Anda di halaman 1dari 60

Tema General/Umum Teologi

 
Apa itu Wahyu? Bagaimana proses beriman dalam kaitannya dengan akal budi?
Penggunaan filsafat dengan pemikiran kritis yang sangat menekankan rasio manusia itu
sungguh tidak mendapatkan tempat dalam abad pertengahan. Sebab bagi bapak-bapak Gereja
dunia iman – teologi tidak bisa dimasuki oleh akal budi manusia apalagi dengan penggunaan
intelek rasio manusia dalam berfilsafat. Sehingga dunia filsafat tidak mendapatkan tempat.
Tetapi bagi Thomas Aquinas rasio atau akal budi dapat membantu manusia untuk menjelaskan
ajaran teologi atau iman kepada umat agar umat dapat mengerti tentang wahyu  Tuhan itu
sendiri. Dan disinilah penggunaan akal budi itu penting dan menjadi bagian dari dunia
teologi/iman. Dan dunia teologi/iman dapat menghantar manusia kepada pengenalan akan
sumber kebenaran dan pengetahuan yaitu Allah, melalui pengetahuan yang diperoleh melalui
proses kerja akal atau campur tangan manusia dalam menerima tawaran keselamatan yang dari
wahyu itu sendiri. Bagaimana Thomas Aquinas dapat memberikan ruang gerak bagi akal dan
iman itu sendiri. Dua jalur iman dan reasons ini dapat kita temukan pada penjelasannya  lewat
teori pengetahuannya.

Teori Pengetahuan Aquinas


Tentang  pengetahuan, Aquinas berpadangan bahwa rasio manusia diyakini dapat memandang
pengetahuan tentang obyek-obyek. Terhadap obyek-obyek itu, rasio atau akal budi manusia
mendapatkan pengetahuan lewaat hasil tangkapan panca indera, sejauh panca indera dapat
melihat dan mengetahuinya. Artinya daya tangkap panca indera terhadap obyek-obyek itu akan
menghasilkan sumber pengetahuan. Sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera
atau yang tidak dapat diketahui oleh panca indera, dikatakan hal itu disebabkan oleh karena
keterbatasan akal budi itu sendiri. Dengan kata lain semua obyek yang tidak dapat diindera tidak
akan diketahui secara pasti oleh akal budi.
Menurut Thomas, ada dua cara atau jalan untuk dapat memperoleh pengetahuan. Dua jalan itu
adalah; yang pertama reasons (pikir) manusia yang berpuncak pada Allah; dan jalan yang kedua,
yaitu iman, yang merupakan penerimaan dari pewahyuan Allah.
[1] Dalam arti ini dapat kita katakan bahwa kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dengan iman.
Dengan iman pengetahuan tentang kebenaran dan sumber pengetahuan memiliki eksistensinya
dari sumber kebenaran itu sendiri,  yaitu sejauh ide-ide Tuhan itu memasuki pikiran manusia
dengan penerangan ilahi. Yang oleh Thomas Aquinas adalah milik Tuhan.
[2] Dikatakan bahwa pengenalan pengetahuan  terhadap dunia material atau dunia obyek-obyek
itu sendiri merupakan suatu aspek dari pengetahuan dan pengenalan yang diperoleh atau
merupakan hasil daya tangkap akal budi, yang melaluinya sumber pengetahuan itu di dapat.
Artinya bahwa pikiran manusia dapat memperoleh pengetahuan lewat pengenalannya dengan
obyek-obyek dan fenomen-fenomen yang nampak nyata dalam realitas yang dihadapi atau yang
ditemuinya. Sebab dengan sendirinya pikiran dapat mengetahui obyek-obyek atau fenomen-
fenomen tersebut melalui obyek-obyek yang sedang bertumbuh dan yang sementara berjalan
atau bergerak. Artinya semua hal yang umum itu nampak dan dapat dilihat oleh panca indera
melalui fakta-fakta konkrit, yang sungguh-sungguh riil dan nampak dalam hal-hal yang khusus.
Kebenaran iman yang merupakan kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dengan iman. Hanya
iman yang dapat menerima eksistensi Allah sebagai sumber kebenaran dan sumber puncak

1
pengetahuan itu sendiri. Sebab oleh iman manusia meyakini dan menerima hakekat Allah. Dalam
arti yang sama dapat dikatakan bahwa sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah obyek
iman. Sebab pengetahuan yang diterima atas landasan iman tidaklah lebih rendah daripada
pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Setidaknya, kebenaran yang diperoleh dengan akal
tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.
[3] Menurut Aquinas bahwa kita seharusnya menyeimbangkan akal dan iman; baginya akal
membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal
itu tidak selalu dapat dilakukan karena akal terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan
tentang kehidupan kembali (resurrection). Sebab keterbatasan akal tidak dapat mampu
menemukan sumber pengetahuan itu. Sebab akal itu sendiri tidak akan mampu membuktikan
kenyataan esensial tentang keimanan Kristen. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa dogma-
dogma Kristen itu tepat sebagaimana yang disebutkan dalam firman-firman Tuhan.
Berdasarkan uraian itu kita dapat mengetahui adanya dua jalan/jalur pengetahuan dalam filsafat
Aquinas. Jalur itu adalah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan, dan
yang kedua jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), yang didukukung oleh akal.
[4] Dengan demikian dalam filsafat Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat
penggunaan akal. Artinya filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akal, sedangkan agama
ditentukan oleh iman. Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan
sebenarnya adalah gabungan dari kedua-duanya.
Aquinas mampu membagi dan menjelaskan wilayah teologi – iman dengan wilayah filsafatnya,
teristimewa kedudukan rasio/ akal budi pikiran manusia dalam menjelaskan kebenaran wahyu
Allah. Bahwa akal dapat memasuki wilayah iman dengan mendapatkan penerangan ilahi Tuhan
sehingga dapat menjelaskan dunia teologi secara obyektif tentang kebenaran Tuhan dalam Kitab
Suci, tanpa harus menghilangkan kebenaran wahyu Tuhan itu. Dengan kata lain dunia akal  dapat
menjelaskan  dogma-dogma dan ajaran Kitab suci dengan peggunaan daya terang ilahi untuk
membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Sehingga Tuhan pada dirinya merupakan sumber
kebenaran dan sumber pengetahuan itu sendiri. Sementara pada iman itu sendiri, dunia akal 
tidak dapat memasukinya. Oleh karena keterbatasan akal budi manusia; sehingga dunia iman
tinggal sebagai suatu dunia yang esensinya tidak dapat di masuki oleh kebenaran lain, selain
Tuhan sendiri yang merupakan sumber kebenaran dan sumber pengetahuan itu sendiri, di mana
pikiran manusia terbatas yang tidak dapat melampaui pikiran atau dunia wahyu Allah atau
pikiran Allah itu sendiri.
 
v Ciri-ciri Gereja SATU< KUDUS< KATOLIK DAN APOSTILIK?
Ada ungkapan mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”. Ternyata ungkapan ini juga
berlaku untuk masalah pokok-pokok iman baik yang terdapat pada agamanya sendiri maupun
yang terdapat di agama lain. Paparan berikut adalah sepotong kecil dari pokok iman yang
dipegang oleh Gereja Katolik.
Syahadat iman Gereja Katolik dirumuskan dalam Kredo (credere = percaya). Ada dua rumusan
kredo yaitu rumusan pendek dan rumusan panjang. Syahadat rumusan pendek disebut Syahadat
Para Rasul karena menurut tradisi syahadat ini disusun oleh para rasul.Yang panjang disebut
Syahadat Nikea yang disahkan dalam Konsili Nikea  (325) yang menekankan keilahian Yesus.
Dikemudian hari lazim disebut sebagai Syadat Nikea-Konstantinopel karena berhubungan
dengan Konsili Konstantinopel I (381). Pada Konsili ini ditekankan keilahian Roh Kudus yang

2
harus disembah dan dimuliakan bersama Bapa dan Putera.Syahadat inilah yang lebih banyak
digunakan dalam liturgi-liturgi Gereja Katolik.
Di dalam rumusan syahadat panjang itu pada bagian akhir dinyatakan ke empat sifat atau ciri
gereja katolik :satu, kudus, katolik dan apostolik. Gereja percaya akan kehendak Allah,
sebagaimana tertulis dalam Kitabsuci, bahwa orang-orang beriman kepada Kristus hendaknya
berhimpun menjadi Umat Allah (1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu Tubuh (1Kor 12:12). Gereja
Katolik percaya bahwa kesatuan itu menjadi begitu kokoh dan kuat karena secara historis
bertolak dari penetapan Petrus sebagai penerima kunci Kerajaan Surga. Setelah Petrus
menyatakan pengakuannya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, maka
Yesuspun menyatakan akan mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang yang alam maut tidak
akan menguasainya (Mt 16:16-19).
Demikianlah Petrus ditugaskan untuk menggembalakan domba-domba dengan cinta sehingga St.
Ignatius dari Antiokia menyebut Gereja Roma sebagai “pemimpin cinta kasih”. Memang secara
historis juga menjadi bagian dari kepercayaan bahwa para Paus merupakan pengganti Petrus
(Paus yang pertama), yang memimpin Gereja bersama semua Uskup seluruh dunia secara
kolegial disebut sebagai successio apostolica. Konsili Vatikan II menegaskan corak kolegial
tugas penggembalaan ini yang bertanggungjawab bagi pelakasanaan tugas-tugas gereja :
memimpin/melayani, mengajar, dan menguduskan. Akhir-akhir ini dialog ekumenis dengan
Gereja-gereja Angklikan, Ortodoks, dan Protestan menunjukkan semakin dirasakannya
kebutuhan membangun kesatuan dalam penghayatan iman dan kerjasama sebagai murid-murid
Kristus.
Ciri yang kedua dari gereja adalah kekudusannya, Gereja itu kudus. Gereja katolik meyakini diri
kudus bukan karena tiap anggotanya sudah kudus tetapi lebih-lebih karena dipanggil kepada
kekudusan oleh Tuhan, “Hendaklah kamu sempuran sebagaimana Bapamu di surga sempurna
adanya” (Mat 5:48). Perlu diperhatikan juga bahwa kategori kudus yang dimaksud terutama
bukan dalam arti moral tetapi teologi, bukan soal baik atau buruknya tingkah laku melainkan
hubungannya dengan Allah. Ini tidak berarti hidup yang sesuai dengan kaidah moral tidak
penting. Namun kedekatan dengan yang Ilahi itu lebih penting, sebagaimana dinyatakan, “kamu
telah memperoleh urapan dari Yang Kudus (1Yoh 2:20), yakni dari Roh Allah sendiri (bdk. Kis
10:38).Diharapkan dari diri seorang yang telah terpanggil kepada kekudusan seperti itu juga
menanggapinya dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Ciri yang ketiga dari Gereja adalah katolik. Katolik dari kata Latin catholicus yang berarti
universal atau umum. Nama yang sudah dipakai sejak awal abad ke II M. pada masa St. Ignatius
dari Antiokia menjadi Uskup. Ciri ini juga sering berlaku untuk Gereja Angklikan dan Ortodoks.
Ciri katolik ini mengandung arti Gereja  yang utuh, lengkap, tidak hanya setengah atau sebagian
dalam mengetrapkan sistem yang berlaku dalam Gereja. Bersifat universal artinya Gereja Katolik
itu mencakup semua orang yang telah dibaptis secara katolik di seluruh dunia dimana setiap
orang menerima pengajaran iman dan moral serta berbagai tata liturgi yang sama di manpun
berada. Kata universal juga sering dipakai untuk menegaskan tidak adanya sekte-sekte dalam
Gereja Katolik. Konstitusi Lumen Gentium Konsili Vatikan ke II menegaskan arti kekatolikan
itu : “Satu umat Allah itu hidup di tengah segala bangsa di dunia, karena memperoleh warganya
dari segala bangsa. Gereja nemajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan dan adat
istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik. Gereja yang katolik secara tepat guna dan tiada hentinya
berusaha merangkum seganap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus
Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya” (LG. 13).

3
Ciri yang terakhir dari Gereja Katolik adalah apostolik. Dengan ciri ini mau ditegaskan adanya
kesadaran bahwa Gereja “dibangun atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus
sebagai batu penjuru” (Ef. 2:20). Gereja Katolik mementingkan hubungan historis, turun
temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup. Dengan demikian juga
menjadi jelas mengapa Gereja Katolik tidak hanya mendasarkan diri dalam hal ajaran-ajaran dan
eksistensinya pada Kitabsuci melainkan juga kepada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
sepanjang masa.
Yang disebut Tradisi Suci adalah pengajaran yang bersumber pada ajaran lisan sejak zaman
Yesus dan para Rasul. Antara keduanya, Tradisi Suci dan Kitabsuci, tidak ada perbedaannya
bahkan saling melengkapi karena berasal dari sumber yang sama. Ini juga sesuai dengan yang
tertulis pada Injil Yohanes, “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi
jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat
semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh 21:25). Sedangkan Magisterium Gereja artinya adalah
wewenang yang dimiliki sebagai warisan oleh Gereja untuk mengajar dan menafsirkan
Kitabsuci.
Sebagaimana diketahui bahwa tak semua ayat pada Kitabsuci mudah untuk dimengerti maka
Gereja adalah pihak yang berwewenang untuk menafsirkannya agar umatnya tidak tersesat (bdk.
Kis 8:30-31). Wewenang Gereja mengajar juga adalah warisan sebagaimana Kristus telah
menyerahkan-Nya kepada Petrus dan para Rasul untuk mengajar atas nama-Nya (bdk. Mt.
16:13-20; Luk 10:16). Dalam prakteknya Gereja selalu dengan seksama menyelenggarakan
pengajaran iman atau penafsiran Kitabsuci itu dengan tenaga pengajar yang qualified dan
menggunakan buku-buku resmi yang dicetak seizin Uskup (imprimatur) dan sudah dinyatakan
isinya tanpa sesat (nihil obstat).
Demikianlah Gereja Katolik dalam meneruskan amanat yang diterima oleh Petrus, karena ia
mencintai Kristus maka Kristus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:15-17).
 
Gereja Katolik itu satu
Berakar dalam misteri Tritunggal, persekutuan Gereja teristimewa terdiri dari ikatan cinta. Hal
itu tampak dalam pengakuan iman yang satu dan sama, perayaan ibadat bersama, dan
persekutuan dengan para gembala Gereja. (813-822)
“Satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang
terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari
semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.” (Ef 4:4-6)
 
Gereja Katolik itu kudus
Kristus menyerahkan Diri bagi Gereja untuk menguduskannya dan mengutus Roh Kudus untuk
menghidupkannya. Karena segenap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi kudus, Kristus
memberikan kepada Gereja sarana-sarana guna membantunya mencapai tujuan ini, teristimewa
sakramen-sakramen. (823-829)
 
“Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di
dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di
dalam Roh.” (Ef 2:21-22)
 
Gereja Katolik itu katolik atau umum

4
Gereja Katolik adalah katolik atau umum dalam arti ganda: pertama, karena di dalamnya terdapat
kepenuhan Kristus dalam sarana-sarana keselamatan: ajaran, sakramen dan pewartaan /
pelayanan apostolik; kedua karena gereja diutus kepada seluruh umat manusia dari segala
bangsa. (830-835)
“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada
akhir zaman.” (Mat 28:19-20)
 
Gereja Katolik itu apostolik
Gereja adalah apostolik karena didirikan atas para rasul, yang pengajarannya diwariskan dengan
setia oleh Gereja. Dengan demikian gereja tetap diajarkan, dikuduskan dan dibimbing oleh
penerus para Rasul dalam tugasnya sebagai gembala: Dewan para Uskup, “yang dibantu para
imam, dalam kesatuan dengan pengganti Petrus, gembala tertinggi Gereja.”  (857-865)
“Dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu
penjuru.” (Ef 2:20)

 
Moralitas Perbuatan (bagaimana Penilaian Tindakan Moral)?

Perbuatan manusia dalam bidang kesusilaan tak boleh diperlukan seperti barang mati dan
terpencil, melainkan harus dipandang sebagai proses dinamis dalam hubungannya dengan
keseluruhan pribadi manusia yang di satu pihak memang mampu menentukan orientasi hidupnya
(pilihan dasar) dalm inti pribadinya, tetapi dilain pihak juga berada dalm dan terbatas oleh aneka
warna kondisi di dunia ini, sehingga penilaian-penilaian susila yang sangat kompleks itu
menuntut kita untuk memperhatikan macam-macam faktor dan penyorotan dari berbagai sudut,
terutama segi personal merupakan salah satu syarat utama untuk kesusilaan perbuatan.
Pilihan dasar dan perbuatann susila (Optio fundamentalis dan actusmoralis).
a.       Pilihan dasar (optio fundamentalis)
Berhadapan  dengan Allah mengundang manusia untuk membalas cintanya dan merupakan
tujuan terakhir serta kebaikan tertinggi, “mau tak mau’ manusia harus
menentukan  sikapnya. Orientsi atau arah dasar hidupnya, memilih dalam inti pribadinya
Tuhan sendiri, memberikan jawaban yang dipertanggung jawabkan kepada Allah yang
menganugerahkan diriNya dalam Kristus PuteraNya secara positif.
b.      Perbuatan susila (actus moralis)
1.      Perbuatan susila bukan hanya perbuatan bersusila atau perbuatan baik,
melainkan juga yang melawan hukum susila.
2.      Perbuatan susila adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia sejauh ia
berkehendak bebas dan mengetahui norma moral.
3.      Sejauh perbuatan itu dilakukan manusia dengan kehdak bebas perbuatan ini
desebut (actus humanus)
4.      Dalam perbuatan bukan manusia harus memilih ini atau itu, melainkan juga
secara implisit mengaktulisir pilihan dasar yang berkisar pada kebaikan-tertinggi
(summum bonum).

5
5.      Dalam menilai perbuatan susila tidak boleh memandang perbuatan itu dalam
partikularitasnya, melainkan dalam hubungannya dengan orientasi keseluruhan hidup
pribadi manusia, sejauh mana ia menguasai perbuatannya sesuai dengan orientasi
hidupnya.
Actus hominis dan actus humanus
a.        Actus hominis
Actus hominis adalah perbuatan yang memang: dilakukanoleh manusia tetapi tidak selaku
manusia yang tahu dan mau secara bebas, artinya:
1.      Tanpa pemakaian akal budi (karena belum dapat, misalnya bayi, orang gila.
Pada saat dilakukan perbuatan tidak memakai “pikiran” misal: orang mabuk, tidur,
dalm hipnose).
2.      Tanpa perhatian seolah-olah mendadak, tanpa dipikirkan terlebih dahulu
(kalap).
3.      Tedegak, terpaksa, tertekan dari dalam dan luar. Actus hominis tidak termasuk
dalam penilaian moral.
b.        Actus Humanus
Actus humanus artinya perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang tahu dan mau secara
bebeas, sehingga ia bertanggung jawab atas perbuatannya yang dikuasai itu. dengan demikian
actus humanus praktis disamakan dengan actus moralis.
1.      Syarat tahu
Pengetahuan mengenai;
a.       Pelaksanaan perbuatan
b.      Obyek (apa) yang dilakukan
c.       Penilaian/sifat kesusialaan
Pengetahuan terjadi dalam hati nurani, maka bersifat pertimbangan dan penilaian.
Pengetahuan dan perhatian biasa cukup, jadi tidak perlu pengetahuan dan perhatian yang
refleks.
2.      Syarat “mau secara bebeas”
2 segi syarat itu:
a.       Voluntarium: apa perbuatan dan-akibat yang keluar dari dan disebabkan
oleh kehendak pelaku yang mengenal tujuan .
b.      Kebebasan: kehendak, bukan hanya bebas dari paksaan luar tetapi juga
bebas dari paksaan dalam. Ini berarti; kemungkinan mengambil keputusan yang
lain dari pada sekarang diambil, sekurang-kurangnya kebebasan untuk berbuat
atau tidak berbuat. Untuk melakukan yang ini atau itu.
Halangan-halangan yang mempengaruhi syarat “tahu” dan “mau” secara bebas. Akctus
humanus dalam pengertian negatif: yaitu dengan menyebut halangan-halangan yang dapat
mempengaruhi.
a.       Halangan-halangan yang mempengaruhi syarat “tahu” : ketidaktahuan
(ignorantia). Ketidak tahuan dapat dibagi berbagi pandangan:
1.      Obyeknya
a.       Tak tahu faktum (ignorantia facti), misalnya tak tahu bahwa hari ini hari
jumat.
b.      Tak tahu hukum/aturannya (ignorantia iurir), misalnya tak tahu bahwa hari
minggu wajib merayakan misa.

6
2.      Subyeksnya,
a.       Tak dapat diatasi, tak bersalah
b.      Dapat diatasi, bersalah
1.      Karena lalai
2.      Karena sangat lalai
3.      Karena sengaja
3.      Kehendak
a.       Mendahului kehendak dan menyebabkan perbuatan (seandainya tahu lebih
dahulu, tentu tak melakukan perbuatan itu), tak salah.
b.      Mendahului kehendak, tapi tidak menyebabkan perbuatan (seandainya tahu
toh tetap melakukannya), jadi ketidak tahuan yang menyertai perbuatan. Sikap
tidak baik
c.       Mengikuti dan keluar dari kehendak, maka meruoakan ketidaktahuan yang
dapat diatasi, maka bersalah.
b. halangan-halangan yang mempengaruhi syarat mau secara bebas
kehendak bebas dapat dikurangi atau bahjan dilenyapkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Ketidak tahuan
2.      Keakutan
3.      Paksaan luar
4.      Hawa nafsu
5.      Disposisi normal
a.       Dari luar, seperti lingkungan,pendidikan.
b.      Dar dalam, seperti temperamen, watak sifat menurun, bawaan umur, kelamin.
c.       Kompleks kehisupan jiwa
d.      Kebiasaan
6.      Disposisi tak normal.
 
 
 

v Sasaran hukum ke V?
Hukum kelima adalah “Jangan membunuh”. Soal terjemahan “mematikan” (to kill) atau
“membunuh” (to morder). Soal bahasa ada dua bentuk yaiut deskriptif atau normatif artinya
dannya pembedaan mematikan dan membunuh. Ada yang membedahkan dan ada yang
tidak. Deskriptif artinya melukiskan apa adanya, belum menilai. Nirmatif sudah menilai.
Yang kedua, bentuk dan pendasaran. Bentuk mengarah pada awal yaitu pemeriksaan dengan
maksud aborsi. Adapun pendasaran atau parainese: langsung intuitif meyakinkan, tapa
bukan argumentasi. Argumentasi adalah pandangan dan tindakan.
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan
cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum.
Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif,
misalnya politik, kecemburuan,dendam, membela diri, dan sebagainya.
Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum adalah dengan
menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dapat dilakukan
dengan menggunakan bahan peledak, seperti bom.

