Anda di halaman 1dari 1

Selibat: Cinta yang Melahirkan Pengorbanan

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya
yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan
memperoleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16)”
Pilihan untuk hidup selibat memiliki kelebihan, bukan hanya sekedar soal tidak menikah,
gersang, hidup sendiri, dsb. Tetapi, lebih-lebih merupakan tindakan mencinta yang tidak sekadar
menyangkut perasaan (afeksi), melainkan sebuah daya (spiritual) yang mendorong orang untuk
melakukan tindakan (usaha) berkorban guna mencapai tujuan dibalik tindakan mencinta itu.
Dalam memperjuangkannya, tantangan selalu datang berbeda-beda seturut dengan tahapan yang
dijalani dalam perjalanan panggilan. Karena itu, untuk hidup selibat secara baik, diperlukanlah
cinta yang besar, keikhlasan tanpa pamrih, kesetiaan tanpa syarat, motivasi yang tak terselubung,
dan tidak terpaksa. Inilah ketulusan sebuah pengorbanan.
Dalam pengalaman hidup sebagai seorang frater (calon imam) kadang kala pengorbanan
yang dibangun atas dasar cinta ini menjadi luntur akibat pergumulan, tantangan atau cobaan yang
dialami. Misalnya, ketika saya melihat bahwa kehidupan di luar lebih enak atau nyaman dan
memungkinkan saya mendapatkan kenikmatan atau kesenangan tertentu. Jujur saya mengatakan
bahwa, kadang kala saya mengalami dilema yang luar biasa; diberatkan oleh suatu pilihan yang
sulit untuk diputuskan dan dihantui oleh sebuah konsekuensi yang menanti. Mulai dari hidup
studi, hidup harian, orientasi atau fokus yang dipegang, semuanya menjadi kabur, kehilangan
arah dan tidak lagi sejalan dengan identitas yang saya embani karena disposisi batin seperti ini.
Dalam refleksi ini, saya menemukan bahwa keutuhan cinta Yesus (melalui sengsara dan
wafatnya) merupakan bentuk pengorbanan yang nyata. Sikap ini memunculkan sebuah
komitmen dalam hidup panggilan saya untuk tetap memperjuangkan rahmat panggilan yang suci
ini. Kesenangan atau kenikmatan merupakan sesuatu yang bersifat fana (sementara), tetapi
kebahagiaan yang merupakan usaha dari cinta dan pengorbanan merupakan sesuatu yang bersifat
kekal (abadi). Di sini saya menjadi sadar bahwa sebagaimana pengorbanan Yesus yang menebus
dosa manusia karena kecintaan-Nya, maka dengan mencintai panggilan ini orang juga akan turut
tergugah hati untuk menghidupi dan memperjuangkan panggilan itu dengan sikap berkorban
(totalitas) yang utuh. Jadi, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sejati muncul atau lahir atas
dasar tindakan mencinta.
Dengan demikian refleksi ini saya akhiri dengan dua kalimat indah yang meneguhkan,
yakni: (1) Dari seorang penyair terkenal dari Inggris, William Shakespeare yang mengatakan
bahwa: “There is no Real Love without Sacrifice” (Tidak ada cinta yang sejati tanpa
pengorbanan); Dan sebuah (2) pribahasa Latin yang juga menyiratkan makna yang serupa: “Ubi
Caritas Ibi Sacrificium” (dimana ada cinta di situ ada pengorbanan).
Oleh: Jessel Bastian Supit (Tingkat 1)
Basis: St. Markus

Anda mungkin juga menyukai