1
Lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge, 2003), 7-8; Bdk. P.L Gardiner, “Philosophy of
History”, dlm. Encylopaedia Britannica (https://www.britannica.com/topic/philosophy-of-history).
2
Identitas naratif adalah kisah pengalaman hidup yang terinternalisasikan dan mengintegrasikan masa lalu yang telah
dijalani serta masa depan yang akan dijalani karena kisah tersebut memberikan pada pelaku sejarah rasa kesatuan/ keutuhan
(sense of unity), makna (sense of meaning), serta tujuan hidup (sense of purpose).
Filsafat Sejarah
masa lampau. ‘Sejarah’ dalam arti pertama di atas [1] menjadi bahan atau materi bagi ‘Sejarah’ dalam
arti kedua, yakni ilmu Sejarah [2]. Kejadian dan peristiwa yang terjadi dalam alam fisik dipelajari
oleh ilmu-ilmu alam: Fisika, Biologi, Kimia, Meteorologi, dsb. Kejadian dan peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan sosial-ekonomi kemasyarakatan dikaji
oleh ilmu-ilmu sosial: Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Dua pengertian ‘sejarah’:
dsb. Kejadian atau peristiwa dalam yang terjadi dalam 1) Narasi tentang kejadian di masa lampau
dan mempengaruhi kejiwaan seseorang dipelajari oleh 2) Disiplin Ilmu tentang masa lampau
ilmu Psikologi. Karena ilmu-ilmu tersebut juga muncul
dan berkembang dalam lintasan waktu, ilmu-ilmu itu masing-masing memiliki sejarahnya sendiri.
Tak heran bahwa kita menemukan Sejarah Ilmu Ekonomi, Sejarah Ilmu Fisika, Sejarah Ilmu
Psikologi, dst. Semua yang memiliki masa lalu tak bisa tidak pasti memiliki sejarah.
Objek ilmu Sejarah adalah masa lampau. Berbeda dengan ilmu Fisika atau Biologi yang
memiliki objek benda-benda di masa kini dan kerap kali bisa dimanipulasi untuk percobaan dan bila
gagal bisa dicoba kembali, ilmu Sejarah mengkaji peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu.
Yang ada di hadapan para sejarawan ialah kesaksian, dokumen-dokumen, dan kadang-kadang fakta-
fakta arkeologis. Semua itu dijadikan bukti sejarah. Bila dalam ilmu alam bukti itu bisa diciptakan
ulang lewat percobaan (eksperimen) di laboratorium, bukti-bukti ilmu Sejarah adalah ‘teks’ yang
harus ditafsirkan dalam konteksnya. Tugas para sejarawan ialah memastikan bahwa suatu peristiwa
sungguh terjadi—misalnya peristiwa G 30 S/PKI—, mendeskripsikan bagaimana peristiwa itu
sesungguhnya terjadi, serta menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi dalam kaitannya dengan
konteks sosial-politik-budaya yang melingkupinya. Suatu peristiwa bisa dikatakan sungguh terjadi
bila ada bukti-bukti yang mendukungnya. Tentu saja ilmu Sejarah memiliki metode penelitian
tersendiri untuk mencapai suatu narasi yang sahih, yaitu suatu kisah yang dapat dipertanggung-
jawabkan kebenarannya di hadapan sidang para sejarawan. Sejarawan tidak hanya bertugas mencatat
dan mengabadikan apa yang mereka lihat (misal: dokumen, jejak arkeologis) dan dengar (misal:
kesaksian para pelaku atau saksi mata), melainkan menyusun penjelasan yang benar (alēthēs logos)
tentang masa lampau. Dalam arti ini, Ilmu Sejarah tak bisa lepas dari hermeneutika, karena dalam
menarik kesimpulan, ilmu Sejarah sebenarnya menafsirkan.
Historiografi (‘istoria + graphia = seni menulis sejarah) adalah kajian ilmiah mengenai me-
tode kerja para sejarawan dalam meneliti serta menarasikan/menuliskan suatu topik historis tertentu.
Dengan kata lain, Historiografi mengkaji bagaimana sejarawan menentukan sumber-sumber pe-
nelitian untuk topik tertentu—misal topik peristiwa G 30 S/PKI—, teknik yang dipakai untuk meneliti
sumber-sumber tersebut, pendekatan teoretis yang digunakan untuk menganalisis dan membaca
bukti-bukti serta jejak-jejak sejarah yang ada, serta teknik menarasikan suatu peristiwa historis.
