Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA

HAKIKAT MANUSIA BERTUHAN

DOSEN PENGAMPU

Muhibbin, M.pd

Disusun Oleh Kelompok 1:

Nopiani Amri : 220803007


Risayana : 220803026

S1 PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

INSTITUT PENDIDIKAN NUSANTARA GLOBAL

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang atas rahmat-
Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Pendidikan Agama
“Hakikat Manusia Bertuhan”.
Tak lupa pula kita kirimkan salam dan sholawat atas junjungan Nabi Besar
kita Muhammad SAW, karena Beliulah yang membawa kita dari gelapnya zaman
jahiliyah menuju zaman yang terang menderang seperti sekarang ini.
Dalam peulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi mengingat akan
kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Pendidikan Agama “Hakikat
Manusia Bertuhan” dapat bermanfaat bagi pembaca.

Suralaga, 15 september 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
D. Manfaat Hakikat Manusia Bertuhan...................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Pengertian Tuhan Dan Manusia..........................................................................4
B. Ciri-Ciri Manusia Bertuhan dan Perbedaan Manusia Bertuhan dan Manusia
tak Bertuhan........................................................................................................5
C. Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan............................................6
D. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas.....................................................8
E. Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis Tentang Konsep
Ketuhanan..........................................................................................................10
F. Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan..............................................................14
BAB III PENUTUP................................................................................................17
A. Kesimpulan........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia pada kata "spirit" dan
"spiritual" atau sejenisnya kita akan menemukan kutipan berikut yaitu
"spiritual" yang berarti berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani,
batin). Kemudian "Spiritualisasi" yang berarti pembentukan jiwa dan
penjiwaan. Dan yang terakhir adalah kata "spiritualisme" yang berarti:
Pertama, aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian yaitu
menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu gaib seperti mistik.
Kedua, kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal.
Ketiga adalah spiritisme.
Disamping itu coba juga untuk mencari pengertian etimologis dari kata
spirituality dalam kamus bahasa Inggris atau kata Ar-ruhani dalam bahasa
Arab. Dan bandingkan juga dengan informasi kamus Webster yang menurut
asal kata spiritual dari kata benda bahasa Latin yaitu "spiritus" yang berarti
nafas dan kata kerja "spipare" yang berarti untuk bernapas. Pertanyaannya
Mengapa pemahaman kita tentang masalah ini begitu penting?
Namun, ada juga yang tidak mempercayai tentang Tuhan, yang biasa kita
kenal sebagai seorang Atheisme. Mereka ini biasanya adalah orang yang
sombong, misalnya, mereka merasa tidak perlu bertuhan karena ‘merasa’ bisa
mengatasi segala kebutuhan sendiri. Atau dikarenakan mereka malas berfikir
dan tidak mau repot karenanya. Tetapi sesungguhnya tidak seseorang pun
yang benar-benar tidak bertuhan. Karena sesungguhnya makna bertuhan itu
adalah menempatkan sesuatu menjadi pusat dan tujuan bagi kehidupan
seseorang. Seseorang sangat tergila-gila dengan hartanya itu sudah
menandakan bahwa dia telah ‘Mengagungkan’ hartanya tersebut. Sehingga ia
menganggap bahwa harta yang berlimpah itulah yang dapat memenuhi segala
kebutuhannya. Jadi sangatlah jelas bahwa sesungguhnya tidak satu manusia
pun yang tidak bertuhan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Tuhan dan Manusia?
2. Bagaimana Ciri-ciri Manusia Bertuhan dan Perbedaan Antara Manusia
Bertuhan dan Manusia tak Bertuhan?
3. Bagaimana Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan?
4. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas?
5. Bagaimana Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis
Tentang Konsep Ketuhanan?
6. Bagaimana Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan?
C. Tujuan
Tujuan manusia bertuhan adalah karena mendapat perlindungan ,seperti
awal sejarah manusia pra sejarah. munculnya agama adalah ketidaktahuan,
dimangsa binatang buas, bencana alam,maka mereka menerka dan
mengadakan pemujaan untuk meminta perlindungan. kepada objek objek yang
tidak terlihat oleh kasat mata dan terlihat. ketidakketahuan kemana ia akan
pergi setelah meninggal dunia .tempat untuk meminta, menyembah.
konsepnya sama biarpun agama itu tidak menggambarkan tuhannya dalam
bentuk sebuah patung, atau sepotong kayu.
1. Untuk Mengetahui Pengertian Tuhan dan Manusia?
2. Untuk mengetahui Ciri-ciri Manusia Bertuhan dan Perbedaan Antara
Manusia Bertuhan dan Manusia tak Bertuhan?
3. Untuk Mengetahui Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan?
4. Untuk Mengetahui Mengapa Manusia memerlukan Spiritualitas?
5. Untuk Mengetahui Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis
Tentang Konsep Ketuhanan?
6. Untuk Mengetahui Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan?
D. Manfaat Hakikat Manusia Bertuhan
Spiritualitas adalah puncak dari kesadaran ilahi Artikel yang diterbitkan
oleh Saifuddin Aman dalam "Tren Spiritual Milenium Ketiga". Kerohanian
Memungkinkan kami untuk menyadari semua potensi yang diberikan Tuhan
melihat segala sesuatunya secara keseluruhan sehingga kita memiliki