7
Macam-macam pembunuhan
Pembunuhan ada 3 macam, yaitu :
 Membunuh dengan sengaja
 Membunuh seperti di sengaja
 Membunuh tersalah
Membunuh dengan sengaja
Membunuh dengan sengaja adalah pembunuhan yang telah direncanakan dengan memakai
alat yang biasanya mematikan. Dikatakan seseorang membunuh dengan sengaja apabila
pembunuh tersebut :
 Baligh.
 Mempunyai niat/rencana untuk membunuh.
 memakai alat yang mematikan.
Pembunuhan dengan sengaja antara lain dengan membacok korban, menembak dengan senjata
api, memukul dengan benda keras, menggilas dengan mobil, mengalirkan listrik ke tubuh korban
dan sebagainya.
Membunuh seperti di sengaja
Membunuh seperti di sengaja yaitu pembunuhan yang terjadi sengaja di lakukan oleh seorang
mukallaf dengan alat yang biasanya tidak mematikan. perbuatan ini tidak diniatkan untuk
membunuh, atau mungkin hanya bermain-bermain. Misalnya dengan sengaja memukul orang
lain dengan cambuk ringan atau dengan mistar, akan tetapi yang terkena pukul kemudian
meninggal. Dan jika yang di bunuh itu adalah janin yang masih dalam kandungan ibunya dengan
cara aborsi (pengguguran). Maka masalah ini menjadi penting dibicarakan, karena kasus-kasus
aborsi dengan cara medis (meminum obat tertentu atau suntikan) dalam kehidupan masyarakat
modern sekarang ini merupakan masalah yang cukup serius.
Hal seperti ini biasanya di lakukan oleh janin dari hasil hubungan di luar nikah. Atau kehamilan
yang tidak diinginkan oleh pasangan sah sekalipun. Aborsi harus dipandang sebagai suatu
pembunuhan yang di sengaja atau di rencanakan, dan pelakunya layak mendapatkan sanksi
hukum. Hukum Islam menjelaskan bahwa janin memiliki hak untuk hidup. Hal ini di perkuat
dengan fakta bahwa semua mahzab memerintahkan untuk menunda pelaksanaan hukuman mati
bagi seorang wanita yang hamil sampai ia melahirkan.
Membunuh tersalah
membunuh tersalah yaitu pembunuhan karena kesalahan atau keliru semata-mata, tanpa
direncanakan dan tanpa maksud sama sekali. misalnya seseorang melempar batu atau menembak
burung, akan tetapi terkena orang kemudian meninggal.
Dasar hukum larangan membunuh
membunuh adalah perbuatan yang di larang dalam Islam, karena islam menghormati dan
melindungi hak hidup setiap manusia. Allah berfirman dalam surah al isra :33 yang artinya
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang di haramkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan suatu alasan yang benar"
Dalam ajaran agama Katolik, larangan untuk membunuh ditemukan dalam Sepuluh Perintah
Allah kelima,"Jangan Membunuh". Dalam Gereja Katolik, implikasinya luas, termasuk juga
larangan untuk membunuh kandungan aborsi, euthanasia, dan bunuh diri, terkecuali pembunuhan
karena membela diri terhadap serangan orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, perintah
"jangan membunuh" ini diserukan untuk menghindari perang selama dimungkinkan, untuk
mencegah pertumpahan darah yang besar.[1]

8
 
 
 
 

 
 
 
Tema Aplikatif
 
1.     Bagaimana mewartakan Kristus dalam konteks pluralisme agama, budaya, dan
kemiskinan di indonesia?
Dalam konteks masyarakat Indonesia, misi Gereja akan Yesus Kristus  yang adalah Kerajaan
Allah diwujudkan oleh segenap umat beriman kristiani melalui dialog dengan umat beriman dari
tradisi religius lain serta budaya lain demi penghargaan terhadap martabat manusia dan
transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta.
1.     Gereja Dalam Konteks Masyarakat Indonesia Abad XXI
Sebagaimana terumus dalam kongres para Uskup Asia (FABC), Gereja Asia adalah Gereja
yang hidup di tengah situasi keanekaragaman agama (tradisi religius), keanekaragaman budaya
dan kemiskinan[1]. Konteks sosial budaya dan religiositas masyarakat Asia tersebut menjadi
‘lahan’ dimana benih Sabda Allah dalam Kristus disemaikan dan dipupuk agar
menghasilkan buah (berdirinya Kerajaan Allah). Dalam konteks Asia, pewartaan Kerajaan Allah
berhadapan dengan realitas keanekaragaman tradisi religius, keanekaragaman budaya dan juga
kemiskinan. Berhadapan dengan konteks tersebut, proses inkulturasi Injil Kerajaan Allah yang
menjadi hakikat perutusan Gereja pun hendaknya ditinjau dan ditegaskan kembali. Hal ini
berkaitan juga dengan pemahaman baru mengenai eklesiologi khas Asia. Hal ini masih ditambah
pula dengan karakter khas masyarakat Asia abad XXI.
Gereja Indonesia adalah bagian dari  Gereja Asia tersebut. Keanekaragaman tradisi religius,
budaya dan realitas kemiskinan  pun menjadi medan hidup Gereja Indonesia. Gereja Indonesia
hidup dalam konteks masyarakat plural Indonesia yang masih bergelut dengan masalah-masalah
moral hidup dan kemiskinan. Secara khusus, Konferensi Wali Gereja Indonesia (Konferensi Para
Uskup Indonesia) telah mencoba untuk mengenal keprihatinan mendasar masyarakat Indonesia
awal abad XXI ini yakni tiadanya keadaban publik.  Tiadanya keadaban publik ini disebabkan
karena terjadinya kesalahan urus ruang publik dan arus globalisasi-sekularisasi yang
memiskinkan[3] Tiadanya keadaban publik yang disebabkan oleh salah urus ruang publik dan
arus globalisasi-sekularisasi yang memiskinkan ini menyebabkan begitu banyak keprihatinan
sosial yang melanda masyarakat Indonesia di awal abad XXI. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
beberapa kerusakan mental bangsa karena habitus korupsi, gaya hidup konsumtif hedonis,
eksploitasi lingkungan hidup, politik sektarian, dan kemiskinan struktural. Kenyataan ini tentu
menjadi ancaman bagi terjadinya perpecahan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Berhadapan dengan konteks tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana Injil
Kerajaan Allah dalam Kristus hadir dan mengakar pada realitas hidup umat beriman di

9
Indonesia? Bagaimanakah Gereja yang mewartakan  Yesus Kristus yang adalah Kerajaan Allah
itu sungguh hadir menjadi garam dan terang sebagai murid Kristus yang menyelamatkan?
Bagaimanakah Gereja yang adalah sakramen keselamatan Allah bagi manusia ini sungguh
menjadi relevan dan signifikan bagi pengembangan kesejahteraan manusiawi dan rohani bagi
masyarakat Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan berikut menjadi salah satu usaha untuk meninjau
dan menegaskan kembali pewartaan Kerajaan Allah bagi masyarakat khas Indonesia.
2.     Mewartakan Kristus yang adalah Kerajaan Allah sebagai Hakikat Misioner Gereja
Sebagai sakramen keselamatan bagi dunia, Gereja terpanggil untuk melanjutkan pewartaan
Kerajaan Allah dalam diri Yesus Kristus demi keselamatan seluruh manusia. Dengan tugas
perutusan ini, Gereja pada hakikatnya sendiri bersifat misioner. Hal ini ditegaskan dalam ensiklik
Redemptoris Misio dari Paus Yohanes Paulus II yang menyatakan tentang amanat misioner
Gereja. Dalam ensiklik tersebut, Paus Yohanes Paulus II bermaksud memberikan ajaran tentang
karya misi sesuai dengan situasi konkret zaman ini. Tugas perutusan Gereja ini menjadi tugas
perutusan segenap umat beriman Kristiani untuk selalu mewartakan Kristus bagi masyarakat
sekitarnya. Dalam konteks hidup dunia sekarang ini, bagaimanakah amanat misioner Gereja akan
Kerajaan Allah dalam diri Yesus Kristus ini dilaksanakan? Tentu hal ini memerlukan sebuah
pemahaman baru mengenai misi. Misi tidak lagi dapat dipahami sebagai sebuah usaha untuk
mengkristenkan orang dengan cara membaptis dan memasukkan orang-orang yang telah
menganut tradisi religius non-kristen ke dalam Gereja. Tugas perutusan Gereja dalam
mewartakan Kerajaan Allah tidak lagi dipahami sebagai sebuah usaha untuk memasukkan orang
dari agama/tradisi religius lokal dan budaya yang bermacam-macam (plural) ke dalam iman
Kristiani, tetapi lebih berperan sebagai garam dan terang bagi masyarakat dengan menghidupi
nilai-nilai iman Kristen bagi perjuangan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
3.     Paradigma Baru Teologi Misi: Misi adalah Dialog
Dengan pemahaman baru mengenai misi sebagai pewartaan Kerajaan Allah yang hadir dalam
diri Yesus Kristus dan segala karya serta keprihatinannya demi kesejahteraan lahir batin
manusia, maka teologi misi hendaknya dimaknai secara baru pula. Hal ini berkaitan dengan
konteks hidup sosial masyarakat dimana pewartaan Kerajaan Allah itu disampaikan. Dalam
konteks masyarakat Indonesia yang plural (baik secara vertikal maupun horisontal) dengan
segala tantangan masyarakat akan globalisasi, sekularisme, ekonomisme serta culture of death,
bagaimana misi akan Kerajaan Allah ini dilaksanakan? Dalam konteks sosial tersebut, misi
hendaknya dipahami dan dilaksanakan dengan paradigma baru yakni dialog. Ber-misi adalah
ber-dialog. Dialog ini dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mau terbuka dengan kebenaran-
kebenaran lain yang terdapat dalam tradisi religius non-kristiani dan juga dalam budaya-budaya
lokal lainnya, tanpa harus meninggalkan komitmen puncak terhadap iman Kristen. Dialog selalu
dapat merangkul paradoks di antara keterbukaan terhadap agama/tradisi religius lain dan
komitmen  puncak terhadap agama sendiri. Meski begitu, ada beberapa hal yang patut
diperhatikan dalam melaksanakan misi sebagai dialog dan dialog sebagai misi. Hal-hal tersebut
adalah:
1. Dialog sejati dapat dilakukan pertama-tama dengan menerima koeksistensi agama-
agama lain yang berlainan dan melakukannya bukan dengan rasa kesal tetapi dengan penuh
kerelaan.
2. Dialog sejati mempradugakan komitmen. Dialog berarti mempersaksikan keyakinan-
keyakinan kita yang terdalam, sementara kita juga mendengarkan kesaksian-kesaksian
yang lain.

10
3. Dialog hanya mungkin bila kita melangkah dengan penuh pengharapan untuk
menjumpai Allah yang telah mendahului kita dan telah mempersiapkan orang-orang di
dalam konteks budaya-budaya dan keyakinan-keyakinan mereka sendiri.
4. Dialog dan misi dapat dilaksanakan hanya  di dalam sikap kerendahan hati.
5. Dialog maupun misi harus mengakui  bahwa agama-agama  mempunyai dunianya
sendiri, dengan poros dan struktur-struktur mereka sendiri.
6. Dialog bukanlah suatu pengganti ataupun suatu penipuan demi misi.
7. Dialog selalu menghargai suatu hal yang baru, yang membuka perspektif baru akan
terjadinya korelasional di antara hal-hal yang berbeda.[6]
4. Wujud Dialog: Nilai Universal yang Dikomunikasikan
Secara lebih konkret, misi sebagai dialog dapat diwujudkan ke dalam beberapa praksis dialog
yang terjadi di dalam berbagai bidang kehidupan. Dialog dipandang sebagai sarana komunikasi
satu sama lain tentang kebenaran/nilai-nilai universal bagi keselamatan manusia secara real yang
ada dalam agama-agama dan tradisi religius. Dalam rangka dialog, kekhasan iman masing-
masing justru menjadi kekayaan yang dapat dibagikan kepada partner dialog serta menjadi suatu
autokritik terhadap imannya sendiri. Dialog selalu merupakan eksistensi dan koeksistensi. Di
Indonesia, praksis dialog dapat dilakukan dalam bidang-bidang berikut ini:
1. Dialog kehidupan: perjumpaan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dialog ini menunjukkan
kedekatan bertetangga dan saling berbagi satu sama lain dalam kehidupan nyata.
2. Dialog tindakan: dialog yang terjadi dalam aksi nyata dalam usaha memperjuangkan keadilan
dan pembebasan. Misalnya: dialog yang terjadi saat orang Islam dan Kristen bekerja sama
mengentaskan penduduk dari buta huruf dan kemiskinan.
3. Dialog pengalaman religius: perjumpaan orang berlainan agama yang saling berbagi pengalaman
religiusnya dan kekayaan rohani mereka.
4. Dialog pembicaraan teologis: dialog yang terjadi dalam rangka memperdalam pemahaman
mereka mengenai warisan-warisan religius mereka, serta saling menghargai nilai-nilai
kerohanian yang dimiliki oleh masing-masing pihak.[7] 
Keempat dimensi ini saling berkaitan satu sama lain. Dalam konteks Indonesia, dimana pluralitas
dan kemiskinan menjadi realitas yang dihadapi oleh setiap warganya, maka keempat wujud
dialog ini hendaknya ditempatkan dalam kerangka pluralitas agama, budaya dan tanggungjawab
sosial atas kaum miskin/mereka yang tersingkir.
5.  Tujuan dialog: Mendirikan Kerajaan Allah di Indonesia dengan semakin membawa
segenap masyarakatnya dalam memberikan penghargaan terhadap martabat manusia dan
mengusahakan transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta.
Untuk mendukung terjadinya dialog yang terbuka dan transformatif, segenap umat beriman
di Indonesia ini perlu mengadakan pemahaman yang mendalam terhadap agama masing-masing.
Dalam hal ini, iman membutuhkan pemahaman (seperti kata St. Anselmus: fides quaerens
intellectum). Dengan mengadakan pemahaman lebih lanjut, kebenaran iman yang telah tertanam
dalam hati setiap orang sebagai anugerah Allah ini tidak bertentangan dengan rasionalitas
manusia sehingga muncul kesadaran bahwa iman selalu memihak manusia (manusiawi).
[8]Dengan melibatkan peranan akal rasional dan kerjasama dengan ilmu-ilmu manusia termasuk
di dalamnya filsafat dan sosiologi, segenap umat beriman diajak untuk meninggalkan
penghayatan iman yang cenderung legalistis, dogmatis, dan harafiah.
Usaha ini kiranya ditempatkan dalam kerangka visi yang sama dari agama-agama itu dalam
memperjuangkan keadilan dan pembebasan manusia. Mengangkat harkat martabat manusia

11
hendaknya menjadi tugas agama-agama dalam usahanya untuk selalu mendengarkan sabda
Allah. Dalam hal ini, dialog ditempatkan dalam kerangka pertanggungjawaban terhadap iman
masing-masing yang otentik. Dengan demikian, dialog agama memiliki dimensi liberatif,
transformatif, dan humanis. Apabila hal ini semakin dipahami dalam kerangka dialog di tengah
pluralitas, niscaya Kerajaan Allah benar-benar tinggal dan bergema di dalam diri setiap orang
demi penyelamatan manusia. Kerajaan Allah ini semakin nyata dalam realitas masyarakat yang
semakin menghargai martabat manusia serta memperjuangkan terjadinya transformasi sosial
menuju kesejahteraan semesta.
 
2.      Persoalan inkulturasi Gereja di Asia?
Gereja, sebagai perkumpulan umat beriman yang percaya kepada Yesus dalam
persekutuanNya dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, ada dalam dunia dan menjalankan misinya
untuk menghadirkan Kerajaan Allah (Bdk. LG, art.5). Dalam pertemuannya dan relasinya
dengan dunia, Gereja berusaha untuk tetap menghadirkan wajah Kristus di tengah tantangan
dunia yang mengelilinginya. Menghadapi hal tersebut, Gereja tetap berusaha menyampaikan
penghargaan terdalam kepada tradisi-tradisi lain, dan berusaha menjalin dialog yang tulus
dengan para penganutnya. Nilai-nilai religius yang diajarkan oleh tradisi-tradisi tersebut
bukannya menghilangkan nilai Injil, melainkan melalui ajaran-ajaran tersebut menambahkan
pemenuhan mereka dalam Yesus Kristus.
Dengan hadirnya Gereja di tengah dunia, maka ia pun mengemban misi untuk menyebarkan
kabar gembira ke seluruh dunia, seperti yang telah diperintahkan oleh Yesus sendiri: "Pergilah
ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mat 16:15). Pewartaan Kabar
Gembira tersebut dapat dirasakan hingga saat ini oleh seluruh umat manusia di penjuru belahan
dunia, salah satunya adalah di Asia.
Benua Asia merupakan benua yang terluas di muka bumi ini. Benua ini dihuni oleh hampir
duapertiga penduduk dunia. Dengan keadaan seperti itu, tak dapat dipungkiri bahwa benua ini
memiliki keragaman bangsa dengan budaya-budaya yang telah diwariskan dari jaman ke jaman.
Kita perlu mengingat bahwa Asia merupakan kawasan kelahiran agama-agama besar dunia, yaitu
Yudaisme, aama Kristiani, Islam dan Hinduisme. Di benua ini pula lahir pula berbagai tradisi
rohani lainnya, misalnya: Budhaisme,Taoisme, Konfusianisme, Zoroatrianisme, Shintoisme, dan
masih banyak lagi. Di dalamnya, iman masyarakat berbaur pula dengan agama-agama
tradisional, suku-suku, pada berbagai tingkatan ajaran religius ritual dan formal yang terstruktur.
Dengan kenyataan seperti itu tantangan Gereja semakin berat dan rumit. Gereja harus
menghadapi cakrawala budaya yang begitu beraneka ragam dan berubah dengan cepat.
Masyarakat dunia, khusunya di Asia, pada umunya sedang mengalami persoalan kultural yang
tak pernah terjadi sebelumnya. Di sini Tugas Gereja adalah berusaha untuk menterjemahkan dan
mengartikulasikan pesan Kristiani dalam bahsa orang-orang yang sejaman. Dalam proses
tersebut, perlu pula dilihat bahwa pewartaan Kristiani ini ditujukan kepada manusia dan bukan
kepada para malaikat.[1] Dengan kata lain, pewartaan ini harus mencakup manusia sutuhnya,
jiwa dan badan, bukan hanya jiwanya saja. Sehubungan dengan itu, Gereja harus menjadi locus
theologicus,artinya bahwa Gereja harus tetap menjadi sumber di mana para jemaat dapat
menghayati imannya dan tempat di man umat dapat menimba iman Gereja itu sendiri yang benar
dan sejati. Dalam pewartaannya di dunia, ia harus tetap menjadi sebuah tanda dan sarana
keselamatan.

12
Gereja di Asia adalah salah satu locus theologicus. Di dalamya kita dapat menggali nilai-nilai
Kristiani awali yang berguna bagi perkembangan iman jemaat. Perbedaan budaya, suku bangsa,
dan ajaran-ajaran yang ada bukanlah menjadi halangan untuk mendatangkan Kerajaan Allah di
dunia ini. Sebaliknya, melalui keberagaman tersebut diharapkan dapat memperdalam iman kita
akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, inkulturasi perlu dikembangkan sejauh hal itu membantu
jemaat dalam hidup menggereja dan hidup beriman.
Tulisan ini hendak mengetengahkan gambaran umum Gereja di Asia, terlebih dilihat dalam
konteks inkulturasinya. Gambaran ini bukan semata interpretasi penulis sendiri, melainkan dalam
terang Dokumen Konsili Vatikan II. Di awal akan dipaparkan tentang terjadinya Gereja Asia
sebagai karya Roh Kudus. Selanjutnya, ditampilkan gambaran Gereja di Asia terkait dengan
konteks, serta gambaran inkulturasi yang ada di dalamnya. Di akhir tulisan ini akan ditampilkan
refleksi serta relevansi praktis bagi hidup beriman dewasa ini.
Gereja di Asia: Karya Roh Kudus[2]
Pada jaman sekarang, terdapat kekeliruan dalam memandang Gereja, terlebih mengenai asal-
usulnya. Kebanyakan orang atau jemaat non-Kristiani menganggap bahwa Gereja itu merupakan
bentukan dari budaya Barat, khususnya budaya Eropa. Inilah kenyataan yang terjadi. Yesus Sang
Pendiri Gereja itu sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia. Terjadi sebuah paradoks, bahwa
jemaat Kristiani di Asia sendiri cenderung menganggap Yesus, yang sebenarnya lahir di daerah
Asia (Yudea), bukan lahir di Asia. Kebanyakan umat lebih meihatNya sebagai tokoh Barat. Hal
ini tak dapat dilepaskan dari peran para misionaris Barat yang membawa serta budayanya masuk
ke dalam daerah yang didatanginya.
Peran Roh Kudus dalam keberadaan Gereja di Asia sangatlah vital. Roh Kudus ialah roh Allah
sendiri yang memberi hidup. Karya penyelamatan oleh Yesus terjadi dalam jalinan misteri
Tritunggal. Roh Kudus menjadi daya penggerak hidup. Hal ini nampak dalam karya penciptaan.
Roh Kudus hadir sejak saat pertama penciptaan, dan kekuatannya tersembunyi dalam sejarah
penyelamatan selanjutnya.
Roh Kudus yang di masa lalu bergerak menjelajahi Asia pada jaman para bangsa dan para nabi,
hingga jaman Yesus serta para muridNya, kini kembali bergerak di tengah umat Kristiani
modern di antara bangsa-bangsa, kebudayaan, dan agama di benua itu.[3] Di dalamnya terdapat
dialog cinta kasih yang terjadi antara Allah dan manusia disiapkan oleh Roh dan dilaksanakan di
tanah Asia dalam misteri Kristus. Demikian pula dialog yang terjadi antara Sang Penyelamat dan
Bangsa-bangsa di Asia masih berlangsung berkat Roh Kudus itu juga. Roh menghimpun menjadi
kesatuan segala macam orang, beserta adat-kebiasan, sumber-sumber daya alam dan bakat
kemampuan mereka yang berlainan, seraya menjadikan Gereja tanda persekutuan seluruh umat
manusia di bawah Kristus sebagai kepala.[4]
Gereja di Asia: Konteks dan Inkulturasinya
Dewasa ini, inkulturasi menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dalam kehidupan iman
Kristen. Berbicara tentang inkulturasi, berarti terkait dengan interaksi antara masalah iman dan
budaya. Inkulturasi ini dipopulerkan oleh para misionaris yang bermisi ke daerah-daerah baru
guna menyebarkan ajaran-ajaran iman Kristen. Ada dua bentuk disposisi misi yang menjadi
perhatian dalam berinkulturasi. Di satu pihak, iman harus diwartakan ke seluruh dunia, dan di
sisi lain budaya setempat juga harus tetap dilestarikan. Dengan kata lain proses inkulturasi ini
tidak sekedar usaha menyebarkan iman, tetapi bagaimana iman itu dapat diterima tanpa
menghilangkan budaya setempat.