Historiografi menyelidiki metode, konsep, dan kategori-kategori yang dipakai oleh para sejarawan
untuk mengetahui, mengorganisir, dan menuliskan masa lampau. Singkat kata, jika ilmu Sejarah
(history) itu bertugas mendeskripsikan dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi di masa
lampau, Historiografi bertugas mengkaji bagaimana penelitian, deskripsi dan penjelasan dalam ilmu
Sejarah itu dilakukan. Dalam arti ini, historiografi adalah suatu meta-analisis: menganalisis metode
kerja ilmu Sejarah, bagaimana ilmu Sejarah meneliti dan menuliskan peristiwa-peristiwa historis.3
3
R.T. Vann, “Historiography”, dlm. Encyclopaedia Britannica (https://www.britannica.com/topic/historiography).
Mengingat sifat manusia yang reflektif dan selalu bisa mentransendensi diri, lahir pula Filsafat Historiografi, yakni suatu refleksi
kritis atas metode-metode penelitian dan penulisan sejarah. Contoh, A. Tucker, Our Knowledge of the Past. A Philosophy of
2
I. Sejarah, Historiografi, Filsafat Sejarah
Historiography (Cambridge, 2004). Filsafat Historiografi bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan epistemologis terkait sejarah:
dapatkah kita mengetahui masa lalu? Bagaimana membedakan interpretasi dan spekulasi?
4
Lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge, 2003), 7.
5
Lih. W.H. Walsh, An Introduction to Philosophy of History (Thoemmes Press, 1992), 11.
3
Filsafat Sejarah
manusia merupakan sesuatu perkembangan yang berjalan linear, mengalami progres, dan memiliki
arah tertentu? Adakah sejarah umat manusia secara keseluruhan memiliki tujuan? Jadi sementara
“Para sejarawan”, tulis Hegel, “merekam apa yang, seandainya tidak, akan termakan oleh bergulirnya
sang waktu, dan menempatkan rekaman itu dalam Kuil Ingatan sehingga menjadi kekal”, para filsuf
berspekulasi secara a priori mengenai kemasukakalan atau inteligibilitas dari peristiwa-peristiwa
yang terekam dalam ingatan tersebut. Inilah Filsafat Sejarah Spekulatif. Filsafat Sejarah Spekulatif
merenungkan sejarah dalam arti pertama di atas [1], merefleksikan proses susul menyusul peristiwa-
peristiwa historis dalam perjalanan umat manusia secara keseluruhan guna menemukan apakah dalam
perjalanan sejarah umat manusia ada suatu keteraturan (order) dan keterarahan (direction) sehingga
dengan demikian peristiwa-peristiwa tersebut memiliki makna dan bukannya sesuatu yang acak nir-
makna. Filsafat Sejarah Spekulatif juga bertanya apakah ada hukum universal yang menentukan
jalannya sejarah? Apakah kodrat manusia tetap sama sepanjang sejarah? Adakah peran nasib atau
keberuntungan (fortuna) atau Penyelenggaraan Ilahi dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi?
Bila para ahli Historiografi sibuk menyelidiki seni atau metode penulisan dalam ilmu Sejarah
(bagaimana sumber-sumber historis untuk suatu peristiwa ditentukan serta diuji kesahihannya,
bagaimana sumber-sumber itu dianalisis dan dijelaskan, bagaimana peristiwa-peristiwa dikisahkan
dalam konteksnya, bagaimana periodisasi sejarah ditetapkan), para filsuf bertanya lebih lanjut: dapat-
kah kita sampai pada fakta objektif mengenai suatu peristiwa di masa lampau (= apa itu objektivitas
dalam sejarah; tidakkah fakta sejarah itu pada akhirnya merupakan hasil konstruksi para sejarawan),
dapatkah kita sampai pada kebenaran mengenai suatu peristiwa di masa lalu (= apa itu kebenaran
dalam ilmu Sejarah), apakah penjelasan dalam ilmu Sejarah itu sama dengan penjelasan dalam ilmu
alam (= apakah hukum kausalitas [sebab-akibat] yang dipakai untuk mengaitkan suatu peristiwa
historis dengan peristiwa historis lainnya sama nilainya dengan hukum kausalitas dalam ilmu alam),
bisakah sejarawan menulis secara imparsial, bebas dari preferensi Perlu dibedakan:
dan atau kepentingan tertentu? Inilah Filsafat Sejarah Analitik.6
[1] Filsafat Sejarah Spekulatif
Filsafat Sejarah Analitik merenungkan sejarah dalam arti kedua di
[2] Filsafat Sejarah Analitik
atas [2], merefleksikan bagaimana atau mungkinkah manusia bisa
memperoleh pengetahuan mengenai masa lalu (historical knowledge) secara objektif. Dikatakan
‘analitik’ karena sub-bagian Filsafat Sejarah ini secara kritis mempertanyakan serta menelisik
prosedur, asumsi, serta kategori-kategori yang dipakai ataupun diandaikan oleh para ahli ilmu Sejarah
(sejarawan) dalam meneliti peristiwa-peristiwa historis.