2
kemampuan menemukan esensi (keaslian) dari setiap fenomena yang ada di
alam.
Orang yang memiliki kesadaran spiritual akan memiliki beberapa ciri,
antara lain: mampu menemukan kekuatan terbesar, merasakan indahnya
ibadah, menemukan nilai yang kekal, menemukan makna dan keindahan
dalam hidup, menjalin harmoni dan harmoni dengan alam semesta,
menghadirkan intuisi dan menemukan alam.Metafisika sepenuhnya dipahami
dan mampu memperoleh hal-hal supernatural yang supernatural. Transparan
dan manusiawi. Komunitas internasional saat ini sedang mengalami titik jenuh
peradaban materialis sekuler. Peradaban yang memisahkan fenomena alam,
sosial dan budaya dari makna spiritualnya tampaknya sedang menghadapi
kebangkrutan. Di Barat, orang mulai menyukai spiritualitas. Namun model
yang berkembang adalah mencari spiritualitas yang selaras dengan konstruksi
psikologis manusia modern, yakni seketika. Kemudian, spiritualitas menjadi
penyembuhan langsung dan kegiatan pelatihan yang hanya melibatkan aspek
emosional dan empati semu pribadi. Untuk memulihkan etika moral dan
pemeliharaan kehidupan yang humanistik perlu dilakukan penguatan
spiritualitas. Dari sudut pandang filosofis, peningkatan spiritual ini merupakan
peningkatan visi ilahi, potensi ilahi atau keilahian. Untuk mewujudkan visi
ketuhanan yang kokoh, diperlukan proses mewujudkan akhlak Tuhan yang
ada bagi setiap orang. Untuk alasan ini, perlu melatih jiwa secara sistematis,
dramatis dan terus menerus melalui kombinasi olah pikiran, olah rasa, olah
jiwa dan olah raga.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tuhan Dan Manusia
1. Pengertian Tuhan
Pembahasan tentang spiritualitas tidak pernah bisa dilepaskan dari
pembahasan tentang Tuhan. Hal itu mengingat spirit, yang dalam bahasa
Al-Quran sering disebut dengan roh, merupakan anugerah Tuhan yang
dilekatkan dalam diri manusia. Adanya roh atau spirit membuat manusia
mengenal Tuhan dan dapat merasakan nikmatnya patuh pada sesuatu yang
dianggap suci dan luhur. Tuhan dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari kata lord dalam bahasa Inggris, segnor dalam bahasa
Latin, senhor dalam bahasa Portugis, dan maulaya/sayyidi dalam bahasa
Arab. Semua kosakata di atas menyaran pada makna “tuan”. Kata ‟Tuhan‟
disinyalir berasal dari kata tuan yang mengalami gejala bahasa paramasuai
sehingga diberi tambahan bunyi “h”, seperti “empas‟ menjadi “hempas‟,
“embus‟ menjadi “hembus”.
Kata Tuhan merujuk kepada suatu zat abadi dan supranatural,
biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta
atau jagat raya).Tuhan adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran (mind)
manusia. Dalam struktur manusia, hati merupakan kamar kecil yang
terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hati atau merupakan satu
titik kecil atau kotak kecil yang tersembunyi secara kuat dan rapih di
dalam hati, hati nurani merupakan garis manusia dengan Tuhan atau yang
menghubungkan manusia dengan Tuhan. Dalam KBBI, kata Tuhan
mempunyai arti zat yang menciptakan makhluk dan seluruh alam semesta;
zat yang wajib disembah. Sementara Tuhan dalam pandangan para filosof
adalah akal murni. Dalam pemikiran filsafat, realitas tertinggi adalah ide
manusia dan kemestian logis dari pemikiran. Oleh karena itu, para filosof
menyebutkan realitas tertinggi adalah “Tuhan” sebagai “Akal murni”.
Namun jika Tuhan merupakan ide manusia, maka ide adalah hasil
pemikiran akal yang terbatas.

