Anda di halaman 1dari 8

RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”

Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit


Ringkasan BAB 1: Filsafat dalam Kebudayaan Yunani Kuno
 Pertanyaan mendasar, Bagaimana situasi saat itu sehingga filsafat dapat lahir?
Bab ini menceritakan peristiwa lahirnya filsafat dalam kebudayaan Yunani kuno pada abad
ke-6 SM. Sasaran: mengenal karakteristik filsafat menurut apa yang dipraktikkan oleh para
filsuf pertama.

1. Mitos dan Mitologi


Kebudayaan Yunani kuno ditandai secara menonjol oleh adanya penghayatan ketuhanan
yang berpusat pada para dewa.
 Dewa-dewi digambarkan secara Antropomorfistis = Yun. “Antropos” = manusia, “morfis” =
berperilaku/bertindak. Antropomorfistis berarti berlaku/bertindak seperti manusia. Dalam
hal penggambaran para dewa, Antropomorfistis digambarkan sebagai dewa/dewi yang
berperilaku/bertindak seperti manusia.
 Hal tersebut dialami dekat serta diyakini terlibat dalam kehidupan sehari-hari; Kehidupan
dan kematian, keberhasilan dan kegagalan, cita-cita dan harapan, kegembiraan dan
kesedihan, semuanya di hubungkan dengan dewa-dewi serta termuat secara mendalam pada
keakraban dunia ilahi dan dunia manusiawi.
Karena adanya kesadaran manusia akan dewa-dewi tersebut maka, lahirlah Mitos dan
Mitologi.
 Kata “mitos” atau “mite” berasal dari bah. Yunani, “mythos” = kata atau perkataan. Sebagai
suatu istilah teknis, mitos merujuk pada “apa yang tidak dapat hadir secara kelihatan”.
Maka, mitos berarti perkataan tentang apa yang tersembunyi. Apa yang tersembunyi itu
tidak lain ialah, dewa-dewi.
 Pelaku utama (subjek) sebuah mitos adalah mahkluk supernatural (melampaui hal yang
bersifat alamiah/kelihatan).
 Oleh sebab itu mitos mengisahkan peristiwa turunnya para dewa dari dunia kayangan dan
mendiami dunia manusia. Mitos menyatakan Pelbagai hal tentang perilaku dan perbuatan
para dewa menyangkut hidup manusia; bagaimana dunia dan alam semesta ini terjadi dan
bagaimana manusia lahir di bumi. Jadi, Mitos bisa dimengerti sebagai cerita khusus
tentang asal-mula dunia, manusia, binatang, tumbuhan, bahkan juga tentang dewa-
dewi itu sendiri.
 Pada umumnya mitos dikisahkan dalam upacara-upacara ritual keagamaan atau perayaan
suci di mana tindakan kreatif para dewa hendak dihadirkan kembali. Ketika umat yang
berkumpul mendengarkan kisah itu (mitos), mereka masuk dalam “waktu kudus” dan
mengalami perbuatan kreatif para dewa (di dalamnya penciptaan dunia dan manusia
dihadirkan kembali). Dengan demikian, orang-orang yang hadir dihantar kembali pada
situasi primordial (asali) eksistensinya ketika ia diciptakan oleh dewa.
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
 Dalam arti itu mitos memberikan penjelasan yang bersifat ontologis (sifat asali) tentang
keadaan mendasar realitas.
 Mitos dibedakan dari mitologi. Mitologi berasal dari gabungan kata “Mythos” dan “logos”;
secara harafiah berarti ‘kata tentang perkataan’, atau ‘kata-kata tentang apa yang tak
kelihatan atau tersembunyi’. Berdasarkan etimologis ini mitologi diartikan secara teknis
sebagai interpretasi atau tafsiran tentang mitos-mitos.
 Subjek mitologi adalah orang tertentu yang mempunyai wewenang untuk memberikan
tafsiran tentang mitos-mitos. Konsekuensinya adalah, isi mitologi dapat lenyap sama sekali
dan digantikan oleh mitologi baru. Sebaliknya, mitos tidak dapat digantikan begitu saja
dengan mitos yang baru; mitos tidak tergantung pada situasi penafsirannya.
 Fungsi epistemik mitos dan mitologi: memberikan penjelasan atau pengetahuan tentang
eksistensi manusia dan alam semesta. Inilah konteks kepercayaan religius (iman) tentang
hubungan manusia dengan alam ilahi. Oleh karena sikap itu, penjelasan mitis dan mitologis
umumnya diterima dengan sikap kepercayaan (imani), dan bukan berdasarkan argumen-
argumen rasional yang terbuka bagi perdebatan dan diskusi.
 Kesimpulannya, mitos adalah cerita kudus tentang perbuatan kreatif dewa-dewi. Sedangkan
mitologi merupakan bentuk penafsiran tentang makna mitos dan dijadikan ajaran tentang
pokok-pokok kepercayaan.

