Anda di halaman 1dari 6

REFLEKSI ATAS MOTTO HIDUP

“HANYA KRISTUS MILIKKU, DIALAH KEBAHAGIAANKU”

(Sdr. Nofrendi Sihaloho)

Sebuah motto dapat dijadikan sebagai pendorong untuk semakin memaknai hidup.
Dengan begitu seseorang akan lebih termotivasi, terdorong, tergerak, dan semakin memahami
apa arti hidup yang dijalaninya. Bagaimanapun, setiap orang memiliki tujuan hidup. Orang
yang tidak memiliki tujuan hidup akan melalui hari-harinya begitu saja tanpa ada sesuatu hal
yang dicapai. Motto dapat dijadikan sebagai pemantik untuk mencapai tujuan hidup itu.

Motto “Hanya Kristus milikku, Dialah kebahagiaanku” saya kutip dari Mawar Altar
nomor 5. Saya memilih motto itu bukan tanpa alasan. Alunan lagu Mawar Altar (sering
dinyanyikan pada saat ibadat bacaan) yang di dalamnya terdapat ungkapan motto tersebut
membantu permenungan dan menyentuh hati saya. Ungkapan dalam motto itu membuat saya
bermenung atas perjalanan hidup sebagai seorang saudara muda Kapusin.

Berbicara tentang kebahagiaan tidak bisa lepas dari orientasi hidup manusia. Orang
yang memiliki orientas hidup yang jelas semakin memperdalam arti hidupnya. Kebahagiaan
berbeda dengan kesenangan atau kenikmatan. Sikap hedonis jelas tidak sama dengan
kebahagiaan. Kebahagiaan jauh lebih dari kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, dan
sebagainya. Tidak ada orang yang mampu membeli kebahagiaan seseorang dengan emas atau
permata sekalipun.

Jika ditelusuri sisi-sisi kehidupan ini, manusia selalu mengarahkan diri pada
kebahagiaan. Saya tertarik akan gagasan Aristoteles yang mengatakan bahwa tujuan hidup
manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan merupakan hasil dari proses hidup
dan di dalam kehidupan itu harus ada perkembangan diri. Kebahagiaan bukan terutama soal
suka-tidak suka, senang-tidak senang atau karena ada kepentingan diri. Akan tetapi,
kebahagiaan itu berkaitan dengan keutamaan-keutamaan hidup. Miris rasanya apabila
seseorang tidak memiliki satu saja keutamaan dalam hidupnya.

Keutamaan bukanlah hal yang fantastis, bukan punya keahlian khusus yang mampu
membuat orang terheran-heran, dan bukan pula tindakan yang bombastis. Hemat saya,
keutamaan yang ada dalam diri berawal dari hal-hal sederhana, konkret, dan menjadi bagian

1
dari diri sendiri yang bersifat konstruktif. Keutamaan yang mampu membangun diri sendiri
menuju perkembangan kemudian menjadi saluran berkat bagi orang lain.

Keutamaan-keutamaan yang dimiliki para Kapusin sejak awal menjadi contoh bagi
saya. Hidup bersaudara, sederhana, gembira, dekat dengan orang kecil, penghayat kemiskinan
suci, dan ugahari merupakan beberapa karakter yang dialamatkan kepada para Kapusin. Hal
itu menjadi anak tangga atau fondasi untuk mencapai kebahagiaan ala Kapusin. Gembira dan
tidak banyak menuntut merupakan tindakan yang tepat dalam menjalani cara hidup ini.

Sebagai pengikut Yesus seturut semangat hidup St. Fransiskus Assisi, saya harus
bercermin dari cara hidup Bapak Serafik. Santo Fransiskus tidak jemu-jemunya mengajak para
saudaranya untuk terus-menerus mengabdi Kristus dengan total. Pertobatan terus-menerus
sangat dibutuhkan agar mengalami kebahagiaan.

Kisah Santo Fransiskus bersama saudara Leo menginspirasi saya dalam menuliskan
refleksi ini. Fransiskus bertanya kepada Saudara Leo sampai tiga kali perihal kegembiraan
sejati. Saya menginterpretasi kegembiraan sejati yang dimaksud di sini adalah kebahagiaan.
Bagi Fransiskus, kebahagiaan bukanlah karena pintarnya sesorang, bukan karena kemampuan
mempertobatkan banyak orang melalui khotbah yang berapi-api, atau bukan karena
kemampuan membuat mukzijat, dan sebagainya.

Namun, kebahagiaan (red: kegembiraan sejati) adalah ketika saya datang ke sebuah
komunitas dan mengetuk agar pintu dibukakan, dan ternyata jawaban saudara dari dalam,
“Enyahlah engkau, pergilah, kami tidak mengenal engkau, engkau pencuri”, dan jika saya
sabar, tidak marah, dan menerima hal itu dalam cinta kasih, maka di situlah letak kebahagiaan
sejati. Sangat luar biasa pengalaman rohani Bapa Fransiskus itu. Jujur saja, ketika pertama kali
membaca kisah tersebut, saya merasa hal itu berat sekali. Tetapi itulah ajaran original dari
Yesus Kristus yang diwartakan St. Fransiskus.

