Anda di halaman 1dari 7

RANGKUMAN AGAMA KRISTEN

Agama adalah suatu fenomena yang selalu hadir dalam sejarah umat manusia, bahkan dapat
dikatakan bahwa sejak manusia ada, fenomena agama telah hadir. Walaupun demikian,
tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu agama. Mengapa? Pertama, karena pengalaman
manusia tentang agama sangat bervariasi, mulai dengan yang paling sederhana seperti dalam
agama animisme/dinamisme sampai ke agama-agama politeisme dan monoteisme. Kedua,
selain begitu variatifnya pengalaman manusia tentang agama, dan begitu variatifnya disiplin
ilmu yang digunakan untuk memahami fenomena agama. Misalnya, agama bisa ditinjau dari
sudut psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, bahkan teologi. Melalui bab ini, Anda
diharapkan mencapai tiga tujuan pembelajaran.

Adapun tujuan pembelajaran yang diharapkan untuk dicapai adalah:

1. Bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain
dalam ibadah yang teratur.
2. Menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama, suku dan
budaya.
3. Menjelaskan pengertian agama, mengidentifikasi fungsi-fungsi agama dalam
kehidupan manusia baik yang positif maupun negatif, merumuskan pengertian agama
dengan kata-kata sendiri, dan menalar perbedaan fungsi agama yang positif dan
negatif.
4. Dibutuhkan Juruselamat yang menjadi korban yang tak bercacat.
5. Oleh karenasemua manusia telah berdosa dan bercacat, Allah sendirilah yang tak
bercacatitu menjelma menjadi manusia agar dapat berperan sebagai Juruselamat.Dosa
selalu membawa hukuman, ini adalah keadilan Allah.
6. Namun, mengapaIa sendiri yang mau menanggung hukuman itu? Di sinilah hakikat
Allah yang terdalam, yakni bahwa Allah adalah kasih. Ia tak sekadar memiliki kasih,
tetapi merupakan kasih itu sendiri. Jadi, pada satu sisi, Allah menjadi manusia untuk

menjadi Juruselamat karena keadilan-Nya, namun pada sisi yang lain karenakasih-Nya.
“Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia sehingga diberikan-

Nya anak-Nya yang tunggal itu....” (lih. Yoh. 3:16).

3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya

Pokok kepercayaan mendasar ketiga tentang Allah adalah Allah sebagai


pembaharu ciptaan-Nya yang menyatakan diri dalam Roh Kudus. Banyak orang menyangka
bahwa Allah baru hadir dan bekerja dalam Roh Kudus padaPerjanjian Baru yakni ketika Roh
Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta diYerusalem. Hal ini tidak benar. Kehadiran maupun
tindakan Allah dalam RohKudus telah berlangsung jauh sebelumnya bahkan sejak awal,
karena pada 32hakikatnya Allah adalah Roh. Pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya, Allahdalam Roh yang berkarya dalam penciptaan tersebut.Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Kej.l:7-2:25

1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta

Dalam rangka menanya secara kritis apa implikasi kepercayaan kepada Tuhan sebagai
Pencipta, ada baiknya kita menarik beberapa implikasi dari kepercayaan terhadap Allah
sebagai Pencipta dalam kaitannya dengan kehidupan kita sebagai orang percaya. Pertama,
bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah sumber kehidupan dan keberadaan kita. Karena itu,
hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah, dan kita adalah milik Allah Sang Pencipta.
Ini berarti juga bahwa Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup kita. Hanya Allah yang
berhak menentukan untuk apa kita hidup di dunia, dan kita tak akan menemukan kedamaian
sampai kita menemukan Allah sumber dan tujuan kehidupan kita. Sebagai milik Allah,adalah
kewajiban kita untuk memuliakan Allah dengan hidup kita.

3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus

Pertama, kepercayaan kepada Allah yang menyatakan diri dalam Roh Kudus berarti bahwa
manusia percaya kepada kuasa Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan dapat
bekerja dalam diri manusia untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan itu
dapat mencakup iman atau kepercayaan seseorang, misalnya, dari tidak percaya menjadi
percaya akan Allah yang Mahakasih dalam Yesus Kristus. Suatu perubahan dan pembaharuan
akan orientasi hidup, prioritas kehidupan dan sebagainya.