13
Berbagai pendapat mencoba mengartikulasikan hal ini agar menjadi jelas apa yang sebenarnya
menjadi tujuan inkulturasi itu sendiri, dan metode apa yang relevan guna mencapai tujuan
tersebut. Salah satu contoh tokoh yang mencoba mendekati persoalan ini adalah Michael
Amalados (, seorang imam Yesuit. Mereka berdua mencoba menunjukkan metode-metode dalam
berinkulturasi sesuai dengan konteks yang dihadapi. Pendekatan yang dilakukan oleh Amalados
ini bertitik tolak pada konteks Gereja Asia, secara khusus Gereja di India.
Dalam metode pendekatannya terhadap inkulturasi, Amalados mendasarkannya pada Sabda
Tuhan sendiri (Bdk. DV,art. 10). Meskipun kelihatannya terdapat dua titik pendasaran, isi serta
metode berinkulturasinya tetap sama. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa dalam
berinkulturasi, budaya lokal harus diangkat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa kristianisme
bukan menjadi milik budaya tertentu, dengan demikian tidak boleh menjadi monopoli dan
dominasi satu kelompok. Dari sini pula dapat diyakini bahwa Allah mengajak semua manusia
untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam konteks Asia, kita dapat melihat adanya dua elemen utama yang diwartakan dalam terang
Injil. Dua elemen itu adalah kemiskinan dan religiositas.[6] Jika Injil tidak diwartakan sebagai
suatu kabar gembiran tentang pembebasan dari kemiskinan dan penindasan, sebagaimana suatu
bentuk pemenuhan spiritual pribadi, Injil tidak akan diperhatikan dan tak memiliki daya lagi.
Kerajaan yang diwartakan dan dijanjikan dalam Injil merupakan suatu persahabatan dari
kelompok manusia yang memiliki persamaan hak, tentang kasih dan pelayanan, tentang keadilan
dan mengungkapkan pendapat. Tujuan ini bisa tercapai tidak hanya melalui suatu perubahan
struktur-struktur yang ada. Dalam prosesnya, Gereja perlu melalui suatu perubahan, dalam diri
individu-individu dan kelompok, yang memimpin mereka untuk bertumbuh dan membebaskan
diri dari belenggu penderitaan.
Gereja di Asia: “Kolaborasi“ Spiritualitas
Salah satu bentuk penghayatan spiritualitas Kristiani nampak dalam Ibadat.[7] Ibadat merupakan
suatu perayaan yang dihadiri oleh sekumpulan orang beriman sebagai saat yang paling penting
dalam hidup dan perkembangan setiap individu dan kelompok secara keseluruhan. Inilah ciri dari
Gereja. Ini adalah ungkapan iman dan hidup mereka, dalam bentuk simbolis yang memiliki arti
sebagai sarana yang ingin menghadirkan kembali misteri yang mengawali dasar kehidupan
mereka. Dalam konteks ini diperlukan dua bentuk pendekatan.[8] Pertama, kita harus melihat
serta membedakan unsur pembedaan dan persamaan dari bentuk perayaan sakramental dalam
Gereja, dan kita harus membuat bentuk perayaan baru yang difokuskan pada bentuk yang
seragam. Kedua, kita harus memberikan pemaknaan baru bagi kehidupan orang kristiani yang
memiliki perayaan nasional dan musiman, serta berbagai bentuk perayaan lain dalam
masyarakat. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap perkembangan bentuk-bentuk ibadat yang
baru oleh Konsili Vatikan II.
Relevansi
Berinkulturasi berarti membangun sebuah Gereja lokal yang hidup, yang otentik.Yang menjadi
masalah dengan kebanyakan Gereja Asia adalah bahwa mereka merupakan Gereja-Gereja lokal
yang masih butuh diinkulturasikan. Inkulturasi kemudian menjadi semakin sukar dan menemui
rintangan-rintangan psikologis dan sosiologis yang sungguh-sungguh tidak berhubungan dengan
Injil atau Gereja.
Salah satu hal penting yang dapat kita gali lebih dalam untuk inkulturasi ini adalah
melalui liturgi. Liturgi merupakan sumber dan puncak segala perikehidupan dan misi Kristiani.
Di dalamnya sangat menentukan bagi pewartaan Injil, khususnya di Asia. Dalam hal ini

14
inkulturasi Liturgi tetap diminta untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai iman dalam
lambing serta upacara budaya tradisional.
Tugas paling penting untuk Gereja di Asia sekarang adalah menciptakan suatu suasana
dimana Gereja-Gereja lokal dapat berbela rasa dan menjadi bebas dan bertanggung jawab atas
kehidupan mereka dalam semua aspeknya. Setelah berabad-abad dengan keseragaman yang
kaku, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi tanpa suasana demikian, Gereja-Gereja lokal
tidak akan bertumbuh. Mengakui keberadaan budaya lokal yang mempunyai kekuatan untuk
merevisi ajaran dan arah Gereja. Dalam hal ini perlu diingat bahwa Roh Kuduslah yang
membimbing kita pada seluruh kebenaran, yang memungkinkan dialog yang subur dengan nilai-
nilai budaya yang religius pada berbagai bangsa.
Pertemuan antara iman dan budaya lain yang ada dalam suatu daerah memang dapat
menimbulkan resiko besar, hingga pertumpahan darah. Namun bila inkulturasi tidak berani
mengambil resiko, inkulturasi akan stagnan, mandeg, dan bila berhenti maka inkulturasi tidak
relevan lagi. Sama halnya ketika penulis menilik kembali inkulturasi yang terjadi di tanah Jawa
ini, belum banyak proses inkulturasi yang berhasil, dan akan selalu menuai kritikan. Malahan
proses inkulturasi yang ada menjadikan penduduk pribumi menjadi “Londo Ireng”.
Memang bila dilihat, pandangan akan inkulturasi ini lebih mengarah pada sebuah teologi
pembebasan, jadi harus menyentuh pada dasar budaya tersebut guna memunculkan kebenaran
iman. Kelemahan dari sistem ini adalah akan memunculkan ekstrimis spiritualis pada suatu
budaya, sehingga mengklaim diri sebagai yang paling benar dan semua ajaran harus berakar dari
situ. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa inkulturasi bukanlah tujuan dari
evangelisasi, melainkan inkulturasi itu merupakan evangelisasi tersebut. Maka bagaimana
sekarang Inijl tersebut, yang merupakan kabar gembira, dapat diterima oleh seluruh umat
manusia, dan bagaimana pula kebaikan Injil tersebut dapat diterjemahkan di tengah-tengah
pluralitas budaya, suku dan bangsa di dunia ini. Inilah misi dari inkulturasi yang sebenarnya.
 
 
3.     Pengahayatan hidup perkawinan sakramental?
 
Perayaan Ekaristi merupakan puncak dan pusat dari setiap sakramen. Sakramen
Perkawinan merupakan salah satu perayaan dari ketujuh sakramen lainnya yang diterima Gereja
dan dirayakan bersamaan dengan Perayaan Ekaristi. Penulis memilih tema ini sebagai tema
pilihan yang dibahas dalam paper karena antara Perayaan Sakramen Perkawinan dan Perayaan
Sakramen Ekaristi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Di manakah letak keterkaitannya?
Keterkaitan antara kedua sakramen itu terletak pada: a) Keduanya sama-sama merayakan
kesetiaan. Dalam Perayaan Sakramen Ekaristi Gereja merayakan dan mengenangkan sekaligus
diajak untuk setia pada kehendak Allah, seperti Kristus yang setia dan taat pada kehendak
BapaNya sampai wafat di Salib. b) Pada saat kedua mempelai menyampaikan janji setia terhadap
pasangannya, maka pada saat itu pula keduanya menyatakan kesetiaan seumur hidup. Janji itu
diwujudkan melalui hidup bersama, saling membahagiakan, saling melayani dan rela berkorban
demi pasangannya untuk seumur hidup.
Agar memudahkan dalam memahami paper kecil ini, kami membahas secara lebih
sistematis, yaitu:Pengantar, Dasar-dasar Sakramen Perkawinan (Dasar Biblis-Teologis, Dasar
Liturgis, Dasar Pastoral), Struktur Dasar Tata Perayaan Ekaristi Sakramen Perkawinan, Tata
Perayaan Ekaristi Sakramen Perkawinan, dan Penutup.

15
 
I.       DASAR-DASAR SAKRAMEN PERKAWINAN
1.1     DASAR BIBLIS - TEOLOGIS SAKRAMEN PERKAWINAN
A.           Dasar Biblis
   Kitab Suci memberikan dasar atau landasan untuk menggali lebih dalam maksud dan
tujuan dari sakramen perkawinan. Dua teks pokok dalam Perjanjian Lama yang menjadi rujukan
untuk membicarakan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan adalah Kej
1,26-30 dan Kej 2,18-25[1]. Dalam Kej 1,26-30 disebutkan bahwa hakekat sebuah perkawinan
adalah kebersatuan antara seorang pria dan wanita yang diberkati oleh Allah sendiri dan
mendapat tugas bersama untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia.
Tekanannya adalah tujuan prokreasi. Dasar dari tujuan perkawinan kristiani, yakni sikap
keterbukaan terhadap keturunan.
Kej 2,18-25 memberi tekanan pada kesatuan hidup suami dan istri dalam ikatan
perkawinan. Perkawinan adalah persatuan erat antara seorang pria dan wanita, atas dorongan
Allah sendiri, yang mendorong suami untuk meninggalkan ayah dan ibunya serta bersatu hidup
dengan istri sehingga keduanya menjadi satu manusia baru. Tekanannya adalah tujuan
kebersamaan dari seluruh hidup. Inilah yang juga menjadi salah satu tujuan perkawinan kristiani.
Keberadaan laki-laki dan perempuan dipandang sebagai anugerah dan kehendak Sang
Pencipta (Kej 1,27; 5,2). Sejak awal laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah sebagai
manusia yang dipanggil untuk saling membutuhkan, dan bahkan untuk hidup bersama (Kej 2,21-
24). Dalam Perjanjian Lama, perkawinan dilihat sebagai yang dikehendaki oleh Allah sendiri.
Perkawinan melambangkan sejarah hubungan antara Yahwe dan umat-Nya Israel[2].
Perjanjian Baru mengungkapkan makna luhur dari perkawinan. Yesus sendiri sangat
menghargai perkawinan dan menolak perceraian. Bagi Yesus, kesetiaan mutlak itu adalah
hakikat perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Injil Matius mengungkapkan ajaran
Yesus melalui sabda-Nya, “Karena ketegaran hatimu, Musa mengizinkan kamu menceraikan
istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikianâ€� (Mat 19.8). Hal ini semakin menegaskan
bahwa sejak semula kesetiaan yang tak terputuskan merupakan esensi hidup perkawinan. Akan
tetapi, berpijak dari kutipan Injil Matius muncul beberapa penafsiran mengenai kata
“zinaâ€� yang belum jelas dan tegas artinya. Ada kemungkinan kata
“zinaâ€� merupakan tambahan dalam jemaat Matius yang mau bersikap terbuka terhadap
perasaan orang Yahudi yang kiranya tidak bisa membayangkan untuk tidak menceraikan seorang
istri yang tidak setia. Jawaban yang mendekati kepastian tentang tafsiran kata “zinaâ€� yaitu
menunjuk pada keprihatinan Yesus akan makna kesetiaan mutlak dalam perkawinan.[3]
Paulus memiliki pandangan yang agak berlainan dengan penulis Injil Matius. Di satu sisi
Paulus tidak menganjurkan perkawinan sebagai pilihan utama dalam hidup (1Kor 7,7), akan
tetapi di lain sisi Paulus sangat menghargai perkawinan. Paulus menegaskan pada jemaatnya
bahwa perintah Yesus agar orang yang telah menikah tidak bercerai (1Kor 7,10-11). Akan tetapi,
Paulus juga terbuka pada berbagai persoalan yang terjadi dalam perkawinan. Salah satu
tanggapannya adalah memperkenankan adanya perceraian dari orang kristiani yang menikah
dengan orang yang non-kristiani dengan syarat-syarat tertentu.
Perkawinan kristiani bukan hanya merupakan tanda hubungan antara Kristus dan Gereja-
Nya, melainkan kehidupan bersama dalam perkawinan ikut ambil bagian dalam misteri agung
dari kasih Kristus yang tak terputuskan dengan  Gereja-Nya[4]. Jadi, cinta kasih antara Kristus

16
dan Gereja-Nya kini hadir dan terpantul dalam cinta kasih suami-istri dalam sakramen
perkawinan[5].
 
Konsili Trente dalam sidangnya sessi ke XXVI, 11 Nopember 1563, menegaskan tempat
perkawinan dalam tradisi hidup Gereja. Perkawinan antar orang kristiani adalah sakramen
Perjanjian Baru dan merupakan salah satu dari tujuh sakramen perjanjian baru yang diadakan
oleh Kristus sendiri. Konsili menyatakan bahwa cinta kasih suami istri kodrati itu
disempurnakan, persatuan yang tak terceraikan dikokohkan dan suami-istri sendiri dikuduskan
dengan rahmat yang melimpah dari sengsara Kristus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
justru karena rahmat yang melimpah dari sengsara Kristus, perkawinan kristiani menjadi tanda
kehadiran Kristus di dunia. Karena daya rahmat itu, di dalam Kristus perkawinan kristiani
menjadi tanda aktual bahwa Allah tetap setia hadir dan menguatkan hidup manusia.
Paus Leo XII dalam ensiklik Arcanum, menegaskan bahwa: 1) sebagai lembaga kodrati,
perkawinan sudah mempunyai nilai sakramental dalam arti umum, yaitu mewujudkan hubungan
kasih dengan Allah, dan 2) perkawinan kristiani diangkat menjadi sakramen. Nilai
sakramentalnya tidak hanya dalam arti pasif, yaitu menerima rahmat dari Kristus, melainkan juga
dalam arti aktif, yaitu ambil bagian dalam rahmat Kristus membaharui dunia dan membentuk
karya keselamatan.
Paus Pius XI, dalam ensiklik Casti Connubii,  menegaskan bahwa cinta kasih sendiri
dapat dikatakan sebagai dasar dan alasan utama dan pertama bagi perkawinan yang dimengerti
secara luas yang dalam dirinya sendiri mengandung semua kewajiban dalam hidup berkeluarga.
Namun perkawinan kristiani merupakan lembaga ilahi yang dibangun oleh Allah sendiri dalam
Kristus. Sebagai lembaga ilahi, perkawinan kristiani mempuyai sifat tak terceraikan.
Kendati perkawinan kristiani merupakan institusi ilahi, kehendak bebas manusia turut
ambil bagian di dalamnya merupakan bagian yang menentukan
sebab consensus matrimonialis bukan soal perasaan senang tetapi lebih-lebih soal kehendak
mantap untuk saling menyerahkan diri dan menerima jodoh secara total menyeluruh dengan
segala keunikan masing-masing.
Konsili Vatikan II, di dalam Gaudium et Spes (GS) artikel 48 menegaskan : “keluarga
kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta
kasih antara Kristus dan Gereja, akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang
Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui
kasih suami-istri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan
kesetiaan, maupun melalui kerjasama  yang penuh kasih antara semua anggotanya.
 
C.           Refleksi Teologi
            Refleksi Teologis tentang perkawinan akan dijelaskan dalam 4 bagian: Perkawinan
sebagai panggilan Allah, Perkawinan sebagai ikatan sakramental, perkawinan sebagai sel Gereja,
perkawinan sebagai tanda ekastologis kasih Allah.
1.              Perkawinan sebagai panggilan Allah
Perkawinan merupakan salah satu bentuk panggilan kehidupan untuk menggapai kesucian
dan kekudusan yang menjadi panggilan semua orang beriman (bdk. LG 40 & 41). Maka menjadi
jelas bahwa kehidupan bersama dalam ikatan perkawinan merupakan suatu karunia yang
istimewa, baik bagi pasangan dan keluarga mereka maupun bagi seluruh Gereja yang kudus.

17
Melalui sakramen perkawinan, Allah menganugerahkan keluarga baru kepada Gereja, di mana
iman kristiani dihayati dan diteruskan.
2.              Perkawinan sebagai ikatan sakramental
            Perkawinan suami-istri kristiani merupakan ikatan sakramental yang artinya ikatan yang
menjadi simbol yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya.
Perkawinan kristiani melambangkan relasi yang akrab antara Yahwe dan umat Israel. Selain itu,
perkawinan sakramental yang dihayati oleh suami-istri kristiani secara khusus melambangkan
dan menghadirkan hubungan yang mesra dan mendalam antara Kristus dan Gereja-Nya (bdk. Ef
5,31-32). Justru karena perkawinan kristiani itu menghadirkan kasih kesetiaan Allah kepada
umat-Nya dan kasih kesetiaan Kristus kepada Gereja-Nya, pasangan suami-istri kristiani
ditantang untuk terus-menerus menghayati, melaksanakan, dan mewartakan apa yang
dilambangkannya.          
3.              Perkawinan sebagai sel Gereja
Keluarga dilihat sebagai Gereja-keluarga dalam LG 11. Karena itu, Konsili Vatikan II
memahami bahwa persekutuan umat beriman dalam keluarga sendiri sudah merupakan Gereja
yang benar dan sungguh-sungguh. Dengan sebutan Gereja-keluarga, keluarga yang dibangun dari
suatu perkawinan sakramental melambangkan dan menghadirkan Gereja Yesus Kristus sendiri
dalam konteks hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Maka, keluarga-keluarga kristiani
ditantang untuk terus-menerus memberikan kesaksian hidup sebagai murid-murid Kristus agar
terang Kristus semakin bercahaya di dunia ini.
4.              Perkawinan sebagai tanda eskatologis kasih Allah
Persekutuan orang beriman dari dua orang yang saling mengikat perjanjian untuk hidup
bersama dalam nama Tuhan tentulah suatu persekutuan yang di dalamnya Tuhan sendiri hadir.
Dalam ikatan perkawinan itu, Yesus Kristus hadir dan menyelamatkan mereka. Kehadiran
Kristus dalam keluarga adalah kehadiran pribadi dan seluruh karya penebusan-Nya, di situlah
misteri Kerajaan Allah dilaksanakan dan mendapat wujudnya. Misteri Kerajaan Allah adalah
misteri kasih Allah sendiri yang ingin menyelamatkan dan mengumpulkan seluruh umat manusia
dalam keluarga Allah yang kudus. Di sinilah keluarga kristiani yang dibangun atas dasar ikatan
sakramen perkawinan diutus untuk menghadirkan tanda kasih Allah yang tak terputuskan itu
bagi masyarakat di sekitar, sambil ikut berperan dalam proyek Kerajaan Allah hingga
pemenuhannya di akhir zaman.
 
4.     Soal KB?
Perlu dibedakan antara soal prinsip KB dam Soal Metode KB, agar soal metode jangan
dijadikan  soal prisnsip.
Arti KB,
A.    Makna ekseistensial dan sejarah masalah KB
1.      Makna Eksistensial KB
Tema ini penting sejauh menyangkut aspek intim pasangan suami-istri dalam
perkawinan, jalan dan bentuk hidup yang ditempuh kebanyakan orang yang juga
menghadapi masalah ini sebagai dilema; di satu pihak karena pelbagai alasan, antara
lain keuangan, perlu diusahakan KB yang bagi orang Katolik terbentur masalah
metode. Dari pelbagai gejala dapat disimpulkan karena dalam hal ini pasutri katolik
menempuh jalan sendiri, berbeda dengan tuntutan ajaran Gereja.
2.      Sejarah soal KB

18
Pengangkatan sudut pandang sejarah ini sangat penting, karena keadaan seperti
adanya sekarang adalah hasil perkembangan, maka sejarah dapat amat membantu
adanya mengenai hasil itu. tidak dimaksud menguraikan  seluruh sejarah KB yang
berlangsung seiring dengan perkembangan pandangan Gereja tentang seksualitas dan
perkawinan yang sudah dibahas dalam uraian tentang tradisi.
Cukuplah kita mulai dengan ensiklik Paus Pius XI “Casti Connubii” 1930 yang terbit
sebagai reaksi atas keputusan Lambeth Conference 1929 Gereja Anglikan yang
menunjuk sikap lebih lunak, sekurang-kurangnya secara inplisit tidak menolak apa
yang kemudian disebut KB.
Sesudah sebelum itu penggunaan masa tak subur ditolerir dalam aneka pernyataan
Sanctum Officium atau S. Paenitentiaria bagi para bapa pengakuan.
Secara lebih eksplisit KBA ini dibenarkan oleh Paus Pius XII dalam amanatnya 1951
kepada para bidan Italia.
Pontifikat Pius XII dikenal sebaga zaman yang ketat sehingga orang belum berani
mempersoalkan ajarannya sendiri, melainkan mencari jalan keluar pastoral. Baru
setelah Pius XII diganti oleh Yohanes XXIII dalam Gereja timbul suasana yang lebih
bebas dan memungkinkan diskusi lebih terbuka.
B.     Humane Vitae
1.      Prinsip dan norma ensiklik Humanae Vitae
Pemabahasan teologi moral katolik mengenai KB kiranya tak dapat dilakukan tanpa
mengutarakan ensiklik Humanae Vitae Paus Paulus VI 25 Juli 1968, lepas dari soal
bagaimana orang menilainya, karena alasan-alasan sebagai berikut;
a.       Prinsip dan norma untuk soal KB
Sikap yang dikedepankan ialah aspek unitif dan prokreatif sanggama pasutri tak
boleh dipisahkan, jadi, tak dibenarkan sanggama pasutri yang ditutup terhadap
prokreasi. Tak dibenarkan prokreasi tanpa sanggama pasutri.
b.      Ensiklik Humanae Vitae setelah studi khusus soal KB
Ensiklik humanae vitae diterbitkan oleh Paus Paulus VI sesudah kerja Panitia
Kepausan yang ditugaskan mempelajari soal KB ini, meskipun Paus Paulus VI
tidak mengikuti pendapat mayoritas panitia.
C.     Pengertian, Alasan dan Norma
1.      Pengertian dan alasan
a.       Pengertian
KB berarti tanggungjawab dalam jumlah anak dan jarak antara anak yang satu
dan anak yang lain. bila dalam semua atau banyak hal manusia harus
bertanggungjawab, apalagi dalam hal anak. Konkret KB dipahami sebagai upaya
mengurangi jumlah anak.
b.      Alasan ber-KB
1.      Alasn mondial: untuk hidup layak manusiawi jumlah manusia di dunia
ini tak mungkin tanpa batas. Daya ekologis terbatas, sedangkan hidup
manusia berlangsung dalam interaksi antara manusia dan lingkungannya.
2.      Alasan nasional: dalam argumen yang dikemukakan BKKBN ada
kebenaran hasil pembangunan tak cukup bila tak disertai KB
3.      Alasan keluarga: KB perlu untuk kesejahteraan anggota keluarga,
khususnya anak-anak yang sudah ada.

19
4.      Alasan pribadi ibu: daya seorang ibu terbatas, maka ia berlaku penuh
tanggung jawab bila membatasi jumlah anaknya, bahkan juga demi
kepntingan anak-anaknya itu sendiri.
2.      KB dan Metode
Kebanyakan perdebatan berkisar pada metode, tidak pada prinsip KB. Metode akan
berkembang seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi (kedokteran dan
farmasi)
a.       KB alamiah
Ini soal metode, bukan soal prinsip KB. Metode KB alamiah mengalami
perkembangan dari metode klender sampai metode Ovulasi billings dengan pelbagai
modifikasi.
b.      KB buatan
Dengan “buatan” dimaksudkan yang tidak “alamiah” dan ditolak oleh Gereja,
meskipun banyak orang sulit memahami penolakan ini.
1.      Mekanis: kondom pria, kondom perempuan, spiral, diafragma.
2.      Kimiawi: spermitizid
3.      Hormonal: pil, pil mini, spiral hormone, implantat hormone, suntikan,
plester hormon, ring vagina. Dll.
c.       Jalan Keluar
1.      Banyak pasangan mencari jalan keluar sendiri. Hal ini harus
disimpulkan dari kecilnya jumlah anak pasangan katolik dan praktek
sakramen tobat di mana soal ini ruoanya jarang sekali disinggung,
2.      Dalam FC diajukan gagasan “lex gradualitas (hukum bertahapan),
artinya: manusia tak dapat dituntut melampau kemampuannya, melainkan
hanya menurut tahap perkembangannya.
 
d.    Soal Pengguguran?

Pengguguran kandungan.
Penguguran kandungan adalah fenomen yang dapat kita jumpai dalam seluruh sejarah
kemanusiaan. Keadaan yang memperhatikan bahwa dewasa bahwa angka pengguguran  naik
secara mencolok: di Amerika serikat terjadi 1,5 pengguguran setiap tahun, ratusan
pengguguran di negara-negara Eropa, 40-60 juta di seluruh dunia. Semakin bertambah
jumlah perempuan yang yakin bahwa pengguguran bakal membebaskan dari beban hidup.
Namun sebagian besar dari mereka menjumpai masalah yang lebih pelik dan lebih buruk.
                 Pengguguran adalah pemusnahan makhluk manusia yang belum mampu hidup
dari kandungan ibu melalui campur tangan manusia, entah dengan membunuhnya sebelum
dikeluarkan dari kandungan, atau membiarkannya mati terlantar di luar kandungan.
Tindakan bersifat langsung apabila tindakan penghilangan orok itu disengajakan dan
menjadi tujuan langsung, atau sebagai cara atau sarana untuk mencapai tujuan, seperti
tindakan pengguguran untuk menyelamatkan nama baik seorang ibu yang belum menikah.
Penguguran bersifat tak langsung apabila kematian fetus hanya merupakan akibat samping
yang tidak diinginkan dalam mencapai suatu tujuan, seperti kematian orok karena operasi
kandungan yang diserang kanker dari seorang ibu hamil.

20
     Kitab suci tidak memberi petunjuk gamblang tentang pengguguran dan kemudaratanya.
Dalam Kel.21:22 dibuat perbedanaan di antara seorang pria yang menyebabkan keguguran
pada istri seseorang, dan karena itu harus membayar denda, denganseorang pria yang
menyebabkan kecelakaan yang membawa maut bagi perempuan itu, sehingga berlaku lex
talionis yang keras: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, lika ganti luka. Kitab Keb 12:3-7
mencelah pembunuhan anak-anak dan orang-orang tak berdayaoleh orang tua mereka. Lebih
dari itu, Kitab suci menekankan kesucian hidup dalam ajaran bahwa Allah adalah sumber
kehidupan, dan Ia telah menciptakan manusia menurut citra-Nya. Manusia adalah pengelola
dan bukan tuan atas kehidupan. Perintah utama untuk mencintai sesama berlaku untuk
semua manusia, dan menuntut penghormatan terhadap setiap kehidupan manusia.
    
 Dengan latar belakang pandangan biblis dan pengaruh warisan tradisi Yahudi, Gereja Kristen
bahari merumuskan pandangannya tentang pengguguran. Sejak dahulu sikap yang
ditunjukan  terhadap pengguguran adalah penolakan tanpa kompromi. Penolakan itu bertolak
belakang secara tajam dengan sikap kebudayaan Romawi-Yunani, di mana pengguguran dan
pembunuhan anak-anak tidak dilihat sebagai pelanggaran moral berat. Berabad-abad agama kristen
melihat pengguguran sebagai perbuatan sangat jahat. Sesudah abad-abad pertama Gereja
menjatuhkan hukuman berat  setiap warga Kristen yang melakukan kejahatan ini. Hukum Gereja
dewasa ini mempertahankan hukum ekskomunikasi atas pelaku tindakan abortus yang hanya bisa
dilepaskan oleh uskup setempat (bdk. KHK 1398). Konsili Vatikan II mengambil sikap tegas
terhadap pengguguran (GS 51). Dalam Evangelium Vitae (1995) Yohanes Paulus II kembali
membarui pernyataan tegas tersebut, dan dengan wewenang yang telah dilimpahkan Kristus kepada
Petrus dan para penggantinya ia menggarisbawahi “bahwa pengguguran langsung yang dikehendaki
secara sengaja sebagai tujuan ataupun sarana, merupakan kejahatan moral berat, karena merupakan
pembunuhan atas seorang tak bersalah (no 62). 

21
Ringkasan Kompre Filsafat

1. Delapan Jalan Kebenaran.

1.      Pengertian yang benar artinya: seorang budhist harus tahu mengenai empat


kebenaran, yaitu duhka, sebab duhka,jalan menghilangkan duhka, dan keadaan hilangnya
Duhka. Ia tahu dan menerima informasi akan empat hal di atas.
2.      Pemikiran yang benar artinya: setelah mendapat informasi maka seorang budhist
kehendaknya dan akal budinya harus terarah untuk menghayati semuanya tadi secara lebih
mendalam
3.      Pembicaraan yang benar: seorang budhist harus menjauhkan diri dari perkataan
dusta, menipu, memfitnah, memaki-maki dan beromong kosong.
4.      Tindakan yang benar: seorang budhist harus menjauhkan diri dari perbuatan
mengambil hidup dari suatu maklhuk hidup (tidak boleh membunuh makhluk hidup ataupun
membuat mereka menderita. Dia dia dilarang mengambil atau membawa apa yang tidak
diberikan (dilarang mencuri). Juga dia harus menjauhkan diri dari permusuhan tak terkendali
dari nafsu seksual. (dilarang berbuat cabul atau berzinah).
5.      Mata pencaharian yang benar: seorang budis menghidupakan dirinya dengan
mencari kerja yang tidak merugikan orang lain. misal: dilarang bekerja sebagai pengedar
narkotika, menjual senjata dll.
6.      Usaha diri yang benar: seorang budis mulai masuk kebidang ulah batin dia berusaha
agar pikiran  dan maksud jahat dalam muncul dalam pikirannya. Dia konsentrasi dan
memusatkan batinnya untuk itu.  lalu dia juga memusatkan daya batinnya agar timbul segala
pikiran yang baik agar semua pikiran yang baik tetap terpelihara.
7.      Pemusatan pikiran yang benar: dia memusatkan daya batin pada badannya dan
membuat badannya mengatasi segala kecederunngan  badani dan kelesuan badani. Dia
memusatkan daya batin pada perasaanya dan membuat dirinya mengatasi segala pengaruh
perasaan , baik yang menggairahkan maupun perasaan yang menyedihkan.
8.      Keheningan dalam konsentrasi yang benar: seorang budihst telah terkosentrasi peuh
dalam dirinya sehingga dia tak terpengaruh oleh rangsangan nafsu dan pemikiran jahat (jln
1), dia jga berhasil lepas dari pengaruh segala bebean pemikiran, menjadi hening dan tenang
(jln 2). Kemudian dia masuk dlm kesadaran yang hening dan tenang (jln 3). Kemudian lepas
dari segala rasa bahagia ataupun tidak bahagia dia masuk dalam KELEPASAN PENUH
YANG BAHAGIA (JLN 4)
 

2. Pidato 1 juni 1945 Sukarno: Lahirnya Pancasila

Ditengah pidatonya yang heroik, tiba tiba Soekarno menyergah salah seorang anggota Dokuritu
Zyunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan IndonesiaI, Lim Koen
Hian.
“ Maaf, Tuan Lim Koen Hian , Tuan tidak mau akan kebangsaan ? “

22
Agak terkaget kaget karena ditanya begitu,Lim Koen Hian menyatakan tidak begitu maksudnya.
Lalu Soekarno melanjutkan pidatonya tentang Weltanschauuung – sebuah dasar Negara – di
tengah udara panas dan asap rokok yang menyesakan.
Soekarno memang harus menegaskan pentingnya arti kebangsaan sebagai landasan pertama
dasar Negara yang akan dibentuk. Negara bukan untuk satu golongan. Sekaligus menepis
keraguan raguan Ki Bagoes Hadikoesoemo dan pemuka pemuka Islam lainnya.

Kelima prinsip Kebangsaan, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,


kesejahteraan social dan Ketuhanan menurut Soekarno bisa diperas lagi menjadi tiga. Sosio-
nasionalisme, sosio-democratie dan Ketuhanan.
Demikian pula dari tiga prinsip jika digabungkan menjadi satu prinsip, akan melahirkan, –
demikian kata Soekarno – perkataan Indonesia tulen. Gotong Royong.
“ Alangkah hebatnya, Negara gotong royong !. Gotong royong adalah faham yang dinamis.
Lebih dinamis dari ‘ kekeluargaan ‘ saudara saudara …”

Pidato yang heroik di depan BPUPKI tentang philospfische grondslag meredakan pendapat 67
anggota tentang dasar Negara yang akan dibentuk kelak. Pancasila adalah sebuah tatanan ideal,
sebuah warisan yang pernah digali oleh Soekarno untuk bangsa yang dibegitu dicintai. Seperti
apa yang diucapkan Multatuli dalam “ Max Havelaar “. Indonesia yang laksana ikat pinggang
terbuat daripada zamrud berlilit lilit di sekeliling katulistiwa.

Pemerintah orde baru berusaha mengkerdilkan kaitan pidato bersejarah tanggal 1 Juni 1945
sebagai hari kelahiran Pancasila. Justru menciptakan ikon baru. Kesaktian Pancasila yang
dirayakan setiap tanggal 1 Oktober.
Sukmawati Soekarno tak pernah mau menghadiri undangan upacara tujuh belasan di Istana
jaman dulu, sebelum tuntutannya dipenuhi agar Pemerintah mengakui peran Soekarno pada
kelahiran Pancasila.

Justru Pancasila menjadi simbol represif selama kurun waktu itu. Sebagai mahasiswa jaman orde
baru, saya wajib menjalani penataran P 4 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila,
brainwashed tepatnya selama sebulan penuh. Membosankankan setiap hari dari pagi sampai
malam, kecuali akhirnya dapat pacar anak sastra. Pancasila lebih terlihat sebagai dogma yang
dipaksakan. Kami berdiskusi, mendengarkan ceramah sampai terkantuk kantuk. Lebih mirip
kamp Revolusi Kebudayaan di Cina. Tak heran, jaman itu ada film horror dimana sang
Kuntilanak berbicara tentang Pancasila terhadap sekelompok penduduk !

Pidato Soekarno tentang Pancasila yang terus mendapat tepukan tangan meriah dari anggota
BPUPKI bisa jadi menjadi salah satu pidato atau konsep tulisan terpenting dalam sejarah
Indonesia. Semangat Soekarno adalah refleksi jiwa seluruh bangsa, yang sudah ditanam selama
ratusan tahun oleh orang orang jaman dulu.
Namun saya melihat bahwa ujung pidato, Soekarno menegaskan kata perjuangan. Tidak ada satu
dasar Negara yang menjadi realiteit jika tidak dengan perjuangan. Setelah Indonesia merdeka,
bukan berarti perjuangan selesai.
Dus, saya mengartikan bahwa Pancasila memang harus terus berjuang sesuai jamannya. Dia
tidak bisa statis, kaku dan sakral. Pancasila harus terus bergerak dan dinamis.

23
Saya masih merasa Pancasila tetap relevan dengan jaman sekarang. Pancasila jauh lebih hebat
daripada Declaration of Independencenya Thomas Jeferson atau George Washington. Lebih
dasyat dari San Min Chu I nya dr. Sun Yat Sen. Tak bosan bosan Soekarno kelak menawarkan
kepada dunia, bangsa bangsa luar untuk mengadopsi Pancasila sebagai paham universal.

Ditengah gerusan budaya hip hop, dan MTV, generasi sekarang mungkin tak peduli dengan
Pancasila. Ia menjadi barang rongsokan di pojokan museum. Pancasila menjadi jargon yang
kurang menarik untuk digadang gadangkan para capres.
Ekonomi kerakyatan yang terdengar lebih sexy sesungguhnya adalah prinsip social
rechtvaardigheid – kesejahteraan – sudah diucapkan Soekarno 64 tahun lalu. Ia mengartikan
dalam lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan. Kesejahteraan bersama yang sebaik
baiknya.

Kita mesti bersyukur bahwa para founding fathers mendirikan Negara Indonesia tidak di bawah
sinar bulan purnama. Tetapi dalam palu godam peperangan. Ini yang membuat Indonesia kuat
dan tidak lemah.
Pancasila adalah jawaban atas simpul simpul kebangsaan yang longgar. Jika ini kelak terwujud,
Tuan Liem Koen Hian di alam baka tentu akan menyesal telah melepaskan kewarganegaraan
Indonesianya dulu.
 
Prinsip pertama

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.


Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya
memakai perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-
saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat
Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit,
tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman
Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang
bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia,
datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia,
dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan
negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di
Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas
dengan mengambil tempoh sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu orang-orangnya merasa diri
bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu
kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu
gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya "Die
Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation

24
ist eine aus chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut Otto
Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka
anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: "verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan
sekalian, definisi Ernest Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua.
Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap
baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan
tentang "Persatuan antara orang dan tempat". Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan
sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di
bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya
memikirkan "Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, "l'ame et desir". Mereka hanya
mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia
itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t
membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun, jukalau ia melihat peta
dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu
dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan
Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang
anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira,
Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon
yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai"golfbreker" atau pengadang
gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi
oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan,
bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan
sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan
Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah
Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik,
maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja,
atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua
samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka
tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup "le
desir d'etre ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer "aus schiksalsgemeinschaft erwachsene
Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau,
diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat
Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan
hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa "le desir
d"etre ensemble", tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa

25
Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le desir d'etre ensemble", tetapi Sundapun hanya satu
bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang
hidup dengan "le desir d'etre ensemble" diatas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura,
atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia
yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-
pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia
70.000.000 ini sudah ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi "Charaktergemeinschaft"! Natie
Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi
70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat, diatas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-
tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan "golongan kebangsaan".
Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira bahwa tiap-tiap
negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen
adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil,
bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut
Tengah, yang diutara dibatasi pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan
Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus menjadi nationale
staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka dijaman dahulu, adalah
nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di
zaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan
penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat
kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale
staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu Sultan Agung
Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat.
Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan
Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sri Wijaya dan Majapahit
dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik,
marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: KebangsaanIndonesia. Kebangsaan
Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan
Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi
dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di
dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab:
"Saya tidak mau akan kebangsaan".
 
TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim
Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa
klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme,
yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang
kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa,

26
tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya
"menschheid", "peri kemanusiaan". Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada
rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur
16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis
yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham
kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan
sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang
memperingatkan saya, - ialah Dr SunYat Sen! Di dalam tulisannya "San Min Chu I" atau "The
Three People's Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang
diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh
pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan
hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk
kelobang kubur.
 
 
Prinsip kedua
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya!
Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga
berfaham "Indonesia uber Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa
berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu
bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan "My
nationalism is humanity". Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri,
bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan"Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya minulyo, berambut
jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa
lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain.
Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch
principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
"internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud
kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia,
tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.
Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan
kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
 
Prinsip ketiga
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara

27
untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat
semua", "satu buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah
orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau
saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati
tidak lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan.
Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan,
inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita
rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari
pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam
disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-
pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin
utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100
orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90
utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan
sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa
agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan
adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau
demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas
bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah didalam sidang ini
berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi
saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan
rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam,
maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan,
perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang
hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak
mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam
staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor
3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara islam
dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat- hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin
bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil,
bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan
perwakilan Indonesia ialah orang kristen, itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh
dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada
perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa
Ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan

28
beras akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip
nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan
 
Prinsip keempat
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu,
yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.
Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism,
democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum
kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan,
cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara
kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan
perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan
rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak
bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah politie-kedemocratie saja; semata-
mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische
democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang
menggambarkan politieke democratie. "Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di
dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama,
tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah
Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh
karena itu Jean Jaures berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di
dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat
bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar
ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini.
Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham Ratu Adil, ialah
sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang
makan kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah
pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat
mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu
bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus
mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan ma-syarakat
dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.

29
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh
karena monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang Islam, saya
demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-
tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara,
baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan
kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya, menjadi
kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo
dengan sendirinya, dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu
saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
 
Prinsip kelima
apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1.      Kebangsaan Indonesia.
2.      Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
3.      Mufakat, - atau demukrasi.
4.      Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu
Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah
kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa
prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang
berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan
berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara, segenap agama yang ada
di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan
bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagandakan
idee kita masing-masing dengan cara yang berkebudayaan!
 
Pancasila

30
"Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan!
Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan
dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari
kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan, internasionalisme, mufakat,
kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan"
yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia
Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek- economische demokratie, yaitu
politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya
peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi
ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga:
socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga,
ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar
saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
 
Gotong royong
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus men-
dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat
Indonesia, bukan Van Eck buat indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi
Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
"gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah
hebatnya! Negara Gotong Royong!
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan", saudara-
saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu
usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama !
Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!

Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang
Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-
saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah

31
prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan
prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di
dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala,
bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di
bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka,
Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara
Indonesia yang lambat laun menjadi bubur.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya
Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai
dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara- saudara
mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia;
untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk permufakatan; untuk
sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam
dada saya sejak berpuluh-puluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah
saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa tidak satu
Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak
ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan
perjoangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan Hitler, oleh
Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch", -- manusia! --, harus perjoangkan itu.
Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit
zonder perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder
perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu:
zonder perjoangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat
menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam
kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder
perjoangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang
tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder
perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi
satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang
merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan
perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan
sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas
dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk menyeleng-garakannya, ialah perjoangan,
perjoangan, dan sekali lagi pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara
Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di-dalam
Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s, hanya lain sifatnya dengan
perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu
padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan
terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-

32
saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak mengambil
risiko, -- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka,
tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya,
sampai keakhir jaman! Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!
 
 
3. Relasi Filsafat Teologi

JAMAN RENAISSANCE (ABAD XV-XVI)

Renaissance berarti “lahir kembali”. Pengertian riilnya adalah manusia mulai memiliki
kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan
budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat awali, yaitu semangat
filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri.

Jaman ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan
kehebatan manusia tampak dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia.

Politik tidak lagi dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu
sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politk adalah etika
kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara,
bangsa, pemerintahan dan kekuasaan.

Bila abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian
argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian
argumentatif-spekulatif, melainkan eksperimental-matematis-kalkulatif.

Tokoh-tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon.

Boleh disimpulkan bahwa jaman renaissance adalah jaman pendobrakan manusia untuk setia dan
konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang
menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan
aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu
meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya
tekhnologi-tekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.
 
ABAD PERTENGAHAN: ABAD PERKAWINAN FILSAFAT DAN TEOLOGI
Tugas filsafat pada abad ini mensistematisasikan iman secara rasional. Filsafat dianggap
preambulum fidei et ancilla theologiae. Pada abad pertengahan ini terjadi pula pembelaan iman
yang kelewat batas. Iman di atas segala-galanya. Iman ini adalah jaman inkuisisi: pengadilan
iman yang secara tegas membela kebenaran iman, karenanya setiap penyimpangan adalah
kesesatan yang harus dihukum.

33
Nilai-nilai manusia dipikirkan dalam kaitannya dengan iman. Kepenuhan hidup manusia berada
pada kutub keilahian. Hal ini bisa kita lihat dalam teologinya Thomas Aquinas. Teologinya
memiliki warna filosofis, demikian pula sebaliknya.
Jaman ini adalah jaman kejayaan perkawinan antara filsafat dan iman di satu pihak, dan
radikalisme pembelaan kemurnian iman di lain pihak.

Semangat abad pertengahan dimana iman kristiani menjadi segala-galanya dalam tata hidup
bersama, tampaknya semangat itulah yang terjadi sekarang di Indonesia. Bedanya adalah iman
agama Islam dalam arti perjuangan penerapan syariat Islam menjadi ideologi bangsa dan negara
Indonesia oleh sekelompok masyarakat. Hal ini bisa kita lihat dari perjuangan pengesahan
Rancangan Undang-Undang Antipornograpi dan Antipornoaksi dan Syariat Islam di berbagai
daerah seperti di Nanggroe Aceh Darussalam, Padang, Banten dan sebentar lagi di kota Depok.
 
FILSAFAT DAN TEOLOGI BERTEMU

Pertemuan filsafat dan teologi terjadi pada jaman patristik. Fungsi filsafat pada jaman patristik
mengalami perkembangan yang sangat penting terutama dalam hubungannya dengan iman
kristiani. Jaman patristik adalah jaman inkulturasi iman dalam konteks kehidupan budi manusia.
Di sini iman mendapat warna baru, mendapat pembahasan secara filosofis. Pendek kata,
pergumulan filsafat menjadi pergumulan iman.

Agustinus merupakan salah satu sosok terkenal yang memiliki jaman ini dan sekaligus
menampilkan pengembaraan diri sebagai seorang manusia yang haus dan rindu akan Tuhannya.
Dia pulalah yang secara menyolok melakukan interpretasi dan pembahasan iman yang
menyentuh dari sudut pandang filsafat. Jaman ini mengubah pergumulan filsafat dari aneka
urusan penghayatan iman politeistis kepada penghayatan iman kristiani yang monoteistis. Sejak
jaman patristik, filsafat tidak lagi bersoal jawab mengenai aneka macam-macam tuhan,
melainkan berurusan dengan pribadi yang Satu, yaitu Allah yang mencintai umat manusia.

Lima Pembuktian Eksistensi Allah (Thomas Aquinas)


 
1.      Tomas berkata; Prima Autem et manifestior via est, quae sumitur ex parte
motus (tetapi jalan yang pertama dan yang agak mencolok mata adalah jalan yang bertolak
dari gerakan. Di dalam dunia, kita mengalami bahwa beberapa benda digerakan. Kita
menyebut benda itu sebagai sesuatu yang digerakan. Bila benda itu adalah sesuatu yang
digerakan, maka sudah pasti bahwa  ada sesuatu yang menggerakan atau penggrak. Maka
terjadilah hubungan antara yang digerakan dan yang menggerakan, seperti tongkat yang
menggerakan sebuah batu. Tongkat adalah yang menggerakan dan batu adalah yang
digerakan. Tongkat tidak bergerak sendiri, tetapi tongkat digerakan oleh tangan manusia,
dan tangan digerakan oleh manusia, dan manusia digerakan oleh pikiran,,,,,,. Dengan
demikian, yang digerakan berasal dari gerak tertentu, yang pada giliran adalah yang
digerakan oleh penggerak yang kedua. Penggerak yang kedua menjadi yang digerakan oleh

34
penggerak ketiga dst. Thomas berkesimpulan bahwa tidaklah mungkin bahwa penggerak
dan yang digerakan berjalan tanpa akhir. Harus ada penggerak pertama yang tidak digerakan
oleh gerakan yang lain. penggerak pertama tidak lagi menjadi penggerak yang digerakan.
Penggerak pertama yang tidak lagi digerakan ini diberi nama “Allah”.
2.      Tomas Berkata; secunda via est ratione causa efficient (jalan kedua diambil dari
pengertian tentang sebab yang membawa akibat). Jalan kedua erat berhubungan dengan
jalan pertama. Di dalam dunia material terfapat satu tata tertib. Tata tertib itu adalah sebab
yang membawa akibat atau dengan kata sederhana “hubungan sebab akibat”. Itu berarti
bahwa sesuatu yang diakibatkan berasal satu sebab atau penyebab. Penyebab ini di sebut
penyebab yang membawa akibat. Penyebab yang membawa akibat pada gilirannya menjadi
akibat yang disebabkan oleh penyebab yang lain dst.  Thomas melihat bahwa ada sesuatu
tata tertib yang mengikuti prinsip ini, pertama-tengah-akhir, yang ketinganya mencerminkan
hubungan sebab akibat. Menurut Tomas tidaklah mungkin bahwa hubungan sebab akibat itu
berjalan tanpa akhir di dunia indrawi ini, seakan-akan tidak ada awal  (sebab pertama) dan
tidak ada akhir (sebab terakhir). Thomas berkesimpulan bahwa pasti ada sebab pertama yang
tidak disebabkan oleh yang lain. sebab pertama ini lalu diberi nama “Allah”
3.      Thomas berkata, “tirti via est possibili et necesario” (jalan ketiga bertolak dari sesuatu
yang mungkin dan sesuatu yang harus). Di dalam dunia orang mengetahui bahwa segala
sesuatu di dunia lahir dan mati, terjadi dan melenyap. Semuanya tunduk pada proses
“menjadi dan melenyap”. Karena itu, segala sesuatu di dunia memiliki kemungkinan untuk
ada dan kemungkinan untuk tidak ada. Atas cara ini, segala sesuatu di dunia tidak kekal atau
bersifat fana. Bila mereka tidak lagi ada, Thomas mendapat pemahaman baha segala sesuatu
di dunia terjadi dari sesuatu yang “harus” ada. Sesuatu yang harus ada sungguh berbeda
dengan sesuatu yang mungkin ada. Sesuatu yang harus ada adalah eksistensi yang harus ada;
seandainya tidak ada, maka tidaklah mungkin untuk menuntun proses “menjadi dan
melenyap” dari segala sesuatu di dunia. Sesuatu yang harus ada itu, merupakan satu
keharusan realitas eksistensi yang memungkinkan proses “menjadi dan melenyap” dari
segala sesuatu di dunia. Sesuatu yang harus ada itulah yang disebut Allah.
4.      Thomas berkata; “quarta via summitur ex gradibus qui in rebus inveniuntur” (Jalan
keempat diangkat dari derajat yang ditemui dalam benda-benda). Di dalam dunia material
kita mengalamai bahwa ada penilaian “lebih atau kurang”, apakah benda-benda baik, lebih
baik, kurang baik atau indah, kurang indah atau dsb. Kita melihat bahwa ada perbedaan
derajat atau tingkatan yang menunjukan bahwa derajat atau tingkatan yang berbeda-beda itu
justru terikat dengan satu tingkat tertinggi. Tingkat tertinggi itu adalah sesuatu yang terbaik
untuk tingkatan baik, lebih baik dan kurang baik, atau sesuatu yang terindah untuk tingkatan
kurang mulia, mulia dan lebih mulia dari benda-benda itu. bila kita berkata bahwa buku itu
indah, maka kita mengerti bahwa buku yang indah itu “lebih atau kurang” mendekati “yang
indah”. Buku yang indah diukur dari “yang terindah”. Karena itu, derajat atau tingkatan dari
segala sesuatu di dunia tunduk pada “derajat tertinggi”. Dari sesuatu yang derajat tertinggi
itu merupakan ada tertinggi yang menjadi dasar dari adanya realitas dunia. Ada tertinggi ini
adalah yang terbaik dan yang tersempurna dan disebut “Allah”.
5.      Thomas berkata: “quinta via summitur ex gubernatione rerum” (jalan kelima
berangkat dari penuntunan segala sesuatu). Kita mengalami bahwa segala sesuatu di dunia
berfungsi dan aktif berjalan ke arah tujuan tertentu yang terbaik. Eksistensi dan kegiatan
mereka bukanlah satu kebetulan, tetapi berasal dari satu maksud tertentu yang ada dalam

35
satu hakekat berakal budi yang menuntun dan mengatur segala sesuatu termasuk segala
sesuatu yang tidak mempunyai akal budi. Hakekat berakal budi seperti itu kita sebut
“Allah”.
 
 

Relasi Manusia dan Alam: kasus bencna Alam (Tema Kosmologi)


Pengertian Kosmologi
 
Kadang-kadang muncul pertanyaan sinis dan premis (seperti terjadi juga pada disiplin-disiplin
yang lain) di sekitar disiplin ini, yaitu: “apakah masih mungkin atau paling tidak apakah masih
berguna orang mempelajari filsafat alam atau kosmologi?” pertanyaan ini muncul terutama
setelah manusia menyaksikan betapa luar biasanya perkembangan dari ilmu-ilmu pengetahuan
dan juga praktek-praktek yang tidak terpuji dari manusia yang cenderung untuk memanipulasi
alam tanpa memikirkan kelestariannya kembali. Akibat yang bisa kita saksikan adalah terlalu
banyak contoh dari kerusakan alam dan proses yang berkelanjutan dari pengerusakan alam.
Mengapa bisa terjadi demikian? Mungkin manusia tidak mengerti hakekat alam semesta, atau
tudak mau mengertinya secara benar. Satu hal yang cukup jelas untuk kita adalah tidak adanya
kesadaran manusia mengenai hal ini. Pada hal panggilan manusia adalah ikut membuat alam
semesta ini tetap lestari dan memanfaatkannya demi manusia itu sendiri. Manusia sendiri dikenal
sebagai homo faber dan sekaligus juga homo sapiens. Sebagai homo faber ia tidak pernah lepas
dari hakekatnya sebagai pekerja, yang mengolah alam semesta ini dan sebagai homo sapiens ia
diharapkan dapat membudayakan alam semesta ini. Untuk itu perlu manusia mengerti hakekat
dari alam semesta itu sendiri supaya dapat bertindak sebagaimana mestinya bertindak secara
benar dan baik.
Pemahaman Kosmologi dan Filsafat Alam (Melalui Perbandingan) (BAB I Rm. Valen)
Dalam ilmu kontemporer (modern)  Kosmologi dikenal sebagai bagian dari ilmu Fisika. Objek
yang dipelajari adalah benda-benda fisik yang dapat diukur (berdasar kuantitasnya). Pendekatan
yang digunakan adalah studi data empiris dan perhitungan matematis. Dalam studi ini manusia
menjadi pengamat alam semesta dan tidak menjadi bagian darinya.
Dalam kuliah ini yang dibicarakan adalah Kosmologi klasik. Ilmu ini bertautan dengan Filsafat
Alam di mana yang dipelajari adalah alam semesta baik mengenai asal usul, causa, maupun
substansinya.  Pendekatan yang digunakan adalah refleksi filosofis dan abstraksi-permenungan.
Dalam studi ini manusia menjadi bagian dari alam semesta.
Para ilmuwan empiris-positivis beranggapan bahwa alam semesta terdiri dari materi yang
merupakan realitas berukuran, berkeluasan, bergerak sehingga tidak dapat diukur dengan
permenungan abstrak teoritis murni seperti pada ilmu Filsafat Alam atau Kosmologi klasik. Hal
ini hanya dapat didekati dengan cara ilmiah, kuantitatif murni. Dengan demikian mereka juga
menyatakan ketidakrelevanan Filsafat Alam dan kosmologi klasik.
Namun kiranya pandangan sepihak ini kurang memperhatikan realitas alam dan modus
vivendi manusia sebagai bagian dari alam. Manusia tidak dapat diukur hanya dengan massanya,
tingginya. Ada sesuatu dalam diri manusia yang membuat dia hidup. Jiwa membuat manusia
hidup. Jiwa tidak bisa diukur. Ketika membicarakan tentang jiwa, misalnya, tidak dapat
digunakan pendekatan ilmu ilmiah kuantitatif. Karena itu Kosmologi dan Filsafat Alam masih
sangat relevan bagi hidup manusia.

36
Aktualitas dan Relevansi Filsafat Alam (mengapa Filsafat Alam masih relevan untuk
dipelajari)
1.        Manusia adalah bagian integral dari alam
Manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Manusia terpaku, terkagum, dan sekaligus tertindas
oleh alam semesta yang sama. Hal ini nyata dengan contoh Gunung Merapi. Bila cuaca cerah,
gunung Merapi itu indah tapi ketika erupsi Merapi, alam sungguh menakutkan. Banyak hal dari
alam yang belum dapat dipahami dengan dan membuat manusia terkagum. Keberadaan bersama
alam menyadarkan manusia akan identitas dirinya sebagai makhluk yang bergantung secara
material dan spiritual.
Alam adalah “ada” yang misterius bagi manusia. Alam mengandung jejak-jejak ilahi. Alam
karya intelek ilahi. Alam memiliki hukum-hukum. Keberadaan manusia bersama dan di tengah
alam yang menyimpan banyak rahasia ini terus mengusik hati manusia untuk memahami alam.
2.        Mengatasi parsialitas ilmu-ilmu empiris (Ilmu Kosmologi memberi pembahasan yang
umum-menyeluruh tentang relasi manusia dan alam)
Ilmu-ilmu empiris itu terbatas karena objek yang ditelitinya terlalu khusus sehingga
menyebabkan kesulitan untuk memperoleh pemahaman menyeluruh (universalitas, hakikat,
intisari) atas objek studi. Misalnya biologi mempelajari tentang makhluk hidup, botani tentang
tumbuhan, antropologi tentang manusia. Semuanya tidak ada yang membicarakan tentang alam
secara menyeluruh. Keterbatasan ini memengaruhi banyak ilmuwan untuk  beralih pada
penjelasan filosofis metafisik yang lebih umum, universal.

Perkembangan iptek juga mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan tidak netral. Kloning, bayi
tabung, dan inovasi lainnya dari pengetahuan memicu pertanyaan tentang eksistensi manusia di
tengah alam semesta. Manusia kembali pada permenungan akan makna tanggung jawab individu
terhadap apa yang telah, sedang, dan akan diperbuatnya. Ini mensyaratkan adanya sebuah ilmu
yang memberi permenungan lebih global tentang alam semesta. Kosmologi ada dalam posisi ini.

3.        Turunan dari eksistensialisme (Kosmologi memperhatikan semua yang eksis-ada
(=yang dapat diindra manusia) serta melihat manusia sebagai bagian di dalamnya)

Pemikiran ini berawal dari pemikiran Hegel bahwa manusia adalah boneka karena sesungguhnya
manusia adalah roh/spirit. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles yang
mengungkapkan bahwa yang membuat benda disebut benda adalah formanya bukan materinya
(manusia disebut manusia karena kemanusiaannya). Manusia itu adalah ens rationale-nya bukan
fisiknya.
Para pemikir anti-hegelianisme yang dipimpin oleh Sartre menyangkal teori ini. Mereka
menyatakan bahwa eksistensi mendahuli esensi. Manusia adalah subjek, bergerak, ada dalam dan
bersama dunia nyata. Dunia nyata adalah locus (tempat) sekaligus ibu hal-hal yang bersifat
materi. Dengan demikian juga ditekankan bahwa manusia dalam eksistensinya di dunia nyata
adalah adalah “ada” yang sesungguhnya (bukan hanya bayang-bayang dari roh semesta).
Eksistensialisme mendukung keaktualan studi kosmologi dalam permenungannya tentang
hubungan manusia dan alam.
4.        Tuntutan Kristianitas (Kosmologi memberi gambaran tentang dunia yang telah
ditebus)
Dari iman diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang telah ditebus. Dunia yang sekarang
adalah dunia baru, dunia yang telah ditebus bukan dunia yang  “tercemar”. Karenanya setiap
37
orang Kristen perlu mewartakan dunia yang telah ditebus ini dan memperjuangkannya. Di
dalamnya dibutuhkan refleksi terus-menerus bagaimana dunia baru ini harus diwartakan dan
diperjuangkan. Kosmologi menjawab kebutuhan itu.
5.        Tuntutan Pemahaman Kontemporer 
Dunia yang sekarang adalah dunia yang dibangun oleh pengetahuan dan teknologi. Sekat-sekat
etnis, golongan, keyakinan ideologis, ruang dan waktu telah dirombak dan diruntuhkan sehingga
sekarang menjadi “kampung global”. Informasi dapat diakses dengan sekejap sehingga kejadian
di belahan dunia tertentu dapat diterima juga dengan cepat oleh manusia di belahan dunia lain.
Di lain pihak sekarang banyak manusia semakin menyadari pentingnya kelestarian alam.
Kesadaran dan penghargaan terhadap alam ini juga diperoleh dari permenungan sistematis atas
perkembangan teknologi.
Manusia sedang menghidupi era globalisasi dan kemanusiaan itu sendiri juga ikut ter’global’kan.
Perubanan kultural dan realitas teknologi ini juga berdampak pada interaksi relasi manusia dan
alam. Ini membutuhkan suatu pendekatan dan pemahaman baru yang dapat diberikan oleh
Filsafat Alam sebagai sebuah bidang studi.
 
Karakter Spekulatif
Ciri utama Filsafat Alam adalah spekulasi. Filsafat Alam mempelajari ada sejauh hadir dan
menghadirkan diri dalam pencerapan dan dialami oleh individu dalam pengalaman biasa maupun
pengalaman ilmiah-alamiah. Filsafat Alam berusaha mempertegas dan memperjelas hubungan
antara manusia dan alam, partisipasi manusia dalam dunia, pengalaman awal dan berkelanjutan
terhadap jagad raya. Filsafat Alam adalah permenungan atas pengalaman ‘roh dalam materi’.
Dalam hal ini dibutuhkan sebuah loncatan ilmiah dan konseptual dari penggambaran,
penghadiran, dan pengukuran empiris dan matematis ke pola pemahaman yang lebih umum dan
universal. Dalam hal ini Filsafat Alam dapat menjadi sebuah sarana dan ukuran untuk
menentukan hal-hal prinsipil dalam menilai hubungan manusia dengan alam serta cara manusia
bersikap dan memerlakukannya. Manusia berusaha mencari pemahaman tentang dirinya dan
relasinya dengan dunia (semua yang ada) dengan metode reflektif spekulatif.
 
Objek Material (yang diteliti)

Objek material Filsafat Alam adalah ada fisik indrawi yang ada dalam hukum perubahan dan
dapat dicerap oleh indra baik secara langsung maupun dengan alat tertentu. Untuk menyebut
objek materialnya ada beberapa istilah:
·         Badan (corpus) à menggambarkan ada konkret, dapat dipahami, diukur, utuh, dan terpadu
·         Ada material (ens materialis) à ens adalah suatu yang ‘berada’ (bersifat aktif, merujuk
pada proses perwujudan bentuk ada). Pejalan adalah dia yang sedang berjalan.
·         Ada kodrati (ens naturalis) à dunia materiil (semua materi)
·         Ada indrawi (ens sensibilis) à mendeskripsikan benda-benda yang dapat dicerap oleh
panca indra
·         Alam (natura) à natura merujuk pada keseluruhan ada fisik dan kodrati. Juga menunjuk
pada hakikat, esensi dari suatu hal. Dalam hal ini natura merujuk pada pengertian pertama,
dibedakan dari realitas spiritual dan ideal.
 
Objek Formal

38
Objek formal memperlihatkan kekhasan suatu disiplin ilmu. Suatu objek material dapat didekati
dari berbagai aspek seturut kepentingan dan perhatian disiplin ilmu tersebut. Objek formal
Filsafat Alam adalah hakikat atau intisari ada-ada fisik dan indrawi. Filsafat Alam berusaha
mengenal dan memahami ada konkret dan tercerap dengan memastikan identitasnya (apa),
bentuk-bentuk realitas yang dipresentasikannya (aspek), di mana tempatnya dalam keseluruhan
struktur realitas (kedudukan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek formal Filsafat
Alam adalah intisari atau hakikat ada badaniah dan indrawi.
 
BAB II
FILSAFAT ALAM DALAM PEMIKIRAN YUNANI KLASIK
 
Sejarah filsafat alam berhubungan erat dengan sejarah pencaharian dan permenungan filosofis
klasik. Permenungan filosofis klasik berawal dari alam. Mereka berusaha mencari hakekat dan
prinsip awal dan akhir yang mengadakan, mengatur, dan menguasai alam. Bagaimana dengan
manusia? Setiap manusia berkontak dan hidup bersama alam. Maka permenungan mereka
sangat masuk akal karena ada hubungan antara alam dan manusia.
Dalam alam  ada yang mengagumkan dan mengerikan. Apa itu? Yaitu sejarah pemikiran dan
peradaban manusia. Sampai saat ini, pemikiran manusia memiliki aspek kontinuitas. Segala
pencapaian yang diraih manusia saat ini bukan berangkat dari titik nol, ada kesinambungan
sejarah pemikiran. Maka sejarah tetap harus menjadi pedoman dan cahaya untuk terus belajar.
1.             Pemikiran Antropo-kosmis
Apa itu pemikiran Antropo-kosmis? Antropo berhubungan
dengan kemanusiaan sedangkan kosmis berhubungan dengan alam. Bangsa Yunani sebagai
pelopor pemikiran filisofis mendahului permenungan mereka dengan kepercayaan (magis, mitis,
spiritis, dan kosmis). Orang masih percaya bahwa alam mempunyai kekuatan misterius dan perlu
dimanfaatkan sesuai dengan maksud tertentu.
Dalam perkembangannya, kepercayaan Yunani mulai dijiwai pendekatan yang rasionalistis.
Namun karakter mistis dan religius masih mendominasi. Contohnya adalah syair-syair Homer
merupakan karya-karya yang variatif, fantasia-imaginasi, mengagumkan, dan fantastis. Karya-
karya Homer merupakan suatu pemikiran antropo. Mengapa? Karena antropo berhubungan
dengan kemanusiaan, dan karya Homer merupakan suatu kesusastraan. Karya Homer terdapat
seni memotivasi, pencaharian nalar, dan sebab-akibat dengan gaya puitis dan fantastik.
Bagi Homer dan para pengikutnya, segala sesuatu berciri ilahi. Manusia dan dewa memiliki
kesamaan dan perbedaannya yaitu derajat kuantitatif dan kualitatif. Maka manusia harus hidup
seturut kodratnya atau keilahiannya (perbuatan yang baik). Dalam epos homeris, dunia semesta
dibahasakan dalam mitos. Mitos menjadi sarana untuk menjelaskan bentuk hidup dan karakter
etis yang harus dimiliki manusia. Mitos adalah paradigma hidup etis dan religius.
Selain karya Homer, ada juga kepercayaan orfisme (aliran penyair Orfeus). Ajarannya:
a)      Dalam diri manusia, tumbuh prinsip ilahi, roh yang terjelma dalam tubuh karena dosa
asal (dualistis).
b)      Roh ini ada lebih dulu dari tubuh, bersifat kekal, dan selalu berinkarnasi ke tubuh lain
(setelah tubuh sebelumnya mati) untuk menebus dosa.
c)      Hidup orfistis (pemurnian diri) merupakan cara untuk mengakhiri siklus inkarnasi.
39
d)      Orang yang sealiran dengannya memperoleh penebusan tapi yang tidak sealiran akan
menerima hukuman.
Konsep dualisme dari orfisme (tubuh adalah penjara jiwa) memegaruhi cara pikir Yunani
dan berbeda dengan keutamaan yang diyakini para pengikut Homer. Manusia mulai memandang
dunia dan dirinya serta pola hidupnya dalam konsep baik dan jahat serta cara mengatasinya.
2.             Awal pemikiran filosofis
Pemikiran filosofis Yunani klasik berakar dala pola pikir Homer (syair yang magis dan fantastis
serta mengandung aktivitas nalar) dan doktrin orfis (dualistis dan ritus purifikasi tentang realitas
baru dan mendorong keingintahuan tentang dunia, manusia, keberadaan dunia, makna hidup dan
tujuan akhirnya).
Pemikiran filosofis berhubungan dengan perubahan sosial di Yunani. Apa itu? Perluasan
wilayah dan proses peradaban wilayah taklukan harus sesuai pola pikir Yunani. Maka daerah
taklukan Yunani yang memunculkan pemikiran filosofis (Asia minor dan Italia selatan), berpola
pikir Yunani.  
1)                  Hakikat Filsafat
Filsafat bermaksud mengenal, memahami, dan menjelaskan ada dan kejadian dalam
realitas. Mengapa? Karena ada hal yang tidak dapat ditangkap indera manusia. Dalam
doktrinnya, filsafat berusaha menemukan prinsip, hakikat, dan sebab dari ADA. Bagaimana
metodenya?
Metode yang digunakan dalam permenungan filosofis yaitu melepaskan diri dari pola pikir
Homer dan orfisme (yg berpengaruh saat itu). Para filosof berusaha mengamati alam semesta dan
memahaminya dgn kekuatan logos; realitas dijelaskan secara rasional.Argumentasi mereka
disandarkan pada nalar dan seturut logika. Apa sasaran dari permenungan filsafat?
Sasaran filsafat yaitu kebenaran dan kebijksanaan. Apa yang dimaksud dengan kebenaran?
Kebenaran adalah sesuatu yg tunduk dengan nalar dan berdasarkan realitas konkret. Sang filosof
mencari kebenaran demi kebenaran semata-mata (sesuai hakikatnya). Bila orientasi
permenungan tentang kebenaran berubah menjadi kepentingan diri (SosPolEkBud), berarti
filsafat menjadi ideologi. Apa maksudnya? Ideologi merujuk pada prinsip operasional (suatu
kebenaran absolut, cth: dogma). Prinsip operasional (dogma) membuat akal budi manusia
tertekan. Orang tidak boleh melakukan sesuatu yg berlawanan dgn dogma. Filsafat bukan suatu
prinsip operasional karena ia memerlukan peran akal budi manusia.
2)                  Problem-problem Klasik Filosofis
a)      Kosmologis
Para filosof mengagumi alam. Dari kekaguman, mereka memunculkan pertanyaan.
Bagaimana alam muncul? Apa prinsip utamanya? Bagaimana tahap dan momen
munculnya?
b)   Antropologis
Para filosof berusaha memusatkan perhatian pada realitas manusia. Fokusnya yaitu soal-
soal moral dan nilai keutamaan.
c)      Entis, antropologis, dan estetis

40
Persoalan entis memunculkan perbedaan bidang kajian dan disiplin ilmu. Antropologis,
bagaimana relasi dan interaksi antar individu dan hubungan individu dgn polis.
Kemudian muncul problem epistemologis, logis, dan estetis, mereka menganalisa proses
berpikir, kebenaran dan cara mencapai kebenaran, pengalaman inderawi, pikir benar atau
keliru, buruk, dan indah. Oleh karena itu, muncul aturan dan bentuk logika berpikir,
menilai, dan memutuskan serta syarat keindahan.
3)   Para Filosof Yunani Klasik
a)      Thales
Thales merupakan pemulai filsafat alam. Menurutnya, prinsip utama pada sumber,
tujuan akhir, dan penyangga segala sesuatu. Prinsip, realitas dasar, dan penyebab
sesuatu yaitu AIR.
 
b)      Anaximandros
Dia memperkenalkan istilah arche untuk mengambarkan realitas pertama dan terakhir.
Prinsip pertama adalah APEIRON, yg tak terbatas dan tak berhingga. Apeiron?
Pertama, merujuk pada ketidakterbatasan ruang dan ketidakterbatasan kuantitas.
Kedua, ketidakterbatasan kualitas indeterminasi.
Realitas terakhir sesuatu yaitu infinitus, yang tidak memiliki awal dan akhir, tak
dilahirkan dan kekal. Maka dari itu, Anaximandros mengungkapkan bahwa prinsip
pertama yaitu infinitus (ilahi, kekal, dan abadi).
c)      Anaximenes
Dia mengoreksi bahwa prinsip pertama memang infinitus yg luas dan punya kualitas
tak terbatas tetapi tidak bersifat indeterminatif. Prinsip pertama yaitu UDARA.
Udara tidak badani (berwujud), artinya tak terindera, tercerap, dan terbatas.
d)      Heraklitos
Dia memunculkan pemikiran baru. Dia memunculkan gagasan mengenai hakikat
realitas sesuatu dan prinsip utama.Realitas ada yaitu semua mengalir.
Permenungannya ini masuk dalam metafisika tapi masih jauh dari logika.
Prinsip utama segala sesuatu yaitu API. Api menjadi sebab (causa) utama. Mengapa?
Karena api mengungkapkan cirri-ciri perubahan abadi, pertentangan, dan harmoni
secara pragmatis (tegas).
e)      Parmenides
Dia menentang ungkapan sesuatu selalu berubah dan mengalir saja. Mengapa? Karena
itu artinya kita memandulkan kemampuan nalar. Kita tidak mempunyai fondasi
pengenalan dan pengetahuan.
Oleh karena itu, Parmenides mengabaikan perubahan dan realitas inderawi-badani dan
mengungkapkan ADA sebagai prinsip segala sesuatu.menurutnya, kebenaran yaitu ada
adalah ada dan tidak mungkin tidak ada, sedangkan tidak ada adalah tidak ada dan
tidak mungkin ada. Ada adalah saat ini (tidak ada masa lalu dan depan), tanpa
awal maupun akhir, kekal, immobile, utuh, indivisibile, tidak dapat berubah, dan
inalterabile.
41
Dalam konteks filsafat alam, ada sebagai ada yang bersifat terbatas (tertentu). Artinya,
ada bukan yg definitif (berawal dan berakhir tapi tertentu. Ada sudah ada dalam locus
(tempatnya). 
f)       Atomis
Atomis berusaha memecah soal tetap (ide) dan berubah (materi). Hakikat sesuatu
adalah jumlah tak terbatas dari atom-atom yg terus bergerak. Atom tidak tampak oleh
mata. Dengan memadukan diri, atom melahirkan entitas baru. Ketika memisahkan diri,
ia membawa kehancuran.
Apa itu atom? Dalam Yunani klasik, atom merujuk pada ATOM FORMA (yg
berkaitan dengan prinsip ada untuk menjelaskan semesta). Atom ini dapat dipikirkan
dan dipresentasikan. Itu berarti, atom sama artinya dengan idea. Menurut
demokritos, idea dapat dicerap oleh intelek. Ketika materi yg berupa objek-objek
dapat ditangkap indera, objek-objek tersebut merujuk pada idea (banyak objek
menjadi 1 ide). Mengapa objek-objek tersebut hanya menjadi 1 ide? Karena intelek
hanya menangkap 1 hal saja. Proses ide ditangkap intelek adalah abstraksi. 
g)      Platon
Platon berpendapat bahwa pemecahan terhadap soal tetap dan berubah menurut
atomis, kurang memuaskan. Maka dari itu, ia berusaha untuk memecahkannya.
Caranya mengajak kita keluar dari pemikiran dunia manusia ke semesta lain.
Menurutnya, dunia manusia (material) merupakan tiruan dari dunia ide. Dunia
material adalah fana dan tiada muatan rasional.
Apa kaitan dunia material dengan ide? Pertama, ada istilah berpartisipasi dan
dipartisipasi, artinya dunia ide sbg MODEL dari dunia material. Kedua jiwa manusia
berasal dari dunia ide dan ada sebelum badan (artinya jiwa mengenal ide). Jiwa
manusia hanya perlu anamnesis, untuk mengigat kembali. Berarti manusia menjadi
WARGA dunia ide.  
h)      Aristoteles
Aristoteles tetap membahas tentang ada tetap dan berubah. Penjelasan dari
Atomis sangat terbatas (kurang ilmiah). Sedangkan penjelasan Platon terlalu irealis
(tidak nyata) dan jauh dari pengalaman. Kendati Aristoteles memunculkan solusi baru,
ia masih bertitik tolak dari penjelasan mereka (Atomis dan Platon). Pandangan
Aristoteles, ide-ide bersifat imanen dalam realitas atau menjadi forma inteligibilis yg
terealisir dalam materi. Maksudnya ide sebenarnya sudah ada dalam realitas tanpa
harus menyelami dunia ide.
 
Garis besar pemikiran Aristoteles
a.       Penjelasan tentang perubahan
Setiap perubahan ditandai perubahan dari 2 situasi atau entitas yg berlawanan (air dingin
menjadi panas). Kedua prinsip ini menjadi 2 prinsip perubahan ada yaitu terminus a quo (titik
berangkat) dan terminus ad quem (titik capai). Prinsip yg
menentukanperubahan adalah terminus ad quem. Mengapa? karena prinsip ini mengungkapkan
FORMA baru sehingga diketahui adanya perubahan (air dingin menjadi panas (panas adl
terminus ad quem). Oleh Aristoteles, prinsip ini dinamakan forma-bentuk.
42
Perubahan pada titik akhir mengandaikan ada subjek. Perubahan tidak berawal dari titik nol.
Perubahan tidak berarti sesuatu yg tidak ada menjadi ada tapi sesuatu itu berasal dari sumber yg
ada sebelumnya. Sumber sebelumnya punya sumber sebelumnya lagi sampai pada sumber awal
(yg tidak punya sumber sebelumnya). Selain itu, hal penting yg perlu diketahui dalam perubahan.
Perubahan titik berangkat ke titik capai memiliki proses penyangkalan atau privatio terhadap
status lama (titik berangkat). Penyangkalan terhadap titik awal merupakan perubahan.
Materi dan forma sebagai 2 elemen ada inderawi yg saling berkaitan. Struktur substratum
forma terjelma dalam materi, demikian juga materi berada dalam ada tertentu. Jadi materi-forma
merupakan dua prinsip berada atau hilemorfis. Materi dan forma sebagai prinsip bersama ada, yg
memperlihatkan hakikat perubahan terletak pada pergantian derajad eksistensial ada. Artinya
ada memiliki potensi, kemampuan berubah. Materi merupakan kemampuan murni. Sedangkan
forma adalah sesuatu yg menentukan materi. Jadi struktur dan relasi materi-forma sejajar dgn
struktur dan relasi potensi-aktus.
TAMBAHAN: Aktus Aristoteles
è  Proses menjadi (kualitatif & substantif).
è  ADA (suatu realitas konkrit) yg berpotensi jadi apa saja.
v  Jadi, AKTUS (Aristoteles) merupakan proses dan hasil sesuatu
b.      Problem kemajemukan ada
Ada Aristoteles bukan tunggal tapi majemuk (beragam). Dimana terletak keberagamannya?
Keberagaman ada dalamindividualisasi. Doktrin hilemorfis (materia-forma)  merupakan
penjelasan tentang kemajemukan ada. Akal budi manusia dapat membedakan ada berdasarkan
persamaan dan perbedaannya serta mengenal dan menemukan perbedaan individual ada.
Klasifikasi jenis dan rumpun, ada punya inteligibilitas. Dimana? Individualisasi forma dalam
materi sehingga ada keberagaman dan penggandaan bentuk forma dalam materi. Contoh, patung
Liberty (ada forma dan materi). Materinya adl batu dan forma adl patung.
Hilemorfis merupakan jawaban perbedaan ada dalam spesies yg berbeda. Artinya
kemajemukan dan perbedaan formal berasal dari interpenetrasi ada dalam relasi dgn potensi dan
aktus.
 
 
c.       Aneka tingkatan ada
Keprihatinan utama permenungan Aristoteles adl pemahaman dan kesadaran tingkat ada.
Tingkat ada mengungkapkan perubahan ada.
Pertama, perubahan substansial dan aksidental, perubahan berakhir dengan pemunculan
entitas baru (kelahiran makhluk hidup). Ada juga perubahan yg menyebabkan modifikasi yg
dangkal pd entitas tersebut (bentuk, warna, dll).
Ketika entitas baru muncul, materi sebagai substratum dan unsur pokoknya tidak tertentu
(indeterminatif). Indeterminatif merujuk pada hakikat materi sebagai potensialitas murni. Materi
ini disebut materia primae yg bersifat ilahi. Materia primae berada jauh di luar pikiran (tdk dpt
ditelusuri akal budi). Materia primae merupakan gagasan sebuah prinsip murni ada dan
terpahami lewat forma saja (ada hubungan timbal balik). Apa itu materia prima? Materia prima

43
adl prinsip (yg tidak konkret). Mengapa? karena ada prinsip yg konkrit. Bgmn bisa ada yg
konkret? Pasti ada yg tidak konkret (materia prima).
Karena sepadan dengan materia prima, prinsip ada menjadi syarat pengenalan yg
disebut forma substansialis. Forma substansialis adl prinsip yg mendasari dan mendefinisikan
entitas baru. Perubahan dapat terjadi. Mengapa? karena forma substansialis berangkat dari
materia prima. Perpaduan keduanya disebut substansi.
Dalam perubahan atau modifikasi, materi sebagai unsur pokok perubahan yg ditentukan
forma substansialis. Artinya ada substansial adl materi atau materia secundae (skolastik).
Sedangkan forma dinamakan forma aksidentalis.
Perubahan juga bersinggungan dengan waktu (ukuran perubahan). Waktu bukan realitas
otonom tapi intellectus (akal budi mengukur waktu). Jadi tanpa manusia, waktu tidak ada.
Mengapa? karena manusia punya akal budi (beda dgn hewan) sehingga
tahu belum dan sudah (perubahan). Artinya perubahan adl perbedaan temporal.
Kedua adalah perubahan dalam relasi substansi dan aksiden. Artinya, aksiden melekat pada
substansi dan berada dari dalam (bukan ditambahkan dari luar). Ia memancarkan dan mencirikan
substansi (memperjelas). Bila aksiden lenyap, substansi menjadi kering. Relasi keduanya
terbentuk secara abstrak dan ontologis (hanya terpampang, ditelusuri, dan dipahami intelek).
Realitas substansi dan aksiden ada dalam satu entitas objektif.    
 
d.      Titik tolak: observasi dan pengalaman
Karakter pemikiran Aristoteles adl realistis. Setiap pegetahuan berawal dari panca indera
(ilmiah atau filosofis). Berarti pengetahuan diperoleh melalui pencerapan dan pengamatan atas
data atau fakta konkrit (pemikiran yg ilmiah dan realis).
 
 
e.       Permenungan lewat sebab-sebab
Unsur mendasar permenungan Aristoteles dan kebaruan dalam filsafat adalah causa-sebab.
Konsep Aristotelian, sebab merujuk pada ada membuat sesuatu menjadi ada dan karena ada,
sesuatu dapat dikenal dan dipahami. Sebab merujuk pada prinsip ada itu sendiri dan bukan
berasal dari luar serta menimbulkan akibat tertentu. Tiga kategori sebab:
Pertama adalah sebab-sebab intern (material dan formal). Sebab
material merujuk pada asal usul pembuatan dan keberadaan fisik entitas baru, cth: kayu, marmer.
Sebab formal merujuk pada struktur inteligibilis ada dan membuat ada menjadi ada. Selain itu,
sebab formal menjadi model ada, cth: bentuk meja.
Kedua adalah sebab pelaku atau causa efficiens. Ada fisik adalah subjek perubahan. Ada fisik
menjadi locus atau tempat modifikasi atau determinasi tertentu. Proses perubahan sebuah materi
menuju entitas baru (artinya potensi [keinginan] menjadi aktus [aksi]), menuntut penjelasan
bahwa materi tidak memiliki kemampuan mewujudkan diri sendiri. Proses aktualisasi
(perubahan) ada potensial menjadi aktus mensyaratkan ada lain  yg berada di luar struktur ada
potensi-aktus. Ada tersebut yaitucausa efficiens.
Ketiga adl causa finalis. Aktivitas dan perubahan atau aktualisasi ada mempunyai tujuan
akhir. Tujuan tersebut mempunyai 2 makna. Pertama, tujuan akhir berarti batas akhir dari
aksi. Kedua, tujuan akhir punya proyek, rencana, penetapan, dan penentuan awal oleh causa
efficiens (yg memulai pengaktualisasian potensi menjadi aktus). Batas akhir pengaktualisasian
44
potensi disebut sebab finalis oleh pelaku. Dari pengertian ini, finalitas
adalah korelatif dan deterministis. 
f.     Empat elemen dasar realitas
Gagasan hilemorfis menjelaskan perubahan potensi menuju aktus dan tidak merinci
aktualisasi forma yg terjadi secara konkrit. Aristoteles beraliran realis. Artinya ia mengakui
realitas konkrit-empiris sebagai sungguh-sunggu ada. Ada empiris dapat dicerappanca indera.
Ada konkrit-empiris-fisik bertalian dengan panca indera dan tunduk pada hukum pencerapan
inderawi.
Perbedaan ada fisik-konkrit-empiris secara spesifik, terungkap dalam kualitas inderawi dan
kualitas inderawi yg tak terhingga. Cara pandang Aristotelian, indera peraba bersifat universal,
tersebar di seluruh badan, tak dapat lenyap, dan melangsungkan kontak fisik subjek dan objek.
Kualitas peraba adl kualitas dasar.
Menurut  Aristoteles, kualitas dasar adl dingin, panas, kering, dan lembab.kombinasi
kualitas-kualitas dasar, menghasilkan 4 elemen klasik. Adanya bumi-tanah (dingin dan panas),
air (dingin dan lembab), udara (panas dan lembab), dan api (panas dan kering).
Keempat unsur melampaui makna konkrit dan menuju pada prinsip, yg menghasilkan benda-
benda alam. Apa itu benda-benda alam? Benda-benda alam merupakan hasil perpaduan keempat
unsur.  
g.         Teori atom minimal
Aristoteles menerima dan mendalami pengertian atom (Demokritos dan para atomis). Apa
pendapat Aristoteles? Pendapatnya yaitu pembagian benda-benda mempunyai batas minimal.
Bila pembagian melampaui batas, benda-benda akan kehilangan struktur atau bentuk.
Dari para atomis, aristoteles menolak atom bersifat homogen secara absolut. Berarti
aristoteles juga menyangkal bahwa materi dapat dibagi secara tak berhingga (sama seperti atom).
h.      Biologi
Aristoteles berusaha untuk menarik kesimpulan yang ilmiah. Prinsip hilemorfis menurut
Aristoteles memperoleh aplikasi spontan dalam makhluk hidup. Jika materi dan forma
ditempatkan pada tingkat filosofis-ontologis, prinsip itu memuat kelenturan sehingga memung-
kinkan penerapan dalam bidang badaniah-inderawi dan konkrit.
Aplikasi hilemorfis dalam realitas hidup, mungkin bisa karena nyatanya hidup bersifat
homogen. Menurut Aristoteles, penerapan hilemorfis dalam dunia inderawi dan badani,
menjamin homogenitas. Selain itu penerepan ini memberi kesan kuat tentang alam dan makhluk
hidup.  
KESIMPULAN
     Para filosof Yunani mengawali pendekatan rasional pada alam semesta (puncaknya adl
aristoteles). Aristoteles berhasilmendaratkan pengetahuan manusia tentang alam dalam realitas.
Gagasan hilemorfis memeri dasar pengetahuan dan karakterinteligibilis ada pada diri sendiri.
Dalam menyadari keterbatasannya (Aristoteles), adanya refleksi kritis (ilmiah) yg menjadi jiwa
dasar dan penggerak utamapermenungan dan pencariannya.
            Prinsip kontinuitas dan diskontinuitas perlu menjadi pedoman karya dan permenungan
para filosof. Caranya, bertolak dari sejarah, mengembangkan pemikiran sendiri, dan melampaui
pemikiran sebelumnya.
 
45
 
 
 
BAB III
FILSAFAT ALAM DALAM  ABAD PERTENGAHAN
 
Rinascimento
Munculnya pemikir Kristen dng karya orisinal tetapi tetap ada tuduhan sbg abad kekelaman.
a.       Patrsitik: neoplatonisme dan platon, puncaknya St. Agustinus
b.      Aristoteles disebarkan ke Barat oleh pemikir Islam melalui invansi Negara Arab dan
pemikir islam Spanyol (Ibnu Rush/ Avicenna: sang komentator). Materialisme Aristoteles karena
kedalaman dan keluasan karyanya cenderung menggiring ke panteisme.
c.       Albertus Magnus dan Thomas Aquinas mendamaikan filsafat Aristoteles dengan
kristianisme.
3.2 Doktrin Penciptaan
Kristianisme
      mengadopsi dan mempelajari stoicisme, pitagorisme dan
platonisme karena menguhkan ajaran moral dan iman Kristen.
      Ajaran Aristoteles terlalu  realistis dan materislistis.
      Kristianisme mempengaruhi metafisika dan menggiringnya sejalan dengan iman
terutama dogma penciptaan dan makna hidup individu serta kehidupan itu sendiri.
      Studi tentang semesta didominasi iman dgn memperjelas hubungan kristianisme
dan dunia.
      Tidak ada pembedaan tegas antara Iman dan pengetahuan  (Pengetahuan
subordinasi iman).
Semesta raya dalam Kristianisme:
      Ciptaan Allah
      Bersifat kontigen, berada dalam kuasa ilahi
      Ciptaan mengalir dari Allah sehingga tak memiliki makna dalam dirinya
sendiri.
      Artinya  Allah tidak memerlukan ciptaan-Nya.
      Fakta: Allah menciptakan semesta dengan alas an: kemurahan dan kebaikan
Allah semata.
      Tergantung penuh pada Pengada (Penyebab ada), yaitu Allah.
Gagasan Yunani Kuno dan filosofnya (bertentangan dengan Kristianisme):
      Dunia/semesta sejajar dengan Penggerak Pertama
      Dunia bersifat kekal dan abadi, bukan diciptakan, tidak dikenal oleh Penyebab
Pertama
      Dunia adalah niscaya dan memiliki makna dalam dirinya sendiri.
      Dunia tidak harus merujuk pada entitas eksternal dalam keseluruhan
perwujudan dirinya.
 