4
2. Pengertian Manusia
Dalam kamus bahasa Indonesia “Manusia" diartikan sebagai
“makhluk yang berakal, berbudi (mampu menguasai makhluk lain);
insane, orang‟. Menurut pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi potensi akal dan budi, nalar
dan moral untuk dapat menguasai makhluk lainnya demi kemakmuran dan
kemaslahatannya. Manusia adalah suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai
khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan
semi-duniawi, yang didalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan,
bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam
semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi.
B. Ciri-Ciri Manusia Bertuhan dan Perbedaan Manusia Bertuhan dan
Manusia tak Bertuhan
1. Ciri-Ciri Manusia Bertuhan
Adapun ciri-ciri manusia yang ber Tuhan yaitu:
a. Mengakui kebesaran dan keagungan Tuhan yang diwujudkan dengan
berbagai cara.
b. Menyadari bahwa dunia serta isinya adalah ciptaan Tuhan.
c. Manusia dianugerahi akal dan budi yang dapat dikembangkan secara
maksimal.
d. Manusia memiliki keterbatasan yang kadang sukar dijelaskan.
2. Perbedaan Manusia yang Bertuhan dan Manusia Tidak Bertuhan
Manusia berTuhan adalah manusia yang diliputi rasa
perikemanusiaan rasa keyakinan dan rasa persaudaraan. Manusia yang
tidak berTuhan adalah manusia yang selalu terbawa oleh nafsu-nafsu
(nafsu pribadi) dan watak.
Kepercayaan kita terhadap Tuhan sangatlah beragam, ada yang
sangat mempercayai tentang adanya Tuhan hingga ke dasar hatinya,
sehingga apabila disebutkan nama-Nya hatinya akan bergetar. Ada juga
yang hanya sekedar percaya saja tentang Tuhan mereka, tanpa adanya
pemahaman yang benar tentang Tuhan mereka.

