Anda di halaman 1dari 10

MITOS DAN KEKINIAN

(MENURUT PEMIKIRAN MIRCEA ELIADE)


Oleh Turita Indah Setyani

Bagi masyarakat tradisional, alam dan segala materinya baik


makhluk hidup, benda mati, dan segala energi yang ada adalah
semesta dunia religi mereka. Dalam konstruksi batin yang demikian,
maka kerap kali terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terdapat di
alam adalah perpanjangan tangan Dewa-dewa, Roh leluhur, atau Sang
Maha Kuasa. Sehingga segala bentuk aktivitas religi masyarakat
tradisional begitu dekat dengan lingkungan alamnya. Biasanya,
konsepsi kepercayaan tersebut mereka rangkumkan dalam sebuah
inskripsi, pustaha, atau pembukuan tradisionil lainnya, bahkan hanya
tradisi lisan saja yang bekerja dalam pewarisan khasanah kebatinan
mereka. Dalam konsepsi kebatinan masyarakat tradisional seringkali
hadir mitos-mitos tentang asal mula kehidupan, penciptaan manusia
pertama, hukum karma, ajaran moral kehidupan, mesianisme, dewa-
dewi kehidupan, Hari Penghabisan, hingga adanya negeri impian,
ideal atau surga pasca kehidupan di dunia.
Bagaimana saling-silang antara manusia, alam, dan kehidupan
dalam perumusan dan penciptaan alam kebatinan serta semesta mitos-
mitosnya? Sejauh manakah peran mitos bagi suatu masyarakat
tradisional tertentu dalam hal frekuensi daya kebatinan dan
kepercayaan mereka terhadap sesuatu yang lebih “kuat” di alam atau
di luar tubuh? Kemudian bagaimana posisi mitos dan kepercayaan
tradisional ini dalam kondisi dunia modern yang kian sekuler, bahkan
doktiner pada agama tertentu di tempat tertentu? (From: "Pendar
Pena" memendar_pena@yahoo.com)

Sebelum masuk pada inti pertanyaan-pertanyaan tersebut, tentunya perlu

diketahui dahulu apa yang disebut mitos? Bagi masyarakat tradisional, yang

disebut sebagai manusia religius arkhais oleh Mircia Eliade, mitos merupakan

dasar kehidupan sosial dan kebudayaannya yang mengungkapkan cara beradanya

di dunia ini. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit
untuk memberikan batasan-batasan yang definitif terhadap mitos. Eliade

memandang mitos sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan lintasan yang

supra-natural ke dalam dunia dan memiliki makna yang esensial sehingga mitos

menjadi suatu kebenaran yang pasti dan menetapkan kebenaran absolut yang tak

bisa diganggu gugat.

Mitos kosmogoni mengisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan,

dan merupakan contoh model yang paling utama dari segala macam bentuk

penciptaan dan pembangunan (dunia). Bagi manusia religius, istilah dunia tidak

mencakup seluruh alam raya sebagaimana dimengerti oleh ilmu zaman sekarang,

melainkan terbatas pada pengertian dunia kita yaitu dunia yang sudah dikenal,

yang dihuni atau didiami, yang teratur dan berbentuk sebagai kosmos. Sedangkan

segala sesuatu di luar wilayah itu masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau

atau khaos. Namun daerah yang termasuk khaos dapat dijadikan daerah kosmos,

dengan jalan menduduki dan menjadikannya tempat tinggal. Dunia yang akan

didiami atau diduduki pertama-tama haruslah diciptakan kembali. Penciptaan

tersebut membutuhkan contoh model sebagai tindakan yang harus dilakukan

untuk menjamin kesuksesannya, yaitu dengan peniruan dan peragaan kembali

kosmogoni (penciptaan semesta alam oleh para „dewa‟). Oleh karena itu, dunia

yang akan menjadi daerah baru dan akan diduduki perlu disucikan dan diciptakan,

dari khaos menjadi kosmos dengan suatu upacara religius, agar tempat tersebut

menjadi kawasan suci secara dominan dan merupakan simbolisme kota suci atau

pusat dunia, teori geomantik sebagai ritus konstruksi mengatur pondasi kota,

konsep yang membenarkan ritus menyertai bangunannya. Objek atau tindakan

yang menjadi real hanya sejauh hal itu meniru atau mengulangi arketipe. Dengan
demikian, realitas itu diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi; segala

sesuatu yang tidak memiliki model yang ditiru itu “tidak bermakna”: dalam

keadaan “menjadi”, sehingga tidak memiliki realitas dan manusia

berkecenderungan untuk menjadi arketipis dan paradigmatik. Dalam kasus ini,

Plato dapat dipandang sebagai pemikir yang berhasil memberikan nilai dan

validitas filosofis bagi cara hidup dan perilaku manusia kuno. Dengan mengakui

struktur Platonik pada ontologi kuno itu, yang penting adalah pembebasan waktu

profane dan proyeksi individu di dalam waktu mistik tentunya tidak terjadi

kecuali pada periode yang esensial, yaitu periode ketika individu benar-benar

merupakan dirinya sendiri. Hegel menyatakan bahwa di dalam alam segala

sesuatu mengulangi dirinya sendiri untuk selama-lamanya dan bahwa “tidak ada

sesuatu yang baru di bawah matahari ini”. Namun pengulangan ini memiliki

makna yang semata-mata memberikan realitas atas peristiwa; peristiwa

mengulangi dirinya sendiri karena peristiwa tersebut meniru arketipe. Pada

hakikatnya, kehidupan manusia, dari sekian banyak suku bangsa dengan etnik

tertentu dan kebudayaannya masing-masing di Indonesia, masih mengikuti

pertumbuhan dan perkembangan dari suku bangsanya sendiri, Jawa misalnya.

Kehidupan orang Jawa di mana pun ia berada, akan membawa kekhasan Jawanya,

baik dari segi bahasa, sikap, pandangan, dan tindakannya dalam bertingkah laku

mengikuti mitos-mitos dan pola-pola yang tumbuh dan berkembang dalam

kebudayaannya. Kalau pun terdapat sebuah pengecualian, adanya asimilasi atau

alkulturasi misalnya, tidak akan mengubah 100 % kesejatian yang telah mengakar

dalam kehidupannya. Dengan demikian, mitos akan terus tetap ada selama

kehidupan itu masih berlangsung.


Meskipun dalam kehidupan manusia modern dicirikan oleh

ketidakpercayaan akan mitos-mitos, namun di lain pihak, manusia modern masih

membutuhkan mitos-mitos dan kenyataannya dalam masyarakat modern sekarang

ini masih terdapat sisa-sisa sikap mitologis. Hanya saja di luar kesadarannya;

manusia modern sesungguhnya telah mengalami dan menerima transformasi

informasi yang diberikan secara turun menurun tentang segala aspek yang

seharusnya dilaksanakan dalam seluruh segi kehidupan di dunia ini, baik

berdasarkan agama yang dianut oleh keluarganya, adat istiadat, pranata, tradisi,

maupun nilai-nilai atau norma-norma yang berkembang di dalam masyarakatnya.

Namun karena merasa tidak memperoleh kebebasan bertindak dan bertingkah laku

dalam menjalani kehidupan, maka manusia modern „seolah‟ menciptakan dunia

baru, di luar dunia yang dianggap sebagai mitos. Oleh karena itu, dalam

masyarakat modern, mitos cenderung merosot menjadi legenda, epos, dan balada

atau roman. Padahal bila kita amati tindakan atau tingkah laku yang dijalankan

manusia modern, mereka secara tidak langsung mengikuti apa-apa yang telah

terbentuk dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, tindakan manusia modern

memiliki kecenderungan melakukan apa yang dikatakan orang lain dari orang-

orang yang terdahulu atau segala sesuatu yang berkembang dari budaya yang

melingkupinya, dalam selamatan kelahiran, perkawinan, dan kematian misalnya.

Berarti kesemuanya merupakan tindakan dan tingkah laku budaya dari masa lalu.

Apa-apa yang dilaksanakan berdasarkan dari masa lalu itulah yang disebut mitos.

Walaupun di lain pihak, hal itu dinyatakan sebagai sesuatu yang mentradisi, tetapi

dari tindakan tradisi yang terus berlangsung tersebut nyata terlihat di dalamnya

sebagai tindakan yang terpola sebagai pengulangan kosmogonik. Apapun yang


dilakukan oleh manusia telah dilakukan oleh manusia sebelumnya. Hidupnya

merupakan pengulangan yang terus-menerus atas sikap yang diawali oleh orang

lain.

Memang mitologi manusia arkhais sedikit demi sedikit akhirnya mengalami

desakralisasi. Namun sebagai ganti mitologi kudus tersebut, manusia modern

mempunyai mitos-mitos sekular dan mitos-mitos politik. Menurut Eliade,

pergeseran mitologi itu terjadi karena pengaruh-pengaruh pemikiran yang

rasionalistis. Meskipun demikian, mitos-mitos sekular yang baru itu mempunyai

fungsi asasi yang sama seperti mitos dalam masyarakat arkhais, sekalipun

mungkin mempunyai makna-makna yang berbeda. Kini jika kita perhatikan lebih

seksama, dalam semua konsep kosmiko-mitologis terjadi gerakan kembali yang

abadi. Di sini ditemukan motif pengulangan isyarat arketipe, yang diproyeksikan

pada seluruh bidang—kosmik, biologis, historis, dan manusia, serta struktur

waktu siklis, yang diregenerasikan pada setiap “kelahiran baru” pada bidang apa

pun. Eliade mengungkapkan bahwa gerakan kembali yang abadi ini

mengungkapkan ontologi yang tidak terkontaminasi oleh waktu dan menjadi

(becoming). Segala sesuatu mulai dan mulai lagi pada permulaannya, pada setiap

saat. Masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Walaupun

tidak ada kejadian yang tidak dapat diubah, namun tidak ada transformasi yang

bersifat final. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang baru yang

terjadi di dunia, karena segala sesuatu tidak lain merupakan pengulangan atas

arketipe primordial yang sama. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada

eksistensi waktu itu sendiri, karena waktu terus-menerus mengalami regenerasi.

Eliade pun menggambarkan bahwa dalam kehidupan manusia religius


mengenal tiga dunia, yaitu pertama dunia atas: dunia ilahi, surga, tempat para

dewa, para pahlawan, dan nenek moyang; kedua, dunia yang didiami manusia;

dan ketiga, dunia bawah: dunia kematian. Pola kehidupan tersebut hingga saat ini

ternyata masih ada. Dalam kehidupan masyarakat Jawa misalnya, juga dikenal

pola konsep tiga dunia tersebut, yakni alam wasana, madya, purwa. Dalam

kehidupan Islam dikenal dengan baitul makmur, baitul mukharam, baitul

muqaddas. Dan kemungkinan besar pola semacam itu terdapat pula dalam

kehidupan masyarakat-masyarakat lain, tentunya diperlukan penelitian lebih

lanjut. Pada dasarnya, Eliade mengungkapkan bahwa ketiga dunia itu membentuk

tiga lapisan yang dihubungkan oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros

dunia ini sering dilambangkan dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui

axis mundi ini manusia religius dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas

dan dunia bawah. Karena hubungan antara ketiga dunia itu terletak pada pusat

dunia, maka dunia yang sejati selalu terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian,

pusat itu merupakan zona suci, zona realitas mutlak. Sama halnya dengan semua

simbol yang lain tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian,

Sumber Remaja, dan sebagainya) ditempatkan sebagai pusat. Jalan yang

mengarah pada pusat merupakan “jalan yang sulit”, dan hal ini diverifikasikan

pada setiap tingkat realitas: lilitan yang sulit dari sebuah candi (seperti pada

Borobudur); ziarah ke tempat suci (Mekkah, Hardwar, Jerusalem); petualangan

yang berbahaya pada ekspedisi heroik dalam mencari Rampasan Emas, Apel

Emas, Jamu Hidup; petualangan dalam labirin; kesulitan pencari jalan menuju

diri, menuju “pusat” keberadaannya, dan sebagainya. Jalan tersebut sulit, penuh

dengan bahaya, dalam kenyataannya merupakan ritus perjalanan dari yang profan
ke yang sakral, dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian,

dari kematian menuju kehidupan, dari manusia menuju ilahi. Pencapaian pusat itu

ekuivalen dengan pentahbisan, inisiasi; eksistensi yang profan dan khayal kemarin

memberi tempat pada yang baru, pada hidup yang nyata, abadi, dan efektif. Jika

aksi Penciptaan mewujudkan jalan dari yang tidak berwujud menuju yang

berwujud, atau menurut bahasa kosmologis, dari khaos (kekacauan) menuju

kosmos (keteraturan); jika Penciptaan berlangsung dari pusat; jika, akibatnya,

segala macam yang ada, dari yang tidak hidup hingga yang hidup, dapat mencapai

eksistensi hanya dalam kawasan yang suci secara dominan—semua keterangan

yang indah ini bagi kita merupakan simbolisme kota suci (pusat dunia), teori

geomantik yang mengatur pondasi kota, konsep yang membenarkan ritus yang

menyertai bangunannya. Kita mempelajari ritus konstruksi ini, dan teori yang

diimplikasikan, dalam karya sebelumnya. Kita dapat mempelajari pada apa yang

ditekankan oleh Eliade pada dua proposisi yang penting, yaitu: 1) setiap ciptaan

mengulangi aksi kosmogonis yang lebih tinggi (pre-eminent), Penciptaan dunia;

2) akibatnya, apa pun yang didirikan fondasinya berada di pusat dunia (karena,

seperti yang kita ketahui, Penciptaan itu sendiri berlangsung dari pusat).