6
Istilah ‘Filsafat Sejarah Analitik’ digunakan oleh M.C. Lemon. W.H. Welsh menggunakan istilah ‘Filsafat Sejarah Kritis’
(critical philosophy of history).
7
Lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge, 2003), 9-13.
8
A. Toynbee, An Historian’s Approach to Religion, 15.
4
I. Sejarah, Historiografi, Filsafat Sejarah
mengamati bahwa ada pola-pola tertentu sehingga suatu peradaban (civilization) lahir, berkembang,
dan berjaya atau musnah. Misalnya, Toynbee mengatakan bahwa syarat lahirnya suatu peradaban
ialah jika dalam suatu masyarakat primitif ada suatu minoritas yang kreatif serta ada lingkungan alam
yang kondusif. Kemajuan teknik tidak serta merta melahirkan progres dan menjamin kelestarian suatu
peradaban; yang lebih menentukan ialah kemampuan suatu peradaban—dipandu oleh minoritas yang
kreatif—dalam merespon pelbagai tantangan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya, suatu peradaban
akan melemah, tercerai berai, lantas musnah bukan karena serangan pihak eksternal atau kemunduran
teknik/teknologi—ini hanya simtom saja—, melainkan karena minoritas kreatif dalam masyarakat
gagal merespon tantangan lingkungan yang ada dan ini diikuti oleh mayoritas, hal mana akan meng-
akibatkan hilangnya kesatuan atau kohesi sosial sebagai suatu masyarakat secara keseluruhan.9
Serupa dengan Toynbee, para pemikir lain seperti Agustinus, Vico, Auguste Comte, Hegel, Marx,
dan Fukuyama, sebagaimana akan diulas lebih lanjut dalam mata kuliah Filsafat Sejarah ini, meyakini
bahwa sejarah itu tidaklah acak tak teratur, melainkan memiliki pola-pola perkembangan yang dapat
dikenali (intelligible) entah itu berupa suatu perputaran siklis atau mewujudkan suatu progres
(kemajuan) linear.
Dalam alam pikiran Yunani-Romawi, misalnya, sejarah dipandang memiliki pola yang siklis.
Seperti tumbuhan dan hewan dalam alam itu lahir/muncul, tumbuh-berkembang, dan mati/musnah
(genesis—growth—decay), demikian pula sejarah umat manusia. Dalam tata pemerintahan atau per-
politikan, menurut Aristoteles, terjadi siklus:
[1] monarki→[2] tirani→[3] aristokrasi→[4] oligarki→[5] politi→[6] demokrasi→[1] monarki
9
A. Toynbee, A Study of History IV, 120.
5
Filsafat Sejarah
tukan perkembangan masyarakat. Giambattista Vico dalam Scienza nuova (1725) kemudian mempro-
tes upaya memandang sejarah dengan paradigma sains (= ilmu alam). Vico berpendapat bahwa ilmu
sejarah berbeda dengan ilmu alam. Ilmu alam mempelajari alam yang diciptakan oleh Allah sehingga
sebenarnya hanya Allah sendiri yang sungguh mengetahui alam semesta ini. Verum esse ipsum factum
(yang benar adalah yang telah dibuat). Sang pembuatlah yang paling mengetahui apa yang dibuatnya
(= apa yang dijadikannya), sebab untuk mengetahui sesuatu seutuhnya orang perlu tahu bagaimana
sesuatu itu menjadi. Sementara itu, ilmu Sejarah mempelajari tindakan dan kejadian yang merupakan
buah dari perilaku manusia; ilmu Sejarah mempelajari ‘ciptaan’ atau perbuatan manusia itu sendiri,
sehingga manusia boleh berharap dapat sungguh-sungguh mengetahuinya. Vico berspekulasi bahwa
kodrat manusia itu bersifat universal dan karena itu manusia dari periode jaman yang berbeda sering
memberikan reaksi yang mirip di hadapan tantangan peradaban yang serupa. Karena itu, Vico
memiliki pandangan siklis tentang alur sejarah suatu peradaban manusia.
