Anda di halaman 1dari 44

MENCARI

TUHAN
KUMPULAN ARTIKEL
PERJALANAN SPIRITUAL
Oleh:
GUGUN EKALAYA

2019

0
“Bagaimana jika Tuhan iseng mengecualikan satu orang untuk diselamatkan, dan orang
itu kamu. Semua orang akan mendapatkan keadilan kecuali kamu. Dan itu terjadi satu
peristiwa saja sepanjang usia bumi. Mau protes lha kemana soalnya nggak ada
Mahkamah Konstitusi yang bisa dijadikan tempat untuk menggugat Tuhan?”

1
“If God is unlimited, how can human define it? Definition indeed is limitation. So this is
the way human created God, by defining it, personifying it. That's way God is mostly
resembles human. The "Real God", undefined, unspoken, it is experienced. But...to make
it all easier...and in order to make the idea of God is useful and practical...we better
personify It. As close as we can relate and feel happy...the civilization is happy...the
history (hopefully) be happy too … And here I am...happy with my version of God.”

2
DAFTAR ISI

PRAKATA - 4

1. KEGELISAHAN EKSISTENSIAL - 5
2. NASIB PENCARI TUHAN - 8
3. GOD AS THE CENTER -10
4. DARI TUHAN - 12
5. ABOUT DEFINING RELIGION AND GOD IN INDONESIAN LAW AND CONSTITUTION - 14
6. QUESTIONING MY RELIGION - 16
7. TO FIND A CONNECTION BETWEEN PEACEFUL ATHEIST AND PEACEFUL THEIST - 18
8. ANSWERING MY BIGGEST QUESTION OF LIFE - 20
9. APAKAH ATHEIS YANG MEMBAHAS TUHAN ITU BERARTI MENGAKUI KALO TUHAN ITU
ADA? - 24
10. TUHAN, SEBUAH WACANA ONTOLOGIS DALAM PARADIGMA ISLAM - 25

TENTANG PENULIS - 43

3
PRAKATA

Ini adalah kumpulan acak semua tulisan saya yang bertema khusus soal TUHAN. Saya
merenungkan Tuhan dalam sudut pandang eksistensi, bukan ke implikasi moralnya. Mungkin
bagi yang nasibnya serupa seperti saya, seorang penggelisah, tulisan ini bisa relatable. Sebagian
tulisan memakai bahasa Inggris karena saya unggah di media sosial. Media sosial karena
wataknya yang bebas sering mengundang komentar yang tak berwawasan. Maka untuk
menghindari itu saya pakai bahasa Inggris dengan asumsi jika mau berdebat setidaknya
seseorang musti memutar otak untuk menuangkan gagasan.

Ada 10 tulisan di kumpulan ini. Kompilasi ini bukan berdasarkan urutan tertentu. Mungkin saya
masih akan terus memperbarui pandangan-pandangan. Akan tetapi bisa juga saya akan “puas”
dengan satu pencapaian pandangan. Yang jelas tulisan ini bukan bermaksud menyimpulkan
seluruh pencarian spiritual saya. Saya sampai saat ini masih meyakini bahwa pandangan
spiritual adalah perjalanan seumur hidup.

Jadi maksud dari kumpulan tulisan ini lebih ke semacam dokumentasi atau jurnal yang tak tertib
amat. Anda bisa membacanya secara acak untuk menemani pencarian pribadi anda sendiri.
Setidaknya dengan tulisan ini, semoga siapapun yang mengalami hal serupa bisa merasa tak
sendirian.

Semoga senantiasa bahagia dan damai dalam pedihnya pencarian.

Wlingi, 30 September 2019

4
KEGELISAHAN EKSISTENSIAL

Setiap orang yang pernah merenung secara mendalam (kontemplasi) setidaknya pernah
menderita apa yang dinamakan kegelisahan eksistensial. Kegelisahan yang muncul sehubungan
dengan kehadirannya di dunia. Pada masa lalu, pelarian dari kegelisahan ini adalah dengan
menciptakan ritual pemujaan kepada kekuatan-kekuatan di luar diri mereka. Kekuatan-
kekuatan itu dinamai dewa. Ketika sistem agama diperkenalkan, manusia mendapatkan iman
baru dengan memuja kepada Tuhan. Tuhan dalam beberapa segi mengandung citra dewa yang
pernah dipuja oleh manusia, namun menjadi sedikit "lebih" canggih pemaknaannya. Keimanan
ini membawa manusia kedalam kehidupan spiritual yang lebih mapan dan manusiawi (misalnya
pengorbanan berupa manusia dilarang sepenuhnya).

Namun seringkali dalam keimanan terhadap agama, terjadi pergolakan keyakinan karena
munculnya beberapa kontradiksi dalam ajaran agama. Misalnya pertanyaan-pertanyaan
tentang hakikat Tuhan. Jadi, tak selalu orang yang belajar agama dengan tekun akan
menemukan kepuasan dan kedamaian. Bahkan bisa saja pada satu titik ia menjadi tak percaya
pada agama dan runtuh keimanannya. Ini tergantung pada presumsi awal ia mempelajari
agama. Ketika presumsi tidak sesuai dengan fakta maka keimanan akan goyah. Hampir setiap
orang besar dengan membawa keyakinan warisan, sesuatu yang biasanya sulit
dipertanggungjawabkan namun harus dipegang dengan erat. Ketiadaan keyakinan membuat
absurditas eksistensi. Ini tak terelakkan ketika seorang "musafir batin" melakukan pencarian
kebenaran. Hal ini juga dialami orang-orang besar seperti Siddharta Gautama, Al Ghazali dan
Santo Agustinus. Terlepas dari "hasil akhir" pencariannya, mereka adalah orang-orang
berbahagia setelah sekian lama merasa perih melakukan pencarian.

Suatu jalan mencari kebenaran di samping agama telah lama tumbuh setua umur umat
manusia, yaitu filsafat. Kadang filsafat dan agama bertemu di satu titik, kadang berpisah.
Manusia berusaha mendamaikan keduanya. Bagaimanapun, iman pada Tuhan memberi andil
yang penting dalam sejarah umat manusia sehingga ia tak bisa dimusnahkan demi kemajuan
berpikir yang lebih canggih. Agama tetap bertahan karena manusia selalu bisa menafsirkan
warisan paradigma kuno ke dalam dunia baru. Sayangnya, walau pada intinya mengajarkan
kasih sayang, agama juga dipakai sebagai pembenaran tindakan kekerasan dalam sejarah. Dari
sinilah filsafat juga bertahan bersama agama untuk bisa saling melengkapi dalam pencarian
keping kebenaran yang tercecer.

Biasanya saat kegelisahan menyerang keyakinan, yang dilakukan adalah pengujian-pengujian


dasar atas keyakinan itu. Pengujian ini bisa saja dilakukan sendiri atau atas bimbingan orang lain

5
yang lebih paham. Kegelisahan timbul karena dalam hidup manusia memerlukan rasa aman
pada iman. Orang yang takut kehilangan iman akan melakukan dua cara, pertama menjaganya
dari segala pemikiran luar, kedua, justru membedahnya. Tak banyak yang berani mengambil
sikap kedua. Kehilangan iman sangatlah menyakitkan, ibarat membedah perahu yang rusak saat
berlayar di lautan. Ada dua kemungkinan terjadi: bisa saja perahunya karam atau ia selamat
karena mengetahui bagian mana dari perahunya yang berlubang.

Ketika kegelisahan muncul pertamakali, orang akan gelisah seterusnya dan tak bisa berhenti
bertanya. Pertanyaan itu akan terus menuju hal-hal yang sangat mendasar. Dalam filsafat
setidaknya pertanyaan-pertanyaan ini digolongkan kedalam tiga bagian yaitu tentang:

a) Apa
b) Bagaimana
c) Mengapa

"Apa" mengacu pada pertanyaan tentang definisi dasar segala sesuatu. Jika kita bertanya
tentang Tuhan dan keadilan-Nya, pertama-tama haruslah didefinisikan kata Tuhan dan adil
terlebih dulu. Jawaban apapun yang kita hasilkan haruslah berdasar pada definisi yang kita
buat.

"Bagaimana" mengacu pada pertanyaan bagaimana pengetahuan itu bisa kita dapatkan serta
bagaimana itu bisa kita sebut benar. Orang mendefinisikan sesuatu dengan kapasitasnya
sendiri-sendiri. Jika ingin mendapatkan jawaban yang valid maka juga harus diketahui
bagaimana pengetahuan itu didapatkan.

"Mengapa" mengacu pada pertanyaan tentang hakikat. Namun pertanyaan ini agaknya lebih
banyak dijawab oleh agama daripada filsafat. Jika sesuatu telah diketahui atau didefinisikan,
apa maknanya bagi kita? Mengapa demikian? Apa manfaatnya?

Yang disayangkan, kesempatan hidup manusia di dunia ini terbatas. Begitu juga dengan
kapasitas kita untuk mencermati segala hal di dunia. Belum lagi sejumlah kenikmatan dan
kebahagiaan duniawi yang rasanya sayang untuk diabaikan. Namun mengabaikan pencarian
spiritual hanya demi alasan keterbatasan waktu hidup adalah alasan naif yang dibuat orang-
orang taklid. Bukankah umur manusia tak bisa dijamin sekalipun dengan iman dan ilmu? Lantas
bisakah kita melanjutkan hidup dengan jawaban apapun yang kita punya?
Semuanya kembali lagi kepada kita. Kegelisahan tak bisa dihentikan tanpa alasan yang jelas.
Tapi juga tak bisa dibiarkan berkelana tanpa tujuan. Bagaimanapun hidup harus tetap dihidupi

6
karena ia jelas-jelas kita alami. Mungkin ada baiknya mengambil pelajaran dari kebijakan kisah
Sufi berikut ini:

Istana Khalifah harun Al-Rasyid sangatlah indah. Ruangannya dihias dengan ornamen-ornamen
dan perabot terbaik di dunia. Suatu ketika seorang murid diminta oleh guru Sufinya untuk
berkeliling sebentar di dalam istana sambil membawa sesendok minyak. Si murid dipesan oleh
gurunya agar tak menumpahkan minyak itu setetes pun. Maka masuklah si murid ke dalam
istana dengan mata terus lekat pada sendoknya. Setelah beberapa saat ia keluar dengan
minyak di sendoknya tetap utuh tak tertumpah setetes pun. Lalu gurunya bertanya tentang
keadaan dalam istana. Tentu saja si murid tak bisa menjawab karena matanya tadi terus lekat
menjaga minyak, tak leluasa mengamati sekitar.

Kemudian sang guru menyuruhnya kembali ke dalam istana tetapi ia harus melihat-lihat apa
saja yang ada di sana. Tak lama kemudian si murid kembali ke gurunya dan dengan muka takjub
bercerita tentang betapa indah interior istana sang khalifah. Sang guru lantas bertanya
bagaimana dengan minyak di sendoknya. Betapa terkejut si murid, ternyata tanpa sadar ia telah
menumpahkan minyak itu seluruhnya.

Sang guru menjelaskan bahwa minyak itu ibarat pengetahuan spiritual dan interior istana itu
adalah keindahan duniawi. Bagaimanakah caranya agar kita bisa menikmati keindahan dalam
istana dengan membawa sesendok minyak tanpa menumpahkannya karena terlena?

Semoga kita memiliki cukup serotonin atau dopamin untuk tetap tidak depresi. Tetap
tersenyum :)

7
NASIB PENCARI TUHAN

Di saat kita semasa muda dulu belajar agama, menangis di ruang sunyi, sedangkan kawan-
kawan menikmati masa muda yang normal sepenuhnya, orang-orang macam kami dilanda
depresi parah. Ketakmampuan melaksanakan perintah agama membawa beban batin berbulan-
bulan.

