Anda di halaman 1dari 4

Perdamaian antara iman dan akal budi: bisakah?

Wacana mengenai iman dan akal budi dalam sejarah perkembangan manusia selalu
menjadi topik yang menarik untuk dikaji dan dicermati. Selama berabad-abad para teolog dan
filosof selalu mencari pertautan dari kedua hal tersebut. Berbagai macam cara, metode,
pendeketan, dan perspektif digunakan untuk mencari titik temu dari kedua hal itu. Alhasil
berbagai macam metode dan pandangan yang digunakan untuk mencari titik temu dari iman dan
akal budi berujung dengan “problematis”. Pasalanya dengan mencari titik temu dari kedua ranah
tersebut justru memunculkan perspektif baru tau memunculkan cara pandang baru, baik terhadap
iman maupun terhadap akal budi.

Kaum teistik menganggap bahwa iman merupakan suatu instrument dalam memahami
sesuatu. Bahkan bagi mereka iman ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mencari kebenaran.
Pandangan ini bersebangan dengan kaum ateistik khususnya kaum rasionalis ateistik. Dalam
khazana rasionalis ateistik berbicara mengenai iman merupakan sesuatu yang membingungkan
dan bersifat irasional. Hal ini disebabkan perkara mengenai iman tidak dapat dirasionalisasikan
(tidak masuk akal). Pertanyaannya apakah memang benar iman itu tidak dapat dirasionalisasikan
atau masuk akal? Ataukah sebaiknya keterbatasan dari akal justru menjadi jurang pemisah
sehingga pemikiran manusia tidak sampai pada tataran iman? Atau justru kedua hal ini harus
bekerja sama dalam menemukan kebenaran? Kalau seandainya memang kedua hal tersebut
saling bekerja sama, bagaimana kita bisa menemukan titik temu dari kedua hal tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis terlebih dahulu melihat dan menelaah konsep
mengenai iman dan akal budi. Setelah melihat kedua-duanya, penulis akan melihat mungkinkah
iman dan akal budi dipersatukan atau dipertemukan. Akan tetapi untuk menemukan jawaban
tersebut penulis akan menyertakan pandangan dari beberapa para ahli yang tentunya terkait
dengan pokok masalah yang tertuang dalam tulisan ini.

Apa itu iman

Secara etimologis kata iman berasal dari bahasa ibrani “emun” yang berarti kesetiaan dan
dari bahasa Yunani “Pistis” (kata benda) yang berarti kepercayaan dan keyakinan. Berdasarkan
akar katanya iman dapat diartikan sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki oleh
setiap orang. John Hendry Newman mendefinisikan iman sebagai tanggapan terhadap wahyu.
Lebih lanjut Newman mendefinisikan “a belief in something as revealed by God: belief in a
proposition as the word of God”. Dapat diartikan sebagai iman sangat behubungan dengan
keyakinan akan sesuatu sebagai diwahyukan Tuhan; keyakinan akan berbagai proposisi atau
pernyataan yang dianggap sebagai sabda Tuhan dalam Kitab Suci (Bartolomeus Samho, 2019, p.
51). Dengan mengamati pandangan dari Newman ini tampak bahwa berbicara mengenai iman ini
sangat erat kaitannya dengan pengalaman atau kepercayaan dan keyakinan pribadi yang dimiliki
oleh setiap orang. Dengan demikian iman memiliki unsur jubjektif yang terkandung dalam diri
orang yang memiliki iman tersebut. Iman hanya bisa dirasakan oleh seseorang melalui wahyu
yang dia dapatkan dari sang Ilahi. Di sini terlihat bahwa iman adalah relasi timbal balik antara
manusia dengan yang Ilahi (Bartolomeus Samho, 2019, p. 98). Sehingga pada tatanan yang lebih
dalam iman dapat sikatakan sebagai pengalaman batin yang dimiliki setiap orang yang di
dalamnya mengandung unsur subjektif dan juga merefleksikan kebebasan intuisi personal.

Lebih lanjut Deepak Chopra menyebutkan iman sebagai langkah pertama menapaki
tangga, meskipun anda tidak melihat keseluruhan anak tangganya (Bartolomeus Samho, 2019, p.
53). Tidak bisa dipungkiri iman memang suatu pengalam konkret yang dialami oleh manusia
terhadap sesuatu misteri kehidupan yang perna dan akan dilaluinya. Dapat disebutkn iaman
memperkarakan suatu kenyataan yang dipercaya dan diyakini sungguh-sungguh ada tetapi tidak
bisa dipahami secara keseluruhan. Dengan iman pada gilirannya manusia mampu memahami dan
menerima suatu misteri tentang sang Ilahi. Lagi-lagi pada tahap ini iman adalah pengalam prbadi
yang dialami oleh setiap orang.

Oleh sebab iman sebagai pengalam pribadi (personal) sehingga perkara mengenai iman
ini sulit untuk dimengerti karena hal tersebut hanya bisa dirasakan oleh orang yang mendapatkan
rahmat dan Wahyu dari sang Ilahi. Dalam hal ini iman ala kaum teistik sulit dipahami oleh kaum
ateis. Sebab pada hakekatnya para kaum teistik memercayai hal yang bersifat transenden
(kekuatan yang melampaui dirinya). Untuk mencapai hal transendeng ini kaum teistik
menangkapnya dengan iman yang mereka miliki.pada tahap ini perkara mengenai iman ini
menjadi problem tersendiri bagi kaum yang ateis sebab pada hakekatnya mereka tidak
memercayai hal yang Ilahi layaknya yang dipercayai kaum teistik.

