Anda di halaman 1dari 38

1|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

:: Filsafat Islam

Nalar dan wahyu

Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia
dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal
dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari
akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan
ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah
pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa
terhadap usaha para filosof.

Itu memang ada benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang


menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi
sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-
akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.

Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga
dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan
adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap
manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga
dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.

Jadi, dengan cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju


jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas tetap perlu kita jawab. Apakah
fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba
pengertiannya dari wahyu Allah ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu


membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.

I. Tiga pandangan ekstrem

Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia,
2|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

sebaiknya kita bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang


hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya menekankan satu segi
dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah
Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.

Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap harus dibuktikan


secara lengkap atau "ilmiah. " Sikap rasional justru menerima
keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah.
Dalam hampir semua pengandaian hidup, kita tergantung kepada
pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Saya belum
pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau
saya yakin bahwa kota itu ada; kalau pun saya pernah bermaksud
pergi ke sana, saya tetap tidak dapat mengecek sendiri apakah kota
itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu
memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional,
kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat
kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang kadang-kadang lebih
dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke
kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan
segala-galanya sebelum kita mengandaikannya (misalnya, apakah
sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul masih cukup
kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang
dipersoalkan, kita tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada
kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di
sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan yang
dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi
keberatan itu.

Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang


bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak tantangan semata-
mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap rasional
adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan
menjawabnya.

Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima


sesuatu apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya
pada cinta orang lain, pada pengalaman masyarakat yang tertuang
3|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya pada wahyu.
Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya.
Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian
ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan agama.

Akan tetapi, seperti saya tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya


irasional. Karena, ia bertolak dari sebuah pengandaian yang justru
tidak mungkin terpenuhi : Yaitu bahwa segala sesuatu dapat
dimengerti seseorang. Seorang rasionalis yang taat azas sebetulnya
tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala perbuatan
mengandaikan hal-hal yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek
setiap kali mau makan, apakah dalam makanan itu tidak ada bisa?)

Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau saya


Derlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme.

Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata


Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman akan
wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar
manusia tidak perlu.

Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa


cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada
segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-
paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan
dunia yang secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar
sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri
hakiki wahyu Allah.

Sikap terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua


pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil
secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab
Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-
benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis
dalam sumber wahyu itu.

Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan


4|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang diberikan


untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik.
Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil
nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.

Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran


: Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh
bertentangan. Misalnya, sebagai orang bernalar, seseorang menerima
ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis makhluk hidup di dunia
selama beratus-ratusjuta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman
kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu
dalam waktu tujuh hari.

Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga
sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama
sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak
mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus juga
tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4
dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai berada,
melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan
sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas
pengetahuan yang benar. Maka, menurut relativisme, Allah itu
sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini membuat
mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.

2. Pandangan seimbang

Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan


relativisme, maka menjadi jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap
itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita cari adalah sikap
seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat menerima serta
menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu, tetapi
menghubungkannya satu sama lain.

Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya


kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung
akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu benar. Kalau Allah
5|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran,
maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah
mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia.
Wajarlah orang beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.

Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya membuat


kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu
dipergunakan, bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia
tidak mau bernalar. Mengapa ?

Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi
dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu
berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak
mungkin dua-duanya secara prinsipiil bertentangan.

Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya


secara benar, artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai
pada hasil yang bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya
berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu
juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu
dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi
wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang
akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja
pada titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang
menciptakan nalar itu.

Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola :


Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara
radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah
secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong,
dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa nalar berasal
dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin alim seseorang,
semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.

Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar


manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada
perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara.
6|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna,


tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu
sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh
prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan
antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari
fihak nalar dan dari pihak wahyu.

Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu


pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan keterbatasan
nalar . .Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah tidak ada"
menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka
Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak
adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka.

Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di


pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri
tidak dapat salah karena wahyu adalah Sabda Allah yang Maha benar.
Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja
salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar
yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau
dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan
apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu
kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan
tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan
nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan
hasil nalar manusia lain.

Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan


pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja
keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada
pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara
wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha
mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu)
dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun
dalam kehidupan sehari-hari).

Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber


7|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan


sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.

Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar


supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk
mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang
terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar
adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk
mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan men-
dalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat
mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing
untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia
sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat
"dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju
Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran
Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang
sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi
kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu
semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa?
Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan
Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau
olehnya).

Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan


menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal
yangjuga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalaryangjustru juga
diberikan oleh Allah. Seakan-akan wahyu mau membuat manusia
malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya diberikan kepada
manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak
pernah, dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri
sebagaimana disebutkan di atas. Karena skap Allah menyangkut
manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga
terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi
tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia,
jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang
dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi,
wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang
8|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang


hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu pengetahuan,
tentang Allah sendiri.

Oleh karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar mau
menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental
seperti misalnya :Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah
terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai
dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan
sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia :
Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana
urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang
ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa adahidup
serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan
keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan
sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang
paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera; semua hal ini kita
carijawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman
kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban
tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan
besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan
yang sebetulnya tak benar.

Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang


semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan
mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman,
akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan
akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan
mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut hemat saya,
kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir
secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.

:: Filsafat Islam
9|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat

Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam

A. Nisbab antara filsafat dan ilmu agama

Dalam jadwal kuliah madrasah besar pengajaran filsafat tidak masuk


teras matakuliah pokok, tetapi digolongkan dalam 'ulum al-ajam (ilmu-
ilmu asing). Artinya tidak langsung bertempat antara ulum al-din (ilmu-
ilmu agama) yang berdasarkan tradisi dan disebut 'ulum al-naqliyyah.
Dilihat dari segi lain, filsafat, bersama dengan ilmu mantik dan filologi
(lughat, nahwat, sarf dan adab), dipergunakan sebagai ilmu alat
('aliyyah).

Kedudukan filsafat sebagai asing atau sebagai alat saja jelas berkaitan
dengan takrif teologi. L. GARDET mendefinisikan teologi muslim
sebagai apologi defensif. Teologi hanya perlu diperhatikan sewaktu-
waktu, yaitu bila dalil-dalil agama diragukan oleh orang di dalam atau
diserang dari luar . Karena itu AL-GHAZALI memperbandingkan
teologi dengan obat untuk orang sakit, bukan dengan gizi untuk orang
sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi "quieta possessio" (milik aman
tak terancam) teologi dapat dibebastugaskan, seperti ditulis oleh b.
TAYMIAH. Definisi GARDET tersebut disetujui pada masa sekarang
oleh FADLOU SHEHADI, ISMAIL FAROUQI dan a. HANAFI
(Pengantar theology Islam, Yogyakarta 1967, 126-127).

Jadi terdapat perbedaan besar dengan faham katolik yang


mengharapkan dari "intellectus quaerens fidem " (akal menyelidiki isi
iman) suatu sumbangan substansiil untuk integrasi akal dan iman dan
pembinaan sintese teologis spekulatif.

Karena syarat untuk hidup filsafat dalam Islam itu, maka para filsuf
harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai
pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka
10 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

mencoba hal itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka
ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.

B. Penolakan filsafat

Kontak pertama dengan dinamik filsafat Yunani mengobar-ngobarkan


semangat besar untuk berfilsafat dan untuk memperluas cakrawala budi
di luar batas-batas dari pelajaran hukum (fiqh). Para peminat filsafat
yang pertama belum menyusun sistem, hanya memetik beberapa buah
fikiran dari khazanah Yunani. Nafsu mereka untuk mengecap buah
terlarang itu mengakibatkan kecurigaan pada fihak fuqaha. Dalam dua
pernyataan, yang digabungkan dengan ahli fiqh ABU HANIF A (w.
767), yaitu FIQH AKBAR I dan AL-WASIYAT, dirumuskan 37 fasal
yang tidak boleh diganggu-gugat oleh kaum filsuf . Gerakan
MUTAZILA masuk lebih dalam istana filsafat. Maka dalam FIQH
AKBAR II, di mana pengaruh AL-ASH' ARI menampak ( ± 935),
dikeluarkan pernyataan resmi (29 fasal) yang membatasi penelitian
bebas oleh kaum filsuf.

Gerakan FALSAFAH hellenistis memperuncing ketegangan antara akal


dan iman. Reaksi para ulama berbentuk aneka warna. Dalam FIQH
AKBAR III (abad XI) filsafat dalam 33 fasal ditolak sebagai bid'ah,
kufurat, zandiq, mulhid, haram dan majuzi. Al-Tahafut menghitamkan
ajaran filsafat secara sistematis dan menyudahi kegiatan filsafat di
khalifat timur. Pada tahun 1196 Sultan ABU YUSUF AL-NASIR
melarang dengan keras pelajaran filsafat dalam seluruh daerah
kekuasaannya di barat. Perlawanan selanjutnya tampak dalam buku-
buku seperti "Al-radd ala'I-mantiq", karangan b. TAYMIAH (1300),
"lbtal al-falsafah" karangan b. KHALDUN (1400), yang dalam jadwal
ilmu pengetahuan mendaftarkan falsafat dalam golongan ilmu-ilmu
tolol setingkat dengan sihir, tenung, alkemi dan klenik (The
Muqadimmah, terj. F. ROSENTHAL, cet. 2, New York 1967, III 152-
153; 246-258). Akhirnya terbitlah "Tahafut al-falsafah", disusun oleh
KHAJAZADAH atas perintah sultan Turki Osmanli Mehmed Il (1451 -
11 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

1481).

Betapa hebat serangan anti filsafat itu dapat dimengerti dari fatwa
seorang mu'allim di madrasah Dar al-hadith di Dimashq, yaitu IBN AL-
SALEH TAHI'UDDIN ABU AMR 'UTHMAN AL-KURDI AL-
SHAH- RAZURI (1182 -1245), yang mengatakan:

"Filsafat merupakan pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan


kebingungan dan kesesatan. Barangsiapa yang berfilsafat, maka butalah
hatinya dari kebajikan shari'at suci. Siapa mempelajarinya, maka di
diiringi kehinaan, tertutup bagi kebenaran dan tergoda oleh setan Para
ulama menyelami lautan kebenaran dan bahasan tanpa ilmu mantik atau
filsafat. Barangsiapa berpendapat bahwa kedua ilmu berfaedah, maka
dia telah dibujuk dan ditipu oleh setan. Para penguasa wajib memecat
mereka dari pengajaran dan memenjarakannya" (bdk. E I, III, 927;
Hanafi, Pengantar filsafat Islam OC. 27-28).

Suara peringatan seperti itu bernafas panjang dan bergema jauh. MUH.
ABDUH menasehati, agar madhhab filsafat berhenti bicara saja
(Risalah Tauhid, terj. H. FIRDAUS, Jakarta 1963, 80). H. MUNAWAR
CHALIL menyerukan, agar kaum muslim takut akan pemakaian akal,
pikiran dan ra'y dalam urusan agama (Kembali kepada al-Qur.an dan
assunah, Jakarta 1956, 118-126). Filsafat mengacaukan jalan pikiran
benar (HAMKA, Pelajaran agama Islam, Jakarta 1956, 162-169). H.
RASHIDI memasang rambu bahaya pada jalan filsafat; itulah jalan ke
kufurat (Penyuluh Agama, 1956, 17) dst.

C. Pujian kepada para filsuf kuno

Berselang-seling dengan rambu "Awas Bahaya" dilihat juga tugu-tugu


kenang-kenangan. Sering dibaca sekarang, bahwa ummat Islam berhak
membanggakan diri atas nilai filsafat ajarannya dan atas para filsuf
termashur yang lahir di tengah-tengah mereka.
12 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Mengenai ujud pertama dibuktikan, bahwa pelaksanaan arkan al-islam


menghasilkan manfaat besar. Misalnya puasa berguna untuk kesehatan,
sikap badan dalam salat melemaskan sendi tulang dan memperpanjang
usia, manasik haji mempererat ikatan persaudaraan antara bangsa-
bangsa dll. Hasil baik itu disebut hikmah atau filsafat rukun (misalnya.
H. ASHSHIDI- QY, Ideologi Islam, Medan, tt.). Syukurlah bahwa hasil
baik itu menyusul. Hanya saja sebaiknya tidak diberikan predikat
filsafat. Nama tepat untuk hal itu adalah: akibat pragmatis dari
kewajiban terhadap Tuhan.

Secara tidak langsung filsafat dipuji oleh perbandingan antara alim


ulama dahulu dengan tokoh-tokoh filsafat baru. Misalnya: AL-
GHAZALI disebut Kant atau Bergson Islam; IQBAL dijuluki Descartes
Islam; AL- ASH' ARI, Leibnitz Islam (bdk. Gema Islam 2, 1962, 22; 3,
1962, 9-10). AL- GHAZALI juga digelari sebagai Descartes daIi David
Hume Islam (M. NAT- SIR, Capita Selecta, Jakarta 1957, 20, 179,
201). Perbandingan itu, bila dipikirkan dengan konsekwen, memuat
penilaian positif terhadap para filsuf kuno dan mengandung
kemungkinan - siapa tahu ? kehidupan kembali filsafat di dalam Islam.