2. Peralihan Mitos (kepercayaan-abstrak) ke Logos (pengertian-masuk akal)


Sampai dan dengan abad ke-6 SM, kehidupan sehari-hari masyarakat Yunani berlangsung
dibawah pengaruh mitos dan mitologi. Akan tetapi, sejak permulaan abad itu, terbitlah suatu
kecenderungan baru untuk mempertanyakan secara rasional kemapanan mitis tersebut. Hal itu
ditandai oleh peranan yang diberikan bagi “logos” dalam arti ratio atau daya nalar.
 Kurang lebih pertengahan abad ke-7 SM, muncullah di Yunani sistem kebudayaan yang
disebut “polis”= Negara-kota yang secara pemerintahan dan administratif memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri cara-cara mengatur kehidupan warganya. Ciri khas
polis=kemajemukan
 Para warga polis terbuka bagi keragaman budaya, percakapan tentang tradisi, kebiasaan-
kebiasaan, dan peraturan-peraturan yang biasanya berlaku dalam masyarakat.
 Para warga polis biasanya datang berkumpul di tempat yang benama “agora” (pasar dalam
arti luas=forum). Ditempat itu terdapat suasana kebebasan berpikir, berbicara, dan
mengemukakan pendapat dalam dialog dan diskusi mengenai berbagai pokok.
 Sementara pelbagai peristiwa alam terus membangkitkan rasa ingin tahu, rentetan
pertanyaan niscaya bemunculan: apa yang ada di balik fenomena-fenomena alam semesta?
Mengapa ada realitas? Dari mana datangnya manusia? Mengapa manusia lahir dan mati?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, latar belakang fenomena yang dialami mulai diselidiki
dengan mengemukakan pertanyaan yang radikal tentang prinsip terdalam asali (arkhe)
realitas. Dengan demikian, orang-orang Yunani mulai mempertanyakan realitas kehidupan
yang terjadi dibandingkan dengan sekedar percaya tehadap dewa-dewi:
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
 Adakah sesuatu hal yang ‘mengikat’ atas perbedaan yang terjadi?
 Adakah sesuatu yang ‘tetap’ dibalik segala sesuatu yang berubah-ubah ini?
 Pertanyaan tersebut menyentuh persoalan mengenai hubungan antara “yang satu” (the one)
dan “yang banyak” (the many). Hal ini merupakan warisan cara berpikir dalam zaman
mitologi, di mana realitas (alam semesta) yang majemuk (beranekaragam) diasalkan pada
satu sumber ilahi.
 Pertanyaan mengenai “yang satu” dan “yang banyak” ini menjadi pergumulan para tiga
filsuf pertama: Thales, Anximandros dan Anaximenes.

