Filsafat Sejarah 2
BAB II
KESADARAN SEJARAH (HISTORICAL CONSCIOUSNESS)
PRA-KLASIK & KLASIK (YUNANI-ROMAWI)
“Once upon a time there was a man. There he was once upon a time. He was since he is no more.
He was, so he is because we know that ‘once upon a time there was a man’,
and he will be as long as someone is going to tell his story”.
(A. Heller, A Theory of History, 3)
I. Pengantar
Filsafat Sejarah Spekulatif dalam arti sempit memang baru muncul pada abad ke-17 atau abad
ke-18 ketika Giambattista Vico, Gottfried Herder, dan Friedrich Hegel menuliskan refleksi mereka
atas peristiwa-peristiwa sejarah berdasarkan pemikiran kritis dan rasional guna menyusun serta
mencari makna atas sejarah universal umat manusia. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa ide-
ide atau cara pandang mengenai waktu dan sejarah sebelum itu tidak relevan sama sekali untuk kita
bahas. Justru Filsafat Sejarah Spekulatif sebagaimana dikembangkan oleh para pemikir modern itu
akan menjadi semakin jelas bila kita meng-kontras-kannya dengan cara pandang kuno mengenai
waktu dan sejarah. Dengan menelusuri cara pandang kuno, khususnya kesadaran sejarah (historical
consciousness) sebelum terjadi peralihan dari mitos ke logos, kita akan menjadi mafhum bahwa cara
pandang kita yang rasional dan ilmiah atas waktu dan sejarah pun pada akhirnya bersifat sementara
dan bahkan mungkin suatu ketika juga hanya akan menjadi bagian dari masa lalu. Jangan lupa bahwa
kini pun ‘iman’ modernisme akan rasionalitas serta narasi modern akan progres telah dipandang oleh
kaum posmodern sebagai ‘iman’ akan sebuah ‘mitos’ pula. Dikotomi ‘mind—body’ (jiwa—raga)
yang sekarang dianggap lumrah (taken for granted), seiring dengan kemajuan neuro-science, siapa
tahu suatu ketika hanya akan menjadi kenangan sejarah belaka. Kesadaran diri kita menyejarah.
Manusia berbeda dengan binatang bukan hanya karena rasionalitasnya, melainkan juga karena
kesadaran akan historisitasnya. Memang binatang tampaknya juga dapat belajar untuk tidak meng-
ulangi pengalaman sakit sebelumnya, namun ia tidak mempersoalkan masa lalu dan merencanakan
masa depan. Jika kawanan burung bermigrasi guna mengantisipasi iklim yang tidak bersahabat, hal
itu mereka lakukan berdasarkan insting untuk bertahan hidup saja dan bukan berdasarkan suatu
kalkulasi dan niat untuk mengatasi waktu. Manusia menghidupi masa kini dalam kesadaran akan
masa lalu dan masa depan. Manusia mempertanyakan dari mana ia datang, siapa dirinya, dan ke mana
arah atau apa tujuan hidupnya. Kutipan epigraf di atas mengungkapkan dengan baik kesadaran his-
toris manusia bahwa dia ada karena dia menyejarah. Kesadaran akan sejarah jelas berkelindan dengan
kesadaran akan waktu. “Dahulu kala ada seorang manusia. Dia ada dahulu kala. Dia dulu ada karena
kini dia sudah tiada lagi. Dia dulu ada, maka dia sungguh ada karena kita memang tahu bahwa
‘dahulu kala ada seorang manusia’, dan dia akan tetap ada selama masih ada orang yang mencerita-
kannya”. Bila orang bisa menarasikan atau menceritakan sejarah—sesungguhnya manusia adalah
homo narrans (storytelling man)—itu karena manusia sadar akan masa lalu dan mencari makna dari
apa yang telah berlalu untuk menjalani masa kini dan masa depan. Ia mampu bercerita (narrare)
karena ia memiliki kesadaran historis. Tanpanya ia tak kan bercerita. Cerita, entah itu mitos atau
sejarah, mengandung plot/alur yang terurai secara kronologis (Yun. kronos [= waktu] + logos [=
pikiran]). Apakah kesadaran historis manusia kuno sama dengan kesadaran kita?