5
C. Konsep Spiritual Sebagai Landasan Kebertuhanan
Doe (dalam Montohar, 2010: 36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah
dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki.
Spritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Spritualitas adalah
kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar daripada
kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung
kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber
keberadaan kita.
Spritual, spritualitas, spritualitasme mengacu kepada kosa kata latin spirit
atau spiritus yang berarti napas. Adapun kerja spirare yang berarti untuk
bernapas. Berangkat dari pengertian etimologis ini, maka untuk hidup adalah
untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit (Aliah B.
Purwakania, 2006: 288). Spirit dapat juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa,
dan napas (Hasan Shadily, 1984: 3278).
Dalam pengertian yang lebih luas spirit dapat diartikan sebagai:
1. kekuatan kosmis yang memberi kekuatan kepada manusia (yunani kuno);
2. Makhluk immateril seperti peri, hantu dan sebagainya;
3. Sifat kesadaran, kemauan, dan kepandaian yang ada dalam alam
menyeluruh;
4. Jiwa luhur dalam alam yang bersifat mengetahui semuanya, mempunyai
akhlak tinggi, menguasai keindahan, dan abadi;
5. Dalam agama mendekati kesadaran ketuhanan;
6. Hal yang terkandung dalam minuman keras, dan menyebabkan mabuk
(Hasan Shadily, 1984: 3278).
Selanjutnya dalam Ensiklopedi Indonesia spiritual adalah:
1. Bentuk nyanyian rakyat yang bersifat keagamaan, dikembangkan oleh
budak-budak Negro dan keturunan mereka di Amerika Serikat bagian
selatan;
2. Yang berhubungan dengan rohani dan eksistensi kristiani yang
berdasarkan kehadiran dan kegiatan roh kudus (s. spiritus) dalam setiap
orang beriman dan seluruh gereja. Adapun spiritualitas adalah kehidupan

6
rohani (spiritual) dan perwujudannya dalam cara berfikir, merasa, berdo’a
dan berkarya (Hasan Shadily: 3279).
Memang spiritualitas memiliki ruang lingkup dan pengertian yang luas.
Aliah B. Purwakania Hasan (2006) mengungkapkan hasil penelitian Martsolf
dan Mickey tentang sejumlah kata kunci yang mengacu kepada pengertian
spiritualitas, yakni makna (meaning), nilai-nilai (values), transendesi
(transcendency), bersambungan (connecting), dan menjadi (becoming).
Memang tampaknya pengertian spiritualitas merangkum sisi-sisi
kehidupan rohaniah dalam dimensi yang cukup luas. Secara garis besarnya
spiritualitas merupakan kehidupan rohani (spiritual) dan perwujudannya
dalam cara berfikir, merasa, berdoa, dan berkarya (Hasan Shadily: 3728).
Seperti yang dinyatakan William Irwin Thomson, bahwa spiritual bukan
agama. Namun demikian ia tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai
keagamaan. Maksudnya ada titik singgung antara spiritual dan agama.
1. Inti spiritualitas
Jika kita bisa menerima bahwa kita adalah makhluk spiritual yang
hidup dalam tubuh fisik, maka ;spiritualitas adalah tentang persatuan,
kebenaran, tanggung jawab pribadi, pengampunan, kehendak bebas, cinta
dan kedamaian. Yang paling penting, spiritualitas adalah tentang
menciptakan realitas kita sendiri, mengalami realitas-realitas menjadi
kebijaksanaan yang hidup dalam hukum alam semesta sehingga kita dapat
berkembang secara rohani dan kembali ke Penciptaan Allah SWT.
Spiritual diri kita adalah diri sejati, bukan tubuh kita. Tubuh hanya
sebagai kendaraan bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman negatif dan
positif dapat membantu jiwa kita berkembang, kearah mana yang akan di
tempuh dalam perjalanan hidup ini.
2. Relasi spiritualitas dengan agama
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa spiritualitas
memang bukan agama. Akan tetapi, ia memiliki hubungan dari segi nilai-
nilai keagamaaan yang tidak dapat dipisahkan. Titik singgung antara
spiritualitas dan agama tampaknya memang tak dapat dinafikan

