diketahui dahulu apa yang disebut mitos? Bagi masyarakat tradisional, yang
disebut sebagai manusia religius arkhais oleh Mircia Eliade, mitos merupakan
di dunia ini. Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan karena itu sulit
untuk memberikan batasan-batasan yang definitif terhadap mitos. Eliade
memandang mitos sebagai usaha manusia arkhais untuk melukiskan lintasan yang
supra-natural ke dalam dunia dan memiliki makna yang esensial sehingga mitos
menjadi suatu kebenaran yang pasti dan menetapkan kebenaran absolut yang tak
dan merupakan contoh model yang paling utama dari segala macam bentuk
penciptaan dan pembangunan (dunia). Bagi manusia religius, istilah dunia tidak
mencakup seluruh alam raya sebagaimana dimengerti oleh ilmu zaman sekarang,
melainkan terbatas pada pengertian dunia kita yaitu dunia yang sudah dikenal,
yang dihuni atau didiami, yang teratur dan berbentuk sebagai kosmos. Sedangkan
segala sesuatu di luar wilayah itu masih merupakan dunia lain, dunia yang kacau
atau khaos. Namun daerah yang termasuk khaos dapat dijadikan daerah kosmos,
dengan jalan menduduki dan menjadikannya tempat tinggal. Dunia yang akan
kosmogoni (penciptaan semesta alam oleh para „dewa‟). Oleh karena itu, dunia
yang akan menjadi daerah baru dan akan diduduki perlu disucikan dan diciptakan,
dari khaos menjadi kosmos dengan suatu upacara religius, agar tempat tersebut
menjadi kawasan suci secara dominan dan merupakan simbolisme kota suci atau
pusat dunia, teori geomantik sebagai ritus konstruksi mengatur pondasi kota,
yang menjadi real hanya sejauh hal itu meniru atau mengulangi arketipe. Dengan
demikian, realitas itu diperoleh hanya melalui pengulangan atau partisipasi; segala
sesuatu yang tidak memiliki model yang ditiru itu “tidak bermakna”: dalam
Plato dapat dipandang sebagai pemikir yang berhasil memberikan nilai dan
validitas filosofis bagi cara hidup dan perilaku manusia kuno. Dengan mengakui
struktur Platonik pada ontologi kuno itu, yang penting adalah pembebasan waktu
profane dan proyeksi individu di dalam waktu mistik tentunya tidak terjadi
kecuali pada periode yang esensial, yaitu periode ketika individu benar-benar
sesuatu mengulangi dirinya sendiri untuk selama-lamanya dan bahwa “tidak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari ini”. Namun pengulangan ini memiliki
hakikatnya, kehidupan manusia, dari sekian banyak suku bangsa dengan etnik
Kehidupan orang Jawa di mana pun ia berada, akan membawa kekhasan Jawanya,
baik dari segi bahasa, sikap, pandangan, dan tindakannya dalam bertingkah laku
alkulturasi misalnya, tidak akan mengubah 100 % kesejatian yang telah mengakar
dalam kehidupannya. Dengan demikian, mitos akan terus tetap ada selama
ini masih terdapat sisa-sisa sikap mitologis. Hanya saja di luar kesadarannya;
informasi yang diberikan secara turun menurun tentang segala aspek yang
berdasarkan agama yang dianut oleh keluarganya, adat istiadat, pranata, tradisi,
Namun karena merasa tidak memperoleh kebebasan bertindak dan bertingkah laku
baru, di luar dunia yang dianggap sebagai mitos. Oleh karena itu, dalam
masyarakat modern, mitos cenderung merosot menjadi legenda, epos, dan balada
atau roman. Padahal bila kita amati tindakan atau tingkah laku yang dijalankan
manusia modern, mereka secara tidak langsung mengikuti apa-apa yang telah
memiliki kecenderungan melakukan apa yang dikatakan orang lain dari orang-
orang yang terdahulu atau segala sesuatu yang berkembang dari budaya yang
Berarti kesemuanya merupakan tindakan dan tingkah laku budaya dari masa lalu.