:: Filsafat Islam

Filsafat Islam

Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang


Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Masedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-
daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-
orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan
jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di
13 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti


lskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia
serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di lran.

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke


daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan
kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria serta Irak, dan kekuatan
Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya
kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan
Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa
tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam
han'ya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa
para sahabat untuk masuk Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka
semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.

Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak
senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin memajuhkan
Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari
Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat
bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai
argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam
pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang
tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam


teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi
rasional ini ialah :

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau


tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan
dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti
harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka
14 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti


tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam
memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat
menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa.
Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri
sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan,
dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini
menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia
yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran.
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep
Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi
titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa
mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam
ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang
mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk
kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan


akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan
adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada
perkembangan Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa
antara abad ke VIII dan ke XIII M.

Filosof besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-
satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas mengatakan bahwa
antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan
sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama
dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya
membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam pembahasannya
memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar
juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat
15 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq
al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah
Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama.
Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat
ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam.
Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.

Dengan falsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha


memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di
dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep
dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-
benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat (kekhususan, particulars).
Yang penting bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri,
tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang
ada dalarn benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals ).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah juz'iah) yang
disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut
mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.

Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan


falsafat Islam. Dalam hal ini Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep
yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta
alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaan nya yang tak
dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak.
Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya
esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan
yang esa.

Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan falsafat emanasi (al-faid,


pancaran) dari Al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang
esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran
Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu
16 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang


diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak.
Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya
tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai
obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya
tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya
sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya
berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang
dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian
diperolehlah gambaran berikut:

Akal l11 menghasilkan Akal IV dan Saturnus.


Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman


Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh
falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal,
karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap
Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat
filosof Islam adalah melekat.

Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat emanasi Al-


Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi
melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui
17 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Akal l11 dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi


melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui


Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan
inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi, Ibn Sina dan
filosof-filosof Islam yang menganut faham emanasi.

Alam dalam falsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi
dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat
dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari
suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi
dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

Karena Tuhan berfikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa
yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti
tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I,
Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan
tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim,
yang dikritik AI-Ghazali.

Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula


soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat
yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina
(980 -1037 M). Sama dengan AI-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga
bagian:

1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh


dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu
tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra,
yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan,
rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di otak dan
terdiri dari:
18 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh


pancaindra.
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari
materi.
iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung
dalam gambar-gambar tersebut.
v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir
yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi
melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak
pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal


teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam
jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa
berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh
oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra
pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan
akal teoritis akan berkembang dengan baik.

Akal teoritis mempunyai empat tingkatan :


I. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk
rnenangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti
murni.
4. Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap
arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof.
Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan
Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
19 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang
tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan
dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang.
Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia
dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai
malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa
nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal
praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan
di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.

Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan


setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada
badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada
mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti
yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk
menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada
kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa
menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.

Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh


karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti
dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh
balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa
manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan
dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani.
Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di
akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa
manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum
berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat.
Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.
20 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan


kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga
dikritik al-Ghazali.

Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian


konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak
mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta
diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak
percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata
zat.

Pemurnian itu membawa Al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang


di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam
zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan
dalam falsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang
banyak dan hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul
pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz'iat, yaitu perincian yang
ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal.
Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka
Akal I, II dan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau
kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak
ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidang sains para
filosof percaya pula kepada tidak berubahnya hukum alam.

Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-


1111 M) terhadap pemikiran para filosof lslam. figa, diantara sepuluh
itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu :

1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman


2. Pembangkitan jasmani tak ada
3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam.
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-
Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya
21 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada
di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak
diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la
qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,
maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa
kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an
disebut tak dapat diampuni Tuhan.

Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu
Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas
bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang
sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam
memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali
untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam ini qadim.

Mengenai masalah kedua, pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan


teks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanya pembangkitan
jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa yang
menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang
menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali". Maka
pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya
pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an, yang adalah wahyu dari
Tuhan.

Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian


yang ada di alam, juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan
dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat
59 dari surat Al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-
Nya.

Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di dunia lslam bagian timur


dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di
samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan
sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf.
22 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru
yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh
teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia
meninggalkan faham Mu'tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan
dari teologi Mu'tazilah, teologi baru yang kemudian dikenal dengan
nama teologi al-Asy'ari.

Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah, teologi Asy'ari bercorak


tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut :

1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah, sehingga


kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka
tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya
dengan pemikiran ilmiah dan falsafi.

2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini merupakan manusia


lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum bisa
berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk
membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah
atau fatalisme, yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di
sini bersikap statis.

3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari faham kehendak


mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak
mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu
hukum alam dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan
alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum
alam, selamanya membakar , tetapi biasanya membakar sesuai dengan
kehendak mutlak Tuhan.

Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada


berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis, sebagaimana halnya
dengan teologi rasional Mu'taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi
23 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak


mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak
berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman
Mu'tazilah dan filosof-filosof Islam.

Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam,


sebaliknya, pemikiran filosofis masih berkembang sesudah serangan a1-
Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-
Wida' kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa
bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang
kepada kebenaran yang meyakinkan.

Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah, bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan,
kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan
mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk
memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh
dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia
sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat
dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah
(1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai
jawaban terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia uraikan dalam
Tahafut al-Falasijah.

Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai


permulaan dalam zaman, konsep AI-Ghazali bahwa alam hadis, alam
mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung
arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di
samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam
kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.

Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-
24 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum alam


diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat
Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas
air.

Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit
dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim
menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih
merupakan uap.

Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah
satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah
orang-orang yang tak percaya tidak melihat ' bahwa langit dan bumi
(pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami
jadikan segala yang hidup dari air.

Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal
dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.

Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-


Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan
menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-
Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah
konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping itu, kata
khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan
penciptaan bukan dari "tiada", seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi
dari "ada", seperti yang dikatakan filosof-filosof. Ayat 12 dari surat al-
Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari, tanah.
Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari
sesuatu yang "ada", yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas.
Falsafat memang tidak menerima konsep.

penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada", kata Ibn Rusyd tidak
25 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

bisa berobah menjadi "ada", yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi
"ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi
asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi.
Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun
langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis ). Qadimnya alam,
menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau
ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya berarti
sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang
diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula
di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi
Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta dan
alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari
zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan demikian
sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan
Tuhan.

Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap
akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari
surat Ibrahim menyebut:

Jangan1ah Sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-


rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan
di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan ( demikian pula) langit.

Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat,


Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian
pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini
mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang
akan hancur susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air dan
tanah kembali dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi
dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari
materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan
demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan
26 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

kandungan al-Qur'an.

Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk


mengkafirkan filosof dalam falsafat mereka tentang qadimnya alam.

Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-
Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat
al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah
pendapat filosof dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan
pendapat al-Ghazali.

Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang


terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak pernah
mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui
perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan
mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat
ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak
mempunyai pancaindra.

Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-
Tahafut bahwa filosof-filosof Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada
itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di
dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada
orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di
dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti
ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.

Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk


mengkafirkan kaum filosof dalam pemikiran tentang tidak tahunya
Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan
jasmani. Ini bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya adalah
kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka.

Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain,


27 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan,


karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak
berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan
dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi
arti majazi. Arti ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk pergi ke
arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil
arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum
awam, karena mereka tak dapat memahaminya.

Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam
harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1
dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme.
Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan
bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah.
Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang
menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa.

Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami
kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1
di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini
terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia.

Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah


pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat.

Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi


tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf
untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an
falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan
ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat
Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat
dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas
pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme.
Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-
28 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid


Ahmad Khan,dan lain-lain.

:: Filsafat Islam

Agama, Filsafat dan Ilmu

Dalam Tahshîl al-sa'âfidah AI-Fârâbi dengan jelas menyatakan


pandangannya tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan antara
keduanya:

Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau


memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan
tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan
tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu
yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat .Tetapi
jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat
kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan
pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan
oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut
sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika
pengetahuan-pegetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode
persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat
populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.

Al-Fârâbî menghidupkan kembali klaim kuno yang menyatakan bahwa


agama adalah tiruan dari filsafat. Menurutnya, baik agama maupun
filsafat berhubungan dengan realitas yang sama. Keduanya terdiri dari
subjek-subjek yang serupa dan sama-sama melaporkan prinsip-prinsip
tertinggi wujud (yaitu, esensi Prinsip Pertama dan esensi dari prinsip-
prinsip kedua nonfisik). Keduanya juga melaporkan tujuan puncak yang
29 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

diciptakan demi manusia yaitu,kebahagiaan tertinggi dan tujuan puncak


dari wujud-wujud lain. Tetapi, dikatakan Al-Fârâbî, filsafat
memberikan laporan berdasarkan persepsi intelektual. Sedangkan
agama memaparkan laporannya berdasarkan imajinasi. Dalam setiap hal
yang didemonstrasikan oleh filsafat, agama memakai metode-metode
persuasif untuk menjelaskannya.

Tujuan dari 'tiruan-tiruan' kebenaran wahyu kenabian dengan citra dan


lambang telah dijelaskan sebelumnya. Sifat dari citra dan lambang
religius ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Menurut Al-Fârâbî,
agama mengambil tiruan kebenaran transenden dari dunia alami, dunia
seni dan pertukangan, atau dari ruang lingkup lembaga sosio-politik.
Sebagai contoh, pengetahuan-pengetahuan yang sepenuhnya sempurna,
seperti Sebab Pertama, wujud-wujud malakut atau lelangit
dilambangkan dengan benda-benda terindra yang utama, sempuma, dan
indah dipandang. Inilah sebabnya mengapa dalam Islam, matahari
melambangkan Tuhan, bulan melambangkan nabi, dan bintang
melambangkan sahabat nabi.

Fungsi dari tugas-tugas politis seperti raja dengan segenap hierarki


bawahannya berikut fungsi-fungsi kehormatannya memberikan citra
dan lambang bagi pemahaman akan hierarki wujud dan perbuatan-
perbuatan ilahi saat menciptakan dan mengurus alam semesta. Karya-
karya seni dan pertukangan manusia memperlihatkan, tiruan-tiruan
gerakan kekuatan dan prinsip alami yang memungkinkan terwujudnya
objek-objek alami. Sebagai contoh, empat sebab Aristotelian yang
disebut Al-Fârâbî sebagai empat prinsip wujud, dapat dijelaskan dengan
merujuk pada prinsip-prinsip pembuatan objek-objek seni. Secara
umum, menurut Al-Fârâbî, agama berusaha membawa tiruan-tiruan
kebenaran filosofis sedekat mungkin dengan esensi mereka.

Dalam Islam, pandangan mengenai perbedaan antara agama (millah)


dan filsafat (falsafah) umumnya diidentifikasi dengan mazhab
masysyâ'î ilmuwan filosof di mana Al-Fârâbî termasuk di dalamnya.
30 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Rahman telah memperlihatkan bahwa perbedaan ini diikuti rumusan


terinci menyangkut filsafat agama Yunani-Romawi dalam
perkembangan-perkembangan berikutnya. Namun, gagasan mendasar
yang ingin disampaikan melalui perbedaan ini bukan sesuatu yang asing
bagi perspektif wahyu Islam. Gagasan yang sama di ungkapkan para
Sufi dalam kerangka perbedaan eksoterik-esoterik. Gagasan itu
berbunyi demikian: kebenaran atau realitas adalah satu namun
pemahamannya oleh pikiran manusia mempunyai derajat kesempurnaan
yang bertingkat-tingkat. Meskipun dia juga seorang Sufi, Al-Farabi di
sini berbicara sebagai wakil dari tradisi filosofis.

Dalam perspektif falâsifah, filsafat dan agama merupakan dua


pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak
dibedakan dengan tajam di sini bukan filsafat, yang dipahami sebagai
sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan
secara bebas; dan agama, yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara
total. Ini sangat jelas tampak dari perkataan dan Al-Fârâbî tentang
filsafat dan agama. Istilah yang digunakannya untuk menyatakan
perbedaan agama dari filsafat adalah millah; bukan dîn. Ini
menunjukkan kehendak Al-Fârâbî membedakan filsafat secara kontras
tidak dengan tradisi wahyu dalam totalitasnya, melainkan dengan
dimensi eksoterik tradisi wahyu. Karena itu, dia lebih suka
menggunakan istilah millah daripada dîn. Millah lebih tepat karena dia
mengacu pada komunitas religius di bawah sanksi ilahi dengan
seperangkat kepercayaan dan undang-undang atau perintah-perintah
hukum moral yang didasarkan pada wahyu. Dimensi ekstemal dari
tradisi wahyu harus diidentifikasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan
praktik-praktik komunitas religius ini.