7
sepenuhnnya. Keduanya menyatu dalam nilai-nilai moral. Adapun nilai-
nilai moral itu tergolong pada katagori nilai utama (summum bonum)
dalam setiap agama.
Dorongan untuk berpegang pada nilai-nilai moral ini sudah ada
dalam diri manusia. Menurut Murthada Muthahhari, dorongan
tersembunyi dalam diri manusia. Dalam konsep ajaran islam, nilai-nilai
moral itu disebut akhlak yang baik atau husn al-akhlaq (Muthada
Muthahhari: 55).
Pemahaman ini menunjukkan, bahwa sebenarnya spiritualitas adalah
potensi batini manusia. Sebagai potensi yang memberikan dorongan bagi
manusia untuk melakukan kebajikan. Dengan demikian, tidak mengherankan
bila, spiritualitas ini senantiasa diposisikan sebagai nilai utama dalam setiap
ajaran agama.
D. Mengapa Manusia Memerlukan Spiritualitas
Modernisasi dan globalisasi membuat ruang spiritual (spiritual space)
dalam diri kita mengalami krisis yang luar biasa hebat. Kita tidak lagi sempat
untuk mengisi ruang spiritual itu dengan “hal-hal yang baik” dalam hidup kita.
Justru sebaliknya, kita lebih terbiasa mengisinya dengan “hal-hal buruk”, yang
menjadikan ekspresi kehidupan kita tampak ekstrem dan beringas. Hal itu,
dengan sendirinya menjadikan hidup kita terpental jauh ke pinggiran
eksistensi diri, yang dalam bahasa teologi keagamaan dinisbatkan dengan
“terpentalnya diri kita dari Tuhan sebagai asal dan orientasi akhir kehidupan
kita”.
Spiritualitas merupakan puncak kesadaran ilahiah menurut Saifuddin
Aman dalam Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Spiritualitas membuat kita
mampu memberdayakan seluruh potensi yang diberikan Tuhan untuk melihat
segala hal secara holistik sehingga kita mampu untuk menemukan hakikat
(kesejatian) dari setiap fenomena yang kita alami. Dalam bahasa yang sedikit
berbeda Syahirin Harahap dalam Membalikkan Jarum Hati mendeskipsikan
mereka yang memiliki kesadaran atau kecerdasan spiritual sebagai orang-
orang yang mampu mengarungi kehidupan dengan panduan hati nurani.

8
Rohani,yang kuat karena bimbingan maksimal hati nurani tersebut, akan
membuat orang lebih dinamis, kreatif, memiliki etos kerja tinggi, dan lebih
peduli, serta lebih santun.
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an
dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan
manusia, misalnya dalam surat al-Furqan ayat 43.Dalam surat al-Qashash ayat
38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata, Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak
mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarkanlah tanah liat
untukku wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkanlah
bangunan yang tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa,
dan aku yakin bahwa dia termasuk pendusta.” (QS. Al-Qasas 28: Ayat 38)
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak
mengetahui Tuhan bagimu selain aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan
nol atau atheisme tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh
manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai
olehnya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di
dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

9
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.
(M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia
tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-
Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya.
Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga.
Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
E. Sumber Psikologis, Sosiologis, Filosofis, dan Teologis Tentang Konsep
Ketuhanan
Pertanyaan "Apa itu Tuhan?" bahwa "Umat manusia bermasalah selama
ratusan tahun, Akan terus menantang pemahaman konsep logis Ada kerajaan
yang diperintah oleh Tuhan, Raja akan memberi penghargaan kepada mereka
yang melakukannya Nah, akan menghukum mereka yang melakukannya
salah. Dalam ranah pemikiran Muslim, pembahasan tentang Tuhan
Percakapan yang tidak pernah berakhir perdebatan. Inilah mengapa berbicara
tentang ilmu ketuhanan disebut ilmu Karena pengetahuan Karam, Karam dan
para penafsirnya disebut mutakalim Selalu berdiskusi dan berdebat tanpa kata-
kata.
Berikut ini akan diperkenalkan berbagai makalah, teori dan argumen
Psikologi, filsafat, masyarakat dan teologi Tentukan konsep ketuhanan dan
ketuhanan.
1. Perspektif Psikologis
Dalam membahas masalah ini, setidaknya ada beberapa aspek yang
akan dijelaskan. Psikologi Agama Islam sebagai salah satu disiplin ilmu,
maka ada beberapa masalah yang akan menjadi topik kajian diantaranya
seperti yang di jelaskan oleh ramayulis :

