Anda di halaman 1dari 20

Drs. Sinar, M. Ag.

Kuliah Psikologi Agama

BAB II MEMAHAMI PSIKOLOGI AGAMA

A. Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan beragama, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan.
Agama (pandangan umum) adalah sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan
manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki
narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk
menjelaskan makna hidup dan /atau menjelaskan asal usul kehidupan atau
alam.
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Pertanyaan berikutnya muncul, apakah agama mampu menunjukkan sebuah
kebenaran hidup? Ataukah agama hanya sebatas jalan menuju kehidupan
abadi? Ataukah dengan beragama seseorang dapat bertemu Tuhannya?
Kemudian sebenarnya apa yang dicari oleh seseorang Ketika berhadapan
dengan agama? Ketenangan hidupkah? Bersatu dengan Tuhankah?
Mendapatkan kebenaran hidup? Ataukah mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia?
Dan masih banyak pertanyaan yang muncul Ketika seseorang dihadapkan
dengan sebuah agama yang dianutnya. Sehingga tidak heran jika Ketika mereka
telah menganut sebuah agama atau keyakinan yang dianggapnya sebagai
agama, maka akan terjadi berbagai macam perilaku untuk menuju tujuan yang
diinginkan. Dalam konsep Islam, agama dianggapnya sebuah tuntunan dari
Tuhan (Allah), agar manusia mampu mencapai kebahagiaan dunia sampai
akherat. Namun cara memperoleh kebenaran tersebut yang berbeda, maka
hasilnya pun akan berbeda pula. Pertanyaannya, apakah dengan cara
memperoleh kebenaran yang berbeda, akan sama-sama memperoleh ridha
Allah?
Coba kita lihat konsep bahwa Ridha Allah pada dasarnya adalah tujuan
akhir Ketika seseorang ingin mendapatkan kebenaran jalan hidup. Sedangkan
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

kebenaran jalan hidup itu hanya diperoleh melalui petunjuk wahyu Allah,
sehingga upaya apapun yang dilakukan manusia akan sia-sia untuk memperoleh
kebenaran jika tidak mengikuti petunjuk Allah tersebut. maka salah satu jalan
yang baik adalah berusaha melalui tingkahlaku, dan berserah diri, melalui cara
ikhlas. Mengapa cara ikhlas dijadikan cara berserah diri? Ikhlas, cendrung
seseorang menyerahkan hasil dari apa yang diupayakan kepada Allah. Sehingga
bukan lagi menjadi wewenang manusia untuk menentukan hasil tersebut.
Sehingga dapat sebut bahwa berserah diri untuk memperoleh ketenangan hidup
agar bisa ikhlas. Sedangkan berserah diri itu dilakukan setelah mereka
melakukan perilaku baik (berbuat baik). Sedangkan perilaku baik itu dilakukan
agar dirinya mampu mencapai keseimbangan hidup, antar urusan dunia yang
harus dikejarnya melalui berbagai usaha, namun urusan akherat juga harus
diupayakan melalui beserah diri tersebut.

Gambaran ini jika dihubungkan dengan berbagai contoh kehidupan


manusia di atas, memang cenderung bertentangan. Contoh kehidupan
seseorang (Pak Suli kk) tersebut di atas, sepintas kurang memiliki rasa iman
(berkeyakinan bahwa kebenaran itu hanya diperoleh melalui jalan Tuhan.
Sedangkan jalan Tuhan, akan diberikan bagi orang-orang yang ingin berserah diri
kepada-Nya. Kisah Pak Suli dkk tesebut mencari kebenaran dan jalan hidup
Bahagia melalui cara yang sesat, artinya tidak mengikuti petunjuk dari yang
Maha Benar. Ujung-ujungnya bukan kebahagiaan dan ketenangan yang
didapatkannya, namun kesengsaraan yang tiada henti-hentinya.
Kemudian apa yang dapat kita jadikan pedoman agar kita dapat
membedakan antara kebenaran wahyu dengan intuisi? Kita perlu memperjelas
makna intuisi itu apa? Dan bagaimana dengan kajian ilmu jiwa. Kita sering lupa
bahwa upaya mencari kebenaran, berbeda dengan upaya mengikuti kebenaran.
Upaya mencari kebenaran, selalu didasarkan pada mengedepankan pada rasio
dirinya sendiri. Seolah-olah yang mampu menilai itu benar atau salah adalah
pikirannya sendiri. Hal inilah yang kemungkinan besar manusia sangat sulit
memperoleh kebenaran dari wahyu yang sebenarnya. Apalagi yang dianggap
wahyu itu cenderung disangkakan. Dan saangkaan itu dianggap suatu
kebenaran. Hal inilah yang terjadi pada masa filsafat Yunani yang dianut banyak
orang saat itu.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

Intuisi artinya perasaan mendalam ketika secara naluriah kita mengetahui,


bahwa sesuatu yang kita lakukan itu benar atau salah. Selain itu, intuisi juga
dapat diartikan saat kita merasakan ada kebaikan atau ketakutan di wajah orang
lain. Ketika seseorang dalam upaya mencari kebenaran itu disandarkan pada
intuisi seperti ini, maka rasiolah yang menguasainya. Dan segala sesuatu yang
bertentangan dengan rasio, akan ditolaknya.
Sekarang bagaimana dengan keimanan kita? Apakah kita masih
mengandalkan rasio dalam mencari kebenaran, atau menyandarkan kepada
wahyu (agama)? Memang, konsep yang kedua ini, mungkin terjadi banyak orang
masih mengalami kebingungan terkait dengan keyakinan ini. Namun ketika kita
dalam menempatkan kepercayaan untuk mencari kebenaran itu didasarkan
pada wahyu yang kita yakini, maka keyakinan akan tumbuh subur di jiwa kita.
Dan inilah yang disebut sebagai orang yang beriman.
Namun jika mereka ingat bahwa kebenaran, ketenangan dan kebahagiaan
hidup hanyalah pemberian Allah, maka jalan yang harus ditempuh tiada lain
adalah melalui jalan Taqwa. Ketika jalan taqwa dilakulan, maka semuanya akan
didapatkan, bahkan tidak hanya di dunia, tetapi sampai akherat. Sehingga
konsepnya sebagai beikut;

B. Istilah-Istilah Lain Terkait Dengan Agama


Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia
merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai
kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan tidak
selalu benar. Atau keyakinan semata-mata bukanlah jaminan kebenaran.
Kemudian bagaimana manusia dapat menemukan kebenaran? Dalam kajian bab
1 telah banyak dijelaskan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui perantara
wahyu, rasio maupun virtual.
Dari wahyu akan menimbulkan pemahaman agama, rasio banyak
cenderung ke pemikiran filsafat sedangkan virtual cenderung diperoleh melalui
pemaksaan kebenaran sesaat walaupun mungkin sangat bertentangan dengan
hati nuraninya. Hal ketiga inilah yang disebut sebagai kebenaran karena emosi.
Jika demikian ada suatu pertanyaan, maka wahyu itu diturunkan untuk
siapa? Mungkin kita lupa bahwa konsep kebenaran dalam kajian ilmu jiwa akan
banyak berbeda dengan kebenaran sebuah ajaran dogmatis. Ajaran dogmatis,
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang harus ditaati, dan jika ditolak akan
banyak berakibat kepada keburukan/kesengsaraan. Namun kebenaran dalam
kajian ilmu jiwa ini, memfokuskan pada pencarian jati diri yang disebut sebagai
pengakuan jiwa bahwa sesuatu yang dialaminya itu benar.
Sehingga tidak heran bahwa seseorang dalam memperoleh kebenaran itu
melalui jalan yang berbeda-beda, dan menghasilkan sebuah konsep kebenaran
yang berbeda pula. Kebenaran dari wahyu merupakan ajaran yang sebenaranya
disampaikan dari Tuhan sang Pencipta kepada manusia, dengan tujuan agar
manusia mampu melakukan perilaku di dunia ini sesuai dengan petunjuknya.
Ajaran wahyu ini selalu mengajarkan pada kebahagiaan hidup di dunia sampai
akherat, sehingga ketika jiwa seseorang belum mampu menemukan sebuah
kebenaran wahyu ini, maka akan melakukan segala sesuatu yang dianggapnya
benar. Sehingga bukan lagi sumber utamanya adalah ajaran wahyu, namaun
lebih banyak dipengaruhi oleh kesadaran suara hatinya.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Kita lupa bahwa manusia hidup dilengkapi
dengan kesadaran mencari sosok yang mampu menyelamatkan dirinya dari
kesengsaraan hidup. Karena muncul unsur upaya inilah, maka timbullah sebuah
kepercayaan. Dianggapnya kepercayaan itu adalah suatu ajaran dari wahyu.
Yang sebenarnya kepercayaan yang diperolehnya berasal dari perenungan yang
mendalam (buah pikir). Ketika kita dihadapkan pada sebuah kajian tentang
mencari titik perbedaan antara kepercayaan dan keyakinan pada diri kita
sendiri, maka ketika manusia kurang memahami tentang makna wahyu itu
sendiri, maka keyakinan dapat berubah dan bertumpu menjadi kepercayaan.
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada orang lain
dimana kita memiliki keyakinan padanya. Kepercayaan merupakan kondisi
mental yang didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya
Percaya Diri (Self Confidence) adalah meyakinkan pada kemampuan dan
penilaian (judgement) diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih
pendekatan yang efektif. Hal ini termasuk kepercayaan atas kemampuannya
menghadapi lingkungan yang semakin menantang dan kepercayaan atas
keputusan atau pendapatnya.
Norma agama adalah petunjuk hidup yang berasal dari Tuhan yang
disampaikan melalui utusan-Nya yang berisi perintah, larangan dan anjuran-
anjuran.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan
keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa
diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar
biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan
bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, dan lain-lain atau
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng
Dumadi, dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada
Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: menerima segala kepastian yang
menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan menaati segenap
ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari tuhan.
Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan
dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur
pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Kemudian bagaimana
kemampuan jiwa kita memahami tentang agama? Coba kita lihat konsep
kemampuan jiwa (trichotomy). Trichotomy mengandung makna;
1. Kemampuan menerima stimulus dari luar. Hal ini berhubungan dengan
pengenalan (kognisi). Sprt. Persepsi, ingatan, belajar, berfikir & problim
solving.
2. Kemampuan untuk melahirkan apa yang terjadi dalam jiwanya (emosi).
Kemampuan yang berhubungan dengan motif, dan kemauan (konasi).
Di sini jelas bahwa ketika kita menyandarkan kebenaran itu berdasarkan
wahyu, maka kita akan memperoleh kebenaran haqiqi, namun jika kita
menyandarkan kebenaran itu berdasarkan dari kemampuan jiwa (rasio) maka
kita akan memperoleh kebenaran semu. Dan kebenaran semu itu dianggap
haqiqi jika akal mereka menerimanya.
C. Fungsi Ajaran Agama dalam Kehidupan Bermasyarakat
Dilihat dari pengertian agama diatas, maka sebuah ajaran agama
memegang peran yang penting. Penyampaian ajaran agama yang tepat dan
sesuai, maka seseorang akan dapat hidup rukun dan saling menghormati dengan
warga yang memeluk agama lain. Dengan demikian, fungsi agama untuk
menciptakan kerukunan dan kedamaian akan terwujud, sehingga akan
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat.
Selain itu, sebuah agama juga berfungsi memberikan pengajaran moral
kepada manusia. Sebuah ajaran agama pasti menanamkan kepada umatnya
untuk berbuat baik dengan sesama makhluk hidup dan jika mereka tidak
melakukannya, maka akan mendapat siksa di akhirat dari Tuhan yang mereka
percayai. Dengan adanya ajaran moral dari masing-masing agama tersebut,
maka seseorang akan selalu berusaha berbuat hal kebaikan semasa hidupnya.
Pengertian agama secara singkat adalah sebuah kepercayaan manusia
kepada Sang Pencipta Nya. Dengan demikian, maka seseorang yang beragama
pasti akan selalu berbuat kebaikan, karena mereka tahu bahwa semua perilaku
akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Oleh Karena hal tersebut,
maka seseorang dianjurkan memeluk agama agar berperilaku terpuji sesama
umat manusia.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

D. Asal Usul Agama

Para tokoh sejarah agama dunia, menyatakan bahwa secara umum agama
muncul dari keyakinan manusia terdahulu yang sudah tertanam secara turun
temurun. Sebagian dari penganut agama, menunjukkan adanya bukti kebenaran
dari keyakinannya dengan berbagai dokumentasi keagamaan dan sebagian
lainnya hanya meyakini dalam hati saja. Mereka berpendapat bahwa agama
diciptakan oleh manusia sebagai agama budaya.
Ketika dilihat dari sejarah datangnya ajaran agama itu, ada yang berasal
dari Tuhan dan ada pula yang berasal dari budaya manusia. Ajaran agama yagn
berasal dari Tuhan, disebut sebagai ajaran agama wahyu, dan ajaran yang
berasal dari budaya, disebut sebagai agama warisan nenek moyang.
Pertama, yaitu bersumber pada ajaran–ajaran agama wahyu, mengatakan
bahwa asal muasal agama adalah dari Tuhan sendiri yang diturunkan kepada
manusia kedunia bersama–sama dengan penciptaan manusia pertama, yaitu
Adam, yang sekaligus juga merupakan nabi pertama. Selanjutnya dalam
perjalanannya yang lama kelamaan mengalami pasang surut, pada tempat dan
kurun waktu tertentu agama diselewengkan oleh pemeluknya. Sehingga agama
pada dasarnya sifatnya Monotheistik menjadi Poletheis dan bahkan Animis
maupun Samanis. Karena itulah kemudian Tuhan mengirim utusan – utusannya
untuk meluruskan kembali penyelewengan itu, yang tetap terjadi dari masa –
kemasa, sampai dikirimkannya wahyu terakhir kepada nabi Muhammad Saw.
Yang kedua, tinjauan secara antropologis, sosiologis, historis, maupun
psikologis yang intinya sama yaitu bahwa agama adalah merupakan fenomena
sosial, kultural, dan spiritual. Yang mengalami revolusi dari bentuknya yang
sederhana, yang biasa dinamakan agama primitive, atau disebut agama alam
(natural religion), atau agama budaya (Kepercayaan).

E. Teori Asal Usul Agama


Teori Asal Mula Agama, menurut beberapa Ahli sebagai berikut;
Teori-teori terpenting tentang asal mula dan inti agama. Masalah asal
mula dan inti dari suatu unsur universal seperti agama itu, tegasnya masalah
mengapa manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi
daripadanya? dan masalah mengapa manusia melakukan berbagai hal dengan
cara-cara yang beraneka warna untuk mencari hubungan dengan kekuatan-
kekuatan tadi? telah menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak lama. Adapun
mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang berbeda-beda. Teori-
teori bahwa tingkahlaku terpenting bagi manusia yang bersifat agama adalah:
1) Terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

2) Terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat
diterangkan dengan akalnya.
3) Terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam
jangka waktu hidup manusia.
4) Terjadi karena kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan
dalam alam sekelilingnya.
5) Terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa
manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga
masyarakatnya.
6) Terjadi karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.
Berikut ini adalah beberapa teori asal usul agama, yaitu:
1. Teori Jiwa
Menurut Tylor, asal mula agama adalah kesadaran manusia akan faham
jiwa. Kesadaran akan faham itu disebabkan karena dua hal, ialah:
1) Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang hidup dan
hal-hal yang mati. Suatu makhluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya
hidup; tetapi tak lama kemudian makhluk tadi tak bergerak lagi, artinya mati.
Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu
(hidup), disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh (jasmani) dan
kekuatan itulah yang disebut jiwa.
2) Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di
tempattempat lain daripada tempat tidurnya. Demikian manusia mulai
membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu
bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian lain itulah yang
disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan di antara manusia
bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup,
jiwa masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan
tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia jatuh pingsan dan tubuh berada
di dalam keadaan yang lemah. Walaupun melayang, hubungan jiwa dengan
jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu
seorang makhluk manusia mati, jiwa melayang terlepas, dan terputuslah
hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu tampak dan
nyata, kalau tubuh jasmani sudah hancur berubah debu di dalam tanah atau
hilang berganti abu, maka jiwa yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu
dapat berbuat semau-maunya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka
itu, yang tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus.
Demikian ketika pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan
adanya jiwa. Dan lambat laun akan menjadi kepercayaan kepada mahluk-
mahluk halus.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

F. Mengenal Pemikiran Edward Burnett Tylor


Edward Burnett Tylor adalah seorang antropolog otodidak berasal dari
Inggris yang tidak pernah mendapatkan pendidikan universitas. Namun, dalam
petualangan dan studi independennya kemudian ia mencetuskan teori
animisme. Sebuah teori yang dipercayainya sebagai kunci untuk memahami
asal-usul agama.
Tylor dilahirkan pada 1832 dalam keluarga Quakers yang makmur.
Quakers adalah kelompok Protestan yang ekstrim di Inggris. Mereka dahulu
dikenal hanya memakai pakaian sederhana dan jauh dari tren mode.
Mereka hidup dengan mengikuti tuntunan hati nurani dari dalam diri.
Namun, pada 1800-an kelompok ini kemudian meninggalkan kebiasaannya itu
dan mulai mendapat respek sosial, dan kemudian pandangan mereka pun
cenderung bergeser pada hal-hal yang liberal.
Perspektif ini dapat kita lihat dari beberapa karya Tylor yang kebanyakan
berani menentang bentuk kepercayaan dan praktik peribadatan Kristen
tradisional, khususnya Katolik Roma. Kedua orang tua Tylor meninggal ketika ia
masih muda, hingga akhirnya ia mempersiapkan diri untuk membantu
mengurus bisnis keluarga. Tak lama berselang, Tylor mengetahui dirinya telah
mengidap tanda-tanda penyakit tuberkolusa.
Karena itu, Tylor kemudian disarankan untuk bermukim di daerah beriklim
panas. Kemudian ia memilih wilayah Amerika Tengah dan berangkat ke sana
pada usianya yang ke-23 tahun tepatnya pada 1855.
Pengalamannya di Amerika ini kemudian menumbuhkan minatnya
terhadap kajian kebudayaan asing. Dalam perjalanannya, Tylor selalu mencatat
setiap kebudayaan dan kepercayaan yang ditemui.
Karena kegigihannya berkarya, pada 1884 Tylor diminta Oxford untuk
menjadi tenaga pengajar utama dalam bidang antropologi, sebuah program
studi baru di Oxford saat itu. Tak lama berselang akhirnya Tylor menjadi profesor
pertama di bidang antropologi dan menikmati karier panjangnya hingga masa
Perang Dunia I. Tylor menghembuskan napas terakhir pada 2 Januari 1917.
Kenangan karyanya yang paling fenomenal adalah buku berjudul Primitive
Culture (1817), yang terdiri dari dua jilid besar. Buku inilah yang juga menjadi
karya puncaknya dan merupakan salah satu acuan utama dalam setiap studi
tentang peradaban manusia.
Buku Primitive Culture pertama kali dipublikasikan kepada masyarakat
Inggris Victorian pada saat kaum agamawan sedang menghadapi tantangan-
tantangan yang dapat merusak keyakinan mereka.
Orang-orang sebelum Tylor dan beberapa yang seangkatan dengannya
masih memegang keyakinan tradisional bahwa asal-usul agama, paling tidak
untuk Kristen, harus dipahami sebagai sesuatu yang selalu berkarakter
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

menakjubkan, sebab agama Kristen berasal dari wahyu Tuhan dan terwujud
dalam tradisi gereja.
Menurut Tylor, hubungan antara basis-rasional pemikiran dengan evolusi
sosial dapat dilihat dari setiap aspek kebudayaan manusia, jika kita mau sedikit
meluangkan waktu untuk mengamatinya dengan dekat. Tylor mencontohkan
penggunaan magis, yang dapat kita temukan hampir dalam setiap masyarakat
primitif. Magis didasarkan pada gabungan ide-ide, satu kecenderungan “yang
terletak di dasar rasio manusia” (Tylor, 1817).
Jika seseorang dalam pemikirannya mengaitkan satu ide dengan ide lain,
maka logika akan menuntun mereka untuk menyimpulkan bahwa hubungan
yang sama juga terdapat dalam realitas di luar pikiran. Masyarakat primitif yakin
bisa mengobati atau menyakiti orang dari jarak jauh hanya dengan
menjentikkan jari atau menggunakan sehelai rambut, sepotong kain atau benda-
benda lain yang melekat pada tubuh orang yang dituju.
Tylor juga menemukan pola rasionalitas yang sama dalam dua
kemampuan yang sangat mendasar dan signifikan, yakni pengembangan bahasa
dan matematika. Dalam kedua hal ini, prosesnya berawal dari cara yang cukup
sederhana, dengan kata-kata yang ditiru dari suara-suara alam dan sistem
hitungan jemari tangan dan kaki. Kemudian selama berabad-abad, konsep-
konsep seperti ini perlahan berkembang.
Bahkan mitos sekalipun, yang selama ini dianggap sebagai gudangnya ide-
ide irrasional dan cerita-cerita komikal, pada dasarnya berkembang dalam pola
yang sama dengan pemikiran rasional tadi. Mitos lahir dari kecenderungan
alamiah untuk “menyelubungi setiap ide dengan pakaian konkrit”. Baik mitos
yang lahir dalam kebudayaan primitif maupun zaman modern, sama-sama
mengikuti hukum perkembangan (law of development) (Tylor, 1817).
Uraian Tylor mengenai mitos sangat penting, sebab mitos-mitos tersebut
telah membentangkan jalan yang harus ditempuh dalam menyelidiki asul-usul
agama. Dan tentu saja, kata Tylor, kita tidak akan bisa menjelaskan sesuatu
tanpa mengetahui apa sebenarnya hakikat sesuatu tersebut, sehingga pertama-
tama kita harus mendefinisikan agama terlebih dahulu.
Lebih lanjut Tylor mengungkapkan bahwa kita juga tidak bisa begitu saja
mengikuti keyakinan pribadi yang natural untuk mendefinisikan agama hanya
sebatas percaya kepada Tuhan, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh penulis-
penulis Kristen.
Tylor kemudian mengusulkan definisinya sendiri, yakni agama sebagai
“Keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual” (Tylor, 1817). Definisi ini menurut
Tylor dapat diterima dan memiliki kelebihan tersendiri, sebab sederhana,
gamblang, dan memiliki cakupan yang luas. Meskipun kita dapat menemukan
kemiripan-kemiripan lain dalam setiap agama, namun satu-satunya karakteristik
yang dimiliki setiap agama, besar maupun kecil, agama purba atau modern,
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

adalah keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku, dan berperasaan


seperti manusia.
Esensi setiap agama, seperti juga mitologi, adalah animisme (berasal dari
bahasa Latin, anima, yang berarti roh), yakni kepercayaan terhadap sesuatu
yang hidup dan punya kekuatan yang ada di balik segala sesuatu.
Animisme adalah bentuk pemikiran paling tua yang dapat ditemukan
dalam setiap sejarah umat manusia. Karena itu, Tylor berpandangan bahwa jika
kita ingin menjelaskan agama, pertanyaan pertama yang mesti kita jawab
adalah, “Bagaimana dan kenapa awal mulanya manusia mulai mempercayai
keberadaan sesuatu sebagai sebuah roh?”
Pertanyaan ini terkesan sederhana, namun jawabannya tidak
sesederhana yang dibayangkan. Orang-orang saleh akan mengatakan bahwa
mereka percaya kepada kekuatan spiritual, yakni Tuhan. Sebab kepercayaan itu
diwahyukan kepada mereka secara supranatural melalui Injil, Al-Qur’an, atau
kitab suci lainnya. Bagi Tylor jawaban seperti itu tidak bisa diterima. Hal itu
lantaran sebuah pengakuan secara pribadi dan tidak bersifat ilmiah.
Lebih lanjut Tylor menegaskan bahwa penjelasan kenapa umat manusia
meyakini kekuatan spiritual mesti dicari dalam sebab-sebab alamiah. Hal ini
tentu saja dimaksudkan untuk menyamakan dengan hal-hal yang dicari oleh
saintis dan sejarawan dalam menegaskan peristiwa-peristiwa non-religius.
Kita mau tidak mau harus berasumsi bahwa masyarakat kuno pertama kali
memperoleh ide tentang agama dengan mekanisme penalaran yang sama
dengan penalaran yang mereka terapkan dalam aspek kehidupan lain.
Melalui alam, penalaran masyarakat primitif yang menurut Tylor masih
“kekanak-kanakan” kemudian menemukan bentuk kepercayaan religiusnya
yang pertama. Seperti mitos-mitos mereka, pengajaran agama muncul dari
usaha rasional untuk menjelaskan cara kerja alam. Dan dari perspektif ini,
semuanya sudah jelas, bahwa sebagaimana roh menggerakkan seorang
manusia, maka spirit pun telah menggerakkan alam semesta.
Hasil penelitian Tylor, menunjukkan saat itu manusia masih menganggap
bahwa alam pikiran banyak dipengaruhi oleh adanya segala sesuatu yang
berasal dari luar dan sifatnya tidak nyata (roh). Pendapat penyatuan antara diri
manusia dengan sesuatu yang dianggap ghaib menjadi manusia akan memiliki
kekuatan lain di luar kuasa manusia itu sendiri. Sehingga kekuatan-kekuatan
baik dalam diri maupun dari pengaruh luar itulah ketika menyatu dalam diri
manusia akan menjadi jiwa.
Dengan kekuatan jiwa itu, manusia akan mampu menemukan jati dirinya
serta siapa yang berperan di balik kehidupannya. Dan yang dianggap sebagai
kekuatan lain itulah nantinya menjadi sosok yang selalu dipuja karena dianggap
sebagai Tuhan. Jika dipikirkan lebih dalam, maka kekuatan yang ada pada diri
manusia dan kekuatan dari luar yang menyatu itu merupakan hasil penyimpulan
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