A. Thales (6 SM)
 Digelari oleh Aristoteles sebagai seorang filsuf pertama
 Thales menjawab bahwa asas asali (arkhe) segala sesuatu itu adalah air. Menurutnya
segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali kepada air.
 Air mempunyai bentuk yang berbeda-beda (beku, cair, uap) dan dapat menyatuh dengan
segala sesuatu. Semua mahkluk hidup mempunyai unsur air dan tidak dapat hidup tanpa
air. Begitu pula makanan-makanan, semuanya mengandung unsur air.
 Thales bahkan berpikir bahwa bumi terapung di atas air.
B. Anaximandros (610-540 SM)
 Pandangan Thales ini kemudian ditolak oleh Anaximandros. Menurutnya, air tidak dapat
dianggap sebagai arkhe dari segala sesuatu, karena air berbentuk fisik, terbatas, dan
terlalu dekat dengan objek-objek material yang kelihatan.
 Anaximandros berpendapat bahwa prinsip asali (arkhe) segala sesuatu haruslah sesuatu
yang ‘tak terbatas’ (to apeiron) atau yang bersifat abadi, ilahi, tak terubahkan dan
meliputi segala sesuatu.
 To apeiron merupakan prinsip yang bercorak matainderawi, melampaui daya tangkap
serta pancaindera.
C. Anaximenes (585-525 SM)
 Jawaban Anaximandros dianggap terlalu abstrak oleh Anaximenes. Menurutnya, prinsip
asali segala sesuatu harus memiliki dua karakteristik sekaligus. Di satu pihak, dekat
dengan objek-objek realitas; namun, di lain pihak, melampaui segala sesuatu yang
material. Dengan kata lain, Anaximenes mengupayakan suatu jalan tengah antara
penjelasan Thales dan Anaximandros.
 Prinsip asali (arkhe) dengan karakteristik ganda itu adalah udara. Sebab, udara
melingkupi segala yang ada, dapat dirasakan, namun melampaui segala sesuatu secara
tidak kelihatan. Dalam konteks itu, jiwa manusia disamakan dengan nafas.

Tanggapan Thales, Anaximandros dan Anaximenes terhadap pertanyaan mengenai arkhe


begitu berbeda-beda, saling bertolak belakang, dan dari sudut pandang ilmu-ilmu modern
tampaknya begitu naif. Beberapa catatan yang perlu dibedakan dari ketiga pandangan itu:
 Pertama, ketiganya bergumul dengan satu persoalan yang sama, yaitu mengenai asas
prinsip asali (arkhe) suatu realitas. Pencarian tersebut bercorak radikal, fundamental
dan membutuhkan penjelasan yang rasional.
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
 Kedua, jawaban yang diberian Thales, Anaximandros dan Anaximenes bersifat rasional
karena menggunakan logos (=akal/nalar) sebagai instrument atau alat untuk menyusun
argumentasi.
 Ketiga, argument yang satu terbuka terhadap tanggapan kritis dari filsuf yang
lain. Dengan cara itu, pemikiran filosofis terus berkembang karena kritik.

3. Upaya menjelaskan perubahan Herakleitos dan Parmenides


Karena keterangan-keterangan mitologis tentang realitas mulai dianggap tidak lagi
memuaskan serta irasional (tidak masuk akal), maka rasio mulai diandalkan sebagai alat atau
instrumen terpenting untuk mengerti manusia dan alam semesta. Dalam konteks ini, orang
Yunani berbicara tentang logos.
Kata “logos” berarti bahasa (perkataan) yang rasional atau ilmu yang dipertentangkan
dengan mitos. Maka berbeda dari para filsuf pertama (filsuf alam), Herakleitos tampil dengan
konsentrasi yang agak baru, yaitu tentang perubahan dalam realitas (alam semesta).
Problemnya terletak pada penjelasan mengenai perubahan atau transformasi yang terjadi
pada alam semesta yang dialami sehari-hari. Bagaimana perubahan itu dapat dijelaskan?
Apakah perubahan itu riil? Apakah terdapat sesuatu yang menjadi sumber perubahan itu?
Kalau ada, apakah sumber itu sendiri dapat berubah, atau kebal terhadap perubahan?
pertanyaan ini menjadi pergumulan Herakleitos dan Parmenides serta beberapa filsuf lainnya
seperti; Zeno, Epedokles, dan Anaxagoras.