10
a. Bagaimana pengalaman manusia itu dalam hubungannya dengan
keyakinannya kepada Tuhannya.
b. Bagaimana sifat jiwanya terhadap Tuhannya
c. agaimana pengalaman tentang dirinya dalam menyerahkan diri kepada
TuhannYA.
Melihat dari masalah diatas, maka ke-Tuhanan manusia dalam
perspektif Psikologi Agama Islam merupakan konsep keyakinan, sikap
jiwa dan penyerahan diri kepada Allah Swt.
a. Iman
Iman memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha
berkuasa. Keimanan akan menghantarkan sesorang kepada ketaatan
dalam menjalankan perintah agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji
dan perintah-perintah sunnah lainnya. Jika demikian, maka iman akan
melahirkan tingkah laku ketaatan pada diri seseorang yang dilakukan
hanya dengan keikhlasan semata. Orang yang melaksanakan shalat
hanya mengharapkan imbalan (fahala) yang datang dari Allah, dan
imbalan itu mereka yakini pasti ada.
b. Akhlak mulia
Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak
memiliki arti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin
manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya. Bagi seorang hamba yang
memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan tingkah laku atau
tabia’at yang baik pula. Yaitu perangai atau tingkah laku yang
memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya. akhlak mulia itu
bisa lahir dalam bentuk, diantaranya : Tawadhu, Sabar, Ikhlas, Syukur,
Wara'.
c. Tawakkal
Tawakkal adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal.
Allahlah sebagai penyebab segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai
seoarang hamba menayadari betapa didalamnya dirinya tidak ada
kekuatan. Sungguh pemilik kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa

11
merupakan sikap hidup yang mampu menghantarkan seseorang kepada
ketenangan hidup.
Penyerahan diri kepada Allah disini merupakan penyerahan yang
tidak menafikkan sunnatullah yang telah menjadi ketetapan Allah.
Artinya dalam bertqwaqal juga harus diringi dengan berikhtiar, karena
segala sesuatu sudah Allah ciptakan dengan struktur sebab akibat,
walaupun hal itu semua tidak akan mutlak, jika Allah berkehendak.
2. Perspektif Sosiologis
Sosiologi mempelajari masyarakat umum secara sosiologis, namun
dalam ilmu sosiologi terdapat cabang ilmu yang mempelajari secara
khusus masyarakat beragama, yang di kenal sebagai ilmu Sosiologi
Agama. Objek dari penelitian sosiologi agama adalah masyarakat
beragama yang memiliki kelompok-kelompok keagamaan. Seperti
misalnya, kelompok Kristen, Islam, Budha dll. Sosiologi agama memang
tidak mempelajari ajaran-ajaran moral, doktrin, wahyu dari agama-agama
itu, tetapi hanya mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dari
masyarakat yang beragama tersebut. Namun demikian, ajaran-ajaran
moral, doktrin, wahyu dapat dipandang sebagai variabel- variabel yang
mempengaruhi fenomena-fenomena yang muncul tersebut.
Dalam sosiologi, agama disebut sebagai sebuah sistem manusi
budaya karena merupakan hasil dari “sistem gagasan” manusia terdahulu.
Max Weber menjelaskan bahwa Tuhan tidak ada dan hidup untuk
manusia, tetapi manusialah yang hidup demi Tuhan. Menurutnya,
menjalankan praktik-praktik keagamaan merupakan upaya manusia untuk
mengubah Tuhan yang irrasional menjadi rasional. Semakin seseorang
menjalankan perintah-perintah Tuhan maka seseorang akan semakin
merasa kedekatannya terhadap Tuhan. Berbeda dengan pendapat Emile
Durkhem, Max Weber menyatakan bahwa kebertuhanan secara khas
merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Karena yang empirik
(pada saat itu) kebertuhanan dipraktikkan dalam ritual upacara yang
memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya.

