Kita teringat kata-kata Yesus dalam Injil,: “Bukan kamu yang memilih Aku,
tetapi Aku_lah yang memilih kamu” ( Yoh 15:16). Yesus-lah yang memilih,
Yesuslah yang mengundang. Dan kita semua diundang. Karena itulah kita
tergerak atau terpanggil secara alami untuk memasuki doa kontemplatif ini.
Dan Ketika kita memasukinya, ketika kita memulai bermeditasi, kita baru
menemukan “mengapa kita perlu bermeditasi”. Pada saat itulah alasan kita
bermeditasi menjadi lebih jelas bagi kita.
Bahkan kita juga tahu bahwa Yesus dan para murid-Nya juga terjebak
dalam kegaduhan dan kesibukan yang serupa. Dalam Injil Lukas bab 6 kita
teringat Yesus dan para rasul-Nya berkumpul dan para rasul
menyampaikan kepada Yesus apa yang telah mereka lakukan dan mereka
ajarkan.
Kemudian, karena begitu banyak orang yang datang dan pergi, diceritakan
untuk makan saja mereka tidak sempat. Melihat situasi demikian, Yesus
berkata kepada para rasul-Nya itu: “Marilah, kita pergi ke tempat yang
sunyi..”. Dan dalam Injil kita juga menemukan beberapa kisah yang
menceritakan Yesus pergi ke tempat sunyi dan berdoa.
Yesus berkata, “kalau seorang dari kalian mau membangun sebuah Menara,
tentu ia akan duduk terlebih dahulu untuk membuatkan anggarannya…”
(Luk 14:28). Tentu tidak duduk dalam keramaian untuk merancang dan
membuat planning. Kita akan duduk dalam keheningan, dalam pengalaman
solitudo. Dalam kesendirian itu, sebuah rencana diabngun dengan matang.
Dan hal ini menjadi proses diskreasi: memilah dan memilih!
**********
John Dear, seorang imam Yesuit Amerika, seorang aktivis sosial, pernah
memberikan sebuah sharing pengalaman berkenaan dengan kekuatan dan
inspirasi gerakan sosial yang dijalaninya selama ini. “Rasa damai dalam
hidup kita sepanjang hari itu, ditentukan oleh “quiet time” – “sejenak
hening” pada pagi hari. Karena itu, sepanjang usia hidupku, saya selalu
berusaha untuk mengambil waktu untuk diam-hening dalam
kesendirianku…Sebuah waktu hening untuk berdoa pada awal hari, itulah
kekuatan perjuanganku”… (John Dear, Living Peace).
**********
Joseph Kardinal Bernadin adalah Uskup Agung Chichago, yang meninggal
tahun 1996 karena penyakit Kanker Prostat. Ia juga pernah menjabat sebagai
Ketua Konferensi para Uskup Katolik Amerika Serikat (1974-1977). Buku
kesaksiannya yang terkenal dan menjadi bestseller pada tahun 1996-1997 di
Amerika Serikat adalah “The Gift Of Peace” yang ia selesaikan 13 hari
sebelum ia meninggal. Pada suatu saat, di tahun 1976, ia pernah
memberikan sebuah kesaksian mengenai Doa Kontemplatif. Saya
mengutipkan kesaksiannya yang termuat dalam buku Pater Basil
Pennington OCSO:
“Suatu saat saya mulai menyadari dan memahami bahwa hidup saya
dan kegiatan serta pelayanan saya tidak terfokus, tidak terarah. Ini
menciptakan suatu kegelisahan tertentu dalam hati dan hidup saya.
Saya lalu menyadari bahwa saya harus melakukan beberapa
perubahan dalam hidup saya, dan inti dari perubahan ini adalah
perubahan dalam kehidupan doa pribadi saya. Kalau kita menyebut
doa, kita membayangkan “mengucapkan doa-doa”, mendaraskan
rumusan doa tertentu. Namun saya memaksudkan sesuatu yang
sungguh berbeda. Ketika kita berbicara tentang pembaharuan hidup
doa dalam kehidupan kita, kita sedang berbicara tentang bagaimana
menghubungkan kembali (reconnecting) diri kita dengan sumber
keberadaan kita sendiri yaitu Allah. Hal ini mempunyai implikasi
pada disiplin yang harus kita miliki dalam menggunakan waktu kita,
disiplin dalam doa kontemplatif, dan dalam perkembangan suatu
kehidupan yang lebih kontemplatif. Ketika ini terjadi, kita mulai
mengalami penyembuhan, keutuhan, integrasi dan kedamaian
(peacefulness). Kita mulai mendengarkan dengan lebih jelas gema Sang
Sabda dalam kehidupan kita, di dalam hati kita. Dan ketika Sang
Sabda berakar di dalam kedalaman diri kita, IA mulai bertumbuh dan
mengubah kehidupan kita. Dan ini mempengaruhi hubungan kita
dengan orang lain dan dengan Allah. Dari Sang Sabda yang telah
berakar dalam kedalaman diri kita ini mengalirlah energi-energi kita,
pelayanan kita dan ekspresi cinta kita. Dari pusat ini kita dapat
memaklumkan Tuhan Yesus dan Injil Suci-Nya tidak hanya dengan
iman dan kesaksian kita tetapi juga dengan cinta dan belaskasihan kita
yang semakin lebih besar!” (Basil Pannington OCSO, Centering
Living, hal 13).
Kesepuluh, Penutup
Saya ingin menutup percakapan kita ini dengan mengutip pandangan Pater
Laurence Freeman berkenaan dengan pertanyaan yang sedang kita
renungkan: “Mengapa bermeditasi?” . Dalam bukunya LIGHT WITHIN ia
mengatakan bahwa kita hanya bermeditasi kalau kita berpikir bahwa kita
harus bermeditasi. Tanpa ada pikiran ini kita tidak akan bermeditasi. Lebih
lanjut ia menandaskan bahwa berdasarkan pengalamannya mengajar
Meditasi, pertanyaan tersebut tidak perlu didiskusikan Panjang-lebar
karena sesungguhnya setiap tahap perjalanan meditasi kita selalulah kita
menemukan alasan-alasan baru mengapa kita mesti bermeditasi.
Pengalaman kitalah yang akan memberikan jawaban yang tepat atas
pertanyaan tersebut.