Anda di halaman 1dari 10

KONSEP DASAR FILSAFAT SEJARAH KRITIS

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah


Kelas C

Dosen Pengampu :
Drs. Kayan Swastika, M.Si.
NIP 196702102002121002

Oleh :
Dimas Faldi Jiaulhaq 170210302086
Venedio Nala Ardisa 170210302111

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
a. Definisi Filsafat Sejarah Kritis
Menurut Hasbullah dalam bukunya Filsafat sejarah, Filsafat kritis sejarah
merupakan suatu “teori” atau disiplin ilmu sejarah yang berhubungan dengan
pertanyaan, seperti sifat bukti sejarah, sejauh mana objektivitas itu mungkin, dan
sebagainya (Hasbullah, M. Supriadi. 2012: 38-39).
Filsafat sejarah kritis ( The Critival Philosophy of History), adalah unsur yang
memiliki lingkup kerja, yaitu apabila seseorang berusaha meneliti sarana-saran yang
dipergunakan ahlisejarah, dalam meneragkan peristiwa masa lalu, dengan cara
yangdapat dipertanggungjawabkan. Arena kerja filsuf sejarah kritis ini tidak terlepas
dari karya sejarah yang telah diwujudkan oleh ahli sejarah. Sebab dengan pengkajian
karya sejarah tersebut, kita akan mngetahui bermacam-macam sarana yang
diperlukanpenulisnya (Hasbullah, M. & Supriadi. 2012: 44).
Filsafat sejarah kritis lebih menitik beratkan refleksinya pada masalah bagaimana
cara kerja ilmu sejarah, asumsi, klaim kebenaran, kategori-kategori yang dipakai.
Filsafat sejarah kritis, oleh karena itu, lebih bersifat epistemologis daripada metafisik.
(Bakker. 2018:160-161)
Filsafat sejarah kritis merupakan suatu perkembangan yang masih baru. Memang
secara fragmentaris terdapat dalam tulisan Gian Battista Vico, Hegel dan karya flsuf
abad ke-19, seperti Dilthey dan B. Croce. Di Inggris Hume, J.C, Mill dan F.H.
Bradley pernah mengemukakan gagasannya. Tulisan mengenai filsafat sejarah kritis
yang lebih terolah dan lengkap adalah tulisan R.G. Collingwood, The Idea of History
yang baru terbit tahun 1946 setelah kematiannya. (Bakker. 2018:161)
Di Jerman Ranke melontarkan konsepsi baru tentang sejarah: Sejarah harus secara
ketat empiric dan kemudian oleh para pengikutnya dijadikan ilmu positif. Meyerhoff,
[ed.], 1959 dalam Bakker 2018 menulis pemaparan Ranke yang berbunyi :
“To history has been assigned office off judging the past, of instructing the present
for the benefit of future ages. To such high offices this work does not aspire, it wants
to show only what really happened (wie es eigenlich gewesen)” yang artinya sejarah
telah ditetapkan untuk mengatur masalalu, menginstruksikan masa kini untuk
kepentingan masa depan. Sejarah hanya ingin menunjukkan apa yang benar-benar
terjadi. (Bakker. 2018:161)
Kalimat terakhir ini menjadi manifesto historiografi empirik modern. Sejarah
bukanlah spekulasi filosofis, bukan pula suatu pengganti seni, hiburan atau moralitas.
The strict presentation of he facts is … the supreme law of historiography. Aliran ini
diperkuat dengan terbitnya Historische Zeitschrift pada tahun1859, yang menekankan
tuntutan ilmiah dari sejarah. Namun posisi ini ini tidak lama kemudian mendapat
tantangan keras dari Burckhard yang menolak menjadi pengganti Ranke di Berlin. Ia
berpendapat bahwa sejarah adalah disiplin yang paling tidak ilmiah, tetapi berisi
banyak hal berharga untuk di ketahui. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
perubahan itu. Pertama, perkembangan filsafat eksistensialis yang menentang
pemikiran abstrak, yang berlawanan dengan gerak kehidupan dan eksistensi individu.
Kedua, pengutamaan otonomi rasio manusia digantikan oleh pengutamaan kehendak
atau daya-daya vital manusia (Nictzsche, Schopenhsauer, Bergson dan juga
pragmatisme dari William James). Ketiga, munculnya pandangan-pandangan
mengenai peran faktor-faktor irasional, kepentingan klas, dogma, mitos ideologi, ilusi
yang meresapi sejarah dan masyarakat. dapat dikatakan pemikiran demikian mewarisi
pemikiran dari : Marx, Comte, Burckhardt, Pareto, Sorel dan Freud. (Bakker.
2018:161-162).
Filsafat berurusan dengan masalah-masalah mengenai kebenaran, kebaikan,
dan keindahan. Msalah mengenai keindahan termasuk bidang estetika. Dalam sejarah
filsafat sejarah, masalah estetika tidak pernah memainkan peranan penting. Memang,
sementara ahli sejarah historis serta filsuf-filsuf sejarah pernah mengatakan bahwa
pengkajian sejarah bukanlah suatu ilmu, melainkan semacam seni. Seperti seorang
pelukis menciptakan sebuah lukisan terpadu mengena pemandangan alam atau orang
yang ingin ditampilkannya, demikian juga dengan seorang ahli sejarah menyajikan
gambaran-gambaran terpadu mengenai masa silam kepada pembaca. Tolak ukur
estetis yang kita terapkan untuk menilai patung-patung atau lukisan-lukisan
hendaknya kita pergunakan juga dalam pengkajian sejarah. Historisme dan
narativisme mirip dengan pendekatan estetis terhadap pengkajian sejarah.
(Ankersmit.1987:71)