I. Filsafat Sejarah Spekulatif
2
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
kukan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang dan waktu sebagai objek observasi dan pemikiran
rasional, sesuatu di luar diri kita. Demikian pula kita pun mengambil jarak atas mitos tersebut, meng-
ambil sudut pandang dari luar (eksternal) dan memperlakukannya sebagai objek untuk diselidiki.
Sementara itu, orang Mesir kuno atau orang Jawa zaman dulu merasa menjadi bagian internal dari
mitos tersebut. Orang Jawa merasa menjadi anak-anak Dewi Sri sehingga menyebutnya Mbok Dewi
Sri (ibu Dewi Sri).
Di zaman kuno atau pra-sejarah, orang tidak memandang alam sebagai ‘it’ melainkan sebagai
‘thou’, bukan sebagai suatu objek yang mati dan dapat dimanipulasi sesuka hati, melainkan sebagai
pengada yang memiliki jiwa (animated beings).1 Mereka memandang langit, bintang, pohon, bukit,
sungai, dll. sebagai pengada yang ber-jiwa seperti mereka sendiri sehingga bisa merasa senang,
marah, cemburu, dst. bila tak diperlakukan dengan baik. Kejadian-kejadian di alam seperti banjir,
gunung meletus, gerhana, perubahan musim, migrasi binatang liar, dst. mereka anggap merupakan
tindakan atau hasil tindakan alam yang ber-jiwa di sekeliling mereka.
Bandingkan dengan praksis memberi sesaji pada pohon, batu, atau
sumber mata air yang dianggap keramat (angker) oleh orang Jawa di
pedesaan sampai pada tahun 1980-an. Dalam kepercayaan orang Jawa
waktu itu, bila sesaji tidak diberikan, maka ‘penunggu’ dari pohon,
batu, atau sumber mata air, itu bisa marah dan tidak memberikan ber-
kah. Inilah animisme. Alam di sekeliling tidak diperlakukan melulu
Gambar 3 Sesaji
sebagai objek, ‘the other’ atau ‘it’, melainkan sebagai ‘thou’ yang
dengannya manusia memiliki relasi sehingga perlu dihormati. Bagi orang modern fenomena alam
merupakan suatu ‘it’, sedang bagi orang Mesir kuno merupakan ekspresi dari suatu ‘thou’ yang harus
dimengerti dan ditafsirkan, bila perlu dengan berkonsultasi dengan imam atau ‘orang pintar’ dalam
masyarakat mereka. Bila level air sungai Nil tidak naik, misalnya, mereka akan berkata “Nil tidak
mau memberi air”,2 dan bukannya membuat penelitian/riset untuk mengetahui sebab musabab alami
susutnya air sungai Nil. Dalam arti ini, masyarakat pra-sejarah bisa dikatakan hidup dalam suatu
‘kesadaran mitis’ (mythical consciousness).
Karena mengalami unsur-unsur alam sebagai ‘thou’, masyarakat kuno memiliki kemampuan
imajinatif dan puitis yang tinggi. Tak mengherankan mereka menghasilkan mitos-mitos dan epos-
epos yang sering kali direkam dalam puisi liris atau dalam tembang-tembang yang puitis, hal mana
mudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut lewat tradisi lisan. Epos Mahabharata dan
Ramayana (di India) dan epos Oddyseus dan Illiade (di Yunani) merupakan puisi liris yang dilagukan.
Sastra Jawa kuno seperti Arjunawiwaha (1030) juga berupa puisi (kakawin). Mitos dan epos itu
memanifestasikan world-view mereka. Dari sudut pandang orang modern, world-view masyarakat
kuno itu bersifat primitif. Namun, kini kita bisa mengatakan bahwa mereka itu primitif karena kita
memiliki kesadaran sejarah (historical consciousness) yang lain dari mereka; kita mengenal konsep
‘progres’, melalui mana kita membuat periodisasi sejarah, antara lain dengan melabeli cara pandang
masyarakat kuno sebagai ‘primitif’ atau ‘pra-sejarah’. Kategori ‘primitif’ dan ‘progres’ merupakan
kategori Filsafat Sejarah Spekulatif. Jadi, dengan mempelajari ‘keprimitifan’ cara pandang masyara-
kat kuno kita sendiri sebetulnya sedang berupaya memaknai sejarah universal umat manusia.
1
Untuk bagian pra-klasik ini, lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge, 2003), 14-
27.
2
M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge, 2003), 34.