Berbeda dengan Vico, Johann Gottfried von Herder menekankan bahwa konsep kodrat manu-
sia pun menyejarah karena merupakan produk dari konstruksi sosial. Menentang klaim Aufklärung
(Pencerahan) tentang universalitas rasionalitas manusia Herder—dan mutatis mutandis J.-J Rousseau
—berpendapat bahwa rasionalitas dan kesadaran manusia selalu terikat koteks waktu dan budaya.
Oleh karena itu, ia menolak penggunaan rasionalitas dan kebebasan sebagai tolok ukur perkembangan
(progres) umat manusia. Meski kita memang mungkin lebih rasional daripada manusia di masa lalu,
Herder menolak untuk menilai rasionalitas manusia di masa lalu dengan kriteria rasionalitas manusia
masa kini. Sebagaimana masa kanak-kanak itu sama pentingnya dengan masa dewasa dan masing-
masing memiliki nilainya sendiri, janganlah menganggap masa kanak-kanak sebagai inferior karena
kita menggunakan sudut pandang orang dewasa. Baginya tak ada bukti-bukti empiris serta rasional
bahwa sejarah manusia merupakan suatu progres. Dokumen-dokumen dan jejak-jejak sejarah tidak
pernah bisa sepenuhnya mengkomunikasikan pada kita alam pikir di masa lampau. Para sejarawan
mesti mempelajari masa lalu dengan suatu sikap ‘sympathetic understanding’ (Einfühlen), yakni
dengan memasuki cara berpikir dan cara pandang mereka agar dapat bersimpati serta merasakan apa
yang mereka rasakan sehingga dapat memahami mengapa mereka melakukan ini atau itu.10
Friederich Hegel juga menolak ilmu alam sebagai paradigma untuk memahami manusia.
Namun, Hegel tidak meragukan rasionalitas manusia. Manusia adalah makhluk yang bebas dan dapat
mentransendensi diri. Sejarah manusia adalah proses perkembangan dialektis manusia menuju
realisasi kebebasan mereka yang semakin besar. Tulisnya, “History is the process whereby the spirit
discovers itself and its own concept”11. Perkembangan sejarah ‘objektif’ bagi Hegel erat terkait
dengan perkembangan ‘subjektif’ kesadaran individu manusia (Roh). Tugas para filsuf adalah mene-
mukan yang rasional dalam alur sejarah yang real dan bukan sebaliknya menerapkan yang rasional
pada alur sejarah yang real. Katanya, “To comprehend what is, this is the task of philosophy, because
what is, is reason”12. Sejarah adalah proses Roh mengejawantah secara dialektis dalam realitas
historis. Tujuan dari sejarah adalah Roh yang sadar akan kebebasannya serta realisasi dari kebebasan
tersebut: “to be the consciousness of its own freedom on the part of Spirit, and ipso facto, the reality
of that freedom”. Oleh karena itu, bagi Hegel, “Universal History . . . is the exhibition of Spirit in the
process of working out the knowledge of that which it is potentially”13. Sejarah itu bisa dimengerti
10
Lih. A.K. Jensen, “Philosophy of History”, dlm Internet Encylopedia of Philosophy.
11
Hegel, Lectures on the Philosophy of World History, 62.
12
Hegel, The Philosophy of Right, 11.
13
Hegel, An Introduction to the Philosophy of History, 17-18.
6
I. Sejarah, Historiografi, Filsafat Sejarah
karena mengandung rasionalitas, memiliki tujuan (telos), dan bergerak secara dialektis namun
progresif. Pandangan Hegel ini akan menginspirasi pemikir kontemporer, Francis Fukuyama, yang
mendeklarasikan bahwa sejarah manusia telah menemui titik akhirnya dalam peradaban yang ditandai
dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi liberal.