b. Obyek Kajian Filsafat Sejarah Kritis


Kumpulan kecenderungan diatas itu menghapus harapan akan adanya sistem
konseptual yang objektif dan universal dalam ilmu atau dalam masyarakat. Usaha
untuk mendapatkan kebenaran objektif dikalahkan oleh elan vital, kehendak berkuasa
dan kehendak untuk percaya. Teori ilmu pengetahuan berubah menjadi sosiologi
pengetahuan, rasionalitas menjadi rasionalisasi. Berbagai permasalahan yang muncul,
sebagaimana dikatakan oleh Hans Meyerhooff, dalam Bakker antara lain : (Bakker.
2018:162)
a. Objek dari sejarah begitu kompleks dan luas, sehingga tidak mungkin
dicakup dalam satu konsep. Apakah sejarah itu? Kronik atau narasi
interpretatif, sejarah universal seperti ditulis oleh Toynbee, biografi tokoh-
tokoh, analisis mengenai trend ekonomi, pola-pola budaya, konflik
ideology, perubahan institusional?
b. Fakta sejarah bersifat khusus, peristiwa individual, konkrit, tidak
berulang : pribadi-pribadi, pembunuhan, pendudukan, land reforms,
revolusi, migrasi, dekrit (Soekarno dan Gus Dur), konflik etnik, konflik
agama. Semuanya ini adalah peristiwa unik masalalu yang sampai pada
manusia tidak melalui pengalaman, tetapi melalui ingatan atau evidensi
tak langsung, seperti laporan dan dokumen tertulis.
c. Tujuan penelitian sejarah adalah merekonstruksikan peristiwa-peristiwa
itu dalam ketunggalannya. Apakah bisa dirumuskan “Hukum Umum”?
d. Bahasa sejarah juga berbeda. Narasi sejarah mirip suatu novel. Dengan
logika macam apa narasi itu disatukan? Manakah faktor-faktor rasional
untuk menentukan seleksi penolakan dan pengaturan-pengaturan
peristiwa-peristiwa? Manakah kriteria yang relevan dan tidak relevan
e. Fakta teori dan intepretasi merupakan kesatuan yang kompleks dalam
narasi sejarah. Bagaimana cara memilah-milahnya.
f. Metode sejarah dapat menimbulkan keraguan. Ada yang mengikuti
prosedur ilmiah biasa dengan evidensi dan inferensi. Ada pula yang
menggunakan insight, intropeksi, empati, imaginasi, “pemahaman”
(Versteben). Bagaimana manusia mengetahui karakter seseorang, motif
tindakan, suasana munculnya suatu gagasan dan perilaku yang manusia
tidak dapat mengobservasi
g. Eksplanasi dalam sejarah merupakan masalah khusus. Bagaimana manusia
menjelaskan “sebab-musabab”. Bagaimana sebab itu menentukan suatu
peristiwa? apakah sebab disini dan juga hukum yang dirumuskan sama
dengan sebab dan hukum dalam ilmu?
h. Kebebasan : bagaimana menjelaskan kebebasan dan keharusan? Tentu
saja ada keharusan alam, lingkungan, hereditas, tekanan sosial, batasan
hukum dan mungkin motivasi tidak sadar. Tetapi pasti ada kebebasan
juga, kalau tidak apa beda tindakan manusia dan peristiwa alam.
i. Nilai, makna emotif dan konsep ideologis bagaimana masuk dalam studi
sejarah, apkaah sejarahwan dapat menghindar dari semuanya itu?
j. Masalah makna sejarah : sejarah modern tidak lagi bekerja dengan
menggunakan suatu prinsip universal, tetapi dengan menggunakan
berbagai hukum dan prinsip. Maka diragukan bahwa duketemukan satu
arah linear dalam sejarah(Bakker. 2018:163-164)
Semua permasalahan-permasalahan tersebut masih merupakan permasalahan
yang terbuka : dalam arti apa sejarah merupakan disiplin intelektual yang sah?
(Bakker. 2018:164)
Apa saja kajian filsafat sejarah kritis? Pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua
macam obyek, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah segala
sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, baik sesuatu yang bersifat konkret
seperti kerbau, sapi, manusia, pohon, batu, tanah, air dan tanah maupun abstrak
seperti nilai-nilai, ide-ide, paham atau aliran dan sebagainya. Contoh, misalnya tubuh
manusia menjadi obyek material bagi ilmu kedokteran. Sedangkan obyek formal
adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, misalnya pendekatan
empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran. Obyek material filsafat adalah segala
yang ada, baik yang nampak (dunia empiris) maupun yang tidak nampak (abstrak,
metafisika). Menurut sebagian filosof obyek material filsafat itu menyangkut tiga hal,
yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam fikiran dan yang ada dalam
kemungkinan. Obyek material filsafat pada umumnya sama dengan obyek penelitian
sains, bedanya terletak pada dua pokok, yaitu : Pertama sains menyelidiki obyek
material yang empiris, sedangkan filsafat lebih mengarah kepada yang abstraks.
Kedua, ada obyek material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,
seperti Tuhan, hari akhir (obyek materi yang selamanya tidak empiris). Jadi obyek
material filsafat lebih luas ketimbang obyek material sains .
Obyek formal filsafat adalah sifat penyeledikan yang radikal, yakni
keingintahuan tentang hakikat kebenaran sesuatu, dengan cara melakukan
penyelidikan secara mendalam sampai ke akar-akarnya. Dengak kata lain bahwa
obyek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal dan obyektif
tentang sesuatu yang ada untuk dapat mengetahui hakikat yang sesungguhnya.