 
 
 

46
3.3 Thomas Aquino
3.3.1 Kontigensi Dunia
      Realitas sebagai ciptaan maka  semesta raya adalah kontigen (setiap ciptaan
merupakan perpaduan antara esensi dan eksistensi, aktus dan potensi)
      Perbedaan tegas antara esensi dan eksistensi
      Semesta raya tidak mempunyai keharusan berada dalam eksistensi tanpa
kehilangan konsep (ciptaan) yang mendefinisikan maknanya.
      Pengada adalah aktus murni, bukan forma atau esensi murni (forma dan esensi
mengadung kekurangsempurnaan sehingga perlu pengaktualisasian.
      Pengada ilahi dan yang teradakan serba terbatas.
      Pengada satu-satunya yang niscaya.
3.3.2 Pengetahuan akan Yang Kontigen
Aristoteles: hanya yang niscaya yang dapat dikenal, dimengerti dan dipahami.
Thomas Aquino:
      semesta raya memiliki nilai, martabat, inteligibilis dan berpartisipasi pada
inteligibitas ontologis ilahi, Sang Pengada.
      Ciptaan berfondasi, berkemampuan dan berkeabsahan  eksistensinya pada Sang
Pengada sehingga dapat dimengerti dan dipahami.
      Membuka prospek untuk menganal Allah (manusia dapat mengenal Allah lewat
wayu khusus dan umum/alam raya).
      Pemahaman akan Allah sebagai Pengada/Pencipta memerluas pemahaman
mengenai causa.
      Allah adalah causa exemplaris dan causa creatricis.
3.3.3 Pengetahuan Atas Individualitas
v  Thomas memberikan muatan rasional kepada setiap ada yang terungkap dalam
individualitasnya masing-masing.
v  Muatan rasional itu berasal dari Intelek tertinggi yang menghendaki
keberadaannya.
v  Ciptaan memuat citra Intelek tertinggi, berpartisipasi, menjadi atau hendaknya
menjadi objek pengetahuan.
v  Akal budi mampu mengenal singularitas dan individualitas ada konkret dan lemah
dalam mengenal ada universal lewat abstraksi.
v  Pengenalan hal individual bisa lewat cara nonrasional (seni, sastra, kasih, simpati,
pertalian)
3.3.4 Pengetahuan akan Materialitas
Aristoteles: Materi tanpa forma sama sekali tidak memiliki inteligibilis sehingga tak dapat
dipahami.
Aquinas:
Ø  Materia prima adalah ciptaan Intelek tertinggi, hadir dalam setiap ada badani
sehingga tampak dan terpahami.
Ø  Materia prima adalah gambaran pikiran ilahi sehingga memiliki inteligibilis
tersendiri.
Ø  Konsekuansi: jiwa dapat berpartisipasi pada pengenalan akan misteri materi dalam
penglihatan ilahi.

47
Ø  Materi terbuka pada penetrasi nalar, kekaburan dan ketakterpahaminya hanya
lewat abstraksi disebabkan oleh tubuh hewani.
Ø  Keterpahaman materi lewat doktrin partisipasi dan causa exemplaris.
Ø  Allah adalah contoh pertama (causa exemplaris)
Ø  Kemurahan Ilahi merupakan tujuan akhir dari segala sesuatu untuk memperoleh
kesempurnaan diri.
3.4. Alto Mediovale
·         Sesudah filosofis platonian dan Aristotelian pengetahuan dan filsafat diperkaya
oleh pendekatan yang berciri empiris dan matematis.
·         Refleksi dan abstraksi pengetahuan menggunakan metode pengamatan empiris,
kalkulatif dan misuratif.
·         Dunia semesta diamati, diukur, diprediksi dan dikalkulasi secara rinci dan
sistematis maka muncul ilmu-ilmu astronomi, fisika dan biologi serta matematika
sendiri.

3.4.1.                  Astronomi: Dari Visi Geosentris ke Heliosentris


·         Aristoteles membagi dunia semesta menjadi dunia atas (etere: berciri ringan,
halus, tetap, tanpa awal dan tanpa akhir, kekal, abadi dan niscaya) dan dunia bawah
(sublunar: bersifat kasar, berbobot, berubah-ubah, berawal dan berakhir, sementara,
fana, koruptif).
·         Sistem Ptolomeus: pusat semesta adalah bumi; semua planet termasuk matahari
mengelilingi bumi, seperti tampak dalam penglihatan.
·         Konsepsi semesta raya Aristotelian terpatahkan sejalan dengan penemuan
teleskop dan alat-alat tekhnis sejenis yang semakin canggih.
·         Berikut adalah beberapa pemikir yang berani menentang arus jaman dan memulai
perubahan radikal dalam memandang semesta dan mengembangkan ilmu-ilmu positif-
empiris:
a)      Nicolaus dari Cusa: semesta yang tak berhingga dan homogen. Bertentangan
dengan konsepsi Aristotelian: semesta raya bersifat hirarkis dan tertutup dalam
dirinya sendiri.
b)      Nicolaus Copernicus mengembangkan dengan pengamatan terhadap gerak
bintang-bintang. Menurutnya pusat semesta bukanlah bumi, melainkan matahari,
bukan matahari yang mengelilingi bumi, melainkan bumi yang mengelilingi
matahari.
c)      Giordano Bruno: semesta ini berciri tak berhingga dan homogen.
d)      Kepler: gerak semesta bukan episiklis (gerak yang bermula dari satu titik
pusat)  melainkan eliklis (berputar mengelilingi matahari, meskipun secara alamiah
tampak bahwa matahari yang bergerak).
e)      Galileo menggunakan alat teknologis yaitu teropong, ia berhasil
memperlihatkan bahwa terdapat gunung di bulan dan bintik-bintik pada matahari, ia
menyanggah Aristoteles dan hirarki bhw gerak semesta & perubahan potensi
menjadi aktus mensyaratkan kekuatan eksternal (causa efisien atau penggerak
pertama). Semesta alam bergerak karena dalam dirinya sendiri memiliki sebuah
energy.

48
·         bidang fisika dan kimia, perubahan yang terjadi bukan sekedar menyangkut visi
tentang dunia, melainkan berkaitan erat dengan sebuah cara baru dalam memahami
alam lingkungan

3.4.2.      Visi Baru tentang Alam

·         Titik tolak kosmologi alto mediovale= mencari dasar 2 ilmiah yang solid, rasional
dan dapat dibuktikan secara empiris matematis, sehingga diperoleh pengetahuan yang
obyektif dan integral tentang semesta raya.

·         Visi dasar kosmologi alto mediovale= peralihan dari pengamatan kwalitas


tercerap ke kwantitas yang terukur (relasi kwantitatif) seperti massa, gravitasi, cahaya;
dari kwalitas sekunder (keluasan dan gerak) ke kwalitas primer (fisik).

·         Obyek pengamatan: benda konkrit dan fenomena alam. Akibatnya, persoalan


seperti esensi dan eksistensi, substansi dan aksiden luput dari perhatian.

·         Causa bukan lagi dalam artian sebab eksternal, melainkan sebab internal, yakni
energi.

a.      Titik Tolak

·         Tiada perbedaan hakiki antara ada konkrit dan ada yang dicerap oleh panca
indera melalui forma-forma kwalitatif inderawi, misal: warna, bau dan suara;
melainkan ada kesamaan antara keduanya. untuk mengenal dan memahami ada
konkrit hanya lewat panca indera.
·         Para pioner ilmu pengetahuan modern mencari pengetahuan yang obyektif dan
utuh-menyeluruh, fokusnya pd dimensi kwantitatif benda2 pada ukuran dan berat:
panjang, pendek, luas dan bobotnya daripada kwalitas warna dan suara

·         maka muncullah istilah kwalitas primer (keluasan, gerak, bobot) dan kwalitas
sekunder (warna, suara, bau).
b.      Inteligibilitas Baru
·         Perhatian pada kwantitas= memfokuskan diri pada hubungan kwantitatif di
antara fenomen yg kemudian bisa dinyatakan dengan bilangan atau persamaan.
·         Pengetahuan yang membahas relasi kwantitatif demikian adalah matematika
·         Peralihan cara pemahaman terhadap alam mrpkn inteligibilitas baru. Hal ini
menunjukkan pemahaman manusia modern ttg alam meliputi fisika kwantitatif
matematis (dimensi kwantitatif) maupun fisika kwalitatif (kwalitas primer).
·         Akibatnya perkembangan ilmu pengetahuan modern bkn lg mencari hakikat,
esensi, substansi dari segala sesuatu, krn kurang membawa hasil dan penuh dengan
ketidakpastian.
·         Pusat perhatian ilmuan adalah benda konkrit dalam keutuhannya sebagai
sebuah kwantitas
49
c.       Konsekwensi dari Matematisasi Alam
Akibatnya bbrp perubahan radikal dalam keseluruhan bangunan pengetahuan
kontemporer, hal ini berkaitan dng metode maupun muatan dan makna
benda2 konkrit.
i.     Nilai dan Makna Fenomen
ü Dalam perspektif baru, fenomen bkn sebagai hal sekunder atau sekedar
obyek opini, melainkan tlh menjadi obyek ilmu pengetahuan.
ü Kini, kebenaran ilmiah dan inteligibilitas baru terletak pd tataran tampilan
empiris.
ü Artinya, fenomen2 dipelajari dengan lebih rinci dan teliti, dicari hubungannya
dengan fenomen2 lainnya, diukur dan ditimbang, shg dpt dihasilkan
hukum2 atau kaidah2 matematis tertentu.
ii.   Makna Baru Kausalitas
ü pengertian Aristoteles, kausalitas= hubungan antara entitas2 yg dihubungkan
oleh pengaruh awali dan logika yang mengungkapkan relasi tersebut
dinamakan predikatif (predikat2 merupakan penjabaran dari sby yn terisolir).
ü pengertian modern, kausalitas= suatu relasi dari berbagai fenomen dan logika
yg mengungkapkannya bertipe relasional. Artinya semesta relasi yang terjadi
tidak lagi diterapkan pada entitas2, melainkan pada relasi2itu sendiri guna
menemukan kaidah2 matematisnya. Kausalitas modern berciri deterministik
atau determinisme.
iii. Alam dalam Keutuhannya
ü kehadiran sarana2 (mikroskop, teleskop, radio pemancar dan penerima,
kamera foto dan video camera serta beragam alat penginderaan mutakhir)
membuat pemahaman ilmuan kontemporer terhadap alam lebih utuh dan
menyeluruh, bukan sekedar dalam artian esensi dan eksistensi serta materia dan
forma khas Aristoteles
iv. Universalitas Alamiah
ü pemikir modern beranggapan bhw setiap fenomen yg dapat diukur adalah
alamiah.
ü Prinsip2 dan kaidah2 teknis yang terdapat dalam beragam alat2 bantu
merupakan aplikasi dari prinsip2, hukum2 dan kaidah2 yg trdpt dalam alam
semesta.
d.      Bentuk-Bentuk Matematisasi Alam
Matematisasi alam mengungkapkan diri dalam beragam bentuk dan bentuk 2 tersebut
adalah ungkapan nyata dari paham atau pemikiran yang mendasarinya. 3 bentuk
matematisasi alam era modern.

i.     Mekanisme

50
ü Penjelasan model mekanis krn masa itu mekanika merupakan sebuah bidang
fisika yg memulai pembaharuan ilmiah.

ü Penjelasan mekanis memberikan suatu penggambaran yang jelas ttg


hubungan dan keterkaitan kwantitatif dari berbagai fenomen.
ii.   Dinamisme
ü Matematisasi alam gaya dinamisme bermaksud memulih-kan pengertian-
pengertian tradisional-klasik, khususnya berkaitan dengan gagasan kekuatan
atau daya.
ü Benda-benda memiliki dalam dirinya suatu struktur metrik yang
tridimensional, yakni memiliki ukuran panjang, luas dan kedalaman.
ü Dlm setiap bnd tdpt massa & energi yg menggerakkannya untuk mencapai
7an tertnt.
iii. Atomisme
ü jaman Yunani klasik, atomisme merupakan sebuah doktrin filosofis murni
yang berciri teoretis-a priorisemata, sedangkan dalam jaman modern (abad IX)
sudah masuk pada teori2 ilmiah yang terkait erat dengan eksperimen2 dalam
laboratorium.
ü Perkembangan gagasan mengenai atom dlm era modern dipelopori oleh
eksperimen dan riset dalam bidang kimia.
ü Peralihan dari atomisme teoretis ke hipotesis ilmiah berawal dengan
ketertarikan pada fenomen dan sifat2fisik gas. Tendensi dan sifat tersebut
disebabkan oleh massa gas senantiasa stabil, meski volumenya bertambah,
bahwa gas terdiri atas partikel-partikel atau molekul-molekul yang saling
bertolakan dan bertubrukan, terpisahkan secara kontinyu oleh suatu ruang
kosong.
 
 
3.5 Biologi
Memerdalam gagasan tentang energy sebagai prinsip dasar, daya hidup, jiwa dan penggerak
yang bersifat khas dalam setiap makhluk hidup.
3.5.1 Vitalisme (gerakan antimekanisme)
      Setiap makhluk hidup memiliki prinsip vital misterius atau anima sebagai jiwa
dan penggerak.
      Tolak factor fisik sebagai fakor dominan dalam makhluk hidup.
      Pertajam dualisme (material-forma, jiwa-badan).
3.5.2  Evolusionisme
v  Format fisik makhluk hidup bersifat dinamis sesuai dengan situasi lingkungan dan
berada dalam jalinan dengan makhluk lain.
v  Semua makluh hidup memiliki asal-usul dan berkembang dalam rentang waktu
yang panjang.
v  Adaptasi dan evolusi adalah suatu yang kodrati.
3.5.2.1 Teori Kreasi Berlanjut
Dasarnya perbandingan anatomi Cuvier: paleontology.

51
Semua spesies mengalami pembaharuan/renovasi dan penyempurnaan/perfektisasi
secara periodik (dalam flora dan fauna). Penyebabnya: katasiklisme/ perubahan besar
seperti tsunami, banjir, tragedi merapi.
 
3.5.2.2 Teori discendensi
Semua makhluk hidup mirip satu sama lain akibat filiasi umum. Makhluk
sekarang adalah turunan dari generasi terdahulu. Ada mata rantai (cincin
evolusi) yang menghubungkannya. Maka sangat mungkin untuk membuat pohon
genealogis untuk seluruh makhluk hidup sebagai penjelasan atas kemiripan dalam
keanekaan makhluk hidup.
3.5.2.3 Teori Transformasi
Dasar: perbedaan antarspesies. Variasi itu ada karena proses adaptasi dalam seleksi
alam. Kuat bertahan, lemah binasa. Inilah dasar Charles Darwin.
 
 
Skema Yerusalem-Atena (Relasi Filsafat Teologi Pengalaman Paulus)

Relasi mengandaikan perjumaan iman dan filsafat. Perjuampaan pertama iman dan filsafat
dalam sejarah iaman kristiani direpresentasi oleh figur Paulus. Sebenarnya wahyu itu sudah dari
sendirinya memiliki locus kontekstual hidup manusia dengan segala kekayaan filosofis
kulturalnya. Demikian wahyu iman Kristiani. Tetapi, representasi pertemuan iman dan filsafat
menemukan rincian pergumuan paling jelas pada pengalaman paulus.
            Dalam buku kisah Para Rasul, Paulus tampil sebagai sosok pewarta iman Kristiani yang
memiliki otensitas ajaran yang paling berwibawa dalam Gereja awali. Dari Yerusalem dia
melakukan perjalanan misioner ke berbagai wilayah. Sampailah juga di Atena. Yerusalem
merupakan kota, dari mana iman Kristianimengalir. Mengapa? Karena Kristus menderita, mati
dan bangkit di sana, yang menjadi intisari dari credo iman Kristiani. Yerusalaem juga menjadi
pusat pertemuan umat beriman. Yerusalem adalah kota di mana wahyu Kristiani menemukan
locus kontekstualnya. “kamu akan menjadi saksi-saksiku di Yerusalem di seluruh yudea dan
samaria sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Dengan kata lain, Yerusalem adalah kota iman.
sementara itu, Atena adalah kota filsafat.
            Kisah tentang Paulus di Atena direkam singkat tetapi mengena. Dikisahkan Paulus
bertemu dengan para ahli pikir (jelas maksudnya adalah filosof) dari kalangan Epikurian dan
Stoa. Mereka terlibat dalam percakapan yang itens. Beberapa filosof tertarik untuk
mendengarkan ajaran baru Paulus. “Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kau ajarkan
ini?”. Dia lantas dipersilakan untuk memberikan kuliah perdananya di sidang Areopagus di
hadapan para filosof. Dari sendirinya Paulus tidak akan memberikan kuliah filsafat, melainkan
menjelaskan iman Kristiani.
            Membayangkan Paulus harus menjelaskan rincian elemen2 iman Kristus tadi dihadapan
para filosof sangat menarik. Paulus mulai dengan konteks (sebuahpendekatan kontekstual) :
“…..aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa…. Aku
menjumpai sebuah mezbah (di tengah kota) dengan tulisan: kepada Allah yang tidak di kenal”
(Kis 17:23). Penyebutan bahwa para pendengar merupakan adalah orang-orang yang sangat
beribadah, jelas menampilkan apresiasi kontekstual pewartaan. Pewartaan itu berangkat dari
nilai2 kutural/konteks setempat. Kemudian sampailah Paulus pada intisari kuliahnya, yaitu Yesus

52
Kristus. Siapakah Yesus Kristus? Dengan keyakinan yang mantap Paulus mengatakan bahwa
Yesus Kristus adalah nama dari pada Allah yang mereka sembah, yang creator, menderita, wafat
dan bangkit dari antara orang mati. “apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang
kuberitakan kepada kamu.” Tegas Paulus.
            Sampai pada poin “kuliah” tentang kebangkitan orang mati, Paulus mengalami kesulitan.
“ ketika mereka mendengar kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain
berkata: lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu”, lalu Paulus pergi…(Kis
17:32-33). Inilah kegagalan dramatis dari katekese Paulus. Pewartaannya yang dia impor dari
Yerusalem mengalami kebuntuan di Atena. Twologi Yesusalem belum kompatible dengan locus
kontekstual Atena. Teologi perlu kontekstualisasi diri. Mengapa Atena mengejek teologi
Yerusalem? “mengejek” merupakan terminologi dari kisah para rasul. Persoalannya jelas. Atena
memiliki frame rasionalitas, religiusitas dan kulturalitas tersendiri. Jika diringkas perbedaan
keduanya dapat diskemakan demikian:
Yerusalem Atena
1.      Teologi/Iman Filsafat/ rasio
2.      Pengetahuan yang mengatasi Pengetahuan rasional
rasional
3.      Berasal dari Allah Berasal dari Natura
4.      Yang dicurahkan/dianugerakan Yang dikejar/diusahakan/dilatihkan
Allah
5.      Tentang kebenaran2 Allah (credo) Tentang segala apa yang ada, yang berhubungan
dengan hidup manusia
6.      Dimensi transendental Dimensi imanensial, kontekstual
7.      Otoritas yang memastikan Pencarian rasional manusia
kebenaran itu
8.      Pernyataan Allah yang relasional, Sampai pada penemuan realitas absolut (ide
personal, menyejarah dalm hidup prinsip dari segala yang ada)
manusia
9.      PRIBADI (sang pencipta yang Substansi (tidak mencipta; segala yang ada
mencipta dari ketiadaan) mengalir dari prinsip Arche)
10.  Allah yang punya nama Tanpa nama
Ketika masih berada di Yerusalem, iman (maksudnya fides quae atau kebenaran yang
direvelasikan) demikian gamblang dan tanpa persoalan, karena diwahyukan oleh Allah. Allah
adalah otoritas penjamin akan kebenran itu sendiri. Tetapi ketika sampai di Atena apa yang
semula gamblang menjadi tidak serentak tanpa persoalan. Allah, sang Pencipta, yang
menciptakan segala apa yang ada dari ketiadaan menjadi pewartaan yang mustahil dalam alam
filsafat Yunani yang sudah terbias dengan frase kebenaran univokal Parmenedian “segala apa
yang ada, ada; dan yang tidak ada, tidak ada”. Aristoteles pun , kendati telah menggagas prinsip
aktus dan potensia dari ada to tidak mampu menjelaskan dari mana dunia dengan segala isinya
ini berasal. Berbeda sedikit dengan Plato, Aristoteles hanya bisa berkata bahwa dunia dengan
segala inisnya ini abadi. Allah yang pencipta dalam Atena korespondensi dengan sang motor
immobilis, atau sang causa prima non causata atau sang aktus purus (prinsip kesempurnaan itu
sendiri). Sang sabda (verbum) yang darinya dari segala yang apa yang ada tercipta (Yerusalem)
menjadi logos yang darinya segala apa yang ada mengalir (Atena). Ini sumbangan filsafat stoa.
Aliran filsafat stoalah yang menggagas bahwa logos adalah realitas awali dari segala apa yang
53
ada. Allah adalah yang pribadi yang menyejarah dan terlibat dalam pejiarahan kehidupan
manusia. Pandangan lain, seperti digagas oleh plato, ialah bahwa Allah adalah realitas tertinggi
yang darinya segala apa yang ada berasal dan mengalir.
Di mana kesulitan Atena menerima kuliah tentang kebangkitan orang mati, yang
mengakibatkan kebuntuhan pewartaan paulus? Agak sulit dilacak. Tetapi dari filsafat Epikuros
dan Stoa satu dua alasan dapat disebutka di sini. Bagi epikurian, segala yang ada dapat dijeskan
dari apa yang disebut sebagai Prinsip atau causa intelligibilis. Artinya, realitas apa saja dapat
dipahami dalam prinsip intelligibilis prinsip yang masuk dalam lapangan kapasitas intelektual
manusia. Akhir kehidupan, misalnya, dipahami oleh akal budi seseorang  sebagai akhir dari
penderitaan atau kesenangan yang dapat dirasakan oleh badan. Relaitas badani dengan demikian,
tidak menemukan arti kepentingannya sesudah kematian. Demikian juga stoa, aliran filsafat yang
didirikan oleh Zenone ini, tidak mengajukan rincian pandangan pada pemulian badan sebagai
badan. Stoa amat dipengaruhi oleh Plato, yang memiliki pandangan realistis tentang manusia.
Manusia adalah jiwanya. Bukan badannya. Tema Paulus yang mengaajukan “hal baru” berkaitan
dengan pemuliaan badan (dalam kebangkitan orang matti yang menjadi mungkin karena
kebangkitan Kristus) jelas macet, buntu, aneh. Kebangkitan badan bagi orang Yunani adalah
kenaifan. Sementara bagi Paulus kebangkitan badan adalah kemuliaan. Bahkan inti sari iman
Kristiani. “sia-sialah iman kita, jika tidak bangkit (KOR 15)
Dari pengalaman Paulus ini, ada sesuatu yang baru. Yaitu bahwa mewartakan iman bukanlah
sekedar berkata-kata tentang isi kebenaran iman. pewartaan bukanlah sekedar pemberitahuan
tanpa peduli konteks siapa pendengarnya. Pewartaan iman tidak bisa hanya doktrinal, melainkan
inkultural. Tidak hanya memberikan informasi, melainkan menawarkan informasi. Teologi tidak
hanya berbicara tentang Allah, melainkan tentang Allah dalam konteks lapangan kehidupan
manusia.
Tetapi, dari pengalaman Paulus, muncul pala reaksi penyangkalan terhadap filsafat.
Tertullianus, salah satu Bapa Gereja apologetis, berpendapat bahwa kebijaksanaan filosofis
hanyalah kesia-siaan belaka. Tidak ada keserupaan antara filsafat Yunani dan seorang yang
beriman Kristiani. Namun demikian, Ambrosius, Agustinus, Origenes dan para Bapa Gereja
yang lain tidak sejalan dengan Tertullianus. Mereka memandang bahwa filsafat sangat berperan
dalam refleksi iman Kristiani. Dan, sebalinya. Iman Kristiani mempengaruhi diskursus filsafat,
mentransformasikannya dan membatasinya. Apa pengaruh iman Kristiani terhadap filsafat
Yunani? Pertama, konsep monoteisme kristiani menggeser poleiteisme Yunani. Berikutnya,
prinsip penciptaan dari ketiadaan mendominasi tema-tema refleksi antara realitas konkret dan
realitas absolut. Panteisme tidak lagi dominan. Pengertian hukum kodrat dalam filsafat Yunani
yang amat rasional dibabtis menjadi pengertian yang lebih teologal, yaitu hukum itu berasal dari
Allah. Pendekata, filsafat pada periode bapa Gereja telah menampilakan transformasi pilihan
refleksi yang luas dan mendalam tentang iman Kristiani.
 