3
I. Filsafat Sejarah Spekulatif
Jean Jacques Rousseau pada abad ke-18 membandingkan keprimitifan masyarakat kuno
dengan masa kanak-kanak dalam perkembangan diri seseorang. Masa kanak-kanak ditandai dengan
sikap lugu dan naif; mudah percaya dan belum kritis. Anak kecil kadang-kadang takut pada benda-
benda di sekitarnya, mengimajinasikan benda-benda di sekitarnya seolah-olah hidup, menyeramkan,
dan bahkan dapat menyakiti mereka. Seakan-akan benda-benda tersebut memiliki jiwa seperti diri
mereka sendiri. Baru ketika mengalami perkembangan (progres) dan menjadi semakin matang,
mereka akan melihat benda-benda itu sebagai benda mati, sebagai objek yang tidak membahayakan.
Beberapa pemikir Filsafat Sejarah Spekulatif menganalogikan cara pandang masyarakat kuno dengan
cara pandang masa kanak-kanak, karena sama-sama dicirikan oleh ‘kesadaran mitis’.
Walaupun cara pandang masyarakat kuno terlihat aneh, itu adalah ungkapan kesadaran
mereka akan dunia yang melingkupinya. Aneh atau tidak, namun de facto mentalitas mitis mereka
itu telah menghasilkan peradaban Mesir dengan piramida-piramida yang mengagumkan. Orang Jawa
yang percaya pada Dewi Sri berhasil membangun candi Prambanan dan Borobudur yang megah. Cara
pandang mitis seperti itu telah memampukan mereka menghadapi dan mengolah tanah dan ling-
kungan alam sekitar mereka. Bandingkan dengan kepercayaan kita sampai pada abad ke-17 akan geo-
sentrisme; meski kepercayaan kita keliru, namun sampai pada abad ke-17 toh manusia di zaman
sejarah ini mampu menghadapi dan mengolah bumi serta lingkungan sekitarnya. Dalam arti ini, kita
tak perlu memaknai ‘kesadaran mitis’ masyarakat kuno sebagai sesuatu yang absurd atau tak realistis
(fanciful). Cara pandang mitis masyarakat kuno tidak hanya ber-makna tetapi juga bernilai praktis,
karena pada kenyataannya mitos-mitos itu telah memampukan mereka memaknai pengalaman hidup
mereka sehari-hari. Pertanyaan “Apakah kesadaran mitis itu benar?” tidak relevan untuk masyarakat
kuno, sebagaimana ‘kesadaran ilmiah’ (scientific consciousness) kita di zaman ini, dalam satu mile-
nium lagi mungkin sudah akan diganti dengan ‘kesadaran baru’ yang kita belum tahu namanya.
Kalaupun ‘kesadaran ilmiah’ kita ini dianggap ‘keliru’ oleh manusia di masa depan, toh kita kini
mengalami ‘kesadaran ilmiah’ sebagai yang terbaik dan berfungsi praktis dalam menghadapi realitas
hidup sehari-hari.
Bagaimana masyarakat kuno memahami waktu dan sejarah?
Kita, manusia modern, umumnya memahami waktu sebagai sesuatu yang objektif dan dapat
diukur: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun. Kita telah mengabstrakkan waktu menjadi suatu
satuan untuk menghitung durasi. Meski demikian, kadang kita juga mengalami waktu sebagai sesuatu
yang lebih personal, konkret, dan bernilai puitis, seperti dalam ungkapan, “Di kala hujan rintik-rintik
menerpa wajahmu yang sayu itu…” atau “Kala lembayung senja menebar asa di dada yang terluka
…”. Di sini waktu dialami secara lebih personal, terkait dengan
peristiwa tertentu yang bermakna dalam hidup. Akibatnya, tiap kali
seseorang mengalami hujan rintik-rintik atau melihat lembayung senja,
dia mengalaminya secara lebih bermakna; waktu itu memiliki isi ter-
tentu. Pengalaman puitis akan waktu seperti ini mendekati pengalaman
waktu manusia di zaman kuno (pra-klasik). Tiap pagi yang merekah
bagi mereka merupakan perwujudan atau pemeragaan kembali (re-
enactment) peristiwa kosmis asali yang dikisahkan dalam mitos. Bagi
orang Mesir kuno, misalnya, peristiwa matahari terbit di pagi hari Gambar 4 Dewa Ra-Matahari
merupakan pemeragaan kembali kelahiran dewa Ra (dewa matahari), kemunculan dewa Ra dari
ruang kegelapan di mana Ra telah berhasil mengalahkan kekuatan kaos. Ra muncul pada gundukan
4
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
bukit pasir dan membawa terang pada kosmos. Demikian mereka mengalami waktu secara lebih
konkret dan personal, karena terkait dengan peristiwa asali.