Metodologi aatau filsafat sejarah formal menurut konsep Bauer atau filsafat
sejarah kritis menerik pula minat Ronald H. Nash, guru besar ilmu filsafat di Westem
Kentucky University.

Tajuk-tajuk yang dibahasnya dalam mempersoalkan filsafat sejarah kritis


adalah sebagai berikut:

a. Positivisme dan idealisme, masalah pemahaman sejarah


b. Masalah eksplanasi sejarah
c. Masalah objektivitas sejarah
d. Masalah sebab-sebab dalam sejarah
e. Determinisme sejarah. (Kartodirdjo, 1992:410)
c. Konteks Historis Perkembangan Filsafat Sejarah Kritis
Filsafat berurusan dengan masalah-masalah mengenai kebenaran, kebaikan,
dan keindahan. Masalah mengenai keindahan termasuk bidang estetika Dalam
sejarah, filsafat sejarah, masalah estetika tak pernah memainkan peranan penting
Memang sementara ahli sejarah historisistis serta filsuf-filsuf sejarah pernah
mengatakan, bahwa pengkajian sejarah bukanlah suatu ilmu, melainkan semacam
seni. Seperti seorang pelukis menciptakan sebuah lukisan terpadu mengenai
pemancangan alam atau orang yang ingin ditampilkannya. Demikian juga tugas
seorang ahli sejarah menyajikan sebuah gambaran terpadu mengenai masa silam
kepada pembaca. Tolok ukur estetis yang kita terapkan untük menilai patung-patung
atau lukisan-lukisan, hendaknya kita pergunakan juga dalam pengkajian sejarah.
Historisme dan narativisme mirip dengan pende katan estetis terhadap pengkajian
sejarah mengenai kebaikan bidang etika, memainkan yang lebih menonjol dalam
filsafat sejarah. (Ankersmit, 1987:71)
Pertayaan pertama yang dapat diajukan ialah, apa yang dapat disumbangkan
oleh pengkajian sejarah, agar dunia ini menjadi lebih baik dan adil? Pertanyaan kedua
yang perlu dijawab ialah sejauh mana norma dan nilai-niiai gambaran kita mengenai
masa silam. Tetapi permasalah utama yang digumuli filsafat sejarah ialah, sejauh
mana kita dapat memperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa silam dan
bagaimana sifat pengetahuan. (Ankersmit, 1987:71)
Pernyataan pernytaan mengenai hal tertentu pada masa silam, serta keterangan
historis mengenai itu, biasanya hanya merupakan sebagian dari buku-buku atau
karangan karangan yang ditulis oleh para ahli sejarah. Ini lalu membawa kita pada
tahap ketiga. Sejauh mana suatu gambaran atau penatsiran mengenai masa silam,
benar atau memadai? Gambaran mengenai masa silam, selalu melebihi pernyataan
pernya taan dan tafsiran tafsiran yang merupakan kepingan dan gambaran itu. Maka
dari itu, permasalahan ini tidak dapat dibatasi pada tahap pernyataan-pernyataan
mengenai masa silam, serta keterangan-keterangan yang diberikan oleh para ahli
sejarah mengenai fakta -fakta yang dilukiskan dalam pernyataan-pernyataan tadi.
Masalah sejauh mana gambaran-gambaran historis itu benar dan memadai, harus
diteliti secara tersendiri. (Ankersmit, 1987:73)
Tematik mengenai keterangan historis masih mempu nyai cabang lain. Imu
eksakta ternyata sangat berhasil dalam memberi keterangan-keterangan mengenai
gejala gejala dalam bidang ilmu itu. Selain itu, di antara para filsuf ilmu secara garis
