Kegiatan Belajar 1
IMAN KRISTIANI
1. Kompetensi Mahasiswa
Kompetensi
Inti
Mahasiswa mampu menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar
termasuk advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu menguasai materi tentang ajaran iman Kristiani dan dapat
menjelaskan serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pendidik PAK
Mahasiswa mampu menguasai hakikat dasar wahyu dan iman, memahami pokok-
pokok iman Kristiani dalam syahadat serta menerapkannya dalam hidup harian
sebagai seorang beriman.
3. Uraian Materi
Pada pertemuan ini kita akan berbicara tentang Iman Kristiani, iman akan Allah.
Secara khusus kita akan mendalami 3 hal penting yaitu hakikat wahyu dan iman, pengakuan
iman akan Allah dan penerapannya dalam hidup nyata sebagai orang beriman. Ketiga sub
pokok bahasan ini membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa harus beriman,
siapakah Allah yang kita imani dan bagaimana kita menerapkan ajaran iman ini dalam hidup
nyata?
Sejak awal mula, Allah mengungkapkan diri-Nya kepada leluhur kita, Adam
dan Hawa - mengundang mereka untuk masuk ke dalam persatuan yang akrab
dengan-Nya. Walaupun Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Allah tidak berhenti
Menurut Konsili Vatikan I, wahyu berarti ajaran dari pihak Allah, yang di
dalamnya Allah memperkenalkan kebenaran-kebenaran adikodrati melalui Yesus
Kristus dan para rasul yang dijaga dan ditradisikan oleh Gereja. Di sini Konsili
Vatikan I mengandaikan ada 2 cara untuk mengenal Allah atau cara Allah
memperkenalkan diri-Nya yaitu cara alamiah dan cara adi-alamiah. Cara
alamiah maksudnya Allah dapat dikenal dari hal-hal yang diciptakan Allah.
Wahyu alamiah ini bersifat terbuka bagi setiap orang dan bisa dibaca oleh akal
budi manusia. Sedangkan cara adi-alamiah (melampaui yang alamiah)
maksudnya bahwa wahyu khusus itu mempunyai motivasi yaitu kebijaksanaan
dan kebaikan Tuhan. Di sini Tuhan memperkenalkan diri dan keputusan-
keputusan-Nya. Ini nyata dalam diri Yesus Kristus. Dengan kata lain, wahyu
alamiah itu adalah wahyu lewat karya, sedangkan wahyu adi-alamiah (wahyu
khusus) adalah wahyu lewat Sabda (bdk. Kirchberger, 2007: 26-27).
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat satu kata yang sangat berperan
untuk mengerti sikap manusia terhadap Allah yaitu kata "aman" - suatu
ungkapan formal yang mengatakan bahwa sesuatu sungguh sesuai dengan apa
Dalam Perjanjian Baru, iman diarahkan kepada apa yang ditulis dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama (Torah dan Kitab Para Nabi) serta apa yang dikatakan oleh
Yesus, karena Ia diutus Allah dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38;
3:34). Mengimani kata-kata atau tulisan tidak hanya berarti mendengar saja, tetapi
mentaati dan menghidupinya secara sungguh-sungguh. Iman adalah “dasar dari
segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita
lihat” (Ibr. 11:1). Dengan demikian, iman dalam PB merupakan jawaban positif
dari manusia atas kata-kata Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus serta
seluruh karya pewartaan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus (Kirchberger,
2007: 38).
Iman Kristiani didasarkan pada iman para rasul, yaitu kelompok dua belas
yang dipanggil untuk mengikuti Yesus dan mengambil bagian dalam misi-Nya.
Para murid yakin bahwa Yesus adalah Mesias yang dinanti-nantikan oleh bangsa
Yahudi, yang diutus Allah untuk menyelamatkan mereka. Karena itu, peristiwa
kematian Yesus merupakan masa krisis bagi para murid, seolah-olah Yesus gagal
dalam misi-Nya. Para murid menjadi takut kepada orang Yahudi lalu tinggal
bersama-sama untuk berdoa memohon petunjuk dari Tuhan.
Dari ringkasan dasar-dasar iman Kristiani ini dapat terlihat bahwa "iman
para rasul" oleh jemaat Kristiani sekarang dipandang sebagai inti iman mereka
yang tidak dapat diubah. Iman tidak hanya mendahului Kitab Suci, melainkan juga
menghasilkan dan menentukan Kitab Suci jemaat Kristiani.
Ada tiga yang menjadi sumber ajaran iman Katolik, yaitu Kitab Suci,
Tradisi dan Magisterium Gereja. Gereja mengakui bahwa Kitab Suci
mengajarkan kebenaran. Allah adalah pengarang Kitab Suci - Allah memberi
inspirasi melalui Roh Kudus kepada para penulis untuk menuliskan apa yang
diinginkan oleh Allah untuk diajarkan kepada manusia yaitu kebenaran. Oleh
sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami
tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.
Kitab Suci yang telah ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus bukanlah kata-
kata tertulis dan bisu, tetapi Sabda yang menjadi manusia dan hidup. Kitab Suci
harus dibaca, direnungkan dan dihayati dalam hidup sebab ... "segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran" (2 Tim. 3:16). Bagi Gereja, Kitab Suci merupakan suatu peneguhan
iman, makanan jiwa dan sumber hidup spiritual. Pemazmur berkata: "Firman-Mu
itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mzm. 119:105) – karena itu, Kitab
Suci harus selalu dibaca, direnungkan dan dihayati. "Tidak mengenal Kitab Suci
berarti tidak mengenal Kristus" demikian kata Santo Hieronimus.
Sumber ajaran iman berikutnya adalah tradisi suci (KGK 75-83). Kita tahu
bahwa selama hidup-Nya Yesus tidak menulis buku. Ajaran dan pesan-pesan-Nya
disampaikan secara lisan dan kemudian diteruskan oleh para rasul. Pewarisan
pesan Kristus oleh para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran
dan contoh Yesus dan bimbingan Roh Kudus disebut tradisi suci. Oleh tradisi,
Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya
kepada para pengganti mereka (para Uskup), supaya dalam pewartaannya, mereka
memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia (Kompendium
KGK, 2013: 18).
Tradisi suci bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’;
melainkan pewarisan pesan Yesus yang diturunkan sejak awal kekristenan melalui
kotbah, kesaksian, ibadah dan tulisan-tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus.
Dalam hal ini, perlu diingat juga bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh
adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan
dengan perintah Tuhan (Mrk.7:8).
Bagaimana hubungan antara tradisi suci dan Kitab Suci? Tradisi suci dan
Kitab Suci berhubungan erat dan saling melengkapi. Keduanya tidak akan pernah
bertentangan. Pengajaran para rasul tentang Allah Tritunggal, api penyucian,
keperawanan Maria, telah sangat jelas diajarkan melalui tradisi dan tidak
bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam Kitab Suci. Janganlah lupa, bahwa Kitab Suci sendiri
Selain itu, harus diingat juga bahwa tradisi suci tidak dapat disamakan
dengan kebiasaan-kebiasaan seperti doa rosario, berpuasa setiap hari Jumat,
ataupun selibat para imam. Walaupun semua kebiasaan tersebut baik, namun hal-
hal tersebut bukanlah doktrin. Tradisi suci meneruskan doktrin yang diajarkan
oleh Yesus kepada para rasul-Nya yang kemudian diteruskan kepada Gereja di
bawah kepemimpinan penerus para rasul, yaitu para Paus dan Uskup. Dengan
demikian jelas bahwa Kitab Suci dan tradisi suci sama-sama menghadirkan
misteri Kristus dan berbuah di dalam Gereja. Keduanya mengalir dari satu sumber
ilahi yang sama dan bersama-sama pula membentuk khazanah iman yang suci
(Kompendium KGK, 2013: 19).
Sumber ajaran iman ketiga adalah Magisterium Gereja (KGK 85-87, 888-
892). Dari uraian sebelumnya, kita mengetahui pentingnya peran magisterium
Gereja (kuasa mengajar Gereja) yang bertugas untuk menafsirkan secara otentik
Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan
dalam nama Yesus Kristus. Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah,
melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya.
Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri atas Bapa
Paus dan para uskup pembantunya yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus
menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi yang salah
(Kompendium KGK, 2013: 19).
