Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERTUHAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


Dosen Pengampu : Dr. Mibtadin, Sfil.l., M.S.I

Disusun Oleh :

Kavina Isyna Mahmudah H0821058


Leony Anggel Damayanti H0821058
Maxima Hadanah H0821070

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Pendidikan Agama Islam ini dengan baik. Makalah ini disusun guna melengkapi
nilai mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Dengan adanya makalah ini, penulis
diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang Pendidikan Agama Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna sempurnanya
makalah ini. Akhir kata penulis mengharap makalah ini berguna bagi pembaca
pada umumnya dan penulis diri sendiri pada khususnya.

Surakarta, Maret 2022

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam merupakan agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


Saw dan rasul sebagai utusan-Nya untuk menjadi pedoman hidup seluruh
umat manusia hingga akhir zaman. Agama Islam merupakan satu-satunya
agama yang diakui di sisi Allah swt. Ajaran dan ketentuan-Nya yaitu Al-
qur’an dan sunnah.
Rasionalisasi telah menjadi sikap yang mengarah pada persoalan
hidup manusia. Sebagian manusia meninggalkan spiritualitasnya karena
hanya fokus pada pencapaian materi. Ketimpangan akan terjadi ketika
capaian tersebut tidak seimbang dan merata. Hal ini akan menimbulkan
dampak kurangnya kontrol sosial terhadap kehidupan individi dan
masyarakat.. 
Kegiatan yang baik dan mendapatkan ilmu serta pahala yaitu beramal
dimana di dunia ini kita hidup tidak sendiri ada yang hidup lebih sulit dari
hidup kita, karena pada dasarnya ketika kita meninggal yang dibawa adalah
amal dan ibadah bukan harta atau kedudukan. Islam adalah agama untuk
penyerahan diri semata-mata kepada Allah agama semua nabi, agama yang
sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk manusia,
mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya dan manusia dengan
lingkungannya.
Istilah spiritualitas seringkali disalahartikan dan dilihat sebagai
sesuatu yang konteksnya sama (identik) dengan agama, keyakinan tertentu,
aturan moral dan tradisi-tradisi mitologi. Spiritualitas pada dasarnya
bukanlah sesuatu yang formal, terstruktur dan terorganisir seperti agama dan
sistem kepercayaan pada umumnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa spirit adalah semangat, jiwa, sukma, roh dan
spiritualitas merupakan sumber motivasi dan emosi pencarian individu yang
berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas?
2. Bagaimana konsep ketuhanan itu?
3. Bagaimana esensi dan urgensi visi ilahi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk engetahui pengertian spiritualitas
2. Agar mengetahui konsep ketuhanan
3. Agar mengetahui esensi dan urgensi visi ilahi
D. Manfaat Penulisan
1. Dapat memahami spiritualitas
2. Dapat mengetahui konsep ketuhanan
3. Mengerti esensi dan urgensi visi ilahi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Spiritualitas

Spiritualitas berasal dari kata spiritual yang menurut KBBI berarti


berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin). Secara etimologis
spiritualitas berasal dari Bahasa latin yaitu spiritus yang berarti roh, jiwa,
semangat; atau dalam Bahasa Arab disebut dengan ar ruhani yang berarti
segala sesuatu yang berkaitan dengan kejiwaan. Spiritualitas tak bisa terlepas
dari pembahasan tentang Tuhan (Ajaran et al., 2020). Spiritual merupakan
kepercayaan kepada adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari
kekuatan kita, suatu kesadaran yang menghubungkan kita dengan Tuhan,
serta suatu unsur yang merupakan sumber keberadaan kita sekarang
(Nurwardani, 2016).  
Spiritualitas pada kehidupan manusia akan memberikan arti dan arah
yang baik. Secara fitrah manusia memiliki spirit atau jiwa yang halus.
Menurut Al-Qusyairi dalam tafsirnya Latha if al Isyarat menunjukkan bahwa
roh memang Lathifah (jiwa yang halus) itu ditempatkan dalam diri manusia
oleh Allah SWT sebagai pembentuk karakter yang terpuji.
Aristoteles mengatakan bahwa spiritual juga dapat dianggap sebagai
prinsip adikodrati yang ditangkap langsung dan intuitif pandangan ini erat
dengan agama karena dalam agama ruh tertinggi adalah Tuhan. Hal tersebut
berkaitan dengan roh yang merupakan fitrah manusia untuk berhubungan
dengan Tuhan sebagai kebenaran yang sejati (Al Haqiqah). Adanya roh dalam
diri manusia inilah yang membuat manusia dapat merasakan dan meyakini
kehadiran Tuhannya dalam setiap liku kehidupannya. Pada dasarnya manusia
memiliki fitrah sebagai makhluk yang bertuhan. 
Roh suci yang merupakan karunia dari Tuhan bersemayam di dalam
hati manusia, dan pada saat itu hati akan bersinar dan memancarkan kebaikan.
hati yang disinari oleh kebaikan disebut dengan hati nurani. Pengaruh roh
dalam diri manusia yaitu untuk membedakan mana yang baik dan buruk.
Sehingga manusia dapat menjalankan hal-hal yang baik dan meninggal hal-
hal yang buruk. Namun, roh dalam hati manusia tidak selamanya bersinar,
adakalanya meredup yang mengakibatkan manusia itu sulit mencari
kebenaran Tuhan dalam hidupnya. Hati yang mengalami keredupan disebut
Qalb Zhulman. manusia dengan hati yang redup juga akan sulit terhubung
dengan Tuhannya, sehingga mereka akan cenderung mudah bermaksiat dan
melakukan keburukan. 
Setiap manusia dapat mengalami pengalaman batin atau biasa disebut
pengalaman rohani. Pengalaman rohani yang dialami oleh setiap orang
berbeda, oleh karenanya pengalaman rohani bersifat subjektif. Dimana hanya
mereka yang dapat merasakan pengalaman rohani yang dialaminya. semakin
berkesan pengalaman rohani yang dialami oleh seseorang maka akan
meningkatkan spiritualitas pada diri mereka. Seseorang yang mengalami
peningkatan spiritualitas akan merasakan ketenangan jiwa, mampu
beradaptasi dengan keadaan, dapat menghadapi tiap masalah yang ada, dan
memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya dengan sebaik-baiknya
(Selamat, 2005). 
Kata spiritual umumnya dilawankan dengan kata material. Istilah
material digambarkan pada sesuatu yang tampak. Kata spiritualitas
digambarkan pada sesuatu yang abstrak yang memprioritaskan pada hal yang
batin. Q.S. Ar-Rum: 30 di bawah ini menjelaskan mengenai spiritualitas.

َ َّ‫ت هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬


‫اس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِدي َل‬ َ ‫ط َر‬ ْ ِ‫ِّين َحنِيفًا ۚ ف‬
ِ ‫ك لِلد‬ َ َ‫فََأقِ ْم َوجْ ه‬
ٰ َ ِ‫ق هَّللا ِ ۚ ٰ َذل‬
ِ َّ‫ِّين ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر الن‬
َ ‫اس اَل يَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬ vُ ‫ك الد‬ ِ ‫لِ َخ ْل‬
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Maksud dari fitrah Allah pada ayat ini adalah ciptaan Allah. Manusia
diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada
manusia yang tidak beragama (bertuhan) maka hal itu tidaklah wajar dan
dapat terjadi karena lingkungan.

Pengalaman kebertuhanan sangat berpengaruh terhadap kepribadian


manusia. Manusia hidup pada era modern yang dipengaruhi oleh globalisasi.
Kehidupan masyarakat modern lebih menekankan aspek fisik-materialis. Hal
tersebut akan berdampak terjadinya aspek keberagamaan dan spiritualitas
terpojok ke wilayah pinggiran. Modernisasi di segala bidang sebagai akibat
dari kemajuan ilmu dan teknologi mengakibatkan kehidupan materialistis,
konsumtif, hedonis, mekanis, individualistis. Akibatnya manusia modern
kehilangan kehangatan spiritual, ketenangan, dan kedamaian. 
Ketenangan dan kedamaian merupakan kebutuhan manusia yang paling
penting, tapi masyarakat modern mengalami kegagalan memaknai hidup
secara benar yang mengakibatkan jauh dari rasa aman, damai, dan tentram.
Menurut Carl Gustav Jung manusia modern mengalami keterasingan diri
sendiri dan lingkungan sosial, bahkan jauh dari Tuhan. 
Epistemologi modernitas telah menggeser realitas ilahi sebagai fokus
bagi arti kehidupan. Hal tersebut ditandai dengan menyampingkan aspek
rohani dimana akan menghilangkan spiritualitas. Menurut Sayid Hossein
Nasr (1994), fenomena hilangnya spiritualitas sebagai ketercerabutan
manusia dari akar tradisi (sakralitas Tuhan) sehingga manusia hidup di luar
eksistensi dan fitrahnya, maka ia akan mengalami kehilangan makna dan
tujuan hidup. Disorientasi tujuan hidup sering membuat manusia modern
terjebak pada budaya instan dan jalan pintas untuk mengejar kesenangan
materi dan fisik. Wajar kemudian muncul sikap hidup yang materialistis,
hedonis, konsumtif, individualistis.

B. Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan menurut istilah dalam Al-Qur’an disebut Illah,
Tuhan adalah objek yang diagungkan atau dipentingkan manusia, sehingga
manusia rela dikuasainya. bisa berarti benda baik abstrak (nafsu) maupun
nyata (manusia). sedangkan Al-Illah ialah yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepadaNya, merendahkan diri, takut dan
mengharapkanNya, padanya tempat berpasrah ketika dalam kesulitan,
berdo’a, dan bertawakal kepadaNya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dariNya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingat dan
terpaut cinta kepadaNya (Anwar, 2015). 
Konsep ketuhanan dapat dipahami menurut berbagai perspektif, yaitu
perspektif psikologis, perspektif sosiologis, perspektif filosofis, dan
perspektif teologis. Menurut Idris (2018), perspektif psikologis erat kaitannya
dengan adanya keterbukaan pada Yang Adikodrati adalah fitrah manusia
sejak dia lahir ke dunia (fithrah mukhallaqah). Perspektif sosiologis
mengemukakan bahwa konsep tentang ketuhanan sebagai bentuk ekspresi
kolektif suatu komunitas beragama yang merupakan wilayah pembahasan
sosiologi agama. Sosiologi agama merupakan cabang ilmu sosiologi yang
mempelajari secara khusus masyarakat beragama. Objek dari penelitian
sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-
kelompok keagamaan (Tharaba, 2016). 
Dalam perspektif sosiologis, sebuah komunitas akan memberikan porsi
yang besar bagi peran Tuhan dalam mengatur segala aspek kehidupan. Itulah
sebabnya di kalangan masyarakat primitif atau yang masih terbelakang dalam
pendidikannya, berbagai hal biasanya disandarkan kepada kekuatan
supranatural tersebut. Agama yang selalu membicarakan hal-hal yang sifatnya
eskatologis akan dengan mudahnya digantikan oleh teknologi yang dipastikan
hanya akan membicarakan hal-hal yang sifatnya logis. Agama menjadi
sesuatu yang tak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Agama tidak hanya
membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan
hal-hal yang logis pula. 
Konsep Ketuhanan dalam perspektif filosofis mencakup pembahasan
tentang cara manusia bertuhan melalui rasio akan menjadi fokus utama pokok
bahasan ini. Menurut Mulyadhi Kartanegara (2015), paling tidak terdapat tiga
argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu: 
1) dalil al-ḫudūts
Al-Kindi dengan gigih membangun basis filosofis tentang kebaruan
alam untuk menegaskan adanya Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dikatakan
sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia memancarkan semua
maujūd yang tersusun dan beragam. 
2) dalil al-wujūd
Ibn Sina (980-1037), memperjelas konsep Tuhan al-Kindi dengan
mengungkapkan dalil wājib al-wujūd dan mumkīn al-wujūd. Menurutnya,
segala yang ada di alam hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif ketiga. Tuhan adalah wājib al-wujūd (wujud niscaya) sedangkan
selain-Nya (alam) dipandang sebagai mumkīn al-wujūd (wujud yang
mungkin). Namun, yang dimaksud wājib al-wujūd di sini adalah wujud
yang ada dengan sebenarnya atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan
demikian, Allah adalah wujud yang senantiasa ada dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya.
3) dalil al-‘ināyah
Menurut Hasbi (2016), konsep ketuhanan dalil ‘ināyah atau
perspektif teologis dalam masalah ketuhanan, kebenaran, dan
keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap
sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui
wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara
beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri.
Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan
umat beragama, contohnya melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia
dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara
memuji dan mengagungkan Tuhan.
Inti dari pendapat para filsuf muslim klasik yaitu Tuhan adalah
pencipta dari segala sesuatu yang ada di alam nyata ini. Tuhan merupakan
wājib al-wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang
ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk
mengaktualkannya.

C. Esensi dan Urgensi Visi Ilahi


Al-Faruqi menegaskan bahwa esensi pengetahuan dan kebudayaan
Islam ada pada agama Islam itu sendiri. Sedangkan esensi Islam itu adalah
tauhid. Artinya, tauhid sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam,
kebudayaannya, dan sainsnya. Tauhid memberikan identitas pada peradaban
Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama dan menjadikan unsur-unsur
tersebut sebagai suatu kesatuan integral dan organis. Dalam mengikat unsur
yang berbeda tersebut, tauhid membentuk sains dan budaya dalam bingkainya
tersendiri. Berpegang teguh pada prinsip tauhid merupakan suatu keniscayaan
dan merupakan fondamen dari seluruh kesalehan, religiusitas, dan kebaikan
(Farida, 2014).
Menurut Karyanto (2017), isi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin
adalah supaya Islam tidak dianggap lawan oleh agama selain Islam dan
supaya ada pemahaman bahwa Islam adalah agama yang mencintai
perdamaian serta dapat berdampingan dengan agama lainnya. Islam
rahmatan lil alamin dapat diterjemahkan dalam beberapa aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu: 
1) Islam sejalan dengan aspek kehidupan realitas sosial, 
2) Islam adalah agama yang inklusif, 
3) Islam adalah agama yang toleran terhadap agama-agama selain Islam,
dan
4) Islam adalah agama yang berwawasan perdamaian. 
Dalam prespektif Islam manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna
yang ditandai dengan kesiapan untuk berbakti kepada Tuhan karena dalam
dirinya telah ditiupkan salah satu tajjali Tuhan yaitu roh. Manusia hidup dekat
dengan Tuhan ketika manusia masih menjaga dan memelihara fitrahnya.
Namun, karena godaan materi maka manusia sedikit demi sedikit mulai
kehilangan nuansa spiritual dan kehilangan superioritas roh sebagai
penggerak kehidupan manusia dalam koridor visi ilahi (Ajaran et al., 2020).
Dalam prespektif tasawuf kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh
dari Tuhan. Ketika manusia semakin jauh dari Tuhan maka ia semakin jauh
dari kebenaran dan kebaikan Tuhan. Tasawuf mengadung prinsip positif yang
mampu mengembangkan masa depan manusia seperti melakukan intropeksi
(muhassabah) baik secara vertikal kepada Allah SWT maupun secara
horizontal kepada sesama manusia. Prinsip positif lain adalah selalu berzikir
kepada Allah SWT sebagai sumber gerak, sumber motivasi, dan sumber nilai
yang dapat dijadikan acuan hidup. Tasawuf mempunyai peran atau
tanggungjawab yang snagat besar dalam spiritualitas seseorang.
Manusia adalah makhluk yang mneyimpan kotradiksi di dalam dirinya.
Di satu sisi manusia adalah makhluk spiritual yang mengadung kebajikan,
disisi lain adalah makhluk material yang cenderung kepada keburukan.
Dalam kahzanah Islam ada tipologi jiwa manusia: 
1) Jiwa yang selalu tergerak melakukan keburukan (an-nafs al-amarah bi as-
su’)
2) Jiwa yang selalu tergerak pada mencela diri (an-nafs al-lawwamah)
3) Jiwa yang tenang (an-nafs al-mutma’innah)
Visi ilahi saat ini dibutuhkan oleh umat manusia sehingga setiap tindak
tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan
kepada Tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta
pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan. Visi ilahi yang kokoh dapat dicapai
dengan proses aktualisasi akhlak Tuhan yang ada dalam diri setiap manusia.
Selain itu, diperlukan pembinaan jiwa secara sistematis dan
berkesinambungan dengan memadukan antara olah pikir, olah rasa, olah jiwa,
dan olah raga (Muhibbin & Mahfud, 2018).
BAB III
KESIMPULAN

Spiritualitas pada kehidupan manusia akan memberikan arti dan arah yang
baik. Secara fitrah manusia memiliki spirit atau jiwa yang halus. Fenomena
hilangnya spiritualitas sebagai ketercerabutan manusia dari akar tradisi (sakralitas
Tuhan) sehingga manusia hidup di luar eksistensi dan fitrahnya, maka ia akan
mengalami kehilangan makna dan tujuan hidup. Konsep ketuhanan dapat
dipahami menurut berbagai perspektif, yaitu perspektif psikologis, perspektif
sosiologis, perspektif filosofis, dan perspektif teologis. Tuhan merupakan wājib
al-wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang ada dengan
sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya. Ketika
manusia semakin jauh dari Tuhan maka ia semakin jauh dari kebenaran dan
kebaikan Tuhan. Visi ilahi yang kokoh dapat dicapai dengan proses aktualisasi
akhlak Tuhan yang ada dalam diri setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Ajaran, K. S. L. P., & yang Damai, I. (2020). KEGIATAN BELAJAR 2.


DAFTAR ISI, 54.
Farida, U. (2014). Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid, Sains, dan
Seni. Fikrah, 2(2).
Hossein, N. S. (1994). Menjelalajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Generasi
Muda Muslim. Bandung: Mizan
Idris, A. F. (2018). HADIS QUDSI DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI
TRANSPERSONAL. Jurnal Theologia, 29(1), 141-164.
Karyanto, U. B. (2017). Pendidikan Karakter: Sebuah Visi Islam Rahmatan Lil
Alamin. Edukasia Islamika, 191-107.
Muhibbin, Z., & Mahfud, C. (2018). Penguatan Spiritualitas untuk Menghadapi
Fenomena Dehumanisasi Akibat Teknologi Maju dan Industrialisasi.
IPTEK Journal of Proceedings Series, (5), 266-271.
Pusat Bahasa, KBBI, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Selamat, M. I. (2005). Penawar Jiwa & Pikiran. Jakarta: Kalam Mulia.
Tharaba, M. F. (2016). Sosiologi Agama: Konsep, metode riset dan konflik sosial.
Madani.
Ulum, M. (2020). Metodologi Studi Islam (Spiritualitas Dalam Pendidikan Islam
Dalam Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Al Iman: Jurnal
Keislaman Dan Kemasyarakatan, 4(1), 1-21.
Zulaeha, E. (2018). Spiritualistas Taubat dan Nestapa Manusia Modern. Syifa Al-
Qulub, 2(2), 1-10.

Anda mungkin juga menyukai