Apa-apa yang dilaksanakan berdasarkan dari masa lalu itulah yang disebut mitos.
Walaupun di lain pihak, hal itu dinyatakan sebagai sesuatu yang mentradisi, tetapi
dari tindakan tradisi yang terus berlangsung tersebut nyata terlihat di dalamnya
merupakan pengulangan yang terus-menerus atas sikap yang diawali oleh orang
lain.
fungsi asasi yang sama seperti mitos dalam masyarakat arkhais, sekalipun
mungkin mempunyai makna-makna yang berbeda. Kini jika kita perhatikan lebih
waktu siklis, yang diregenerasikan pada setiap “kelahiran baru” pada bidang apa
(becoming). Segala sesuatu mulai dan mulai lagi pada permulaannya, pada setiap
saat. Masa lampau tidak lain merupakan prefigurasi bagi masa depan. Walaupun
tidak ada kejadian yang tidak dapat diubah, namun tidak ada transformasi yang
bersifat final. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang baru yang
terjadi di dunia, karena segala sesuatu tidak lain merupakan pengulangan atas
arketipe primordial yang sama. Waktu tidak memiliki pengaruh akhir pada
dewa, para pahlawan, dan nenek moyang; kedua, dunia yang didiami manusia;
dan ketiga, dunia bawah: dunia kematian. Pola kehidupan tersebut hingga saat ini
ternyata masih ada. Dalam kehidupan masyarakat Jawa misalnya, juga dikenal
pola konsep tiga dunia tersebut, yakni alam wasana, madya, purwa. Dalam
muqaddas. Dan kemungkinan besar pola semacam itu terdapat pula dalam
lanjut. Pada dasarnya, Eliade mengungkapkan bahwa ketiga dunia itu membentuk
tiga lapisan yang dihubungkan oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros
dunia ini sering dilambangkan dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui
axis mundi ini manusia religius dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas
dan dunia bawah. Karena hubungan antara ketiga dunia itu terletak pada pusat
dunia, maka dunia yang sejati selalu terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian,
pusat itu merupakan zona suci, zona realitas mutlak. Sama halnya dengan semua
simbol yang lain tentang realitas mutlak (pohon kehidupan dan keabadian,
mengarah pada pusat merupakan “jalan yang sulit”, dan hal ini diverifikasikan
pada setiap tingkat realitas: lilitan yang sulit dari sebuah candi (seperti pada
yang berbahaya pada ekspedisi heroik dalam mencari Rampasan Emas, Apel
Emas, Jamu Hidup; petualangan dalam labirin; kesulitan pencari jalan menuju
diri, menuju “pusat” keberadaannya, dan sebagainya. Jalan tersebut sulit, penuh
dengan bahaya, dalam kenyataannya merupakan ritus perjalanan dari yang profan
ke yang sakral, dari yang sementara dan khayal menuju realitas dan keabadian,
dari kematian menuju kehidupan, dari manusia menuju ilahi. Pencapaian pusat itu
ekuivalen dengan pentahbisan, inisiasi; eksistensi yang profan dan khayal kemarin
memberi tempat pada yang baru, pada hidup yang nyata, abadi, dan efektif. Jika
aksi Penciptaan mewujudkan jalan dari yang tidak berwujud menuju yang
segala macam yang ada, dari yang tidak hidup hingga yang hidup, dapat mencapai
yang indah ini bagi kita merupakan simbolisme kota suci (pusat dunia), teori
geomantik yang mengatur pondasi kota, konsep yang membenarkan ritus yang
menyertai bangunannya. Kita mempelajari ritus konstruksi ini, dan teori yang
diimplikasikan, dalam karya sebelumnya. Kita dapat mempelajari pada apa yang
ditekankan oleh Eliade pada dua proposisi yang penting, yaitu: 1) setiap ciptaan
2) akibatnya, apa pun yang didirikan fondasinya berada di pusat dunia (karena,
seperti yang kita ketahui, Penciptaan itu sendiri berlangsung dari pusat).
dunia dan manusia. Sebagai langkah pertama, “realitas” situs yang dilindungi
pengorbanan ilahi. Secara hakiki, pentasbihan pusat terjadi di dalam ruang yang
secara kualitatif berbeda dengan ruang profan, melalui paradoks ritus, setiap ruang
yang ditasbihkan sama persis dengan pusat dunia, sebagaimana halnya dengan
waktu ritual itu sama persis dengan waktu mitis, bila pendasaran dunia terjadi.
Dengan demikian ralitas dan keabadian konstruksi dijamin bukan hanya oleh
transformasi ruang profan menjadi ruang transenden (pusat), melainkan juga oleh
transformasi waktu konkret menjadi waktu mitis. Ritual dalam bentuk apa pun
misalnya, merupakan citra kosmos dan dibangun seperti gunung buatan. Dengan
mendakinya, peziarah mendekati pusat dunia, dan di terasnya yang paling tinggi
perubahan dari satu taraf ke taraf yang lain, melampaui yang profan, ruang
heterogen dan memasuki “wilayah suci” berbagai kota dan tempat suci
diasimilasikan dengan puncak gunung kosmik. Di luar prototipe mitis bagi semua
kegiatan manusia pun mengalami hal serupa. Dalam kenyataan tentang keadilan
manusia misalnya, yang didasarkan atas ide tentang “hukum”, memiliki model
selestial dan transenden di dalam norma kosmik (tao, artha, rta, tzedek, themis,
dan lain-lain), juga sangat kita kenal sehingga harus dipertahankan. “Karya seni
manusia merupakan tiruan karya seni ilahi” (Aitareya Brahmana, VI, 27), juga
kini semua itu masih berlangsung, mitos dan kekinian pun masih terus bergerak
kurang lebih eksplisit atas aksi komogonik. Telah kita lihat bahwa semua ritual
berlangsung dalam saat mitis atemporal yang sama. Simbolisme Tahun Baru
misalnya, mengandung motif pembaruan bagi setiap manusia. Meskipun fungsi
tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dapat diasumsikan bahwa Tahun yang
telah dilampaui manusia sebagai sebuah “kematian”, dan Tahun Baru merupakan
Kematian dan kehidupan dan atau kehidupan dan kematian selalu beriringan
mengikuti pola kosmogonik. Dan hal itu masih dilakukan terus-menerus pada
masyarakat modern sebagai perayaan akhir dan awal tahun. Setiap penghancuran,
mengikuti pola kosmogoni, yaitu kembali pada keadaan khaos dan kemudian
diikuti dengan penciptaan kembali. Dunia baru yang terjadi sesudahnya itu
merupakan dunia yang murni, segar dan penuh daya. Dengan kata lain, seperti
Oleh karena itu, menurut Eliade mitos bukan hanya merupakan pemikiran
intelektual dan bukan pula hasil logika, tetapi terlebih merupakan orientasi
spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang ilahi. Bagi masyarakat
arkhais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka
yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi
contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai pada
kehidupan ini. Mitos menceritakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu
suatu penciptaan. Dan mitos dianggap sebagai jaminan eksistensi dunia dan
manusia. Dalam perkembangannya kemudian, ternyata struktur mitos dan ritus
tetap tidak berubah. Di dunia modern, Tahun Baru masih menyimpan wibawa
akhir masa lampau dan permulaan yang segar bagi hidup yang baru, dan seluruh
manusia di belahan bumi mana pun masih mengalami hal ini. Dengan atau tanpa
struktur kosmogonik. Dan akhirnya dapat dinyatakan bahwa mitos menjadi contoh
model bagi semua kegiatan manusia yang bermakna hingga saat ini.