi pengkritik yang sangat konstruktif terhadap sistem kerja dan susunan ilmu. Sistem cara kerja dan susunan ilmu yang begitu ketat justru dinilai dapat menyulitkan penemuan, penelidikan, dan paling bertanggungjawaban ilmiah sehingga para ilmuan menjadi pangling dan tidak mengenal lagi profil ilmu yang ditekunini. Ruang lingkup filsafat ilmu, menurut Arthur C. Danto sangatlah luas, mencakup berbagai persoalan yang berkaitan erat dengan ilmu dan pemecahannya dipandang sebagai sumbangan bagi ilmu, serta persoalan-persoalan umum yang terlibat dengan aspek filosofis yang lebih banyak memberikan sumbangan berharga bagi metafisika dan epistemologi daripada filsafat ilmu itu sendiri. Luasnya cakupan objek material filsafat ilmu. Seluas ilmu itu sendiri. Melahirkan berbagai pemahaman tentang filsafat ilmu sepeti pembedaan antara filsafat ilmu-ilmu alam (philosophy of natural sciences) dan filsafat ilmu-ilmu sosial (philosophy of social sciences). Juga pembedaanpembedaan yang dibuat oleh Arthur pap dan Michael seriven. Arthur pap membedakan filsafat ilmu kepada: 1. Philosophy of Science-In-General (filsafat ilmu umum) yang menelaah konsep-konsep dan metode-metode yang terdapat di dalam semua ilmu. Seperti tentang pengertian. Penjelasan, generalisasi induktif, dan kebenaran. 2. Philosophy of Spesific-Science (filsafat ilmu-ilmu khusus) seperti filsafat fisika, atau filsafat psikologi dan sebagainya, filsafat ilmu-ilmu khusus ini menangani konsep-konsep khusus yang berlaku dalam bidang ilmu-ilmu khusus, seperti tentang waktu dan gaya dalam fisika, variable sela dalam psikologis, dan sebagainya. Sedangkan Michael sciven membedakannya menjadi: 1. Substantive Philosophy of Science ( filsafat ilmu substantive) yang berkaitan dengan penelaahan isi dari masing-masing ilmu khusus. 2. Structural Philosophy of Science (filsafat ilmu structural) yang berkenaan dengan penelaahan tentang topiktopik seperti penyimpulan ilmiah. Penggolongan, penjelasan, peramaian, pengukuran, probabilitas, dan determinisme. Pembedaan-pembedaan tersebut terjadi lantaran pertumbuhan spesialisasi ilmu yang semakin marak. Dan sesuai dengan tuntutan intelektualitas filosofis-ilmiah yang semakin berkembang. Perbedaan-perbedaan tersebut pada prinsipnya hanya terkait dengan ruang lingkup objek material filsafat ilmu-karena disamping terdapat pengertian ilmu secara umum juga terjadi perbedaaan karakteristik dan keragaman antar ilmu-ilmu khusus tanpa menyentuh objek formalnya. Karenanya berbagai seperti pembedaan-pembedaan yang dibuat Arthur Pap dan Sciven. Secara umum juga dapat direduksi ke dalam istilah filsafat ilmu (philosophy of science) yang lebih popular dipergunakan dalam berbagai literature kefilsafatan kontemporer. Proses interaksi antara filsafat dan ilmu yangterus mengalami perkembangan dan kedewasaan menjadikan wacana filsatat ilu lebih berkembang seperti yang terlihat pada masa sekarang. Karena itu filsafat ilmu menjadi salah satu cabang filsafat yang memperoleh kedudukan dan elsistensi yang sangat penting dewasa ini diantara cabang-cabang filsafat yang lain, sebagai salah satu representasi filsafat kontemporer. Kesimpulan Hubungan antara ilmu dan filsafat telah berlangsung dalam rentang sejarah yang begitu panjang. Sejak lahirnya filsafat sekitar abad ke 6 SM. Ilmu dipandang identik dengan filsafat dalam jalinan yang tidak terpisahkan, tetapi sejak pertengahan abad ke 19 ilmu dibedakan dengan filsafat karena ilmu sudah berdiri sendiri terlepas dari filsafat. Perbedaan ini terjadi secara dikotomis yang memicu pertentangan antara ilmu dan filsafat sehingga hubungan ilmu dan filsafat menjadi tidak harmonis.

Harmonisasi hubungan antara ilmu dan filsafat kembali terjalin ketika filsafat ilmu mulai berkembang. Terutama pada abad ke 20. Melalui filsafat ilmu yang berobjek formal filsafat dan terobjek material ilmu. Filsafat dan ilmu dapat berinteraksi secara positif. Saling menopang, dan saling berdialog tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan dan kemajuan ilmu tanpa saling mereduksi satu sama lain. Perkembangan dan kemajuan ilmu menuntut peran dan keterlibatan filsafat (filsafat ilmu). Terutama kritik filosofis yang sangat berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu. Perkembangan filsafat(filsafat ilmu) juga tidak terlepas dari andil perkembangan ilmu yang semakin pesat sebagai lahan penyelidikannya. Pola interaksi ini berlangsung tanpa mengganggu otonomi, eksistensi dan otoritas ilmu maupun filsafat, sehingga ilmu dan filsafat dapat beriring-bersandung dalam proses perjalanannya sejarahnya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai