Anda di halaman 1dari 25

A.

Kegiatan Belajar 1
IMAN KRISTIANI

1. Kompetensi Mahasiswa
Kompetensi
Inti
Mahasiswa mampu menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar
termasuk advance materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa”
(konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari.

Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu menguasai materi tentang ajaran iman Kristiani dan dapat
menjelaskan serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pendidik PAK

1.3 Indikator Capaian Kompetensi

Mahasiswa mampu menguasai hakikat dasar wahyu dan iman, memahami pokok-
pokok iman Kristiani dalam syahadat serta menerapkannya dalam hidup harian
sebagai seorang beriman.

1.4 Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari kegiatan belajar 1 tentang Iman Kristiani, mahasiswa


diharapkan mampu:
Menguasai dan menjelaskan hakikat dasar wahyu dan iman
Memahami pokok-pokok penting iman Kristiani dalam syahadat
Menerapkan pengetahuan tentang iman Kristiani dalam tugas keprofesian
sebagai guru PAK dengan membentuk sikap iman yang benar serta berupaya
mewujudkan iman secara baik di dalam hidup nyata.

Modul PPG Ajaran Gereja| 5


2. Peta Konsep

3. Uraian Materi
Pada pertemuan ini kita akan berbicara tentang Iman Kristiani, iman akan Allah.
Secara khusus kita akan mendalami 3 hal penting yaitu hakikat wahyu dan iman, pengakuan
iman akan Allah dan penerapannya dalam hidup nyata sebagai orang beriman. Ketiga sub
pokok bahasan ini membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa harus beriman,
siapakah Allah yang kita imani dan bagaimana kita menerapkan ajaran iman ini dalam hidup
nyata?

3.1. Hakikat Wahyu dan Iman


3.1.1. Wahyu: Allah memperkenalkan diri

Sebelum berbicara tentang iman, kita perlu berbicara tentang pengalaman


akan Allah yang memperkenalkan diri-Nya kepada nenek moyang kita (bangsa
Israel) dan kepada kita dalam aneka pengalaman hidup. Pengalaman Allah hadir
dan memperkenalkan diri itu disebut wahyu. Wahyu bukan dimengerti sebagai
suara dari langit atau informasi tentang diri Allah; tetapi sebagai kerelaan Allah
untuk menyertai dan menopang manusia dalam usaha mencari dan mengenal-Nya
(Kirchberger, 2007: 25).

Sejak awal mula, Allah mengungkapkan diri-Nya kepada leluhur kita, Adam
dan Hawa - mengundang mereka untuk masuk ke dalam persatuan yang akrab
dengan-Nya. Walaupun Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Allah tidak berhenti

Modul PPG Ajaran Gereja| 6


mewahyukan diri-Nya; malah sebaliknya menjanjikan penebusan kepada
keturunan Adam dan Hawa. Pewahyuan diri Allah terus berlanjut sesudah
peristiwa air bah dalam perjanjian dengan Nuh lalu kepada Abraham dan
keturunannya. Akhirnya, wahyu Allah yang penuh dan definitif terlaksana dalam
sabda-Nya yang menjadi daging yaitu Yesus Kristus serta pemberian Roh Kudus
kepada para rasul dan Gereja untuk melanjutkan tugas perutusan (Kompendium
KGK, 2013: 17).

Menurut Konsili Vatikan I, wahyu berarti ajaran dari pihak Allah, yang di
dalamnya Allah memperkenalkan kebenaran-kebenaran adikodrati melalui Yesus
Kristus dan para rasul yang dijaga dan ditradisikan oleh Gereja. Di sini Konsili
Vatikan I mengandaikan ada 2 cara untuk mengenal Allah atau cara Allah
memperkenalkan diri-Nya yaitu cara alamiah dan cara adi-alamiah. Cara
alamiah maksudnya Allah dapat dikenal dari hal-hal yang diciptakan Allah.
Wahyu alamiah ini bersifat terbuka bagi setiap orang dan bisa dibaca oleh akal
budi manusia. Sedangkan cara adi-alamiah (melampaui yang alamiah)
maksudnya bahwa wahyu khusus itu mempunyai motivasi yaitu kebijaksanaan
dan kebaikan Tuhan. Di sini Tuhan memperkenalkan diri dan keputusan-
keputusan-Nya. Ini nyata dalam diri Yesus Kristus. Dengan kata lain, wahyu
alamiah itu adalah wahyu lewat karya, sedangkan wahyu adi-alamiah (wahyu
khusus) adalah wahyu lewat Sabda (bdk. Kirchberger, 2007: 26-27).

Dalam Konsili Vatikan II, wahyu tidak lagi digambarkan sebagai


pengajaran yang di dalamnya Allah memberitahukan kebenaran-kebenaran,
melainkan sebagai persahabatan yang di dalamnya Allah membuka hati dan
kemungkinan agar manusia bisa mengambil bagian dalam kekayaan dan
kebahagiaan hidup ilahi (Kirchberger, 2007: 28). Itu berarti, wahyu tidak hanya
menyangkut akal budi manusia, tetapi seluruh diri manusia sebagai pribadi. Proses
wahyu sesungguhnya berpusat pada Allah: Allah yang memulai, Allah yang
melaksanakan dan Allah sendiri sebagai isi dan tujuannya. Proses wahyu tidak

Modul PPG Ajaran Gereja| 7


memberitahukan sesuatu, melainkan memperkenalkan Allah sendiri dan
tujuannya adalah jalan masuk kepada Allah. Dengan kata lain, wahyu merupakan
proses pertemuan personal antara Allah dan manusia (bdk. DV 2).

Berdasarkan uraian di atas, nampak bahwa Konsili Vatikan I berbicara


tentang revelata (hal-hal yang diwahyukan); sedangkan Konsili Vatikan II
dibicarakan tentang revelatio (pewahyuan itu sendiri) sebagai pendekatan di
dalamnya Allah mencari manusia. Memang dalam proses wahyu itu ada isi yang
disampaikan, tetapi hal tersebut bukanlah yang pertama dan utama (Kirchberger,
2007: 62). Dalam pengertian inilah kita dapat melihat ciri dan aspek wahyu, yaitu
berakar di dalam pengalaman manusiawi dan terjadi sebagai komunikasi simbolik
antara Allah dan manusia.

3.1.2. Iman: Manusia mendengarkan Allah

Setelah pembahasan tentang wahyu sebagai komunikasi antara Allah dan


manusia, kita perlu mendalaminya dengan bertanya bagaimana manusia
menjawab Allah yang mewahyukan diri-Nya? Jawabannya adalah dengan
ketaatan iman – penyerahan diri yang total kepada Allah dan menerima
kebenaran-Nya yang disampaikan kepada kita.