A. Herakleitos (540-475 SM): panta rhei kai uden menei


 Berasal dari Efsus di Asia kecil.
 Pernah menulis sebuah buku tapi telah hilang. Yang tersisa hanyalah 130 fragmen yang
memuat isi inti ajarannya.
 Menurutnya, segala sesuatu berada dalam arus perubahan yang terus menerus serta tidak
ada satupun yang menetap. Katanya; “anda tidak dapat turun ke air sungai yang sama”
artinya, air selalu mengalir terus-menerus, tidak berganti-ganti, sehingga orang tidak
dapat menginjakkan kakinya ke dalam air sungai yang sama lebih dari satu kali.
 Diogenes laertions meringkas ajaran Herakleitos dengan mengatakan, “segalanya
mengalir bagaikan sungai”. Masyhurlah perkataan “panta rhei kai uden menei”,
“semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal menetap”. Hal ini
menjelaskan bahwa, segala sesuatu termasuk jiwa manusia, menurut hakikatnya adalah
perubahan; meskipun ditimpa perubahan yang terus-menerus, namun identitas atau
hakekatnya tetap sama. Mis. sungai X dan Sungai Y; air sungai X terus-menerus
berubah karena mengalir tetapi sungai X tidak berubah menjadi sungai Y. begitu pula
manusia dengan perubahan fisik (usia, umur, bentuk organ tubuh, atau pun mental dsb)
yang berlangsung terus-menerus. Walau mengalami berbagai perubahan namun, hal itu
tetap tidak menghilangkan atau memudarkan identitas atau hakekat aslinya sebagai
manusia. Hal ini pun memberikan arti bahwa, perubahan-perubahan itu memberi bentuk
yang silih berganti kepada realitas, tetapi hakekat atau identitasnya tidak lenyap.
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
 Jadi, menurut Herakleitos, unsur ‘yang satu’ dan ‘yang banyak’ harus terdapat kesatuan
dasar (basic unity). Untuk menjelaskan perubahan sebagai suatu kesatuan dalam
keberagaman (unity in diversity).
 Herakleitos berangkat dari tesis bahwa segala sesuatu itu adalah api. Api merupakan
sumber proses transformasi yang dapat menerima dan mengubah segala sesuatu.
Mengapa Herakleitos memilih simbolisme api? Nyala api itu selalu membakar dan
mengubah, misalnya kayu menjadi arang, abu dan asap. Dalam proses transformasi itu
api tetap api yang sama. Api selain sebagai pengubah, tetapi sekaligus juga berubah
(kayu menjadi arang, asap dan abu). Artinya, walaupun memiliki berbagai bentuk
perubahan, namun api tetaplah api yang sama. Perubahan tersebut tidak mengilangkan
atau melenyapkan identitas atau hakekat dari api itu sendiri.
 Segala sesuatu yang berubah itu bersumber pada Rasio atau Logos universal. Konsep
logos berasal dari keyakinan religius Herakleitos bahwa realitas sejati atau realitas
yang sesungguhnya ialah jiwa dan atribut jiwa yang paling distingtif ( yang
membedakan/khas) dari pemikiran atau kebijaksanaan. Baginya, realitas dasar
satu-satunya itu ialah api. Api itulah yang disebut ‘yang satu’ atau ‘Allah’. Jiwa yang
diresapi oleh Allah memungkinkan manusia untuk dapat berpikir dan mengerti.
 Dengan ini, Panteisme tak terhindarkan: “segala sesuatu adalah api, dan api ada dalam
segala sesuatu ”. Jiwa manusia (the many) adalah bagian dari Allah (the one) dan Allah
pun berada serta melingkupi segala sesuatu termasuk manusia.
 Herakleitos berpikir bahwa “Allah” adalah “Rasio/logos universal” yang
mempersatukan segala sesuatu dalam gerakan dan perubahan secara teratur.
 Konsekuensi dari perubahan yang terus-menerus adalah terjadinya oposisi-oposisi
dan konflik. Menurut Herakleitos, konflik atau perselisihan sebetulnya merupakan
hakekat perubahan (mis. perbedaan pandangan antara tiga filsuf pertama soal arkhe
realitas). Sebab dari konflik (perbedaan) itu muncullah suatu harmoni yang indah.
 Dengan pandangan seperti itu, Herakleitos hendak menekankan bahwa “yang banyak”
menemui kesatuan dalam “yang satu”. Artinya, pelbagai bentuk yang berubah-ubah dan
tampaknya saling bertentangan itu sebetulnya disatukan secara harmonis dalam “yang
satu”, yaitu Logos universal. Jadi, perubahan itu sungguh riil, dan tanpa perubahan
realitas tidak dapat dijelaskan. Perubahan selalu berarti pula adanya perbedaan dan
oposisi (pertentangan).