Fransiskus berhasil membawa Injil (Yesus Kristus) dalam hidupnya. Kisah itu
mengajari saya untuk mencapai kebahagiaan hidup sebagai seorang kristiani. Dalam hati kecil
saya berkata: “Tuhan, mampukah aku sabar dan tidak mudah marah jika ditolak bahkan dihina
orang? Haruskah demikian caranya untuk mencapai kebahagiaan?” Saya insyaf bahwa itulah
konsekuensi mengikuti Yesus. Saya mengingat kembali perjalanan awal panggilan saya. Saya
memilih menjadi saudara Kapusin bukan karena paksaan atau diiming-imingi sesuatu. Saya
sendirilah yang memilin jalan ini.

2
Beberapa tanggapan yang pernah saya dengar dari umat memberi banyak pandangan
positif tentang keutamaan para Kapusin. Saudara-saudara Kapusin itu bersahabat, sederhana,
dekat dengan umat, tidak memilih-milih orang, dan ramah. Tentu hal itu bukanlah hal yang
mereka karang-karang begitu saja, melainkan berasal dari pengalaman konkret mereka bersama
dengan para saudara Kapusin. Argumen para umat yang demikian membuat saya merasa
bangga sebagai Kapusin. Melalui hal di atas kebahagiaan menjadi Kapusin semakin kuat dalam
diri saya. Memang umat memberi tanggapan positif karena mungkin berkaca dari cara hidup
para misionaris, dan menjadi pertanyaan besar bagi saya saat ini. Apakah saya mampu
menghayati keutamaan-keutamaan tersebut? Apakah nama Kapusin akan tetap dikenang
orang?

Di sisi lain, beberapa orang pernah bersharing kepada saya dan mengatakan bahwa para
Kapusin zaman now semakin jauh dari keutamaan-keutamaan Kapusin awal. Tidak sedikit
Kapusin yang berlagak orang kaya, berbicara seenaknya saja kepada orang terutama bila
menduduki posisi yang tinggi, dan suka marah-marah. Saya tidak banyak berkomentar tentang
hal itu dan tidak membela diri juga di hadapan mereka. Tetapi saya mengoreksi diri. Apakah
saya termasuk di dalamnya.

Mungkin ada benarnya, dan hal itu menjadi bahan permenungan bagi saya. Saya tidak
perlu sakit hati atau merasa tersinggung karena tanggapan seperti itu. Syukrlah masih banyak
Kapusin yang menghayati cara hidup sebagai fransiskan yang baik dan syukur juga masih ada
umat yang mau berkomentar dan memberi tanggapan atas cara hidup Kapusin. Justru hal
tersebut menjadi tantangan bagi saya untuk memperjelas orientasi hidup.

Di balik semuanya itu, Sabda bahagia yang dikatakan Yesus menjadi dasar kebahagiaan
setiap orang Kristen termasuk saya. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,
karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat 5:3) merupakan salah satu ucapan
bahagia dari Yesus dan menjadi bahan permenungan yang mendalam bagi saya, teristimewa
karena saya mengkaulkan kemiskinan. Bagaimana mungkin orang miskin dapat dikatakan
berbahagia? Kemiskinan menjadi salah satu alasan untuk mencapai kebahagiaan ala Kapusin.

Dewasa ini kemiskinan itu bukanlah terutama soal tidak mempunyai milik. Tendensi
kemiskinan terletak pada kemiskinan dalam berkata-kata dan bertindak (red: sederhana, rendah
hati, tidak arogan, apa adanya, tidak boros, melihat skala prioritas hidup, dan lain-lain).
Terlebih kemiskinan dalam roh. Artinya, mengakui kebesaran Allah dalam hidup seraya
merendahkan seluruh diri di hadapan-Nya, karena hidup ini seutuhnya tergantung pada Allah.

3
Dengan kata lain, selalu mengandalkan Allah dalam segala hal. Kemiskinan itu terletak pada
sikap tidak melekat. Baik itu pada barang, posisi, dan lain sebagainya. Berani untuk
melepaskan sesuatu dan tidak melekat menjadi sikap yang tepat. Untuk mencapai kemiskinan
itu dibutuhkan perjuangan yang terus-menenerus. Inilah perbedaan kemiskinan yang dialami
oleh orang yang memang benar-benar miskin – karena situasi ekonomis dan sosial – dengan
saya sebagai pemilih dan mudah-mudahan mampu menjadi penghayat kemiskinan suci.