dari pemikiran-pemikiran yang mendalam manusia (kontemplasi). Cara seperti


ini sudah berjalan sejak lama, yang di awali dengan munculnya tokoh-tokoh yang
ingin mencari sebuah kebenaran melalui berfikir mendalam yang disebut
dengan filsafat.
Konsep berfikir mendalam, sesungguhnya bersumber dari sejauh mana
kekuatan otak kita mampu mempelajari dan menemukan mengapa otak mampu
menggerakkan manusia, sehingga manusia disebut berperilaku. Prosesnya dari
otak sebagai konseptor perilaku, akan mengirimkan pesannya ke afaktor dan
kemudian diteruskan ke pusat gerak untuk beraktivitas. Dan manusia mampu
beraktivitas itulah yang menjadi bukti bahwa manusia itu hidup. Ketika manusia
disebut hidup, maka dalam dirinya terdapat jiwa.
Saat itu orang belum bisa membedakan antara bagaimana jiwa itu
berfungsi, dan bagaimana kerja otak. Di bawah ini akan diberi gambaran sekilas
tentang bagaimana kerja otak menurut pandangan psikologi.

System kerja otak


Gambaran di atas menunjukkan bahwa otak kita memiliki ribuan sel otak
yang masing-masing berfungsi sesuai dengan fungsinya. Seperti adanya otak
kanan, kiri, belakang, otak kesadaran, otak ambang sadar, otak bawah sadar dan
sebagainya. Namun ketika kita bicara jiwa, maka fungsi otak dengan alur kerja
jiwapun seolah-olah menyatu.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa otak akan mengirimkan pesannya
ke konseptor, dimana konseptor nantinya akan menyusun dari bayangan
menjadi kesan, yang nantinya dapat dibahasakan atau disimbolkan. Dari
konseptor ini, pesan dikirim melalui saraf otak ke afektor. Afektor inilah yang
mampu menerima pesan yang berupa simbul dan Bahasa untuk didistribuksikan
ke pusat gerak.
Kita mungkin lupa bahwa antara pusat gerak dengan pusat otot sulit
membedakannya. Namun yang jelas pusat gerak inilah yang nantinya akan
menyusun strategi kapan, dimana dan bagaimana pesan itu didistribusikan
menjadi sebuah tingkahlaku. Ketika manusia mampu melakukan tingkahlaku,
maka jiwa akan kelihatan bahwa disitu jiwa telah menguasai segala tinglahkalu
manusia melalui apa yang mereka lakukan baik berdasarkan perasaan maupun
hasil pemikiran. Yang dalam Bahasa sederhananya disebut sebagai tindakan
nyata.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

Kita kembali ke pembahasan tentang jiwa. Dimana jiwa, kita sering


membicarakannya, namun kadang kala kurang dapat dimengerti apa
sebenarnya jiwa itu. Menurut (Ki Hajar D); jiwa sebagai kekuatan hidup.
Aristoteles; Ilmu Jiwa merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala
kehidupan. Jika jiwa dikonotasikan sebagai kekuatan hidup atau gejala
kehidupan, maka kemungkinan besar tempatnya jiwa ada di afektor yang
nantinya akan memimpin semua gerak kehidupan manusia.
Kemudian bagaimana manusia dapat memahami jiwanya sendiri?
Pertanyaan seperti ini sering kita dengar, namun sulit dijelaskan secara nyata.
Banyak pendapat tentang dimana letak jiwa itu sendiri? Dan apa hubungannya
dengan istilah mental. Jika kita melihat istilah mental, mungkin dapat
diterjemahkan menjadi Mental=berhubungan dengan watak dan batin manusia.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa paham jiwa, merupakan
konsep diri manusia yang memahami segala perilaku kehidupannya. Sehingga
ketika akan melakukan segala aktivitasnya selalu berdasarkan pada
kesadarannya. Bagaimana jadinya jika manusia melakukan aktivitas
kehidupannya tanpa berdasarkan kesadarannya? Atau manusia berperilaku
yang bukan dari kesadarannya sendiri. Apakah itu disebut dengan perilaku jiwa?
Mungkin banyak orang mengatakan bukan perilaku jiwa.
Kemudian perilaku apa yang dilakukan seseorang tanpa berdasarkan
kesadarannya? Itulah makna faham jiwa dalam kajian ini. Ada yang menanyakan
juga bahwa jiwa juga mendapatkan suatu kesan yang berasal dari hasil
kesadarannya dan juga bukan berasal dari kesadarannya, dimana kesemuanya
itu akan menimbulkan kesan yang jelas pada otak kita.
Ketika otak sudah memperoleh kesan, maka kesan itu akan melekat ke
dalam otak kita menjadi sebuah pengetahuan yang dapat dipikirkan ketika
kondisi fisik kita dalam posisi sadar. Ambil contoh, ketika kita dalam keadaan
bermimpi. Saat bermimpi, seolah-olah kita berada di suatu tempat, atau
melakukan aktivitas layaknya orang sadar biasa. Namun ketika ditelusuri alur
cerita dalam mimpi itu, seolah-olah kita akan berjalan tanpa ada unsur
kesengajaan, dan seolah-olah berperilaku tanpa batas.
Di sini kita bisa mulai berfikir bahwa kesan yang diperoleh dari mimpi, akan
dapat ditangkap oleh otak kesadaran kita, namun alur apa yang kita alami dalam
mimpi itu, sangat sulit, bahkan tidak dapat dijangkau oleh kesadaran kita.
Sehingga apa yang terjadi dalam mimpi itu kadang kala menjadi sesuatu yang
menakutkan, apabila hal itu sungguh-sungguh terjadi. Namun ada pula yang alur
mimpi seolah-olah kita dapat melihat badan dan wajah kita sendiri (walaupun
masih samar), merasa bertemu dengan orang yang sudah mati, berada di suatu
tempat layaknya tempat itu seolah-olah pernah kita kunjungi.
Semua pengetahuan yang diperoleh dari kesan tersebut di atas, akan
masuk dalam otak kesadaran kita, kemudian ketika kita sadar akan melakukan
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

sebuah aktivitas berfikir ulang ataupun menganalisa bagaimana alur mimpi


tersebut. Ketika bermimpi di waktu berikutnya, seolah-olah sudah pernah
melihat tempat itu, dan sepertinya sering dikunjungi dan tidak asing. Hal inilah
yang dalam tata kerja otak disebut sebagai alam bawah sadar, yang muncul
secara tiba-tiba ke alam kesadaran. Namun posisi kita dalam kondisi tidak sadar
(tidur).
Jika pengalaman seperti yang kita rasakan dalam kasus-kasus mimpi atau
yang lainnya, maka sebenarnya kita sudah memahami tentang jiwa kita sendiri,
walaupun kadang kala masih mengalami kebingungan antara apa sebenarnya
jiwa jika dikaitkan dengan kesadaran.
Kemudian dalam pembahasan berikutnya, kita akan masuk dalam kajian
tentang psikologi agama, dimana arah pembahasannya cenderung kepada jiwa
agama atau keagamaan. Menurut Tylor, bahwa seseorang yang memahami jiwa
dirinya sendiri atau faham jiwa, dapat disebabkan dari dua segi, yaitu alam
kesadaran dalam alam mimpi.

Konsep Tylor tentang Jiwa

Menurut Tylor, bahwa tingkat kesadaran manusia dalam memperoleh


pengetahuan baru dapat ditimbulkan dari apa yang dilakukan manusia, apa yang
ada dalam mimpinya, bahwa termasuk makhluk halus yang disinyalir memiliki
kekuatan.
Ketika seseorang menemukan sebuah konsep baru pada dirinya sendiri,
dan hal itu disebut sebagai pemahaman jiwanya, maka disitulah manusia akan
mulai mengenal siapa Tuhan. Dan ketika manusia mulai mengenal Tuhan sagai
dzat yang berada di balik semua perilaku itu, maka saat itu manusia akan
cenderung mengakui keberagamaannya.
Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa
mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal
manusia. Makhluk-makhluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat
tinggal manusia, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap panca
indera manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat
manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan
manusia sehingga menjadi obyek daripada penghormatan dan
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban.


Agama serupa itulah yang disebut oleh Tylor animism.
Pada tingkat kedua di dalam evolusi agama, manusia percaya bahwa gerak
alam hidup itu juga disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa
dan gejala alam itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut,
gunung yang meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu,
jalannya matahari di angkasa, tumbuhnya tumbuh-tumbuhan dan sebagainya,
semuanya disebabkan oleh jiwa alam. Kemudian jiwa alam tadi itu
dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia seperti makhluk-makhluk dengan
suatu pribadi, dengan kemauan dan pikiran. Makhluk-makhluk halus yang ada
di belakang gerak alam serupa itu disebut dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga di dalam evolusi religi, bersama-sama dengan
timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, timbul pula
kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup di dalam suatu susunan
kenegaraan, serupa dengan di dalam dunia makhluk manusia. Demikian ada
pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa sebagai yang
tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang terendah.
Suatu susunan serupa itu lambat laun akan menimbulkan kesadaran bahwa
semua dewa itu pada hakekatnya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa
yang Maha tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu berkembanglah
kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama
monotheisme.

G. MISTIK, MITOS
1) Mistik
Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos
yang artinya rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam
kekelaman.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Mistik mempunyai arti:
a) Subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi untuk
memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu
dengan Tuhan, tasawuf, suluk, dsb.
b) Hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa.
Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik
atau mistisisme, merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba
mistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia,
tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya
dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama
sekali bagi penganutnya.
Dilihat dari segi sifatnya, mistik dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

1) Mistik Biasa yaitu mistik tanpa kekuatan tertentu. Dalam Islam mistik
yang ini adalah tasawuf.
2) Mistik Magis adalah mistik yang mengandung kekuatan tertentu dan
biasanya untuk mencapai tujuan tertentu. Mistik magis ini dapat dibagi
menjadi dua yaitu Mistik magis putih dan Mistik magis hitam.
Dalam prakteknya Mistik magis putih dan hitam, memiliki kegiatan yang
relatif sama, nyaris hanya nilai filsafatnya saja berbeda. Kesamaan itu terlihat
dari Mistik magis putih menggunakan wirid, doa’ dan Mistik magis hitam
menggunakan mantra, jampi yang keduanya pada segi prakteknya sama.
Mistik (Mystic) adalah kepercayaan bathiniah yang bersumber dari ajaran
agama. Sifatnya transenden, harus melalui penyaksian langsung. Mistis
lawannya adalah rasional. Rasional metodenya melalui logika, sedangkan mistik
tidak menggunakan logika, melainkan melalui penyaksian langsung atau lebih
jauhnya hanya dengan iman. Istilah “Mistik” oleh banyak orang sering dipahami
salah, disamakan dengan pemahaman “Klenik”, yaitu hal-hal yang berbau
supranatural. Padahal keduanya berbeda. Mistisisme (mysticism) bahkan
menjadi aliran pemikiran filsafat dalam budaya Persia. Saya tidak mau terlalu
jauh membahas aliran ini, karena pembahasan filsafat cenderung
membingungkan, susah dipahami.
Klenik (bukan klinik), adalah kepercayaan yang bersifat supranatural dan
fokusnya pada hal-hal ghaib. Mengungkap misteri di balik semua yang ada.
Klenis adalah kepercayaan bahwa di balik semua yang tampak ini ada kehidupan
lain yang sama tetapi tidak bisa dilihat. Dunia jin, setan, arwah, adalah dunia
Klenik. Istilah klenik hanya ada di Indonesia, tepatnya di dalam budaya Jawa.
Salah satu sumbernya adalah dari ajaran Sunan Kalijaga.
2) Mitos
Mitos mempunyai asal kata berasal dari bahasa yunani yang mempunyai
arti yakni sesuatu yang diungkapkan. Berdasarkan pengertiannya mitos
diartikan sebagai sebuah cerita yang memiliki sifat simbolik dan mengisahkan
rangkaian cerita secara nyata maupun imajiner.
Dalam arti yang lebih luas, mitos berati pernyataan, sebuah cerita atau alur
suatu drama. Lebih spesifik, membedakan pengertian mitos dari legenda dan
dongeng. Legenda merupakan cerita yang diyakini yang seolah-olah merupakan
kenyataan sejarah; sedangkan dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib
tanpa dikaitkan dengan ritual.
Di bidang keagamaan, Mitos berarti suatu sikap keagamaan atau
merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana,
serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan
kematian, takdir dan hakikat, tuhan dan pemujaan (Djamhari, 1988: 35).
Mitos kaitannya dengan agama menjadi penting bukan sematamata karena
memuat hal-hal gaib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluk adikodrati,
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia dan
karenanya mitos harus dijelaskan menurut fungsinya. Fungsi utama mitos bagi
kebudayaan primitif adalah mengungkapkan, mengangkat, dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi ritus,
serta memberikan peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.
Mitos ini berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya
konsepsi agama ketika itu di kalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya
mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan, yakni
apa yang sesungguhnya terjadi.
Mitos adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa
lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan
makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya
cerita atau penganutnya. Di lingkungan kita banyak ditemui mitos-mitos, yang
sering dikaitkan dengan sebuah ajaran agama atau kepercayaan tertentu.
Walaupun di kalangan masyarakat modern, mitos ini mulai ditinggalkan, seiring
masuknya agama islam dan agama samawi lainnya.
Contoh mitos yang dipercayai oleh adat Jawa khususnya adat Jawa Tengah
dan DIY, yaitu cerita Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Pada jaman dahulu, (tidak
disebutkan kapan kisah ini muncul) terdapat seorang raja yang bernama Prabu
Sri Maha Punggung atau Bathara Srigati dari Kerajaan Medang Kamulan. Prabu
Sri Maha Punggung memiliki seorang putri bernama Dewi Sri. Putri ini diyakini
sebagai titisan neneknya, yaitu Bathari Sri Widowati. Selain cantik, Dewi Sri ini
sangat cerdas dalam mengolah dan menanam padi. Karena kepandaiannya itu,
maka ia disebut sebagai Dewi Padi.
Adapun adiknya yang bernama Sadana sebagai Dewa hasil bumi seperti
ubi-ubian, sayuran, dan lainnya. Suatu ketika Prabu Sri Maha Punggung
mengutuk Dewi Sri menjadi ular sawah dan Sadana menjadi burung Sriti, karena
sudah pergi dari rumah tanpa ijin sang Prabu.
Peristiwa itu terjadi cukup lama, dan dikisahkan ketika sang Dewi Sri
merasa Lelah, ia yang menjelma sebagai ular sawah tiba di dusun Wasutira dan
tidur melingkar di lumbung padi milik seorang penduduk di sana yang bernama
Kyai Brikhu. Ketika Kyai Brikhu menemukan ulang yang melingkar di
lumbungnya, maka ia memelihara dan merawatnya. Dan ternyata ini dilakukan
setelah bermimpi mengenal ular sawah yang akan menjaga anaknya kelak.
Di suatu hari, Kyai Brikhu bermimpi lagi bahwa ular sawah tersebut minta
diberi sesaji berupa sedah ayu. Yakni sirih beserta perlengkapannya, bunga dan
lampu yang harus selalu dinyalakan. Mulai saat itu, Kyai Brikhu memberikan ular
sawah itu berupa sesajen (sedah ayu).
Melihat apa yang dilakukan Dewi Sri, Batara Guru memerintahkan bidadari
turun ke bumi untuk membujuk Dewi Sri agar mau menjadi bidadari di
Kahyangan. Hal tersebut disambut baik, terutama karena Dewi Sri juga melihat
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

adiknya yang sudah kembali menjadi manusia dan menikah dengan Dewi
Laksmitawahni. Dimana kelak Sadana akan diangkat menjadi Dewa jika sudah
memiliki anak. Akhirnya Dewi Sri dikembalikan ke wujud aslinya, yakni seorang
gadis yang cantik jelita.
Sementara itu, Kyai Brikhu yang selama ini merawatnya mulai memahami
bahwa ular sawah tersebut adalah Dewi Sri. Sebelum naik ke Kahyangan, Dewi
Sri mengucapkan terima kasih kepada Kyai Brikhu dan memberinya pesan agar
selalu memberikan sesajen di ruang tengah rumahnya agar sandang dan pangan
keluarganya tercukupi.
Sejak saat itulah orang Jawa selalu menyimpan atau memajang gambar
ulang di kamar tengah rumah mereka sebagai lambing sosok Dewi Sri yang
sudah memberikan kemakmuran dan kesuburan. Dan inilah sebabnya
masyarakat petani Jawa sangat menghargai ular sawah dengan cara
memberinya sesaji.

H. Mistis Dalam Agama Islam


Mistisisme dalam islam diberi nama Tasawwuf dan oleh kaum orientalis
barat disebut sufisme. Kata fufisme dalam istilah orientalis barat dipakai untuk
mistisisme islam Sufisme tidak dipakai untuk agama-agama lain. Tujuan dari
tasawuf itu sendiri ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan tuhan,
menyatu dengan tuhan dan seseorang itu menyadari akan kehadirat tuhan.
Agar dapat berkomunikasi antara roh manusia dan tuhan, biasanya
dilakukan dengan kontemplasi atau mengasingkan diri. Sedangkan Tasawuf
adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana cara dan jalan
seorang manusia supaya dapat lebih memdekatkan diri dengan Tuhan.
Mistisisme ini muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang
yang benar-benar berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan
juga kejumudan agama, yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa
manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak
boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-
takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa.
Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa
mencintai-Nya. Mereka mempercayai bahwa jiwa dapat menerima wahyu
Tuhan, melalui sebuah pengalaman religius langsung, bukan melalui indera-
indera atau kecerdasan. Dan dengan cara ini, akan mampu memasuki keintiman
dengan-Nya.
Mereka percaya bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah
ada dalam dirinya satu bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk
mencerminkan Kemegahan Tuhan, dan segala sesuatu ambil bagian dalam
kehidupan Tuhan. Kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki
pengalaman langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan diri.
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

Pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu
adalah bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan
Penglihatan Tuhan. Demi kesempurnaan Kehidupan Abadi dan agar yang
mereka percaya dapat dicapai, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya.
Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah cinta yang lebih besar
daripada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus telah menjadi kekasih-
kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka dalam penyatuan
dengan Sang Kekasih.
Ada beberapa teori yang berbeda-beda membahas tentang awal
munculnya aliran-aliran tasawwuf ini atau mistisisme dalam agama islam.
1) Pengaruh Kristiani dengan paham mengetahui dan hidup mengasingkan diri
dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan
tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Mereka
menggunakan kemah yang sederhana digunakan untuk berlindung diri.
Kemah itu juga disediakan untuk orang yang memerlukan perlindungan
ketika kemalaman. Mereka juga memberi makan bagi musyafir-musyafir
yang kelaparan. Adapun Sufi Islam meninggalkan kemewahan dunia,
memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh cara
hidup rahib-rahib umat kristiani ini.
2) Falasafat mistik pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat
kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan
penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah dialam samawi.
Ketika menginginkan kesenangan samawi, manusia harus bisa mencapai
Zuhud (membersihkan Roh dan meninggalkan hidup materi) untuk
melanjutkan berkontemplasi, dan ini jugalah yang mempengaruhi timbulnya
Zuhud dan sufisme dalam Islam.
3) Falsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari
zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali
keTuhan, tetapi ketika Roh sudah masuk kealam materi, Roh itu akan
menjadi kotor, dan jika ingin kembali ketempat asalnya Roh harus
dibersihkan terlebih dahulu. Sama dengan yang lainnnya, ketika ingin
membersihkan Roh manusia harus meninggalkan dunia dan mulai
mendekatkan diri kepada Tuhan.
4) Dalam ajaran Budha dengan faham Nirwananya. Untuk mencapai Nirwana
orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup berkontemplasi.
Faham Nirwana ini hampir sama dengan faham Fana’.
5) Dalam ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk
meninggalkan kehidupan di dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dan Brahman.
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa mistis dalam
agama islam disebut juga Sufi atau Sufisme. Mereka beranggapan bahwa
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak
boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-
takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa.
Kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman
langsung dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri;
pembersihan jiwa dari kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah
bagian mendasar bagi mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan
Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan Kehidupan Abadi, yang mereka percaya
dapat dicapai sekarang, adalah untuk melihat Tuhan dalam Dzat-Nya.
Setelah kita mempelajari tentang bagaimana sebenarnya alur pemikiran
ilmu jiwa Agama, maka kita mulai mencoba menterjemahkan tentang makna
kebenaran dalam pandangan psikologi Agama. Bagaimana perasaan anda Ketika
melihat istilah agama di atas. Agama itu sebuah tradisi, atau sebuah wahyu,
ataukah sebuah budaya masyarakat.
Pertama Jika istilah agama dianggap sebuah tradisi yang berlaku secara
turun temurun. Maka penjelasannya adalah agama akan membuahkan
keyakinan yang terpatri pada hati setiap orang yang menganutnya, sehingga
dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh percaya, merasa bertanggung
jawab atas terlaksanakannya ritual itu, dan mereka ingin melayani dari sosok
yang dianggap Tuhan sebagai pelindung, pengayom, dan pengabuk semua do’a-
doanya.
Suatu ajaran yang dianggapnya agama ini, diakui sebagai kebenaran yang
mutlak dari nenek moyangnya. Dan jika ada yang mengusik keberadaannya,
maka akan dibelanya sampai titik kematian. Karena kematian dalam membela
kebenaran ini dianggap sebagai suatu persembahan kepada Tuhan.
Cara beribadahnyapun sesuai dengan tata cara yang diajarkan secara
turun temurun, walaupun tanpa teks sebagai kitab sucinya, namun mereka
tetap bisa melaksanakannya dengan bimbingan seorang dukun, kyai, pawang
dan sebagainya. Coba anda lihat fenomena ajaran yang diakuinya sebagai
agama, namun diperolehnya dari ajaran nenek moyang secara turun temurun.
Contoh agama Jawa, (Kejawen). Dari mana para penganut ajaran itu
memperoleh kebenaran? Mengapa hal itu dianggapnya sebagai sebuah agama?
Mungkin karena keputusan pemerintah yang mensyaratkan sebuah agama
memiliki; Tuhan yang Esa, ada nabi dan rasul, ada kitab suci, mempercayai
akherat, mengajarkan perilaku baik dan menentang perilaku buruk, adanya
karma, dosa, neraka dan sebagainya.
Coba bandingkan dengan apa yang telah kita laksanakan. Bahwa kita
merasa memperoleh kebenaran berasal dari Agama Samawi, yang
mempersyaratkan pula seperti penjelasan di atas. Dimana letak persamaan dan
perbedaannya? Itulah pandangan psikologi agama, yang memfokuskan
Drs. Sinar, M. Ag.
Kuliah Psikologi Agama

terhadap kebenaran tingkahlaku keberagamaan seseorang, bukan mencari


kebenaran yang harus dibenarkan.
Contoh Aliran kejawen, mereka beribadah ada di mana? Menyembah
siapa? Sedangkan kita seorang muslim, beribadah di mana? Dan menyembah
siapa? Maka disini akan dicari sebuah pertanyaan bahwa mereka disebut
beribadah, sebenarnya melakukan apa? Mengapa hal itu dilakukan? Mereka
mencari apa? Jika tidak mendapatkan apa yang dicarinya, maka apa yang
mereka lakukan? Dan jika memperoleh apa yang dicarinya, maka apa yang
mereka rasakan?
Perlu diingat bahwa dalam kajian psikologi terkait pemahaman agama,
adalah tingkahlaku manusia dalam menyikapi sebuah kepercayaan yang
dipercayai sebagai sebuah agama. Bukan perincian amalan yang hanya
dipandang dalam satu sudut pandang sebuah kebenaran. Contoh disebut
dengan ibadah, pandangan psikologi mengarah kepada perlakukan hubungan
dengan Tuhannya, bukan memperbanyak amal untuk mencapai jalan
kebahagiaan (sorga).
Dengan demikian jelas bahwa psikologi tidak memandang ibadah
mahdhoh apa ghairu mahdhoh. Namun focus pembahasannya mengarah
kepada bagaimana perilaku seseorang yang ingin mencapai kepada Tuhannya.
Kedua Jika pemahaman agama dianggap sebagai wahyu. Maka
tingkahlaku dan perlakuan seseorang dalam mencapai Tuhannya, akan selalu
berpedoman kepada wahyu itu sendiri, sehingga tata peribadatannyapun akan
bersifat dokmatis. Bahkan umatnya melakukan ibadah yang tidak sesuai dengan
tuntunan, dianggapnya salah dan tidak diterima oleh Tuhan.
Bagaimana wahyu mengajarkan agama itu, dan mempersyaratkan apa
saja, maka umat akan selalu mengikutnya. Dan akan merasa terlaknat jika dalam
menjalankannya tidak sesuai dengan tuntunan wahyu itu. Apalagi
meninggalkannya, dianggapnya sebagai manusia paling durhaka. Berbeda jika
agama dimaknai sebagai budaya, maka kebenaran akan selalu difokuskan pada
akal fikiran dan kebersamaan. Apakah hal ini juga terjadi pada faham lainnya?
Coba anda melihat kisah faham Salamullah, yang ditokohi oleh Lia Aminudin
yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.

Anda mungkin juga menyukai