Anda di halaman 1dari 12

BAB II

MANUSIA BERTUHAN

Capaian Pembelajaran Umum


Mahasiswa Memahami Konsep spritualitas dalam Agama

Capaian Pembelajaran Khusus


Mahasiswa mampu memahami konsep spiritualitas sebagai landasan kebertuhanan
Mahasiswa mampu mengetahui tujuan manusia memenuhi spiritualiatas

A, Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dalam bentuk sesempurnanya
Makhluk. Keberadaan manusia adalah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan
makhluk yang lainnya. Manusia memiliki fisik, perasaan, hawa nafsu, juga akal yang
membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya.
Konsep manusia dalam islam adalah konsep yang utuh dan integral
mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari perangkat fisik hingga
perangkat akal dan psikologisnya.
Untuk itu, konsep manusia dalam islam tidak timpang sebelah. Konsep manusia
dalam islam juga tidak menganggap bahwa manusia boleh sebebas-bebasnya. Untuk itu,
ada aturan bagi manusia. Aturan tersebut bukan dalam rangka untuk membatasi atau
membuat manusia tersiksa. Hakikatnya aturan tersebut dibuat agar manusia terhindar dari
keterpurukan dan kesesatan. Manusia sengaja diberikan aturan agar tidak melakukan hal
yang merugikan dirinya. Maka itulah fungsi agama memberikan petunjuk agar manusia
bisa benar-benar selamat hidup di dunia dan akhirat.
dalam Islam, masalah ketuhanan juga menempati masalah dasar utama keimanan
dan keislaman. Keimanan terhadap tuhan menjadi standar keabsahan seseorang dalam
memeluk agama.
Sudah menjadi fitrah manusia, manakala seseorang mendapati kesulitan dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupannya, seseorang mengandaikan adanya
kekuatan lain diluar dirinya untuk membantu menyelesaikan problematika tersebut. Ini
artinya manusia secara naluriahnya membutuhkan yang lain yang dapat mengatasi dan
melampaui batas-batas kelamahan dan keterbatasan manusia. Dengan demikian tuhan
dihadirkan dalam kehidupan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia
yang terbatas. Semakin banyak kesadaran akan kelemahan diri, maka seakin seseorang
butuh terhadap tuhan, semakin tinggi pula ketergantunganya terhadap tuhan.
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi objek kajian ilmu,
karena kajian ilmu selalu parsial, terukur, terbatas dan dapat diuji secara berulang-ulang
pada lapangan atau laboratorium percobaan keilmuan. Dengan demikian, kehendak untuk
membuktikan adanya Tuhan melalui pendekatan ilmu, akan mengalami kegagalan,
karena sudah sejak dari awal tidak benar secara metodologis. Jika ilmu tidak bisa
menghadirkan Tuhan dalam laboratoruium untuk diujicobakan, bukan berarti Tuhan
lantas tidak ada, karena yang terjadi adalah kesalahan pada pendekatan metodologisnya.
Oleh karena itu, dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan perenungan yang
sangat intens,  sejak Yunani kuno bahkan hingga sampai saat ini.

B,Konsep Spiritualitas sebagai Landasan Kebertuhanan


Konsep Spiritualitas Sebagai Landasan Kebertuhanan Pada dasarnya hati manusia
itu bersifat Universal dengan catatan manusia itu telah mencapai titik fitrah (God Sport)
dan terbebas dari segala paradigma dan belenggu. Dalam keadaan seperti ini manusia
merasakan ketenangan jiwa yang mendasari segala tingkah lakunya, dan menggunakan
suara hati sebagai penuntun hidupnya menuju sebuah kebenaran, dan semua itu
bersumber dari yang maha kuasa yaitu Allah. Sebagaimana Firnan Allah SWT dalam
surat As Sajadah Ayat: 9 yang artinya: “Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan (perasaan) hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. Ketika manusia mengakui
bahwa Allah lah Tuhannya. Suara hati itu masih terus berjalan dan masih bisa dirasakan
hingga saat ini, kecuali hati yang tertutup. Sudah merupakan fitrah manusia untuk
memiliki rasa ketuhanan dan memiliki kebaikan hati nurani namun hal ini tidak terjadi
kepada orang yang hatinya telah tertutup, walaupun demikian ia pun masih bisa
merasakan hal ini namun dengan kadar yang rendah.