Demikianlah tiap perubahan musim, saat panen, peristiwa migrasi binatang-binatang buas,
gerhana bulan, sungai yang meluap, dll. dipahami oleh masyarakat Mesir kuno sebagai pemeragaan
kembali (re-enactment) peristiwa asali yang dikisahkan
dalam mitos-mitos keagamaan mereka. Tentu mereka
juga mencatat kronologi pergantian raja, membuat ca-
tatan perbintangan, atau mencatat peristiwa-peristiwa
besar seperti bencana. Namun, tujuan mereka bukan
untuk mencari penyebab alami dari, misalnya, bencana
paceklik (famine) yang melanda, sebab mereka percaya
Gambar 5 Dewa Ra muncul di pagi hari bahwa bencana itu merupakan kehendak dewa. Dengan
begitu, mereka tidak sungguh tertarik untuk menyelidiki masa lalu atau peristiwa-peristiwa di masa
lalu ‘secara ilmiah’ seperti yang kita lakukan sekarang. Yang lebih penting bagi mereka ialah di masa
sekarang ini selalu waspada, tidak boleh lupa membuat ritual serta menyediakan sesaji atau korban
bagi para dewa yang kebanyakan merepresentasikan kekuatan alam tertentu supaya mereka tetap
diberkati. Penting untuk selalu bekerja sama dengan para dewa agar mereka mendapat berkah damai,
kesejahteraan dan dibebaskan dari bencana. Jadi mereka tidak terlalu tertarik pada masa lalu dalam
arti sejarah mereka sendiri sebagai manusia, melainkan lebih tertarik pada masa lalu dalam arti
peristiwa-peristiwa asali (penciptaan, asal-usul pergantian musim, danau, dll.) yang dikisahkan dalam
mitos-mitos.
Seperti sudah disinggung di atas mereka menggunakan kisah berupa mitos atau epos, baik
dalam bentuk cerita atau puisi liris yang dilagukan, untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan. Jadi, narasi (story-telling) menjadi sarana untuk memberikan penjelasan mengapa
sesuatu itu begini atau begitu (mengapa ada matahari, mengapa musim berganti, dst.). Ini dapat di-
mengerti karena mereka memahami unsur-unsur di alam se-
bagai pengada yang hidup, memiliki jiwa (animated beings),
sehingga bumi tempat mereka berpijak merupakan ‘panggung
drama’ manusia dan kekuatan-kekuatan ilahi (dewa-dewi).
Mereka tidak membuat abstraksi dan menjelaskan peristiwa-
peristiwa alam ataupun sosiologis dengan hukum-hukum ter-
tentu yang bersifat impersonal. Mereka memahami dan menje-
laskan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai akibat tindakan Gambar 6 Batara Kala mencaplok matahari
manusia dalam relasinya dengan dewa-dewi yang menguasai unsur-unsur alam, sehingga yang
muncul sebagai penjelasan ialah kisah atau narasi. Bandingkan dengan masyarakat Jawa di masa lalu
yang menjelaskan fenomena gerhana bulan atau gerhana matahari dengan kisah Monster gaib Batara
Kala yang mencaplok bulan/matahari (Kala berarti waktu).
Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita yang hidup di zaman modern meng-
anggap konsep progres atau kemajuan sebagai lazim. Perkembangan teknologi yang cepat dan meng-
ubah cara kita hidup memudahkan kita memahami konsep progres. Lima puluh tahun lalu kita masih
memakai mesin ketik; kini kita memakai komputer. Kita memahami alur sejarah sebagai sesuatu yang
linear. Tidak demikian dengan orang di zaman kuno. Bukan berarti orang Mesir kuno tidak memiliki
ilmu pengetahuan dan teknologi sama sekali. Mereka tahu matematika dan arsitektur sehingga bisa
5
I. Filsafat Sejarah Spekulatif
membangun piramida. Mereka juga mempelajari ilmu perbintangan untuk keperluan pelayaran.
