Anda di halaman 1dari 122

Bab I

KATEKESE SEBAGAI PENDIDIKAN IMAN SEKOLAH MENENGAH

PENGERTIAN DAN PENTINGNYA

PENDAHULUAN

Katekese di tingkat Sekolah Menengah disingkat (Katekese SM) nama lazimnya adalah
PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH yang
disingkat (PAKSM) merupakan salah satu tugas pokok Gereja dalam bidang pewartaan iman di
sekolah. Fungsinya ialah mendampingi siswa-siswa sekolah menengah agar semakin mengenal
Yesus Kristus, Sang Guru Utama serta menjalin hubungan yang mesra dengan Dia, yang adalah
Penyelamat manusia.

A. KATEKESE SM SEBAGAI SALAH SATU PENDIDKAN IMAN


Untuk memahami tentang katekese sebagai pendidikan iman, kita terlebih dahulu perlu
memahami tentang iman itu sendiri, bagaimana iman terjadi, bagaimana iman berkembang, serta
seberapa besar intervensi manusia melalui katekese sebagai pendidikan iman dapat memainkan
peranan secara proporsional. Untuk dapat memahami hal tesebut merilah kita belajar besama
tentang Wahyu dan iman.

1. Hakekat Wahyu
Dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi (DV.2) hakekat Wahyu
diuraikan sebagai berikut:
“ Dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan
memaklumkan rahasia kehendak-Nya (lih. Ef.1:9); berkat rahasia itu manusia dapat
menghadap Bapa melalui Kristus Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan
ikut serta dalam kodrat ilahi (lih.ef.2:18; 2Ptr 1:4). Maka dengan Wahyu itu Allah yang
tidak kelihatan (lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) dari kelimpahan cinta kasih-Nya menyapa
manusia sebagai sahabat-sahabat-Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul
dengan mereka (lih. Bar. 3:38), untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan

1
dengan diri-Nya dan menyambut mereka di dalamnya. Tata pewahyuan itu terlaksana
melalui perbuatan dan perkataan yang amat erat terjalin, sehingga kaya, yang
dilaksanakan oleh Allah dalam sejarah keselamatan, memperlihatkan dan meneguhkan
ajaran serta kenyataan-kenya-taan yang diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan
kata-kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan rahasia yang tercantum di
dalamnya. Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah
dan kese-lamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi
pengantara dan kepenuhan seluruh Wahyu”

Berdasarkan teks di atas, secara sederhana dapat kita katakan bahwa Wahyu
adalah Komunikasi diri Allah kepada manusia. Wahyu adalah pernyataan diri Allah
kepada manusia dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya, Allah yang tidak kelihatan
(lih. Kol 1:15; 1Tim 1:17) memperlihatkan, menyatakan dan memperkenalkan diri dan
rencananya kasihnya kepada manusia dan menyapa manusia sebagai sahabat-sahabat-
Nya (lih. Kel 33:11; Yoh 15:14-15), dan bergaul dengan mereka (lih. Bar. 3:38).
Pernyataan dan penampakan diri Allah beserta rencana penyelamatan-Nya menjadi
nyata dan mencapai kesempurnaan dalam dan melalui Kristus. Melalui cara hidup-Nya,
karya-Nya, yang memuncak pada peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya Yesus
menyatakan dan mewartakan kasih dan rencana Allah.

2. Iman
Setelah secara singkat kita membahas tentang hakekat wahyu, maka berikut ini
kita akan membahas tentang hakekat iman, bagaimana iman itu berkembang dan
dimensi-dimensi iman.

2.1. Paham Iman


Pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu kita cari jawabannya adalah apa
hakekat dari iman itu? Bagimana iman itu terjadi? Bagaiaman iman
berkembang? Apa peran katekese sebagai pendidikan iman terhadap
perkembangan iman ?

2
Untuk memahami iman dalam hubungannya dengan Wahyu, pertama-tama
kita bertolak dari Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi artikel 5 yaitu
sebagai berikut: “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib
menyatakan ‘ketaatan iman’ (Rom.16:26; lih. Rom 1:5; 2 Kor 10:5-6).
Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah,
dengan mempersembahkan ‘kepatuhan akal budi serta kehendak yang
sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan’ dan dengan sukarela menerima
sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya. Supaya dapat beriman
seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang mendahului dan mendorong, pun juga
bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan membalikkannya kepada
Allah membuka mata hati dan menimbulkan pada semua orang rasa manis dalam
menyetujui daan mempercayai kebenaran’. Supaya semakin mendalamlah
pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman
melalui karunia karu-nia-Nya.”
Berdasarkan kutipan di atas dapat ditarik beberapa pokok pikiran tentang
iman, antara lain:
a. Iman pada dasarnya adalah jawaban manusia kepada Allah yang
mewahyukan diri-Nya. Allah terlebih dahulu mengkomunikasikan diri-Nya
melalui wahyu yang memuncak dalam diri Yesus Kristus. Berdasarkan
wahyu Allah itu manusia mendapat pertolongan dari rahmat Allah dan
bantuan batin Roh Kudus sehingga dapat menanggapinya dengan iman.
(Pedoman Gereja Katolik Indonesia - PGKI art.121.a)

b. Iman sebagai sikap dasar. Manurut Dei Verbum art.5, dan Dignitatis Humanae
art.10 iman adalah sikap dasar manusia menyambut Tuhan yang mewahyukan
diri kepada manusia. Sikap dasar ini berhubungan erat dengan harapan dan
kasih. Sikap dasar itu berisikan kebenaran tentang Tuhan serta hubungannya
dengan alam semesta ciptaannya terutama manusia dan dunia. Berdasarkan
kernyataan ini dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara iman sebagai
sikap dasar dan iman sebagai pengetahuan. Katekese SM sebagai pendidikan
iman yang dilaksanakan melalui Pendidikan Agama Katolik di SM

3
seharusnya menjadi wahana bagi tumbuh dan berkembangnya iman sebagai
sikap dasar dan juga pengetahuan imannya.

c. Iman sebagai anugerah dan tugas.

Iman timbul dan berkembang pertama-tama bukan hasil karya rekayasa


manusia mutahir apapun, melainkan terutama anugrah atau rahmat Allah.
Rahmat Allah yang memungkinkan manusia beriman dan mengembangkan
imannya. Rahmat allah dan bantuan Roh Kudus akan sungguh efektif
menimbulkan dan mengembangkan iman jika manusia memiliki kondisi batin
yang kondusif bagi lahir dan berkembanngnya iman dan usaha sungguh
untuk mengembangkannya dan memeliharanya.

Iman juga mengandung tugas, artinya iman bukan melulu sikap batin
yang serbah beres melainkan menuntut untuk dipelihara,dan dikembangkan.
Setiap orang beriman mempunyai tugas untuk mengusahakan dengan rahmat
Allah dan bantuan Roh Kudus untuk menjiwai imannya dengan kasih dan
untuk mewujudkannya dalaam realitas hidup keseharian sehingga
menghasilkan buah yang berlimpah (bdk. Yak. 2: 14-26).

2.2. Katekese sebagai Pendidikan Iman

Pemahaman tentang katekese sebagai Pendidikan iman harus bertolak dari


pengertian katekese, pengertian pendidikan dan pendidikan iman.

a. Arti Katekese
Dalam arti yang sempit katekese adalah usaha untuk meneruskan dan
mengajarkan iman kepada anggota baru gereja (baik anak-anak dari umat
Kristen maupun orang dewasa yang baru masuk menjadi anggota gereja).
Dalam arti yang luas, katekese adalah segala upaya untuk membantu umat
semakin beriman sesuai dengan panggilan pribadinya. Katekese juga dapat
berarti segala usaha untuk menggalakkan/menggiatkan, memperdalam,
memperkaya dan meneguhkan iman. Tujuannya ialah agar iman seseorang

4
semakin benar, mendalam, kaya, teguh dan dihayati, sehingga dapat dan
mewujudkannya dalam hidup kongkrit setiap hari.
b. Pendidikan Iman
Pendidikan di sini maksudnya ialah proses pemberian pertolongan oleh
orang dewasa (pendidik) kepada manusia muda (peserta didik) agar
mengalami pertumbuhan dan perkembangan pribadi menuju kedewasaan
yang utuh.
- Proses pemberian pertolongan.
Pendidikan sebagai sebuah proses pemberian pertolongan adalah segala
bantuan yang diberikan melalui serangkaian kegiatan secara sengaja,
terencana dan sistematis. Pendidikan iman sebagai sebuah proses artinya
upaya-upaya yang memungkinkan perkembangan manusia muda menuju
kedewasaan tidak terjadi sekaligus melain-kan secara bertahap sejalan
dengan perkembangan phisiknya, kematangan sosialnya, kematangan
emosinya (perkembangan manusiawinya)
- Orang dewasa
Orang dewasa atau pendidik adalah orang yang sudah lebih matang
dan mendapat pendidikan khusus untuk mendidik orang lain berkembang
dalam iman. Mereka adalah orang yang sudah memiliki kedewasaan
intelektual, emosional, moral, sosial, dan fisik dan memiliki proses
khusus untuk menjadi pendidik.
- Peserta didik
Peserta didik adalah manusia muda yang belum dewasa, yang biasa
di sebut murid, pelajar, siswa pada lembaga pendidikan formal. Mereka
adalah orang yang masih sedang dalam masa pertumbuhan dan
perkembangan. Siswa sekolah menengah, usianya berkisar antara 11/12
s/d 20/21 tahun.
- Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan dalam hal ini adalah tercapainya kedewasaan
pribadi yang utuh. Pendidikan bertujuan untuk membantu setiap peserta
didik tumbuh dan berkembang menuju kedewasaan secara utuh.

5
Kedewasaan secara utuh artinya dewasa secara manusiawi dan dewasa
dalam iman kristiani. Dewasa secara manusiawi adalah dewasa secara
intelektual, emosional, social dan moral. Dewasa dalam iman kristiani
artinya kehidupannya diwarnai dengan kehidup-an Yesus Kristus. Ia
secara bertahap hidup seperti cara hidup Yesus Kristus (menjadi alter
Kristus), yang memiliki keprihatinan dan perjuangan tunggal yaitu
terwujudnya Kerajaan Allah di muka bumi ini.
Jadi, pendidikan iman di sini adalah segala upaya atau proses pemberian
pertolongan oleh seorang pendidik (guru) terhadap peserta didik (murid)
agar dapat bertumbuh dan berkembang menuju kedewasaan yang
paripurna.

c. Katekese sebagai Pendidikan Iman


Pemahaman tentang Katekese sebagai Pendidikan Iman dapat disimak
dari kutipan sebagai berikut:

“Katekese sebagai pendidikan iman merupakan salah satu bentuk karya


pewartaan Gereja yang bertujuan membantu orang beriman agar iman
mereka makin mendalam dan agar mereka makin terlibat dalam dinamika
hidup menggereja dan memasyarakat baik sebagai peribadi maupun sebagai
kelompok”.

Iman yang makin mendalam artinya iman yang makin terlihat dalam
dinamika hidup menggereja dan dinamika hidup bermasyarakat.
Berdasarkan uraian di atas iman yang mendalam dapat dipahami sebagai
iman yang berorientasi ke dalam dank e luar. Buah iman terwujud dan
tampak dalam kehidupan konkrit sehari-hari baik dalam lingkungan
keluarga, sekolah, umat stempat (lingkungan, stasi,wilayah, paroki maupun
keuskupan bahkan gereja universal. Sesungguhnya untuk mengukur iman
yang mendalam masih cukup sulit karena alat ukurnya belum ada, akan
tetapi dapat dirasakan dan dapat diamati (melalui refleksi yang jujur) dan
oleh sesame yang kita jumpai dan yang hidup bersama dengan kita.

6
Romo F.X. Adisusanto, SJ. dalam tuliasannya tentang Katekese sebagai
Pendidikan iman mengungkapkan bahwa :…istilah pendidikan iman dalam
kaitannya dengan katekese hanya dapat dimengerti dalam arti sekunder.
Maksudnya ialah pendidikan iman merupakan usaha pertolongan manusia
yang dapat memperlancar, membantu, dan menghilangkan halangan-
halangan yang menghambat iman, tetapi selalu di luar setiap kemungkinan
campur tangan langsung atas iman sendiri, yang selalu tetap terikat pada
rahmat Allah dan tindakan bebas manusia. Katekese sebagai pendidikan
iman hanyalah pertolongan untuk membantu manusia siap sedia
menghadapi peristiwa yang luar biasa, yaitu perjumpaan dengan Allah yang
berkenaan secara bebas menyapa manusia dan mengharapkan tanggapan
bebas pula dari pihak manusia.”

Berdasarkan uraian di atas dapat dimengerti bahwa iman tidak


merupakan campur tangan langsung dari kegiatan pendidikan iman terhadap
peserta didik melainkan merupakan usaha dari luar untuk membantu
mempermuda perkembangan iman, karena perkembangan iman pada
dasarnya merupakan tindakan langsung dan Cuma-Cuma dari Allah atas
manusia dan berkat tanggapan bebas manusia terhadap Allah yang lebih
dahulu dan senantiasa berinisiatif. Iman dan perkembangannya adalah
rahmat, anugerah Cuma-Cuma dari Allah untuk manusia yang dicintai-Nya.

B. PENGERTIAN KATEKESE SEKOLAH MENENGAH


Katekese pada tingkat Sekolah Menengah disingkat Katekese SM adalah Pendidikan
Agama Katolik di tingkat Sekolah Menengah selanjutnya disingkat PAKSM. Katekese SM
(PAKSM) memiliki ranah yang utuh, tidak hanya terbatas pada ranah pengetahuan iman saja,
melainkan meliputi ranah: nilai dan sikap sampai pada ketrampilan. Pengetahuan iman (agama)
yang cukup dan dipraktekkan dalam kegiatan-kegiatan memungkinkan siswa sekolah menengah
hidup sebagai orang beriman. Dengan kata lain, siswa Sekolah Menengah tidak hanya
mengetahui dan memahami agamanya, melainkan sampai mampu mengaplikasikan imannya
dalam hidup nyata. Melalui Katekese SM (PAKSM) siswa sekolah menengah sungguh berada

7
dalam sekolah Yesus Sang Guru (Petunjuk Umum Katekese art. 138). Mereka mengalami sendiri
paedagogi Yesus Kristus.

PAKSM merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan Gereja secara sadar
terencana dan berkesinambungan untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional
melalui komunikasi iman atau interaksi iman (yang terjadi di antara siswa-siswi, dan siswa
dengan guru) yang bertumpu pada iman akan Yesus Kristus, dalam rangka mengembangkan
kemampuan siswa untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Allah, serta memberi
sumbangan bagi pembentukan sikap dalam pembangunan hidup beriman kristiani siswa sekolah
menengah. Dari pengertian itu, ditemukan sepuluh (10) komponen penting yang membentuk
pengertian Katekese Sekolah Menengah ini. Sepuluh komponen itu patut dijelaskan lebih rinci
sbb:

1. Salah Satu Usaha Gereja


Gereja sebagai sebuah organisme senantiasa hidup secara dinamis. Ia digerakan oleh Roh
Allah. Roh itulah yang mendorong melakukan tugas-tugas dalam berbagai bidang. Pendidikan
Agama Katolik merupakan salah satu bagian dari bidang tugas Gereja mewartakan (katekese).
Sedangkan katekese sendiri adalah salah satu bidang tugas dari lima bidang tugas utama Gereja
yaitu : Bidang Pembentukan diri, bidang Pewartaan iman (katekese), bidang Perayaan iman
(liturgia), bidang pelayanan iman (diakonia) dan persekuan jemaat (koinonia).
Untuk mengefektifkan pelajaran agama katolik di sekolah – para ahli kateketik dalam sidang
di Malino tanggal 28 Juni s/d 4 Juli 1981, sepakat membedakan secara tajam tempat dan peranan
pelajaran agama katolik yang dikenal dengan POLA PAK (Pola Pendidikan Agama Katolik).
Bahwa Pola Pelajaran Agama Katolik (PAK) di sekolah dipandang sebagai suatu pola minimal.
Ruang lingkupnya sempit. Hanya ditujukan kepada siswa di sekolah negeri/inpres dan swasta.
Pola ini berperan meningkatkan pengetahuan agama Katolik di sekolah. Proses belajar –
mengajar dikenal dengan proses belajar membentuk. Dengan kata lain, belajar agama seraya
membentuk diri.
Lingkup yang sedikit lebih luas dari pola PAK ialah Pola Katekese. Pola ini menekankan
tukar menukar pengalaman iman (komunikasi iman) untuk memperkaya masing-masing peserta
sebagaimana dirumuskan pada hasil PKKI II di Klender. Pola ini lebih menekankan aspek
mendengar, membagi pengalaman iman dan niat berbuat sesuai dengan sabda Allah.

8
Lingkup yang lebih luas adalah Pola Pendidikan Agama, sering juga disebut pastoral
sekolah, karena kegiatannya mencakup PAK dan Katekese. Pola ini berperan sebagai
perwujudan kehidupan beragama dan kehidupan beriman (Budiyono, 1982.115-117).

2. Usaha Gereja yang dilakukan Secara Sadar


Masyarakat, Pemerintah, Lembaga Agama/Gereja, keluarga dan orang perorang secara
pribadi sadar bahwa Pendidikan Agama (katolik) merupakan sumbangan yang sangat berharga.
PAK membentuk sikap moral, etik dan iman siswa-siswi Sekolah Menengah di tengah arus
deras infomasi dunia yang membingungkan. PAK membantu mereka menilai dan membuat
keputusan yang tepat dalam situasi yang sulit itu.
Kenyataan memperlihatkan bahwa situasi masyarakat kita telah menggiring siswa SM
dalam carut marut sikap dan tindakan melawan hukum, kebenaran, keadilan, melenyapkan
hidup, merusak flora dan fauna (lingkungan hidup) dan alam semesta ini. Pendidikan agama
yang hanya berhenti pada aspek pengetahuan melulu kurang dapat memberi sumbangan bagi
siswa untuk bersikap dan bertindak sesuai martabatnya sebagai citra Allah. Oleh karena itu
pembelajaran agama haruslah sampai kepada pengembangan sikap iman. Pengetahuan agama
yang banyak tidak menjamin hidup baik. Maka mereka perlu mengaplikasikan pengetahuannya
dalam praktek kehidupan nyata: itulah beriman.
Kesadaran itu diletakkan di bidang Katekese atau pendidikan iman sebagai gerakan
moral, etik dan Kerajaan Allah. Istilah Pendidikan agama yang terlalu bersifat lahiriah,
mengedepankan semangat kompetitif dan emosional hanya akan menimbulkan masalah.
Semangat ini lebih menarik siswa ke arah pembelaan/pembenaran agamanya daripada
merindukan Allah yang mempersatukan semua manusia sebagai saudara dalam kerajaanNya. Isi
dari agama jauh lebih penting dihayati dan diamalkan daripada penguasaan pengetahuan tentang
agama itu sendiri. Seharusnya, orang-orang beragama mengedepankan Allah dan KerajaanNya.
Allah lebih ditonjolkan dari agamanya. Jangan menciptakan persaingan di antara umat beragama.
Hilangkan kecenderungan berbicara tentang perbedaan agama. Berdialoglah sebanyak mungkin
tentang kerinduan siswa tentang kasih setia Allah. Dengan demikian, pendidikan agama
menolong siswa menemukan jalan masuk mengenal Allah secara lebih santun. Di sinilah,
katekese sekolah menengah menyadarkan guru agama dan siswa SM tentang paedagogi Yesus
Kristus.