Setiap melaksanakan ajaran selalu dibarengi dengan ketakutan dan rasa bersalah. Apa
komentar orang? "Itulah godaan setan..."

Dan kubertanya kenapa Tuhan tak menyelamatkanku saat aku berusaha mendekati-Nya?

Obat batin kami coba cari di antara berjilid-jilid buku. Mencari firman mana yang paling
menyejukkan. Saat mayoritas rekan dihantui dengan kapan rampungnya studi, orang macam
kami pergi ke pelosok terdalam dari hati bertanya di setiap ceruk batin..."Tuhan manakah yang
sejati."

Bertahun-tahun kemudian ketika kesakitan sudah pada puncaknya dan kita memilih lepas...kita
menjadi tidak nyambung dengan orang-orang yang beragama formalis normatif. Sekumpulan
yang kalo diajak menalar cuma nyuruh, "Ngaji sono yang rajin, cari ustadz yang bener!"

Atau ketika ditunjukkan cacat argumennya cuma mampu bicara "Akal itu terbatas." darimana
tahu terbatas lha wong nggak digunakan?

"Sok pinter, kebanyakan googling, kebanyakan baca buku..." itu mantra yang sering mereka
dengungkan. Lebih memuakkan lagi kotbah soal moral yang kaum mereka sendiri tak pernah
taati.

Tapi pada perjalanan saya selanjutnya saya pun harus menerima. Tak semua orang dipanggil
dengan cara yang sama. Pejalan batin memang terlahir asing, suram dan gelap. Setiap berteriak
tak akan ada yang mendengar.

Sampai saya berkesimpulan. Kalo kau mau menuju Tuhan, ia akan menyiksamu habis-habisan.
Kamu akan menjadi orang sakit. Tuhan akan menjadikanmu mainan. Kamu tak bisa protes
karena Tuhan adalah sesuka-suka Dia. tak ada kewajiban bagi-Nya untuk menuruti imajinasimu.

Pada ujungnya pun saya harus menerima, ketika perahu besar mengangkut orang-orang untuk
diselamatkan....saya sendiri yang kehabisan ruang dan bahkan sekoci. Saya sendiri yang harus
berenang di antara hujatan nasib.

Kalau Tuhan tidak akan menyelamatkanmu emang mau ngadu siapa?

8
Para pencari Tuhan (dalam makna seradikal-radikalnya) pasti hidupnya berat di sini. Karena
semua pencari kesejatian nyaris semua bakal dihujat sebagai tukang olok-olok agama.

"Ngaji sana!"

9
GOD AS THE CENTER

(in English)

I'm not talking about institutionalized religion...

God is everything human consider as the ultimate center of his or her being, spiritual,
wholeness. It changes according time and circumstances. Sometimes the God is money,
sometimes the God is someone we love, sometimes our ego itself...it changes perpetually.
But for the whole of time in our life, we need an ultimate One. The real God.
Institutionalized religions had taught the anthropomorphic version of God which is... so
confusing and have so many contradictions.

Maybe...God is the identity we gave to whole of every phenomenons, laws, relations,


happenings, unexplained things, connections that make this whole life happens. We want to
communicate with "IT" as we can do person to person. But actually we can't. So we must give it
a fu*king name!!!

GOD.

"The Tao described in words is not the real Tao. Words cannot describe it. It is the
unnamed source of creation. Named, it is the Great Mother of everything."

But...we need a GOD to talk to, to ask for, to make our life completed and not feeling alone in
the universe.

When our spiritual search has ended... we find that God is the One we already known before.
Later...we reconnects with GOD again, in very simple way...just like we did as a kid.

"Let the little children come to me,


and do not hinder them,
for the kingdom of God belongs to such as these..."

Every person has it's own spiritual journey. It is no matter right or wrong anymore...if you reach
a certain level and layer in searching the truth. The thing I should emphasize maybe "me as a
human, with my own history or backstory, about my life and my connection to surroundings".
However I'm just a little boy in the universe who wanna happy with my life

10
"O, you serene soul!
Come back to your Lord well-pleased and well-pleasing
So enter among My servants,
And enter into My Garden."

That's it.

11
DARI TUHAN

Manakah yang dari Tuhan, manakah yang bukan dari Tuhan?

Bagi yang sempat belajar agama mungkin sering memperdebatkan soal ini. Misalnya premis:
hukum negara asalnya dari manusia, hukum agama asalnya dari Tuhan. Sepintas kalimat ini
tidak bermasalah. Secara tata bahasa memang beres tapi secara substansial menyimpan banyak
paradoks. Jika ada sesuatu yang bukan dari Tuhan, bukankah itu berarti menempatkan Tuhan
sebagai "sesuatu", entitas yang terpisah dari semesta raya, suatu sosok? Sementara Tuhan
katanya adalah "YANG MELAMPAUI SEMUA, TIDAK SAMA DENGAN APAPUN DI SEMESTA".
Dengan memperlakukan Tuhan sebagai "sosok" maka IA menjadi terbatas. Semacam berhala
pikiran. Kalau TUHAN menjadi berhala, maka IA akan diperalat untuk hal-hal yang manusiawi:
mengancam, memperdagangkan ayat, politik dsb.

Karena hakikat TUHAN sendiri adalah "tak tersentuh" maka yang bisa dilakukan hanyalah tafsir.
Tafsir itu manusiawi, makanya juga tak terlepas dari kesalahan, kerancuan dan kelemahan.
Kalau bicara soal Tuhan, maka tak bisa tidak itu hanyalah tafsir manusiawi atas TUHAN. Tak
semua mengakui hal ini, bahkan cenderung menjadikan Tuhan sebagai alat penindasan. Bisa
dicoba. Kalau anda kritis sedikit soal agama, julukan dan umpatan apa yang akan anda dapat?
Belum lagi kalau bukannya merespon anda via argumentasi malah nyerang personal
(argumentum ad hominem)

"Oo hidup ini ada yang ngatur, Bro. Kita tinggal manut hukumnya Tuhan. Kalau gak mau
manut pindah sana dari buminya Tuhan!"

Sering denger yang semacam ini?

Tidakkah Tuhan tergambarkan jadi mirip boss mafia yang menguasai lahan gitu?

Jadi bagaimana memperlakukan Tuhan sesuai dengan mau-NYA? Adakah yang tahu kemauan
Tuhan sebenarnya?

BerTuhan adalah bagian dari kemanusiaan kita. We need GOD. Penganut Freudian mungkin
anggap itu bentuk latent ketakutan akan sesuatu yang tak manusia pahami. Tapi kalo
menurutku ada sesuatu yang lebih kompleks daripada sekadar takut.

Jika para pengunyah filsafat akan bersibuk dengan membedah Tuhan melalui definisi,
fenomena, kemanusiaan dll. sufisme membedahnya lewat rasa. Makanya alih-alih melakukan
pembedahan hakikat TUHAN secara "teknis" (duh apa ya istilah pasnya?)...kaum sufi
"menenggelamkan diri" lewat dzikr dan puisi. Ada juga tarian-tarian.

12
Tapi konon (setidaknya menurut pengalaman pribadi saya), semuanya adalah tahap. Dan tahap
itu diawali lewat sebuah "panggilan"...entah anda akan menyebutnya apa. BerTuhan adalah
sebuah panggilan. Satu-satunya soal spiritual yang tak bisa diwariskan. Diawali dengan gelisah,
cemas, takut, buntu dan merenung. Jika kemudian cara beragama orang yang terpanggil itu jadi
terkesan "longgar" (moderat) maka itu hasil dari sebuah proses yang melelahkan. Itu adalah
pengalaman pribadi.

Di level implementasi lebih ribet lagi. Karena berTuhan juga tak otomatis mentransformasi
manusia menjadi semacam "santo", orang super soleh atau semacamnya. Kalo gue (halah halah
guwa-guwe diengkulmu cepot...)... saya ingin berTuhan sewajarnya, sesederhananya dan
membahagiakan. No no... I don't want a kind of "spiritual drama" yang sengsara dan baper
hihihi

Wakililah anggapan tentang Tuhan lewat tindakanmu sendiri. Jadi begitulah orang-orang akan
men-judge Tuhan versimu.

13
ABOUT DEFINING RELIGION AND GOD

IN INDONESIAN LAW AND CONSTITUTION

(in English)

Well..

In each culture, the definition about religion and God is mostly different. The term religion
viewed by Abrahamic tradition is not the same with Hinduism, Buddhism and maybe indigenous
local belief.

What is the definition of God in each system of belief? Do all have the same prophetic
tradition? Is the sacred scripture perceived with the same point of view?

Bible is definitely different with Al Quran, and also with Buddhis Sutras, Daoism sacred text etc.
Christianity's view about God is different with Islam's, and also with other non Abrahamic
system of belief. When talking about cosmology and eschatology, the difference gets larger.

What happened in Indonesia since long ago is that all definition about spiritualistic system
(religion) is monopolized by Abrahamic point of view. This point of view later being legalized as
a law. A violation will be punishable. It is stated that every citizen of Republik Indonesia should
embrace one "agama" that registered by constitution.

This gonna be a problem. Because actually only Islam that really fit into the criteria about how
the "agama" should be perceived. Even there is a big tendency (and effort) by Islamist to
change the constitution in order to fit with their ideology: to be Islam nation or caliphate.

Agama is not exactly defined as the same in each belief system. For example, Buddhism
believes in dharma which is actually not equivalent with "dien" in Islam. This gonna be
problematic when the discourse of local indigenous belief (such as Sunda Wiwitan, Kaharingan,
Kejawen etc) enters into the constitutional proposal. Not long ago, Majelis Ulama Indonesia
criticized about the Mahkamah Konstitusi's decision to legally accept indigenous belief written
in identity card. So for citizen with indigenous belief, there is no need to fake the religion. I have
no idea why Majelis Ulama Indonesia minds about other belief. Does it threaten them as
majority?

About God. All system of belief do not embrace exactly same view about that. While "esa" in
Pancasila seems forcibly defined as monotheism, this makes the non-theistic spiritualism like
Buddhism does not fit into the criteria anymore. This will be problematic.

14
Abrahamic centered their spirituality in one figure of God, while other system maybe does not.
Some Buddhist admit the existence of God but they maybe would rather say "so what?' than to
worship it :D so, essentially, the monotheistic tendency of Abrahamic religion is not
universally embraced by all religious system in Indonesia.

And when we talk about this religious "pseudo" tolerance, there are no room for unbeliever like
atheist, agnostic and "spiritualist freelancer" :D mostly Indonesian I think do not understand
it's difference. They're all called kafir and must be persecuted.

Someone belief is a big deal in Indonesia. It is more important than morality. You can find many
scandals involves religious figures. Persecution by religious majority is not a rare case here.

Indonesia is a nation with lack of critical thinking tradition. So, to be wiser in treating other
religious minority, is a long road. Political blunder by opportunist politic figures even makes this
effort harder and harder.

You know what...when someone speaks about this thing in internet forums, the most
commentary I found is like this..., "Are you a Muslim?" bwahahaha

15
QUESTIONING MY RELIGION

(in English)

Here it is my story.

I was raised in religious family. We do sholat 5 times daily. My main religion teacher was my
father. My father organization affiliation is Muhammadiyyah (Sunni). I majored in Japanese
Literature in UGM. When I was in my 2nd year in University, I learned more about Islam and
Assunnah under semi-private tutelage with Ustadz Bang Fadhli Riza Noor. Later I also learn
Islamic philosophy and basic critical thinking in a full day workshop under Ustadz Shofwan from
Rausan Fikr (Syiah). It was my friend Iqbal who recommended them.