Namun demikian, mereka tak memiliki konsep ‘human progress’ karena mereka memahami alam
secara mitis dan memandang waktu sebagai sesuatu yang siklis. Agar dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna menguasai alam, manusia perlu melepaskan diri dari cara me-
mandang alam secara mitis. Manusia kuno memiliki cara pandang tertentu mengenai dunia yang
cukup komprehensif, namun cara pandang tersebut tak pernah direfleksikan secara kritis. Menurut
istilah Agnes Heller, dalam perkembangan kesadaran manusia akan sejarah, kesadaran mitis ini
adalah tahap ‘consciousness of unreflected generality’.3 Munculnya sistem nilai, adat istiadat, dan
institusi sosial dianggap berbarengan dengan munculnya alam semesta.
Masyarakat kuno juga tidak begitu menghargai kehidupan di dunia ini sebagai sesuatu yang
sangat bernilai. Sebab, pandangan mereka terarah pada kehidupan di alam sana sesudah kematian,
bagaimana melepaskan diri dari roda nasib. Konsekuensinya mereka tak memiliki mentalitas untuk
mengubah dan mengontrol alam, karena toh hidup ini hanya sementara saja. Bila di dunia ini kita
hanya numpang lewat saja, untuk apa bersusah payah? Nah di sini pertanyaannya: apakah karena
mereka tidak percaya pada konsep progres maka mereka tidak begitu menghargai kehidupan di dunia
ini; atau kah sebaliknya, karena mereka kurang menghargai kehidupan di dunia ini maka mereka tidak
mempercayai konsep progres? Pertanyaan serupa akan mencuat kembali dalam Filsafat Sejarah
Spekulatif, yakni dalam pandangan Idealisme dan Materialisme. Idealisme percaya bahwa gagasan
dan cara memandang dunia (world-view) itu yang menentukan perkembangan dan alur sejarah,
sementara Materialisme percaya bahwa kondisi material di dunia ini mempengaruhi pemikiran dan
itulah yang akan menentukan perkembangan dunia.
Masyarakat kuno sering dianggap terlalu mudah percaya pada takhayul (superstition; sesuatu
yang hanya ada dalam khayal belaka, dianggap sakti padahal dalam kenyataan tidak). Mereka terlalu
gampang membiarkan diri tunduk atau pasrah pada kekuatan dewa-dewi yang tidak riil. Kita yang
modern sering mengklaim telah menjadi lebih otonom, menjadi subjek yang bisa menentukan apa
yang kita percayai dan mana yang tidak kita percayai karena tidak masuk akal (rasional). Namun,
pemikir kontemporer Perancis, Jean Boudrillard, menunjukkan bahwa di zaman konsumerisme,
orang modern sesungguhnya sering mudah jatuh pada takhayul juga.
Kemudaan, sosiabilitas, kemutakhiran, kepercayaan diri, efektivitas, dll.
menjadi ikon-ikon yang dijunjung tinggi. Orang merasa bangga dan lebih
percaya diri kalau bisa memakai t’shirt dengan logo merek terkenal, merasa
lebih berharga bila menggunakan telpon genggam merek termasyhur, merasa
lebih muda dan gaul bila memakai atribut yang dipakai artis atau pemain olah
raga terkenal, dsb. Padahal kenyataannya, mungkin kita tidak sedemikian kaya
untuk membeli merek tersebut, tidak sedemikian cocok untuk memakai
aksesoris tersebut, namun demi fashion kita membelinya agar kelihatan muda,
modis, sociable, dst. Menurut Boudrillard, dengan mengonsumsi barang-barang tersebut manusia
modern memasuki hiper-realitas dari simbol-simbol, yang tidak merepresentasikan kenyataan diri.
Dalam arti ini masya-rakat modern di era konsumerisme membiarkan diri mereka dengan mudah
mempercayakan ‘nasib’ mereka bukan pada Zeus, Appolo, Aphrodite, dll. melainkan kepada
corporate logos (cara berpikir kaum kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan besar penghasil merek
terkenal). Inilah takhayul modern. Sejarah berulang dalam bentuk yang lain; nihil nove sub sole?
3
A. Heller, A Theory of History, 3-6.
6
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
7
I. Filsafat Sejarah Spekulatif
4
Untuk penjelasan periode klasik ini, lih. M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (Routledge,
2003), 28-44.
5
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford, 1946), 18-19.