Kita perlu ingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum
keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang atau penulis dari kitab-
kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti
para penulis yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium
dibimbing oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk menginterpretasikan kedua Kitab
Perjanjian tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa Magisterium sangat diperlukan
untuk memahami seluruh isi Kitab Suci. Karunia mengajar yang "infallible" (tidak
Banyak umat Katolik kadang belum sepenuhnya memahami dan mengerti ajaran
Katolik dengan baik. Rumusan pokok dari iman Katolik yang terdapat dalam syahadat
para rasul sering diucapkan begitu saja, tanpa suatu pemahaman yang tepat dan
mendalam. Beriman itu pertama-tama tidak mendasarkan diri pada aspek pengetahuan,
tetapi lebih pada iman itu sendiri. Tidak semua pemahaman iman bisa dijelaskan. Iman
adalah jawaban terhadap wahyu, yaitu Allah yang dari kelimpahan kasih-Nya menyapa
manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang
mereka ke dalam persekutuan diri-Nya dan menyambut mereka di dalam-Nya.
Pengakuan iman Gereja dimulai dengan ungkapan yang amat singkat, tetapi
sangat mendalam dan kaya makna yaitu "Aku percaya akan Allah". Ungkapan ini adalah
pernyataan pertama dalam syahadat yang menjadi sumber dari semua kebenaran tentang
manusia, dunia dan seluruh kehidupan orang yang percaya kepada Allah. Ada 12 belas
poin penting dalam syahadat yang harus selalu diingat, diakui dan dihayati oleh setiap
orang beriman, antara lain Dewan Karya Pastoral KAS, 2014: 32-33):
1. Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi;
2. dan akan Yesus Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita;
3. yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria;
Iman akan satu Allah bukanlah suatu teori yang abstrak, tetapi suatu
pengakuan yang sangat bernilai dan penting. Iman akan satu Allah mendorong
manusia untuk tetap mendasarkan diri dan hidupnya hanya pada Allah. Allah
adalah satu-satunya asal dan tujuan hidup manusia. Segala sesuatu yang lain hanya
bermanfaat untuk menunjang tujuan ini (Widharsana, 2017: 69).
Ajaran para Bapa Konsili inilah yang menjadi ajaran baku dan resmi bagi
Gereja dewasa ini. Saat ini pun ketika fenomena agama-agama mulai tampil di
ruang publik, tema-tema seputar Trinitas menjadi bahan perdebatan atau diskusi,
entah di kalangan internal kaum kristiani maupun lintas agama, lintas iman.
Paham Trinitas yang menjadi kebenaran otentik Gereja Katolik perlu dijelaskan
secara tepat kepada kalangan kristiani itu sendiri maupun kalangan agama lain
yang mau mempelajari konsep Trinitas secara tepat dan memahaminya dengan
baik.
Memang dalam Kitab Suci tidak ditemukan kata Tritunggal atau Trinitas,
tetapi sesungguhnya pengertian dan makna doktrin Tritunggal Mahakudus ada
dalam Kitab Suci. Pengakuan akan Allah Tritunggal sudah ada sejak Gereja
perdana. Gereja tidak hanya berpegang pada perintah Tuhan untuk membaptis
orang "atas nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus" (Mat. 28:19), tetapi juga
berpegang pada ajaran Yesus, yang menyapa Allah sebagai "Bapa, Tuhan langit
dan bumi" (Mat. 11:25). St. Ignatius dari Antiokhia mengajarkan: "Ada satu Allah,
yang mewahyukan diri oleh Yesus Kristus Anak-Nya, yang adalah Sabda-Nya".
Sementara itu, seorang pengarang lain dari awal abad ke-2 berkata: "Pertama-tama
kita percaya bahwa ada satu Allah, yang telah menciptakan dan mengatur segala
sesuatu, dan yang membuat tidak ada menjadi ada, yang mencakup segala-
galanya, namun hanya Dia yang tidak dicakup oleh apa-apa".
Pada dasarnya hal itu sama dengan ajaran Kitab Suci bahwa "Penguasa satu-
satunya, yang penuh bahagia, Raja segala raja dan Tuan segala tuan; satu-satunya
yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri,
yang tak pernah dilihat seorang manusia dan yang juga tidak dapat dilihat" (1 Tim.
