A. Thales (6 SM)
Digelari oleh Aristoteles sebagai seorang filsuf pertama
Thales menjawab bahwa asas asali (arkhe) segala sesuatu itu adalah air. Menurutnya
segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali kepada air.
Air mempunyai bentuk yang berbeda-beda (beku, cair, uap) dan dapat menyatuh dengan
segala sesuatu. Semua mahkluk hidup mempunyai unsur air dan tidak dapat hidup tanpa
air. Begitu pula makanan-makanan, semuanya mengandung unsur air.
Thales bahkan berpikir bahwa bumi terapung di atas air.
B. Anaximandros (610-540 SM)
Pandangan Thales ini kemudian ditolak oleh Anaximandros. Menurutnya, air tidak dapat
dianggap sebagai arkhe dari segala sesuatu, karena air berbentuk fisik, terbatas, dan
terlalu dekat dengan objek-objek material yang kelihatan.
Anaximandros berpendapat bahwa prinsip asali (arkhe) segala sesuatu haruslah sesuatu
yang ‘tak terbatas’ (to apeiron) atau yang bersifat abadi, ilahi, tak terubahkan dan
meliputi segala sesuatu.
To apeiron merupakan prinsip yang bercorak matainderawi, melampaui daya tangkap
serta pancaindera.
C. Anaximenes (585-525 SM)
Jawaban Anaximandros dianggap terlalu abstrak oleh Anaximenes. Menurutnya, prinsip
asali segala sesuatu harus memiliki dua karakteristik sekaligus. Di satu pihak, dekat
dengan objek-objek realitas; namun, di lain pihak, melampaui segala sesuatu yang
material. Dengan kata lain, Anaximenes mengupayakan suatu jalan tengah antara
penjelasan Thales dan Anaximandros.
Prinsip asali (arkhe) dengan karakteristik ganda itu adalah udara. Sebab, udara
melingkupi segala yang ada, dapat dirasakan, namun melampaui segala sesuatu secara
tidak kelihatan. Dalam konteks itu, jiwa manusia disamakan dengan nafas.