B. Parmenides (515 SM): yang ada, ada


 Lahir di Elea (Yunani di Italia Selatan)
 Ia mendirikan sekolah filsafat di Elea
 Memberikan jawaban atas pertanyaan yang dihadapi Herakleitos
 Parmenides dengan tegas menolak pandangan Herakleitos bahwa perubahan itu riil/nyata,
serta hakikat realitas adalah perubahan. Parmenides menolak konsep perubahan seperti itu
dengan dua tesis: (a) jika ada suatu substansi (pokok, isi, unsur) tunggal di balik segala
sesuatu, maka secara logis konsep perubahan sebetulnya kabur; dan (b) fenomena
perubahan secara mendasar hanyalah ilusi. Bagaimana menjelaskan kedua tesis tersebut?
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
 (a) Menurut Parmenides, secara logis konsep perubahan tak dapat dipikirkan dan karena itu
juga tak dapat dijelaskan. Ia berpendapat bahwa, apa yang ada, ada secara mutlak, atau
tidak ada sama sekali. Berarti apa pun yang ada, ada; dan yang tidak ada, tidak ada. Dalam
arti itu, proses “menjadi” atau perubahan itu tidaklah bermakna.
 Sebab, bagaimana dapat diterangkan bahwa yang ada (segala sesuatu) berasal dari
ketiadaan (not being)? Atau dari proses tidak ada menjadi ada? Mengatakan bahwa A
pernah tidak ada, samalah artinya dengan berpikir bahwa A ada sebelumnya. Bagi
Parmenides, berpikir selalu berarti berpikir tentang sesuatu.
 Dengan kata lain, mustahil kita bepikir tentang ketiadaan eksistensial (not being). Sebab.
Realitas atau being adalah satu-satunya yang dapat dipikirkan secara actual (nyata, benar-
benar terjadi). Dalam batasan itu Parmenides berpendapat bahwa being (yang ada) bersifat
absolut (tidak terbatas, mutlak, tak terbagikan, tunggal dan tak berubah).
 (b) Di manakah persis letaknya kekaburan konsep proses menjadi atau berubah? Menurut
Parmenides, kekaburan itu terletak pada kemustahilan untuk mengatakan secara konsisten
bahwa sesuatu dapat muncul dari ada (being) dan juga bukan ada (not being).
 Anggapan dasar di balik konsep tentang perubahan atau proses menjadi adalah sesuatu
dapat berubah dari “tidak ada” menjadi “ada”, atau dari “ada” ke “ada yang lain”. Menurut
Parmenides, asumsi ini hanyalah suatu ilusi.
 Parmenides lalu menyimpulkan, persoalan tentang perubahan atau proses menjadi
sebetulnya merupakan persoalan yang semu. Apabila kita berhasrat untuk menjawab
persoalan itu, maka secara tidak terhindarkan kita hanya masuk ke dalam absurditas; “ab”
= tidak, “surdus”= mendengar, absurdus yaitu sesuatu yang tidak enak didengar.
 Walaupun tidak secara langsung menghapus konsep Heraklietos, rupanya Parmenides tetap
menolak paham umum tentang perubahan itu, yaitu dengan membedakan antara
appearance (kemunculan=yang ada) dan reality (kenyataan). Ada orang menganggap
bahwa apa yang tampak secara inderawi saja sudah merupakan realitas yang sebenarnya.
Padahal, apa yang tampak itu tak dapat dijadikan dasar kepastian mengenai apa yang
benar, selain sebagai pendirian (doxa) saja.
 Jadi, pendapat para filsuf sebelum Parmenides bahwa dunia ini berada dalam arus
perubahan yang terus menerus, sebenarnya tak lain hanya suatu pendirian (doxa) belaka
yang tidak mengandung kebenaran yang definitif (pasti). Kebenaran yang paling dasar
ialah Being is and not being is not atau “yang ada itu, ada” dan “yang tidak ada itu, tidak
ada”
 Pandangan Parmenides kelak dilanjutkan secara lebih radikal oleh muridnya yang bernama
Zeno (lahir sekitar 490 SM). Ia mempertahankan pendapat gurunya bahwa tidak ada
perubahan. Untuk itu ia membuktikan bahwa tidak ada gerak, tidak ada ruang kosong, dan
konsekuensinya tidak ada pluralitas atau kemajemukan.
 Pandangan Parmenides yang membedakan appearance dan reality kelak mempengaruhi
dualisme Plato.