Kedua, kuasa Allah melalui Roh Kudus juga dapat memperbaharui orientasi nilai dan sikap
hidup etis seseorang. Sebagai contoh, dari kecenderungan hidup yang menuruti keinginan
daging menuju kepada kecenderungan hidup yang menuruti Roh Kudus, sehingga
menghasilkan buah Roh seperti kasih, damai sejahtera, sukacita, kesabaran, dan sebagainya
(lih. Gal. 5:22-23). Bacalah dengan teliti ayat tersebut serta bertanyalah pada diri sendiri
secara kritis.

2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei)

sebagai Dari berbagai arti yang ditawarkan oleh para ahli, arti yang paling mendasar yakni:
potensi/kemampuan manusia untuk berhubungan atau merespons Allah, dan dalam arti ini
manusia adalah makhluk religius. Manusia diciptakan gambar Allah berarti manusia
diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi pihak lain yang diajak komunikasi oleh Allah
(Allah menyatakan diri dan kehendakNya serta menuntut responsnya). Kenyataan bahwa
Alkitab menyatakan bahwa Allah berfirman/memberi perintah kepada manusia adalah bukti
bahwa manusia dengan satu dan lain cara dapat menyatakan hubungannya dengan Allah.
Penciptaan manusia sebagai gambar Allah memungkinkan terjadinya sesuatu antara Allah
dan manusia, yaitu makhluk yang berhubungan dengan Allah dan kepada siapa Ia berfirman.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej. 1:27! Lalu, Anda diberi kesempatan untuk
bertanya secara kritis setelah membaca Kej. 1:27;58

4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya

Allah (menurut Alkitab) memberi perintah kepada manusia untuk memerintah, menaklukkan
serta memelihara alam semesta., menunjukkan adanya hubungan yang tidak terpisahkan
antara manusia dengan alam semesta ini. Inilah yang biasanya disebut sebagai tugas
kemandatarisan manusia (manusia sebagai mandataris Allah) dalam arti pelaksana dan wakil
Allah dalam memerintah dan memelihara alam semesta ini.

1. Teori Teleologis

Teori Teleologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan atau kebenaran itu
ditentukan oleh tujuan yang baik (telos = tujuan). Jadi, kalua seseorang mempunyai tujuan
yang baik yang mendorong suatu Tindakan apapun tindakan itu pasti dinilai baik, melulu
karena tujuannya baik. Namun muncul pertanyaan: tujuan yang baik untuk siapa? Untuk
pelakunya kah atau untuk orang banyak? Dalam hal ini ada dua subteori lagi yakni yang
dinamakan etika egoisme (egoism ethics) dan etika universalisme (universalism ethics).

Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi pelakunya (orang itu sendiri
atau setidaknya kelompoknya). Walaupun tujuan yang baik untuk diri sendiri atau
kelompoknya tidak selalu jahat atau buruk, teori ini bisa melahirkan suatu sistem etika yang
disebut “hedonisme” yakni kenikmatan hidup dengan prinsip nikmatilah hidup ini selagi
masih hidup, besok Anda akan mati dan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati.

1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains

Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad lamanya, khususnya selama Abad
Pertengahan, dapat disaksikan dominasi iman atas ilmu pengetahuan atau sains. Teologi yang
menjadi acuan kehidupan iman orang Kristen, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah
menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan hanya untuk soal iman
danetika.

2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama

Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan, malahan
berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama atas agama atau iman dalam
abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan metode ilmu pengetahuan. Tampaknya ilmu
pengetahuan memberikan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya menuju kepada
pengetahuan (knowledge). Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat
objektif, universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang kuat.
Sedangkan agama pada sisi yang lain, bersifat sangat subjektif, local (sempit skopnya),
emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber kewibawaan yang saling bertentangan
satu sama lain. Lama-kelamaan, orang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai
meragukan keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak berdasar.
Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya dalam bidang sains (ilmu
pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat imaniah dan kepercayaan.