Gereja mengajarkan bahwa iman adalah pemberian atau karunia yang


dianugerahkan oleh Allah kepada kita melalui Roh Kudus. Iman merupakan
rahmat yang diberikan secara cuma-cuma atau gratis oleh Allah kepada manusia.
Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa untuk mengetahui Allah dengan
akal saja manusia mengalami berbagai kesulitan. Jika hanya mengandalkan
dirinya sendiri, manusia tidak mampu untuk masuk ke dalam keakraban dengan
misteri ilahi. Oleh karena itu, manusia perlu diterangi dengan wahyu Allah, bukan
saja mengenai perkara-perkara yang melampaui batas pemahamannya, tetapi juga
perkara-perkara kebenaran religius dan moral (KGK 37-38).

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama terdapat satu kata yang sangat berperan
untuk mengerti sikap manusia terhadap Allah yaitu kata "aman" - suatu
ungkapan formal yang mengatakan bahwa sesuatu sungguh sesuai dengan apa

Modul PPG Ajaran Gereja| 8


yang patut diharapkan darinya, sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya suatu tempat
yang cocok untuk memasang kemah, bersifat "aman" atau suatu keluarga raja
yang tetap ada keturunan untuk memegang pemerintahan bersifat "aman" (bdk. 1
Sam. 25:28), atau 1 Sam. 3:20 mengungkapkan bahwa Samuel dinyatakan sebagai
orang yang cocok atau ideal untuk menjadi nabi (Kirchberger, 2007: 34-35).

Dalam konteks religius, kata "aman" dapat digunakan untuk


menggambarkan sikap Allah dalam berbagai situasi berbeda. Sedangkan untuk
manusia, "aman" berarti manusia melihat dan mengakui sikap Allah yang setia,
yang dapat diandalkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan-Nya dengan
manusia (Kirchberger, 2007: 35). Dengan demikian, iman dalam Perjanjian Lama
merupakan suatu sikap eksistensial yang menyangkut seluruh pribadi, bukan suatu
persetujuan akal budi manusia pada kebenaran-kebenaran yang disampaikan
kepadanya. Kebenaran yang dijawab iman dalam pengertian PL adalah Allah
sendiri dalam keilahiannya sebagai dasar yang dapat diandalkan dan manusia
menjawab dengan mendasarkan diri seutuhnya di atas dasar itu, tanpa mencari
dasar yang lain (Kirchberger, 2007: 36).

Dalam Perjanjian Baru, iman diarahkan kepada apa yang ditulis dalam Kitab
Suci Perjanjian Lama (Torah dan Kitab Para Nabi) serta apa yang dikatakan oleh
Yesus, karena Ia diutus Allah dan mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38;
3:34). Mengimani kata-kata atau tulisan tidak hanya berarti mendengar saja, tetapi
mentaati dan menghidupinya secara sungguh-sungguh. Iman adalah “dasar dari
segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita
lihat” (Ibr. 11:1). Dengan demikian, iman dalam PB merupakan jawaban positif
dari manusia atas kata-kata Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus serta
seluruh karya pewartaan yang dikerjakan Allah dalam diri Yesus (Kirchberger,
2007: 38).

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa iman merupakan


tanggapan manusia terhadap pernyataan atau pewahyuan diri Allah. Iman
bukanlah perasaan kosong tanpa isi, melainkan anugerah yang bermakna karena

Modul PPG Ajaran Gereja| 9


isinya adalah Allah sendiri. Iman hanya mungkin terjadi karena Allah lebih dahulu
menyapa manusia dengan sinar kebenarannya (Ef. 1:18). Selain itu, iman juga
merupakan perbuatan manusia yang bebas dan bertanggung jawab. Menurut St.
Agustinus, ada 3 unsur dalam perbuatan iman yaitu kesediaan budi, keterlibatan
hati dan keputusan untuk menuju Allah serta bersama Allah. Akhirnya iman
adalah perjumpaan antara manusia dengan Allah yang menghantar manusia
sampai pada makna hidup seutuhnya.

3.1.3. Dasar Iman Kristiani

Iman Kristiani didasarkan pada iman para rasul, yaitu kelompok dua belas
yang dipanggil untuk mengikuti Yesus dan mengambil bagian dalam misi-Nya.
Para murid yakin bahwa Yesus adalah Mesias yang dinanti-nantikan oleh bangsa
Yahudi, yang diutus Allah untuk menyelamatkan mereka. Karena itu, peristiwa
kematian Yesus merupakan masa krisis bagi para murid, seolah-olah Yesus gagal
dalam misi-Nya. Para murid menjadi takut kepada orang Yahudi lalu tinggal
bersama-sama untuk berdoa memohon petunjuk dari Tuhan.

Pada saat orang-orang Yahudi merayakan Pentakosta, para murid secara


bersama mendapatkan pengalaman akan Roh Allah yang bekerja dalam diri
mereka. Para murid dipenuhi oleh Roh Allah dan selanjutnya digerakkan untuk
melanjutkan tugas perutusan. Mereka tidak lagi berdiam diri, tetapi semakin
berani mewartakan tentang Yesus dan Petrus tampil sebagai pemimpin kelompok
mulai berkhotbah.

Keyakinan para Rasul yang merupakan hasil dari pengalaman Pentekosta,


nampak dalam khotbah Petrus yang menegaskan bahwa para murid membentuk
suatu komunitas jemaat, dikuatkan dengan Roh Allah yaitu Roh kenabian atau
kesaksian, mempunyai misi untuk mewartakan Yesus yang telah dibangkitkan
oleh Allah dari kematian dan menjadi Tuhan dan Kristus. Inilah iman para rasul
yang dibagikan kepada siapa saja yang tergerak untuk mengikuti apa yang mereka
sebut “Jalan” Keselamatan.

Modul PPG Ajaran Gereja| 10


Selanjutnya para rasul mulai menerima anggota baru ke dalam komunitas
melalui proses inisiasi dan pengajaran yang disebut “katekese” dan berpuncak
pada pembaptisan. Generasi pertama umat Kristiani tidak mempunyai Kitab Suci
tertulis kecuali Kitab Suci orang Yahudi. Namun, tahap demi tahap, keempat
penginjil, Petrus, Paulus dan beberapa orang lainnya menulis kesaksian iman
mereka tentang apa yang telah dilaksanakan oleh Allah dalam diri Yesus Kristus.

Dari ringkasan dasar-dasar iman Kristiani ini dapat terlihat bahwa "iman
para rasul" oleh jemaat Kristiani sekarang dipandang sebagai inti iman mereka
yang tidak dapat diubah. Iman tidak hanya mendahului Kitab Suci, melainkan juga
menghasilkan dan menentukan Kitab Suci jemaat Kristiani.

3.1.4. Sumber Ajaran Iman Katolik

Ada tiga yang menjadi sumber ajaran iman Katolik, yaitu Kitab Suci,
Tradisi dan Magisterium Gereja. Gereja mengakui bahwa Kitab Suci
mengajarkan kebenaran. Allah adalah pengarang Kitab Suci - Allah memberi
inspirasi melalui Roh Kudus kepada para penulis untuk menuliskan apa yang
diinginkan oleh Allah untuk diajarkan kepada manusia yaitu kebenaran. Oleh
sebab itu, segala sesuatu yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami
tersebut, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus.

Kitab Suci yang telah ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus bukanlah kata-
kata tertulis dan bisu, tetapi Sabda yang menjadi manusia dan hidup. Kitab Suci
harus dibaca, direnungkan dan dihayati dalam hidup sebab ... "segala tulisan yang
diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran" (2 Tim. 3:16). Bagi Gereja, Kitab Suci merupakan suatu peneguhan
iman, makanan jiwa dan sumber hidup spiritual. Pemazmur berkata: "Firman-Mu
itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mzm. 119:105) – karena itu, Kitab
Suci harus selalu dibaca, direnungkan dan dihayati. "Tidak mengenal Kitab Suci
berarti tidak mengenal Kristus" demikian kata Santo Hieronimus.

Modul PPG Ajaran Gereja| 11


Pertanyaannya, bagaimana Kitab Suci itu dibaca? Kompendium KGK
menegaskan bahwa Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan dengan bantuan Roh
Kudus dan di bawah tuntunan kuasa mengajar Gereja menurut 3 kriteria yaitu: 1)
harus dibaca dengan memperhatikan isi dan kesatuan dari seluruh Kitab Suci (PL
dan PB); 2) harus dibaca dalam tradisi yang hidup dalam Gereja; 3) harus dibaca
dengan memperhatikan analogi iman, yaitu harmoni batin yang ada di antara
kebenaran-kebenaran iman itu sendiri (Kompendium KGK, 2013: 20).

Sumber ajaran iman berikutnya adalah tradisi suci (KGK 75-83). Kita tahu
bahwa selama hidup-Nya Yesus tidak menulis buku. Ajaran dan pesan-pesan-Nya
disampaikan secara lisan dan kemudian diteruskan oleh para rasul. Pewarisan
pesan Kristus oleh para rasul yang meneruskan apa yang mereka terima dari ajaran
dan contoh Yesus dan bimbingan Roh Kudus disebut tradisi suci. Oleh tradisi,
Sabda Allah yang dipercayakan Yesus kepada para rasul, disalurkan seutuhnya
kepada para pengganti mereka (para Uskup), supaya dalam pewartaannya, mereka
memelihara, menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia (Kompendium
KGK, 2013: 18).

Tradisi suci bukan tradisi manusia yang hanya merupakan ‘adat kebiasaan’;
melainkan pewarisan pesan Yesus yang diturunkan sejak awal kekristenan melalui
kotbah, kesaksian, ibadah dan tulisan-tulisan yang diilhami oleh Roh Kudus.
Dalam hal ini, perlu diingat juga bahwa Yesus tidak pernah mengecam seluruh
adat kebiasaan manusia, Ia hanya mengecam adat kebiasaan yang bertentangan
dengan perintah Tuhan (Mrk.7:8).

Bagaimana hubungan antara tradisi suci dan Kitab Suci? Tradisi suci dan
Kitab Suci berhubungan erat dan saling melengkapi. Keduanya tidak akan pernah
bertentangan. Pengajaran para rasul tentang Allah Tritunggal, api penyucian,
keperawanan Maria, telah sangat jelas diajarkan melalui tradisi dan tidak
bertentangan dengan Kitab Suci, meskipun hal-hal itu tidak disebutkan secara
eksplisit di dalam Kitab Suci. Janganlah lupa, bahwa Kitab Suci sendiri

Modul PPG Ajaran Gereja| 12


mengajarkan agar kita memegang teguh tradisi yang disampaikan kepada kita
secara tertulis maupun lisan (2 Tes. 2:15).

Selain itu, harus diingat juga bahwa tradisi suci tidak dapat disamakan
dengan kebiasaan-kebiasaan seperti doa rosario, berpuasa setiap hari Jumat,
ataupun selibat para imam. Walaupun semua kebiasaan tersebut baik, namun hal-
hal tersebut bukanlah doktrin. Tradisi suci meneruskan doktrin yang diajarkan
oleh Yesus kepada para rasul-Nya yang kemudian diteruskan kepada Gereja di
bawah kepemimpinan penerus para rasul, yaitu para Paus dan Uskup. Dengan
demikian jelas bahwa Kitab Suci dan tradisi suci sama-sama menghadirkan
misteri Kristus dan berbuah di dalam Gereja. Keduanya mengalir dari satu sumber
ilahi yang sama dan bersama-sama pula membentuk khazanah iman yang suci
(Kompendium KGK, 2013: 19).

Sumber ajaran iman ketiga adalah Magisterium Gereja (KGK 85-87, 888-
892). Dari uraian sebelumnya, kita mengetahui pentingnya peran magisterium
Gereja (kuasa mengajar Gereja) yang bertugas untuk menafsirkan secara otentik
Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu yang kewibawaannya dilaksanakan
dalam nama Yesus Kristus. Magisterium ini tidak berada di atas Sabda Allah,
melainkan melayaninya, supaya dapat diturunkan sesuai dengan yang seharusnya.
Dengan demikian, oleh kuasa Roh Kudus, Magisterium yang terdiri atas Bapa
Paus dan para uskup pembantunya yang dalam kesatuan dengan Bapa Paus
menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi yang salah
(Kompendium KGK, 2013: 19).

Kita perlu ingat bahwa Gereja sudah ada terlebih dahulu sebelum
keberadaan kitab-kitab Perjanjian Baru. Para pengarang atau penulis dari kitab-
kitab tersebut adalah para anggota Gereja yang diilhami oleh Tuhan, sama seperti
para penulis yang menuliskan kitab-kitab Perjanjian Lama. Magisterium
dibimbing oleh Roh Kudus diberi kuasa untuk menginterpretasikan kedua Kitab
Perjanjian tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa Magisterium sangat diperlukan
untuk memahami seluruh isi Kitab Suci. Karunia mengajar yang "infallible" (tidak

Modul PPG Ajaran Gereja| 13


mungkin sesat) itu diberikan kepada Magisterium pada saat mereka mengajarkan
secara resmi doktrin-doktrin Gereja. Karunia ini adalah pemenuhan janji Kristus
untuk mengirimkan Roh KudusNya untuk memimpin para rasul dan para penerus
mereka kepada seluruh kebenaran (Yoh. 16:12-13).

3.2. Pengakuan Iman akan Allah


Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjadi sarana yang memadai untuk
memahami kekatolikan. Dokumen tersebut berisi 4 bagian ajaran Katolik yaitu
syahadat, sakramen-sakramen, sepuluh perintah Allah dan doa Bapa Kami. Bagian
pertama yang berjudul pengakuan iman berisi sintesis lex credendi (hukum iman) yaitu
iman yang diakui oleh Gereja Katolik, yang diungkapkan dalam pengakuan iman para
rasul (Dewan Karya Pastoral KAS, 2014: 32).