4. Refleksi: ciri khas awal filsafat


 Pertama, filsafat lahir sebagai aktivitas rasional. Karena adanya pengaruh ketidak-
jelasan dan ketidak-pahaman sebuah mitos/mitologi, filsafat pun menjadi abstrak dan
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit
bahkan tidak masuk akal lagi. Oleh karena berbagai fenomena tersebut, maka filsafat
bekembang karena rasa kagum serta ingin tahu untuk mencari hakikat (arkhe)
realitas yang sebenarnya. Di sini, logos (rasio/akal) berperan penting dalam mencari
penjelasan mengenai berbagai peristiwa yang dialami. Dalam perkembangan selajutnya,
filsafat menjadi suatu pengembaraan intelektual yang secara terus-menerus
mengemukakan pertanyaan kritis tentang realitas dan pengalaman hidup. Dengan
kritis, filsafat juga menghadapi keyakinan-keyakinan yang telah mapan.
 Kedua, pada awalnya filsafat berkembang sebagai kosmologi, yaitu filsafat yang berupaya
memberikan penjelasan mengenai fenomena-fenomena alam. Baik para filsuf pertama
maupun Herakleitos dan Permanides, bergumul dengan persoalan yang sama mengenai
hubungan “the one” dan “the many”. Untuk itu, filsafat tidak berbicara soal dunia yang
lain melainkan dunia yang riil yang kita hidupi. Jadi, dapat dimengerti bahwa objek formal
filsafat adalah intensitas atau kedalaman realitas, yakni prinsip atau asas realitas yang
paling fundamental. Jadi, Berfilsafat disini berarti bertanya secara rasional dan
mencari jawaban tentang prinsip-prinsip pertama atau arkhe realitas.
 Ketiga, filsafat lahir dan dipraktikkan sebagai ilmu kritis. Secara etimologis, kata bahasa
Indonesia “kritik” berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti mampu
membedakan dan mengambil keputusan. Dalam bahasa Latin dikenal dengan “criticus”
yang diturunkan dari kata kerja “cernere” yang berarti membedakan, mengerti dan
memutuskan. Nah, filsafat berkembang ketika orang-orang Yunani mulai membeda-
bedakan antara “apa yang masuk akal” dan “apa yang tidak masuk akal”; dengan “apa
yang diterima karena dapat dimengerti (logos)” dan “apa yang diterima karena
kepercayaan (mitos dan mitologi)”. Dalam arti itu, filsafat tampil sebagai kritik
terhadap mitos dan mitologi. Seperti sudah dikatakan, mitos dan mitologi telah menjadi
ciri yang paling dominan dari kultur kehidupan zaman kebudayaan Yunani kuno.
Dalam kondisi itu, pemikiran-pemikiran rasional muncul. Filsafat tidak saja berarti
aktivitas rasional, melainkan lebih tepat aktivitas rasional secara kritik.
 Keempat, dalam filsafat perbedaan pendapat adalah biasa, karena hal yang terpokok
ialah penjelasan atau argumentasi yang masuk akal (rasional) dan dapat
dipertanggung-jawabkan. Misalnya, Setiap filsuf yang menghadapi suatu persoalan
yang sama, tetapi memiliki pandangan yang berbeda-beda. Hal itu menandakan bahwa
filsafat tidak mengenal apa yang disebut dengan “Dogmatisme”, karena filsafat bukanlah
suatu doktrin atau ajaran tertentu. Dalam filsafat setiap pendirian terbuka bagi diskusi.
Dalam konteks itu, seperti yang akan dilihat lagi, dialog sangat hakiki dalam aktivitas
berfilsafat. Oleh karena itu, para filsuf tidak serta merta menerima suatu fakta secara
dangkal saja. Ia selalu berpikir melampaui apa yang didengar atau diterima.
Hal ini menunjukan bahwa filsafat mempertanyakan keyakinan-keyakinan yang sudah
dianggap mapan tetapi kabur dan irasional (tidak masuk akal). Dalam arti itu, filsafat
tidak telepas dari konteks kehidupan sehari-hari.
RINGKASAN PRIBADI MK “PENGANTAR FILSAFAT”
Oleh: Fr. Jessel Bastian Supit

Anda mungkin juga menyukai