8
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
berdirinya suatu kota, perang, perjanjian damai, intrik politik perebutan kekuasaan, penjajahan—;
jadi sejarah adalah hasil perbuatan dan kehendak manusia itu sendiri. Meski demikian, mereka
percaya bahwa di balik kejadian-kejadian hasil tindakan manusia itu ada Roda Nasib, suatu kekuatan
impersonal, yang menentukannya. Polybius, misalnya, beranggapan bahwa ada nasib baik (fortuna)
yang menjadikan Roma menjadi kekuatan yang jaya dan menikmati kedamaian.
Dalam perkembangan selanjutnya, nasib tak lagi dimengerti sebagai sedemikian ‘impersonal’,
sebab nasib terkait dengan perilaku dan polah manusia sendiri. Nasib adalah kekuatan moral yang
membawa keadilan. Tindakan brutal, kejam, bejat atau memalukan, cepat atau lambat akan men-
dapatkan upahnya dari sang Nasib. Demikian pula perilaku baik akan mendapatkan balasannya. Di
sini Nasib dimengerti sebagai kekuatan moral yang melakukan intervensi atas sejarah suatu bangsa
atau sejarah suatu individu demi menegakkan tatanan yang adil. Kini, di zaman modern ini, sesudah
perkembangan agama-agama samawi (Yahudi—Kristen—Islam), tetap saja ada orang yang mem-
percayai adanya kekuatan di luar jangkauan manusia yang akan menegakkan keadilan, seperti
misalnya kepercayaan pada karma. Dikatakan misalnya, orang-orang yang telah bersekongkol untuk
menjebloskan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI) ke penjara dengan tuduhan penistaan
agama, kini menerima karmanya (y.i. ditangkap KPK)6.
Yang ketiga [3], gagasan tentang ‘lahir—tumbuh—mati’. Pada periode pra-klasik, gagasan
tersebut dibaca pada fenomena kosmis. Pada periode klasik, gagasan tersebut dibaca sebagai terjadi
pula dalam fenomena sosio-politik. Aristoteles mengembangkan Biologi dan Zoologi. Dia meng-
amati bahwa tanaman dan hewan semuanya secara alami mengalami proses ‘lahir-tumbuh-mati’ tsb.
Ini adalah kodrat. Sebuah biji mangga tumbuh, berkembang, berbuah, dan akhirnya menua serta mati.
Telos (tujuan kodrati) dari biji mangga ialah menjadi pohon mangga. Tiap-tiap pengada memiliki
telos sesuai dengan hakikatnya masing-masing (according to its own nature). Telos dari anak anjing
adalah menjadi anjing, dsb. Telos ini sudah terprogram secara intrinsik dalam tiap pengada sesuai
dengan kodrat masing-masing. Prinsip teleologis ini menurut Aristoteles tidak hanya berlaku dalam
flora dan fauna (alam), tetapi juga dalam entitas-entitas sosio-politik. Benih dari sebuah polis adalah
sebuah keluarga. Keluarga-keluarga membentuk klan, klan-klan membentuk kampung, kampung-
kampung bersama-sama akan membentuk suatu entitas kompleks yang disebut polis. Polis meru-
pakan telos dari individu-individu manusia. Jadi meski, secara kronologis polis terwujud di akhir,
namun secara ontologis polis telah ada di awal, sebab polis adalah tujuan yang niscaya dari tiap
individu yang secara kodrati adalah makhluk sosial (zoon politikon). Jadi tiap individu manusia
‘ditakdirkan’ untuk hidup dalam polis; hidup dalam polis merupakan kodrat dan apa yang sesuai
dengan kodrat adalah baik. Bagi orang Yunani polis merupakan puncak peradaban manusia.
Cara memandang sejarah manusia sebagai suatu proses yang memiliki telos ini akan muncul
kembali dalam Filsafat Sejarah Spekulatif di kemudian hari. Bagi Hegel negara adalah tujuan dari
tiap individu, karena dalam negara kebebasan tiap individu dapat diwujudkan dan terjamin. Ini adalah
sesuatu yang kodrati (natural). Francis Fukuyama adakan mengatakan bahwa telos dari manusia
sebagai makhluk sosial (zoon politikon) adalah hidup dalam negara demokrasi-liberal. Runtuhnya
komunisme Rusia membuktikan bahwa sejarah telah mencapai telos-nya: manusia telah mencapai
puncak pertumbuhannya, yakni masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi-liberal. Jadi
perjalanan sejarah manusia itu purposive (memiliki tujuan), dan karena itu sejarah memiliki makna.