Banyak umat Katolik kadang belum sepenuhnya memahami dan mengerti ajaran
Katolik dengan baik. Rumusan pokok dari iman Katolik yang terdapat dalam syahadat
para rasul sering diucapkan begitu saja, tanpa suatu pemahaman yang tepat dan
mendalam. Beriman itu pertama-tama tidak mendasarkan diri pada aspek pengetahuan,
tetapi lebih pada iman itu sendiri. Tidak semua pemahaman iman bisa dijelaskan. Iman
adalah jawaban terhadap wahyu, yaitu Allah yang dari kelimpahan kasih-Nya menyapa
manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka untuk mengundang
mereka ke dalam persekutuan diri-Nya dan menyambut mereka di dalam-Nya.

Pengakuan iman Gereja dimulai dengan ungkapan yang amat singkat, tetapi
sangat mendalam dan kaya makna yaitu "Aku percaya akan Allah". Ungkapan ini adalah
pernyataan pertama dalam syahadat yang menjadi sumber dari semua kebenaran tentang
manusia, dunia dan seluruh kehidupan orang yang percaya kepada Allah. Ada 12 belas
poin penting dalam syahadat yang harus selalu diingat, diakui dan dihayati oleh setiap
orang beriman, antara lain Dewan Karya Pastoral KAS, 2014: 32-33):

1. Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi;
2. dan akan Yesus Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita;
3. yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria;

Modul PPG Ajaran Gereja| 14


4. yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan
dimakamkan;
5. yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati;
6. yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Mahakuasa;
7. dari situ Ia akan datang mengadili orang hidup dan mati;
8. aku percaya akan Roh Kudus;
9. Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus;
10. pengampunan dosa;
11. kebangkitan badan;
12. dan kehidupan kekal.
Di sini nampak bahwa, pengakuan iman Katolik sebenarnya mengerucut pada iman
akan Allah Tritunggal dan persekutuan Gereja.

3.2.1. Keesaan Allah

"Allah, Bapa yang mahakuasa" adalah awal dari pernyataan syahadat


sekaligus ungkapan ringkas dari pewartaan Yesus tentang Allah dan dasar
pengharapan manusia. Menurut Kitab Suci, Allah adalah Bapa kita, bukan atas
dasar kodrat melainkan atas dasar pilihan (Hos. 11:1; Yer. 31:20). Yesus berulang
kali mengajarkan manusia untuk menyapa Allah sebagai Bapa (Mat. 6:9; Luk.
11:2). Iman Kristen mengakui "Allah itu Esa", tetapi "Esa pula Dia yang menjadi
pengantara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus" (1 Tim. 2:4). "Tidak
ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh. 14:6).
Yesus tidak hanya memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, melainkan juga
"dalam Dia kita beroleh jalan masuk kepada Allah, oleh iman kepada-Nya" (Ef.
3:12). Iman akan Allah Yang Maha Esa dihayati dalam Kristus dan oleh Roh
Kudus.

Sebagaimana Allah mendatangi kita dalam Kristus, begitu kita pun


menghadap Allah dalam Kristus dan mengakui Dia sebagai "Bapa Tuhan kita
Yesus Kristus" (2 Kor. 1:3). Maka bersama dengan Yesus Kristus kita mengakui

Modul PPG Ajaran Gereja| 15


bahwa "Tuhan itu esa" (Mrk. 12:29). Sekaligus kita mengakui Yesus Kristus
sebagai Dia "yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dalam dunia" (Yoh.
10:36). Orang yang percaya kepada Yesus sebetulnya tidak percaya kepada Yesus
saja, melainkan juga kepada Dia yang mengutus Yesus (bdk. Yoh. 12:44). Oleh
karena anugerah Roh Kudus, dalam kesatuan dengan Kristus, orang beriman
Kristen percaya kepada Allah Yang Maha Esa.

Iman akan satu Allah bukanlah suatu teori yang abstrak, tetapi suatu
pengakuan yang sangat bernilai dan penting. Iman akan satu Allah mendorong
manusia untuk tetap mendasarkan diri dan hidupnya hanya pada Allah. Allah
adalah satu-satunya asal dan tujuan hidup manusia. Segala sesuatu yang lain hanya
bermanfaat untuk menunjang tujuan ini (Widharsana, 2017: 69).

3.2.2. Tritunggal Mahakudus

Rumusan Tritunggal Mahakudus/Trinitas yang diungkapkan oleh salah


seorang Bapa Gereja yaitu Tertulianus (155 – 230) merupakan keyakinan pokok
iman kekatolikan yang memiliki sejarah perumusan yang panjang dan penuh
tantangan. Perkembangan historis dogma Trinitas ini melewati berbagai tahap
mulai dari merumuskan kembali pengalaman asali para murid, menentukan
skema-skema pemikiran yang tepat agar tidak bertentangan dengan kodrat
Kristus, serta relasi antara Bapa, Putera dan Roh Kudus sebagai keesaan Allah.
Tantangan awal yang dihadapi oleh para Bapa Gereja adalah harus
menjelaskan kepada Gereja muda tentang konsep ketiga pribadi Ilahi yang berada
dalam satu substansi atau satu hakikat. Gereja muda kala itu harus berhadapan
dengan spekulasi filsafat, yang di satu sisi menganut paham modalisme yang
cenderung mengabaikan keberagaman Allah; dan disisi lain juga harus
berhadapan dengan konsep subordinasionisme, di mana keesaan Allah itu dibagi
secara hirarkis. Berawal dari kedua spekulasi filsafat inilah lahirlah aliran-aliran
yang mempersoalkan Trinitas dan Kristologi, antara lain: Arianisme,
Nestorianisme, Monofisitisme. Gereja pun harus menyelenggarakan beberapa
konsili, yakni Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus dan Konsili Khalsedon untuk

Modul PPG Ajaran Gereja| 16


menjelaskan konsep Trinitas dan Kristologi yang sesungguhnya menghadapi para
bidaah tersebut.

Ajaran para Bapa Konsili inilah yang menjadi ajaran baku dan resmi bagi
Gereja dewasa ini. Saat ini pun ketika fenomena agama-agama mulai tampil di
ruang publik, tema-tema seputar Trinitas menjadi bahan perdebatan atau diskusi,
entah di kalangan internal kaum kristiani maupun lintas agama, lintas iman.
Paham Trinitas yang menjadi kebenaran otentik Gereja Katolik perlu dijelaskan
secara tepat kepada kalangan kristiani itu sendiri maupun kalangan agama lain
yang mau mempelajari konsep Trinitas secara tepat dan memahaminya dengan
baik.

Memang dalam Kitab Suci tidak ditemukan kata Tritunggal atau Trinitas,
tetapi sesungguhnya pengertian dan makna doktrin Tritunggal Mahakudus ada
dalam Kitab Suci. Pengakuan akan Allah Tritunggal sudah ada sejak Gereja
perdana. Gereja tidak hanya berpegang pada perintah Tuhan untuk membaptis
orang "atas nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus" (Mat. 28:19), tetapi juga
berpegang pada ajaran Yesus, yang menyapa Allah sebagai "Bapa, Tuhan langit
dan bumi" (Mat. 11:25). St. Ignatius dari Antiokhia mengajarkan: "Ada satu Allah,
yang mewahyukan diri oleh Yesus Kristus Anak-Nya, yang adalah Sabda-Nya".
Sementara itu, seorang pengarang lain dari awal abad ke-2 berkata: "Pertama-tama
kita percaya bahwa ada satu Allah, yang telah menciptakan dan mengatur segala
sesuatu, dan yang membuat tidak ada menjadi ada, yang mencakup segala-
galanya, namun hanya Dia yang tidak dicakup oleh apa-apa".