Doe (dalam Montohar, 2010: 36) mengartikan bahwa spiritualitas adalah dasar
bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral dan rasa memiliki.Spritualitas memberi arah
dan arti pada kehidupan. Spritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non-fisik
yang lebih besar daripada kekuatan diri kita, suatu kesadaran yang menghubungkan kita
langsung kepada Tuhan atau sesuatu unsur yang kita namakan sebagai sumber
keberadaan kita.
Spritual, spritualitas, spritualitasme mengacu kepada kosa kata latinspirit atau
spiritus yang berarti napas. Adapun kerja spirare yang berarti untuk bernapas.Berangkat
dari pengertian etimologis ini, maka untuk hidup adalah untuk untuk bernapas, dan
memiliki napas artinya memiliki spirit (Aliah B. Purwakania, 2006: 288).Spirit dapat
juga diartikan kehidupan, nyawa, jiwa, dan napas (Hasan Shadily, 1984: 3278).
Menurut Zohar spiritualitas adalah kemampuan internal bawaan otak jiwa manusia,
yg sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri dan menurut ahmad suaedy
spiritual adalah dorongan segala tindakan manusia dab menurut ginanjar spititual
merupakan energy dalam diri yang menimnulkan rasa kedamaian dan kebahagiaan dan
senantiasa dirindukan kehadirannya, (Nurwandani paristiyanti :32)
Spiritual dalam perspektif Islam, spirit merupakan jiwa yg halus yang di tiupkan oleh
Tuhan ke dalam diri manusia. Menurut AL-Qusyairi roh adalah lathifah (jiwa halus) yang
di tempat oleh Tuhan dalam diri manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter
yang terpuji. Roh merupakan fitrah manusia, dengan rih manusia mampu berhubungan
dengan Tuhan (alhaqiqah). Dengan adanya Roh manusia manusia mampu merasakan
dan meyakini keberadaan Tuhan.
Roh (spirit) membuat manusia dapat mengalami pengalaman batin(rohani), orang
yang mengalami pengalaman Rohani cendrung semakin spiritualitas. Spiritualitas
tergambar pada ekpressi rasa bertuhan dan religiositas tergambar pada ekpresi
keagamaan seseorang.
Nasib manusia turut di tentukan oleh karakternya, sedangkan karakter ditentukan oleh
budaya dan budaya di tentukan oleh kebiasaan, selanjutnya kebiasaan di tentukan oelh
sikap yang akhirnya sikap dipengaruhi oleh paradiqma. Paradiqma adalah cara pandang
manusia terhadap sesuatu.
Spiritualitas merangkum sisi-sisi kehidupan rohaniah dalam dimensi yang cukup luas.
Secara garis besarnya spiritualitas merupakan kehidupan rohani (spiritual) dan
perwujudannya dalam cara berfikir, merasa, berdoa, dan berkarya (Hasan Shadily: 3728).
Seperti yang dinyatakan William Irwin Thomson, bahwa spiritual bukan agama. Namun
demikian iatidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai keagamaan. Maksudnya ada titik
singgung antara spiritual dan agama.
Spiritual diri kita adalah diri sejati, bukan tubuh kita.Tubuh hanya sebagai kendaraan
bagi jiwa kita. Pengalaman-pengalaman negatif dan positif dapat membantu jiwa kita
berkembang, kearah mana yang akan di tempuh dalam perjalanan hidup ini.
Pemahaman ini menunjukkan, bahwa sebenarnya spiritualitas adalah potensi batin
manusia, sebagai potensi yang memberikan dorongan bagi manusia untuk melakukan
kebajika, dengan demikian tidak mengherankan bila spiritualitas ini senantiasa
diposisikan sebagai nilai utama dalam setiap ajaran agama.
Spiritualitas mengacu kepada kepedulian antar sesama. Sisi-sisi spiritualitas itu
digambarkan: “ Berusaha untuk menyelasaikan permasalahan orang lain bukan saja
merupakan kewajiban setiap orang itu adalah salah satu kesenangan yang paling baik dan
luhur dalam kehidupan. Jangkauan cinta seseorang harus sedemikian luas dan inklusif,
sehingga ada ruang di dalamnya bagi setiap orang.Cinta semacam itu dapat membuat
orang merasa, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah indah dan cantik.
Gambaran ini paling tidak menunjukkan kandungan nilai-nilai spiritualitas. Nilai-
nilai agung ini harus dibentuk dalam rangkain proses yang cukup panjang. Langkah
awala adalah bagaimana menghargai dan memuliakan orang lain di luar diri. Dalam
konteks ini dijumpai sejumlah pesan-pesan suci yang termuat dalam Al-qur’an, antara
lain: “ Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan)….(QS 49: 11). “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dengki dan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain…..” (QS 49: 12).

Lebih dari itu manusia juga didasarkan akan latar belakang historis kejadiannya.
Didasarkan akan posisi, fungsi, serta perannya sebagai makhluk sosial. Makhluk hidup
bermasyarakat.Bukan makhluk individu yang hanya menggambarkan egoismenya. Al-
qur’an mengingatkan: “ Hai manusia, kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal..”(QS 49:13).
Dalam pandangan islam, nilai-nilai yang terkandung dalam spirituallitas tidak
hanya terbatas dalam hubungan antar manusia saja, melainkan mencakup kawasan yang
lebih luas. Meliputi hubungan antar makhluk. Dijelaskan oleh sang Maha Pencipta: “
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu..” (QS 6: 36).
Rasulullah saw. bersabda: “ Kasih-sayangilah segala (apa) yang ada di bumi, maka
yang di langit akan mengasih-sayangimu..”
C. Alasan Manusia Memerlukan Spiritualitas 
Manusia Memerlukan Spiritualitas untuk tetap mampu mengerjakan panggilan
hidup di dunia ini.: Karena manusia adalah makhluk ciptaan yang terbatas, yang
memiliki kebebasan untuk memilih. Untuk menjaga integritas diri kita di tengah realita
dunia yang fana dan tak menentu. Karena kenikmatan yang dihadirkan oleh jabatan,
harta dan kekuasaan mudah menggiring kita memilih melakukan perbuatan-perbuatan
amoral dan penyalahgunaan wewenang, termasuk melanggar prinsip dan nilai-nilai yang
kita yakini. Integritas tanpa spiritualitas ibarat membangun rumah di atas tumpukan pasir
di tepi pantai, yang dapat roboh kapan saja akibat terpaan ombak laut. Kita membutuhkan
spiritualitas untuk mampu mempertahankan integritas di tengah dunia yang penuh
godaan yang menggiurkan. Kita tidak saja membutuhkan bakat, kapasitas intelektual dan
kompetensi untuk memenuhi panggilan hidup kita. Namun kita memerlukan spiritualitas
yang akan menjaga kita untuk tetap memilih cara-cara bermoral dan patut di tengah
aneka dinamika kehidupan yang tak menentu.
Iman, adalah keyakinan yang melandasi nilai-nilai spiritualitas, memampukan
kita memenuhi panggilan hidup sambil tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan akhirat, sehingga kita tidak terhanyut mengejar kebendaan dan materialisme
yang berlebihan. Soedjatmoko, salah satu pengikut Sutan Sjahrir, pernah berkata: “Hanya
imanlah yang dapat memberikan keberanian hidup bagi manusia. Iman juga dapat
memberikan keberanian hidup dan kemantapan moral untuk menolak peluang- peluang
yang gampang namun tidak becus, biarpun kelihatan aman dan biarpun dipakai banyak
orang, dan untuk tetap mengambil jalan yang lurus, betapapun sulit jalan yang harus
dilalui.” Untuk mengembangkan hati nurani yang takut akan Tuhan. Ketika hati nurani
yang takut akan Tuhan itu mulai merasuki kesadaran dan hasrat hidup kita, maka kita
memiliki kemampuan untuk menempuh hidup dengan integritas. Hidup dengan integritas
berarti hidup dengan prinsip bahwa dengan atau tanpa kontrol dari pihak lain, kita tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai yang kita yakini. Artinya, integritas kita diukur dari apa
yang kita pikirkan, katakan dan lakukan, bahkan pada saat kita sendirian. Untuk
mengendalikan dorongan ego dalam diri kita. Menyadarkan bahwa panggilan hidup
kita adalah anugerah pemberian dari Tuhan. Sarana untuk melatih kepekaan diri kita di
dalam menggali makna kenyataan hidup.
Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”,dalam al-Qur’an dipakai
untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya
dalam surat  al-Furqan ayat 43.
Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:
Dan Fir’aun berkata: ‘Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui
Tuhan bagimu selain aku’.
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun
benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-
Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:
ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-
Qur’an adalah sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat
berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk
kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan
di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak
mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap
manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-
orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi
atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti
dengan suatu penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus
membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya
satu Tuhan yang bernama Allah

D. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan


a. Tuhan menurut Pemikiran Barat
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan
atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah,. Dalam
literarur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan
adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robert Lubbock, dan Jevens. Menurut
Mansoer (2004:5-8) menyebutkan bahwa proses perkembangan pemikiran tentang
tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut :
a) Dinamisme : Menurut paham ini setiap benda mempunyai pengaruh pada
manusia dan ada yang berpengaruh negatif maupun positif.
b) Animisme : Kelompok masyarakat yang mempercayai adanya peran roh
dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap baik, mempunyai roh.
c) Politeisme : Dari kepercayaan dinamisme dan animisme tidak memiliki
kepuasan dan mereka beranggapan keduanya jika di gabungkan akan
meahirkan suatu kekuatan yang luar yang mereka sebut dewa dan dewa
memiliki tugas yang berbeda.
d) Henotheisme : Piliteheisme ternyata juga tidak memiliki kepuasaan terutama
bagi para cendikiawan, bagi mereka setiap Dewa memiliki kekuatan yang
berbeda.
e) Monotheisme : Dari beberapa tahapan yang telah mereka lalui, mereka
sampai pada satu kesimpulan bahwa dunia ini dikuasai oleh satu pengusa yang
mereka sebut dengan dewa tertinggi (sang Nyang Widi)
b. Tuhan menurut Pemikiran Islam

Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya nabi Muhammad SAW.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang
bersifat diantara perbedaan metodologi dalam memahami Al-Qur’an dan hadits
a) Mu’tazilah : merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta
menekankan pemikiran akal pikiran dalam memahamisemua ajaran dan
keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan
tidak mukmin. Ia berada diantara posisi mukmin dn kafir (manzilah bainal
manzilatain).
b) Qodariah : berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia kafir
atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung
jawab atas perbuatannya.
c) Jabariah : merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah
laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh tuhan.
d) Asy’ariyah dan Maturidiyah : yang pendapatnya berada diantara Qadariah
Jabariah.

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan
kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan
Mengingat Tuhan adalah Zat Yang Mahatransenden dan Gaib (ghā`ibul ghuyūb),
maka manusia tidak mungkin sepenuhnya dapat mempersepsi hakikat-Nya. Manusia
hanya mampu merespon dan mempersepsi tajalliyāt Tuhan. Dari interaksi antara
tajalliyāt Tuhan dan respon manusia, lahirlah keyakinan tentang Tuhan. Tajalliyāt Tuhan
adalah manifestasi-manifestasi Tuhan di alam semesta yang merupakan bentuk
pengikatan, pembatasan, dan transmutasi yang dilakukan Tuhan agar manusia dapat
menangkap sinyal dan gelombang ketuhanan.
Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap
penampakan (tajalliyāt) dari-Nya. Dengan kata lain, meyakini atau memercayai Tuhan
artinya pengikatan dan pembatasan terhadap Wujud Mutlak Tuhan yang gaib dan
transenden yang dilakukan oleh subjek manusia melalui kreasi akalnya, menjadi sebuah
ide, gagasan, dan konsep tentang Tuhan. Tajallī Tuhan yang esa akan ditangkap oleh
segala sesuatu (termasuk manusia) secara berbeda-beda karena tingkat kesiapan hamba
untuk menangkapnya berbeda-beda. Kesiapan (isti’dād) mereka berbeda-beda karena
masing-masing memiliki keadaan dan sifat yang khas dan unik.
Karena penerimaan terhadap tajallī Tuhan berbeda-beda kualitasnya sesuai
dengan ukuran pengetahuan hamba, maka keyakinan dan keimanan pun berbeda satu
dengan yang lain. Berbicara tentang keimanan, maka ia memiliki dua aspek, yaitu
keyakinan dan indikator praktis. Apabila mengacu pada penjelasan di atas, keyakinan
dapat dimaknai sebagai pembenaran terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep tentang
Tuhan) sehingga ia menjadi aturan dalam hati yang menunjukkan hukum sebab akibat,
identitas diri, dan memengaruhi penilaian terhadap segala sesuatu, serta dijalankan
dengan penuh komitmen.
Adapun indikator praktis keimanan dapat ditengarai dari sikap dan perilaku yang
dilakukan manusia. Orang yang memiliki keimananan kepada Allah harus dibuktikan
dengan amal saleh, yang menjadi indikator praktis tentang iman tersebut. Indikator
keimanan yang praktis dan terukur inilah yang bisa dijadikan patokan bagi seseorang
untuk menilai orang lain, apakah ia termasuk orang baik atau tidak baik. Nabi
mengisyaratkan bahwa indikator keimanan minimal ada 73, dari yang paling sederhana
seperti menyingkirkan duri di jalan umum sampai indikator yang abstrak seperti lebih
mencintai Allah dan rasul-Nya daripada yang lain.
Keimanan seseorang bertingkat-tingkat dan mengalami pasang surut seperti
sinyal handphone. Ada kalanya seseorang dapat mencapai tingkat keimanan yang tinggi
seperti sinyal handphone yang baru dicharge, namun ada kalanya seseorang memiliki
keimanan yang rendah seperti baterai handphone yang ngedrop.
Selama seseorang memiliki indikator keimanan walaupun ibarat sinyal HP hanya
tinggal segaris saja, ia tetap dikatakan beriman. Meskipun dikatakan masih beriman, ia
memiliki juga indikator-indikator kekufuran. Apabila si pendosa ini terus-menerus
melakukan indikatorindikator kekufuran dan sampai puncaknya ketika ia berani secara
terang-terangan melawan Tuhan dan rasul-Nya, maka ketika itu ia dikatakan telah
terjerumus dalam kekufuran (yang bersifat mutlak).
Sejalan dengan penjelasan di atas, maka menilai seseorang kafir atau tidak kafir,
bukan dilihat dari keyakinannya, sebab keyakinan tidak bisa dilihat. Yang dijadikan
patokan untuk menilai keimanan dan kekufuran seseorang adalah amalnya, sebagai
indikator praktis yang bisa diukur. Oleh karena itu, kita tidak boleh dengan gampang
menuduh orang kafir, apalagi penilaian tersebut hanya dilandasi oleh asumsi dan persepsi
sepihak. Iman terbentuk karena peran Tuhan dan manusia. Peran Tuhan dalam
pembentukan iman terletak pada karunia-Nya berupa akal dan potensi kebertuhanan yang
disebut dengan roh.
Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyai potensi keimanan kepada
Allah. Namun, mengingat potensi tersebut harus dipersepsi dengan cara tertentu sehingga
menjadi keyakinan, maka iman pun membutuhkan peran manusia. Proses pembelajaran,
pembiasaan, pengalaman, dan indoktrinisasi yang dilakukan oleh guru, orang tua, orang-
orang di lingkungan sekitar, dan kebiasaan sosial juga bisa menjadi faktor lain yang
mempengaruhi pembentukan iman. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembentukan iman identik dengan pembentukan karakter. Orang yang beriman adalah
orang yang berkarakter. Beriman kepada Allah berarti memiliki karakter bertuhan.
Dalam bahasa agama, karakter identik dengan akhlak. Menurut Imam Ghazali,
akhlak adalah bentuk jiwa yang darinya muncul sikap dan perilaku secara spontanitas dan
disertai dengan perasaan nikmat dan enjoy ketika melakukannya. Oleh karena itu, orang
beriman kepada Tuhan atau memiliki karakter bertuhan adalah seseorang yang meyakini
Tuhan sebagai sumber kebenaran dan kebajikan tertinggi, mengidentikkan diri dengan
cara banyak meniru akhlak Tuhan dalam bersikap dan berperilaku, dan memiliki
komitmen kepada nilai-nilai tersebut.