I was in great doubt about my religion (and later being secular and agnostic thinker) when I was
in 3rd or 4th year in University. This also led me to study Buddhism, Taoism, Christianity and
also Sunni-Syiah comparison.

Traditional/conventional Islamic teaching no more could convince me. Some of the hadits's
teaching I thought was irrational, paradoxical and no more relevant to modern life. Also the
tarikh. More and more I studied, I found many questionable thing about the character of the
prophet. When I found the questionable thing also in the Qur'an, I became atheistic (but for
about only a year hahaha).

That spiritual journey led me into great emptiness and I was depressed. But I did not go to
professional treatment or therapy instead I was keeping my mind busy with learning classical
music (guitar, violin and compositing). To overcome my depression I also self study Chinese
martial arts.

In this interval of emptiness I didn't care much about religion, God and everything related. But
the funny thing is I still keep some basic religious norm or tenets, for example: I don't drink
alcohol, pork etc. Sometimes I meditate as subtitute for sholat.

In the age 25 and later my life ruined. Disorientated. I didn't pursue a normal job (just like
normally my classmates). With my Friends, Janang and Randi we built professional-wannabe
creative studio. Later, Janang died from a cerebral hemorrhage illness. That thing affected me
to rethinking my religious spiritual journey. How if I also die young before I can answer all my
transcendental questions?

16
Later years I pursue uneven career with almost no success: I taught drama/theater at Senior
High School, making films, giving a music private lessons, writing essays, novels, comics, selling
second hand collectibles, giving short film workshop etc. All with no significant success.

But the good things, for about 2 years ago, I have rethinked my religion. I do rituals like sholat
(but not too strict like when I was younger). This is not about finding the truth, but I had found
what I'm looking for. I remember the last time I prayed before became agnostic... "God,
whoever you are, whether you exist or not, show me the right path whether I should become
muslim, Buddhist or atheist, up to you and just show me the fuckin' right thing, You damned
ultra mega biggest shit!"

Now I am a re-Muslim. I do rituals but not too strict. I don't drink alcohol and no pork. I'm also
secular but not too liberal (except the way I think, not the way I act). Talking about spiritual and
religious things, I can go with some of atheistic point of view but on the other side I can still
keep my religion without being a bigot or hypocrite.

I have found for my self the meeting point of all my great doubt and faith, although my journey
in finding the true peace is still going.

The most important thing to do if you're a spiritual seeker just like me... first you have to
formulate the right question. Without the right questions, you got no right answer. Second, you
have to do positive hobby. Everything what makes you keep happy. So when you are in great
emptiness which lead to depression, you don't go to drugs. Third, take care of your physical.
Spiritual journey is very hard and consume much of your energy. If your body are fit, then it is
easier to maintain your spirit.

That's all.

17
TO FIND A CONNECTION BETWEEN

PEACEFUL ATHEIST AND PEACEFUL THEIST

(in English)

Pardon me for the provocative title but indeed, that is the core soul of my writing today.
Diversity in faith is a fact, even since the formal religion was born. So istead of seeking which
one holds the most truth, I prefer a reconciliation and communication. Because we live in only
one earth. Our enemy should be whatever threatening human peace and it's value. It is off
course a complicated thing and sometimes can be a paradox.

In my journey of searching what so called "truth", through religious text and doctrines, also
through logics, philosophical system, I found that every perception on faith depends on the way
we compose our language. It means also that everything we want to seek is merely about the
way we approach it using our language. For example, to describe a chemical composition called
H2O in daily use, we use so many words... "River", "Ocean", "Lake", "Rain" etc. Many sufistic
writings illustrated this intellectual-spiritual discourse so beautifully.

Using that paradigm, I perceive that substantially what some so called "atheist" (or maybe non
theist) believe about nature is just the SAME another linguistic expression by religious
people/theist. How come?

It is a matter of terminology.

Religion taught that the center of our being or existence should be a GOD. In most of religion
system, God is personified even though it is not person. Even in Islam, the religion that deny
any attempt to personify a God, contradictively, also doing a personification. Even muslim will
rise weapon to declare war to defend the God. As if the defend a person.

Atheistic views on nature is totally unpersonified. Nature is just a thing we involved in. It is with
many natural law we called physics. It can regulate it's self. So the keyword here is the LAW in
the nature. What's law? I believe it is the physics law.

Here between those contradictory views, I got the same agreement. Despite different view on
God, I think both agree that nature is regulated. If not there gonna be no a natural (physics)
law. Atheist perceive this as just a "law", while religion, maybe "romantically" , perceive the
nature as wholenes in the shape of "personality". So that's why religious people consider God
so very close to a person. He (God) can be angry, doesn't like sexy woman, strongest, has a
plan, etc

18
The difference exactly only on the way they describe nature an it's phenomenon. One using
positivistic paradigm, the other one using metaphor (but I admit religious people rarely go this
far in describing God, because they only accept doctrines rather than rational explanation).

God is a whole of nature, it's phenomenon, our hopes, our fear, our history, our memories, our
idealism, our unknown, our emotion etc. It is to big to be grabbed into a solid concept. So for
thousand years we use metaphors and symbols. We let it controls our life despite the fact that
we indeed also the one factor who create the conception.

In ontological level, religious person "choose" (or indoctrinized) to hold it using a concept GOD,
as if it is a person, a big person who take a full control of this universe. While atheist chose (or
taught) to unpersonify it. Just consider universe as a big mechanical machine. How that
mechanical machine works, it is a natural physics, unpersonified.

For me both are just the same. But off course the consequence is totally different. The one
thing both can not deny. We are all human. The language of humanity is only one. But
sometimes I'm skeptical also...

How if "humanity" means another thing for another group. Because sharing the world seems
not to be our defining attribute.

19
ANSWERING MY BIGGEST QUESTION OF LIFE

(in English)

Because the material I wrote here maybe considered as religiously subversive, so I wrote in
English… even though my English is not good enough. Just to avoid unnecessary bigot trolls
hehe…

Allright…lets begin.

For so many years, since I was teenager I was perpetualy asking about what so called “the
truth”. I was, once a religious boy. I was trying to obey my religion as good as I can. I’m a Sunni
Muslim, learned religion mostly from my father, school, ustadz and books. At my college years I
began to study Christianity from books and discussions and at the same time Buddhism, Zen,
Taoism and also basic philosophy. Later I also studied Hinduism, particularly about karma from
my senior. She is a teacher and her husband is a Hindu local religious leader.

THE BEGINNING OF A DOUBT

As a boy with a conservative religious background, I was taught that there is only one God, one
truth from one religion. There was no doubt for me at that time. But believe in God apparently
not enough to make me stay calm. After contemplative moment in front of a mirror, I begin to
question what the truth of life. If I was not born as me, who would I be? Will I be a Muslim right
now or a Christian, or Buddhist if I was born in another family or country?

My spiritual crisis get intense when I am no longer satisfied with religious dogma, particularly
about art. In conservative Islam, most usual form of art (for example human depiction, girl’s
singing etc.) is prohibited. This aroused a skepticism about dogma inside my head. I begin
questioning about the nature of God. Does He realy exist? In what way? If God exist and so
does human, how can they share the same space?

The main point of my spiritual inquiry is if God does exist, how does the way He connect with
the universe He created? As far as I believe that God must be almighty beyond all the thing in
the universe, it is unacceptable for me if He share the same space with us. He must beyound us,
just because…. well…. He is a God. God must not resemble a human or animal. If God is so lame,
corrupt, unstable, emotional…. So what difference with comic book characters?

So that is my initial point in my way searching the truth.


Many religion actualy give answer, metaphoricaly or literary, depends on how we approach.
You can find both of Muslim or Christian that being so literary but you can also find who is

20
smart enough to think metaphoricaly. Thank philosophy, it gives me a systematical basis for my
way of thinking. Well, some Muslim actualy hates philosophy and condemn it. So my first
challenge is to get out of dogma. It was realy hard thing to do. It was “painful”. But once you
get out, so many enlightment you get. The first thing to do when dealing with faith issue is the
ability to get out of the box. The “box” imprisoned our freedom. No freedom, no truth. So I
think it was natural after I get out of the box, I became… Agnostic and later Atheist.

END OF AGNOTICISM

What do you feel when you being an agnostic or atheist?


It is a vast loneliness. Because there is no more destination to go. What for? You don’t believe
in heaven anymore. But existentialism teaches us… we should determine the destination our
self. We have exist and have a right to shape our own life. It is a total freedom. But do I feel so?

Instead of total freedom, I was life in grief. Am I too lame to face this loneliness?

I lost my connection with life. I wonder why does this universe exist if there is no destination?
But atheism teaches you to accept that. This universe just fucking exists with no intention at all.

Later I learn from the lower life. Animal. They have no culture, no sophisticated rationality, they
live by instinct. The basic feature of them, animals, is survival instinct. Why?

Then I begin to think the answer. It must be about life. Life matters. All people whatever God
they worship… life matters. It is a basic instinct that every life creature survives. If someone
gonna hurts you, normally you defends yourself. Ironically someone mostly feel okay to kill
another but refuses if the victim is himself. Fortunately…from ancient wisdom, there is a
“Golden Rules”. Treat others like you wanna be treated.

My agnostic-atheistic times did not stay longer. Wandering in life with emptiness is not for me. I
wan’t at least (if I can’t find the truth)… be happy. I want be happy. But off course, because I’ve
been “poisoned” by rational philosophical thinking, being happy is not an easy thing. I want
peace…peace in my mind and life.

THE GATE THAT CONNECTS BELIEVER AND UNBELIEVER

It was my definition and my personal hope about God that imprisoned myself. Mostly, God is
everything we want to get, we want to see, we want to be… so that’s why the imagery of God
differs depends on most culture. Even differs at each personality with the same religious
background. The same Sunni Muslim, just like me, doesn’t portray the God in the same exact
way. As Sufism says… God varies for each soul. So it is a matter of perspectives.

21
The atheist, unbeliever, denies the existence of God. They believe only science. But for me
science is only one of perspective. It is not the only one.

About perspective, I think you can go with two ways… the romantic imaginative ways…. Or the
positivistic rational way. The imaginative… it means that you approach reality with imagination,
metaphor, art, literature etc. Like when you personified nature using language. By this way, you
approached nature as a life, breathing creature. You can communicate and get fun with it. The
closest example is when you give your car a name. Like sailor gives their boat a ladies name.

The other one is more postivistic approach. Here you go with science. You see nature as a thing
or material. You, as the perceiver, being separated. Well, this is ironic because you are in it…
you are the part of the reality. Even though you don’t use your imagination or romantic thing
when dealing with nature…you still need symbols. You can not talk mathematic or physics
without using symbols. You use equations, calculations etc using numbers. You make a certain
alphabeth as symbol for a phenomenon which is a part of grand universe.

So… I think it is no difference. Atheist doesn’t belive a God because they don’t use a “romantic
imaginative” way of perceiving.

God… for me is a grand metaphor for any hope, fear, reality, fact, imagination, interaction,
averything else deals with our existence in this universe. It never be a person because it does
not. God is in anyway different from every creature…off course because “He” is the basis of all
of thing. The energy, the manifestation, the interaction, the phenomenon. It is the wholeness.
It always depends on your spiritual inquiry. Unbeliever see God as imagination, believer (can)
use imagination to approach the whole existence. So that’s why, Hinduism for instance,
portrays God in many shape. We call it polytheism but for me it is more appropiately called
"polyperspectivism"

This is why I’m no longer being atheist or agnostic but it is no problem with it. Because we
actually perceive the same reality with the different mindset. Off course this won’t be simple
like this. In science, we need more and more examination to answer the question abot “how”
while religion (or spirituality) need more deep exploration inside our soul to answer about
“why”. There are different aspects on the same reality here.

The thing that unite us actualy is the fact that we should share the same space. So we likely
better to ignore everything personal from others that has no impact on other happines. No
problem my neighbour is Atheist, Jews, Christian or whatever as long as he or she still human. A
good human that obeys Golden Rules.

22
BEING POST RELIGIOUS

I’m okay with symbols. I like to go with it. In the social comunal context, I treated religious
symbol with respect just like the tradition teaches. Like when I give name to my wristwatches,
treating them like a life ticking creature. I consider the earth, also as a creature. It breathes. It
can be friend and sometimes angry. Like your beloved car or motorcycle. Sometimes it runs
okay but sometimes broken, right? It never be just a machine.

I use religion as a perspective to connect with whole history, imagination, progression of


people’s cultural spirituality. I enjoy the ritual and festival. Not because that is the real divine
thing but it is a way to make a connection. A prayer ritual just like a form in martial art. It is a
way to make internal connection.
If someone choosing being atheistic so it is not my problem. They are a utilitarian people and
we still face the same reality. If he or she be happy with it, so why not me? I see religion is not
from the oppressed perspective anymore. I can see the beauty after all of my spiritual journey.
Religion is not harmful insteaf the attachment to it. The same thing for any ideology including
rationalism.

So… now does God realy exist?

For me is off course. Not in the way most conservative think, but not also in the way Atheism
constructed. I’m free with it. God is like a physic equation. It is the direction we want to
perceive and go in life…. And in fun way. The fact that there is so many religious people not
using this perspective…. Well… this is the reality we live. You can not hope that everybody
knows the quantum physic theory you learn from university for years.

Do people need religion?

Same answer for any question about whether culture is must be respected. Consensus is always
naturaly necessary for human civilization. Personaly, you are free to sculpt your own
perception, but to live with others, I believe, you need a consensus that naturally shaped by
history. I think religion is one of the thing that also shaped our history right now. Well not all
went good, sometimes go wrong. It is normal.

So for me right now…. Well… I’m okay with God (same like I’m okay with atheism)… as long as is
not should be ruled solely by your primordial doctrine. God is for each unique individual soul,
not only for certain community and it’s limited tradition and history. And I just want to remind
you… be wise with God or no God. We are in the same reality and space. If we not share, there
will be devastation.

If someone is not your brother in faith, he is your brother in humanity. God bless you.

23
APAKAH ATHEIS YANG MEMBAHAS TUHAN ITU

BERARTI MENGAKUI KALO TUHAN ITU ADA?

Saya pernah membaca argumen yang begini. Ini kurang lebih serupa dengan argumen bahwa
mengucapkan selamat hari raya pada umat lain berarti otomatis mengakuinya.

Mari kita bedah logikanya.

Memakai analogi dari rekan Facebook saya Mas Hadi Rizki di salah satu komen atas sebuah
postingan saya: Ketika misalnya kita ngebahas lakon Avengers End Game, kekuatan Thanos,
time travel plot dll bukan berarti kita mempercayai konsepnya. Demikian juga dengan atheis
yang membahas soal Tuhan. Membahas konsep tentang sesuatu bukan otomatis merupakan
pengakuan terhadap eksistensinya.

Nampaknya beberapa orang belum cermat membedakan antara "konsep tentang sesuatu", "
eksistensi sesuatu" dan "pembahasan terhadap konsep dan eksistensi sesuatu". Sama juga jika
diterapkan dalam koridor pembahasan hubungan antar pemeluk keyakinan berbeda.
Menyatakan pengakuan atas hak seseorang eksis, bukan berarti meyakini apa yang orang
tersebut yakini. Menurut saya bahkan inilah esensi " lakum dinukum waliyadin".

Lebih jauh lagi, pembahasan soal pertentangan antar konsep-konsep dalam keyakinan
dimensinya cukup berwarna. Ibarat spektrum cahaya. Itu nggak cuma soal (apalagi) benar vs
salah, beda persepsi, beda konsrp dll. Melainkan juga soal etika, hubungan sosial dan literasi
masyarakat. Gampangannya, anda gak bisa bahas soal komunisme di tengah orang yang masih
nganggep komunis dan liberal itu sama. Apalagi kalo cara mikirnya adalah: ngebahas sesuatu
berarti meyakininya. Repot. Diskusi soal perbedaan meyakinan dianggap menyebarkan ajaran,
dianggap mempercayai.

Itu salah satu contoh kerunyaman berliterasi.

Jadi, ini semua adalah soal literasi. Seberapa paham kita akan suatu konsep sebelum
menolaknya?

Hal itulah yang dilakukan orang atheis ketika menolak konsep tuhan. Pahami untuk
membantahnya. Demikian juga dengan kita yang ingin membantah atheisme, pahami dulu
untuk membantahnya. Memahami tentu tak berarti meyakini.

Memahami ini juga gak sederhana lho. Jangan sampai terjebak pada "strawman fallacy".
Seringkali orang bikin asumsi dan definisi sendiri soal apa yang mereka bantah. Jadinya diskusi
akan keruh karena kegagalnalaran sendiri.
24
TUHAN, SEBUAH WACANA ONTOLOGIS DALAM PARADIGMA ISLAM

Sepanjang sejarah manusia selalu tak lepas dari figur transenden yang dipuja sebagai Sang
Maha Kuat, Abadi, Maha Adil, Baik dll. Figur ini dipercaya sebagai pencipta paling awal yang tak
diciptakan, mengatur dan menguasai segalanya serta abadi. Jika kita lihat berbagai peradaban
dunia, fenomena pengakuan terhadap keberadaan Tuhan ini merupakan hal yang umum.
Kepercayaan ini termanifestasikan pada upacara pemujaan dewa-dewa, roh dan atau Tuhan.
Setiap budaya, agama, kepercayaan dan filsafat berusaha menjelaskan sosok Tuhan dengan
caranya masing-masing. Islam mengajarkan bahwa ada 99 nama yang mewakili sifat Tuhan yang
esa. Hindu memahami Tuhan sebagai wujud yang memiliki manifestasi berupa-rupa (Trimurti
Brahma, Syiwa, Wisnu). Kristen dalam pandangan mayoritas penganutnya juga memandang
Tuhan sebagai 3 kesatuan tak terpisahkan (Tuhan Bapa, Roh Kudus dan Putra). Agama
tradisional Cina memiliki lebih banyak lagi dewa-dewa seperti orang Yunani.

Sebagai anti-tesis, beberapa aliran filsafat mencoba "membantainya" habis-habisan. Akan


tetapi sampai saat ini ketuhanan masih eksis. Belum mati-mati juga. Ini bukti bahwa ketuhanan
masih menjadi kebutuhan abadi (perennial) manusia secara umum. Tuhan memang misteri
terbesar bagi manusia sepanjang sejarah. Apakah upaya "pembunuhan Tuhan" ini akan berhasil
kelak? Ini merupakan sebuah pertanyaan menantang yang hanya bisa dijawab waktu.

Beberapa Paradigma Tentang Tuhan


Definisi umum:
1. Penggerak utama
2. Pusat semua gerakan
3. Bersifat superior
4. Tak terbatas
5. Mutlak
6. Berbeda dengan makhluk

Membuktikan Tuhan
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Sebagian meyakinkan
dan sebagian tidak. Para ilmuwan yang tidak mempercayai wahyu berusaha mencari
pembuktian lewat sains. Sebagian dari mereka menjadi yakin dan sebagian malah jadi atheis.
Ada pula yang menjadi agnostik, melepaskan diri dari sikap percaya atau tidak percaya karena
menganggap bahwa Tuhan tak bisa dibuktikan. Jadi upaya seperti apakah yang layak untuk
membuktikan-Nya?

25
Mau tidak mau, percaya tidak percaya kita memang harus berurusan dengan perkara Tuhan ini.
Memang ajaib, jika sesuatu yang dikatakan tak terbatas bisa dijelaskan lewat batasan-batasan
(definitif). Sebelum memasuki bahasan yang cukup rumit ini sebaiknya anda mempelajari dasar-
dasar filsafat dulu. Lalu mari kita membahas ketuhanan secara bertahap. Mengapa bertahap?
Karena pengetahuan bekerja dalam lapisan-lapisan. Berikut ini merupakan pendahuluan
sebelum membahas ketuhanan. Ada tiga kata yang harus dipahami sebelumnya yaitu:

1. Ada
2. Gerak
3. Batasan

"Ada" dalam pengertian filsafat, adalah semua yang kita ketahui atau ucapkan. Ada meliputi
semuanya. Semua itu "ada" karena jika tidak, bagaimana mungkin kita kita bisa
menyebutkannya. Kata "Ada" ini ditempelkan pada beberapa entitas yang ternyata berbeda
substansinya. Perhatikan contoh berikut:

a. Pensil itu ada


b. Tarian itu ada
c. Kecemasan itu ada

ADA

Perhatikan bahwa kata-kata yang ditempeli dengan "ada" merupakan hal yang samasekali
berbeda namun mereka berada dalam tataran "keberadaan" yang sama. Pensil itu adalah hal
yang memiliki materi dan bentuk. Tarian bukanlah materi tapi terlihat bentuknya secara visual.
Kecemasan bukan materi juga tak ada bentuknya. Anda bisa menempelkan kata "ada" pada
semua hal. Tak masalah hal itu ada di mana. Apakah cuma ada di angan-angan? Cerita? Ajaran?
Di alam semesta? Di pikiran? Ada meliputi semuanya. Naga itu ada, hantu itu ada, surga-neraka
itu ada, peri itu ada, superman itu ada, penyihir itu ada, dewa itu ada dll. Inilah tataran
keberadaan yang paling dasar.

Ada istilah "eksistensi". Eksistensi adalah "ada" yang menyaratkan keterlibatan ruang dan
waktu. Jadi eksistensi cuma dipakai pada hal yang memiliki materi dan bentuk yang mendiamai
ruang dan waktu. Pada tataran ini, tak semua yang tadi kita masukkan sebagai "ada' bisa
disebut eksis. Naga itu tidak eksis karena memang tak bisa dibuktikan secara empiris, padahal
naga adalah hal yang dalam definisinya makhluk yang memiliki materi dan bentuk naga serta
menempati ruang dan waktu. Dalam bahasa sehari-hari, kata "eksis" yang bermakna khusus ini

26
sering diganti dengan kata "ada" yang bermakna umum. Maka ketika membahas keberadaan,
kita harus memilahnya. Keberadaan dalam pandangan apa yang mau kita bahas? Kejadian
sehari-hari atau ontologi?

"Ada" bagi materi dan ada bagi sesuatu yang non-materi berbeda dalam sifat. Materi adalah
apa yang bisa kita indera dan kita ukur. Memang tak semua materi bisa diindera, tetapi materi
semacam itu masih bisa dikenali fenomenanya dan bisa diukur secara matematis, misalnya
atom. Perlu diketahui bahwa definisi tentang materi dan non-materi adalah subyek bahasan
yang tak kalah luas dan dalamnya dengan ontologi. Cabang baru dalam Fisika, Mekanika
Kuantum membawa perubahan besar dalam memahami materi dan keberadaannya. Kita akan
membahasnya nanti. Ketika kita menerapkan pemahaman tentang "ada", "eksistensi" dan
"materi"pada bahasan tentang Tuhan, kita harus tahu bahwa Tuhan bukanlah materi.

Tuhan, ide, kecemasan, pengetahuan dan semacamnya kita tahu bukanlah materi. Tapi apakah
yang membedakan itu semua? Dalam filsafat ada istilah "esensi", suatu hakikat yang
membentuknya jadi "sesuatu per se". Tuhan disebut Tuhan karena esensinya sebagai Tuhan.
Ide adalah ide karena memiliki esensi sebuah ide. Esensi berbeda dengan "substansi". Substansi
adalah hal yang membangun sesuatu, biasanya berupa materi penyusun. Misalnya mobil. Kata
"mobil" ini merujuk pada substansi pembangun benda hingga disebut mobil. Sehingga ketika
mobil itu hancur dan nyaris tak berbentuk mobil, kita masih bisa mengenalinya sebagai mobil.
Substansi "mobil" itu merupakan wahana bagi "esensi" mobil. Esensi mobil adalah sesuatu yang
menjadikannya mobil. Definisi paling gampang untuk mobil adalah seperangkat mesin yang bisa
dikendarai untuk bepergian. Substansi mobil adalah seperangkat mesin dalam gambarannya
yang utuh sedangkan esensi mobil adalah hakikat fungsinya sebagai kendaraan untuk
bepergian. Substansi pasti memiliki esensi tetapi esensi tak harus memiliki substansi. Ide, ilmu,
perasaan dan Tuhan adalah contoh hal yang memiliki esensi tapi tak memiliki substansi.

GERAK

Gerak secara umum bisa didefinisikan sebagai perubahan dalam ruang dan waktu. Jadi
"perubahan" adalah hal yang esensial dalam "gerak". Dalam definisi yang umum ini "gerak"
mengacu pada perubahan material karena ia terikat ruang dan waktu. Sementara perubahan
justru melampaui hal itu. Perubahanlah yang mendasari gerakan dan waktu bukan sebaliknya.
Kita harus ingat, perubahan yang dimaksud di sini adalah kondisi primer yang mewujudkan
gerak asal. Adapun perubahan yang ditimbulkan oleh gerak adalah topik tersendiri. Hal yang
sulit dipahami adalah saat kita mencoba menyelaraskan pemahaman tentang gerak dan
perubahan dengan Tuhan. Apakah Tuhan tak berubah sama sekali? Jika berubah bagaimana Ia
dikatakan mutlak?

27
Nah, dari sinilah kita membedakan perubahan sebagai kondisi primer penyebab gerak dan
perubahan yang merupakan akibat dari gerak. Tuhan merupakan penggerak primer. Perubahan
Ia buat agar gerakan primer terwujud. Perubahan yang bagaimanakah? Perubahan primer yang
mendasari terbentuknya persepsi tentang ruang, waktu, gerakan di dalamnya serta perubahan
sekunder yang mengikutinya. Bagaimanapun ide tentang "gerak dan perubahan primer" ini
adalah hasil intelektualisasi kita tentang kondisi yang kita alami. Jika dikaitkan dengan Tuhan,
Tuhan adalah pengubah primer yang mendasari perubahan. Dengan demikian, ya benar! Ia
berubah. Apakah Ia masih bisa dikatakan mutlak? Ya! karena Ia merupakan dasar mutlak dari
semua perubahan. Jika Ia tak berubah maka tak mungkin ada perubahan dan gerakan. Hal-hal
semacam ini dibahas banyak dalam metafisika.

BATASAN

Batasan adalah apa yang membuat sesuatu menjadi tidak mutlak, terhalang kekuasaannya,
terpisah substansinya dengan yang lain, tidak penuh, terikat, menjadi tergantung dengan
entitas yang lain. Misalnya, manusia itu terbatas. Ia terbatas oleh kesehatan fisiknya, manusia
lain, pengetahuan dll. Pengetahuan manusia juga terbatas. Terbatas oleh persepsi, penalaran
yang tak lengkap, juga dengan realitas yang lebih luas darinya. Mudah sekali menemukan apa
yang terbatas di dunia ini. Hampir semuanya terbatas.

Tuhan dikatakan tak terbatas. Ya, memang benar begitu, karena jika Ia terbatas bagaimana Ia
disebut Tuhan. Namun kita harus mempergunakan kata batasan dengan tepat di sini. Tuhan tak
terbatas maksudnya adalah dalam lingkup primordial, yaitu kondisi awal yang mewujudkan
realitas. Ketika kita bicara Tuhan secara definitif, kita membicarakan Tuhan secara simbolik
yang penuh dengan batasan. Mari kita bedakan dengan Tuhan pada tataran keberadaan
"esensi" dan "substansi". Tuhan yang sejati dan tak terbatasi tidaklah tercakup dalam tataran
umum dimana kita menerapkan istilah "batasan". Ada cerita menarik tentang ketakterbatasan
ini.

Suatu saat seorang atheis bertanya, "Bisakah Tuhan menciptakan batu yang Ia sendiri tak
mampu mengangkatnya?"

Seorang awam akan terjebak pada dua pilihan buntu, dijawab "bisa" atau "tidak bisa" sama-
sama berarti mengingkari kekuasaan Tuhan. Bagaimana menyelesaikan teka-teki yang
menjebak ini?

Mari kita tilik masing-masing premisnya.


1. Tuhan adalah tak terbatas dan dia bukan persona.
2. Manusia adalah persona yuang terbatas.
28
Kerancuan istilah (contradictio in terminis) terjadi saat sang penanya membatasi esensi
ketuhanan dengan menganggap-Nya seolah-olah manusia yang bisa mengangkat batu. Predikat
"mengangkat batu" adalah batasan karena batu maupun mengangkatnya adalah hal yang
terikat ruang dan waktu sementara Tuhan melampaui semua itu. Jadi pertanyaan di atas
merupakan pertanyaan yang salah secara internal. Inilah pentingnya memahami batasan.

Terlalu luas kiranya jika saya membahas keseluruhan tentang ada, gerak dan batasan di sini.
Saya berharap pendahuluan ini memberikan landasan awal untuk memahami tulisan saya
berikutnya. Pada bagian akhir saya akan merekomendasikan beberapa buku yang layak dibaca
untuk memperkaya kerangka pandangan kita.

ONTOLOGI KEBERADAAN TUHAN

Pada masanya kepercayaan tentang Tuhan tak terlalu dipertanyakan. Namun ketika peradaban
memasuki abad pencerahan, sepertinya manusia lebih bisa mengandalkan ilmu pengetahuan
untuk mengatasi persoalan hidup daripada agama. Para filsuf jadi lebih ribut dan cerewet dari
sebelumnya. Bagaimana membuktikan bahwa Tuhan itu ada?

Banyak argumen yang diajukan, namun yang paling umum adalah "argumen desain" yang
dipopulerkan oleh William Paley (1743-1805). Argumen ini menyatakan bahwa segala sesuatu
di dunia ini tak mungkin ada begitu saja tanpa diciptakan sebelumnya. Jika kita menemukan
sebuah jam, tak mungkin jam itu ada begitu saja. Menilik dari rumit dan teraturnya desain
mekaniknya, disimpulkan bahwa jam itu pastilah diciptakan. Jika jam yang rumit itu diciptakan
oleh seorang tukang pembuat jam, maka alam semesta ini-yang bahkan lebih rumit-pastilah
dibuat suatu sosok yang lebih hebat dan ahli daripada si tukang jam. Pencipta atau "tukang
maha besar" itulah yang diidentifikasi sebagai Tuhan. Argumen umat beragama monotheis
tentang keberadaan Tuhan kebanyakan juga tak jauh dari model ini.

David Hume (1711-1776) mengajukan argumen baru sebagai anti-tesis Paley tersebut. Ia
memandang alam semesta sebagai organisme hidup yang bisa meregenerasi dirinya. Alih-alih
sebagai karya yang didisain oleh "tukang", alam semesta adalah organisme yang terus
memperbarui diri.

Saya tak setuju dengan Hume dan juga argumen Paley tentang desain yang ia tolak. Kelemahan
argumen desain adalah bahwa ia langsung menganggap Tuhan sudah ada dulu. Padahal
keberadaannya ingin dibuktikan. Analoginya bahwa Tuhan bagaikan tukang jam merupakan
"penalaran yang melompat". Jam adalah benda yang sudah kita ketahui secara empiris. Kita
juga sudah tahu bahwa jam diciptakan oleh tukang secara empiris. Keberadaan tukang itu
29
sendiri bisa diketahui dan dibuktikan langsung. Sedangkan alam semesta adalah unik. Tak
pernah ada yang tahu seorang tukang sedang membuatnya. Malah "sang tukang" inilah ingin
kita buktikan keberadaannya. Jadi menyamakannya dengan jam yang dibuat tukang adalah
tidak tepat.

Argumen yang lain adalah tentang causa prima. Kebanyakan dari kita mengimani bahwa
kausalitas adalah sebuah hukum yang tak terbantahkan. Suatu kejadian pastilah merupakan
akibat dari kejadian sebelumnya (sebab) dan akibat tak bisa mendahului penyebabnya. Alam
semesta ini bergerak sesuai dengan hukum kausalitas. Kausalitas ini ditelusuri ke belakang
hingga "mentok" (.Jw) ke penyebab yang tak disebabkan, penggerak tak tergerakkan, induk dari
segala sesuatu. Sesuatu inilah yang diidentifikasi sebagai Tuhan.

David Hume menolak prinsip kausalitas dan mengajukan teori bandingan. Menurutnya
kausalitas hanyalah fiksi dari pikiran (fiction of the mind). Kita tak bisa benar-benar mengetahui
hakikat tiap benda dan dengan demikian menyimpulkan relasi dari kejadian yang menimpanya
adalah tidak mungkin. Tentu saja pikiran harus tetap membuat semacam hubungan logis (fiksi
dalam epistemologi Hume) agar kita tidak gila memikirkan, "bagaimana mungkin setiap benda
bisa berubah sendiri-sendiri?". Walau begitu relasi itu tidaklah benar-benar menjelaskan
mengapa benda itu bisa berubah seperti itu. Kausalitas hanya produk pikiran yang tak benar-
benar berhubungan dengan benda yang dibahasnya.

“reason can never show us the connexion of one object with another, tho' aided by experience,
and the observation of their conjunction in all past instances. When the mind, therefore, passes
from the idea or impression of one object to the idea or belief of another, it is not determined
by reason, but by certain principles, which associate together the ideas of these objects and
unite them in the imagination.”

Teori kausalitas mungkin bisa diterima oleh umum selama berhubungan pada obyek yang
tampak sehari-hari. Namun pada abad 20 para ilmuwan bergerak lebih "lancang". Fisika yang
merupakan ilmu tentang benda atau materi, energi, gerak, daya dan fenomenanya melangkah
lebih jauh dengan semakin memperdetail sudut pandang. Mereka menyelidiki atom hingga ke
unsur pembentuknya. Penyelidikan ini membidani lahirnya satu cabang fisika bernama
Mekanika Kuantum. Mekanika Kuantum menyelidiki unsur pembentuk materi, cara masing-
masing unsur berelasi satu sama lain dan dengan energi. Jadi Mekanika Kuantum menyelidiki
alam semesta dalam satuan terkecil. Para ilmuwan menemukan bahwa dalam skala kuantum,
kausalitas susah didefinisikan. Teori Fisika klasik yang bisa menjelaskan semesta dalam skala
konkret sehari-hari (kecepatan, gerak dan fenomenanya) ternyata tak bisa menjelaskan
fenomena partikel sub-atomik.

30
Jika kita menarik pandangan Mekanika Kuantum itu ke dalam ranah pembuktian keberadaan
Tuhan, maka akan timbul sejumlah pertanyaan. Jika dalam skala terkecil alam semesta
kausalitas menjadi absurd, kausalitas sebagai teori atau hukum itu tentunya dipertanyakan
validitasnya. Kalaupun ia berlaku secara relatif tentunya tak bisa dipakai untuk mengambil
kesimpulan tentang sesuatu yang absolut.