Dipengaruhi oleh Hegel, Karl Marx juga memandang sejarah umat manusia sebagai suatu
perkembangan yang dialektis. Akan tetapi, berbeda dengan Hegel, Marx berpendapat bahwa “Bukan
kesadaran manusia yang menentukan kondisi riil mereka, namun sebaliknya, kondisi sosial yang riil
yang menentukan kesadaran manusia”14. Bagi Marx, bukan perubahan ide dan pemikiran rasional
yang mengubah jalannya sejarah umat manusia, melainkan realitas produksi (y.i. kondisi sosio-
ekonomi) yang bersifat materiil itulah yang menentukan perubahan supra struktur masyarakat (y.i.,
institusi politik, sistem hukum, etika, dan agama). Dalam pandangan Marx alur sejarah umat manusia
ditentukan oleh pertentangan kelas dalam upayanya menguasai faktor-faktor produksi. Perbedaan
manusia dengan binatang tidak terletak dalam kesadaran manusia tetapi dalam produksi, y.i., dalam
cara manusia memproduksi apa yang dia makan, minum, dan pakai.
“[M]en can be distinguished from animals by consciousness, by religion or anything else you like.
They themselves begin to distinguish themselves from animals as soon as they begin to produce their
means of subsistence … What they are, therefore, coincides with their production, both with what
they produce and with how they produce. Hence what individuals are depends upon the material
conditions of their production”.15
Maka, “the ‘history of humanity’ must always be studied and treated in relation to the history of
industry and exchange”.16 Singkat kata, sejarah manusia ditentukan oleh perkembangan kepemilikan
faktor produksi. Pada akhirnya, bukan Roh atau Ide yang menentukan jalannya sejarah, tetapi realitas
materiel. Maka teori Marx tentang perkembangan sejarah disebut sebagai “Materialisme Historis”.
Aktor sejarah bukan Roh yang impersonal dan abstrak, melainkan manusia-manusia konkret.
Filsafat Sejarah Spekulatif sering dikritik oleh para sejarawan. Para sejarawan menyelidiki
dan menjelaskan suatu peristiwa secara spesifik—misalnya Partai Komunis Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin 1959-1965—dengan metode penelitian yang empiris (berdasarkan bukti-bukti
yang kasat mata: dokumen, monumen, kesaksian, data-data arkeologis). Sementara para filsuf sejarah
spekulatif ingin menjelaskan makna ‘sejarah dunia’ secara keseluruhan atau universal (muncul dan
jatuhnya kerajaan-kerajaan, peradaban, dsb). Diskursus spekulatif semacam itu menurut para
sejarawan tidak berdasar dan tidak relevan. Meski demikian, sebenarnya Filsafat Sejarah Spekulatif
tetaplah relevan mengingat manusia adalah makhluk yang mencari makna. Sebagaimana seorang
individu pada suatu titik dalam hidupnya bertanya secara reflektif pada diri sendiri, “Apa arti dari
semuanya (yang telah terjadi) ini”, demikian pula manusia bisa mempertanyakan makna dari peris-
tiwa-peristiwa besar yang menimpa masyarakatnya, negaranya, atau bahkan dunia secara keselu-
ruhan. Dengan menoleh ke belakang dan merefleksikan masa lalu manusia bisa memahami eksis-
tensinya di masa kini dan memetik makna darinya. Ungkapan seperti “Tak ada yang baru di bawah
kolong langit ini” atau “Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang” pastilah
merupakan kristalisasi yang lahir dari suatu refleksi dan upaya memaknai masa lalu.
14
Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, Kata Pengantar.
15
Marx, The German Ideology, Vol. 5, Collected Works, op. cit., p.31.
16
Marx, op.cit., p.50.
7
Filsafat Sejarah
17
Lih. W.H. Walsh, An Introduction to Philosophy of History (Thoemmes Press, 1992), 16-25.
8
I. Sejarah, Historiografi, Filsafat Sejarah
pernah mungkin keluar dari ‘kulit’-nya; artinya, dalam meneropong suatu peristiwa, pastilah ia
meneropong dari sudut pandang (perspektif) tertentu. Cara pandang dan ingatan manusia sering ber-
sifat selektif. Mencari suatu narasi sejarah yang sungguh imparsial dan objektif tampaknya akan sia-
sia. Dalam memilih peristiwa mana yang akan ditulis dan peristiwa mana yang tak perlu ditulis, si
sejarawan telah menggunakan kriteria dan kategori tertentu; ia tidak sekedar melaporkan seperti
seorang ‘saksi mata’ yang netral, tetapi ia telah bertindak seperti ‘hakim’ yang mengambil keputusan.
Maka, pertanyaannya ialah apakah artinya ‘objektivitas’ dalam suatu narasi sejarah? Apakah objek-
tivitas dalam Sejarah sama dengan objektivitas dalam sains? Dapatkah ilmu Sejarah menemukan dan
mendeskripsikan ‘peristiwa atau kejadian sebagaimana adanya (as it was)’?
Pertanyaan keempat terkait dengan penjelasan (explanation) dalam ilmu Sejarah. Ilmu Sejarah
tidak hanya mengisahkan apa yang sungguh terjadi tetapi juga memberikan penjelasan mengapa suatu
peristiwa itu bisa terjadi. Dalam ilmu alam, para ilmuwan memberikan penjelasan atas suatu
fenomena yang terjadi berdasarkan suatu pengamatan atas fenomena-fenomena yang sejenis. Dari
pengamatan tersebut ilmuwan akan membuat suatu induksi atau generalisasi (suatu universal law)
yang lantas dipakai untuk menjelaskan secara deduktif fenomena-fenomena partikular. Apakah
penjelasan dalam ilmu Sejarah sama dengan penjelasan dalam ilmu alam atau sains? Para sejarawan
biasanya berpendapat bahwa tiap peristiwa historis itu bersifat partikular; maka, amat disangsikan
bahwa seorang sejarawan dapat menjelaskan suatu peristiwa hanya dengan membandingkannya
dengan peristiwa lain yang serupa atau sejenis. Yang biasanya dilakukan oleh para sejarawan dalam
menjelaskan suatu peristiwa historis ialah mengaitkan peristiwa tersebut dengan peristiwa-peristiwa
lain dalam konteks historis yang sama. Peristiwa G 30 S/PKI, misalnya, tidak bisa diselidiki secara
terisolir, melainkan harus dilihat dalam konteks yang lebih luas (antara lain: krisis ekonomi di awal
tahun 60-an, menguatkan partai komunis di Indonesia dan kedekatannya dengan Presiden Sukarno,
perang dingin antara USA dan USSR).
Salah satu tokoh dalam Filsafat Sejarah Analitik ialah R.G. Collingwood. Ia berpendapat
bahwa Sejarah adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan (science). Namun, metode ilmu Sejarah
berbeda dengan metode ilmu alam. Collingwood menyangkal adanya suatu hukum universal dalam
Sejarah yang dapat dipakai untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa sejarah yang partikular. Ilmu
Sejarah mempelajari the uniqueness of the past and not its generalities,18 sehingga Sejarah lebih
merupakan suatu upaya rasional untuk memahami (understanding) masa lalu daripada suatu upaya
untuk mengontrol atau memprediksi masa depan. Objek dari ilmu Sejarah adalah tindakan-tindakan
manusia yang sadar. Aktor sejarah bagi Collingwood adalah self-conscious purposive agents. Sejarah
ingin merekonstruksi alasan-alasan (reasons) yang memotivasi para aktor sejarah di masa lalu. Jadi
tugas Sejarah ialah menjelaskan rasionalitas dari tindakan atau kejadian yang spesifik, dan bukannya
untuk membuat suatu generalisasi, suatu hukum universal yang bisa dipergunakan untuk mem-
prediksi apa yang akan terjadi di masa depan: semacam ‘dalam kondisi A akan terjadi B’. Ini berbeda
dengan metodologi penulisan sejarah yang diadopsi oleh A. Toynbee, di mana ia ingin “menerapkan
kategori ilmiah seperti ‘hukum’ (law), ‘keteraturan’ (regularity), dan ‘pengulangan’ (recurrence)
pada sejarah yang berisi perilaku manusia (human affairs)”.19
18
J. Van der Dussen, History as a Science. The Philosophy of R.G. Collingwood, 231.
19
A. Toynbee, Letter to K.W. Thompson September 22, 1949: “In methodology what I am trying to do is to apply the
scientific notion of ‘law,’ ‘regularity’ and ‘recurrence’ to the history of human affairs…I do think that the scientific apparatus
can be applied fruitfully to human affairs to some extent…”, dlm. K.W. Thompson, “Toynbee’s Approach to History Reviewed”
(Ethics, Jul. 1955, Vol. 65, No. 4), 289.
9
Filsafat Sejarah
20
Collingwood, The Idea of History, 199.
21
Collingwood, op.cit., 215.
10
I. Sejarah, Historiografi, Filsafat Sejarah
terjadi. Keberhasilan ilmu alam pada abad ke-17 dalam meningkatkan kualitas hidup manusia telah
membuat metode ilmu alam (metode empiris-positivistik) dijadikan sebagai paradigma setiap bentuk
ilmu. Semakin ilmu-ilmu kemanusiaan (psikologi, sosiologi, dll.) mengikuti metode ilmu alam,
semakin ilmu-ilmu tersebut ilmiah (scientific). Seperti seorang ilmuwan, sejarawan harus menyusun
kronik kejadian masa lalu secara imparsial, tanpa terpengaruh kepentingan, dan dengan demikian
mempertahankan objektivitas. Tugas sejarawan hanya membeberkan kenyataan. Rigoritas paradigma
ilmu alam menuntut rasionalitas dan objektivitas: tak ada ruang bagi imajinasi. Demikian pula
ideologi dan kepentingan politik tak boleh menodai netralitas para sejarawan.
Melihat keberhasilan ilmu-ilmu alam, Francis Bacon (1561–1626) menggarisbawahi pen-
tingnya memisahkan secara ketat antara penalaran ilmiah (scientific reason) dan imajinasi spekulatif.
“Guna mendapatkan pengetahuan yang benar tentang dunia, yakni fakta,” menurut Francis Bacon,
“sayap imajinasi manusia harus dilipat dan diikat dengan pemberat supaya tidak melompat dan
terbang”.22 Giambattista Vico dan Collingwood, sebagaimana disinggung di atas, telah bereaksi dan
menegaskan bahwa kebenaran sejarah diperoleh bukan melulu dengan menggunakan rasio melainkan
juga dengan menerapkan imajinasi, yaitu dengan memasuki secara imaginatif ruang batin para pelaku
sejarah. Kaum Postmodernis, seperti Derrida dan Foucault, menggemakan kembali kritik Vico dan
Collingwood lewat kesangsian mereka pada konsep kebenaran, kenyataan, dan objektivitas. Post-
modernisme mempertanyakan konsep representasionalisme bahasa manusia. Bahasa tidak mere-
presentasikan realitas eksternal melainkan suatu sistem tanda yang koheren dan bersifat konvensional
sehingga kebenaran tidak bisa dimengerti sebagai korepondensi antara bahasa dan objek eksternal
yang direpresentasikan. Apa yang disebut fakta historis, dengan demikian, jelas hanya merupakan
hasil konstruksi dari para sejarawan yang niscaya memakai perspektif tertentu. Bahwa seorang
sejarawan memilih suatu kejadian sebagai relevan dan menyisihkan yang lain sebagai kurang relevan
telah mengandaikan adanya preferensi tertentu dari si sejarawan. Bagaimana si sejarawan mengalami
masa kini mempengaruhinya dalam memahami dan memaparkan masa lalu. Sejarawan tidak bisa
mengisolasikan masa lalu terlepas sama sekali dari masa kini. Bila suatu kejadian di masa lalu
dipelajari itu karena kejadian ini memiliki nilai di masa kini (baca: memenuhi harapan tertentu dari
si sejarawan).
Apa yang riil atau sungguh-sungguh terjadi, dalam perspektif postmodernisme, hanyalah
sebuah versi yang dinyatakan oleh mereka yang memiliki otoritas. Sejarah adalah sejarah para
pemenang. Nietzsche mengajak agar kita memperhatikan sejarah menurut versi mereka yang kalah,
yaitu mereka yang adalah ‘para pejuang besar melawan sejarah’, yakni mereka yang memiliki narasi
lain (alternatif) yang bukan narasi besar sang pemenang (mainstream).23 Postmodernisme mencurigai
grand narrative hendak merayakan pluralitas narasi kecil. Gugatan kritis Postmodernisme meng-
ingatkan para sejarawan untuk memperlakukan hasil penelitian dan penulisan mereka sebagai sebuah
hipotesis saja, yakni suatu deskripsi yang bersifat tentatif dan masih selalu bisa dikoreksi. Di satu sisi,
sejarah bukanlah sekedar rekaman akan masa lalu sebagaimana sesungguhnya (as it was). Tetapi, di
sisi lain sejarah juga bukan sekedar konstruksi imajiner liar dari seorang sejarawan tanpa dukungan
bukti-bukti terpercaya. Sejarah yang ditulis seorang sejarawan hanyalah sebuah versi yang tak bisa
dianggap telah final dan seolah-olah sudah tak perlu direvisi lagi.