Di pihak lain, perjuangan atau usaha diri menjadi hal yang ditekankan. Ada adagium
yang mengatakan, “No gain without pain”. Ungkapan tersebut mensyaratkan suatu
pengorbanan dan usaha untuk mencapai kebahagiaan. Akankan orang yang memiliki orientasi
hidup tidak perlu berjuang atau membuat usaha? Tidak mungkin. Orang yang punya orientasi
yang jelas harus berjuang untuk mencapai tujuan hidupnya sehingga dapat mencapai
kebahagiaan hidupnya.

Hal itu selaras dengan fakta kehidupan Yesus. Yesus mengajarkan bahwa kebahagiaan
dapat dicapai dengan penderitaan, pengorbanaan, dan usaha. Ia sendiri telah melakukannya
dengan mau wafat di salib demi manusia dan dunia, akan tetapi bangkit dalam kemuliaan. Sejak
awal kehidupan-Nya di dunia ini, Yesus telah berhadapan dengan kegelapan dan penderitaan,
sehingga Ia bersama dengan orangtua-Nya harus mengungsi ke Mesir karena ancaman Herodes
yang ingin membunuh-Nya.

Sampai pada kegenapan waktunya, Yesus harus mengalami banyak penderitaan dari
para muridnya (misalnya, penyangkalan Petrus), dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat,
tuduhan kejahatan, penganiayaan dan akhirnya disalibkan. Yesus tidak sedikitpun mengeluh
atas penderitaan yang Ia alami. Justru melalui itu, Yesus mengajarkan kepada saya bahwa saya
harus menderita dalam hidup. Setiap pengikut-Nya harus menderita.

Tetapi penderitaan itu bukanlah penderitaan yang sia-sia. Penderitaan yang dialami-
Nya merupakan penderitaan untuk kemuliaan dan kehidupan kekal. Setiap tetesan keringat,
peluh, dan darah-Nya tidaklah sia-sia, melainkan barharga demi menebus dosa saya dan
menyelamatkan hidup saya. Karena itulah saya memilih jalan hidup sebagai Kapusin. Di sini
keindahan penderitaan Kristus semakin saya kenal lewat Persaudaran Kapusin. Melepaskan
diri dari ikatan harta duniawi, jauh dari keluarga, mau tidak menikah demi Kerajaan-Nya, dan
mempersembahkan diri seutuhnya pada penyelenggaraan Allah.

4
Dengan itu saya berani mengatakan bahwa aku hanyalan kuas di tangan Allah. Sebuah
kuas tidak akan mampu berbuat apa-apa jika tidak ada seorang pelukis yang menggerakkannya
dan membuat lukisan yang indah. Kuas seutuhnya tergantung pada tangan pelukis agar
menciptakan lukisan yang indah. Tuhan itu adalah Pelukis Agung. Dalam panggilan hidup
sebagai Kapusin, Allah menggerakkan saya untuk melakukan banyak hal, melakukan
kebaikan-kebaikan, mempertahankan karisma Kapusin yang diwariskan para pendahulu,
berusaha menghidupi kaul-kaul, bersaudara, sederhana, dan rendah hati.

Melalui kuas yang dimilikinya, saya yakin Pelukis tidak akan mungkin menginginkan
lukisan yang asal-asalan dan jelek, tetapi Pelukis menginginkan lukisan yang mampu
mengekspresikan jiwanya dan memiliki daya estetis yang kuat. Demikian juga, Kristus tidak
akan mungkin menginginkan hasil lukisan (dari saya sebagai kuas) kehidupan yang jelek, tetapi
Dia ingin agar saya (sang kuas) dapat melukis keindahan cinta dan kebahagiaan sebagai
Kapusin dalam kehidupan harian saya.

Peraturan persaudaraan yang jelas dapat membantu saya untuk mencapai kebahagiaan
itu apabila saya mengikutinya dengan setia. Kesetiaan amat dibutuhkan dalam mencapai suatu
tujuan. Kesetiaan itu juga yang membuat Yesus dapat menyelesaikan misi-Nya dan tetap
menyertai umat-Nya sampai selama-lamanya. Orang yang setia akan mendapat kebahagiaan.
Allah ingin agar saya setia karena Ia tetap setia meskipun saya kadang-kadang tidak setia
kepada-Nya.

Berdasarkan semuanya itu, Kristuslah milikku dan Dialah sumber kebahagiaanku.


Kristuslah asal kehidupan dan dari Dialah asal kebahagiaan, tujuan kehidupan, dan Dialah
kebahagiaan itu sendiri. Orang yang mengalami kasih Karistus akan mengalami kebahagiaan.
Ini jugalah yang menjadi panggilan dan perutusan saya yakni untuk membagikan kebahagiaan
itu kepada orang lain. Hal itu dapat dilakukan dengan mewartakan Kristus melalui cara hidup
sehari-hari. Sebagai saudara muda Kapusin dan juga sebagai mahasiswa, saya harus mampu
membawa kebahagiaan itu baik itu dalam persaudaraan pun di kampus.

5
6

Anda mungkin juga menyukai