Apa itu akal budi


Sama halnya dengan iman, rasionalitas juga selalu menempel dalam diri manusia. akan
tetapi penggunaan dari akal ini agak berbeda dengan iman. Akal bukan hanya melihat apa yang
terjadi dalam diri manusia tetapi ia juga mencoba mengeksplorasi apa yang ada di luar diri
manusia. Singkatnya, akal memiliki kemampuan untuk memahami lealitas secara lebih holistik.
Peter Kreef dan Ronald K.Tacelli membegi akal ke dalam dua bagian yang mempunyai
pengertian yang berbeda-beda. Pertama, objek dari akal. Dalam hal ini melibatkan tiga hal
seperti dalam logika Aristoteles klasik, yakni: dimengerti oleh akal tanpa iman, ditemukan oleh
akal sebagai kebenaran dan dibuktikan secara logika tanpa adanya pengaruh dan bantuan dari
iman. Kedua, tindakan akal. Dalam hal ini terdapat tiga hal yang terdapat dalam objek akal,
yaitu memahami, menemukan dan membuktikan (Suanglangi, p 46). Dengan kata lain akal
merupakan kemampuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang mana
manusia terdiri dari pikiran dan kehendak. Manusia melalui kehendak bebasnya dapat
mengeksplorasi pikiran untuk menyelidiki, mengurai, meneliti dan menganalisa segala sesuatu
yang terjadi. Baik yang terjadi dalam diri maupun yang terjadi di luar dirinya.

Melihat pengertian akal yang dipaparkan oleh Peter Kreef dan Ronald K. Tacelli di atas,
dapatlah dikatakan bahwa akal hanya mampu menerima segala sesuatu yang dapat
dirasionalisasikan atau dapat dilogikakan.

Dialog antara iman dan akal budi

Dengan mengamati pengertian dari iman dan akal yang telah dipaparkan di atas tampak
bahwa memang pada dasarnya iman dan akal budi merupkan dua entitas yang berbeda. Akan
tetapu dua hal tersebut selalu melekat dalam diri manusia. Kedua hal tersebut memiliki otonomi
sendiri dalam proses menemukan suatu kebenaran. Dalam proses mendialogkan iman dan akal
budi ini penulis akan mencoba untuk mengambil dua tokoh utama, yakni Agustinus dan Thomas
Aquinas.

Bagi Agustinus untuk bisa mencari kebenaran, kita harus memiliki pegangan. Yang mana
pegangan tersebut mampu menuntun dan mendampingi kita agar bisa sampai pada suatu
kebenaran. Adapun pegangan yang disoroti oleh Agustinus adalah akal dan iman. Dengan
berpegangan pada kedua hal tersebut niscaya kita akan bisa sampai pada kebenaran itu sendiri.
Meskipun kita tahu bahwa kita tidak akan bisa sampai pada kebenaran sejat, tetapi kolaborasi
atau dialog antara iman dan akal budi mampu mengantar kita sampai mendekati kebenaran itu.
Pertanyaannya: apakah iman dan akal budi bisa jalan sendiri-sendiri dalam proses menemukan
kebenaran?

Dalam konteks pemikiran Agustinus sepertinya kedua hal ini ‘tidak bisa’ berjalan sendiri.
Sebab pada hakekatnya iman dan akal budi memiliki keterbatasan, oleh karena keduanya
memiliki keterbatasa sehingga tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa iman dan akal
budi saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Akal budi menyadari bahwa dirinya
terbatas sehingga ia membutuhkan iman untuk menjembatani keterbatasannya tersebut. Sebab
bagaimanapun dalam proses mencari kebenaran kita akan mengalami kewalahan apabila kita
tidak menggandengkan iman. Pasalanya jika kita tidak memercayai kebenaran itu maka kita
tidak mungkin mencari kebenaran itu. Pada titik ini tampak bahwa iman menjadi suatu landasan
utama untuk bisa sampai pada kebenaran. Dengan kata lain kita harus percaya terlebi dahulu
baru kemudian kita bisa memahami apa yang kita percaya tersebut.

Lrbih lanjut Thomas Aquinas menambakan bahawa memang kedua hal ini (iman dan akal
budi) selalu saling melengkapi. Dengan kata lain kedua hal ini tidak perlu dipertentangakan
karena keduanya saling bekerja sama. Iman dengan bantuan akal budi mampu memahami objek
pencatiannya; sebaliknya akal budi tidak dapat berjalan mulus kalau tidak dilandasi oleh apa
yang disajikan oleh iman. “Dengan diterangi oleh iman, akal budi dibebaskan dari dari
kelemahannya dan keterbatasan-keterbatasannya” (II, 1999, p. art. 43). Dengan mengamati
pemikiran dari Thomas ini terlihat bahwa iman dan akal budi selalu membutuhkan antara satu
dengan yang lain.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa iman dan akal budi mempunyai jalan
masing-masing. Sehingga upaya untuk mempertemukan kedua hal inipun sepertinya hanya akal
berujung pada suatu jalan yang buntu. Sebab iman dan akal memiliki jalurnya sendiri. Oleh
karena itu alternatis yang bisa diambil adalah dengan menggunakan kedua hal ini sebagai sarana
untuk bisa berjalan untuk bisa sampai pada kebenaran. Pasalnya iman dan akal budi saling
melengkapi antara satu dengan yang lain. Akal budi memiliki keterbatasan sehingga ia
membutukan iman untuk menjembatani keterbatasanya tersebut. Demikian juga sebaliknya iman
membutuhkan akal budi untuk bisa memahami apa yang diyakininya (Credo ut intelligam).

Anda mungkin juga menyukai