besar, terdapat kesepakatan bagaimana seharusnya suatu keterangan ilmiah. Seorang
filsuf sjarah mudah tergoda, mencari ilham pada ucapan-ucapan para filsuf ilmu
mengenai keterangan dalam ilmu eksak, Tentu pergkajian saja, strategi serupa itu
baru masuk akal, bila per sejarah dan ilmu-ilmu eksakta mempunyai titik-ti tik temu
dan ilmu yang relevan. (Ankersmit, 1987:73)
Metodologi membahas aturan-aturan tertentu prosedur intelektual dalam
komunitas ilmiah termasuk di dalamnya pembentukan konsep-konsep, membangun
model-model, memformulasi hipotesis-hipotesis dan menguji teori-teori. Sejarawan
G.J Reiner berpendapat bahwa “metodologi ”aadalah sama dengan filsafat sejarah
(Geschichtsphilosophie) yang formal seperti yang dikemukakan oleh Bauer, yaitu
meneliti logika dan epistemologi sejarah sebagai disiplin. Filsafat sejarah yang formal
ini oleh W. H Walsh, seorang guru besar filsafat di Universitas Edinburgh,
dinamakan filsafat sejarah kritis dan di dalamnya di bahas empat masalah yaitu:
1. Sejarah dan bentuk-bentuk pengetahuan yang lain,
2. Kebenaran dan fakta dalam sejarah
3. Objektivitas sejarah
4. Eksplanasi dalam sejarah
(Kartodirdjo, 1992:410)
Metodologi aatau filsafat sejarah formal menurut konsep Bauer atau filsafat
sejarah kritis menerik pula minat Ronald H. Nash, guru besar ilmu filsafat di Westem
Kentucky University. Tajuk-tajuk yang dibahasnya dalam mempersoalkan filsafat
sejarah kritis adalah sebagai berikut:
1. Positivisme dan idealisme, masalah pemahaman sejarah
2. Masalah eksplanasi sejarah
3. Masalah objektivitas sejarah
4. Masalah sebab-sebab dalam sejarah
5. Determinisme sejarah
(Kartodirdjo, 1992:410)
Seperti yang sudah di bahas sebelumnya, bahwa filsafat sejarah kritis, sebagai
unsur ke-tiga dalam filsafat sejarah, seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-
sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan atau mengkisahkan
peristiwa masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Kaitan filsafat
sejarah kritis dan pengkajian sejarah, keduanya meneliti secara filsafatai bagaimana
proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan
dari sudut pandang keilmuan. (Sundoro, 2009:48)
Pada dasarnya filsafat memiliki garapan yang bertalian dengan norma-norma
kebenaran, kebaikan dan keindahan. Menurut para pakar filsafat, bahwa kebenaran itu
masuk pada ranah “pengetahuan”, kebaikan masuk dalam kajian etika, dan keindahan
masuk dalam garapan penghayatan seni atau lazim pula dikenal dengan estetika
(Sundoro, 2009:48).
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit,F.R.1987. Refleksi tentang Sejarah : Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah. Jakarta : Percetakan PT.Gramedia
Bakker, Anton. 2018. Filsafat Sejarah Refleksi Sistematik. Yogyakarta : Penerbit
Thafa Media
Hasbullah, M. & Supriadi. 2012: Filsafat Sejarah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kartodirdjo, 1992: Dari Babad Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press

Anda mungkin juga menyukai