Kausalitas itu sendiri secara definitif dipertanyakan validitasnya. Hukum kausalitas menyatakan
bahwa sebab merupakan kejadian yang mendahului akibat. Lalu akibat tersebut kemudian akan
menjadi penyebab dari akibat berikutnya. Semua terjadi secara beruntun dan berurutan dalam
pola kausatif yang sama. Masalahnya adalah bahwa setiap kejadian di semesta ini adalah unik,
selalu baru dan berbeda dengan sebelumnya. Jika kejadian ini merupakan hal yang baru,
bagaimana kausalitas bisa terjadi? Kausalitas menyaratkan adanya kesamaan pola.

Kausalitas hanya bisa dimengerti dalam cakupan terbatas. Misalnya dalam kejadian berikut.
Seorang anak melempar batu sehingga memecahkan kaca. Kaca tersebut pecah sehingga
melukai kaki si anak.

Peristiwa ini kita petakan secara urut berdasarkan prinsip kausalitas sebagai berikut:

1. Anak melempar batu adalah penyebab kaca pecah.


2. Kaca pecah adalah akibat dari batu yang dilempar mengenainya sekaligus merupakan
penyebab dari terlukanya kaki anak .
3. Kaki anak terluka merupakan akibat dari kaca pecah.

Rangkaian kejadian ini tak bisa dibalik urutannya. Masalahnya adalah bahwa masing-masing
peristiwa tersebut adalah unik dan tak pernah benar-benar terulang. Dengan demikian
bagaimana kita bisa menarik sebuah pola yang sama dari setiap kejadian yang unik dan
berbeda? Lagipula dalam ilustrasi di atas kejadian anak yang terluka karena memecahkan kaca
hanya merupakan fragmen dari seluruh kejadian di semesta (yang juga meliputi kejadian skala
sub-atomik/kuantum). Dengan demikian pijakan filosofis teori kausalitas menjadi runtuh atau
setidaknya rapuh. Harus diingat, bahwa penolakan terhadap teori kausalitas tidak lantas berarti
kita bisa membolak-balik urutan kejadian dalam ilustrasi di atas. Kejadian itu akan tetap
berlangsung sebagaimana adanya seperti itu. Yang perlu direvisi adalah pemahaman
terhadapnya.

Meskipun dalam filsafat teori kausalitas mendapat banyak kritikan, implementasi praktisnya

31
dalam hubungan sosial tak bisa dinafikan. Jadi kita harus bijak dalam menempatkan masalah
kausalitas ini. Kausalitas dalam manakah yang kita maksud? Filsafat atau kehidupan praktis?
Dengan demikian jika seorang kriminal membunuh, dia tak bisa beralasan bahwa terbunuhnya
korbannya tak berhubungan dengan tindakannya. Sekalipun dia mendebat dengan setumpuk
makalah filsafat dan fisika kuantum. Hali ini akan sama konyolnya dengan orang yang
memotong leher orang dengan alasan cuma ingin memisahkan atom-atom.

Saya pribadi mengusulkan pendekatan progesivitas perubahan dan gerak struktural antar
komponen. Setiap kejadian adalah hal yang secara struktural terwujud dari gerak dan
perubahan komponen-komponennya. Komponen ini bisa dilacak hingga skala sub-atomik atau
kuantum. Gerak dan perubahan inilah yang melahirkan ilusi tentang ruang dan waktu. Ketika
gerak itu dipandang dari skala terbatas dalam kehidupan sehari-hari, yang kita lihat adalah
kejadian-kejadian beruntun. Kejadian beruntun yang seolah berhubungan itu sebenarnya cuma
fragmen. Sebab akibat adalah penamaan ilusif kita terhadap fragmen-fragmen ini. Meskipun
cuma ilusi, sebab-akibat merupakan kerangka pandang yang cukup untuk diterapkan dalam
hidup sehari-hari. Dari padanya kita bisa merumuskan pola-pola untuk memahami fenomena
masyarakat, alam dan kejadian dalam lapisan tertentu. Saya tekankan sekali lagi, "Dalam
lapisan tertentu!". Ini karena lapisan satunya lagi, yang lebih inti, hanya bisa dipahami lewat
Mekanika Kuantum.

Dalam pendekatan saya, progresi kejadian tidak dipandang secara kausatif melainkan secara
struktural. Alih-alih menyatakan "sebab mendahului akibat", saya akan menyatakan:

"Partikel bergerak dalam kombinasi terstruktur sehingga menciptakan kejadian dalam waktu.
Pikiran kita lalu mem-fragmentasi-kan kejadian beruntun itu dalam kerangka pandang sebelum-
sesudah, awal-akhir. Dari sanalah kita mendapatkan pemahaman sebab-akibat."

Prinsip pandangan ini adalah satu kejadian akan terwujud jika telah tercukupi komponen
struktural yang melandasinya. Bagaimana suatu komponen akan tercukupi? Kecukupan ini
adalah terjadinya perubahan beberapa hal hingga skala kuantum. Komponen-komponen ini
menurut saya tak bisa bergerak sendiri. Lantas, apa yang menyebabkan komponen-komponen
ini bergerak? Salah satu jawaban yang mungkin adalah kehendak aktif (intelek/roh/jiwa). Bagi
orang yang theistik mungkin akan cenderung memahami kehendak yang menggerakkan ini
sebagai Tuhan itu sendiri. Persoalan bagaimana cara kehendak aktif ini menggerakkan
komponen adalah persoalan lain lagi.

Sebenarnya, teori progesivitas perubahan dan gerak struktural antar komponen lebih
merupakan suatu upaya menunjukkan bagaimana suatu kejadian berlangsung. Kebetulan teori

32
ini menyisakan "ruang" untuk Tuhan. Sudah menjadi keumuman, suatu argumentasi akan selalu
menyisakan beberapa pertanyaan. Argumen saya pun tak lepas dari itu. Bagaimana kita yakin
bahwa gerakan komponen itu digerakkan oleh suatu kehendak bukan yang lain? Bagaimana
hubungan kehendak itu dengan kehendak yang kita miliki sebagai manusia? Apakah kehendak
itu bersatu (imanen) dengan komponen-komponen penyusun kejadian?

Jadi bagaimana meyakini adanya Tuhan?

Sebelumnya kita perlu mendefinisikan apa itu "Ada" dan apa itu "Tuhan". Ada banyak
penjelasan filsafat tentang makna "Ada". Silakan anda merujuk ulang pada bagian awal bab ini,
yaitu pada tulisan "Membuktikan Tuhan". Atau lebih baik lagi, bacalah artikel filsafat
pengetahuan tentang ontologi. Perlu diketahui bahwa pendefinisian Tuhan sendiri sebenarnya
sangat pekat dengan sejumlah masalah terminologis. Jika Tuhan adalah sesuatu yang tak
terbatas, mungkinkah kita mendefinisikan sesuatu yang tak terbatas? Kita tahu bahwa definisi
merupakan pembatasan. Kita mungkin saja mempersempit pemaknaan, bahwa Tuhan itu
"terpaksa" kita definisikan agar kita bisa mengenalinya. Seperti sudah disinggung sebelumnya,
kita mendefinisikan Tuhan sebagai:

1. Penggerak utama
2. Pusat semua gerakan
3. Bersifat superior
4. Tak terbatas
5. Mutlak
6. Berbeda dengan makhluk

Dengan demikian kita mungkin agak terbantu untuk mengenali siapa itu Tuhan. Tapi definisi ini,
sesuai dengan artinya "pembatasan", malah mempersempit wawasan kita. Tuhan yang
didefinisikan tentunya bukanlah Tuhan yang utuh dan sejati. Wujud tak terbatas (mutlak)
tentunya tak akan bisa dibatasi oleh definisi. Apalagi oleh makhluk terbatas seperti manusia.
Beberapa pandangan mistik tampaknya selaras dengan pernyataan ini. Sufisme, sekte esoteris
dalam Islam, mengibaratkan pemahaman manusia adalah cawan sementara realitas ketuhanan
sendiri adalah samudra. Taoisme menyatakan bahwa "Tao tak bisa diungkapkan dengan kata-
kata. Tao yang dikatakan bukanlah Tao yang sebenarnya."

Argumen yang lebih meyakinkan tentang Tuhan adalah keberadaan kesadaran. Kita sebagai
sesuatu yang sadar (dalam pepatah Descartes, "cogito ergo sum") yakin bahwa kesadaran itu
benar-benar "ada". Kita tak bisa menyangkal keberadaan "aku yang sadar" ini. Di dunia ini
banyak "aku yang sadar". Semua saling berinteraksi. Dari mana asalnya "aku" ini? Bagaimana

33
mungkin "aku" ini bisa "ada" dan sadar? Mungkinkah "aku" yang sadar, berkehendak,
berpengetahuan, berperasaan dan bertujuan ini muncul dengan sendirinya?

Saya memandang bahwa sang "aku" atau kesadaran ini adalah semacam reseptor atas persepsi
yang terwujud dalam realitas. Kenapa "aku" cuma reseptor? Karena "aku" hanyalah salah satu
manifestasi dari roh. Roh (ruh) ini adalah entitas hidup yang sebenarnya. Roh ini jugalah yang
berkehendak menciptakan simulakrum realitas yang dipersepsi oleh si "aku". Darimana roh
berasal? Tentunya ia berasal dari wujud rohani yang lebih tinggi lagi. Jika kita beriman, tentu
kita akan menjawab Tuhan.

Tuhan menciptakan roh lalu mewujudkannya dalam beberapa lapisan manifestasi. Manifestasi
terendah adalah materi. Perlu dicatat, materi menurut pandangan ini bersifat rohani. Karena
itulah atom-atom penyusun materi semesta ini bisa bergerak dan berinteraksi (catatan kaki:
Bandingkan dengan ayat-ayat tentang Tuhan yang berbicara kepada benda-benda mati seperti
bumi, langit). Manifestasi tertinggi adalah "aku". "Aku" ini tidak lepas dari materi yaitu tubuh
organisnya. "Aku" dan tubuh merupakan manifestasi roh dalam lapisan berbeda dan saling
mempengaruhi. Dalam ajaran Islam, "aku" inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
segala perbuatannya setelah mati.

Bagaimana dengan roh tinggi itu? Apakah ia ciptaan atau justru adalah Tuhan itu sendiri? Atau
ia hanya salah satu manifestasi-Nya saja? Ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Di
sinilah tabir ketuhanan (kasyf) mulai tergelar. Kita cuma bisa menembus sebagian saja. Lagi-lagi
menurut sufi "manusia adalah cawan sementara realitas ketuhanan adalah samudra." Kita tak
mencukupi pergi ke sana.
Saya pribadi lebih suka memperlakukan pertanyaan ini sebagai misteri yang indah. Saya tak
ingin mengetahui jawabannya sekarang.

Argumen-argumen ilmiah dan filsafat sebenarnya kurang meyakinkan bagi saya pribadi. Bukan
berarti mereka tak bisa dipakai. Seperti yang sudah saya singgung. Iman adalah keyakinan
meta-rasional. Jadi penalaran kritis lewat ilmu pengetahuan dan filsafat perlu dijalani lebih
dulu. Ia adalah tangga menuju Tuhan. Saya-sampai saat menulis buku ini-lebih mempercayai
bahwa Tuhan lebih banyak diketahui melalui "intuisi ilahiah". Terminologi Islam untuk hal ini
adalah hidayah. Arti hidayah secara umum adalah petunjuk Tuhan. Karena kita, manusia,
adalah makhluk subyektif, maka hidayah pun akan ditafsirkan secara subyektif juga. Dengan
kata lain, sifat pengetahuan akan diri-Nya adalah intuitif dan subyektif. Hidayah tentu bukan
turun begitu saja dari langit. Ia pastilah melewati sejumlah proses yang mencukupi terwujudnya
hidayah tersebut. Proses mencukupi ini terbentuk secara kondisional lewat proses belajar
(intelektual) dan perenungan (kontemplasi).

34
Ajaran Islam menyatakan bahwa Tuhan itu berkehendak dan senantiasa akan membimbing
manusia. Lewat ciptaan-Nya, dikatakan bahwa "Ia ingin dikenali". Dengan demikian, atas izin-
Nya manusia akan selalu bisa "menemukan" Tuhan di mana saja. Jadi, alih-alih ditemukan
secara ontologis, justru Tuhanlah yang "aktif menunjukkan diri-Nya" kepada manusia. Tinggal
manusia itu sendiri bisa mengenali-Nya atau tidak.
Sufisme mengatakan, manusia biasa hanya akan melihat piala saat minum sedangkan orang
tercerahi akan melihat wajah Sang Kekasih.

Tuhan sebagai pribadi?


Karena Tuhan berbeda samasekali dengan makhluknya jelasnya ia bukan merupakan persona.
Ia melampaui wujud itu. Karena Tuhan bukanlah persona maka sosoknya jadi abstrak. Karena
Tuhan terlalu abstrak untuk didekati, sistem keyakinan menciptakan suatu cara untuk
membantu memperkenalkan-Nya. Ke-abstrak-an Tuhan haruslah diterjemahkan ke dalam sosok
yang bisa dipahami manusia kebanyakan. Memang ini akan "mencemari kesucian-Nya", namun
fungsi transformatifnya besar sekali. Anthropomorphism dan Personifikasi adalah dua
pendekatan yang umum dipakai dalam memperkenalkan Tuhan.

Anthropomorphism adalah penggambaran Tuhan ke dalam wujud dan atribut manusiawi.


Personifikasi adalah pengenaan atribut-atribut manusiawi kepada obyek yang abstrak.

Contoh Anthropomorpism:
-Mitologi Yunani, merupakan contoh paling baik tentang dewa-dewa yang bertingkah seperti
manusia.
-Dalam Hinduisme, Tuhan diwujudkan dalam gambaran tentang Brahma, Wisnu, dan Syiwa.
Wisnu berinkarnasi dalam wujud manusia yaitu Krishna.
-Patung dewa-dewa pagan Cina, Afrika, Arab kuno dll. Wujud visual dewa-dewa tersebut adalah
manusia.

Contoh Personifikasi:
-Adanya kata ganti personal dalam kitab suci (Aku, Kami, Dia dll.)
-Kutipan sabda Tuhan berupa kalimat dalam bahasa tertentu, seolah-olah Tuhan adalah
persona.
-Kitab suci menggambarkan beberapa perbuatan Tuhan seperti mendengar, marah, melihat,
berkata dll. seolah-olah Tuhan berperilaku seperti manusia.

Anthropomorphism dan Personifikasi susah dihindari dalam sejarah beragama. Dengan


Anthropomorphism dan Personifikasi manusia memiliki pegangan ideal tentang Wujud

35
Sempurna untuk diimplementasikan dalam kehidupannya. Apalagi untuk kalangan masyarakat
yang mayoritas awam wacana filosofis. Walau begitu, dua cara pandang ini dibatasi dengan
ketat dalam Islam agar tak terlalu parah. Meski Anthropomorphism dilarang keras, setidaknya
masih ada ruang untuk Personifikasi. Seketat-ketatnya batasan, rupanya penganutnya juga tak
semuanya benar-benar patuh. Saat ini pun penggambaran tentang Tuhan oleh para muslim pun
sering "berlebihan".

Gambaran umum yang biasa saya jumpai dari ceramah-ceramah keagamaan Islam adalah:

1. Tuhan sebagai sosok protokoler yang tak kenal kompromi. Mirip dengan sosok super-hakim
atau super-polisi atau birokrat.
2. Tuhan sebagai sosok yang kelewat penyayang. Mirip dengan sosok super-kekasih.
3. Tuhan sebagai sosok penghukum (punisher) yang tak kenal kompromi. Mirip dengan sosok
super-algojo.
4. Tuhan sebagai sosok yang berwibawa. Mirip dengan sosok raja yang super-adil.

Dalam tataran paling dangkal, penggambaran Tuhan yang manusiawi macam ini hanya cukup
untuk "menakut-nakuti" atau "memikat" umat. Tapi sangat bermasalah untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ontologis mendasar. Jika kita benar-benar ingin "mensucikan"
pandangan tentang Tuhan kita bisa memulainya dari pemahaman ontologis.
Anthropomorphism dan Personifikasi memang susah dihilangkan secara mutlak. Yang bijak
adalah menempatkannya sesuai konteks. Kita harus maklum bahwa tak semua orang bisa
memahami doktrin dengan kacamata filosofis. Ada sejumlah proses intelektual dan juga
spiritual yang harus dilewati.

Memandang Tuhan sebagai pribadi jelas tidak tepat karena pribadi adalah batasan personal.
Sesuatu yang maha besar tak bisa diberi batasan personal. Ia melampaui batasan-batasan itu.
Batasan personal hanya mungkin kita lakukan sebagai upaya simbolis. Maka segala sifat dan
atribut hanya bisa ditempelkan pada simbol Tuhan ini. Itu bukanlah milik sejati Tuhan. Tuhan
sebagai non-makhluk, non-benda dan non-persona, suci dari semua sifat dan atribut. Keberatan
bisa dipastikan akan muncul sehubungan dengan pernyataan ini. Untuk bisa memahaminya,
sekali lagi saya tekankan, kita harus memulai dari telaah ontologis.

PERBUATAN TUHAN

36
Konsekuensi logis dari Tuhan yang non-personal adalah bahwa perbuatan-Nya jelas tak bisa
dimaknai mentah-mentah sebagai perbuatan personal. Berikut ini kita akan membahas
perbuatan Tuhan sesuai dengan ke-nonpersonal-an-Nya.
Perbuatan Tuhan yang paling jelas adalah bahwa ia sebagai penggerak sejati alam semesta.
Bagaimanakah hubungan perbuatan-Nya dengan perbuatan manusia? Pada hakikat-Nya,
perbuatan manusia tak lepas dari perbuatan Tuhan. Logikanya, jika Tuhan merupakan
penggerak sejati alam semesta, sedangkan manusia adalah bagian dari alam semesta, maka
gerakan kita adalah bagian dari gerakan Tuhan. Dr. M. Quraish Shihab, pakar tafsir Al Qur'an
Indonesia bahkan pernah menulis bahwa penggunaan kata "Kami" sebagai kata ganti untuk
Tuhan seolah-olah menyiratkan keterlibatan lebih dari satu pihak.

Ini tak lantas mengurangi kemandirian-Nya. Bagaimanapun harus diingat, Ia sejatinya bukan
persona. Tak bisa disamakan antara perbuatan Tuhan dengan perbuatan makhluk. Perbuatan
Tuhan adalah komponen dasar yang melandasi perbuatan manusia. Perbuatan manusia
menjadi mungkin atas dasar perbuatan Tuhan (dalam bahasa agamanya, atas seizin Tuhan).

Tapi bagaimana jika kita berbuat dosa? Jika perbuatan kita hanyalah bagian dari perbuatan
Tuhan, apakah Ia melakukan dosa?

Untuk menjawab ini, kita harus memahami kerangka ontologi dari perbuatan Tuhan. Mari kita
bedakan antara:

1. Perbuatan Tuhan sebagai penggerak sejati semua gerakan atau sumber gerak (primer) yang
mewujudkan realitas (ingat teori saya tentang progresivitas gerak dan struktur kejadian)
2. Perbuatan manusia yang jadi mungkin karena penggerak sejati mengizinkannya
3. Etika keagamaan tentang dosa dan pahala

Dosa dan pahala hanyalah pandangan etis, bukan bukan ontologis. Lebih jelasnya, jika kita
bicara pada skala kuantum, tak ada yang dinamakan dosa dan pahala. Di wilayah atom-atom
dan partikelnya, mana mungkin bicara tentang dosa dan pahala? Inilah wilayah perbuatan
Tuhan sebagai gerakan primer, yaitu gerakan dasar yang membentuk semesta kejadian, yang
mengizinkan manusia hidup bergerak dan berinteraksi. Lalu darimana asalnya dosa?
Dosa barulah dikenal ketika kita bicara dalam kerangka hukum agama. Agama sendiri baru
berlaku pada tataran realitas sehari-hari. Ia adalah pedoman etis yang mengatur bagaimana
manusia harus berhubungan dengan orang lain, alam dan Tuhan itu sendiri. Jadi dosa dan
pahala hanya buat manusia, bukan Tuhan. Ia berlaku pada tataran yang berbeda. Untuk lebih
memahaminya, mari kita bandingkan antara hukum-hukum Fisika klasik dengan Mekanika
Kuantum. Kedua hukum ini hanya berlaku pada tatarannya sendiri. Fisika klasik hanya memadai
37
untuk mengukur fenomena fisik sehari-hari, sedangkan Mekanika Kuantum dipakai mengukur
fenomena fisik pada skala sub-atom. Mekanika Kuantum terlalu rumit untuk diterapkan pada
fenomena fisik sehari-hari. Tentu saja tak bisa dibilang kedua hal tersebut bertentangan.

Jika kita bisa terlibat dalam perbuatan Tuhan, bagaimana memahami independensi-Nya dari
makhluk termasuk ruang dan waktu?
Bagaimana dengan predikat ke-takterbatas-annya?
Bukankah dalam definisi ini Ia menjadi terbatas dalam ruang dan waktu?

Ruang dan waktu adalah ilusi. Tiliklah kembali pandangan saya, "Setiap kejadian adalah hal yang
secara struktural terwujud dari gerak dan perubahan komponen-komponennya. Komponen ini
bisa dilacak hingga skala sub-atomik atau kuantum. Gerak dan perubahan inilah yang
melahirkan ilusi tentang ruang dan waktu." Perhatikan persamaan dan perbedaannya dengan
Buddhisme. Buddhisme menyatakan bahwa fenomena duniawi ini cuma ilusi. Sungguh
pernyataan mengagumkan dari ajaran yang lahir ribuan tahun sebelum kelahiran Mekanika
Kuantum. Sayangnya, Buddhisme tak lebih jauh menerangkan bagaimana ilusi itu terjadi.
Menurut beberapa pandangan Sufi dan pantheisme, keterpisahan kita dengan Dia pun
merupakan ilusi. Gerakan Tuhanlah yang menciptakan ruang dan waktu. Ruang dan waktu
adalah salah satu "wajah" Dia sendiri. Jika ditilik dari pandangan ini, hanya dengan adanya
"persatuan keberadaan" inilah kita bisa mengenal-Nya. Jika Dia dilepaskan dari keberadaan
realita ini, bagaimana mungkin kita bisa mengenal-Nya?

Tuhan adalah tak terbatas karena dia sumber gerak yang mewujudkan realitas (termasuk ruang
dan waktu). Realitas itu terbatas karena gerakan hanyalah bayangan dari-Nya saja. Uniknya,
manusia kemudian memproyeksikan Tuhan ini sebagai pribadi, "memisahkan-Nya" dari
keberadaan semesta atau realitas. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Pengetahuan manusia tidak pernah lengkap. Ia memandang segala sesuatu secara terpisah-
pisah dalam fragmen. Ketika berhadapan dengan sesuatu yang maha besar, tak ada cara lain, ia
harus atau terpaksa memformulasikannya. Pada masa lalu manusia mewujudkan sosok maha
besar ini dalam wujud dewa-dewa yang anthropomorphistic. Tujuannya tentu agar manusia
umum dengan mudah mengenali-Nya. Lalu datanglah wahyu (bagi yang percaya wahyu) untuk
memetakan sang maha besar ini dengan simbolisme yang lebih memadai.

38
PERBUATAN TUHAN, LEBIH JAUH LAGI

Mari kita tilik pertanyaan-pertanyaan ini:

1. Apakah bencana merupakan hukuman Tuhan bagi umat yang membangkang? Kenapa banyak
orang tak bersalah jadi korban?
2. Apakah Tuhan menyayangi manusia? Jika ya, mengapa masih ada kejahatan dan perang?
3. Apakah mukjizat itu mungkin?
4. Apakah Tuhan memberi hidayah kepada semua orang? Jika ya, kenapa masih ada orang
jahat? Jika tidak, bagaimana Tuhan bisa dikatakan adil?
5. Apakah Tuhan berbuat adil? Samakah keadilan Tuhan dengan keadilan manusia?

HUKUMAN TUHAN

Hukuman Tuhan dalam kasus ini bermakna relatif, ia berlaku cuma bagi para pendosa.
Meskipun kondisi yang dialami sama makna bagi setiap pribadi beda. Sama halnya dengan
Tuhan itu sendiri. Meskipun ia merujuk pada hal yang satu, persepsi manusia kepada-Nya tak
selalu sama. Bencana mendekatkan manusia kepada kematian. Seorang muslim diharapkan
membawa seminim mungkin dosa saat mati. Sedangkan pendosa, suatu hukuman atasnya jika
ia mati dalam dosa. Ia dihukumi dengan batas waktu hidup yang mendadak habis saat ia belum
menebus dosa-dosanya.

Mari kita bedakan istilah hukuman yang diberikan Tuhan dengan hukuman yang diberikan
manusia, masyarakat dan negara. Hukum Tuhan berdasarkan pada sifat ketuhanan-Nya yang
non-personal dan tak terbatas. Hukum Tuhan terwujud dalam hukum universal yang dalam
ajaran Islam disebut dengan istilah sunatullah. Hukum ini tidak menyasar atas paradigma
bersalah atau tidak bersalah karena semuanya bisa jadi korban. Hukum Tuhan berlaku sebagai
tanda kekuasaan atas umat manusia di alam semesta (ayatullah). Bandingkan dengan hukum
manusia yang terbatas, terikat pada prasangka, dakwaan dan undang-undang yang berlaku
khusus. Hukum Tuhan menyasar siapa yang sadar sedangkan hukum manusia menyasar siapa
yang bersalah.

Bencana itu sendiri merupakan ayatullah, tanda-tanda kekuasaan Tuhan di bumi. Ia terjadi
karena banyak faktor, perbuatan manusia hanya salah satunya. Bencana tidak terjadi secara
sederhana hanya karena manusia ingkar pada Tuhan. Dalam pandangan agama, ada dua
macam manusia yang menjadi korban bencana tapi masih hidup. Yang pertama adalah manusia
yang dihukum karena ketidaksiapannya mati dalam kesucian atau dengan kata lain mengakhiri
masa tanggungjawabnya dengan baik. Yang kedua adalah manusia yang diuji oleh bencana.

39
Bencana menjadi sarana intropeksi diri bahwa kesempatannya untuk berbuat baik dalam hidup
itu terbatas dan harus dipergunakan sebaik-baiknya. Sementara yang mati karena bencana
itupun juga ada dua macam, mati sebagai orang baik atau menjadi pendosa. Jadi bencana dan
hukuman bermakna relatif tergantung kondisi yang ada pada masing-masing korban.

KASIH SAYANG TUHAN

Demikian juga dengan kasih sayang. Bedakan kasih sayang ilahi dengan kasih sayang dalam
ungkapan sehari-hari. Kasih sayang Tuhan berarti kecukupan potensi yang mendukung
berlangsungnya kehidupan. Di alam ini makanan bagi semua makhluk sudah tersedia. Tinggal
makhluk di dalamnya yang harus mengelola ketersediaannya agar cukup untuk bertahan hidup.
Hewan diberi naluri sedangkan manusia diberi akal untuk melaksanakan hal itu. Menarik dilihat
bahwa ada beberapa binatang yang menimbun makanannya untuk bekal di musim dingin. Mirip
seperti manusia yang bertani di masa sekarang. Dahulu kala, konon mereka juga berlaku seperti
binatang-binatang itu, mengumpulkan makanan untuk cadangan berhari-hari. Manusia hidup
dalam masyarakat yang terus berkembang. Penduduk bertambah dan pola hidup berubah. Jika
manusia berhasil secara konsisten mengelola ketersedian pangan yang cukup maka ia
merefleksikan kasih sayang Tuhan.

Kejahatan adalah hal yang lain lagi. Ia masih akan ada karena merupakan bagian dari
kemanusiaan itu sendiri. Bukankah cuma manusia yang mengenal kejahatan? Manusia hidup
dalam masyarakat yang kondisinya selalu berbolak-balik seperti halnya hatinya. Kedamaian
langgeng sebenarnya utopia belaka. Sementara itu kejahatan adalah hal yang kompleks,
kebanyakan bersinggungan dengan hubungan antar manusia. Kasih sayang Tuhan terwujud
lewat turunnya wahyu. Wahyu mengajarkan moralitas tentang baik dan buruk agar manusia
bisa hidup damai. Memang jadi masalah ketika baik dan buruk ini ditafsirkan secara relatif.
Namun setidaknya tetap ada pandangan umum tentang nilai-nilai universal kebaikan. Misalnya,
"perlakukan orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan", "jangan mencuri, membunuh dan
menipu" dan lain-lain.

Dalam kasus perang, Tuhan memberi manusia potensi berperang dan berdamai, membangun
dan merusak. Tuhan bersabda lewat wahyu gunakan potensi berdamai agar hidup berlangsung
baik. Gunakan potensi membangun untuk mencegah kerusakan. Bagaimanapun dalam
kenyataan, yang terjadi tak selalu indah. Kadang peperangan terpaksa terjadi karena suatru
keadaan yang lebih baik hendak diwujudkan. Harus kita akui, terwujudnya masyarakat dan
peradaban abad 20 ini telah melewati banyak pertumpahan darah yang mengerikan. Dengan
prinsip kasih sayang, yaitu menjaga, merawat dan melindungi kita selalu berharap bahwa
perkembangan masyarakat di masa depan bisa berlangsung dengan damai.

40
MUKJIZAT

Kehidupan ini berlangsung atas dasar-dasar tertentu yang ditetapkan oleh Tuhan. Bagi yang tak
percaya Tuhan, hidup berlangsung dalam hukum-hukum tertentu. Suatu saat, terjadi kejadian
yang dikatakan ajaib, yang jarang terulang lagi. Ada kisah tentang laut yang terbelah, tongkat
jadi ular, penyakit yang sembuh tanpa obat, orang mati hidup kembali, manusia lahir tanpa
benih ayah dll. Semua contoh kasus ini merupakan fenomena yang melampaui ilmu
pengetahuan. Orang menyebutnya sebagai mukjizat. Mukjizat dimaknai sebagai "campur
tangan langsung" oleh Tuhan. Ini adalah hal yang sulit dibuktikan dan juga diingkari. Tak ada
data ilmiah tentang mukjizat sehingga ia tidak bisa diuji secara ilmiah (sesuai sifat mukjizat yang
melampaui ilmu pengetahuan itu sendiri). Mukjizat hanya kita ketahui dari kitab suci dan orang-
orang yang mengaku mengalami (testimoni). Jadi apakah mukjizat benar-benar terjadi?

Saya tak hendak menjawab pertanyaan ini melainkan hendak mencoba memahami makna
mukjizat itu sendiri. Para kritikus kitab suci mendefinisikan ulang bahwa mukjizat hanyalah
simbolisme terhadap campur tangan Tuhan di dunia. Menurut mereka mukjizat tak benar-
benar terjadi sebagai sebuah peristiwa melainkan hanya sebuah kisah simbolik yang
menekankan perbuatan Tuhan. Saya sendiri tertarik untuk menelaah makna "campur tangan
langsung" oleh Tuhan yang merupakan arti dari mukjizat. Apakah campur tangan langsung itu?

Jika kita menilik ulang tulisan saya tentang ontologi keberadaan Tuhan di atas, istilah "campur
tangan langsung" akan melanggar esensi ketuhanan itu sendiri. Saya memaknai mukjizat
sebagai sebuah kejadian di mana komponen-komponen strukturalnya tersusun secara khusus,
tak lazim, luar biasa dalam waktu tertentu. Mukjizat tidak melanggar hukum alam karena
pelanggaran akan berakibat serius terhadap sistem yang sudah berjalan. Kekhususan ini tak bisa
atau sukar didata oleh ilmu pengetahuan karena terjadi secara insidental. Setelah mukjizat
terjadi, semuanya menjadi normal lagi. Ini tak memberi waktu yang cukup untuk melakukan
pengamatan. Jadi mukjizat memang cuma bisa diformulasikan lewat teori atau diimani. Dan
yang lebih jelas, bagi yang mengalaminyalah mukjizat menjadi nyata.

KEADILAN TUHAN

Keadilan Tuhan menyangkut tentang ukuran-ukuran yang Ia tetapkan dalam realitas dan
kehidupan. Makhluk hidup akan mendapat sesuatu sesuai usahanya dan kondisi yang
memungkinkannya. Dia tidak menentukan hasil melainkan menetapkan sejumlah syarat atau
kadar yang diperlukan untuk memperoleh hasil. Tuhan menggerakkan kejadian dalam ukuran
terstruktur. Suatu hal jadi mungkin jika syaratnya tercukupi. Dengan adanya ukuran-ukuran ini,
dalam batas tertentu, beberapa hal bisa diperkirakan saat sebuah tindakan hendak dilakukan.

41
Keadilan Tuhan adalah tidak mendeterminasi hasil sehingga setiap orang akan bertanggung
jawab atas niat dan tindakannya. Keadilan Tuhan merupakan keadilan mendasar yang
merupakan landasan bagi keadilan manusia.

Keadilan dalam kerangka pandang manusia adalah menempatkan segala sesuatu pada
ukurannya. Keadilan manusia bisa dikenali secara praktis lewat hukum dan norma
kemasyarakatan tapi keadilan Tuhan adalah sesuatu yang kompleks. Mengatakan adil menurut
Tuhan adalah sebuah pernyataan yang rancu secara ontologis, namun tidak secara umum.
Dengan demikian kita harus meletakkan istilah adil ini dengan adil pula. Keadilan manusia
haruslah selaras dengan keadilan Tuhan dan nilai kebaikan universal. Jika ada klaim sepihak
yang menggunakan kata keadilan Tuhan untuk menindas manusia, maka ini adalah keadilan
palsu yang mencatut nama Tuhan. Tuhan adalah bagi seluruh umat manusia. Klaim keadilan
yang hanya memenuhi kepentingan satu pihak saja berarti mengingkari sifat keadilan Tuhan.

42
TENTANG PENULIS

Gugun. Seorang penggelisah yang terlalu banyak bertanya dan banyak tidur. Suka bercerita dan
berolahraga. Suka makan dan membayangkannya. Menggambar sejak balita, menulis sejak SD,
bermusik sejak SMA dan bikin film sejak jadi pengangguran. Belajar agama dari bapak, buku-
buku dan guru. Belajar filsafat dari guru, buku-buku dan perenungan-perenungan.

43

Anda mungkin juga menyukai