12
Akibatnya, yang tampak saat itu adalah kebertuhanan yang hanya bisa
dilaksanakan pada saat berkumpulnya anggota-anggotasosial, dan tidak
bisa dilakukan oleh tiap individu.Tuhan dalam perspektif sosiologis
digambarkan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan universal yang
diyakini dan dipahami oleh umat manusia.
3. Perspektif Filosofis
Dalam argumen al-ḫudūts, Al-Kindi dengan gigih membangun
basis filosofis tentang kebaruan alam untuk menegaskan adanya Tuhan
sebagai pencipta. Tuhan dikatakan sebagai sebab pertama, yang
menunjukkan betapa Ia adalah sebab paling fundamental dari semua
sebab-sebab lainnya yang berderet panjang. Sebagai sebab pertama, maka
Ia sekaligus adalah sumber bagi sesuatu yang lain, yakni alam semesta.
Argumen kedua terkait dengan Tuhan adalah argumen
kemungkinan (dalil al-imkān). Ibnu Sina sebagai tokoh argumen ini
menjelaskan bahwa wujud (eksistensi) itu ada, bahwa setiap wujud yang
ada bisa bersifat niscaya atau potensial (mumkīn). Wujud niscaya adalah
wujud yang esensi dan eksistensinya sama. Ia memberikan wujud kepada
yang lain, yang bersifat potensial (mumkīn).
Argumen ketiga tentang Tuhan adalah argumen teleologis (dalil al-
‘ināyah). Argumen ini didasari oleh pengamatan atas keteraturan dan
keterpaduan alam semesta. Berdasarkan pengamatan tersebut ditarik
kesimpulan bahwa alam ini pasti karya seorang perancang hebat. Menurut
Ibn Rusyd, sebagai tokoh pemikiran ini, penyelidikan terhadap alam
semesta tidak bisa berjalan sendiri tanpa mengikuti metode penyelidikan
yang digariskan Al- Quran. Berdasarkan pengamatan terhadap alam, Ibn
Rusyd mencoba membuktikan Tuhan dengan dua penjelasan. Pertama,
bahwa fasilitas, yang dibuat untuk kenyamanan dan kebahagiaan manusia,
dibuat untuk kepentingan manusia dan menjadi bukti akan adanya rahmat
Tuhan. Kedua, keserasian alam seharusnya ditimbulkan oleh sebuah agen
yang sengaja melakukannya dengan tujuan tertentu dan bukan karena
kebetulan.

13
Dari ketiga perspektif di atas, dapat disimpulkan bahwa inti dari
pendapat para filsuf muslim klasik bahwa Tuhan adalah pencipta dari
segala sesuatu yang ada di alam nyata ini. Tuhan menjadi sebab pertama
dari segala akibat yang kita lihat saat ini. Tuhan merupakan wājib al-
wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang ada
dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk
mengaktualkannya.
4. Konsep tentang Perspektif Teologis
Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran, dan
keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap
sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui
wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik- buruk, cara
beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan
memperkenalkan diri-Nya, konsep baik-buruk, dan cara beragama kepada
manusia melalui pelbagai pernyataan, baik yang dikenal sebagai
pernyataan umum, seperti penciptaan alam semesta, pemeliharaan alam,
penciptaan semua makhluk, maupun pernyataan khusus, seperti yang kita
kenal melalui firman-Nya dalam kitab suci, penampakan diri kepada nabi-
nabi, bahkan melalui inkarnasi menjadi manusia dalam dogma
Kristen.Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan Tidak,
pendekatan agama dari perspektif teologis tidak akan terjadi Itu dilakukan
di bawah prakarsa manusia, tetapi itu terjadi berdasarkan pencerahan dari
strata atas. Tanpa inisiatif Tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak bisa
Jadilah dewa dan sembahlah dia.
F. Cara Meyakini dan Mengimani Tuhan
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang
tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan
pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus
tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah
SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut
kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya,