Pada dasarnya hal itu sama dengan ajaran Kitab Suci bahwa "Penguasa satu-
satunya, yang penuh bahagia, Raja segala raja dan Tuan segala tuan; satu-satunya
yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri,
yang tak pernah dilihat seorang manusia dan yang juga tidak dapat dilihat" (1 Tim.
6:15). Ajaran mengenai Allah yang satu, mahakuasa dan maha mulia, tidak pernah
terasa bersaing dengan iman akan Allah Tritunggal: Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Modul PPG Ajaran Gereja| 17


Awal dan dasar adanya doktrin ini sebenarnya adalah jati diri dan ajaran
Yesus Kristus. Pemahaman yang benar tentang hakikat dan jati diri Yesus Kristus
akan sangat membantu kita untuk memahami tentang doktrin Tritunggal
Mahakudus. Salah satu teks kunci dari pemahaman tentang jati diri Yesus adalah
Yoh. 1:14 (Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita
telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya
sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran). Firman yang
menjadi manusia dalam kutipan ini adalah Yesus sendiri (Widharsana, 2017: 179).

Bagaimana kita memahami Allah yang satu dalam tiga pribadi (Bapa, Putera
dan Roh Kudus) atau yang dikenal dengan sebutan Tritunggal/Trinitas? Gereja
mengajarkan Allah Tritunggal sebagai "una substantia, tres personae" (satu
hakikat, tiga pribadi). Ungkapan ini harus dipahami dengan baik, sebab "pribadi"
yang dimaksudkan di sini bukan dalam arti fisik, melainkan pribadi metafisik
(melampaui fisik). Demikian juga, kesatuan Allah Tritunggal tidak dapat
disamakan dengan kesatuan suami-istri; karena suami-istri adalah dua pribadi
yang berbeda dan terpisah. Tritunggal itu selalu satu: Allah Bapa – Allah Putra
dan Allah Roh Kudus.

a. Allah Bapa

Allah kita adalah Allah yang Esa, yang disapa sebagai Bapa. Sapaan "Bapa" di
sini mengandung 3 arti yaitu: Allah sebagai sumber segala sesuatu, sumber kasih
asali. Dialah asal tanpa asal; Allah Bapa yang adalah sumber kasih asali ini
memiliki kehendak untuk menyelamatkan semua manusia. Ia memanggil semua
orang untuk ikut serta dalam kehidupan-Nya dan dikumpulkan menjadi satu (bdk.
AG no. 2); dan Allah sebagai Bapa artinya Allah menjadi Bapa bagi semua orang.

b. Allah Putera

Konsep tentang Allah Putera berangkat dari kehendak Allah Bapa untuk
menyelamatkan semua orang yang terlaksana secara nyata dalam kehadiran Yesus
Kristus di tengah dunia. Yesus Kristus adalah Perantara sejati antara Allah Bapa
dan manusia. Melalui Dia, Allah Bapa mendamaikan diri-Nya dengan manusia

Modul PPG Ajaran Gereja| 18


dan dalam Dia semua manusia bersekutu dengan Allah Bapa. Pendamaian dan
persekutuan itu terwujud melalui pewartaan dan kesaksian Yesus Kristus secara
historis, ketika Ia hidup di tengah-tengah dunia ini. Tugas perutusan itu
dilaksanakan sampai pada saat puncak yakni peristiwa kematianNya di kayu salib.

c. Allah Roh Kudus

Setelah Yesus wafat di salib, tidak berarti kehendak Allah untuk menyelamatkan
manusia itu selesai dan berakhir. Keselamatan manusia tetap terus terjadi dan
terlaksana melalui pengutusan Roh Kudus. Roh Kudus dalam kesatuan bersama
Bapa dan Putera melanjutkan karya keselamatan itu bagi manusia yang percaya.
Roh Kuduslah yang senantiasa berkarya bagi keselamatan manusia. Melalui
peristiwa Pentakosta, Roh Kudus hadir dalam Gereja untuk melaksanakan dan
melanjutkan warta keselamatan kepada semua orang yang percaya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Bapa, Allah Putra dan Allah
Roh Kudus, mempunyai kesatuan kehendak untuk menyelamatkan manusia.
Namun ketiganya berperan secara berbeda. Inilah yang membedakan ketiganya.
Jadi, Tritunggal itu satu Allah yang sama, hanya berperan dalam tiga pribadi yang
berbeda.

3.3. Penghayatan Iman


Iman sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu menuntut tanggapan dari
manusia. Iman bukan hanya sekedar kata-kata kosong, tetapi hendaknya dihayati dan
dikembangkan secara nyata oleh manusia. Pertanyaannya, bagaimana manusia

Modul PPG Ajaran Gereja| 19


menghayati iman sebagai suatu sikap batin yang menjadi kekuatan dalam menghadapi
tantangan di tengah dunia? Ada 2 hal yang harus mendapat perhatian di sini yaitu hidup
dalam ketaatan iman dan siap melaksanakan kewajiban moral untuk mengembangkan
iman. Dua hal ini menjadi landasan pijak bagi manusia agar mampu mengembangkan
sikap iman di dalam yang benar di tengah tantangan-tantangan yang membahayakan
iman.

3.3.1. Hidup dalam ketaatan iman

Manusia beriman adalah manusia yang hidup dalam ketaatan iman kepada
Allah dan kehendak-Nya; artinya hidup yang senantiasa diwarnai oleh "YA"
kepada Allah dan keberanian menghadapi tantangan-tantangan iman. Bagaimana
kedua hal ini harus dipahami?

a. Hidup dalam "YA" kepada Allah

Iman sebagai suatu perjumpaan dan relasi pribadi antara manusia dengan
Allah akan membuat manusia berada dalam genggaman Allah sekaligus
mendorongnya untuk selalu hidup dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Setiap
orang dipanggil oleh Allah kepada iman; masuk dalam perjumpaan iman dengan
Allah. Puncak dari perjumpaan iman itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Dialah
undangan dari Allah dan sekaligus tanggapan iman yang sempurna kepada Allah.
Di satu sisi, Kristus adalah puncak pewahyuan diri Allah dan kehendak-Nya,
tetapi disisi lain, Dia juga merupakan prototipe dari tanggapan iman kepada Allah.