6
https://manadopost.jawapos.com/berita-utama/29/01/2022/karma-ahok-berlaku-abu-janda-sebut-edy-mulyadi-
punya-andil-masukan-ahok-ke-penjara/
9
I. Filsafat Sejarah Spekulatif
10
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
unggul), yakni pemerintahan oleh sekelompok orang yang berkualitas unggul, yang umumnya adalah
kelas bangsawan (aristokrat).
Aristokrasi awalnya memerintah dengan baik, tapi
kemudian mengalami kemerosotan karena ada persaingan
tidak sehat, saling sikut penuh intrik, di antara para aristo-
krat. Sebagian kecil ingin memerintah sendiri dan menying-
kirkan yang lain yang berpotensi untuk memimpin. Mun-
cullah [3] oligarki (oligos = sedikit; beberapa), yakni peme-
rintahan oleh beberapa orang yang kuat. Oligarki tidak
bertahan lama karena rakyat kebanyakan tidak tahan diperin-
tah oleh beberapa orang yang egois dan mengejar kepen-
tingan sendiri dan kelompoknya. Rakyat banyak berontak dan mengambil alih kekuasaan. Lahirlah
[4] politi atau dalam bahasa kita demokrasi (demos = rakyat; massa). Dalam demokrasi, awalnya
kepentingan rakyat banyak diperhatikan dan keadilan ditegakkan. Namun lama-kelamaan, karena iri
hati, kebodohan (ignorance), dan egoisme, demokrasi tidak memuaskan massa, sehingga muncullah
[5] anarki (an + archein = tanpa pemerintahan), yaitu kondisi di mana tiap orang menghendaki
kebebasan mutlak, masing-masing warga ingin memerintah, bertindak semaunya tanpa hukum yang
mengekang. Anarki melahirkan kekacauan total—kadang disebut sebagai mobokrasi (pemerintahan
oleh mob, massa yang tak jelas)—di mana masing-masing akhirnya merasa dirugikan. Pada saat
seperti itu, mereka menginginkan seorang figur pemimpin yang kuat, yang bertangan besi, untuk
mengambil alih komando dan mengendalikan situasi agar tercipta ketertiban umum. Muncullah [6]
tirani, pemerintahan oleh seorang diktator. Namun tidak semua orang puas dengan keberadaan
seorang tiran, karena tiran bertindak semaunya. Tiran berhasil menciptakan ketertiban, namun par-
tisipasi publik diabaikan. Mulailah ada pressure terhadap sang tiran. Untuk mempertahankan ke-
kuasaannya, sang tiran pun akan mulai mendengarkan saran wakil-wakil rakyat dan melibatkan
mereka dalam memerintah. Dia mengadakan reformasi, dan lahirlah kembali bentuk pemerintahan
[1] monarki/kerajaan. Siklus terulang kembali.
Bentuk Pemerintahan
Jumlah Penguasa BAIK BURUK
SATU Monarki Tirani
BEBERAPA Aristokrasi Oligarki
BANYAK Politi/Demokrasi Anarki/Mobokrasi
sadis, dll.). Bukan sungguh allah, bukan sungguh binatang. Manusia bisa mencintai keluarga dan
tanah airnya; namun manusia bisa juga menjadi serakah, cemburu, dan melakukan kekerasan. Mampu
berbuat adil, tapi mampu juga membalas dendam. Tak sedikit sejarawan yang berkesimpulan bahwa
memang kodrat manusia itu tetap sama; karena itu bila kita bisa mengenali baik-baik kodrat manusia,
kita akan dapat belajar lebih banyak dari sejarah. Tentu tidak semua sejarawan berpendapat sama.
Polybius justru melihat manusia mengalami kemerosotan: ras manusia pada zaman keemasan tidak
sama dengan ras manusia pada zaman besi; kodrat manusia berubah dan tidak tinggal sama dari
zaman ke zaman.
IV. Penutup
Istilah historia (ἱstōria) dalam bahasa Yunani berarti “mengetahui lewat penelitian atau narasi
tentang apa yang diketahui”. Para sejarawan kuno seperti Hesiodos dan Thucydides menulis narasi
berdasarkan riset mereka. Tujuan menulis sejarah menurut Hesiodos ialah untuk merekam dan
menyimpan perbuatan-perbuatan besar agar tidak terlupakan dan dapat menjadi bahan pembelajaran.
Sejarah yang ditulis Hesiodos tidak berbentuk puisi, melainkan prosa dengan berdasarkan fakta-fakta
yang ia kumpulkan. Fakta-fakta itu ia susun dengan suatu logos tertentu, yakni kata genos, secara
genealogis dan geografis berdasarkan pengalaman perjalanan dia mengunjungi pelbagai tempat dan
bangsa di Timur Tengah. Sejarawan disebut polyistōr, orang yang tahu banyak. Pengetahuan diper-
oleh sejarawan karena mereka sendiri menjadi saksi atau karena ia mendengar kesaksian orang lain
(lisan atau tertulis). Herodotus sadar bahwa tidak semua kesaksian atau kisah yang ia dengar itu
terpercaya atau benar—dalam arti sesuai dengan kenyataan—namun ia tetap menuliskannya dengan
disclaimer. Artinya, sejarawan kuno telah berusaha menuliskan sejarah secara sistematis dan kritis.
Tulis Thucydides: “Tentang laporan faktual mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi… pada prin-
sipnya saya tidak langsung menuliskan kesaksian yang saya terima; saya juga tidak membiarkan diri
saya dipandu oleh kesan-kesan umum belaka; atau saya sendiri hadir dan menyaksikan peristiwa yang
saya laporkan itu atau saya mendengarkan dari saksi mata yang kesaksiannya telah aku periksa dulu
selengkap mungkin”.7 Artinya, Thucydides sudah sadar bahwa fakta sejarah adalah hasil rekonstruksi
si sejarawan atas kesaksian-kesaksian mengenai suatu peristiwa yang terkadang bisa saja kontradiktif
satu sama lain. Thycidides menggunakan istilah syngraphein (syn = bersama; graphein = menulis),
dalam arti mengumpulkan dan menyusun (= me-rekonstruksi) menjadi satu tulisan. Ia berusaha
menyaring informasi yang ada dan menyusun narasi yang koheren dan masuk akal (alēthēs logos)
berdasarkan bukti-bukti yang tersedia.
Meski pemikiran tentang sejarah di era Yunani dan Romawi klasik memuat unsur-unsur
Filsafat Sejarah Spekulatif, harus diakui bahwa paparan mereka belumlah sistematis dan kom-
prehensif. Mereka sudah memikirkan dan mempertanyakan nasib, keberuntungan, munculnya dan
hancurnya sebuah peradaban atau suatu bentuk pemerintahan, kodrat manusia sepanjang sejarah,
serta lintasan waktu dan sejarah yang bersifat siklis. Namun pertanyaan-pertanyaan masih terngiang:
Haruskah kita memahami kodrat manusia sebagai tetap tak berubah dalam perjalanan sejarah meski
terjadi perubahan konteks dan situasi ataukah kita harus mengakui bahwa kodrat manusia mengalami
perubahan (for better or worse)? Apakah konsep ‘nasib’ dan ‘keberuntungan’ hanya mengungkapkan
ketidaktahuan kita akan penyebab suatu peristiwa, ataukah memang harus diakui bahwa di balik
7
Dikutip oleh D. Nikulin dalam bukunya, The Concept of History, 36,
12
II. Kesadaran Sejarah Pra-Klasik & Klasik
kejadian-kejadian historis ada kekuatan adikodrati yang ikut terlibat menentukan hidup manusia?
Haruskah kita memahami sejarah sebagai proses linear yang ditandai kemajuan seperti perkembangan
seorang individu dari masa kanak-kanak, masa dewasa (kepenuhan), dan kemudian masa senja usia?
Ataukah memang terjadi siklus yang berulang dalam sejarah? Bila sejarah bersifat siklis, masihkah
sejarah memiliki makna, dan layakkah untuk dipelajari (toh semuanya sudah pasti akan berulang)?
Sumber:
M.C. Lemon, Philosophy of History. A Guide for Students (London-New York: Routledge, 2013),
14-44.
R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Clarendon Press, 1946), 14-45.
A. Heller, A Theory of History (London-New York: Routledge, 1982), 3-35.
D. Nikulin, The Concept of History (London: Bloomsbury, 2017), 21-44.
13