E. Menggali Sumber Psikologis, Sosiologis dan Filosofis Serta Theologis tentang


Konsep Ketuhanan

1. Tuhan dirasakan kehadirannya dalam perspektif psikologis

Menurut Hadist Nabi, orang-orang yang sedang jatuh cinta selalu mengingat dan
menyebut orang yang dicintainya (man anabba syai’an katsura dzikruhu), kata nabi juga
orang bisa diperbudak oleh cintahnya. (man ahabba syai’an fahuwa abduhu).

Ciri-ciri cinta sejati menurut Nabi:

(a) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain,

(b) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan orang lain,

(c) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding dengan kemauan orang
lain maupun dirinya sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada allah, maka ia lebih suka berbicara
kepada Allah SWT dengan membaca firmannya, lebih suka bercengkerama dengan Allah
dalam I’tikaf dan lebih suka mengikuti perintah Allah daripada perntah yang lain. Saat
itulah kehadiran Allah dapat kita rasakan.
2. Tuhan disembah masyarakat dalam perspektif Sosiologis

Berbeda dengan perspektif Theologis, Sosiologis memandang Agama tidak


berdasarkan teks keagamaan, tetapi berdasarkan pengalaman konkrit pada masa kini dan
pada masa lampau.Hingga kini agama mejadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap
sendi kehidupan Indonesia, bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia
yang modern tidak boleh lepas dari agama.Hal ini membuktikan bahwa agama tidaklah
sesempit pemahaman manusia mengenai kebenarannya, agama tidak saja membicarakan
hal-hal yang sifatnya eksatologis, melainkan juga membicarakan yang logis pula.Agama
juga tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil, karena pada
waktu yang bersamaan agama juga menyuguhkan hal-hal yang real.Dalam sosiologis,
agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial
tertentu. Oleh karena tu setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem
keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan
oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang
menginternalisasi sebelumnya. Dimana Manusia, masyarakat dan kebudayaan
berhubungan secara dialektik, ketiganya berdampingan dan berhimpitan saling
menciptakan dan meniadakan.

3. Bagaimana Tuhan dirasionalisasikan dalam perspektif Filosofis

Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentag Tuhan dengan pendekatan akal budi
manusia yaitu memakai apa yang disebut sebagai penekatan filosofis. Bagi orang yang
mneganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen dan Yahudi), akan
menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat
Ketuhanan adalah pemikiran manusia tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi
mereka.Usaha yang mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia
untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.Allah bukanlah diselidiki sebagai objek,
namun eksistensi alam semesta yakni makhluk yang diciptakan.