Penulis Surat kepada orang Ibrani menyebut Yesus sebagai "pemimpin iman
kita" (Ibr. 12:2). Dengan ketaatan yang sempurna kepada kehendak Bapa, Yesus
sesungguhnya melaksanakan ketaatan iman secara total atau iman dalam arti
radikal. Dalam konteks ini, iman Yesus sesungguhnya merupakan jawaban "YA"
yang mutlak kepada Allah dan kehendak-Nya. Seluruh hidup Yesus menjadi
perwujudan sempurna dari ketaatan penuh penyerahan diri kepada kehendak
Bapa-Nya. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku;

Modul PPG Ajaran Gereja| 20


tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (Luk.
22:42). Kata-kata Yesus ini menjadi awal dari hidup dalam "YA" kepada Allah
sekaligus ajakan bagi semua pengikut-Nya untuk selalu mengikuti kehendak
Allah, bukan kehendaknya sendiri yang egosentris. Setiap pengikut Kristus harus
hidup dalam penyerahan diri tanpa syarat kepada kehendak Allah yang kudus.

Hidup dalam "YA" kepada Allah juga berarti bahwa manusia selalu
berusaha setiap hari untuk meninggalkan bahaya dan godaan untuk menolak iman
– menolak kehendak Allah dan bahkan Allah sendiri. Selain itu, manusia juga
selalu berusaha untuk selalu menjauhi godaan untuk menutup diri dalam suatu
otonomi yang antroposentris, yaitu godaan untuk lebih percaya kepada diri sendiri
daripada kepada Allah. Orang yang beriman akan selalu memohon: "Aku percaya.
Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (Mrk. 9:24). Itulah yang harus dilakukan
orang beriman, karena sesungguhnya di dalam diri orang beriman itu sendiri
terdapat tantangan iman, yaitu ketidakpercayaan.

Bagi orang kristiani, hidup dalam "YA" kepada Allah secara khusus berarti
mengikuti Yesus Kristus dan bersedia menanggung nasib Yesus, yaitu: memikul
salib penderitaan menuju kebangkitan yang mulia. Mengikuti Yesus Kristus
berarti hidup menurut maksud dan semangat Yesus Kristus, di mana iman Yesus
sungguh menjadi terang yang menyinari hati orang beriman, menerangi jalan-
jalan hidupnya dan memberi energi yang dibutuhkan setiap saat sepanjang
hidupnya. Mengikuti Yesus Kristus juga berarti selalu berada bersama dan bersatu
dengan Dia – sumber hidup dalam kelimpahan, laksana ranting yang bersatu
dengan pokok anggur akan menghasilkan buah berlimpah. Itulah iman yang
hidup. Akan tetapi, iman yang hidup itu hanya mungkin dimiliki apabila orang
beriman di kedalaman hatinya benar-benar bersatu dengan Tuhan melalui doa dan
melalui perjuangan bahkan pengorbanan diri demi iman di tengah tantangan-
tantangan iman. Dengan itu iman akan benar-benar menyelamatkan hidup orang
beriman itu sendiri dan orang lain. Karena orang yang sungguh beriman tidak
pernah berdoa dan berjuang hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi
dia selalu berdoa dan berjuang juga untuk menyelamatkan orang lain. Hal ini

Modul PPG Ajaran Gereja| 21


secara paling nyata dilakukan oleh orang-orang kudus di dalam Gereja. Tetapi
contoh terbaik dari orang yang selalu hidup dalam "YA" kepada Allah adalah
Maria yang menyerahkan diri secara total dan penuh kepercayaan kepada
kehendak Allah melalui ungkapan hatinya terdalam: "Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (Luk 1:38).

b. Berani Menghadapi Tantangan Iman

Hidup dalam "YA" kepada Allah tidak luput dari tantangan. Dalam
penjelasan sebelumnya sudah disinggung sedikit tentang tantangan iman dalam
diri manusia berupa kehendak yang egosentris dan otonomi yang antroposentris.
Tantangan tersebut mau mengungkapkan kecenderungan manusia untuk lebih
percaya dan taat pada keinginan atau kehendak sendiri serta menjadikan dirinya
sebagai pusat kebebasannya. Inilah kesombongan manusia.

Kesombongan itu bisa membuat manusia lebih percaya pada diri sendiri
daripada kepada Allah, bahkan tidak percaya kepada Allah dan berani bertindak
melawan Allah. Karena itu, tantangan iman yang paling pokok adalah
ketidakpercayaan. Menurut Yesus, ketidakpercayaan itulah yang membuat
manusia membenci terang dan tidak mau datang ke dalam terang, supaya
perbuatannya (yang jahat) tidak dinyatakan (Yoh 3:20). Tetapi barangsiapa yang
tidak percaya akan dihukum (Mrk 16:16). Ketidakpercayaan membuat orang tidak
akan memahami kebenaran walaupun ia melihat kebenaran, karena kebenaran
bertentangan dengan keinginannya. Ketidakpercayaan menjadikan seseorang
musuh Allah, karena ia membenci kebaikan. Ketidakpercayaan membuat manusia
tidak mempedulikan kekudusan (milik Allah), karena kekudusan mewajibkan
manusia meninggalkan kesombongan.

Selanjutnya ketidakpercayaan sebagai tantangan iman secara konkrit


nampak dalam bentuk ateisme dan sekularisme.

Modul PPG Ajaran Gereja| 22


1) Ateisme sebagai suatu realitas yang rumit

Konsili Vatikan II mengungkap tentang ateisme sebagai berikut: “istilah


ateisme menunjuk pada beberapa gejala yang sangat berbeda satu sama lain.
Sebab ada sekelompok orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang
beranggapan bahwa manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang
Dia. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian rupa sehingga hasil
khayalan yang mereka tolak itu memang sama sekali bukan Allah menurut Injil.
Orang-orang lain bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan Allah pun tidak”
(GS, 19). Walaupun demikian, pada hakekatnya ateisme merupakan suatu bentuk
ketidakpercayaan terhadap Allah, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Ateisme tidak boleh dimengerti sebagai penolakan terhadap Allah atau tidak
mengakui adanya Allah. Karena orang ateis pada umumnya tahu bahwa Allah itu
ada dan mereka tidak akan sanggup menghilangkan adanya Allah. Dan bahwa
adanya Allah tidak bergantung pada pengakuan manusia; Allah tidak memerlukan
pengakuan dari manusia. Persoalan ateisme sebenarnya terletak pada penolakan
terhadap gagasan-gagasan atau konsep-konsep manusia dan agama-agama
tentang Allah. Orang ateis adalah orang yang tidak sanggup mengerti dan
menerima gagasan atau konsep tentang Allah yang ditawarkan kepadanya atau
yang dikonsepkannya sendiri; dan karena itu ia tidak mau percaya. Mengapa
orang ateis tidak sanggup mengerti dan menerima serta percaya? Sekurang-
kurangnya ada 3 alasan antara lan: orang ateis sendiri menggambarkan Allah
secara keliru menurut pikirannya sendiri; orang ateis menganggap tidak pantas
atau tidak cocok gambaran tentang Allah yang ditawarkan kepadanya atau yang
diajarkan oleh agama-agama dan orang ateis tidak menemukan di dalam hidup
orang-orang beragama kesesuaian antara konsep agama tentang Allah dan praktek
hidup orang beriman. Alasan terakhir di atas sebenarnya berhubungan erat dengan
realitas ateisme modern. Gejala ateisme modern sering timbul sebagai bentuk
penolakan terhadap agama dan teristimewa terhadap Gereja yang menghayati
iman secara tidak pantas. Penghayatan iman Gereja (sebagai persekutuan orang
beriman) yang sering tidak sesuai dengan iman Yesus Kristus di tengah tata dunia