9
Pendidikan iman yang pertama dan utama dimulai dari keluarga. Kesadaran itu terkait
dengan pendapat bahwa siswa-siswi SM lahir, hidup dan dibesarkan dalam keluarga. Pendidikan
iman adalah sebuah sekolah iman yang berkesinambungan (Paus Yoh Paulus II, Ajakan
Apostolik Catechesi Tradendae). Pendidikan iman di sekolah tidak pernah mungkin
menggantikan pendidikan iman dalam keluarga. Sekolah hanya membantu apa yang tidak
mungkin dibuat dalam keluarga. Upaya pelaksanaan pendidikan di sekolah oleh pemerintah
diwujudkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kurikulum, silabus, buku pegangan guru/siswa dan buku penunjang lainnya, berbagai
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru agama adalah bentuk-bentuk
pemberdayaan guru agama untuk melaksanakan kegiatan belajar - mengajar secara efektif.
Bagaimana dengan calon guru agama katolik? Mereka yang sekarang dididik di lembaga
Perguruan Tinggi Kateketik/Pastoral juga dipersiapkan menjadi calon-calon guru agama/katekis
yang handal. Mereka mengikuti mata kuliah Katekese Sekolah Menengah dalam bentuk teori,
latihan dan praktik, dilengkapi dengan buku-buku penunjang.

3. Salah satu usaha yang dilakukan secara terencana.


Pelaku pendidikan agama katolik (guru agama/katekis) di Sekolah Menengah adalah
bagian dari sistem pendidikan di sekolah tersebut. Ini mengandaikan :
Orientasi Perencanaan Guru Agama
Perencanaan harus berpijak pada tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dia juga harus mengacu ke Visi dan misi
sekolah menengah tersebut. Di tangannya harus ada kurikulum/silabus/Garis Besar Program
Pembelajaran (GBPP). Dia juga menjabarkan GBPP itu dalam rencana tahunan/semester. Dan
menyusun Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP) sebagai tindakan yang tepat dalam kegiatan
belajar – mengajar. Artinya komitmen guru agama menjalankan fungsinya sebagai seorang nabi
yang mengajarkan kebenaran-kebenaran Allah seperti yang dikehendaki Yesus.
Penjabaran Rencana Kegiatan
GBPP harus dijabarkan dalam rencana satuan waktu (tahunan/semester) dan satuan bahan ajar
(RPP). Perencanaan persatuan waktu terdiri dari program tahunan dan semester. Perencanaan per
satuan bahan ajar berdasarkan satu kebulatan bahan ajar yang dapat disampaikan dalam satu atau
beberapa kali pertemuan sesuai dengan isyarat kurikulum.

10
Kegiatan Belajar-Mengajar (tatap muka)
Rencana tersebut diikuti dengan tindakan pembelajaran tatap muka guru – siswa di dalam/di luar
kelas dengan proses, pendekatan, metode pembelajaran sesuai dengan yang ditetapkan dalam
RPP yakni mulai dari pendahuluan – sajian materi – evaluasi – penutup.
Indikator - Evaluasi
Proses pembejaran tersebut diakhiri dengan evalusi yang mengacu kepada indikator yang sudah
dirumuskan.
Tugas-tugas
Tugas rumah yang diberikan guru agama kepada siswa SM semata-semata untuk memancing
keterlibatan sikap dan perbuatan siswa dari suatu materi untuk dipergunakan sebagai evaluasi
sikap dan perbuatan siswa SM oleh guru agama. Dalam silabus Pendidikan Agama Katolik
untuk Sekolah Menengah Atas/Kejuruan disebutkan : “Orang tidak akan beriman dan
diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi oleh pergumulannya
menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-
hari”. (Silabus PAK SM)

4. Salah satu usaha yang dilakukan secara berkesinambungan.


Guru agama/katekis berusaha menjaga dan memelihara kesinambungan antara jalinan hubungan
tujuan pendidikan nasional, visi dan misi SM dalam aplikasi kegiatan belajar – mengajar sbb :
a. Standar kompetensi – kompetensi dasar – materi pokok – kegiatan pembelajaran – evalusi –
dan tugas agar berjalan dalam satu garis kesinambungan.
b. Ranah kognitif (pengetahuan/ilmu) – afektif (sikap) dan psikomotorik (tindakan/perbuatan)
harus sinergis.
c. Dari buah-buah iman yang berkecambah di SM menuju kepada iman kristiani yang dapat
dipertanggujawabkan di masyarakat dan Yesus.
d. Sasarannya adalah siswa-siswi Sekolah Menengah menjadi “orang beriman yang berusaha
melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidupnya dan berusaha
melaksanakan kehendak Allah dalam konteks hidupnya” (Silabus PAK SM).

5. Salah satu usaha menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional.

11
Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Bab III pasal 3 menyebutkan : “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU RI
No. 20 tahun 2003).
Artinya dalam kegiatan belajar – mengajar, guru agama berusaha mengarahkan siswa-siswi SM
ke tujuan Pendidikan Nasional yakni :
Potensi Peserta Siswa
Mengembangkan potensi siswa SM. Kemampuan akalnya, Kehendaknya, emosinya,
spiritualitasnya, simpati dan empatinya agar siswa-siswi SM memiliki sikap dan tindakan tepat
dan terpuji/bertanggung jawab.
Siswa Beriman
Menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan
manusia beragama. Beriman dan beragama jelas berbeda. Beragama lebih memperhatikan hal-
hal luar seperti : Upacara, peraturan, ritus, hukum, adat, kebiasaan, lambang-lambang luar,
segi-segi sosiologis maupun politis dari gejala ungkap agama. Sebaliknya Iman dan Taqwa
menyentuh hal-hal yang mendalam, menentukan sikap dasar, yang membuat orang membuat
orang beramal baik, bersikap penuh belaskasih, merasa rindu dan ingin dekat dengan Tuhan,
yang membuat orang berharap penuh kepercayaan, menyerahkan kepada penyelenggaraan
Ilahi, penuh cinta sayang, lembut hati, mudah memaafkan dan bersinar dalam amal karya-karya
demi keadilan…” (Mangunwijaya, 2000).
Ciptakan suasana iman
Beriman dan bertaqwa menjadi kunci hubungan baik dengan Tuhan dan sesama manusia.
Guru agama, para guru, yayasan dan pemerintah, wajib menciptakan iklim, suasana iman,
harapan dan cintakasih kristiani yang bisa dihirup dalam penghayatan siswa-siswi SM dan
orangtua mereka.

6. Salah satu bentuk Komunikasi iman dan interaksi iman yang terjadi di tingkat Sekolah
Menengah.

12
Pola pembelajaran di Sekolah Menengah sebagaimana diisyaratkan oleh silabus PAK SM
ialah Komunikasi iman atau interaksi iman. Artinya proses dan relasi timbal balik maupun
penyampaian pengalaman/penghayatan iman perlu diatur sedemikan rupa sehingga sikap-sikap
dan perilaku siswa SM terasa menyenangkan, layaknya sebuah komunitas bersaudara yang rukun
dan damai. Yang ada ialah sikap kasih mengasihi dan bukan persaingan. Di sini, guru agama
perlu metode, organisasi dan teknik komunikasi (Piet Go, Pastoral Sekolah, hal, 20-21) yang
tepat. Hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi atau interaksi iman itu ialah :
Tekanan komunikasi iman/interaksi iman di Sekolah Menengah ini adalah tukar menukar
pengalaman, penghayatan dan pengamalan iman dari siswa-siswi SM. Tuntutannya ialah siswa-
siswi SM harus mampu mengungkapkan pengalaman nyata dalam kaitan dengan materi yang
dibahas. Yang ditukar adalah penghayatan iman. Bukan pengetahuan tentang rumusan iman.
Tujuan komunikasi iman/interaksi iman ialah :
Dalam terang Injil siswa SM meresapi arti pengalaman nyata sehari-hari.
Siswa SM menyadari kehadiran Allah dalam situasi nyata sehari-hari,
Memungkinkan mereka beriman, berharap dan mengamalkan cintakasih,
Dan bersatu dalam Yesus Kristus mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini. (HD. Budiyono, A.P,
1982/Komkat, Katekese Umat Selayang Pandang, 2000).
Bahan ajar/materi berfungsi sebagai medan pergumulan dan refleksi antar siswa SM.
Subyek dalam komunikasi iman itu adalah siswa SM. Guru agama bertindak sebagai pemudah
atau pengarah.

7. Salah satu usaha Komunikasi dan interaksi iman yang bertumpu Pada iman akan Yesus
Kristus.a
Komunikasi iman/interaksi iman dalam pembelajaran Pendidikan agama katolik di SM itu
ialah bersaksi tentang iman akan Yesus Kristus. Pengantara Allah yang bersabda kepada kita.
Dan pengantara kita menanggapi Sabda Allah. ”Yesus Kristus adalah hubungan yang hidup dan
sempurna Allah dengan manusia dan manusia dengan Allah... dan paedagogi iman menerima
sebuah hukum yang fungdamental bagi seluruh kehidupan Gereja, dan oleh sebab itu bagi
katekese hukum kesetiaan kepada Allah dan hukum kesetiaan kepada manusia dalam satu sikap
saling mengasihi” (Petunjuk umum katekese art. 145. hal 137). Dalam Kristus, kita berjumpa
dengan Allah. Dan melalui Kristus pula Allah mendatangi kita.

13
8. Salah satu bentuk usaha dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa sekolah
menengah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi pada kompetensi siswa. Guru
agama bersama guru-guru mata pelajaran profan harus sinergis membantu mengembangkan
kemampuan siswa (talenta) kearah pengembangan yang optimal (bdk Matius 25:14-30). Guru
agama dengan sadar menggeser otoritasnya dari orang yang maha tahu ke arah
pemudah/pendamping/pengarah. Kemampuan siswa yang dikehendaki ialah :
Kemampuan berpikir (pengetahuan/ilmu) supaya mereka dapat berpikir kritis dalam dimensi
iman, ditengah pergulatan hidup menggereja dalam masyarakat yang majemuk ini.
Kemampuan bersikap (moral dan etik) supaya mereka dengan sadar, tahu dan mau memilah,
memilih dan membuat keputusan yang benar, baik dan tepat bagi hidupnya dan dalam kaitan
dengan hidup bersama.
Kemampuan emosional supaya mereka memiliki keseimbangan hidup dalam merasakan apa
yang dirasakan oleh orang lain (bersimpati dan empati).
Kemampuan spiritualitas supaya mereka memiliki jiwa yang terbuka, terarah, berharap dan
merasakan kehadiran Allah yang mendorong mereka mengulurkan tangan membantu mereka
yang miskin/papa, menderita, kedukaan atau dengan kata lain : melakukan tindakan terpuji
kepada sesama yang dijumpainya (bdk. Lukas 10:27-37/GES 1)

9. Salah satu bentuk usaha untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Guru agama berusaha menjadikan pelajaran AGAMA sebagai MEDIA memperteguh iman
dan taqwa siswa SM kepada Tuhan Yang Maha Esa. Siswa SM jangan dihantar memahami kulit
luar saja. Mereka harus diarahkan ke isi terdalam dari agama itu sendiri. Siswa SM dihantar
mengalami sendiri iman yang sesungguhnya. Seperti ilustrasi dua orang dari jenis kelamin
berbeda saling jatuh cinta. Ada kerinduan menggebu untuk berjumpa dan bermesraan. Ada
kerinduan untuk menyenangkan satu sama lain. Ada kerinduan untuk bersatu. Ada kerinduan
untuk memikirkan si dia siang dan malam. Demikian pula dengan IMAN dan TAQWA. Orang
beriman dan bertaqwa adalah:

14
Mereka yang merindukan Allah di dunia ini dalam diri sesama saudaranya yang berbeda suku,
agama, ras, antar golongan, status sosial.
Mereka yang melakukan keseimbangan ibadah di dalam gedung dengan ibadah pelayanan nyata
yang menggembirakan.
Mereka yang merombak paham keluarga dari garis hubungan darah ke arah garis idealogis –
kerajaan Allah (bdk Lukas 8:21).
Mereka yang mengutamakan kesempurnaan hidup di dunia ini (bdk. Matius 5:48) dengan hidup
dalam kasih, persaudaraan, kekeluargaan, persatuan/ kesatuan.

10. Salah satu usaha yang memberikan sumbangan bagi pembentukan sikap dalam
pembangunan hidup beriman Kristiani siswa sekolah menengah.
Salman Habeahan menulis : “Agama seharusnya menjadi solusi dari persoalan bangsa
dan umat manusia di dunia ini. Namun dalam kenyataan, Agama justru menjadi bagian dari
masalah yang dihadapi umat beragama di Indonesia” (Habeahan Salman, Butir-butir
Pendidikan Nilai Memasuki Abad 21). Secara bebas, dapat dikatakan bahwa ada yang salah
dengan pembangunan jasmani dan pembangunan rohani. Mana yang mau didahulukan.
Pembangunan jasmani atau pembangunan rohani. Jika pembangunan jasmani yang didahulukan,
hasilnya ialah apa yang kita alami sekarang ini. Krisis terjadi di semua lini. Jika pembangunan
rohani menjadi alat pemicunya, maka pendidikan iman (kristini) menjadi andalannya.
Mengapa? :
Pendidikan iman kristiani terarah kepada perubahan sikap kompetitif ke sikap belas kasih
terhadap Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus, manusia dan alam.
Menggeser peran agama lahiriah ke arah agama imanen. Allah yang mengancam kepada Allah
yang mengasihi.
Merubah hati yang egosentris ke sikap hati yang mementingan kehidupan bersama orang lain
(sosial).

C. PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH


MENENGAH

15
Sekolah, termasuk Sekolah Menengah merupakan medan perjumpaan pemberdayaan
manusia jiwa dan raganya. Komponen yang berinteraksi dalam perjumpaan ini ialah siswi-siswa
dibawa bimbingan guru agama (kurikuler). Dan siswa-guru, siswa-pegawai administrasi, guru-
guru, guru-pengawai administasi, dan pengawai-pegawai (ekstra kurikuler). Komponen yang ada
di luar sana adalah para orang tua (komite), yayasan (Gereja/orang per orang) dan pemeritah.
Tentang penyelenggaraan pendidikan, kenyataan menunjukkan bahwa sekolah lokus, sekolah
dalam rangka kepemilikkan, sekolah dalam pembiayaan bukan milik guru, siswa, pegawai
administrasi tetapi milik pemerintah dan yayasan (Gereja/agama/privat). Apa ada dasar
hukumnya?

1. ALASAN FORMAL

Dasar Penyelenggaraan Pendidikan Agama Katolik di SM

a. UUD 1945 (hasil amandemen) pasal 31 ayat 3 menyebutkan : Pemerintah mengusahakan


dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan serta aklak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur oleh undang-undang. Maka kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menggantikan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasonal.

b. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 bagian 4 pasal 37 ayat 1 butir a. menegaska :


Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama. (UU
Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas)

c. Konsili Vatikan II dalam Pernyataan tentang Pendidikan Kristen art. 8 menyebutkan :


Kehadiran Gereja di dunia persekolahan secara khas nampak melalui sekolah-sekolah
katolik. Tidak kurang dari sekolah-sekolah lainnya, sekolah katolik pun mengejar tujuan-
tujuan budaya dan menyelenggarakan pendidikan manusiawi kaum muda...” (KV II).

a. Sementara ini, dalam Kitab Hukum Kanonik (Kan. 800) menegaskan: 1 Gereja berhak
untuk mendirikan dan mengarahkan dari jurusan, jenis dan jenjang manapun.2
Hendaknya orang-orang beriman kristiani mendukung sekolah-sekolah katolik dengan
membantu sekuat tenaga dalam mendirikan serta membiayai sekolah-sekolah itu.

16
Memperhatikan amanat UUD 1945 (yang diamandemen), Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, amanat Konsili Vatikan II dan
Kitab Hukum Kanonik, maka dapat dirumuskan pendidikan agama katolik di
Sekolah Menengah sbb :

1) Pendidikan Agama termasuk agama katolik menjadi alat/sarana mempertinggi


iman dan taqwa siswa-siswi SM. Biarlah mereka melihat dan merasakan Allah
di dunia ini dalam dirinya dan dalam kesatuan hidup dengan sesama manusia
tanpa ada sekat, dengan alam ciptakan Allah yang sudah terkoyak-koyak. Dari
sini, diharapkan muncul semangat baru mengikis sikap persaingan bebas dengan
sikap cinta, kasih dan sayang terhadap sesama dan alam.
2) Pendidikan Agama Katolik mengantar siswa SM berjumpa dengan Yesus
Kristus, Sabda yang menjadi manusia (bdk Yoh. 1:14) dan Putra Allah sendiri.
Dalam pendidikan itu, mereka berkomunikasi dengan Sang Gurunya yakni
Yesus Kristus.
3) Guru Agama atau manusia siapapun yang melakukan tugas mengajar-belajar
bagi siswa SM, harus dilihat sebagai penyambung lidahKristus (Paus Yoh
Paulus II, Ajakan berkatekese art. 6). Tokoh kunci dalam pembelajaran itu ialah
Yesus Kristus.

2. ALASAN PRAKTIS
Katekese Sekolah Menengah sebagai salah satu pendidikan hidup dalam lingkungan
sekolah di Indonesia sekarang ini begitu penting. Pentingnya Katekese Sekolah
Menengah tersebut dapat dilihat dari beberapa alasan praksis sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Katekese dalam Keluarga belum efektif
Keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk penyelenggaraan Katekese bagi
anak –anak. Di dalam keluarga seharusnya pendidikan hidup beriman kristiani
disemaikan, namun kenyataannya pelaksanaan Katekese dalam keluarga belum efektif
bahkan dibeberapa keluarga kristiani belum menghiraukan tugas utama ini.

17
Sesungguhnya keluarga (ayah dan ibu) adalah pihak yang paling bertanggung jawab
atas pendidikan hidup beriman anak-anak yang dilahirkan di dalamnya, namun
kenyataannya hingga sekarang ini masih cukup banyak keluarga kristiani belum sadar,
mau dan mampu untuk melaksanakan tugas panggilan itu. Masih cukup sulit bahkan
jarang ditemui bahwa keluarga sungguh-sungguh menjadi pesemaian iman (seminari)
bagi anak-anak, para remaja dan kaum muda. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa
anak-anak katolik, para remaja katolik dan para kaum muda katolik masih cukup banyak
yang belum memperoleh pendidikan dalam kelauarga, akibatnya ialah banyak diantara
mereka yang ketika mendapat tantangan mudah goyah bahkan tidak memahami identitas
kekatolikannya. Mereka mengalami kekurangan yang amat penting dalam hidup
berimannya. Akibatnya mereka mengalami kekeringan iman.

b. Pelaksanaan Katekese Paroki untuk para remaja dan Kaum Muda belum efektif dan
jangkauannya masih terbatas.
Paroki sebagai persekutuan berkewajiban untuk menyelenggarakan katekese bagi
kaum remaja dan kaum muda yang ada di dalam wilayahnya. Memang harus kita akui
bahwa paroki sudah melakukan banyak usaha untuk membina iman para remaja dan
kaum muda melalui kegiatan katekese, namun hasilnya belum cukup memuaskan.
Keluahan para orang tua bahkan masyarakat tentang merebaknya kenakalan remaja masih
sajah terdengar di mana-mana. Hal ini berarti masih banyak remaja dan kaum muda
setingkat sekolah menengah yang belum terjangkau katekese paroki, bahkan
pelaksanaannya mungkin saja belum efektif, sehingga banyak remaja dan kaum muda
belum tertarik untuk mengikutinya.

