Anda di halaman 1dari 5

Moral dan Agama

Henri Bergson (1859-1940) seorang Filsuf Prancis, melihat kemungkinan bagi kerjasama yang lebih
kental diantara moral dan agama demi perkembangan umat manusia dan kemanusiaan. Teori
Bergson tentang moral yang terbuka dan agama yang dinamis adalah suatu model guna
mengembangkan sikap mental yang tepat untuk mewujudkan persaudaraan universal antara umat
manusia. Moralitas yang terbuka adalah moralitas yang mengacu pada humanitas dan bukannya
pada kelompok kelompok primordial. Semantara agama yang dinamis adalah agama yang
berpartisspasi dalam kreativitas Sang Pencipta yang mencintai seluruh dunia secara inklusif.

Dari sini tersirat bahwa kata moral berhubungan dengan kata das Sollen ( apa yang seharusnya
terjadi), bukan das sein ( apa yang terjadi). Hubungan antara hukum moral dan kebebasan manusia
menghasilkan kewajiban. Kewajiban timbul oleh karena manusia yang bebas itu merasa terdorong
untuk melakukan suatu hukum moral tertentu. Jadi kewajiban adalah perasaan terikat untuk
melakukan hukum moral yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian tujuan dari hukum
moral ialah memelihara stabilitas (keutuhan) dan solidaritas (kesetiakawanan) demi kontinuitas
(kelangsunan) masyarakat itu sebagai suatu kelompok yang mapan.

Moralitas menjadi desakan sosial untuk hidup dengan rukun serta demi kesejahteraan Bersama.
Sehingga moralitas itu ada demi kepentingan hidup Bersama dalam suatu kelompok, baik kelompok
mikro (keluarga misalnya) ataupun kelompok makro.

Menurut Bergson dalam arti yang lebih luas dan terbuka, moralitas ditunjukan pada penghargaan
manusia lain sebagai sesama yang sederajat dan secara nyata berusaha menciptakan persatuan dan
perdamaian diantara umat manusia dan bukanya mengusahakan kepentingan kelo,pok sendiri saja.

Bergson menambakan hanya berkait hubungan pibadi dengan Allah, manusia akan mampu
mengatasi ikatan primordialnya yang egosentris serta mengarahkan diri dengan sepenuh hati
kepada humanitas. Kontak dengan Allah itu akan mengalirkan suatu emosi kreatif yng akan
membuat manusia mampu untuk menghargai sesamanya sebagai mahkluk yang agung dan berharga
dalam dirinya sendiri, dan bukan sebagai lawan. Bergegas melukiskan arus emosi kreatif ini.

Emosi kreatif ini meruapakan partisipasi manusia dalam emosi (perasaan). Allah yang telah
menciptakan serta terus mencintai dan memelihara segala ciptaanNya. Emosi kreatif yang mampu
melulukan keterikatan manusia pada emosi primordialnya yang mendorong dan mengkotak-
kotakan umat manusia kedalam kelompok yang bertentangan. Manusia menimba emosi kreatif itu
pada saat ia mencurakan cintanya kepada Allah dan sebagai gantinya ia akan menadah atau
menerima Kembali cinta Allah kepada uman manusia ciptaanNya. Dengan kata lain, ia menjadi
saluran cinta Allah bagi dunia. Emosi kreatif inilah yang menjadi sumber dari adanya moralitas
terbuka.

Jadi, terutama agamalah yang telah menyingkapkan moralitas yang terbuka itu kepada manusia
sebab dalam agama kita tidak hanya mejumpai edeal -ideal rasional yang luhur tetapi juga
menjumpai suatu arus emosi kreatif yang timbul berkat hubungan pribadi dengan Allah. moralitas
yang terbuka ini hendaknya diperlihatkan secara kualitatif, yaitu kepada orang-orang yang
kemanusiannya sedang rusak “ misalnya orang lapar, lepra, lemah serta rendah, dll) karena mereka
adalah representative konkrit atau wakil nyata umat manusia sebab merekalah yang biasanya
terletak paling jauh di luar orbit pikiran serta perhatian kita yang narsistik.

IMAN DAN MORALITAS

Ada kecenderungan pemahaman yang keliru terhadap arti kata iman

Pertama: iman buka pengetahuan yang memiliki tingkat pembuktian yang rendah. Jika sudah masuk
kedalam sebuah pembuktian atau teori ilmiah , imam diartikan sebagai percaya. Karena sesuatu hal
dipercayai jika ia dinyatakan oleh kekuatan yang meyakinkan. Disini boleh saja kita mempercayai
kekuasan-kekuasaan itu, kita menyakinkan keputusan mereka, tetapi mungkin kita tidak percaya
pada mereka. Jadi iman lebih dari kenyakinan meskipun kenyakinan adalah suatu unsur dari iman.

Kedua : iman buka semata-mata emosi yang subjektif tanpa isis yang diketahui dan tuntutan yang
ditaati. Memang harus diakui bahwa factor emosi ada didalam iman, sebagaimana terdapat juga di
dalam setiap agama. Tetapi emosi bukanlah sumber iman. Iman adalah pasti didalam arahnya dan
konkrit di dalam isinya. Oleh karena itu menuntut kebenaran dan komitmen.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa iman bukan pengetahuan bahwa sesuatu itu benar. Tetapi iman
adalah kepercayaan kepada sesuatu yang lebih dihargai dari pada semua yang lain. Disamping itu
iman adalah juga kesetiaan kepada Allah yang kita anggap paling pokok dalam kehidupan kita, pusat
yang memerikan arti arti kepada seluruh kehidupan kita. Disini kepercayaan merupakan segi iman
yang lebih pasif, sedangkan kesetian adalah segi iman yang lebih aktif. Contoh iman sebagai
kepercayaan terdapat dalam Petus kepada Yesus “Tuhan… perkataanMu adalah perkataan yang
kekal…. Dan kami telah percaya bahwa Engkau adalah yang kudus dari Allah.” (Yohanes 6:68, 69).
Sedangkan contoh iman sebagai kesetiaan, yang menuntut komitmen dan Tindakan adalah
perkataan Yosua, “…. Aku dan seisi rumahku akan beribadah beribadah kepada Tuhan” (Yosua
24:15). Dengan kata lain iman bukanlah berhenti pada kenyakinan pasif atau kepercayaan akan
sesuatu yang semestinya terjadi (das sollen) tetapi mengupanyakan dan mewujudkan nya dalam
Tindakan konkrit.

Menurut William Chang, iman menjadi syarat Yang perlu untuk suatu pengetahuan otentik mengenai
Tuhan dan kebaikan manusiawi. Maksudnya, seseorang percaya tidak hanya untuk mencapai
pengertian intelektual mengenai pengada dan nilai, tetapi juga untuk hidup dan berada secara
Kristen.

Dalam hal ini iman bukanlah pengganti pengertian dan iman tidalah irasional. “iman berarti tidak
ingin mengetahu apa yang benar”. Iman sesungguhnya suatu Tindakan yang sungguh intelektual,
sebab iman merupakan Tindakan manusia untuk mengenal Tuhan sebagaiman Dia hendak dikenal
dan seharunya ada. Pengetahuan ini merupakan dasar pengetahuan yang nyata menenai dunia,
sesama dan diri sendiri.

Bagi orang Kristen kesaksian hidup sebagai perwujudan iman merupakan unsur hakiki dalam
kehidupan beriman. Kedalam ontologis dan interior hidup iman seseorang sebagai kesaksian
seharusnya tampak dalam bidang etis dan sosial “Kamu adalah terang dunia, kota yang terletak
diatas gunung tidak mungkin tersembunya” (Matius 5: 5-14). Kalimat ini sangat erat kaitanya dengan
moral dan iman Kristen, yaitu Tindakan untuk membuat yang baik dan benar bagi kehidupan diluar
dirinya, memperaktekan sesuatu yang diyakini baik dan benar.

Anda mungkin juga menyukai