Modul PPG Ajaran Gereja| 23


sering menjadi batu sandungan untuk orang lain bisa percaya kepada Allah.
Sebagai contoh, Gereja sebagai institusi tidak jarang lebih memihak kepada
tatanan mapan dan kelas-kelas menengah ke atas, kurang memihak pada kaum
kecil dan miskin serta tertindas. Padahal yang harus menjadi obsesi Gereja adalah
option for the poor. Konsili Vatikan II mengakui hal ini ketika menyatakan bahwa
ateisme timbul “...karena reaksi kritis terhadap agama Kristen” (GS, 19). Ateisme
yang demikian seharusnya menjadi tantangan lebih serius bagi orang beriman
kristiani dalam menghayati dan menyatakan imannya akan Allah secara tepat.
Dalam konteks ini, ateisme kiranya bisa dipandang sebagai suatu bentuk
pemurnian terhadap agama dan iman, walaupun pemurnian itu terlalu berlebihan
sampai membuat orang tidak percaya lagi kepada Allah.

2) Sekularisme

Sekularisme merupakan pandangan hidup manusia yang hanya meyakini dan


mengakui dunia sekuler yang secara absolut otonom dan dapat mencukupi diri
sendiri. Manusia sangat mementingkan relasinya dengan dunia dan meyakini
bahwa satu-satunya tugas yang paling berarti dari manusia ialah membangun
dunia ini, dan manusia membaktikan diri sepenuhnya untuk tugas itu. Dengan
keyakinan demikian, manusia merasa bahwa Allah tidak dibutuhkan dalam
pelaksanaan tugas manusia membangun dunia. Karena itu agama juga tidak
dibutuhkan oleh manusia. Malahan agama dengan segala doktrinnya dilihat
sebagai penghalang bagi manusia dalam usahanya mewujudkan tujuan hidup
yang sekuler. Sekularisme tidak memberi tempat bagi Allah dan agama dalam
urusan manusia di tengah dunia. Bahkan sekularisme bisa sampai menyingkirkan
dan menyangkal dimensi rahasia ilahi dalam dunia dan dalam karya manusia.
Sekularisme membuat manusia sungguh yakin bahwa kebahagiaan hidupnya
hanya dijamin oleh dunia dan bukan oleh agama dan Allah. Keyakinan yang
sekularistik inilah yang menjadi tantangan riil terhadap iman dan akan terus
menggoda manusia dalam ketaatan imannya. Mengapa manusia yang sekularistik
sampai merasa tidak membutuhkan Allah dalam tugasnya membangun dunia?

Modul PPG Ajaran Gereja| 24


Sekurang-kurangnya ada 2 alasan yaitu dunia sekuler memiliki hukumnya
sendiri dan tidak perlu tunduk pada norma iman dan agama; serta berkembangnya
sekularisasi dalam berbagai bidang khususnya bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan yang ikut didukung oleh pandangan Gereja tentang dunia sebagai
ciptaan Allah yang tidak bersifat ilahi. Selanjutnya, apapun alasannya,
sekularisme tetap merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap Allah karena
sekularisme mengabsolutkan otonomi dunia sekuler sampai menyangkal
kebenaran bahwa dunia dan manusia itu adalah ciptaan Allah dan bergantung pada
Allah.

Akan tetapi, sekularisme juga perlu dipandang sebagai suatu bentuk pemurnian
terhadap agama dan iman yang dihayati oleh orang-orang beriman, dengan
maksud membuat orang beriman semakin menghayati dan mewujudkan imannya
secara lebih tepat. Dengan kata lain, semakin orang beriman berkembang maju
urusan-urusan sekuler dan profan semakin pula mereka percaya penuh dan
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah.

3.3.2. Mengembangkan dan Membela Iman

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa iman Yesus dan iman kita pasti
menyelamatkan diri kita dan orang lain. Demikianlah maksud dari hidup beriman
kristiani serta tugas dari Kristus yang dipercayakan kepada kaum beriman
kristiani: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak
percaya akan dihukum" (Mrk. 16:15-16). Tentang hal ini, Konsili Vatikan II
menegaskan: "Iman itu harus menampakkan kesuburannya dengan merasuki
seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang profan, dan dengan
menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan mengamalkan cinta
kasih" (GS. 21). Penegasan Konsili Vatikan II ini menghantar setiap orang
beriman untuk melakukan hal-hal berikut ini berkaitan dengan iman kristiani:

a. Menyebarkan Iman. Hakikat iman kristiani - “bertobat dan percaya kepada


Injil Kerajaan Allah” harus diwartakan kepada semua orang supaya mereka

Modul PPG Ajaran Gereja| 25


semua dibenarkan dan memperoleh keselamatan karena iman akan Kristus
Yesus. Tugas orang beriman ialah mewartakan kebenaran iman di atas kepada
siapapun saja. Orang beriman berkewajiban mengarahkan orang lain,
terutama yang belum/tidak percaya, kepada iman yang benar. Melalui ucapan
bibirnya, tiap orang kristiani harus memperkenalkan kepada siapapun Yesus
Kristus sebagai Juruselamat dan mengajak mereka bertobat dan percaya
kepada Injil. Tugas ini harus dilakukan oleh kaum beriman kristiani, baik
awam maupun klerus dan biarawan/ti, baik secara pribadi maupun secara
bersama-sama, baik secara informal maupun secara formal.

b. Mengembangkan Iman. Iman yang secara obyektif-formal diterima


seseorang pada saat pembaptisan, khususnya pembaptisan kanak-kanak,
tentunya belum merupakan iman yang mendalam dan dewasa. Oleh karena
itu setiap orang beriman berkewajiban untuk menumbuh-kembangkan
imannya sendiri dan iman sesamanya, supaya iman itu menjadi lebih
mendalam dan dewasa. Iman yang mendalam dan dewasa akan menjadi
kekuatan bagi orang beriman untuk percaya penuh dan menyerahkan diri
secara utuh pada Allah, bertahan dalam tantangan dan cobaan iman.
Pengembangan iman pada hakikatnya merupakan upaya orang beriman untuk
memperdalam iman dan memperkuat iman supaya orang beriman semakin
memahami dan menghayati iman serta mewujudkannya secara benar dan
bertanggung jawab dalam kehidupan nyata sehari-hari. Upaya tersebut harus
dilakukan oleh setiap orang beriman baik secara pribadi maupun bersama
orang lain. Hal yang sederhana dan mudah dilakukan ialah doa pribadi dan
doa bersama, membaca dan merenungkan Kitab Suci serta sharing
pengalaman iman, perbuatan-perbuatan baik kepada sesama (karya-karya
kemanusiaan).