3. Dalam rangka membantu orangtua dalam pendidikan hidup beriman kaum muda
Penyelenggaraan Katekese di lingkungan sekolah menengah merupakan salah satu
usaha untuk membantu para orang tua dalam pendidikan hidup beriman kaum remaja dan
kaum muda. Katekese Sekolah menengah adalah salah satu alternatif yang amat baik untuk
pembinaan hidup beriman remaja dan kaum muda. Namun juga harus tetap disadari bahwa
katekese sekolah menengah sebagai pendidikan hidup beriman kristiani tidak dapat
menggantikan dan mengambil alih tugas dan tanggung jawab paroki bagi remaja dan kaum
muda yang ada di dalam wilayahnya.

18
Sekolah (d.h.i. sekolah Menengah) adalah salah satu lembaga pendidikan formal yang
memiliki karakteristik tersendiri dengan segala keterbatasannya, namun juga memiliki
potensi dan peluang untuk membantu para remaja dan kaum muda mengembangkan
imannya melalui pelaksanaan katekese. Potensi dan peluang tersebut a.l:

a. Memiliki sistem organisasi yang jelas dan jika diberdayakan akan membantu
memudahkan penyelenggaraan katekese di sekolah.
b. Memiliki perencanaan dan kurikulum yang memungkinkan penyeleggaraan katekese
secara terencana, periodik, sistematis, berkesinambungan dan dapat
didpertanggungjawabkan.
c. Tersedianya tenaga khusus yang profesional dalam bidangnya yang memungkinkan
pelaksanaan katekese secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
d. Tersedianya sarana dan prasarana yang dapat membantu pelaksanaan katekese secara
efisien dan efektif.
e. Pendidikan Agama (termasuk Pendidikan Agama Katolik) mendapat tempat resmi dan
penting di dalam kurikulum sekolah.
f. Tedapat alokasi waktu dengan jadwal yang jelas dan teratur.
g. Terdapat pengelompokan peserta yang secara psikologis setaraf dalam
perkembangannya, meskipun dalam hal iman tidak dapat diukur.
h. Dan sebagainya.

Keadaan atau kondisi yang seperti di atas memungkinkan sekolah menengah berpotensi
dan berpeluang untuk membantu pendidikan hidup beriman para remaja dan kaum
muda sekolah menengah. Dengan kondisi yang demikian lingkungan sekolah menengah
dapat difungsikan untuk membantu, melengkapi upaya pengembangan iman atau
katekese yang telah dilaksanakan dalam keluarga dan paroki dengan tetap berkoordinasi
dengan paroki sebagai wadah resmu yang bertanggung jawab untuk pengembangan dan
pemeliharaan iman umat.

4. FUNGSI DAN TUJUAN


a. Fungsi Pendidik Agama Katolik di Sekolah Menengah

19
 Mewujudkan tujuan pendidikan dengan memperhatikan tahap perkembangan
siswa SM yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab. (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas)
 Membantu mewujudkan tugas Gereja mewartakan misteri kenyelamatan Allah
dengan memperhatikan perkembangan kehidupan siswa seutuhnya.
 Membantu mewujudkan tugas orangtua dalam pendidikan anak-anaknya terutama
hidup beriman.
 Membantu siswa memiliki kepedulian dalam hidup bermasyarakat. (GBPP PAK
PD dan SM).

b. Tujuan Pendikan Agama Katolik di Sekolah Menengah


Siswa memiliki:

Kemampuan membangun hidup yang semakin beriman kristiani. Artinya, membangun


kesetiaan pada Injil Yesus Kristus yang memiliki keprihatinan tunggal yakni kerajaan
Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan: Situasi dan
perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan,
persaudaraan dan kesetiaan, pelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap
orang dari pelbagai agama dan kepercayaan.

20
Bab II

PERKEMBAMGAN KATEKESE SEKOLAH MENENGAH DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Sejak pendidikan agama masuk ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia telah terjadi
beberapa kali perubahan seiring dengan perkembangan kemajuan bangsa dan Negara di bidang
pendidikan, kebudayaan, teknologi dan lain sebagainya.

A. PENGAJARAN AGAMA KATOLIK SEBELUM TAHUN 1975

1. Kurikulum Untuk Siswa Sekolah Negeri

Pendidikan Agama Katolik (PAK) di Sekolah secara teratur, terencana dan berlaku di
semua jenjang pendidikan formal : SD, SMP dan SM dimulai sejak diberlakukan
kurikulum 1975 standart. Mula-mula, hanya dimaksudkan untuk Sekolah Negeri sesuai
amanat Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 pasal 13 ayat
1 yang berbunyi : “Atas dasar kebebasan tiap- tiap warga negara mengatur sesuai
agama atau keyakinan hidup, maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan
menyelenggarakan sekolah-sekolah partikulir”

Teks naskah penjelasan berbunyi sbb: ”Di sini diakui baik aliran- aliran untuk
mendirikan sekolah yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan
paham masing masing”. Pendidikan agama yang diwajibkan GBHN hanya diuntukkan
bagi sekolah-sekolah negeri/perguruan negeri karena masih berlakunya Undang- Undang
nomor 4 tahun 50 jo UU nomor 12 tahun 54 dan TAP MPR nomor IV/MPR/1973.
Artinya, peraturan perundang-undangan di negara RI menjamin wewenang/hak yayasan
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolahnya menurut
paham/aliran agama yang dianut oleh yayasan.

2. Kurikulum PAK, Otonomi Gereja

21
Benturan antara keingingan pemerintah dan yayasan pendidikan katolik (Gereja) terjadi di
sini. Di satu pihak, pemerintah berusaha memberlakukan kurikulum nasional untuk
meningkatkan pendidikan di negara ini – termasuk pendidikan agama (katolik) bagi
peserta didik di semua sekolah negeri (SDN, SMPN dan SMAN). Sementara itu,
Pemerintah (Ditjen Bimas Katolik) sadar bahwa tugas menyusun kurikulum PAK,
menyangkut kebenaran iman. Terkait dengan otoritas Kuasa Mengajar Gereja. Dan Kuasa
itu berada di tangan Para Uskup (MAWI). Dampak dari penyusunan kurikulum ini ialah
penulisan buku pengangan guru dan siswa yang harus ada legitimasi imprimatur dan nihil
opstat. Bahwa kebenaran iman dalam buku pengangan tersebut dapat dipakai dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Kenyataan waktu itu memperlihatkan bahwa Bp. Piet Maku Waso – mewakili unsur
pemerintah dari Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama RI, berkonsultasi terus menerus
dengan pihak MAWI. Misinya ialah menempatkan posisi Gereja sebagai subtansi yang
memiliki hak dan kewenangan di dalam pendidikan agama katolik. Kurikulum agama
dalam hal ini agama katolik, menjadi tanggung jawab Gereja. Bukan pemerintah.
Pemerintah mengemban tugas fasilitatif. Tugas yang berkaitan dengan mempersiapkan
sarana-sarana pendukung untuk terselenggaranya kurikulum 1975. Sepertinya, pihak
Gereja tidak memberi respons terhadap permintaan pemerintah dalam penyusunan
kurikulum PAK. Hal ini disebabkan antara lain :

Pertama : PAK adalah urusan Gereja. Kewenangan Gereja. Berkaitan langsung dengan
kuasa mengajar Gereja. Bukan urusan dan kewenangan negara. Hal ini sejalan dengan
amanat UU No 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 dan TAP nomor IV/MPR/1973.
Kedua : Paham katekese – khusus katekese sekolah masih beraneka ragam. Sulit
mempertemukan aliran-aliran katekese sekolah pada masa itu. Ketiga: PWI Kateketik
belum menghimpun kekuatan Panitia Kateketik Keuskupan untuk membicarakan dan
menugaskan siapa-siapa yang dipercayakan ikut terlibat dalam penyusunan kurikulum
PAK 1975 itu.

a. Subtansi – Fasilitasi
Kendala ini tidak membatalkan penyusunan kurikulum PAK. Bp. Piet Maku Waso
dengan gigih tetap berharap agar otonomi Gereja tetap dijunjung tinggi. Aparat Ditjen

22
Bimas Katolik adalah orang-orang katolik. Mereka tahu betul bahwa Pendidikan Agama
Katolik adalah hak prerogatif dari kuasa mengajar Gereja. Para uskuplah dalam MAWI
(Konferensi Wali Gereja saat itu) yang punya kompetensi untuk hal itu. Merekalah yang
mempertimbangkan dan memutuskan dan menugaskan anggota Gereja untuk penyusunan
kurikulum itu. Artinya, otoritas dan otonomi Gereja dalam mempertahankan kebenaran
iman dihormati dan dijunjung tinggi. Pemerintah bertindak dalam batas kewenangannya
sebagai fasilitatif.

Akhirnya, keluarlah surat kuasa nomor 1897/XII/74 tanggal 22 Oktober 1974. Isinya,
menunjuk bp. St. Mujilan dan bp. F.X. Sutaryo selaku anggota panitia Keuskupan Agung
Jakarta sebagai tim penyusun kurikulum pendidikan agama katolik. Bekerjasama dengan
Panitia Kateketik Keuskupan Agung Semarang (PANKAT KAS), kurikulum tersebut
dijabarkan menjadi buku ajar untuk siswa SMA. Ada buku pegangan guru dan pegangan
siswa dengan judul LANGKAH-LANGKAH, dan mulai diberlakukan tahun 1976.

b. Kurikulum pada proyek Sekolah Pembangunan

Perkembangan pendidikan secara terencana sebetulnya sudah dimulai pada tahun 1968
dengan proyek sekolah pembangunan. Tetapi kegiatan pendidikannya lebih menyangkut
pada bidang-bidang profan. Pendidikan Agama (Katolik) baru mulai awal tahun 1973
dengan rencana draft kurikulum 1975 yang serentak diberlakukan tahun 1976.

Kurikulum PAK Dari Masa ke Masa

Dalam pembaharuan kurikulum, kita mengenal pergeseran pandangan terhadap tujuan


pendidikan nasional, visi dan misi sekolah, situasi, perkembangan dan keadaan siswa,
pengertian, fungsi, tujuan, pendekatan dan ruang lingkup dari kurikulum dari masa ke
masa.

Kurikulum Pendidikan Agama Katolik (PAK) di Indonesia dimulai pada tahun 1975.
diikuti oleh kurikulum 1984, 1994, 2004 (dikenal sebagai KBK), selanjutnya KBK
diperbaharui menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP) yang diberlakukan
tahun 2006 sampai sekarang. Perkembangan kurikulum pada pendidikan formal termasuk
PAK ikut mengalami katolik, ikut mengalami perubahan juga.

23
c. Kurikulum dan Pola Pembelajaran Sebelum Th 1975
1. Katekismus

Sebelum tahun 1975 belum ada kurikulum maupun buku pegangan yang berlaku secara
nasional. Saat itu sudah ada buku pegangan untuk calon baptis, tetapi dipergunakan
untuk pelajaran agama di sekolah. Buku-buku tersebut dikenal sebagai Katekismus
(ringkasan pengajaran agama katolik) pegangan calon baptis, dengan pola tanya jawab
antara pengajar dengan siswa katekumin. Para siswa menghafalkan rumus-rumus ajaran
Gereja Katolik, kemudian mereka diuji.

Segi positif dan negatif dari pola hafal:

Segi positifnya : Siswa hafal rumusan iman atau ajaran Gereja secara cepat, singkat dan
benar, karena jawaban sudah dirumuskan tinggal menghafalkan saja.
Segi negatifnya: Peserta pasif; mereka hafal tetapi kadang tidak mengerti maksudnya
karena rumusannya sulit, juga sulit menghayatinya; apalagi mengembangkan hidupnya
sebagai orang beriman.

Tahun 1955 beredar buku pengajaran Gereja Katolik terjemahan dari Katekismus
Jerman, dan disusul yang dikerjakan oleh Pater Wahyo, OFM, terbitan OBOR, Jakarta.
Dalam buku tersebut siswa tidak hanya menghafal rumusan, tetapi juga dilatih untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disediakan.

Katekismus antara lain:

a) Katekismus Indonesia, 1963


b) Hidup Kekal. 1965
c) Katekismus Batak, Sumatra, 100 sungkun-sungkun

2. Pewartaan Iman Katolik

Pada tahun 1972 penerbit Kanisius Yogyakarta menerbitkan buku PAK untuk
SMA sebanyak 3 jilid untuk klas I-III yang dikarang oleh P.van Bilsen, Msc.
Susunannya sbb:

24
Didahului dengan Tema, lalu Ikhtisar, kemudian Uraian, disusul dengan Soal soal.
Buku ini memberi bekal yang cukup luas dan mendalam. Sebuah buku yang saat itu
dibutuhkan oleh siswa-siswa SMA.

Prosesnya

Proses katekese yang menggunakan pola katekismus: Siswa diberi pertanyaan-


pertanyaan dan jawaban yang perlu dikuasai oleh siswa melalui langkah sbb:

a) Rumusan singkat tentang ajaran Gereja Katolik

b) Uraian

c) Pertanyaan-pertanyaan di sekitar ajaran tersebut

d) Praktek hidup

Proses dalam buku PAK van Bilsen, Msc, sbb:

a) Ichtisar yang memuat intisari pewartaan. Ichtisar tersebut mirip dengan kajian
materi dalam buku pegangan guru (kurikulum 1994 dan kurikulum 2006.

b) Uraian Materi

c) Soal-soal yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan.

B. PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SM BERDASARKAN KURIKULUM


TAHUN 1975

Mulai tahun 1975, diberlakukan kurikulum mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik
sdecara nasional, maka disebut kurikulum 1975. Kurikulum 1975 mengarah (berorientasi)
kepada tujuan dan juga berorientasi kepada Kitab Suci sebagai norma perbandingan pengalaman
manusia. Ini berarti bahwa perhatian utama kepada para siswa, sedang bahan dipilih dengand
isesuaikan keadaan konkrit para siswa.
1. Pengertian

25
Pendidikan agama di sekolah menengah adalah (1). suatu bentuk katekese sebagai (2).
pendidikan iman atau (3) paedagogi religius, untuk (4) membangun manusia kristiani
secara (5) integral, yang memperhatikan (6) keseluruhan hidup manusia yang sekuler
dan religius, dengan pendekatan yang terarah kepada (7) tujuan-tujuan, yang
ditetapkan dalam menunjang tercapainya (8) tujuan pendidikan nasional yang tertuang
dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN bahan menyangkut pendidikan
yakni pembangunan di bidang pendidikan, didasarkan atas falsafah negara Pancasila,
yang berorientasi pada (9) personalitis dan (10) biblis.

2. Fungsi

Pelajaran Agama Katolik di sekolah menengah berfungsi :

a. Menjadikan siswa SMA manusia ber-Tuhan, manusia Pancasilais, manusia


pembangunan.
b. Membangkitkan iman siswa SMA agar peka terhadap komunikasi Diri Allah kepada
umat manusia dan secara khusus dengan dirinya sendiri, yang mampu membaca karya
Tuhan dalam alam nyata, manusia-manusia dan perbuatannya, kejadian-kejadian dan
perkembangan-perkembangan masyarakat dan dunia.
c. Memupuk sikap yang tepat dalam menghadapi situasi sulit agar siswa SMA mampu
memberi jawaban secara positif dan bebas terhadap komunikasi dengan Diri Allah
yang menyata dalam situasi itu.
d. Membimbing kedewasaan pribadi siswa agar lebih dewasa imannya di tengah aneka
pendapat, aliran dan teori; membina pribadi mereka akan Yesus Kristus sebagai
model baginya; mengembangkan kepenuhan hidup dalam aspek bermasyarakat dan
berkarya (Piet Maku Waso, Pelaksanaan Kurikulum 1975 Mata Pelajaran Agama
Katolik, Departemen Agama RI Direktorat Bimbingan Masyarakat Katolik, 1978, hal
121-122)
3. Tujuan

Tujuan pendidikan agama katolik di SMA ialah mengarahkan siswa SMA ke suatu
katekese sebagai pendidikan iman atau paedagogi raligius untuk membangun manusia
kristiani secara integral, di mana diperlihatkan keseluruhan manusia yang sekuler dan

26
religius dan diusahakan membuat hubungan tetap dengan keadaan hidup yang
sesungguhnya, yang mencakup kelompok kelompok kultis religius (gereja) dan tugas-
tugas sosial, budaya dan politis dalam masyarakat manusia (Piet Maku Waso,
Pelaksanaan Kurikulum 1975 Mata Pelajaran Agama Katolik, Departemen Agama RI
Direktorat Bimbingan Masyarakat Katolik, 1978, hal 51).

Tujuan PAK ini berorientasi kepada tujuan (tujuan pendidikan nasional – institusional –
kurikuler - instruksional serta Kitab Suci sebagai norma perbandingan pengalaman
manusia (Huber, Arah Katekese di Indonesia, 1979, hal. 135)

4. Pola pendekatan
Jiwa dari kurikulum PAK SMA ini ialah katekese dengan orientasi personalistis:
Membina pribadi siswa yang mencakup seluruh segi kehidupan dengan pendekatan biblis
- antropologis, mengedepankan dominasi metode dialog. (Piet Maku Waso, Pelaksanaan
Kurikulum 1975 Mata Pelajaran Agama Katolik, Departemen Agama RI Direktorat
Bimbingan Masyarakat Katolik, 1978, hal 123).

5. Ruang Lingkup

a. Materi di kelas I SMA terpusat pada : Diri sendiri dalam hubungan dengan sesama,
dengan alam semesta dan dengan Tuhan. Kunci pendalaman hidup adalah
KETERBUKAAN HATI.
b. Materi kelas II SMA : Hidup manusia dalam rangka karya penyelamatan Tuhan
dalam Yesus Kristus. Tuhan yang menyelamatkan manusia. Ini yang perlu disadari
oleh para siswa. Materinya berkisar pada penciptaan, penebusan dan kebangkitan.
c. Materi kelas III SMA : Tuhan menyelamatkan umat manusia dalam Yesus Kristus -
ternyata tidak sendirian. Tuhan minta kerjasama. Karena itu, para siswa perlu
menyadari bahwa mereka perlu mempersiapkan diri untuk bekerjasama dengan
Tuhan. Tuhan menyelamatkan umat manusia dalam Yesus Kristus. Kenyataan ini
yang perlu disadari dan dipahami: Peranan manusia dalam hubungan dengan Tuhan
sebagai makluk yang diciptakan sebagai pria dan wanita di dunia ini (Huber, Arah
Katekese di Indonesia, 1979, hal. 142)

27
1. Proses
Bertitik pangkal pada tujuan katekese seperti diterangkan di atas, maka dalam
berkatekese kita mengalami proses sebagai berikut:
a) Diusahakan menyadari pengalaman iman yang menyentuh hidupnya;
b) Siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan pengalaman iman yang bertitik tolak
dari Yesus Kristus yang menyelamatkan hidupnya supaya diperdalam dan
dikembangkan dalam kelompok. Di sinilah terjadi komunikasi iman dalam kelompok.
c) Penyadaran iman dalam kelompok atau kelas masih perlu diorientasikan dengan iman
Gereja yang diungkapkan dalam Kitab Suci karena dalam Kitab Suci ditemukan
pengalaman hidup manusia yang telah mengimani secara penuh Yesus Kristus dan
menjadi dasar hidupnya;
d) Tahap membandingkan atau mengorientasikan pengalaman iman kelas (guru bersama
murid dengan pengalaman iman dalam Kitab Suci yang akan menumbuhkan kesadaran
baru).

2. Buku
Pada waktu kurikulum 1975 disusun, belum ada bukunya. Buku baru disusun pada tahun
1978, oleh PIKAT Semarang. Untuk anak SMA diberi judul LANGKAH – LANGKAH.

C. PENGAJARAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH MENENGAH


BERDASARKAN KURIKULUM TAHUN 1984

1. Pengertian
Pendidikan Agama Katolik merupakan salah satu usaha menunjang tercapainya (1). falsafah
Pancasila, UUD 1945 dan GBHN di bidang Pendidikan, (2) mendidik siswa-siswa menjadi
manusia Indonesia seutuhnya, (3). warga negara Pancasilais, mampu (4) memahami diri
sendiri, (5) sesama dan (6) lingkungannya, (7) mencari dan membangun hidupnya yang
berarti dan mendalam seperti yang diwartakan oleh (8) Yesus Kristus dan diwujudkan serta
(9) diwartakan terus oleh jemaat beriman katolik.

28
2. Tujuan
Tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah adalah :

a. Siswa memiliki kemampuan menggumuli hidupnya dengan visi kristiani dan membentuk
dirinya menjadi orang beriman, pengikut Kristus.
b. Siswa menyadari pengalaman hidupnya dan fakta (tradisi Gereja) dari segi religius.
Mereka dilatih melihat segi kedalaman pengalaman hidupnya dari fakta yang dihadapi.
Mereka dibimbing melihat Allah yang memanggil dalan dan melalui kejadian sehari-hari
dan fakta yang berbicara itu.
c. Siswa dibina mempertimbangkan pandangan katolik yang ditawarkan kepadanya sesuai
dengan taraf perkembangan siswa dilatih untuk mengambil sikap secara bertanggung
jawab terhadap pandangan katolik itu.
d. Siswa mampu membangun kesetiaan kepada Sabda Tuhan dalam Kitab Suci dan ajaran
Gereja, kesetiaan terhadap situasi Siswa, kesetiaan terhadap tuntutan perkembangan diri
siswa.

3. Pola pendekatan
Pendekatan dalam kurikulum PAK 1984 adalah : POLA PAKK yaitu pola yang
mengutamakan PROSES BELAJAR D MEMBENTUK. Pola ini didasarkan pada :

a. Melihat HIDUP sendiri sebagai MEDAN PERJUMPAAN antara ALLAH dan


MANUSIA. Hidup yang dimaksudkan adalah pengalaman nyata harian. Pengalaman
biasa-biasa atau luar biasa. Pengalaman itu harus digumuli dalam terang SABDA. Dalam
pergumulan itu terjadi titik temu antara IMAN dan SABDA dalam diri siswa. Iman dan
keselamatan bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan ini.
b. HIDUP harus dilihat dan ditafsirkan menurut VISI KRISTINI. PAK menggumuli hidup
dan fakta dengan berbagai visi (pandangan). Banyak visi perlu dimunculkan supaya
peserta didik dilatih untuk berpikir, bergumul dan memilih secara mandiri dan
bertanggung jawab. Dengan demikian mereka dapat beriman secara dewasa. Tetapi, dari
semua visi manusiawi – visi Kristuslah yang yang menjadi acuan dan tujuannya. Tujuan
kita adalah supaya peserta didik dapat melihat, menginterpretasikan dan menerima
segala-galanya dengan visi kristiani.

29
c. PROSES dan KOMUNIKASI hendaknya senantiasa diterapkan.
Proses di sini yang dimaksudkan adalah bahwa dalam pembelajaran pendidikan agama
katolik hendaknya terjadi perkembangan pikiran, perasaan, kehendak dan sebagainya
dalam diri peserta didik yang disebabkan oleh pengembangan pembelajaran.

4. Ruang Lingkup
Bahan yang dibahas dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah adalah
keseluruhan hidup beriman kristiani yang berkisar pada tiga pokok :

e. Materi esensial 1 : Kita makluk pribadi. Tujuan dari materi ini ialah siswa menyadari
dirinya sehingga ia mampu membangun hidupnya. Isinya ialah seseorang perlu mengenal
dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya dan menerima diri apa adanya serta
membangun hidupnya secara bertanggung jawab.
f. Materi esensial 2 : Kita warga masyarakat, warga Gereja. Tujuan materi ini adalah siswa
makin sadar akan sesamanya, makin sadar akan dirinya di tengah-tengah orang lain, ia
tumbuh dan berkembang melalui dan di tengah-tengah orang-orang lain. Dengan
demikian ia mampu menghormati sesama, menyumbang untuk sesama, saling
bertanggungjawab, saling mencintai, bersahabat dan saling membahagiakan. Isi materi ini
ialah : Pemahaman diri sebagai makluk sosial yang dipanggil untuk mencintai dan saling
membahagiakan.
g. Materi esensial 3 : Kita dalam negara Indonesia. Tujuan dari materi ini ialah siswa
menyadari dirinya hidup dalam negara Indonesia dengan kebudayaannya. Mereka perlu
menyadari kebangsaannya dan dipanggil terus menerus untuk mencintai tanah airnya.
Mereka berada dan dibentuk untuk makin menjadi manusia dalam konteks sosio budaya
Indonesia, dengan segala macam adat kepercayaannya. Isi materi : Memahami diri sendiri
sebagai warga negara Indonesia dengan segala macam suku, kebudayaan, adat
kepercayaan, yang dipanggil untuk menemukan Tuhan.
h. Materi esensial 4 : Allah memanggil kita, kita menjawab. Tujuan dari materi ini ialah
agar siswa menemukan bahwa dalam kebudayaan yang membentuk manusia itu, Allah
memanggil manusia, menyapa, mewahyukan diriNya. Dari pihak manusia, kita dituntut
kesediaan dan kesanggupan menanggapi panggilan itu, sambil terus-menerus membangun

30
hidup kita. Isi materi ini memperlihatkan situasi konkret, kebudayaan setempat, Allah
menyapa manusia, mewahyukan diri terus-menerus. Dari pihak manusia terdapat
keharusan untuk menjawab, menerima atau menolak. Manusia menerima panggilan Allah
berarti dia beriman. Dan menolak sama dengan berada dalam dosa (Rama Yosef Lalu, Pr.
Yesus Teladanku, buku guru, buku pelajaran agama katolik kurikulum 84, hal 8-9).

5. Proses
Proses pembelajaran berdasarkan pola PAK adalah:

- Pertama: Menampilkan pengalaman manusia dan fakta (al: semua wahyu obyektif dari
Kitab Suci dan tradisi Gereja) yang membuka pemikiran sehingga dapat menjadi umpan.
Ini disebut tahap ”mengetahui”.
- Kedua : Membawa pokok-pokok di atas ke pengolahan lebih lanjut, sehingga mendorong
proses mengetahui dan memahami secara lebih mendalam dan meluas. Ini disebut tahap
”memahami”.
- Ketiga : Menggumulinya (mungkin dari sekian banyak penafsiran) sehingga peserta
mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk mengetrapkan dan mengintegrasikan ke
dalam hidupnya. Ini tahap ”menggumuli”.

D. PENGAJARAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH MENENGAH


BERDASARKAN KURIKULUM TAHUN 1994

1. Pengertian

Pendidikan Agama Katolik merupakan salah satu usaha (1) menunjang tercapainya tujuan
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (2) memperkuat iman dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan (3) agama lain dalam
hubungan kerukunan antar umat beragama, dengan pendekatan bentuk (4) komunikasi-
interaksi dan dialog iman yang (5) bertumpu pada iman akan Yesus Kristus – Allah yang
mendatangi manusia, sebagai sumbangan bagi (6) pembentukan dan (7) pembangunan hidup
beriman kristiani siswa.

31
2. Tujuan
Tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah adalah :

a. Siswa lebih mengenal, memahami dan mencintai Yesus Kristus.


b. Siswa lebih mengenal, memahami dan mampu mempertanggungjawabkan kejadian-
kejadian mengenai Allah yang berkarya di dalam dunia dan bersedia mewujudkan
kepeduliaan Yesus di dalam hidup siswa.
c. Siswa memiliki daya dinamika, sikap kritis dan kreatif demi perkembangan diri dan
pembangunan negara, masyarakat, serta dunia.
d. Siswa mampu berdialog, berpartisipasi dan berkomunikasi dalam proses pemahaman
iman.

3. Fungsi
Fungsi mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah adalah :

a. Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan


siswa sekolah menengah dan kesesuaian dengan lingkungan dan kebutuhan pembangunan
nasional berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 37.
b. Membantu mewujudkan tugas Gereja dalam mewartakan misteri penyelamatan Allah
dalam mengusahakan perkembangan kehidupan siswa seutuhnya.
c. Membantu mewujudkan tugas orangtua dalam pendidikan anak-anaknya terutama
pendidikan hidup beriman.
d. Membantu siswa agar memiliki kepedulian dalam hidup bermasyarakat.

4. Pola pendekatan
Pola pendekatan pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah ialah
DIALOG PARTISIPASIF PEMAHAMAN IMAN. Artinya, pengetahuan hafalan memang
perlu tetapi jauh lebih penting adalah proses komunikasi, interaksi atau dialog iman itu
sendiri yang terjadi selama proses belajar – mengajar. Sebab dalam dialog iman itu, para
siswa mengolah segi-segi imannya dan membangun serta membentuk imannya. Tugas guru
agama ialah memperhatikan dengan serius segi proses belajar – mengajar, menjaga

32
kebersamaan, sehingga terbina suasana keterbukaan, ramah, bebas, dialogis, menyenangkan
dan mendalam.

5. Ruang lingkup
Bahan yang dibahas dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah menengah adalah
keseluruhan hidup beriman kristiani yang berkisar pada tiga pokok :

a. Peristiwa Yesus Kristus dan sejarah pewahyuan-Nya beserta tanggapan iman umat
terhadap-Nya dalam pelbagai kehidupan.

b. Selanjutkan peristiwa Yesus Kristus di dalam tradisi dan situasi tertentu dalam sejarah
dan tanggapan iman umat atau tokoh tertentu terhadap-Nya.

c. Keadaan hidup yang dialami oleh para siswa di SM sekarang beserta tanggapan iman
terhadap-Nya.

Tiga pokok ini merupakan kesatuan dan berpusat pada pokok pertama : YESUS KRISTUS.

Bahan kelas I : Injil, Yesus Kristus dan Keselamatan

Bahan kelas II : Tanda-tanda kerajaan Allah dan Tuhan yang

mendekat manusia.

Bahan kelas III : Kebangkitan dan perwujudan Kerajaan Allah.

6. Proses

Pola yang dikembangkan dalam Pendidikan Agama Katolik SM adalah Pola dialog-
partisipatif.

Yang dimaksud dengan pola dialog-partisipatif:

”Pendidikan agama Katolik di SM memilih pola dialogis-partisipatif pemahaman iman,


tanpa mengesampingkan pola Kerygmatis dan pola antropologis. Pendidikan Agama
Katolik di SM bukanlah kesempatan yang diciptakan untuk pewartaan iman yang langsung
(Kerygmatis) dan juga tidak untuk memperkembangkan nilai-nilai yang melulu duniawi
(antropologis), melaiankan suatu kesempatan untuk bersama-sama

33
(partisipatif)mengadakan dialog pemahaman iman secara jujur dan secara kritis mengenai
berkarya-Nya Tuhan di dalam sejarah dan didalam keseluruhan kehidupan seperti yang
nampak pada peristiwa Yesus Kristus.

Pola ini dipilih karena adanya keyakinan bahwa Allah menghendaki eselamatan dan
kebahagiaan setiap manusia, juga melalui segi kehidupan, sejarah dan masyarakat manusia
dengan tetap mengkaitkannya dengan tujuan dasar hidup manusia yang mengatasi hidup
manusia (transenden).

E. PENGAJARAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH MENENGAH


BERDASARKAN KURIKULUM TAHUN 2004 DAN KTSP

1. KATEKESE SM (PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK)


DALAM KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI 2004

2. Dasar Pemikiran
Gagasan pemerintah dalam hal ini Departemen pendidikan Nasional untuk
mengembangkan suatu kurikulum yang berdasarkan “basic competency” didasarkan pada
pemikiran bahwa dunia pendidikan sekarang ini sudah mengalami pergeseran orientasi, yaitu
dari orientasi pada materi kepada orientasi pada siswa, tepatnya orientasi pada situasi dan
kemampuan siswa. Terdapat keyakinan bahwa keberhasilan dalam hidup dan beragama tidak
terletak pada apa yang diketahui, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengolah pengetahuan itu
(termasuk pengetahuan iman) supaya hidup lebih berhasil dan beriman. Kemampuan atau
kompetensi siswa untuk mencernakan dan mengaplikasikan tentang hal yang diketahui dan yang
dimiliki di dalam hidup nyata, akan merupakan modal hidup supaya dapat lebih berkembang
secara utuh, jesmani dan rohani. Pengetahuan dapat terlupakan atau berubah, tetapi kompetensi
dalam mengolah hidup akan terus terbawa dan berkembang sebagai modal yang akan senantiasa
memperkaya hidup siswa.
Gagasan ini tentu saja disambut baik oleh dunia endidikan agama katolik. Untuk
menindaklanjuti gagasan pemerintah, Gereja Katolik Indonesia melalui Komisi Kateketik telah

34
bersungguh-sungguh memikirkan kurikulum Pendidikan Agama Katolik yang Berbasis
Kompetensi itu. Untuk mewujudkan cita-cita itu, maka Komisi Kateketik KWI berusaha
melibatkan para pakar teologi, Kitab Suci, Pedagogi, Psikologi, Sosiologi dan Kateketik untuk
menyusun Kurikulum yang Berbasis Kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan dari
berbagai segi.
Kurikulum nasional ini adalah kurikulum global yang minimal, namun disusun dan
dilengkapi dengan pencapaian target yang jelas, materi pokok, standar hasil belajar siswa dan
mengetengahkan proses pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan.
Pemikiran rational yang didasarkan pada pengalaman menunjukkan bahwa apa yang
diketahui (pengetahuan, ilmu) tidak selalu membuat hidup seseorang sukses dan bermutu. Tetapi
kemampuan, keuletan dan kecekatan seseorang untuk mencernakan dan menerapkan dalam
hidup nyatanya hal yang diketahui itu akan membuat hidup seseorang menjadi sukse dan
bermutu. Dalam hal kehidupan beragama, dapat diyakini bahwa seseorang tidak akan beriman
dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, melainkan terlebih bagaimana
seseorang menggumuli imannya, bagaimana ia menafsirkan pengetahuan imannya itu dalam
hubungannya denganTuhan dan bagaimana ia mempraktekkan apa yang diketahui tentang
imannya itu dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pakar ilmu agama belum tentu seorang
beriman dan diselamatkan, tetapi seorang yang selalu berusaha melihat, menyadari dan
menghayati kehadiran Allah dalam kehidupannya sehari-hari, ia sungguh seorang beriman dan
dapat diselamatkan. Jadi yang menyelamatkan bukanlah terutama pengetahuannya tentang
imannya (meskipun pengetahuan penting), tetapi kemampuan untuk mengolah pengetahuan itu
dan memanfaatkannya dalam kehidupan nyata. “Ia menghidupi pengetahuan imannya secara
nyata.”
Menyadari kenyataan hidup di era globalisasi dan penuh dengan tantangan sekaligus
dibarengi dengan kemerosotan moral yang begitu dalam, kemampuan dan kompetensi siswa
untuk mengolah hidup semakin dituntut. Menghadapi situasi yang memprihatinkan itu,
bagaimana dunia pendidikan khususnya pendidikan agama perlu membekali generasi mudanya
untuk mampu bertahan bahkan menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya.
Kemampuan dan ketrqampilan yang dibutuhkan untuk situasi yang demikian adalah:
 Berpikir dan memilih secara kritis. Tahu menentukan mana yang baik dan mana
yang buruk. Mana yang benar dan mana yang salah.

35
 Berinisiatif dan engambil prakarsa, artinya mampu membuat terobosan-terobosan
mampu bersikap dan bertindak inovativ.
 Bersikap mandiri, tidak tergantng pada orang lain dan keadaan.
 Membangun relasi, berdialog dan terbuka.
Pendidikan agama hendaknya mampu membekali siswa agar mampu berpikir (kognitif),
mampu menentukan sikap (afektif) dan mampu bertindak (psikomotorik). Pendidikan agama
hendaknya tidak merupakan proses pengalihan pengetahuan iman dari guru agama kepada siswa,
tetapi sungguh merupakan suatu proses komunikasi yang mendorong kepada pergumulan secara
terus menerus sehingga siswa trampil dan kompeten untuk selalu melihat intervensi Allah dalam
kehidupan nyatanya sehari-hari. Itulah yang disebut hidup beriman. Dengan demikian
ketrampilan dan kompetensi ini akan merupakan bekal bagi hidupnya yang nyata dan tak ternilai.
2. Pengertian

Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan untuk (1) mewujudkan tujuan
pendidikan nasional sesuai Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, (2) terencana dan (3) bersinambungan dalam rangka (4)
mengembangkan kemampuan siswa untuk (5) memperteguh iman dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, memperhatikan (6) penghormatan terhadap agama lain,
memampukan siswa (7) menjalani proses pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman
dalam konteks hidupnya, sehingga (8) memenuhi standar umum minimal sesuasi dasar-
dasar umum (9) ajaran iman katolik.

3. Fungsi PAK
Fungsi Pendidikan Agama Katolik dapat disebut a.l:
i. Memampukan siswa untuk memahami ajaran iman agama Katolik.
j. Menolong siswa untuk hidup secara benar dan baik dalam gereja dan masyarakat.
k. Memberi jawaban terhadap persoalan siswa dan kaum muda pada umumnya.
l. Mengajak siswa untuk semakin terbuka terhadap dunia yang semakin majemuk.
Fungsi PAK pada dasarnya adalah membantu siswa untuk mampu mengenal, menyadari
dan menghayati hidupnya dalam terang iman kristiani seperti yang diwarakan oleh Yesus
Kristus.

36
4. Tujuan mata pelajaran Pend. Agama Katolik
a. Siswa memiliki kemampuan membangun hidup yang semakin beriman kristiani.
Artinya, membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus yang memiliki kepekaan
tunggal yakni Kerajaan Allah.
b. Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa keselamatan : Situasi yang
memperlihatkan perjumpaan perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan
kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang
dirindukan setiap orang dari perbagai agama dan kepercayaan.

2. PENGAJARAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH MENENGAH


BERDASARKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
TAHUN 2006

1. Latar Belakang

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan. Badan standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyelesaikan
Standar isi dan Standar Kompetensi Lulusan yang kemudian dikukuhkan dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, Nomor 23 dan Nomor 24 tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaannya, selanjutnya dilengkapi dengan Panduan penyusunan
KTSP.
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 Ps.1 ay.3, menyatakan bahwa: “pengembangan
dan penetapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan Menengah
memperhatikan panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah yang disusun Badan Satandar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dengan keluarnya keputusan itu maka perlulah diadakan penyesuaian Kurikulum
Pendidikan agama Katolik tahun 2004, yang disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi.
Dalam rangka penyusunan KTSP, khususnya untuk Pendidikan Agama Katolik,
dengan memperhatikan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan

37
Pendidikan Dasar dan Menengah pada bagian Lampiran menegaskana bahwa: “Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik ini
menjadi dasar bagi Gereja Katolik, dalam hal ini Komisi Kateketik KWI, untuk
menyusun kurikulum beserta indicator pencapaian kompetensi yang diperlukan dalam
kegiatan pembelajaran dan penilaian”. Berdasarkan pernyataan ini, maka penyusunan
kurikulum Pendidikan agama Katolik untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
menjadi tugas dan wewenang Gereja, yang dipercayakan kepada Komisi Kateketik KWI,
dan tidak diserahkan kepada sekolah, kelompok guru atau masing-masing guru mata
pelajaran Pendidikan Agama Katolik.
Dalam menyusun KTSP untuk pendidikan Agama Katolik, termasuk silabusnya,
Komkat KWI tetap mempergunakan format yang disesuaikan dengan KTSP, sedangkan
dalam hal isi masih tetap mempertahankan isi Kurikulum Pendidikan agama Katolik yang
disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

3. Pengertian
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional sesuai Undang-Undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu untuk membentuk siswa menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi
spiritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, moral sebagai perwujudan dari
pendidikan agama. Potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman dan penanaman
nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan invidual maupun kelompok. Peningkatan potensi
spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi peserta
didik yang aktualisasinya mencerminkan hatkat dan martabatnya sebagai makhluk tuhan.
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan
bersinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa untuk memperteguh
iman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ajaran Gereja Katolik,
dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan
kerukunan antar umat beragama untuk mewujudkan persatuan nasional.

o Tujuan mata pelajaran Pend. Agama Katolik

38
Siswa memiliki kemampuan membangun hidup yang semakin beriman kristiani.
Membangun hidup beriman Kristiani berarti, membangun kesetiaan pada Injil Yesus
Kristus yang memiliki keprihatinan tunggal yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah
merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan : Situasi yang memperlihatkan
perjumpaan perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan
kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari perbagai
agama dan kepercayaan.

4. PENDEKATAN
Pendekatan yang dipakai adalah:
a. Memungkinkan siswa untuk aktif. Dia menjadi partisipan aktif dalam proses PAK.
b. Kalau siswa menjadi partisipan, maka diandaikan dalam proses PAK ada interaksi
antara siswa serta antara siswa dan guru.
c. Interaksi yang terjadi hendaknya terarah, sehingga ada suatu proses yang
berkesinambungan.
d. Interaksi yang berkesinambungan bertujan untuk menginterpretasikan dan
mengaplikasikan ajaran iman dalam hidup nyata, sehingga menjadi semakin
beriman.
Maka pendekatan atau pola yang dipakai dapat dikatakan pendekatan atau pola interaksi
(komunikasi) aktif untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran imannya
dalam hidup nyata. Dalam kurikulum 1984 disebut pendekatan atau pola ”pergumulan”.

Pendekatan atau pola ini hendaknya dijabarkan dalam berbagai metode di mana
siswa sungguh-sungguh dibantu untuk berpartisipasi secara aktif.
Metode-metode itu antara lain:
a. Diskusi Kelompok dan Pleno.
b. Bedah Kasus.
c. Studi Kasus
d. Metode Audio-Visual.
e. Dinamika Kelompok

39
f. Dialogis Partisipatif.
g. Dll.

Metode-metode ini dianggap unggul, sebab:


 Dapat mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif.
 Bersifat merangsang imajinasi.
 Dapat menyapa siswa secara menyeluruh, bak segi kognitifnya maupun
afektifnya.
 Mendorong siswa untuk mengalami proses yang membebaskan dan tidak
menjejali.

RUANG LINGKUP MATERI


a. PRIBADI SISWA
Membahas pemahaman siswa tentang diri mereka sebagai perempuan dan laki-laki
yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam
berelasi dengan sesama serta lingkungan.

b. PRIBADI YESUS

Membahas cara-cara meneladani Yesus Kristus yang mewartakan Allah Bapa dan
Kerajaan Allah.

c. GEREJA

Membahas arti dan makna Gereja, Persekutuan murid-murid Yesus yang dipanggil dan
diutus menjadi pewarta, saksi dan pelaksana karya keselamatan Allah, dan bagaimana
mewujudkan kehidupan menggereja dalam realitas hidup sehari-hari.

d. KEMASYARAKATAN

Membahas hidup bersama dalam masyarakat sesuai Firman/Sabda Tuhan, ajaran


Yesus dan ajaran Gereja, atas dasar keyakinan bahwa kehadiran Yesus dan GerejaNya
di dunia bukan hanya untuk Gereja tetapi untuk semua orang.

40
Untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman anda, silakan mencari dan membaca
buku: Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Pendidikan Agama Katolik untuk SMU/SMK,
yang diterbitkan oleh Komisi Kateketik Konfrensi Waligereja Indonesia di Jakarta tahun
2004.

41
Bab 3
SISWA SEKOLAH MENENGAH

PENDAHULUAN

Peserta didik SM, menjadi subyek dalam kegiatan pembelajaran Agama Katolik. Guru agama
memainkan fungsi sebagai pendamping yang membantu memudahkan siswa belajar menemukan
kemampuan-kemampuan dasar dan mempertajam segala yang ada di dalam dirinya. Karena itu,
seorang guru agama wajib mengenal karakteristik setiap siswa, terutama terkait dengan kondisi
fisiknya, psikisnya dan segala yang tersembunyi yang bisa ditarik keluar. Siswa SM sedang
berada diantara persimpangan masa remaja dan masa muda. Perubahan fisik dan psikis yang
dialami ikut mempengaruhi keseimbangan/kestabilan jiwa, emosi, semangat dan perilaku
mereka. Perbedaan perubahan itu tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan yang lainnya.

KEGIATAN BELAJAR 1

Perkembangan fisik dan psikologis siswa Sekolah Menengah.

1. Perkembangan Kepribadian

Teori typologi Hippocrates (450-370) - Galenus (129-200) membeberkan pengaruh


kosmologi empedokles (tanah, air, udara dan api) bagi kepribadian seseorang. Teori ini
memberi ciri-ciri sbb :

42
Teori ini dapat menuntun seorang guru agama untuk mengenal type dan sifat-sifat peserta
didik dan memperlakukan mereka sebagai teman.

Teori Sheldon menggambarkan kepribadian manusia dengan komponen kejasmanian.


Komponen ini terdiri atas tiga macam yaitu pertama : Komponen kejasmanian primer.
Ada tiga lapisan yang membentuk fetus (janin) manusia. Lapisan itu ialah endoderm,
mesoderm dan ectoderm. Tiga lapisan ini kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi
bermacam-macam bagian tubuh. Kedua : Komponen jasmani sekunder terdiri dari
dysplasia, gymandrorphy dan texture. Dalam penelitian Shelton menemukan bahwa
banyak dysplansia berhubungan dengan ectomorphy lebih banyak tertuju ke perempuan
daripada laki-laki dan terutama terarah kepada mahasiswa. Sedangkan gymandromorphy
menolong kita untuk memahami komponen jasmani memiliki sifat-sifat khas yang
diperlihatkan jenis kelamin lawan. Terakhir, texture (lebih terpusat pada tampang) yakni
komponen yang memperlihatkan seseorang tampak keluar.

Edward Spranger berpendapat kepribadian dibentuk oleh roh subyektif (individual) dan
roh obyektif (supra individual). Bahwa roh subyektif ada pada setiap orang. Setiap diri.
Setiap oknum. Sedangkan roh obyektif terdapat pada seluruh umat manusia (masyarakat).
Hubungan antara roh subyektif dan roh obyektif terjadi secara timbal balik. Roh
subyektif mengandung nilai-nilai yang dimiliki setiap individu, dibentuk dan dipupuk

43
dengan roh obyektif. Roh obyektif menyata dalam kebudayaan yang sudah ada
pengakuan publik sebagai hal yang bernilai.

Type manusia menurut Spranger digolongkan sbb :

Teori Sigmund Freud (aliran psikoanalisa) berpendapat struktur kepribadian manusia terdiri
atas tiga system/aspek berikut :
a. Das Es (the id) yaitu aspek yang mengutamakan kepentingan biologis. Sifatnya orisional.
Dari aspek biologis, kedua aspek lainnya berasal. Fungsinya, mengutamakan kenikmatan
dan menolak ketidak-nikmatan atau ketidak-senangan.
b. Das Ich (the ego) yaitu aspek yang menekankan masalah psikologis dari kepribadian yang
timbul dari kebutuhan organisme ketika berhubungan dengan dunia luar secara nyata.
Fungsinya berpegang pada prinsip realitas. Tujuannya mementikan organisme yakni
mendapat keenakan. Dia akan berusaha menghindarkan ketidak-enakan dalam batas dunia
riil.
c. Das Ueber Ich (the Super Ego) lebih menekankan aspek sosiologis dari kepribadian. Aspek
ini terlalu ideal. Dia mewakili nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat. Sifatnya:
Perintah dan larangan. Aspek ini dipandang sempurna daripada kesenangan.

Berfungsinya Das Ueber Ich punya hubungan dengan ketiga aspek kepribadian itu yaitu

- Merintangi impuls-impuls Das Es, terutama dorongan seksual dan agresifas yang berlawanan
dengan kehendak masyarakat.

- Mendorong Das Es untuk mengejar hal-hal moralitas daripada realitas.

- Mengejar kesempurnaan.

44
Teori Carl Gustav Yung (aliran psikologis analitis). Yung lebih memberi perhatian
kepada aspek jiwa (psike) daripada aspek jasmani (badan). Bagi Yung, psike ialah segala
pristiwa psikis yang disadari maupun tidak disadari. Psike diartikan sebagai kepribadian.
Yung membedakan pertama : Alam sadar (kesadaran). Fungsinya ialah mengadakan
penyesuaian terhadap dunia luar. Kedua : Alam tak sadar (ketidak-sadaran). Fungsinya
mengadakan penyesuaian terhadap dunia dalam yaitu dunia batin sendiri.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki keempat fungsi sifat. Dalam praktek, tergantung
fungsi sifat mana yang doninant. Fungsi dominant disebut juga sebagai superioritas. Dari
fungsi ini, dikenal type manusia sbb:

2. Perkembangan Fisiknya
Perubahan pertama yang paling terlihat adalah bentuk fisiknya. Pengaruhnya pada
perkembangan jiwa (siswa SM) berdampak internal pada pertumbuhan tubuh (badan
menjadi panjang dan pinggul mulai melebar), berfungsinya alat–alat reproduksi (ditandai
dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki – laki), tanda-tanda seksual sekunder
yang tumbuh. secara lengkap (MUSS 1968 ; 7), rasa janggal dan cemas terhadap kenyataan
dirinya sendiri. Bila kita memperhatikan urutan perubahan fisik tersebut, akan terlihat sbb :

No Perempuan Laki-laki
1 Pertumbuhan tulang–tulang (badan (1).Pertumbuhan tulang –
menjadi tinggi, anggota–anggota badan tulang
menjadi panjang (2).Testis (buah pelir)
(3). Tumbuh bulu kemaluan
2 Pertumbuhan payudara yang halus, lurus`dan
Tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap.
berwarna gelap dikemaluan. (4). Awal perubahan suara
(5).Ejakulasi (keluarnya air mani)

45
3 Mencapai pertumbuhan ketinggian (6).Pertumbuhan tinggi badan mencapai
badan yang maksimal setiap tahunnya. tingkat maksimal setiap tahunnya
Bulu kemaluan menjadi kering (7). Tumbuh rambut – rambut halus diwajah
4 (kumis atau jenggot)
Haid (8).Tumbuh bulu ketiak
5 (9).Akhir perubahan suara
Tumbuh bulu ketiak (10).Rambut – rambut diwajah bertambah
6 tebal dan gelap
(11). Tumbuh bulu di dada.

Telaumbanua dalam buku Ilmu Kateketik (2000) membeberkan fakta-fakta perubahan


pada diri siswa SM sebagai berikut :

“Pertumbuhan ini membuat mereka bingung, kaku, dan kikuk karena tidak selincah fase
sebelumnya. Mereka membutuhkan makanan dan istirahat yang cukup dan teratur.
Mereka suka menyendiri dan berpikir tentang diri sendiri. Fase ini berlangsung 2-3
tahun. Hal-hal yang nampak :

No Remaja Putri Remaja Putrai


(1) Tampak gejala-gejala kewanitaan (1). Tubuh menjadi lebih jantan

(2) Membesarnya buah dada (2). Suara membesar dan pecah

(3) Montoknya anggota-anggota badan, (3). Tumbuh bulu-bulu badan termasuk


pinggul semakin berbentuk. di sekitas alat kelamin

(4) Tumbuh bulu-bulu badan (4). Menonjolnya buah Adam


(jakun/lekum)

46
Kalau kita memperhatikan kenyataan, puncak keindahan dari seorang manusia tercapai
pada usia remaja SMA/SMK. Oleh sebab itu mereka sangat memperhatikannya dan
merawatnya. Seiring dengan haal itu, tumbuh pula rasa bangga atas ketampanan pria
dan kecantikan wanita, tetapi juga timbul rasa gelisah dan jengkel atas kekurangan-
kekurangan fisiknya. Ketampanan dan kecantikan dapat menyebabkan mereka merasa
super atau sombong, sebaliknya kekurangan-keurangan yang ada pada fisiknya dapat
menyebabkan mereka merasa minder dalam pergaulan. Hal ini dapat menghalangi
dalam pertumbuhan kepribadian secara sehat. Oleh karena itu para remaja hendaknya
diajak untuk menerima keadaan fisiknya sebagaimana adanya. Bagaimana pun, mereka
sudah diciptakan Tuhan, termasuk fisiknya yang unik. Pada dasarnya setiap orang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.

Pertumbuhan fisik tidak akan membantu seorang guru agama mengenal siswanya jika
tidak mengenal kepribadian setiap siswanya. Untuk mengenal mereka, psikologi
kepribadian bisa menolong guru agama mengenal setiap siswa dengan dengan lebih
baik. Menurut dia, perkembangan daya kognitif siswa SMA/K dipenuhi dengan :

3. Perkembangan Psikis Siswa SM

Perkembangan kejiwaan siswa SM makin pesat. Perkembangan itu meliputi :

 Emosi (perasaan)
 Inteletual (daya nalar)
 Kehendak dan aspirasi
 Sosial ((lingkungan pergaulan)
 Kultural (peradaban budaya)
 Kesadaran akunya (harga diri)
 Psiko-seksual
 Etis moral
 Otonomi pribadi

Menurut Franz Dahler, perkembangan psikis siswa SM memiliki ciri-ciri sbb :

47
1) Mencari Indentifikasi Diri
o Menghayati masa lampau dan masa depan secara lebih mendalam.
o Menyadari kekhususan pribadi – tidak mau disamakan dengan kakak, adik
atau teman-teman.
o Mementingkan diri sendiri. AKU, walau hanya untuk sementara.
o Berpikir logis dan abstrak.
o Mencari pimpinan yang baru.
o Mengalami pertentangan dan kerinduan menuju yang baik atau yang jahat.
2) Melepaskan diri dari ayah dan ibu
o Timbul rasa bosan terhadap ayah dan ibu, adik dan kakak. Hubungan dengan
teman lebih baik dan lebih memikat daripada dengan orang se rumah.
o Meragukan kewibawaan dan kebijaksanaan orangtua.
o Ingin mencari kewibawaan baru. Pegangan baru.
o Ingin meniru orang-orang terkenal.
o Remaja putra lebih mudah melepaskan diri dari ayahnya. Sedangkan remaja
putri dari ibunya.
3) .Mencari nilai-nilai baru
 Idealismenya timbul. Muncul perjuangan untuk menggapai cita-cita. Apa yang
dirasa bertolak belakang dengan cita-cita, mereka akan membabatnya.
 Meninjau kembali agama. Keraguannya timbul. Mereka tidak puas dengan
pengajaran cerita suci. Mereka ingin bukti.

4. Perkembangan kognitif

Jean Peaget (1896) berpendapat : Kecerdasan atau kemampuan kongnisi mengalami


kemajuan melalui empat tahap. Masing-masing tahap yakni : Pertama : Sensorimotor (0
tahun sampai 2 tahun).Tahap ini men mencirikan bayi belajar tentang dunia sekitarnya
dengan menggunakan kemampuan motorik. Bayi dan anak kecil menjajaki dunianya
dengan menggunakan indra dan kemampaun refleksi. Mereka dilahirkan dengan
kecenderungan bawaan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Pola perilaku bayi
ditentukan oleh informasi dari luar. Baik berupa verbal maupun non verbal. Kedua :

48
Tahap Praoperasional (2 sampai 7 tahun). Pada tahap ini anak mulai belajar
melambangkan segala sesuatu dalam pikirannya.

TAHAP BATAS USIA CIRI-CIRI/PENCAPAIAN UTAMA


SENSOMOTOR 0 s/d 2 Pembentukan konsep "ketetapan obyek" dan kemajuan
tahun dari perilaku refleks ke perilaku yang diarahkan ke bertahap
PRAOPERASIO- 2 s/d 7 tujuan
Perkembangan menggunakan simbol-simbol untuk melambangkan
NAL tahun obyek di dunia ini. Pemikiran tetap egosentris dan
OPERASINAL 7 s/d 11 tahun terpusat. kemampuan berpikir logis. Kemampuan-kemampuan
Perbaikan
KONKRET baru meliputi penggunaan operasi yang dapat dibalik.
Pemikiran
tidak terpusat. Pemecahan masalah kurang dibatasi oleh egosentrisme.
OPERASION 1 tahun Pemikiran
Pemikiran abstrak tidak
abstrak. mungkin.
Penuh simbolik. Masalah dapat
FORMAL hingga
dewasa dipecahkan
melalui penggunaan eksperimen
sistematik.

Menurut Peaget, tahap operasinal formal merupakan batas terakhir perkembangan


kognitif. Namun tetap memberi ruang bagi pertumbuhan intelektual melampaui masa
remaja. Fondasinya telah terbentuk. Dari sini, penambahan pengetahuan dan
pengembangan skema yang lebih rumit bisa terjadi.

Lev Semionovich Vygotsky (meninggal 1934) melihat perkembangan kognitif


didasarkan pada dua gagasan utama. Pertama : Perkembangan intelektual dapat
dipahami dari sudut konteks historis budaya yang dialami anak. Kedua : Perkembangan
tergantung pada sistem tanda yang ada bersama masing-masing orang ketika mereka
bertumbuh. Simbol-simbol yang diciptakan budaya untuk membantu orang berpikir,
berkomunikasi, memecahkan masalah (bahasa, sistem menulis, sistem berhitung) dari
budaya di mana dia berada.

Pertumbuhan fisik tidak akan membantu seorang guru agama mengenal siswanya jika
tidak mengenal kepribadian tiap siswanya. Untuk mengenal mereka, psikologi
kepribadian bisa menolong guru agama mengenal setiap siswa dengan dengan lebih baik.
Menurut dia, perkembangan daya kognitif siswa SMA/K dipenuhi dengan :

o Pikiran seksual. Berkeinginan untuk mengetahui segala sesuatu tentang seks. Ada
kerinduan untuk mengalaminya.
o Pikiran cabul. Berkeinginan menikmati kegairahan seksual dan mau melakukannya tanpa
mempedulikan orang lain – tanpa memikirkan tanggung jawab dan konsekuensi.

49
o Pikiran erotis. Adanya rasa tertarik dan simpatik kepada jenis kelamin lain, baik karena
sifat-sifat tubuh maupun karena kecantikan, kelembutan, kemanisan, kegagahan,
kegantengan,dll.

Pada diri remaja sekolah Menengah, gejala kemampuan kognitip dapat tampak antara lain:
- Para remaja SM mulai berpikir secara rasional. Mereka sudah sanggup berargumentasi.
Kita hendaknya berbangga kalau para remaja sudah berani berargumentasi dan mampu
berpikir lain. Kita hendaknya bisa berjiwa besar untuk menerima mereka sesuai dengan
keadaannya dan tidak menekan argumentasi mereka dengan otoritas.
- Mereka juga sudah mulai berpikir kritis. Mereka sudah berpikir kritis terhadap kebiasaan
yang berkembang, adat, tingkah laku orang dewasa, kepincangan sosial, ketidak cocokan
antara ajaran dan peri hidup, dsb.
- Keinginan para remaja SM mencari tahu dan mencoba yang baru dan hal yang belum
diketahui bertumbuh pesat. Oleh sebab itu mereka suka beravontur. Sering mereka
berani mengambil resiko.

5. Perkembangan afektif

Gejala dari perkembangan afektif yang pesat muncul seperti:

- Mereka sering gelisah. Mereka tidak tenang menguasai dirinya. Mereka pada saat-saat
ini memiliki begitu banyak keinginan, tetapi banyak juga yang tidak tercapai. Mereka
mau mencari pengalaman-pengalaman baru, tetapi mereka juga menyadari
keterbatasannya. Mereka gelisah karena keinginannya begitu banyak yang tidak
terpenuhi. Mereka juga sering merasakan banyaknya pertentangan dalam diri mereka,
yang membuat mereka sedih dan bingung. Pertentangan antara pikiran dan emosi,
kemauan dan perbuatan, cita-cita dan keterbatasan, dsb.
- Mereka juga berada pada situasi yang sangat labil. Mereka sering sangat gembira, tetapi
tidak lama kemudia mereka menjadi sedih yang tanpa ujng pangkalnya. Mereka suka
sekali berkumpul, tetapi kemudia tiba-tiba mengasingkan diri. Mereka bisa berapi-api
dalam semangat dan kehendaknya, tetapi tak lama kemudia bisa sangat melempem dan
putus asa.

50
- Kesadaran sosialnya berkembang sangat pesat. Oleh karena itu mereka senang sekali
berkumpul dan berteman.
- Pada usia remaja ini, mereka semakin menyadari dirinya sebagai pria atau wanita.
Mereka semakin merasakan daya tarik kepada lawan jenis. Mereka sudah mengalami
perasaan jatuh cinta dengan segala romantiknya. Mereka umumnya sudah berpacaran,
gagal, ganti pacar lagi.... bahkan ada di antara mereka sudah mulai serius memikirkan
teman hidup. Ini semua sunggu merupakan bagian dari hidup mereka.

6. Kemampuan beraktivitas

Remaja SM suka bergerak dan melakukan aktivitas, karena melalui aktivitas itu, mereka
dapat menemukan dan memantapkan identitas dirinya. Melalui aktivitasnya mereka mau
menunjukkan bahwa mereka bisa berprestasi dan bisa bertanggung jawab. Sejalan dengan
itu mereka menuntut dari orang dewasa kebebasan, kepercayaan, pemberian tanggung jawab
dan dukungan. Tentu saja dalam melakukan aktivitasnya terdapat kekeliruan, kelalaian,
kekhilafan, kesalahan, tetapi hendaknya hal itu dianggap wajar. Kalau mereka tidak
mendapatkan kesempatan untuk beraktivitas secara wajar, tidak tertutup kemungkinan
mereka akan mencari penyaluran yang dapat saja merugikan kehidupan bersama (hal ini
yang biasa disebut kenakalan remaja).

Meninjau kembali agama. Keraguannya timbul. Mereka tidak puas dengan pengajaran cerita
suci. Mereka ingin bukti.

A. PERKEMBANGAN IMAN DAN MORAL SISWA SEKOLAH


MENENGAH

1. Kehidupan religius siswa SM


Pada usia ini, para remaja penuh dengan cita-cita.Mereka sesungguhnya tertarik pada
nilai-nilai hidup seperti: kebenaran, keadilan, cinta kasih. Mereka ingin memiliki nilai-nilai
itu. Tahap ini adalah masa peka untuk menghayati nilai-nilai agama, untuk memikirkan iman
secara kritis, dan berusaha untuk menangani ketegangan-ketegangan dan mencari

51
keseimbangan hidup dengan kegiatan iman. Sesungguhnya mereka ingin menemukan
dirinya dalam terang iman.

a) Ciri-cirinya
 Ambivalen (mendua hati).
 Menerapkan sikap egoisme infantil.
 Cenderung magis dan animistis.
 Kaum remaja menjalani suatu proses menuju kedewasaan religius. Sementara
itu masih terlihat sifat animistis, lambat laun hendak diatasi. Mereka melihat
kemalangan sebagai hukuman Allah atas dosa. Hal ini bersumber pada paham
mereka yang kurang tepat bahwa merekalah pusat dunia, segala yang ada diluar
berguna - dengan ketidakberesan hubungan dengan Allah yang mahatahu dan
mahaadil.
b) Sikap magis
Keuntungan – keuntungan spiritual ingin diperoleh melalui usaha-usaha material
semata-mata. Dalam doa mereka tidak bersikap memohon dan tanpa penyerahan
tetapi ingin mengerahkan kekuatan Ilahi untuk kebutuhan yang ingin diperoleh;
mereka cenderung memaksa. Dalam penerimaan Sakramen, misalnya, terkandung
maksud agar terhindar dari bahaya dan kegagalan, dll.

c) Bayangan siswa siswi SM tentang ALLAH


Bayangan mereka tentang Allah beralih dari antropomorfisme dan egosentrisme
infantil kearah penghayatan personal di mana perasaan subyektif dan afektif
sedang bertumbuh, mungkin berkat bimbingan dan pendampingan. Figur Kristus
bagi mereka kurang menarik karena telah jemu dan bosan. Sebuah katakese yang
tidak memadai akan berakibat bahwa bayangan mereka tentang Allah dan Kristus
tidak utuh (fragmentarial ). Selain itu ALLAH seakan-akan tidak berurusan
dengan hidup sehari-hari, suatu visi yang amat berlainan dengan apa yang
sebenarnya diwahyukan dalam kitab suci. Timbul keraguan dan kesangsian akan
Allah yang disebabkan oleh kematangan intelektual, sifat kritis dan lingkungan
pergaulannya. Pada umumnya mereka membayangkan Allah sebagai sesuatu

52
yang menakutkan, bukan Allah yang penuh cinta dan belas kasihan sebagaimana
diwahyukan oleh Yesus Kristus.

Charles M. Selton, SJ dalam buku moralitas Kaum muda menulis :”Kaum dewasa yang
memberikan pelayanan kepada kaum muda harus memahami dinamika di balik tingkah
laku remaja-remaja SMTA dan para mahasiswa. Kegagalan mengetahui motif-motif yang
melatar-belakangi tingkah laku seksual bisa mengakibatkan (a). Keterbatasan kemampuan
kaum dewasa untuk memberikan tanggapan evaluasi terhadap tingkah laku kaum muda,
(b). Sempitnya perspektif kaum dewasa yang bisa digunakan untuk mendukung
pertumbuhan masa depan dan perkembangan kaum muda., (c ). Datangnya kaum dewasa
atas dinamika perkembangan yang berhubungan dengan keseluruhan perkembangan
yang berhubungan erat dengan keseluruhan pengalaman kaum muda” (Shelton, 1988).

2. Perkembangan Moral Anak SM

Charles M. Selton, SJ dalam buku moralitas Kaum muda menulis :”Kaum dewasa
yang memberikan pelayanan kepada kaum muda harus memahami dinamika di balik
tingkah laku remaja-remaja SMTA dan para mahasiswa. Kegagalan mengetahui
motif-motif yang melatar-belakangi tingkah laku seksual bisa mengakibatkan (a).
Keterbatasan kemampuan kaum dewasa untuk memberikan tanggapan evaluasi
terhadap tingkah laku kaum muda, (b). Sempitnya perspektif kaum dewasa yang bisa
digunakan untuk mendukung pertumbuhan masa depan dan perkembangan kaum
muda., (c ). Datangnya kaum dewasa atas dinamika perkembangan yang
berhubungan dengan keseluruhan perkembangan yang berhubungan erat dengan
keseluruhan pengalaman kaum muda” (Shelton, 1988).

a. Gambaran tentang Allah bagi anak SM

Fase hidup yang sedang dialami oleh anak SM sarat dengan perkembangan –
perkembangan baru. Dunia mereka semakin terbuka, visinya semakin luas karena
banyak peristiwa baru dalam hidupnya dan mulai berpikir secara kritis,logis dan
abstrak. Bagi anak SM, Allah bukan lagi hanya pelindung kanak – kanak, bukan
saja Maha Kuasa , Maha Tahu, bukan pula hanya untuk memberi perintah. Allah
lambat laun menjadi Pribadi yang mengundang untuk bertumbuh, yang

53
menyelamatkan, yang membebaskan dan memberi ilham. Allah sungguh kudus
dan menghendaki yang baik untuk kita. Roh-Nya memberi anak SM keberanian.

b. Gambaran / sikap anak SM terhadap Gereja

Tentang hal ini, apakah anak SM sungguh – sungguh telah termasuk sebagai
anggota gereja ? secara umum, dapat dijawab ”Ya”, sebab mereka telah dibaptis,
telah menerima Sakrmen Ekaristi dan rata – rata telah menerima Sakramen
Krisma. Namun apakah dengan demikian telah cukup untuk menjadi seorang
Kristen.

Menurut Joseph Colomb, kita belum puas dengan situasi seperti itu. Anak SM
perlu dihitung sebagai katekumen post baptis. Seluruh komunitas gereja dan
paroki perlu melibatkan diri agar anak SM semakin merasa sebagai anggota gereja
dan ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan gereja itu sendiri. Dengan
sakramen Inisiasi mereka mempunyai posisi dalam gereja. Bahkan harus menjadi
subyek dan pelaksana karya Pastoral Gereja.

Menurut Franz Dahler yang telah mengamati sikap anak SM terhadap gereja
antara lain :

o Menganggap bahwa ibadat, permandian dll adalah hanya suatu kebiasaan.


o Ragu – ragu terhadap gereja
o Menganggap gereja kolot/kuno tidak sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan zaman modern
o Ragu – ragu terhadap cerita kitab suci, lebih –lebih terhadap kiat mukjizat
o Mangalami paksaan moral, kalau pada setiap hari minggu harus ke gereja.
Anak SM tidak suka terhadap sikap otoriter Gereja
o Merasa bahwa Gereja mempersempit penghayatan seks

c. Saran-saran untuk Guru Agama SM


Solusi yang ditawarkan :

54
 Guru Agama melibatkan siswa SM dalam kegiatan gerejani seperti : paduan
suara, menjadi lektor, mengarang doa umat, membawakan persembahan,
menghias meja altar/gereja.
 Menilai sikap dan tindakan siswa secara obyektif terhadap sejarah gereja
 Menampakan keterbukaan Gereja terhadap ilmu pengetahuan
 Menanamkan paham bahasa simbolik dalam kitab suci
 Menghargai kebebasan dan keyakinan pribadi anak SM
 Mempertemukan siswa/i dalam suasana gembira dan kekeluargaan sehingga
naluri erotis dapat tersalur dengan baik (dengan seorang sosok yang baik,
yang meyakinkan dan mengesankan mereka)

Saran guru agama

 Mengimplementasikan gaya kepemimpinan demokratis – konsultatif


 Harus mengetahui :
 Kemana arah pendidikan, pengajaran dan pembinaan yang dimaksud
 Metode, teknik, proses pendidikan, pengajaran dan pembinaan
 Sikap dan kecakapan manajerial
 Sikap dan kecakapan administratif
 Sikap yang benar terhadap kelompok
 Makna dan kasiat tata tertib dan kedisiplinan
 Dalam berkomunikasi / berrelasi
 Tenang dan tidak gelisah
 Percaya kepada subyek dan yakin bahwa mereka berkehendak baik
 Mengenal masalah – masalh manusiawi anak SM (suka bersaing, bersikap santai
dll) sehingga siap memahami segala perilaku mereka
 Peka dan mampu menangkap perilaku pribadi serta menanggapinya dengan tepat
 Penuh perhatian, berkehendak baik dan siap sedia membantu anak SM
 Cakap dan berbuka hati
 Bersikap melayani dan mencintai seluruh anggota
 Bermotivasi tinggi dalam pelayanan

55
Bab 4

METODE PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH MENENGAH

PENDAHULUAN

Pendekatan atau Pola yang dianggap cocok dipakai di Sekolah Menengah sesuai dengan
Kurikulum 2004 yang implementasinya kita kenal dengan nama KTSP adalah Pendekatan atau
Pola Interaksi (komunikasi) aktif untuk menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran
imannya dalam hidup nyata. Pendekatan / Pola ini hendaknya dijabarkan dalam berbagai metode
yang memungkinkan siswa Sekolah Menengah sungguh-sungguh berpartisipasi aktif dalam
proses pembelajaran.

Metode-metode yang dianggap cocok dan dapat mendorong siswa Sekolah Menengah untuk
berinteraksi aktif a.l. adalah metode ceramah, metode Tanya jawab, metode diskusi, metode
sharing pengalaman, metode resitasi, metode bedah kasus, metode studi kasus, metode
audiovisual, dll.

A. PENGERTIAN METODE PENDDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH


MENENGAH

Proses pembelajaran terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan lingkungannya.
Oleh karena itu lingkungan perlu diatus sedemikian rupa sehingga mendorong siswa ke arah
perubahan tingkahlaku yang diinginkan. Pengaturan lingkungan tersebut meliputi analisis
kebutuhan siswa, karakteristik siswa, perumusan tujuan, penentuan materi pembelajaran,
pemilihan media pembelajaran dan pemilihan metode pembelajaran yang sesuai.

Jadi dalam rangkaian kegiatan tersebut, metode pembelajaran merupakan salah satu unsur
yang penting dipahami oleh guru/katekis.

ARTI METODE

56
Kata metode dan teknik sering digunakan secara bergantian, bahkan cenderung dimengeti
secara bersamaan. Orang menyebut metode seakan-aakan sama saja dengan teknik. Gerlachh dan
Ely dalam bukunya ”Teaching and Media: A Systematic Approach” yang dikutip oleh
Dra. Sry anitah Wiryawan dan Drs. Noorhadi, Th. Dalam bukunya ”Startegi Belajar Mengajar
(1990) mengemukakan bahwa teknik (yang kadang-kadang disebut metode) dapat dimati dalam
setiap situasi belajar mengajar (situasi pembelajaran). Teknik adalah jalan atau alat (way or
means) yang digunakan guru untuk mengarahkan kegiatan siswa ke arah tujuan yang ingin
dicapai atau dalam bahasa KTSP yaitu untuk menguasai kompetensi. Guru yang melakukan
pembelajaran efektif sewaktu-waktu siap menggunakan metode (teknik) dengan efektif dan
efisien mendorong siswa menguasai kompetensi yang diinginkan.
Metode, menurut Winarno Surakhmad adalah cara, yang dipahami fungsinya merupakan alat
untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi
siswa (metode belajar). Makin trampil guru dalam menggunakan metode, makin efektif pula
pencapaian tujuan. Makin sesuai metode yang digunakan dengan kompetensi yang akan dicapai,
makin efisien pula pembelajaran yang dilaksanakan.
Namun metode kadang-kadang juga dibedakan dengan teknik. Metode bersifat prosedural,
sedangkan teknik lebih bersifat implementatif. Maksudnya ialah merupakan pelaksanaan apa
yang sesungguhnya terjadi (dilakukan guru) untuk mencapai kompetensi. Contoh: guru A dan
guru B keduanya menggunakan metode yang sama misalnya: metode caramah. Keduanya telah
mengetahui prosedure pelaksanaan metode ceramah yang efektif, tetapi hasil yang dicapai guru
A, berbeda dengan hasil yang dicapai oleh guru B karena teknik pelaksanaannya yang berbeda.
Jadi tiap guru mempunyai teknik yang berbeda dalam melaksanakan sebuah metode.

PENGERTIAN METODE PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK


Untuk memperoleh pemahaman yang tepat tentang Metode Pendidikan Agama Katolik
terlebih dahulu kita harus memahami dengan benar arti metode di atas. Metode secara umum
dipahami sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan atau kompetensi.
Metode Pendidikan Agama Katolik dalam modul ini kita artikan sebagai cara yang
dipergunakan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk
membantu mencapai tujuan atau kompetensi dasar. Dengan kata lain metode merupakan salah

57
satu sarana yang dipergunakan oleh guru dalam proses pembelajaran pendidikan agama Katolik
untuk membantu tercapainya tujuan atau kompetensi.
Objek dari Pendidikan Agama Katolik adalah segala kegiatan yang menciptakan situasi
pembelajaran dalam bidang Pendidikan Agama Katolik.

ALASAN PERLUNYA METODE KHUSUS PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK


Alasan perlunya metode khusus Pendidikan Agama Katolik dapat dilihat dari beberapa
aspek a.l. :
1. Pendidikan Agama Katolik memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri baik dilihat dari
keadaan peserta didik, pendekatan, tujuan, isi/bahan maupun semangat yang
melandasinya dalam proses interaksi. Keunikan-keunikan tersebut memerlukan
pemahaman dan pendekatan khusus dari guru.
2. Melakukan kegiatan pembelajaran Pendidikan agama Katolik secara efisien dan efektif
meupakan cita-cita dan tuntutan yang tidak selamanya mudah direalisasikan.
Pembelajaran efisien dana efektif menuntutpula ketrampilan dari guru untuk memilih dan
menerapkan metode yang dapat menciptakan suasana komunikatif, sehingga setiap
peserta sungguh-sungguh dapat membagikan pengalaman imannya.