Guna meneguhkan realitas dan pengabadian konstruksi, pada dasarnya

terjadi pengulangan aksi ilahi tentang konstruksi yang sempurna: Penciptaan

dunia dan manusia. Sebagai langkah pertama, “realitas” situs yang dilindungi

melalui pentasbihan bumi, ialah melalui transformasinya ke dalam pusat;

kemudian validitas aksi konstruksi dikonfirmasikan melalui pengulangan

pengorbanan ilahi. Secara hakiki, pentasbihan pusat terjadi di dalam ruang yang

secara kualitatif berbeda dengan ruang profan, melalui paradoks ritus, setiap ruang
yang ditasbihkan sama persis dengan pusat dunia, sebagaimana halnya dengan

waktu ritual itu sama persis dengan waktu mitis, bila pendasaran dunia terjadi.

Dengan demikian ralitas dan keabadian konstruksi dijamin bukan hanya oleh

transformasi ruang profan menjadi ruang transenden (pusat), melainkan juga oleh

transformasi waktu konkret menjadi waktu mitis. Ritual dalam bentuk apa pun

tersingkap bukan hanya dalam ruang yang ditasbihkan. Candi Borobudur

misalnya, merupakan citra kosmos dan dibangun seperti gunung buatan. Dengan

mendakinya, peziarah mendekati pusat dunia, dan di terasnya yang paling tinggi

perubahan dari satu taraf ke taraf yang lain, melampaui yang profan, ruang

heterogen dan memasuki “wilayah suci” berbagai kota dan tempat suci

diasimilasikan dengan puncak gunung kosmik. Di luar prototipe mitis bagi semua

kegiatan manusia pun mengalami hal serupa. Dalam kenyataan tentang keadilan

manusia misalnya, yang didasarkan atas ide tentang “hukum”, memiliki model

selestial dan transenden di dalam norma kosmik (tao, artha, rta, tzedek, themis,

dan lain-lain), juga sangat kita kenal sehingga harus dipertahankan. “Karya seni

manusia merupakan tiruan karya seni ilahi” (Aitareya Brahmana, VI, 27), juga

merupakan leitmotiv estetika kuno.

Yang ditekankan di sini adalah struktur kosmogonik. Pada dasarnya hingga

kini semua itu masih berlangsung, mitos dan kekinian pun masih terus bergerak

mengikuti perkembangan zaman dan tetap mengarah pada pandangan tentang

simbolisme pusat. Di mana ritual konstruksi juga mengasumsikan peniruan yang

kurang lebih eksplisit atas aksi komogonik. Telah kita lihat bahwa semua ritual

meniru arketipe ilahiah dan senantiasa reaktualisasinya yang terus-menerus

berlangsung dalam saat mitis atemporal yang sama. Simbolisme Tahun Baru
misalnya, mengandung motif pembaruan bagi setiap manusia. Meskipun fungsi

eskatologis Tahun Baru (pembebasan masa lampau dan pengulangan Penciptaan)

tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dapat diasumsikan bahwa Tahun yang

telah dilampaui manusia sebagai sebuah “kematian”, dan Tahun Baru merupakan

“kebangkitan kembali”, “kelahiran baru” “manusia baru” atau “kehidupan”.

Kematian dan kehidupan dan atau kehidupan dan kematian selalu beriringan

mengikuti pola kosmogonik. Dan hal itu masih dilakukan terus-menerus pada

masyarakat modern sebagai perayaan akhir dan awal tahun. Setiap penghancuran,

pasti diikuti dengan penciptaan kembali, kematian dan kehidupan baru.

Penghancuran dan penciptaan dunia kembali ini masih terus berlangsung

mengikuti pola kosmogoni, yaitu kembali pada keadaan khaos dan kemudian

diikuti dengan penciptaan kembali. Dunia baru yang terjadi sesudahnya itu

merupakan dunia yang murni, segar dan penuh daya. Dengan kata lain, seperti

dunia yang baru diciptakan untuk pertama kalinya.

Oleh karena itu, menurut Eliade mitos bukan hanya merupakan pemikiran

intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi

spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat

arkhais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka

yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi

contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai pada

kehidupan ini. Mitos menceritakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu

primordial, pada awal-mula. Mitos menceritakann bagaimana suatu realitas mulai

bereksistensi melalui tindakan makhluk supra-natural. Mitos selalu menyangkut

suatu penciptaan. Dan mitos dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan
manusia. Dalam perkembangannya kemudian, ternyata struktur mitos dan ritus

tetap tidak berubah. Di dunia modern, Tahun Baru masih menyimpan wibawa

akhir masa lampau dan permulaan yang segar bagi hidup yang baru, dan seluruh

manusia di belahan bumi mana pun masih mengalami hal ini. Dengan atau tanpa

kesadaran, perlakuan terhadap perayaan Tahun Baru tersebut merupakan pola

struktur kosmogonik. Dan akhirnya dapat dinyatakan bahwa mitos menjadi contoh

model bagi semua kegiatan manusia yang bermakna hingga saat ini.

Anda mungkin juga menyukai