4. Konsep tentang Tuhan dalam perspektif teologis

Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan, kebenaran dan keberagaman harus


dicarikan penjelasannya dari sesuatu yang dianggap sakral dan dikultuskan karena
dimulai dari atas (dari tuhan sendiri melalui wahyu-Nya) artinya kesadaran tentang
Tuhan, baik dan buruk, cara beragama hanya bisa diterima kalau berasal dari Tuhan
sendiri. Tanpa inisiatif tuhan melalui wahyu-Nya, manusia tidak mampu menjadi mahluk
yang bertuhan dan beribadah kepada-Nya. Firman Allah :

‫ َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا َأ َح ُد‬. ‫ لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُوْ لَ ْد‬. ‫ص َم ُد‬
َّ ‫ هَّللَا ُ ال‬. ‫ قُلْ هُ َو هَّللا ُ اَ َح ٌد‬.

1) Katakanlah: “ Dialah Allah, Yang Maha Esa


2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu

3) Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan

4) dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia ( Q.S. Al-Ikhlas : 1-4 )

َ ‫ت ْال ِج َّن َو ااْل ِ ْن‬


‫س اِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬

Artinya “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepadaku” (Q.S Adz-Zariyat : 56)

F.Membangun Argumen tentang Cara Manusia Meyakini dan Mengimani Tuhan

Dalam KBBI, kata Tuhan berarti sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah
oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. Namun dalam bahasa Arab kata
Tuhan dinyatakan dengan Rabbun artinya pembimbing atau Ilaahun yang berarti gerakan
atau dorongan. Berdasarkan pengertian di atas dapatlah dipahami bahwa Tuhan itu dapat
berbentuk apa saja yang dipentingkan oleh manusia, ini berarti bahwa sesuatu yang
diyakini oleh manusia apapun bentuknya jika menjadi sesuatu yang dipentingkan maka
sesuatu itu telah menjadi tuhannya. Oleh karena itu jika diambil kesimpulan, tidak ada
manusia di dunia ini tidak mempunyai Tuhan, namun persepsi setiap manusia
memungkinkan terjadinya tanggapan dan pandangan tentang Tuhan yang berbeda-beda
sesuai degan tahap dan pola pikirnya.Mengingat Tuhan adalah zat yang maha
Transendental dan Ghaib, maka manusia tidak mngkin sepenuhnya dapat
mempersepsikan hakikat-Nya.Manusia hanya mampu merespon dan mempersepsikan
tajalliyatTuhan, dari interaksi antara tajalliyat tuhan dan respon manusia inilah yang
melahirkan keyakinan tentang Tuhan.Tajalliyat Tuhan adalah mannifestasi Tuhan di
alam semesta yang merupakan bentuk pengikatan, pembatasan dan transmutasi yang
dilakukan Tuhan, agar manusia dapat menangkap sinyal dan gelombang
ketuhanan.Dengan demikian, keyakinan adalah persepsi kognitif manusia terhadap
penampakan (tajalliyat) dari-Nya.Berbicara tentang keimanan maka terdapat dua aspek,
yaitu keyakinan dan indikator praktis.Jadi keyakinan dapat dimaknai sebagai pembenaran
terhadap suatu konsep (dalam hal ini konsep tentang Tuhan), sehingga menjadi aturan
dalam hati yang menunjukkan hukum sebab akibat, identitas diri dan mempengaruhi
penilaian terhadap segala sesuatu serta dijalankan dengan penuh komitmen.

G.Mendeskripsikan Esensi Dan Urgensi Visi Ilahi Untuk Membangun Dunia yang
Damai

Setelah kita membaca sub-pokok bahasan sebelumnya, maka dapat dipahami


bahwa agar manusia dapat membangun kehidupan yang damai, aman, penuh kasih, dan
sejahtera, maka dibutuhkan holistik, komperhensif, dan empatik.Ketiga hal itu tidak
mungkin dicapai oleh mereka yang memiliki kesadaran dan kecerdasan spiritual, karena
kesadaran ini merupakan visi ilahi yang dikaruniakan kepada orang orang pilihan-Nya.
Dalam sub-pokok bahasan kali ini, kita akan membahas cara manusia dalam
membangun relasi yang harmonis dengan tuhan sehingga manusia dapat menggapai visi
ilahi dalam membangun kehidupannya. Silahkan anda ikuti uraiannya dalam penjabaran-
penjabarannya sebagai berikut!