B. BERBAGAI MACAM METODE


PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK SEKOLAH MENENGAH

1. PENGANTAR

Dalam proses pembejaran, seorang guru agama berhadapan dengan siswa dalam menggumuli
informasi (materi PAK). Kunci untuk menggumuli informasi itu adalah guru agama. Di sini,
guru agama harus memeras otak. Dia harus memikirkan cara-cara mengajar dalam proses
pergulumulan itu sehingga informasi iman yang digumuli siswa mampu diserap dan mudah-
mudahan diwujudkan dalam hidup nyata. Memang, di dalam silabus KTSP sudah dimuat
metode dan langkah-langkahnya. Metode itu bukan satu-satunnya dan mutlak dipakai. Ada
metode lain yang lebih pas untuk dunia siswa SM tapi tidak ada dalam silabus itu.

58
1.1. MACAM-MACAM METODE

Katekese dalam arti sempit PAK, membutuhkan bantuan ilmu lain. Salah satu diantaranya
ialah didaktik metodik. Dalam Petunjuk Umum Katekese yang dikeluarkan oleh
Konggregasi Untuk Imam disebutkan :

“Gereja dalam meneruskan iman, tidak mempunyai suatu metode khusus ataupun metode
tunggal. Dia membedakan metode-metode kontemporer dalam cahaya paedagogi Allah dan
dengan bebas menggunakan ‘semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua
yang suci, semua yang manis, semua yang sedap yang disebut kebajikan dan patut dipuji”
(art. 148). Itu artinya terbuka ruang lebar-lebar untuk mengadopsi metode-metode yang
sudah lazim maupun belum lazim asal, sesuai dengan kehendak Petunjuk Umum Katekese
ini.

1.2. Didaktik Umum - Khusus


Menurut Imamsjah Alipandie dalam bukunya Didaktik Metodik Pendidikan Umum,
membedakan Didaktik Umum dan Didaktik Khusus
a. Didaktik Umum
Bagian dari didaktik yang memuat prinsip-prinsip umum yang berhubungan dengan
penyajian bahan pelajaran agar dapat menguasai sesuatu bahan pelajaran. Prinsip-
prinsip tersebut antara lain tentang masalah motivasi ( minat ), peragaan dsbnya
seperti telah diuraikan diatas.

b. Didaktik Khusus :
Bagian dari didaktik yang membicarakan tentang pelaksanaan cara-cara mengajar
mata pelajaran tertentu dimana prinsip didaktik umum digunakan. Karena tiap-tiap
mata pelajaran mempunyai ciri khas yang berbeda satu dengan yang lain maka
diperlukan didaktik secara khusu pula.
Dalam dunia pendidikan, didaktik khusus ini disebut juga metodik.
Metodik kata asalnya methodos ( bahasa yunani ) terdiri dari meta dan hodos yang
berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu atau prosedur
Metodik dibedakan lagi menjadi dua macam, yakni :

59
Satu: Metodik umum : pengetahuan yang membahas tentang cara-cara mengajarkan
sesuatu jenis mata pelajaran tertentu secara umum. Artinya hanya secara garis besar
mengenai jalan pengajaran, bentuk pengajaran, alat serta gaya mengajar berikut
kesulitan – kesulitan pada suatu mata pelajaran tertentu.
Dua : Metodik khusus : pengetahuan yang menguraikan tentang cara-cara
mengerjakan sesuatu jenis pelajaran tertentu secara terperinci. Artinya membahas
cara-cara mengerjakan pelajaran tertentu itu sampai bagian yang sekecil kecilnya
mengenai prinsip-prinsip, dasar, fungsi, tujuan, ruang lingkup, pendekatan,
penyampaian, perlengkapan, penilaian , alokasi waktu sampai kepada buku – buku
sumber yang dipergunakan dalam pengajaran. Dengan demikian metodik umum
bersifat horizontal sedangkan metodik khusus bersifat vertikal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, metodik dan didaktik terdapat hubungan yang
sangat erat. Tak dapat dipisah –pisahkan antara satu dengan yang lain. Karena itu
apabila dalam setiap pembahasan mengenai pedagogik - ilmu mendidik pada
umumnya dan didaktik khususnya, para ahli seringkali merangkaikan kedua istilah
tersebut dengan istilah : didaktik-metodik

1.3. Metode-Metode Mengajar.


Dalam Katekese SMA/K, seorang guru agama memainkan peran sebagai
pembimbing/Penyaksi iman/fasilitator. Guru agama jangan mengandalkan diri pada
satu metode murni. Sebab dalam prosedur dan langkah-langkah PAK. Dia bisa
menggunakan sekian metode. Yang membedakan adalah porsi utama metode utama
harus lebih menonjol dan limit waktunya lebih banyak. Sedangkan metode penunjang
hanya merupakan tambahan untuk menyimbangkan proses belajar mengajar. Tentu saja
ini terkait erat dengan pola katekese yang disiapkan. Misalnya : Pola Katekismus.
Mustahil hanya menggunakan metode Tanya jawab. Memang porsi Tanya jawab lebih
dominant. Tetapi masih juga dibutuhkan metode lain seperti ceramah atau penjelasan
dan metode tugas – meski membutuhkan waktu yang terbatas.

Berikut ini adalah metode-metode yang dipakai dalam karya katekese :


a. Metode ceramah

60
Metode ini paling lazim dipergunakan dalam berbagai kesempatan. Termasuk
pelajaran agama katolik, pertemuan atau pelatihan yang bersifat agama maupun
profan. Metode ini lebih mengutamakan guru agama atau narasumber menyajikan
informasi secara lisan tentang materi PAK atau bahannya. Pusat kegiatan belajar
mengajar PAK bertumpu pada siswa. Biarpun Sabda Allah disebut-sebut sebagai
kunci dalam Kristus – tetapi kemampuan menyuarakan Sabda Allah ada pada guru
agama. Siswa-siswi menjadi subyek yang diobyekan.

Kelebihan dan Kekurangan metode ceramah


1). Kelebihan
 Informasi tentang Sabda Allah disampaikan secara gamlang dari guru
agama kepada siswa SM.
 Guru agama menguasai tujuan, materi, cara mengajar-belajar yang sudah
digariskan dan mengatur proses sesuai rencananya.
 Pengetahuan iman, sikap dan perbuatan guru agama menjadi contoh dan
teladan hidup bagi siswa SM.
 Organisasi kelas menjadi sederhana. Siswa SM tidak perlu membagi diri
ke dalam kelompok-kelompok seperti metode lain.
2). Kekurangan
 Sulit bagi guru agama untuk menilai daya serap siswa SM dalam
penyampaian informasi tentang Sabda Allah itu.
 Siswa SM cenderung pasif
 Sulit bagi siswa SM mengambil kesimpulan.

b. Metode tanya jawab


metode ini mengutamakan Tanya jawab dalam proses PAK. Guru Agama sudah
menyiapkan pertanyaan dan peserta siswa SM diminta memberi jawabannya. Kunci
jawabannya sudah dirumuskan oleh guru agama. Tinggal mencocokan jawaban
peserta dengan jawaban yang dimiliki oleh guru agama.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Tanya Jawab

61
1). Kelebihan
 Situasi PAK lebih hidup karena siswa SM terpancing untuk berpikir dan
menyampaikan hasil pikiran atas pertanyaan yang diberikan.
 Sangat bagus bagi siswa SM untuk berpikir konkret dan abstrak tentang
Sabda Allah yang menjadi manusia dalam Diri Yesus Kristus.
 Argumentasi siswa SM bervariasi tergantung dari rumusan pertanyaan.

2). Kekurangan
 Perbedaan pendapat memancing perdebatan yang berkepanjangan.
 Ada kemungkinan jawaban siswa menyimpang dari apa yang diharapkan
dari tujuan PAK.

c. Metode diskusi
Metode diskusi sering dipakai sebagai cara membangun dan menghidupkan
komunikasi/interaksi iman diantara siswa-siswi. Diskusikan suatu topik tertentu
seperti : Kemanusiaan, lingkungan hidup, Kehidupan Gereja, Sakramental,
Moralitas dilihat dari pewartaan Gereja, sehingga menimbulkan pengertian serta
perubahan tingkah laku siswa SM. Dalam metode ini semua siswa SM terlibat
secara aktif untuk mencari pemecahan tentang topic tersebut karena dalam diskusi
memerlukan dan melibatkan beberapa orang siswa yang bekerjasama dalam
mempersiapkan bahan discusi dengan tujuan yang jelas sehingga memungkinkan
pemecahan yang terbaik.
Maksud utama metode ini ialah untuk merangsang daya pikir dan kemampuan
mengeluarkan pendapat dari siswa-siswi.
Catatan : metode Debat mirip dengan diskusi, karena terjadi dua orang atau lebih
mengkomunikasikan suatu masalah. Bedanya, kalau diskusi untuk menemukan
kesepakatan, sedang debat lebih saling mengalahkan.
Adapun sifat masalah yang baik untuk didiskusikan ialah :
Masalah itu harus menarik minat siswa SM sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
- Topik yang dibahasa harus aktual.

62
- Mempunyai kemungkinan pemecahan lebih dari satu kesimpulan

Kelebihan dan Kelemahan Metode Diskusi


(1). Kelebihan
 Topik yang menarik membuat siswa SM bersemangat menggeluti
masalah itu.
 Dapat mempertinggi pengetahuan iman berkat sumbang silang
komunikasi diantara mereka.
 Hasil diskusi mudah dipahami dan dilaksanakan bersama kelompok
diskusi.

(2). Kelemahan
 Sulit melakukan metode diskusi untuk kelompok yang besar. Sebab
pasti yang lain mengurus diri dan kepentingannya sendiri.
 Membutuhkan waktu yang panjang.
 Seringkali, guru agama sulit menduga hasil diskusi siswa-siswi karena
daya pikir mereka bercampur dengan daya khayal.

d. Metode sharing pengalaman


Metode ini biasa disebut sebagai tukar menukar pengalaman iman orang-orang
beriman. Sekarang istilah sharing sudah dipakai oleh semua kalangan dan lapisan
masyarakat sehingga sudah membias keluar dari maksud yang sebenarnya.
(1). Sifat Pengalaman Yang Disharingkan
 Rumuskan pengalaman itu secara singkat tapi jelas dan bisa dimengerti oleh
semua siswa. Jangan bertele-tele yang menimbulkan multi tafsir.
 Pengalaman yang manusiawi. Apa adanya.
 Pengalaman tentang keinginan berbuat baik
 Pengalaman tentang dosa dan komitmen untuk bertobat

(2). Keungggulan

63
o Metode ini membantu orang melihat perilakunya secara jujur dan
mengungkapkan apa adanya.
o Rumuskan masalah yang tepat, membantu siswa lain menilai perilaku
sendiri dalam kaitan dengan orang lain.
o Orang beriman melihat pengalaman orang beriman lainnya sebagai modal
dan bekal bagi dirinya sendiri.
o Orang beriman tidak mencela pengalaman orang beriman lainnya dari
lumpur kehinaan.
o Ada kesungguhan mau mendengar sharing orang lain.
o Ada rasa prihatin untuk menolong

(3) Kelemahan
o Tidak semua masalah dialami oleh semua siswa saat itu. Masalah yang tidak
menyentuh kehidupan riil mereka, pasti mereka pasif.
o Guru agama mengalami kesulitan tersendiri dalam menyiapkan masalah
yang menyentuh kehidupan bagi semua siswa.
o Sulit bagi siswa beriman yang kurang merefleksikan pengalaman dari hari
ke hari.
o Sulit bagi siswa beriman menutup rahasia luka batinnya kepada siswa
beriman lainnya karena rasa prasangka yang bukan-bukan kepada orang
lain.
o Menjandi kendala apabila guru agama tidak tahu tentang apa yang mau
disharingkan.
o Sulit juga apabila dalam pengantar, guru agama tidak membatasi masalah
sharing dalam satu pikiran pokok.
o Sulit juga jika cerita pengalaman yang diangkat lepas dari pengalaman para
peserta katekese.

(4). Contoh Cerita Pengalaman :

64
Nama saya, Nenabu. Saya seorang gadis 17 tahun. Tidak tamat SMP.
Orangtua saya tinggal di kampung di TTS. Saya ke Kupang untuk cari
pekerjaan. Saya berjalan dari rumah ke rumah. Saya cuma bisa mencuci dan
memasak. Itupun dengan cara-cara tradionil. Saya diterima di keluarga pak
Anton. Awal mulanya saya diperlakukan dengan baik. Saya diajari mencuci
dengan mesin cuci. Memasak dengan alat-alat modern. Pokoknya
menyenangkan. Lama-lama, ada sesuatu yang tidak beres. Bapak dan ibu
sering bertengkar dan berkelahi. Saya sempat dengan : “Ini gara-gara saya”.
Saya sedih. Saya sudah terlanjur mencintai keluarga ini. Tapi rumah tangga
keluarga ini ribut karena saya. Adakah keluarga katolik yang mau menerima
dan menampung saya sebagai seorang pembantu?

e. Metode resitasi (pemberian tugas)


Langkah-langkah katekese modern di Indonesia yang dikenal dengan Katekese
Umat telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi umat untuk berperan dalam
katekese. Katekis atau Guru Agama Cuma berfungsi sebagai fasilitator. Jika anda
memperhatikan langkah-langkah katekese umat itu – anda akan menemukan tugas-
tugas yang dikerjakan oleh peserta katekese. Antara lain : Membaca kisah;
Membaca dan mendengarkan Sabda Tuhan; Mencari dan Menemukan pesan Tuhan
untuk hidup; Aksi nyata, dsb.

(1). Sifat Resitasi atau Pemberian Tugas


 Resitasi atau pemberian tugas diperhatikan agar sesuai dengan tema dan
tujuan yang digariskan.
 Risatasi atau pemberian tugas harus jelas dan singkat. Memudahkan peserta
menangkap maksudnya.
(2). Keunggulan
 Melibatkan peserta dalam langkah-langkah PAK.
 Memaksa peserta untuk berpikir dan merenungkan sikap dan perilaku
mereka dalam kaitan dengan sabda Tuhan.
 Secara sadar mengakui akan kesalahan dan dosa.

65
 Mudah-mudahan mereka bertobat.
 Memacu mereka untuk berembuk melaksanakan aksi nyata sebagai
ungkapan pertobatan.

(4). Kelemahan
 Tidak semua siswa merasa pas dengan metode resitasi.
 Risatasi dari masalah yang tidak jelas akan membingungkan siswa.

f. Metode bedah kasus


 Kasus-kasus manusiawi senantiasa terjadi di sekitar kita. Hanya, banyak kali
kita tidak peka terhadap kejadian-kejadian itu. Biasanya, suatu kasus dipicu
oleh egoisme dengan muatan moral, etik, hukum, agama, sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dsb. Kasus-kasus ini –
sadar atau tidak harus dipecahkan oleh semua manusia terutama orang-orang
beriman.

(1). Sifat Kasus


 Adanya ketegangan antara unsur idealisme berlawanan dengan kenyataan.
Bahwa idealisme harus diperjuangkan. Bukan terpuruk dalam ketidak-
berdayaan.
 Kasus baru berguna jika dekat dengan kehidupan riil siswa.

(2). Keunggulan
 Kasus yang dekat dengan kehidupan siswa senantiasa menarik perhatian
untuk dibahas.
 Sumbangsilang pikiran siswa tajam dan tuntas.
 Menarik siswa ke dalam pikiran, sikap dan tindakan Yesus yang bersabda
untuk dari Kitab Suci.
 Muncul kesadaran baru dari siswa-siswa beriman yang terlibat dalam PAK.
 Solusinya benar-benar biblis tapi bisa dilakukan secara manusia.

66
(3). Kelemahan
 Cenderung menggurui orang lain sebagai yang paling benar.
 Rumusan kasus yang tidak dilematis bukan masalah.
 Guru agama harus sudah tahu arah dan tujuannya. Jika tidak, dia menjadi
fasilitator yang tidak berguna.
 Langkah-langkah yang timpang, tidak akan membawa siswa kepada solusi
alkitabiah.

(4). Contoh Kasus


Mira binti Hafid, hamil. Padahal, usianya masih 16 tahun. Yang menghamili
dia adalah Anton, kakak kelasnya di SMA. Berkali-kali Anton memaksakan
Mira untuk menggugurkan janin itu. Katanya : “Kita belum siap jadi bapak
dan mama. Kalau menikah, menikah menurut agama mana. Bagaimana
nasib sekolah kita nanti?”.
Lambat laun, kedua orangtua mengetahui kehamilan Mira. Mereka
memaksa agar Anton dan Mira cepat menikah sebelum bayi itu lahir. Hanya,
soal yang belum ada solusinya adalah nikah menurut agama Mira atau
Anton. Sebab kedua orangtua dari masing-masing pihak bersitegang
menikah menurut agama yang dianut oleh orangtua masing-masing.

Anton dan Mira jadi stress. Mereka mendatangi Ronny. Mereka tahu, Ronny
punya banyak akal yang diharapkan memuluskan pernikahan itu.
 Jika Ronny itu adalah anda, jalan keluar macam apakah yang
akan dikatakan untuk memuluskan perkawinan Anton dan Mira
yang direstui oleh kedua belah pihak orangtua?

g. Case Study
Case study ialah sekumpulan situasi masalah. Termasuk detail detail yang
memungkinkan kelompok menganalisa masalah itu.
Manfaat

67
(1). Ketika menghubungkan masalah dengan situasi hidup
(2). Ketika menanalisa suatu masalah
(3). Jika anggota tidak mampu memberikan role play
(4). Untuk membantu anggota memahami masalah
(5). Jika mencari kemungkinan pemecahan masalah
(6). Ketika menganalisa fakta yang ada tentang suatu masalah
 Keunggulan
 Dapat tertulis, lisan dan difilmkan
 Dapat ditugaskan sebelum diskusi
 Memungkinkan kesempatan anggota mengusulkan pemecahan
 Menciptakan suasana untuk pertukaran pendapat
 Mengenai masalah yang menyangkut hidup
 Memberi kesempatan untuk memakai pengetahuan dan keterampilan
 Memungkinkan semacam follow thtogh simulasi
 Kekurangan
 Membutuhkan keterampilan untuk ” menuliskan ” masalah
 Masalah itu tidak selalu sama pentingnya bagi anggota
 Memerlukan banyak waktu jika dilakukan secara mendalam
 Meskipun cukup datanya, tetap mungkin timbul perdebatan
 Membutuhkan pemimpin yang terampil.

i. Metode audio visual


Alat-alat audio (berhubungan dengan pendengaran/bunyi) dan visual (berkaitan
dengan penglihatan/gambar) atau gabungan antara keduanya (dengar dan lihat)
belum terlalu nampak dalam karya katekese dan PAK. Padahal metode ini sudah
mendunia. Dunia profan sudah mengembangkan secara mengagumkan. Dampak
nyata bagi kehidupan siswa ialah meminggirkan kehidupan rohani dengan sinetron
unggulan. Padahal, Gereja bisa melakukan itu. SDM sudah banyak dan
professional. Mungkin, masuk ke industri pertelevisian terlalu jauh. Tapi
pengembangan fragmen/cerita fiksi atau kehidupan, future, tokoh, dll yang

68
bermuatan moral kristiani, etik dan ajaran iman bisa diupayakan untuk membina
dan memantapkan hidup beriman umat.
Dewasa ini, alat-alat audio visual begitu mengagumkan. Sampai-sampai Marcel
Bening menyebutnya sebagai NARKOBA ELEKTRONIK. Dia menulis : “Dampak
paling besar menimpa anak-anak praremaja yang belum memmiliki kemampuan
membedakan apa yang nyata dan apa yang tidak. Bagi mereka, TV merupakan
laporan tentang keadaan dunia sesungguhnya…” (Beding, 1997).