2. Teknologi sebagai Ancaman

Pada ekstrem yang berlawanan adalah kritik terhadap teknologi modern yang melihatnya
sebagai ancaman terhadap kehidupan manusia yang autentik. Silakan Anda mengumpulkan
informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku- buku dan sumber belajar yang lain tentang
tokoh-tokoh yang menganut pandangan teknologi sebagai ancaman. Kita akan membatasi diri
hanya pada kritik terhadap kemanusiaan, daripada kritik terhadap lingkungan hidup. Ada
lima ciri teknologi industri yang dijadikan dasar kritik mereka khususnya yang berkaitan
dengan pemenuhan kemanusiaan.
Apa saja kriteria yang dapat menuntun setiap pihak dalam pengembangan dan penggunaan
teknologi modern? Ada yang berpendapat bahwa pengembangan dan penggunaan teknologi
modern haruslah menjamin tiga hal berikut ini.

1. adanya jaminan bahwa harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi, termasuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya.

2. haruslah menjamin adanya kelestarian alam, yakni menjaga keseimbangan antara


kepentingan manusia kini dan manusia yang akan datang.

3. adanya jaminan keadilan sosial dari distribusi hasil dari teknologi.

1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian pasal 1-11,
tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu pengakuan iman bahwa
Allah adalah Pencipta alam semesta dan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan-Nya. Bagi
banyak orang, pokok pengakuan ini akan terdengar sangat biasa saja. Kesan “biasa” ini
didapatkan karena kita selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan masalah adanya
Allah dan

bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allah, bukan dengan masalah kerukunan
antarumat beragama dan kebersamaan manusia sebagai sesame ciptaan Allah. Dalam konteks
percakapan mengenai kerukunan antarumat beragama, kita memerlukan perspektif baru yang
khas Indonesia, yang bisa menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam kerangka ini,
penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa “Adam” bukanlah sekadar nama dari
manusia pertama. Memang dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama orang, akan tetapi
sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia.”

2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia

Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering dianggap
sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Abraham dipanggil keluar dari Ur supaya menjadi
cikal bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil keluar (Exodus) supaya menjadi
umat kesayangan Tuhan. Demikian kita baca di dalam Ulangan 7:6. Pemahaman mengenai
Israel sebagai umat kesayangan Tuhan, umat yang dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa
yang lain memang amat menonjol di dalam Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru yang
sudah berwawasan universal, ide ini tetap kuat juga. Keselamatan datang dari orang Yahudi
(Yoh. 4:22).

Konfrontasi, Koeksistensi, Pluralisme

Ada tiga model hubungan antarumat berbeda agama, yakni konfrontasi, koeksistensi damai
dan pluralisme. Pada pola yang pertama, yang dahulu lazim dianut agama-agama besar dunia,
pendekatannya adalah konfrontatif: berupaya dengan segala cara mengenyahkan yang lain.
Tidak ada tempat bagi agama- agama lain, agama-agama lain adalah kafir. Pola yang kedua
adalah koeksistensi (kebersamaan statis). Di dalam pola ini mereka hidup Bersama tanpa
kebersamaan, mereka sering bekerja bersama-sama namun tidak terjadi interaksi, mereka
bercakap-cakap tetapi tidak ada dialog sejati. Apa yang terjadi adalah “Kuhidupi hidupku dan
kau hidupilah hidupmu,” atau “Jangan ganggu aku dan tak akan kuganggu kau.” Orang hidup
bersama secara sosial dan praktis, tetapi tidak secara teologis. Pola yang ketiga adalah prinsip
dan sikap pluralisme, yakni kebersamaan kreatif. Dengan prinsip ini perbedaan agama tidak
dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang secara praktis tidak terhindarkan, melainkan
sesuatu yang bermakna dan teologis. Dalam wawasan pluralisme ini, yakni yang menerima
serta menghayati kepelbagaian secara positif, misi masing-masing agama tidak dihapuskan,
melainkan dikembangkan dari monolog (dengarlah aku) ke dialog (marilah kita saling
mendengarkan). Demikian juga perbedaan asasi antara agama-agama tidak dinisbikan,
melainkan ditonjolkan untuk saling memperkaya wawasan. Dalam dialog dan interaksi
dengan penganut agama-agama lain penghayatan iman saya diperdalam dan komitmen sosial
saya diperkokoh. Wawasan pluralis akan menciptakan hubungan antarumat berbeda agama
yang lebih rukun dan berinteraksi secara positif dalam kemanusiaan bersama yang kreatif dan
keberagamaan yang dinamis. Wawasan primordial digantikan wawasan kemanusiaan, yang
antara lain terungkap dalam perjuangan bersama untuk melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai warga Negara, menegakkan demokrasi, hak-hak asasi, keadilan sosial dan kedaulatan
hukum, bertolak dari sumber keagamaan masing-masing yang dikembangkan secara sehat
dan dinamis.