6:15). Ajaran mengenai Allah yang satu, mahakuasa dan maha mulia, tidak pernah
terasa bersaing dengan iman akan Allah Tritunggal: Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Bagaimana kita memahami Allah yang satu dalam tiga pribadi (Bapa, Putera
dan Roh Kudus) atau yang dikenal dengan sebutan Tritunggal/Trinitas? Gereja
mengajarkan Allah Tritunggal sebagai "una substantia, tres personae" (satu
hakikat, tiga pribadi). Ungkapan ini harus dipahami dengan baik, sebab "pribadi"
yang dimaksudkan di sini bukan dalam arti fisik, melainkan pribadi metafisik
(melampaui fisik). Demikian juga, kesatuan Allah Tritunggal tidak dapat
disamakan dengan kesatuan suami-istri; karena suami-istri adalah dua pribadi
yang berbeda dan terpisah. Tritunggal itu selalu satu: Allah Bapa – Allah Putra
dan Allah Roh Kudus.
a. Allah Bapa
Allah kita adalah Allah yang Esa, yang disapa sebagai Bapa. Sapaan "Bapa" di
sini mengandung 3 arti yaitu: Allah sebagai sumber segala sesuatu, sumber kasih
asali. Dialah asal tanpa asal; Allah Bapa yang adalah sumber kasih asali ini
memiliki kehendak untuk menyelamatkan semua manusia. Ia memanggil semua
orang untuk ikut serta dalam kehidupan-Nya dan dikumpulkan menjadi satu (bdk.
AG no. 2); dan Allah sebagai Bapa artinya Allah menjadi Bapa bagi semua orang.
b. Allah Putera
Konsep tentang Allah Putera berangkat dari kehendak Allah Bapa untuk
menyelamatkan semua orang yang terlaksana secara nyata dalam kehadiran Yesus
Kristus di tengah dunia. Yesus Kristus adalah Perantara sejati antara Allah Bapa
dan manusia. Melalui Dia, Allah Bapa mendamaikan diri-Nya dengan manusia
Setelah Yesus wafat di salib, tidak berarti kehendak Allah untuk menyelamatkan
manusia itu selesai dan berakhir. Keselamatan manusia tetap terus terjadi dan
terlaksana melalui pengutusan Roh Kudus. Roh Kudus dalam kesatuan bersama
Bapa dan Putera melanjutkan karya keselamatan itu bagi manusia yang percaya.
Roh Kuduslah yang senantiasa berkarya bagi keselamatan manusia. Melalui
peristiwa Pentakosta, Roh Kudus hadir dalam Gereja untuk melaksanakan dan
melanjutkan warta keselamatan kepada semua orang yang percaya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Bapa, Allah Putra dan Allah
Roh Kudus, mempunyai kesatuan kehendak untuk menyelamatkan manusia.
Namun ketiganya berperan secara berbeda. Inilah yang membedakan ketiganya.
Jadi, Tritunggal itu satu Allah yang sama, hanya berperan dalam tiga pribadi yang
berbeda.
Manusia beriman adalah manusia yang hidup dalam ketaatan iman kepada
Allah dan kehendak-Nya; artinya hidup yang senantiasa diwarnai oleh "YA"
kepada Allah dan keberanian menghadapi tantangan-tantangan iman. Bagaimana
kedua hal ini harus dipahami?
Iman sebagai suatu perjumpaan dan relasi pribadi antara manusia dengan
Allah akan membuat manusia berada dalam genggaman Allah sekaligus
mendorongnya untuk selalu hidup dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Setiap
orang dipanggil oleh Allah kepada iman; masuk dalam perjumpaan iman dengan
Allah. Puncak dari perjumpaan iman itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Dialah
undangan dari Allah dan sekaligus tanggapan iman yang sempurna kepada Allah.
Di satu sisi, Kristus adalah puncak pewahyuan diri Allah dan kehendak-Nya,
tetapi disisi lain, Dia juga merupakan prototipe dari tanggapan iman kepada Allah.
Penulis Surat kepada orang Ibrani menyebut Yesus sebagai "pemimpin iman
kita" (Ibr. 12:2). Dengan ketaatan yang sempurna kepada kehendak Bapa, Yesus
sesungguhnya melaksanakan ketaatan iman secara total atau iman dalam arti
radikal. Dalam konteks ini, iman Yesus sesungguhnya merupakan jawaban "YA"
yang mutlak kepada Allah dan kehendak-Nya. Seluruh hidup Yesus menjadi
perwujudan sempurna dari ketaatan penuh penyerahan diri kepada kehendak
Bapa-Nya. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku;
Hidup dalam "YA" kepada Allah juga berarti bahwa manusia selalu
berusaha setiap hari untuk meninggalkan bahaya dan godaan untuk menolak iman
– menolak kehendak Allah dan bahkan Allah sendiri. Selain itu, manusia juga
selalu berusaha untuk selalu menjauhi godaan untuk menutup diri dalam suatu
otonomi yang antroposentris, yaitu godaan untuk lebih percaya kepada diri sendiri
daripada kepada Allah. Orang yang beriman akan selalu memohon: "Aku percaya.
Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (Mrk. 9:24). Itulah yang harus dilakukan
orang beriman, karena sesungguhnya di dalam diri orang beriman itu sendiri
terdapat tantangan iman, yaitu ketidakpercayaan.
Bagi orang kristiani, hidup dalam "YA" kepada Allah secara khusus berarti
mengikuti Yesus Kristus dan bersedia menanggung nasib Yesus, yaitu: memikul
salib penderitaan menuju kebangkitan yang mulia. Mengikuti Yesus Kristus
berarti hidup menurut maksud dan semangat Yesus Kristus, di mana iman Yesus
sungguh menjadi terang yang menyinari hati orang beriman, menerangi jalan-
jalan hidupnya dan memberi energi yang dibutuhkan setiap saat sepanjang
hidupnya. Mengikuti Yesus Kristus juga berarti selalu berada bersama dan bersatu
dengan Dia – sumber hidup dalam kelimpahan, laksana ranting yang bersatu
dengan pokok anggur akan menghasilkan buah berlimpah. Itulah iman yang
hidup. Akan tetapi, iman yang hidup itu hanya mungkin dimiliki apabila orang
beriman di kedalaman hatinya benar-benar bersatu dengan Tuhan melalui doa dan
melalui perjuangan bahkan pengorbanan diri demi iman di tengah tantangan-
tantangan iman. Dengan itu iman akan benar-benar menyelamatkan hidup orang
beriman itu sendiri dan orang lain. Karena orang yang sungguh beriman tidak
pernah berdoa dan berjuang hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi
dia selalu berdoa dan berjuang juga untuk menyelamatkan orang lain. Hal ini
Hidup dalam "YA" kepada Allah tidak luput dari tantangan. Dalam
penjelasan sebelumnya sudah disinggung sedikit tentang tantangan iman dalam
diri manusia berupa kehendak yang egosentris dan otonomi yang antroposentris.
Tantangan tersebut mau mengungkapkan kecenderungan manusia untuk lebih
percaya dan taat pada keinginan atau kehendak sendiri serta menjadikan dirinya
sebagai pusat kebebasannya. Inilah kesombongan manusia.
Kesombongan itu bisa membuat manusia lebih percaya pada diri sendiri
daripada kepada Allah, bahkan tidak percaya kepada Allah dan berani bertindak
melawan Allah. Karena itu, tantangan iman yang paling pokok adalah
ketidakpercayaan. Menurut Yesus, ketidakpercayaan itulah yang membuat
manusia membenci terang dan tidak mau datang ke dalam terang, supaya
perbuatannya (yang jahat) tidak dinyatakan (Yoh 3:20). Tetapi barangsiapa yang
tidak percaya akan dihukum (Mrk 16:16). Ketidakpercayaan membuat orang tidak
akan memahami kebenaran walaupun ia melihat kebenaran, karena kebenaran
bertentangan dengan keinginannya. Ketidakpercayaan menjadikan seseorang
musuh Allah, karena ia membenci kebaikan. Ketidakpercayaan membuat manusia
tidak mempedulikan kekudusan (milik Allah), karena kekudusan mewajibkan
manusia meninggalkan kesombongan.
2) Sekularisme
Akan tetapi, sekularisme juga perlu dipandang sebagai suatu bentuk pemurnian
terhadap agama dan iman yang dihayati oleh orang-orang beriman, dengan
maksud membuat orang beriman semakin menghayati dan mewujudkan imannya
secara lebih tepat. Dengan kata lain, semakin orang beriman berkembang maju
urusan-urusan sekuler dan profan semakin pula mereka percaya penuh dan
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa iman Yesus dan iman kita pasti
menyelamatkan diri kita dan orang lain. Demikianlah maksud dari hidup beriman
kristiani serta tugas dari Kristus yang dipercayakan kepada kaum beriman
kristiani: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak
percaya akan dihukum" (Mrk. 16:15-16). Tentang hal ini, Konsili Vatikan II
menegaskan: "Iman itu harus menampakkan kesuburannya dengan merasuki
seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang profan, dan dengan
menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan mengamalkan cinta
kasih" (GS. 21). Penegasan Konsili Vatikan II ini menghantar setiap orang
beriman untuk melakukan hal-hal berikut ini berkaitan dengan iman kristiani: