Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Pendidikan Agama Islam ini dengan baik. Makalah ini disusun guna melengkapi
nilai mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Dengan adanya makalah ini, penulis
diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang Pendidikan Agama Islam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna sempurnanya
makalah ini. Akhir kata penulis mengharap makalah ini berguna bagi pembaca
pada umumnya dan penulis diri sendiri pada khususnya.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk engetahui pengertian spiritualitas
2. Agar mengetahui konsep ketuhanan
3. Agar mengetahui esensi dan urgensi visi ilahi
D. Manfaat Penulisan
1. Dapat memahami spiritualitas
2. Dapat mengetahui konsep ketuhanan
3. Mengerti esensi dan urgensi visi ilahi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritualitas
B. Konsep Ketuhanan
Konsep ketuhanan menurut istilah dalam Al-Qur’an disebut Illah,
Tuhan adalah objek yang diagungkan atau dipentingkan manusia, sehingga
manusia rela dikuasainya. bisa berarti benda baik abstrak (nafsu) maupun
nyata (manusia). sedangkan Al-Illah ialah yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepadaNya, merendahkan diri, takut dan
mengharapkanNya, padanya tempat berpasrah ketika dalam kesulitan,
berdo’a, dan bertawakal kepadaNya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dariNya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingat dan
terpaut cinta kepadaNya (Anwar, 2015).
Konsep ketuhanan dapat dipahami menurut berbagai perspektif, yaitu
perspektif psikologis, perspektif sosiologis, perspektif filosofis, dan
perspektif teologis. Menurut Idris (2018), perspektif psikologis erat kaitannya
dengan adanya keterbukaan pada Yang Adikodrati adalah fitrah manusia
sejak dia lahir ke dunia (fithrah mukhallaqah). Perspektif sosiologis
mengemukakan bahwa konsep tentang ketuhanan sebagai bentuk ekspresi
kolektif suatu komunitas beragama yang merupakan wilayah pembahasan
sosiologi agama. Sosiologi agama merupakan cabang ilmu sosiologi yang
mempelajari secara khusus masyarakat beragama. Objek dari penelitian
sosiologi agama adalah masyarakat beragama yang memiliki kelompok-
kelompok keagamaan (Tharaba, 2016).
Dalam perspektif sosiologis, sebuah komunitas akan memberikan porsi
yang besar bagi peran Tuhan dalam mengatur segala aspek kehidupan. Itulah
sebabnya di kalangan masyarakat primitif atau yang masih terbelakang dalam
pendidikannya, berbagai hal biasanya disandarkan kepada kekuatan
supranatural tersebut. Agama yang selalu membicarakan hal-hal yang sifatnya
eskatologis akan dengan mudahnya digantikan oleh teknologi yang dipastikan
hanya akan membicarakan hal-hal yang sifatnya logis. Agama menjadi
sesuatu yang tak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Agama tidak hanya
membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan
hal-hal yang logis pula.
Konsep Ketuhanan dalam perspektif filosofis mencakup pembahasan
tentang cara manusia bertuhan melalui rasio akan menjadi fokus utama pokok
bahasan ini. Menurut Mulyadhi Kartanegara (2015), paling tidak terdapat tiga
argumen filsafat untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu:
1) dalil al-ḫudūts
Al-Kindi dengan gigih membangun basis filosofis tentang kebaruan
alam untuk menegaskan adanya Tuhan sebagai pencipta. Tuhan dikatakan
sebagai sebab pertama, yang menunjukkan betapa Ia memancarkan semua
maujūd yang tersusun dan beragam.
2) dalil al-wujūd
Ibn Sina (980-1037), memperjelas konsep Tuhan al-Kindi dengan
mengungkapkan dalil wājib al-wujūd dan mumkīn al-wujūd. Menurutnya,
segala yang ada di alam hanya ada dua kemungkinan dan tidak ada
alternatif ketiga. Tuhan adalah wājib al-wujūd (wujud niscaya) sedangkan
selain-Nya (alam) dipandang sebagai mumkīn al-wujūd (wujud yang
mungkin). Namun, yang dimaksud wājib al-wujūd di sini adalah wujud
yang ada dengan sebenarnya atau wujud yang senantiasa aktual. Dengan
demikian, Allah adalah wujud yang senantiasa ada dengan sendirinya dan
tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya.
3) dalil al-‘ināyah
Menurut Hasbi (2016), konsep ketuhanan dalil ‘ināyah atau
perspektif teologis dalam masalah ketuhanan, kebenaran, dan
keberagamaan harus dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap
sakral dan dikultuskan karena dimulai dari atas (dari Tuhan sendiri melalui
wahyu-Nya). Artinya, kesadaran tentang Tuhan, baik-buruk, cara
beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan sendiri.
Pernyataan-pernyataan Tuhan ini menjadi dasar keimanan dan keyakinan
umat beragama, contohnya melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia
dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara
memuji dan mengagungkan Tuhan.
Inti dari pendapat para filsuf muslim klasik yaitu Tuhan adalah
pencipta dari segala sesuatu yang ada di alam nyata ini. Tuhan merupakan
wājib al-wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang
ada dengan sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk
mengaktualkannya.
Spiritualitas pada kehidupan manusia akan memberikan arti dan arah yang
baik. Secara fitrah manusia memiliki spirit atau jiwa yang halus. Fenomena
hilangnya spiritualitas sebagai ketercerabutan manusia dari akar tradisi (sakralitas
Tuhan) sehingga manusia hidup di luar eksistensi dan fitrahnya, maka ia akan
mengalami kehilangan makna dan tujuan hidup. Konsep ketuhanan dapat
dipahami menurut berbagai perspektif, yaitu perspektif psikologis, perspektif
sosiologis, perspektif filosofis, dan perspektif teologis. Tuhan merupakan wājib
al-wujūd atau wujud yang niscaya, artinya Allah adalah wujud yang ada dengan
sendirinya dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk mengaktualkannya. Ketika
manusia semakin jauh dari Tuhan maka ia semakin jauh dari kebenaran dan
kebaikan Tuhan. Visi ilahi yang kokoh dapat dicapai dengan proses aktualisasi
akhlak Tuhan yang ada dalam diri setiap manusia.
DAFTAR PUSTAKA