14
kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan
pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di
masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman
kepada Allah SWT :
1. Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya
adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis
besar.
2. Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya
adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan
sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan
sifat-sifat makhluk Nya.
1. Keyakinan dirinya kepada Tuhan
2. Ucapan yang mengikuti keyakinannya
3. Melakukan berbagai kegiatan hidup
Dalam hal iman memiliki dua aspek, yaitu Keyakinan dan indikator
praktis. Jika mengacu pada penjelasan Di atas, keyakinan bisa dijelaskan
sebagai alasan Konsep (dalam hal ini konsep ketuhanan) sehingga dia menjadi
hukum akal budi berarti hukum sebab dan akibat, identitas diri sendiri dan
memengaruhi penilaian atas segala hal implementasi penuh.
Indikator keyakinan yang sebenarnya dapat ditentukan dari sikap dan
perilaku manusia. pemilik Keyakinan Yang harus dibuktikan dengan keadilan
Menjadi indikasi praktis dari keyakinan ini. Indeks kepercayaan Praktis dan
terukur bisa dijadikan tolak ukur seseorang untuk menilai orang lain, apakah
dia orang baik atau tidak Masih belum bagus. Indikator Iman Tersirat Nabi
setidaknya ada 73 macam, dari singkirkan yang sederhana hingga Duri di jalan
umum sampai indikator abstrak seperti Cintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari
yang lain.

15
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menilai seseorang sebagai sesat ini
bukan Kafir, Anda tidak dapat melihatnya dari imannya, karena iman tidak
berwujud. Digunakan sebagai patokan untuk mengevaluasi keyakinan dan
keyakinan kufur sendiri adalah amal-nya, sebagai indikator praktis bisa
diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh santai menuduh orang sebagai bidah,
dan penilaian ini hanya berdasarkan asumsi dan opini sepihak.
Terbentuknya keimanan adalah karena peran Tuhan dan manusia. Peran
Tuhan Pembentukan iman terletak pada akal dan bakatnya potensi Tuhan
disebut roh. Karena ada alasannya semangat ini memberi manusia potensi
untuk percaya pada Tuhan.Bagaimanapun, potensi harus dipertimbangkan
dengan cara yakin, buat itu jadi keyakinan, lalu keyakinan juga butuh Peran
manusia. Proses pembelajaran, kebiasaan, pengalaman dan indoktrinasi guru,
orang tua, penduduk setempat Kebiasaan lingkungan dan sosial juga dapat
menjadi faktor lain mempengaruhi pembentukan keyakinan.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seperti disebutkan di atas, Tuhan dan manusia punya Hubungan yang
sangat dekat atau terkait, Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, orang-orang
di dunia dan alam diciptakan. Tuhan tidak mentaati siapapun, tidak ada lagi
diatas Tuhan atau zat lain yang sebanding dengannya. Manusia tidak akan
mampumembangun relasi yang harmoni dengan tuhan apabila hidupnya lebih
didominasi oleh kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu, sisi
spritualis harus memainkan peran utama dalam kehidupan manusia sehingga
mampu merasakan kehadiran tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila
kita mampu mengasah sprtualitasnya sehingga ia dapat merasakan kehadiran
tuhan maka ia akan dapat melihat segala sesuatu dengan visituhan ( ilahi). Visi
ilahi inilah yang sangat dibutuhkan oleh ummat manusia sehingga setiaptindak
tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan
kepada tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta
pelayanan kepada sesame ciptaan tuhan dengan begitu akan terciptanya dunia
yang damai.

17
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat, Munawar. (2006.) “Corak Berpikir Keagamaan Mahasiswa Aktivis
Islam UPI: Dari Corak Berpikir yang Eksklusif, Inklusif, hingga Liberal”
Jurnal Ta`lim. Bandung: Jurusan MKDU FPIPS UPI.
(Tedy, 2017)Tedy, A. (2017). Tuhan dan Manusia. El-Afkar Vol. 6 Nomor II,
6(1), 61.
(Munawar, 2019)Munawar. (2019). Bab 2 bagaimana manusia bertuhan?
Bagaimana Manusia Bertuhan, 30–57.

18

Anda mungkin juga menyukai