:: Filsafat Islam
Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia
dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal
dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari
akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan
ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah
pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa
terhadap usaha para filosof.
Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga
dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan
adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap
manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga
dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.
Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia,
2|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat
dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya pada wahyu.
Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya.
Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian
ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan agama.
Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga
sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama
sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak
mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus juga
tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4
dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai berada,
melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan
sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas
pengetahuan yang benar. Maka, menurut relativisme, Allah itu
sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini membuat
mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.
2. Pandangan seimbang
memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran,
maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah
mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia.
Wajarlah orang beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.
Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi
dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu
berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak
mungkin dua-duanya secara prinsipiil bertentangan.
Oleh karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar mau
menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental
seperti misalnya :Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah
terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai
dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan
sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia :
Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana
urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang
ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa adahidup
serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan
keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan
sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang
paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera; semua hal ini kita
carijawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman
kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban
tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan
besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan
yang sebetulnya tak benar.
:: Filsafat Islam
9|Tidak bisa mengetahui hikmah tanpa filsafat
Kedudukan filsafat sebagai asing atau sebagai alat saja jelas berkaitan
dengan takrif teologi. L. GARDET mendefinisikan teologi muslim
sebagai apologi defensif. Teologi hanya perlu diperhatikan sewaktu-
waktu, yaitu bila dalil-dalil agama diragukan oleh orang di dalam atau
diserang dari luar . Karena itu AL-GHAZALI memperbandingkan
teologi dengan obat untuk orang sakit, bukan dengan gizi untuk orang
sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi "quieta possessio" (milik aman
tak terancam) teologi dapat dibebastugaskan, seperti ditulis oleh b.
TAYMIAH. Definisi GARDET tersebut disetujui pada masa sekarang
oleh FADLOU SHEHADI, ISMAIL FAROUQI dan a. HANAFI
(Pengantar theology Islam, Yogyakarta 1967, 126-127).
Karena syarat untuk hidup filsafat dalam Islam itu, maka para filsuf
harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai
pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka
10 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t
mencoba hal itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka
ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.
B. Penolakan filsafat
1481).
Betapa hebat serangan anti filsafat itu dapat dimengerti dari fatwa
seorang mu'allim di madrasah Dar al-hadith di Dimashq, yaitu IBN AL-
SALEH TAHI'UDDIN ABU AMR 'UTHMAN AL-KURDI AL-
SHAH- RAZURI (1182 -1245), yang mengatakan:
Suara peringatan seperti itu bernafas panjang dan bergema jauh. MUH.
ABDUH menasehati, agar madhhab filsafat berhenti bicara saja
(Risalah Tauhid, terj. H. FIRDAUS, Jakarta 1963, 80). H. MUNAWAR
CHALIL menyerukan, agar kaum muslim takut akan pemakaian akal,
pikiran dan ra'y dalam urusan agama (Kembali kepada al-Qur.an dan
assunah, Jakarta 1956, 118-126). Filsafat mengacaukan jalan pikiran
benar (HAMKA, Pelajaran agama Islam, Jakarta 1956, 162-169). H.
RASHIDI memasang rambu bahaya pada jalan filsafat; itulah jalan ke
kufurat (Penyuluh Agama, 1956, 17) dst.
:: Filsafat Islam
Filsafat Islam
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak
senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin memajuhkan
Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari
Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat
bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai
argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam
pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang
tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Filosof besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-
satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas mengatakan bahwa
antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan
sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama
dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya
membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam pembahasannya
memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar
juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat
15 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t
kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq
al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah
Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama.
Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat
ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam.
Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak.
Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya
tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai
obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya
tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya
sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya
berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang
dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian
diperolehlah gambaran berikut:
Alam dalam falsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi
dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat
dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari
suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi
dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan berfikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa
yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti
tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I,
Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan
tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim,
yang dikritik AI-Ghazali.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang
tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan
dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang.
Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia
dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai
malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa
nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal
praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan
di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa
binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah.
tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada
di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak
diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la
qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,
maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa
kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an
disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu
Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas
bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang
sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam
memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali
untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam ini qadim.
Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru
yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa
oleh al-Asy'ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh
teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia
meninggalkan faham Mu'tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan
dari teologi Mu'tazilah, teologi baru yang kemudian dikenal dengan
nama teologi al-Asy'ari.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan
menghidupkan pendapat Mu'tazilah, bahwa akal manusia begitu
kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan
seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan,
kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan
mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk
memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh
dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia
sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat
dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah
(1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai
jawaban terhadap kritik-kritik Albpg-Ghazali yang ia uraikan dalam
Tahafut al-Falasijah.
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-
24 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit
dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim
menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih
merupakan uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah
satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah
orang-orang yang tak percaya tidak melihat ' bahwa langit dan bumi
(pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami
jadikan segala yang hidup dari air.
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal
dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada", kata Ibn Rusyd tidak
25 | T i d a k b i s a m e n g e t a h u i h i k m a h t a n p a f i l s a f a t
bisa berobah menjadi "ada", yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi
"ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi
asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi.
Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun
langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis ). Qadimnya alam,
menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau
ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya berarti
sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang
diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula
di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi
Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta dan
alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari
zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan demikian
sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan
Tuhan.
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap
akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari
surat Ibrahim menyebut:
kandungan al-Qur'an.
Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-
Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat
al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah
pendapat filosof dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan
pendapat al-Ghazali.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-
Tahafut bahwa filosof-filosof Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada
itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di
dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada
orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di
dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti
ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam
harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1
dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme.
Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan
bahwa pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah.
Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang
menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa.
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami
kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1
di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini
terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia.
:: Filsafat Islam
sebagai contoh dari filsafat jenis pertama. Jenis kedua, filsafat esoterik
yang ditujukan bagi kaum elitek yaitu suatu filsafat yang hanya
diperkenalkan pada mereka yang telah siap secara intelektual dan
spiritual. Filsafat dapat digambarkan sebagai ilmu tentang realitas yang
didasarkan atas metode demonstrasi yang meyakinkan (al-burhân al-
yaqînî), suatu metode yang merupakan gabungan dari intuisi intelektual
dan putusan logis (istinbâth) yang pasti. Karena itu, filsafat adalah
sejenis pegetahuan yang lebih unggul dibanding agama (millah), karena
millah didasarkan atas metode persuasif (al-iqnâ').
:: Filsafat Islam
Sesudah kita melihat hubungan antara nalar dan wahyu, kita dapat
menanyakan sumbangan filsafat terhadap agama.
Pada akhir abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak
filsafat maupun dari pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa
pertanyaan-pertanyaan manusia paling dasar tentang asal-usul yang
sebenarnya, tentang makna kebahagiaan, tentang jalan kebahagiaan,
tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna kehidupan,
tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau
sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan
dari kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan
filsafat, termasuk banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah
sebesar dewasa ini.
Pertama. Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu
adalah masalah interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan
Sabda Allah selalu dan dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari
dunia. Akan tetapi segenap makna dan arti bahasa manusia tidak pernah
seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita begitu sering mengalami apa
yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi bahasa wahana
wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir. Oleh
karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup
berbeda dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain,
kita tidak pernah seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita
tentang maksud Allah yang terungkap dalam teks wahyu memang tepat,
memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani
masalah itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah,
dalam usaha manusia seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara
tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang arti salah satu bagian
wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa jawaban atas
pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan
tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya
dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan
muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian
nalar secara tepat dan bertanggungjawab, filsafat dapat membantu
agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap
pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang
mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak
sekedar mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri,
melainkan mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya
menghadapi ideologi-ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka,
jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan berdasarkan argumentasi
yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.