22
Francis Bacon, The New Organon (1620) I.civ, cxxiv, sebagaimana dikutip oleh B. Southgate, History. What & Why.
Ancient, Modern and Postmodern Perspectives (Routledge: 1996), 118.
23
F. Nietzsche, Untimely Meditations, trans. R.J.Hollingdale (Cambridge, 1983), pp. 106, 170 sebagaimana dikutip oleh B.
Southgate, History. What & Why. Ancient, Modern and Postmodern Perspectives (Routledge: 1996), 116.
11
Filsafat Sejarah
Penutup
Mengapa manusia membutuhkan sejarah? Sebagai makhluk yang sadar diri manusia mengerti
betul bahwa ketika ia berkembang secara fisik, mental, intelektual, dan sosial, pada saat bersamaan
ia juga secara perlahan makin layu dan akhirnya akan ditelan oleh kematian yang tak terelakkan.
Sebagai pengada, manusia sadar bahwa adanya (being) bergerak menuju suatu ketiadaan (non-being).
Seperti dikatakan oleh Heidegger, ada manusia adalah Sein-zum-Tode (ada-menuju-kematian), dan
ini menimbulkan kegelisahan eksistensial (Angst). Takut akan ketiadaan, manusia melakukan segala
macam upaya untuk mengatasi ketiadaan itu dengan merawat atau melestarikan diri (caritas sui). Ada
tiga cara melalui mana manusia hendak mengatasi ketiadaan (non-being) dan melestarikan diri.24
Pertama, lewat kepercayaan akan imortalitas jiwa atau kehidupan kekal. Agama sangat berperan di
sini. Kedua, melalui penerusan keturunan. Keabadian memang tak dapat dijangkau secara individual,
namun dapat dijangkau sebagai suatu spesies. Seperti dikatakan Plato, jika individu Joko dan Gadis
akan tiada, spesies manusia tetap ada. Ketiga, lewat perbuatan luar biasa yang akan membuat diri
terus terekam dalam ingatan bersama. Di sini, melalui sejarah manusia ingin mempertahankan atau
melestarikan adanya/eksistensinya (being), sehingga ketika ia secara fisik telah tiada (mati), diri dan
perbuatannya tetap ada (hidup) dalam ‘Kuil Ingatan’ seperti yang dikatakan Hegel. Yang akan diingat
bukan hanya bahwa ia pernah ada (eksistensi-nya), tetapi juga siapakah dia (esensi-nya). Maka, agar
ia tetap ada dalam memori kolektif, seorang individu niscaya harus hidup dalam suatu komunitas.
Sejarah dinarasikan guna memelihara memori kolektif tersebut. Secara ontologis, manusia adalah
homo historicus. Ia ada dan diakui ada karena ia menyejarah. Manusia adalah penulis, pembaca, dan
sekaligus aktor sejarah. Dia adalah objek sekaligus subjek sejarah. Manusia berusaha memproduksi
sejarah dan terus memberi makna pada sejarah. Ia dapat menulis dan menafsir sejarah selama ia
sendiri masih berada dalam arus sejarah.
Sumber:
M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (London-New York: Routledge, 2013), 7-
13.
B. Southgate, History. What and Why. Ancient, Modern and Postmodern Perspectives (London-New
York: Routledge, 1996).
D. Nikulin, The Concept of History (London: Bloomsbury, 2017).
K.W. Thompson, “Toynbee's Approach to History Reviewed”, dlm. Ethics, Vol. 65, No. 4 (Jul.,
1955), 287-303.
P.A. Sorokim, “Arnold J. Toynbee’s Philosophy of History”, dlm The Journal of Modern History,
Vol. 12, No. 3 (Sep., 1940), 374-387.
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford, 1946), 1-13.
W.H. Walsh, An Introduction to Philosophy of History (Thoemmes Press, 1992), 9-28.
P.L. Gardiner, “Philosophy of History”, dlm Encyclopaedia Britannica, https://www.britannica.com/
topic/philosophy-of-history, accessed Jan 26, 2021.
D. Little, “Philosophy of History”, dlm Stanford Encyclopedia of Philosophy, https://plato.stanford.
edu/entries/history/, accessed Jan 26, 2021.
24
D. Nikulin, The Concept of History, 2-3.
12