Dalam wacana yang dikutip di atas, Al-Fârâbî tampaknya berpendapat


ada dua jenis filsafat. Jenis pertama, filsafat yang disebutnya filsafat
populer, diterima secara umum dan eksternal. Dari paparannya tentang
karakteristik filsafat tersebut dan kalâm, khususnya penjelasan dalam
Ihshâ' al-'ulûm, tidak diragukan bahwa Al-Fârâbî menganggap kalâm
31 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik
yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya
diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan
spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang
didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-
yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual
dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah
sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena
millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').

Kemudian, bagi Al-Fârâbî, filsafat merujuk pada kebenaran abadi atau


kebijaksaaan (al-hikmah) yang terletak pada jantung setiap tradisi. Ini
dapat diidentifikasi dengan philosophia perennis yang diajarkan oleh
Leibniz dan secara komprehensif dijelaskan dalam abad ini oleh
Schuon, Berbicara mengenai beberapa tokoh kuno pemilik
kebijaksanaan tradisional ini. Al-Fârâbî menulis:

Konon, dahulu kala ilmu ini terdapat dikalangan orang-orang Kaldea,


yang merupakan bangsa Irak, kemudian bangsa Mesir, dari sini lantas
diteruskan pada bangsa Yunani, dan bertahan di situ hingga diwariskan
pada bangsa Syria, dan selanjutnya, bangsa Arab. Segala sesuatu yang
terkandung dalam ilmu tersebut dijelaskan dalam bahasa Yunani,
kemudian Syria, dan akhirnya Arab.

Dikatakan Al-Fârâbî, bangsa Yunani menyebut pengetahuan tentang


kebenaran abadi ini kebijaksanaan "paripuma" sekaligus kebijaksanaan
tertinggi. Mereka menyebut perolehan pengetahuan seperti itu sebagai
ilmu', dan mengistilahkan keadaan ilmiah pikiran sebagai filsafat'. Yang
dimaksud dengan yang terakhir ini adalah tidak lain pencarian dan
kecintaan pada kebijaksanaan tertinggi. Menurut Al-Fârâbî, orang-
orang Yunani juga berpendapat bahwa secara potensial kebijaksanaan
ini memasukkan setiap jenis kebajikan. Berdasarkan alasan ini, filsafat
lantas disebut sebagai ilmu dari segala ilmu, induk dari segala ilmu,
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan dan seni dari segala seni.
32 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

Maksud mereka sebenarnya, tutur Al-Fârâbî, adalah seni yang


memanfaatkan segala kesenian, kebajikan yang memanfaatkan segala
kebajikan, dan kebijaksanaan yang memanfaatkan segala
kebijaksanaan.

Al-Fârâbî agaknya sadar sepenuhnya akan fakta berikut: sementara


esensi dari kebijaksanaan abadi ini satu dan sama dalam setiap tradisi,
sejauh ini tidak ditemukan model pengungkapan yang sama pada
tradisi-tradisi ini. Tetapi, Al-Fârâbî tidak menjelaskan deskripsi cara
pengungkapan ini dalam kasus tradisi pra-Yunani. Tetapi dia menyebut
filosof-filosof Yunani, tepatnya plato dan Aristoteles, khususnya lagi
Aristoteles, sebagai pencipta bentuk-bentuk pengungkapan dan
penjelasan baru dari kebijaksanaan kuno ini, berupa pengungkapan
dialektis atau logis. Pengetahuan tentang bentuk-bentuknya baru
diwarisi oleh Islam melalui orang-orang Kristen Syria.

Sebagaimana telah kita lihat, Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan


tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa
sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran
pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran". Mengikuti
Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada
pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional
serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang
didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu,
filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika
(filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik).
Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks
satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan
universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan
meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis
menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk
menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda
itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual
yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang
33 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi


wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas
sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.

Pada saat yang sama, Al-Fârâbî menyukai gagasan keunggulan relatif


satu lambang religius atas lambang lainnya, dalam pengertian bahwa
lambang-lambang dan citra-citra yang dipakai dalam satu agama lebih
mendekati kebeparan spiritual yang hendak disampaikan-lebih tepat dan
lebih efektif-ketimbang yang dipakai dalam agama lainnya. renting
dicatat, Al-Farabi diketahui tidak pernah mencela agama tertentu,
meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra
religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan.
Tulisnya:

Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya;


penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih
sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna;
sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam
beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-
diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara
dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau
mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka
atau untuk menolak mereka.

Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî,


lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya.
Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun
praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai
pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap
ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu
filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul
dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau
eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis.
Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-
34 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

turut merupakan mitra filosofisnya

:: Filsafat Islam

Filsafat dan Agama

Sesudah kita melihat hubungan antara nalar dan wahyu, kita dapat
menanyakan sumbangan filsafat terhadap agama.

Hubungan antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang


dekat dan baik, dan kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para
agamawan merintis perkembangan filsafat. Ada kalanya pula orang
beragama merasa terancam oleh pemikiran para filosof yang kritis dan
tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan sombong, sok
tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat.

Kadang-kadang juga terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban


kepicikan dan kemunafikan orang-orang yang mengatasnamakan
agama. Socrates dipaksa minum racun atas tuduhan atheisme padahal ia
justru berusaha mengantar kaum muda kota Athena kepada
penghayatan keagamaan yang lebih mendalam. Filsafat Ibn Rusyd
dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap,
diasingkan dan meninggal dalam pembuangan. Abelard (1079-1142)
yang mencoba mendamaikan iman dan pengetahuan mengalami
pelbagai penganiayaan. Thomas Aquinas (1225-1274), filosof dan
teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh kafir karena memakai
pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad Pertengahan
dari Ibn Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600
di tengah kota Roma. Sedangkan di zaman moderen tidak jarang
seluruh pemikiran filsafat sejak dari Auflklarung dikutuk sebagai anti
35 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

agama dan atheis.

Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak
filsafat maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa
pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang
sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan,
tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan,
tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau
sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan
dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan
filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah
sebesar dewasa ini.

Sebaliknya agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa


sekularisasi yang dirasakan sebagai ancaman malah membuka
kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa apa yang duniawi
dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia adalah
dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka
sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi
keyakinan dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa
agama tidak lagi dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam
membawa pesannya, dan hal itu justru membantu membersihkan agama
dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah suatu legitimasi
bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama
dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama,
baru menjadi saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam
mengamalkan tugasnya tidak memakai sarana-sarana kekuasaan,
paksaan dan tekanan duniawi. )

Dengan demikian, dialog antara filsafat dan agama justru akan


membawa keuntungan bagi keduabelah pihak.

Filsafat sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat


36 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

pelayanan pada agama :

Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu
adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan
Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari
dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah
seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa
yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana
wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh
karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup
berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain,
kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita
tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat,
memang itulah maksud Allah.

Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani
masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah,
dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara
tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian
wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas
pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan
tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya
dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan
muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian
nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu
agama dalam memastikan arti wahyunya.

Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan


itu kepada ilmu yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan
memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi.
Maka secara tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para
filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi teologi). Teologi dengan
sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode tertentu, dan
paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil dari
37 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia


(masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara
berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah
"theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus
Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa
berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu pula
Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan
paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan
kepercayaan pada hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan
bahwa Allah hanyalah satu.

Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-


masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu
diturunkan belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam
wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang moralitas. Misalnya masalah
bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana orang mengambil
sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak? Bagaimana
dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab
Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya
dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang
termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu.
Nah, dalam proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.

Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis


yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan
dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau pada
feminisme.

Pelayanan keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama


diberikan melalui fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik
ideologi. Maksudnya adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama
masyarakat pasca tradisional, berada di bawah semburan segala macam
pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi, dan keyakinan.
Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan
38 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t

kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak.


Fiisafat menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis,
mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya, membuka
kedok kepentingan yang barangkali ada di belakangnya.

Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap
pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang
mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak
sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri,
melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya
menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka,
jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi
yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.

Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat


mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan
sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi,
filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari
unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak
termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi
subyektif. Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan
dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan
dirinya, melainkan menggali jawabannya dengan berpaling kembali
kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.

Anda mungkin juga menyukai