Dalam konteks persekutuan orang beriman (Gereja), pengembangan iman


merupakan suatu tugas hakiki dari Gereja, secara khusus dari hierarki yang
diberi kepercayaan publik gerejani untuk mengajar, menguduskan dan
menggembalakan umat beriman. Hierarki yang dibantu oleh kaum awam

Modul PPG Ajaran Gereja| 26


(fungsionaris pastoral terbaptis) mesti sungguh mengusahakan secara teratur
dan kontinu pendidikan atau pembinaan iman umat, baik anak-anak dan orang
muda maupun orang dewasa. Hal yang harus dilakukan ialah katekese
tentang iman dalam berbagai bentuk dan metode serta jalur. Katekese iman
ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian orang beriman dan
memampukan mereka mewujudkan atau menterjemahkan iman ke dalam
praktek hidup di berbagai bidang, termasuk bidang-bidang profan sekalipun
seperti: ekonomi dan politik. Di samping katekese tentang iman,
pengembangan iman umat pun dapat terjadi melalui teladan hidup beriman
yang ditampilkan oleh para tokoh agama (Gereja), baik klerus maupun awam.
Karena bagaimana mungkin iman umat bisa berkembang dengan baik jika
para tokoh agama tidak setia berdoa dan merenungkan Sabda Tuhan, tidak
rajin merayakan perjamuan Tuhan dan tidak tekun berbuat baik?

c. Menyaksian Iman. Teladan hidup beriman seperti sudah disinggung di atas,


pada dasarnya juga merupakan bagian integral dari kesaksian hidup beriman.
Akan tetapi kesaksian iman sebenarnya lebih terfokus pada panggilan setiap
orang beriman untuk menyaksikan imannya dalam hidup dan kerjanya sehari-
hari. Apapun bentuk hidup yang dijalani dan apapun pekerjaan yang ditekuni
setiap orang beriman seharusnya menjadi wahana baginya untuk memberikan
kesaksian iman. Selain itu orang beriman pun hendaknya mampu
memanfaatkan berbagai sarana, terutama sarana-sarana komunikasi, untuk
menunjukkan mutu hidup keagamaan dan keimanannya. Bagaimana surat
kabar, radio, televisi, handphone dan internet dapat menjadi media kesaksian
iman yang efektif? Hal ini semakin menjadi penting, karena dunia dan
masyarakat dewasa ini yang sering dilanda aneka krisis sedang menantikan
dari orang beriman suatu kesaksian nyata tentang kebenaran dan keadilan,
kejujuran dan ketulusan, ketaatan dan kesetiaan, solidaritas dan belas kasih
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Mengapa kesaksian hidup beriman menjadi penting bagi setiap orang


beriman? Selain alasan bahwa kesaksian iman merupakan hakekat panggilan

Modul PPG Ajaran Gereja| 27


orang beriman, kesaksian hidup beriman itu menjadi penting karena iman
selalu memiliki tanggung jawab sosial. Bertolak dari kodrat manusia sebagai
makhluk sosial, kita pun bisa menyimpulkan bahwa iman yang dimiliki
seseorang sesungguhnya berdimensi sosial. Iman seseorang tidak hanya
diperuntukkan bagi keselamatan pribadinya sendiri, tetapi diperuntukkan
juga bagi keselamatan sesama manusia. Melalui kesaksian hidupnya setiap
orang beriman akan membawa orang lain sampai kepada iman dan dengan
demikian diselamatkan.

d. Membela Iman. Kesaksian iman, sebagaimana terungkap di atas, pada


dasarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya membela iman.
Namun urusan membela iman sebenarnya lebih terfokus pada
mempertahankan iman, secara khusus mempertahankan kebenaran iman.
Penghayatan dan pengamalan iman secara benar bukan hal yang gampang dan
tanpa tantangan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada banyak orang
mengalami kelesuan iman dan bahkan kehilangan iman hanya karena tidak
sanggup menghadapi tantangan-tantangan. Kita tentu tahu bahwa perjalanan
sejarah hidup manusia beriman dari permulaan sampai dewasa ini telah
mencatat sekian banyak tantangan yang membahayakan iman. Ada tantangan
“kesombongan” yang bercokol dalam diri manusia sejak Adam dan Hawa;
ada tantangan penindasan dan penganiayaan; ada tantangan sinkretisme dan
bidaah-bidaah (ajaran sesat); ada juga tantangan modern dalam bentuk
ateisme dan sekularisme.

Terhadap semua tantangan itu, setiap manusia beriman berkewajiban


membela kebenaran iman dan mempertahankan kemurnian iman. Untuk itu
manusia beriman tidak boleh takut menghadapi tantangan. Satu hal yang
paling dibutuhkan oleh manusia beriman adalah keberanian untuk maju
menghadapi tantangan. Keberanian membela kebenaran iman selalu
mengandung risiko yang berat, bahkan risiko kehilangan nyawa sekalipun.
Banyak contoh telah ditunjukkan oleh para martir kudus dalam Gereja.
Mereka telah mewujudkan keberanian membela iman dan mendapatkan

Modul PPG Ajaran Gereja| 28


mahkotanya sebagaimana diamanatkan oleh Yesus: “Berbahagialah orang
yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya
Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan
dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan
bergembiralah, karena besarlah upahmu di surga...” (Mat 5: 10-12).

Selanjutnya, bagaimana caranya orang beriman mesti membela iman? Dari


contoh di atas kiranya sudah jelas bagi kita tentang cara yang tepat dalam
membela kebenaran iman. Contoh yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri dan
banyak martir kudus dalam Gereja mau menegaskan kepada kita bahwa
kebenaran iman hanya bisa dibela dan dipertahankan dengan jalan
kelembutan dan kerendahan hati penuh penyerahan diri kepada Allah.
Jalan ini akan memampukan orang beriman menjadi tabah dan tetap bertahan
dalam iman yang benar, dan akhirnya mampu memenangkan pertandingan
iman. Kerasnya tantangan iman tidak boleh dihadapi atau dilawan dengan
jalan kekerasan, baik secara mental maupun fisik. Yesus sendiri dan Gereja
selalu mengajarkan jalan tanpa kekerasan sebagai cara yang lebih efektif
melawan kerasnya tantangan iman. Sebab Yesus dan Gereja yakin bahwa
jalan kekerasan tidak pernah akan mengalahkan kekerasan, malah bisa
menimbulkan kekerasan baru dan permusuhan yang lebih hebat. Jalan
kekerasan tidak akan pernah mendatangkan kemenangan yang sejati, yaitu:
perdamaian dan kebahagiaan yang utuh dan permanen. Adalah kekeliruan
yang besar, apabila orang beriman dengan penuh keyakinan menempuh jalan
kekerasan untuk melawan derasnya dan kerasnya tantangan iman. Akan lebih
besar lagi kekeliruan itu, apabila orang beriman meyakini bahwa jalan
kekerasan adalah jalan yang dikehendaki Allah bagi manusia dalam membela
kebenaran iman. Banyak contoh di mana-mana, secara khusus di negara
Indonesia, telah memberi bukti yang sahih tentang hal itu.

Modul PPG Ajaran Gereja| 29

Anda mungkin juga menyukai