A. Menelurusuri Konsep Seni Bergaul

Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa hubungan dengan orang lain. Oleh sebab itu, adanya
individu-individu lain merupakan suatu keharusan. Manusia diciptakan sebagai makhluk
sosial yang selalu akan hidup dalam suatu hubungan keterikatan dengan individu lainnya.
Seorang manusia selalu membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya agar dapat
mencapai taraf tingkah laku manusia.

Dalam perkembangan usia, pola hubungan seseorang juga berkembang. Pola itu jelas pada
usia remaja dan terus bertahan sampai usia lanjut. Pola itu terdiri atas lima dimensi (Ismail
2007, 109). Pertama, dimensi persamaan. Kita memilih teman yang mempunyai persamaan
dalam kepribadian, nilai-nilai hidup, perilaku, minat dan latar belakang. Kedua, dimensi
timbal balik. Kita mencari teman yang bisa saling mengerti, saling percaya, saling tolong,
saling mengakui keunggulan dan saling memaklumi kelemahan masing-masing. Ketiga,
dimensi kecocokan. Kita berteman karena merasa cocok dan senang berada bersama dia.
Keempat, dimensi struktur. Kita mencari teman yang berjarak dekat, mudah dihubungi dan
bisa langgeng. Kelima, dimensi model. Kita berteman karena kita respek dan mengagumi
kualitas kepribadiannya.

Tahap anak kecil (3-6 tahun). Pada tahap ini anak hanya melihat dari sudut pandang dan
kepentingannya sendiri. Ia mengukur teman dari factor kebendaan. Katanya, “Si Daniel
temanku, ia punya sepeda merah.” Pada usia ini perangai mulai tampak. Anak yang
menerima cukup kehangatan, pujian, dan perlakuan baik dari orang tuanya akan lebih terbuka
dan berprakarsa mendekati teman. Sebaliknya, ada anak yang malu dan ragu-ragu, bahkan
bermasalah, misalnya merasa terancam, curiga, iri, merampas, menjerit, mengejek atau
membentak.

Tahap anak besar (6-12 tahun). Keberhasilan atau kegagalan berteman pada tahap ini akan
mewarnai hidup kita seterusnya. Pergaulan dengan teman pada tahap ini membentuk
kepribadian kita. Ketika ada teman yang lebih pandai, apakah kita ikut bangga ataukah
mendengki? Di sinilah letak faedah utama bersekolah. Anak yang mendapat ilmu secara
pribadi di rumah, mungkin akan menjadi orang dewasa yang hipersensitif terhadap ejekan,
perlakuan iseng dan persaingan, atau menjadi orang dewasa yang cuma mau menang sendiri,
sulit bergaul dan sulit bekerja sama.

Tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun). Pada tahap ini kita membentuk jati diri sambil
menjauhkan diri dari pengaruh orang tua, sehingga pengaruh teman menjadi dominan. Tanpa
teman kita merasa kurang percaya diri. Demi memelihara persahabatan, kita meniru
perbuatan teman dan menaati seluruh suruhannya. Akibatnya kita kurang kritis dalam
memilih teman. Kita mengalami sejumlah ambivalensi. Di satu pihak kita merasa mandiri, di
lain pihak kita merasa bergantung, terutama pada teman. Di satu pihak, kita

Anda mungkin juga menyukai