Dalam perspektif islam, manusia diciptakan sebagai mahluk yang sempurna.


Kesempurnaan manusia ditandai dengan kesiapannya untuk berbakti kepada Tuhan
karena dalam dirinya telah ditiupkan salah satu tajali Tuhan yaitu Roh.Ketika manusia
masih menjaga dan memelihara fithrah-nya itu, manusia hidup lebih dekat dengan Tuhan.
Dengan kata lain, manusia lebih bisa mendengar dan mengikuti tuntunan hati nurani,
karena nuansa spiritualisnya begitu maksimal. Namun, karena godaan materi, yang dalam
kisah Adam disimbolkan dengan syajarah al-khuldi (pohon keabadian), maka manusia
sedikit demi sedikit mulai kehilangan nuansa spirirtual dan kehilangan superioritas roh
sebagai penggerak kehidupan manusia dalam koridor visi ilahi. Dalam perspektif
tasawuf, kejatuhan manusia membuat ia semakin jauh dari Tuhan (diibaratkan dalam
kisah adam sebagai ketergelinciran manusia dari surga yang luhur dan suci ke dunia yang
rendah dan penuh problematika). Ketika manusia makin jauh dari tuhan, maka ia
semakin jauh dari kebenaran dan kebaikan Tuhan.

Tampak dari uraian diatas bahwa manusia adalah mahluk yang menyimpan
kontradiksi di dalam dirinya.Di satu sisi, manusia adalah mahluk spiritual yang
cenderung kepada kebajikan dan kebenaran. Namun di sisi lain, keberadaan unsur materi
dan ragawi dalam dirinya memaksanya untuk tunduk pada tuntutan kesenangan
jasmaniah. Sering terjadi konflik di dalam diri manusia, antara dorongan spiritual dan
material sehingga dalam khazanah islam dikenal paling tidak ada tiga tipologi jiwa
manusia, yaitu: an-nafs al-muthma’innah (jiwa yang tenang), an-nafs al-ammarah bis su(
jiwa yang selalu tergerak dalam melakukan keburukan), an-nafs al-lawwamah( jiwa yang
selalu mencela diri).

Agar manusia dapat tetap konsisten dalam kebaikan dan kebenaran Tuhan, maka
manusia dituntut untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan. Manusia tidak akan
mampu membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan apabila hidupnya lebih
didominasi oleh kepentingan ragawi dan bendawi. Oleh karena itu, sisi spiritualisnya
harus memainkan peran utama dalam kehidupan manusia sehingga ia mampu merasakan
kehadiran Tuhan dalam setiap gerak dan sikapnya. Apabila manusia telah mampu
mengasah spiritualisnya sehingga ia dapat merasakan kehadiran Tuhan, maka ia akan
dapat melihat segala sesuatu dengan visi Tuhan (ilahi).

Visi ilahi inilah yang saat ini dibutihkan oleh umat manusia sehingga setiap
tindak tanduk dan sikap perilaku manusia didasari dengan semangat kecintaan kepada
Tuhan sebagai manifestasi kebenaran universal dan pengabdian serta pelayanan kepada
sesama ciptaan Tuhan
Uji Kompetensi

1. Jelaskan bagaimana konsep spiritual sebagai landasan spiritual ?


2. Mengapa manusia memerlukan spiritual ?
3. Bagaimana cara manusia meyakini dan mengimani Tuhan ?
4. Jelaskan perbedaan dan persamaan agama samawi dan agama ardhi ?
5. Jelaskan mengapa manusia memerlukan agama dalam kehidupannya ?
6. Jelaskan bagaimana proses manusia mengenal Tuhan baik menurut agama
samawi maupun ardhi ?
7. Jelaskan konsep Tuhan menurut surah AlIkhlas : 1-4 ?
8. Jelaskan makna Agama dan pembagian Agama di dunia khususnya indonesia ?

Anda mungkin juga menyukai