Fenomenologi, eksistensialisme, dan Pengalaman Akan Allah
1.      Fenomenologi
Arti fenomenologi: Luas: ilmu tentang fenomen2 atas apa saja yang tampak. Dalam hal ini
fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat  yang berpusat pada analisi terhadap gejala
yang membanjiri kesadaran manusia. Arti sempit: ilmu tentang gejala yang menampakan diri
pada kesadaran kita.
Konteks yang Memicu Fenomenologi

54
Sebelum melihat konteks munculnya fenomenologi, ada baiknya kita sedikit melihat sejarah
perkembangan filsafat agar konteks itu nantinya menjadi lebih jelas.
Rangkuman sangat singkat tentang sejarah filsafat:
 
Manusia sejak awal mula selalu mencari kepastian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sejarah perkembangan pemikiran merupakan sejarah perkembangan metode manusia untuk
menggapai kepastian.
Berangkat dari jaman baheula dulu Thales adalah orang pertma yang berusaha mencari kepastian
asal usul dengan mematahkan mitos-mitos seputar asal usul dunia yang penuh dengan cerita
dewa-dewi yang nggak jelas. Kemudian muncul para filsuf alam yang menunjukkan dasar
kosmos (arche) yang berbeda-beda. Parmenides menunjuk pada akal budi, sedangkan heraklitos
menunjuk pada pengalaman inderawi.
Namun, selanjutnya muncul golongan manusia yang bersikap skeptis tentang dasar kepastian
pengetahuan manusia. Mereka itulah kaum sofis. Kaum sofis percaya bahwa yang menjadi
kepastian itu adalah manusia itu sendiri sebab segala sesuatu selalu bisa dikembalikan kepada
manusia untuk mengukur benar-salahnya sesuatu. Nah... dalam periode ini, Sokrates merupakan
musuh besar mereka yang selalu “bersikap pura-pura bodoh” (Kata thracymachus) tetapi pada
akhirnya berhasil mematahkan semua argumen kaum sofis yang sifatnya relatif-subyektif.
Perkembangan selanjutnya (abad patristik dan pertengahan) dipenuhi ide bahwa kepastian itu
hanya ada pada Tuhan.
Pada Abad 17, sebagian besar orang sudah merasa eneg dengan semua yang berbau Tuhan itu.
Salah satu tokohnya adalah Descartes yg terkenal dengan Cogito Ergo Sum-nya. Descartes
menyatakan bahwa pikiran adanya kunci dari kepastian pengetahuan; melalui pemikirannya
Descartes berhasil merumuskan dasar filosofis bagi rasionalisme dan sains Barat. Menurutnya,
tanpa bantuan Tuhan dan KS pun manusia mampu menyibak rahasia alam walaupun hanya
dengan bantuan otoritas akal budinya. Dalam rangka itu ia memisahkan subyek dan obyek.
Mengapa begitu? Karena subyek memang harus berpisah dengan obyek. Subyek adalah Paidi
yang sedang berpikir, sedangkan obyek adalah segala sesuatu yang ada di sekitar yg bersifat
materi (tanah, air, udara, gedung, buku, dsb.) yang bekerja di bawah kendali hukum alam.
Rasionalisme Descartes itu mendapat perlawanan kaum empiris. Bagi kaum empiris, indera lebih
penting dalam memeroleh pengetahuan yang pasti. Sebab, akal budi bekerja secara deduksi,
mulai dari premis2 abstrak ke kesimpulan konkret. Bagi kaum empiris, observasi melalui indera
itu lebih konkret nyata ketimbang lewat pengolahan akal-pikiran.
Mencoba mengatasi perdebatan sengit antara empirisme dan rasionalisme, muncullah IKan
(Immanuel Kant, maksudnya J)  yang memberi sintese apik. Menurutnya, indera dan akal
sebenarnya sama-sama bekerja untuk menghasilkan pengetahuan yg pasti. Indera menyediakan
bahan mentah dan akal-pikiranlah yang mengolahnya.  Bagi Kant, di luar indera, akal hanya
mampu bekerja secara logis tapi tdk menghasilkan pengetahuan. Kant juga membedakan antar
fenomena (apa yg tampak), noumena (sesuatu di balik penampakan), dikotomi yang
mengagungkan dualisme subyek-obyek ala Descartes.
Di titik inilah gagasan Husserl tentang fenomenologi masuk. Fenomenologi Husserl ingin
meneruskan pola pemikiran tetapi dengan cara pendekatan yang berbeda, yaitu tidak
membedakan subyek-obyek, subyektif dan obyektif, apalagi fenomena dan noumena.
Fenomenologi memulai gagasan dengan mengikis paham dualisme tsb. Fenomenologi
merupakan suatu usaha mengerti sesuatu yang sebenarnya, caranya adalah dengan keyakinan

55
bahwa pengertian itu dapat dicapai dengan mengamati fenomenon (bertemu dengan realitas itu
sendiri).
Istilah fenomenologi sendiri sebenarnya disampaikan ke ruang public pertama kali dalam
pemikiran Hegel: dalam bukunya “Phenomenology of Spirit” (1870). ‘Fenomenologi’ Hegel
sarat dengan metafisika, yaitu perbincangan tentang apa yang ada di balik penampakan. Kant
pun tak jauh berbeda. Kajiannya tentang fenomena juga menyisakan konsepsi tentang noumena
yg tersembunyi. Pengetahuan manusia yg terbatas mau tdk mau terbentur pada fenomena.
Apa yang dihasilkan dari pemikiran Husserl ini sebenarnya merupakan bentuk reaksi melawan
atas segala bentuk pemikiran yang ada sebelumnya. Bentuk pemikiran-pemikiran itu adalah:
-  aliran skepstisisme yang menekankan bahwa pengertian yg sebenarnya itu tidak ada dan
sekaligus aliran relativisme yang mengajarkan bahwa pengertian yang benar itu tidak ada karena
persoalan mengenai benar dan tidaknya sesuatu itu bergantung pada siapa yg memikirkannya.
Terhadap kedua pemikiran ini Husserl ingin menyerukan, “Oi.... yang dinamakan nilai universal
(Universalitas) itu masih ada bo....!!!” *sambil kedip-kedip J*
-  aliran idealisme yang menyatakan bahwa manusia tidak mengerti realitas, melainkan hanya
mengerti pikirannya sendiri dan sekaligus empirisme seperti sudah dijelaskan di atas tadi.
 
            Apa sih yang menyebabkan Husserl mati-matian ingin menelorkan pemikirannya ini?
Tampaknya Husserl sudah tidak betah lagi membiarkan :
* Pertama, Kesadaran jaman modern (ingat Descartes!!!) yang bersifat tertutup dan berpusat
hanya pada dirinya sendiri (dan eksistensinya). Cogito ergos sum. Saya berpkir maka saya ada.
Yang ada hanya “saya...  saya....” J. Nah, Husserl ingin mencelikkan mata orang sejamannya
bahwa kesadaran kontemporer adalah kesadaran yang terbuka pada obyek di luar dirinya. Tidak
ada subyek tanpa obyek yang menampakkan diri, dan juga sebaliknya tidak ada obyek tanpa
subyek yang menyadarinya. Kami berusaha membuat analogi yang sederhana (yang semoga
tidak menyesatkan). Begini ceritanya: Karena ada “Yuswanto” dan “Upil” kita bisa membuat
kalimat “Yuswanto sedang menonton upil”. “Yuswanto” di sini bertindak sebagai subyek dan
“upil” sebagai obyek. Subyek dan obyek ini saling menjalin dan mempengaruhi. Tanpa “Upil”,
“Yuswanto” tidak bisa menonton apapun. Tanpa “Yuswanto”, “upil” tidak berarti karena tidak
ada yang menontonnya. Jadi pemisahan subyek dan obyek ini secara tegas diragukan, karena
tanpa kehadiran keduanya, baik “Yuswanto” maupun “upil” sama-sama kesepian. J
* Kedua, filsafat-filsafat, khususnya yang berbau Idealisme dan rationalisme, selalu
mendengung-dengungkan untuk melihat sesuatu di balik realitas, mis: Lihatlah wajah Tuhan di
balik realitas wajah wawan !!!J. Nah... Husserl ingin mencoba mengembalikan cita-cita filsafat
yang ingin memperoleh pengertian yang benar. Pengertian yang benar ialah pengertian yang
menangkap realitas, dan menangkap tuntutan realitas itu sendiri. Untuk itu dia berteriak dalam
bahasa Inggris, “Back to things themselves!”.
Dalam pengertian kita. Disitulah kita bertemu dan bersatu dengan realitas. Dalam pertemuan itu
realitas menampakkan diri, menggejala. Akan tetapi rupa-rupanya realitas itu juga terus-menerus
menyembunyikan diri. Aneh, bukan? Tetapi bukankah hal ini sesungguhnya yang terjadi?
Pengertian kita tentang suatu hal bisa bertambah menjadi lebih sempurna terus-menerus karena
kita menyelidiki dan terus bertanya? Bukankah ini bukti bahwa realitas itu menggejala
(fenomenon) sekaligus menyembunyikan diri dan barulah lebih membuka diri ketika kita terus
bertanya?

56
Inilah keyakinan Husserl: Kita dapat melihat yang sebenarnya dari fenomenon, jika terus
bertanya! Sayangnya, rasa ingin bertanya kita biasanya dibungkam dengan penjelasan metafisis,
warisan nenek moyang, hasil penelitian ilmu pengetahuan (science) yang bertebaran di sekeliling
kita. Fenomenologi menemukan upaya menggapai ‘hal itu sendiri’, lepas dari segala
presuposisi (macam-macam penjelasan dan pengandaian-pengandaian di atas).
Jadi, Fenomenologi Husserl = ilmu tentang penampakan yang berarti ilmu tentang apa yg
menampakkan diri ke pengalaman subyek. Hanya dengan berkonsentrasi pada apa yg tampak
dalam pengalaman, maka esensi dapat terumuskan dengan jernih. Berbicara tentang esensi di
luar penampakan adalah kerja yg sia-sia: Inilah yg membedakan fenomenologi husserlian dengan
Kant maupun Hegel, meskipun sumbangan keduanya juga masih berpengaruh. Bagi
Husserl, fenomenologi merupakan suatu metode deskripsi dan analisis kesadaran dan apa yang
terberikan pada kesadaran. Kesadaran dianalisis atau dipelajari sejauh bagaimana ia dialami.
Selanjutnya, obyek-obyek kesadaran dipahami sesuai apa yg tampak dalam pengalaman (tanpa
reinterpretasi metafisis).
 
2.      Eksistensialisme
Arti eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensialisme adalah pandangan yang
menyatakan eksistensi bukanlah obyek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal
pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam
batin individu. Ada beberapa ciri eksistensisialisme, diantaranya
a.       Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat
perhatiannya ada pada manusia, karena itu bersifat humanistis.
b.      Bereksistensi dalm filsafat, manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah
realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat
pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih terhadap sesama manusia.
c.       Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkret. Pengalaman
eksistensial.
 
Heidegger juga berbicara soal autensitas Dasein untuk memahami eksistensi manusia. Dia
membahas eksistensi manusia/Dasein itu ke dalam 3 hal:
1.      Hal utama yg ditekankan Heidegger adalah dualitas radikal antara manusia dan bukan
manusia. Kata “eksistensi” dipakainya hanya untuk menyebut manusia. Hanya manusia-lah yg
eksis (mengada). Batu, kuda, rumah, Tuhan, malaikat, mereka ada tetapi tidak eksis.
Menurutnya, yang membedakan eksistensi manusia dengan yang lain adalah realitas kesadaran.
2.      Hal kedua adalah pandangan bahwa manusia, walaupun secara radikal berbeda dgn objek2
fisik, ia secara langsung hadir pada dunia. Itulah sebabnya manusia disebut DASEIN, berada di
sana. Manusia adalah “ada” yg hadir di dunia, yg harus menghidupi/menghayati hidupnya
melalui relasinya dgn dunia.
3.      Hediegger membuat perbedaan struktur dasar dasein antara “being-in-the-world” (untuk
manusia) dan “being-in-the midst-of-the-world” (untuk benda2). Pembedaan ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa, meski manusia tak bisa lepas dari dunia, mereka tetap tak bisa larut dalam
dunia dan jatuh sbg objek material.
 
Menurut Heidegger, manusia yang otentik adalah :

57
a.       Manusia yg mengetahui dualisme radikal antara manusiawi dan nonmanusiawi.
b.      Manusia yg mengetahui bahwa dia harus hidup di dunia, sekaligus menyadari bahwa
“being-in-the-world” tidak berarti “being-in-the midst-of-the-world”.
Manusia yg tidak otentik adalah manusia yg disetir/larut dalam dunia (misal: larut dalam
budaya massa).
Inautenticity/ketidak-otentikan manusia punya 2 dimensi: SUBJEKTIF dan OBJEKTIF.
Dimensi SUBJEKTIF = das Man  atau yang satu, yang umum, mereka yang anonim …..( ini
memang agak membingngungkan)
Dimensi OBJEKTIF = dunia buatan manusia melalui tehnologi. Dunia ini mempunyai waktu
dan ruangnya sendiri. Pada dunia ini manusia hanya menjadi instrumen yg dimanipulasi demi
kemajuan publik.
 
3.      Pengalaman Akan Allah
3.3.            DAPATKAH ORANG BERBICARA TENTANG “PENGALAMAN AKAN
ALLAH”
   Apakah pengalaman akan realitas mutlak identik dengan pengalaman akan Allah? jika ia,
apakah manusia mampu berbicara tentang pengalaman akan Allah? ya atau tidak bukan
jawabannya oleh karena pengalaman akan realitas mutlak maupun pengalaman akan Allah
tidak bisa dipisahkan dari pengalaman manusia.
3.3.1.         Tidak Ada Satu Pengalaman Yang Jelas Tentang Allah
   Pengalaman akan Allah berbeda dari pengalaman indrawi terhadap objek dan hasil
pengolahan budi terhadap objek. Adalah Metafisika dan Ontologi yang memungkinkan kita
berbicara tentang pengalaman akan Allah. Argumen ontologi mendsarkan diri pada analisa
mengenai ide Allah. Argumen ini diserang, lalu muncul versi baru, yakni ontologisme.
Tokoh pencetusnya ialah filsuf Italia, V. Gioberti. Rumusannya begini: realitas ada –
menciptakan eksistensi; substansi sendiri (isi/inti yang menciptakan eksistensi). Singkatnya,
realitas ada adalah pencipta eksistensi. Ciptaannya ini punya gerak kembali ke asal eksistensi
pertama. Gerak ini menuju pencipta (methexis) sambil meniru penciptanya (mimesis). Bagi
sang filsuf, dalam diri manusia terdapat intuisi yang melihat realitas Ada yang tak terbatas
(=Allah). Intuisi ini tidak mau mengenal Allah dalam dirinya, tapi manusia lewat intuisi,
pikirannya berkontak dengan Allah dan menemukan kebenaran dengan penelusuran kembali
realitas ada. Gandeng dengan ini ontologi disamakan dengan teori tentang intuisi.  Untuk itu,
orang berkesimpulan bahwa manusia bisa berbicara tentang pengalaman akan Allah.
Mengapa? Karena manusia mengalami kehadiran dan keberadaan Allah lewat intuisi.
Soalnya, apakah pengalaman intuisi manusia akan Allah murni dan bebas dari daya tangkap
indrawi dan daya refleksi manusia?
3.3.2.         Pengalamantrasedental Adalah Pengalaman Akan Allah Dalam Arti
Tertentu
   Pengalaman trasedental = pengalaman akan Allah. Pengalaman akan Allah ini bersifat
personal. Di sini realitas mutlak menampakkan diri sebagai yang berkodrat personal. Dengan
demikian, pengalaman transedental bisa ditempatkan dalam satu horizon pengalaman
manusia (pengalaman eksistensial). Hidup manusia dinaungi oleh realitas mutlak. Untuk itu,
manusia harus menentukan sikap terhadapnya; menerima, menolak, meragukan, acuh tak
acuk atau lainnya. Sikap ini mengindikasikan keputusan personal manusia yang melibatkan

58
seluruh hakekat personal manusia. Dalam hal ini, Allah memanggil sekaligus menantang
eksistensi manusia untuk menjawabnya.
3.3.3.         Konsekuensi Dari Isi Pengalaman Transendental Untuk Pengenalan Yang
Jelas Akan Allah  
a)   Pengalaman Akan Allah Sebagai Pengembangan Pengalaman Transedental
   Pengenalan akan Allah merupakan satu hal yang kebetulan oleh karena faktor dari luar dan
dari dalam. Dari luar diakibatkan pendidikan agama, sedangkan dari dalam diakibatkan
pengalaman yang memperlihatkan pengalaman religius - ialah menerima Allah sebagai
realitas yang punya arti bagi hidup.
   Pengalaman akan Allah seperti di atas tidaklah cocok. Pengalaman akan Allah harus dilihat
dalam perspektif sendiri. Poin pentingnya ialah bahwa pengalaman transendental tidak mesti
harus memikirkan Allah sebagai realitas yang dikenal. Realitas Allah tidak kita kenal. Itu
pasti. selalu ada realitas yang mengatasi pengalaman indrawi. Di sini, kita ditantang
mengambil sikap. Bertolak dari inilah pengalaman itu termasuk dalam isi dari kesadaran.
Yang begini ini yang harus dikembangkan. Pengalaman eksistensi manusia diangkat ke level
kesadaran manusia. Karena itu, kita memerlukan metode khusus pembuktian tentang Allah.
Ini merupakan keharusan. Akan tetapi, ketegangan tak terhindari akibat pentematisiran
pengalaman transendental.
b)   Momen Eksistensial Yang “Praktis” Dalam Pengenalan Akan Allah
    Pengalaman transedental tampak dari pengalaman yang dijalankan secara sadar. Di dalam
pengenalan transendental terdapat pengenalan. Allah berhadapan dengan manusia, dan
manusia diminta menentukan sikap. perihal ini merupakan moment eksistensial yang praktis.
Argumentasinya begini: kerelaan sikap disposisi positif yang diambil subjek, ketika
berhadapan dengan eksistensi Allah. Kemampuan mengenal dituntut dari manusia.
Kemampuan ini adalah keliru bila disamakan dengan pencapaian dalam ilmu pengetahuan,
terutama ilmu pasti. Intinya, manusia dituntut mewujudkan nilai dasariah hidupnya
(=kemanusiaan). Perwujudan nilai kemanusiaan merupakan moment eksistensi praktis yang
di dalamnya pengenalan manusia akan Allah menjadi nyata.
c)   Masih Perlukah Pembuktian Akan Adanya Allah?
  Pembuktian di sini harus dimengerti sebagai gerak pikir yang memperlihatkan kebenaran
pernyataan dengan cara mengungkapkan dasar-dasar yang berbicara tentang kebenaran itu
secara jelas dan masuk akal. Bagaimana? Lewat pembuktian dengan prinsip keabsahan.
Keabsahan itu tidak boleh dinilai dapat meyakinkan, tapi berdasarkan pengalaman dan
pengandaian tertentu dalam konteks tertentu. Yang terpenting dan utama ialah pembuktian
itu harus masuk akal.
 
 

Arti Kebangsaan Menurut Soekarno dan Relevansinya


KEBANGSAAN/NASIONALISME
 Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan
kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-
sama menjadi dasar satu nationale staat.
 Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945

59
 Internationalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
 Sumber: Soekarno, Pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945
 "Jikalau ingin menjadi satu bangsa yang besar, ingin menjadi bangsa yang mempunyai kehendak
untuk bekerja, perlu pula mempunyai “imagination!”
 Kutipan Pidato Bung Karno di Semarang, 29 Juli 1956
 “imagination” , “ imagination” “imagination “!!! Ciptaan besar!!! Kita yang dahulu bisa
menciptakan candi-candi besar seperti Borobudur, dan Prambanan, terbuat dari batu yang sampai
sekarang belum hancur ; kini kita telah menjadi satu bangsa yang kecil jiwanya, Saudara-
saudara !! Satu bangsa yang sedang dicandra-cengkala kan didalam candra-cengkala jatuhnya
Majapahit, sirna hilang kertaning bumi!! Kertaning bumi hilang , sudah sirna sama sekali.
Menjadi satu bangsa yang kecil, satu bangsa tugu “rong depa”
 Kutipan Pidato Bung Karno di Semarang, 29 Juli 1956

60

Anda mungkin juga menyukai