Tidak keliru jika kita memanfaatkan media itu untuk katekese dan terutama
katekese SM. Mari kita simak apa yang ada di depan mata kita.

(1). Sifat alat audio visual


o Audio visual bersifat dengar – pandang.
o Operasionalisasi alat-alat audio visual adalah manusia.
o Materi PAK yang disiapkan untuk di dengar atau ditayangkan, juga adalah
manusia.

(2). Keunggulan
o Siswa-siswi SM terhipnotis mendengar atau melihat apa yang ditayangkan
itu.
o Nilai rasa begitu kuat menonjol.
o Rasa religiositas muncul
o Imaginasi siswa terbawa ke dalam cerita yang divisualisasi atau diaudiokan
itu.
(3). Kelemahan
o Membutuhkan waktu banyak untuk memproseskannya.
o Proses pembuatan audio dan visualisasi tidak gampang dan mudah.
(4). Contoh
o Cerita sinema bersambung JANGGEM yang ditayangkan Indosiar selama
bulan Agustus s/d awal September 2007, menceritakan keteguhan hati, tekad
dan kemauan, perjuangan mengatasi intrik, tipu daya, kecemburan, cinta,
69
gender, keadilan, kesehatan masyarakat. Janggem terseok-seok dalam
perjalanan hidupnya. Ia diasingkan dan terancam dibunuh. Berkat
ketekunan, dedikasi dan semangat pantang mundur, akhirnya menghantar
dirinya menjadi Tabib Agung di kerajaan Korea.
o Bandingkan perjalanan Yesus di dunia Yahudi.

(5).Macam-macam media audio visual


Tanpa media
- Tarian
- Nyanyian
- Drama/sandiwara
- Tanda, lambang, symbol
- Gambar, kartun, sketsa.
- Musik/seruling, drum band, band.
Dengan alat audio
- Cerita/fragment kaset dengan alat tape
- Cerita radio
Dengan audio visual
- Sinema di TV
- CD fragment/drama/sandiwara dengan alat VCD/ DVD.
- Musik dengan alat MP3, Media player
- Dsb

J. Metode Dinamika Kelompok


1) Pengertian

Dinamika kelompok adalah suatu metode yang berusaha agar seseorang


belajar dari pengalamannya dalam kelompok. Pengalaman itu diciptakan dengan
seperangkat permainan, kemudian direnungkan dan direfleksikan, serta diambil
maknanya. Dinamika kelompok terdiri dari dua kata yaitu ”dinamika” dan
”kelompok” . Dalam kamus umum bahasa indonesia ”dinamika” berarti bagian
dari ilmu fisika mengenai barang-barang yang bergerak dan tenaga yang
70
menggerakkannya. ”Kelompok” ialah beberapa orang atau binatang atau benda
dan sebagainya yang berkumpul atau dikumpulkan menjadi satu. Sedangkan kata
”dinamis” artinya mempunyai sifat (tabiat) yang bertenaga, dan berkekuatan,
sehingga selalu bergerak, selalu sanggup menyesuaikan diri dengan keadaan.
Dalam ensiklopedi umum ”dinamika kelompok” yaitu segala sesuatu yang
bergerak , yang menimbulkan sebab dan akibat serta cara-cara pembentukan dan
berfungsinya suatu kelompok itu.
Dinamika kelompok sebagai suatu metode ialah suatu metode pendidikan
dengan menggunakan seperangkat permainan untuk menumbuhkan pengalaman
hidup berkelompok, kemudian pengalaman itu dianalisa, dipelajari, ddirenungkan,
dan diusahakan ditemukan maknana.

2) Keunggulan
Keunggulan metode Dinamika Kelompok a.l:
 Membantu peserta untuk belajar dari apa yang dikerjakan atau yang dialami.
 Memungkinkan untuk membuka tabir peserta secara bertahap artinya melalui
latihan atau permainan peserta memperoleh pesan.
 Membantu peserta mengalami latihan atau permainan yang bervariasi dan
menarik.
 Lewat latihan atau permaianan perserta secara spontan melibatkan
perasaannya.
 Melatih anggota kelompok untuk mengembangkan kerjasama dan menciptakan
kerukunan.

3) Keterbatasannya

Keterbatasan metode ini a.l:


 Dapat menibulkan perasaan frustrasi. Tidak tertutup kemungkinan bahwa
proses belajar yang diharapkan terbalik, menjadi suatu yang menyebabkan
frustrasi bagi peserta yang tanpa stabilitas emosional. Bahkan pada permainan
yang menimbulkan konflik mengakibatkan kadang-kadang mental yang ’break
down’ artinya peserta merasa tak mampu.

71
 Pada permainan-permainan yang tidak terlalu menyentuh emosi, peserta hanya
merasakan adanya kelucuan atau kegembiraan yang rekreatif belaka, sehingga
menjadikan peserta menjadi apatis dan ogah-ogahan.
 Kalau pembimbing kurang trampil membawa peserta kepada refleksi, tidak
tertutup kemungkinan peserta merasa dipermainkan bahkan merasa
dipermalukan.
 Ada peserta yang kadang-kadang merasa tidak diterima ketika ia tidak mampu
mengintegarasikan dirinya dalam kelompok, bahkan mungkin ia merasa dinilai
oleh peserta lain.

4) Sarana yang dibutuhkan


Suatu permainan dinamika kelompok memiliki karakteristik tersendiri, sehingga
sarana yang dibutuhkan pun sangat tergantung pada jenis permainan atau jenis
kegiatan.

5) Langkah-langkah Pelaksanaannya.
Langkah-langkah pelaksanaan ’dinamika kelompok’ sangat bervariasi sesuai
dengan jenis kegiatan atau permainan yang dilaksanakan, tetapi secara umum
dapat dikatakan bahwa langkah-langkah pokok suatu dinamika kelompok adalah:
Pertama : Inroduksi yaitu pendamping/pasilitator memberikan informasi
awal tentang kegiatan yang akan dilaksanakan. Sedapat mungkin
informasinya singkat dan jelas. Kegiatan yang akan dikerjakan
harus dapat dimengerti oleh peserta.
Kedua : Melaksanakan tahapan kegiatan atau permainan.
Ketiga : Refleksi. Pada bagian ini dapat diminta peserta untuk
mengungkapkan perasaannya, kesannya, pesan yang diperoleh,
manfaat yang didapatkan, dll.
Keempat : Rangkuman singkat dari pasilitator atau pendamping

a. Metode dialogis – Partisipatif


1) Pengertian

72
Partisipatif menunjukkan sifat. Partisipasi berarti tindakan ikut serta. Kata ini
dalam bahasa Inggris (participation) artinya hal ikut ambil bagian. Ikut ambil
bagian adalah suatu tindakan yang dilakukan secara bersama-sama, sehingga
hasilnya merupakan hasil bersama. Dialogis artinya bersifat dialog. Dialog
artinya percakapan. Kata ini dalam bahasa inggris (dialogue) artinya tanya-
jawab. Tanya-jawab mengandaikan adanya komunikasi antara dua atau lebih
pihak yang terlibat dalam percakapan. Metode Dialog Partisipatif adalah metode
yang mengutamakan proses komunikasi iman. Komunikasi iman adalah tukar-
menukar penghayatan iman antar peserta sehingga saling meneguhkan dalam
penghayatan iman. Metode ini ingin menghindari indoktrinasi dari pihak guru,
tetapi menomorsatukan gaya dialog antar semua pihak yang ikut dalam proses
pembelajaran. Metode ini menjadi pola dalam pengajaran Agama untuk SMU
dalam kurikulum 1994 yang dinamakan Pola Dialog Partisipatif Pemahaman
Iman.

2) Keunggulan
Keunggulan dari metode ini adalah:
 Merangsang semua anggota terlibat/ambil bagian.
 Hasil yang dicapai adalah hasil bersama.
 Dapat dipakai untuk kelompok besar maupun kelompok
kecil.
 Tidak memerlukan pemimpin yang terlalu hebat.
 Membangkitkan perasaan sebagai saudara yang setara.
 Tidak membutuhkan peralatan yang banyak dan canggih.

3) Keterbatasannya
Keterbatasan dari metode ini adalah:
 Mengandaikan semua peserta memahami betul pokok persoalan yang
dibahas.
 Dapat terjadi bahwa ada peserta yang sngaja menguji kemampuan peserta
lain.

73
 Dapat terjadi bahwa ada peserta yang menonjolkan diri sebagai yang
hebat.
 Peserta cenderung terlepas dari pokok masalah.
 Mungkin sulit bagi peserta untuk memahami bahwa segala pendapat dapat
memperkaya kelompok dan dapat meneguhkan pemahaman dan
penghayatan kita.

4) Sarana yang dibutuhkan


Sarana yang dibutuhkan dengan menggunakan metode ini adalah rumusan
permasalahan harus jelas sehingga mudah dipahami oleh semua peserta.
Demikian pun arah/tujuan dialog harus jelas dan dipahami oleh semua
peserta.

5) Langkah-langkah Pelaksanaannya/Proses Pembelajaran.


Metode Dialog Partisipatif sebagai sebuah metode dalam arti salah sarana untuk
mencapai tujuan pembelajaran, tentu saja tidak terdapat langkah-langkah yang
tetap karena penggunaan metode sangat ditentukan oleh tujuan dan karakteristik
materi pembelajaran.
Salah satu contoh penerapan metode dialog partisipatif, lihat buku Pendidikan
Agama Katolik untuk SMTA: Memahami keselamatan (buku Guru jilid 1 ),
Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, hlm. 11-17.

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK


UNTUK HIDUP
Strukturnya:
1. Tujuan
2. Bahan Kajian
3. Sumber Bahan

74
4. Cara Penyajian: 1) Pembahasan bersama, saling menyumbang, dan
mencatat hasil percakapan; 2)Penugasan; 3) Refleksi; 4) mempelajari
bersama buku siswa.
5. Sarana
6. Waktu
7. Catatan Pemikiran

Proses Pembelajaran: 1)Pembukaan; 2)Merumuskan harapan-harapan;


3)Mencari masukan mengenai harapan; 4)Mempelajari bersama naskah
kekhasan PAK; 5) Merumuskan manfaat mempelajari PAK bagi idup sendiri
dan hidup masyarakat; 6)Penutup.
Bab 5

SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

PENDAHULUAN

Pendidikan Agama Katolik merupakan suatu peristiwa komunikasi iman. Proses komunikasi iman
dapat terjadi dalam setiap kesempaatan hidup bersama, seperti di Paroki, Keluarga, Sekolah, dan
Organisasi Masyarakat. Komunikasi iman dalam lingkup sekolah pun secara konkret terlaksana
dalam berbagai bentuk/kegiatan. Salah bentuk komunikasi iman di sekolah adalah kegiatan
pebelajaran, khususnya dalam bentuk kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK).
Keseluruhan kegiatan ataupun pengalaman belajar dalam PAK di kelas dapat menjadi suatu
peristiwa komunikasi iman sejauh kegiatan pembelajaran tersebut di semangati nilai-nilai ataupun
semangat Kristus sendiri.

Sebagai suatu sistem, kegiatan pembelajaran di sekolah/kelas tidak terjadi dengan sendirinya,
artinya, kegiatan pembelajaran dalam kelas mengandaikan suatu perencanaan. Berkaitan dengan
perencanaan pembelajaran tersebut terdapat dua komponen penting yang harus ada, yaitu Silabus
dan RPP. Kedua komponen perencanaan pembelajaran tersebut terdiri dari sejumlah bagian yang

75
saling terintegrasi satu sama lain. Bagian-bagian yang saling terintegrasi tersebut adalah Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, Materi, Kegiatan pembelajaran (pengalaman Belajar) dan
Penilaian. Mata kuliah Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pendidikan Agama
Katolik (PAK) di SMA adalah mata kuliah yang membahas tentang konsep serta format penyusunan
Silabus dan RPP PAK di SMA, yang mengacu pada konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Atas dasar pemahaman tentang konsep serta format Silabus dan RPP, mahasiswa didampingi
melalui latihan menyusun Silabus dan RPP.

Mata Pelajaran PAK di sekolah, khususnya PAK di SMA, merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional. Karena itu, PAK pun tunduk pada sistem pendidikan
nasional dengan segala ketentuannya. Sejak tahun 2006 pemerintah memberlakukan sistem
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di seluruh jenjang pendidikan forma-sekolah. Pola KTSP
memberi penekaan pada pendekatan dialogis, interaktif dan komunikatif. Dengan demikian, antara
pola KTSP dan pola katekese/PAK di sekolah kurang lebih sama dan searah dalam saling melengkapi
dalam mencapai tujuan ataupun kompetensi mata pelajaran.

A. PENYUSUNAN SILABUS

1. PENGERTIAN DAN MANFAAT SILABUS

76
Jamal Ma’mur Asmani (2010:105) mengartikan Silabus sebagai suatu produk pengembangan
kurikulum berupa penjabaran lebih lanjut dari standart kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin
dicapai, dan materi pokok yang perlu dipelajari siswa dalam rangka pencapaian standard
kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain, Silabus merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kompetensi yang harus dicapai siswa sebagaimana terumuskan dalam standar
kompetensi, dari kompetensi dasar, indikator, materi pokok serta tujuan pelaksanaan pembelajaran.
Dalam silabus juga dijabarkan cara mencapai pengalaman belajar berserta alokasi waktu, alat serta
sumber belajar. Dengan kata lain, silabus adalah suatu perencanaan pembelajaran pada suatu mata
pelajaran yang mencakup keseluruhan komponen untuk memncapai kompetensi suatu mata
pelajaran.

Salim (1987:98), sebagaimana dikutib Jamal Ma’mur Asmani, medefinsikan Silabus sebagai “Garis
besar, ringkasan, ikhtisar, atau pokok-pokok isu, materi pelajaran”.

Dari pengertian Silabus tersebut nampak tiga manfaat Silabus, sbb.

a) Silabus memberi gambaran tentang kompetensi ataupun prestasi yang ingin dicapai berkaitan
dengan mata pelajaran yang diajarkan.
b) Silabus memberikan gambaran tetang cara yang harus ditempuh, yang dijabarkan baik dalam
pengalaman belajar dalam alokasi waktu dan alat serta sumber pembelajaran, untuk mencapai
kompetensi/prestasi berhubugan dengan mata pelajaran yang diajarkan.
c) Silabus memberikan gambaran yang jelas tentang tingkat pencapaian kompetensi/prestasi siswa
terhadap suatu mata pelajaran yang secara konkret terus dalam sejumlah indikator.

2. PRINSIP-PRINSIP PENYUSUN SILABUS


a. Prinsip-prinsip penyusunan silabus

Prinsip adalah dasar atau asas suatu pandangan atau suatu tindakan. Suatu Silabus
disusun/dibangun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Artinya, penyusunan Silabus
mengandaikan suatu hal yang dipandang benar. Terdapat sejumlah hal yang perlu menjadi
acuan dalam membangun/menyusun suatu Silabus mata pelajaran termasuk pelajaan PAK di

77
sekolah. Jamal Ma’mur Asmani (2010:105) menyebutkan sejumlah hal yang menjadi acuan
dalam mengembangkan suatu Silabus Mata Pelajaran, sbb.

 Ilmiah: Artinya, keseluruhan materi, baik pokok bahasan sub-pokok bahasan, kegiatan-kegiatan
yang disusun harus memenuhi syarat-syarat keilmuan, harus benar, baik obyek materialnya
maupun obyek formalnya harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
 Relevan: Cakupan bahan, kedalaman, urutan bahan, tingkat kesukaran dan urutan cara
penyajian materinya dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik dan psikis siswa,
tingkat perkembangan fisik, intelektual, soasial, emosional dan spiritual siswa.
 Sistematis: Urut-urutan mulai dari standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan tujuan
pembelajarani serta pokok bahasan sampai dengan sub pokok bahasan, sera hal lain yang terkait
harus saling terkait secara fungsional dan runtut. Demikian sebaliknya, tujuan pembelajaran,
materi (sub pokok bahasan dan pokok bahasan) harus berporos pada standar komptensi dan
kompetensi dasar.
 Konsisten: Kemampuan serta obyek yang terungkap dalam standar kompetensi yang kemudian
diturunkan dalam kompetensi dasar dan di konkretkan dalam indikator hendaknya obyek dan
subyeknya sama dan terus berulang. Artinya antar komponen ada hubungan yang ajeg dan taat
asas, msl. Penilaian kriteriaanya/sumbernya adalah tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran
merupakan jabaran dari indikator. Sedangkan indikator merupakan spesifikasi dari Kompetensi
dasar. Sedangkan kompetensi dasar porosnya adalah standar kompetensi.
 Memadai: Komponen-komponen seperti penilaian, proses pembelajaran, metode, sumber
bahan, tujuan pembelajaran, dan indikator mencukupi untuk mencapai kompetensi dasar.
Keseluruhan komponen hendaknya menunjang tercapainya kompetensi dasar berkaitan dengan
mata pelajaran yang diajarkan.
 Aktual dan kontekstual: Hal-hal yang dipilih, ditetapkan dan dirumuskan dalam keseluruhan
komponen silabus hendaknya sesuai dengan perkembangan perkembangan ilmu (zaman) dan
menyentuh ataupun bermanfaat bagi siswa, sekarang dan disini.
 Fleksibel: Apa saja yang dipilih dan dirumuskan berhubungan dengan komponen-komponen
silabus hendaknya terbuka dan memungkinkan untuk menampung kemungkinan perkembangan
atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan sekolah, dan terbuka pada tuntutan masyarakat
akibat perubahan yang terjadi.

78
 Menyeluruh: Keseluruhan komponen, yaitu kompetensi dasar, indikator, materi, tujuan
pembelajaran serta sistem pencapaian, pendekatan (metode, alat), hendaknya mampu
menampung keseluruhan kemampuan siswa berkaitan dengan kompetensi mata pelajaran, baik
dari kognitif, maupun afektif serta psiko motorik (ranah pendidikan). Sistem penilaian
hendaknya menyentuh keseluruhan bahan ajar dan beragam sehingga memperoleh informasi
yang kurang lebih lengkap tentang tingkat ketercapaian siswa berhubungan dengan kompetensi
mata pelajaran.

b. Penyusun Silabus
 Pengajar Mata Pelajaran: Pengajar atau guru mata pelajaran adalah salah satu pihak yang
bertanggung jawab atas perkembangan siswa disekolah. Pengajar dengam kewenangan yang
dimlikinya berhubungan dengan mata pelajaran, msl. Pelajaran agama, selain memahami bahan
juga pihak yang paling memahami situasi siswa. Pengajar siswa-siswa itu sendiri. Pengajar mata
pelajaran adalah orang yang paling memahami konteks sekolah, kelas dan siswa itu sendiri.
 Kelompok Pengajar Mata Pelajaran yang sama: Selain pengajar mata pelajaran, di sekolah yang
memiliki lebih dari 12 rombongan belajar, hampir pasti pengajar satu mata pelajaran yang sama
(msl. Pelajaran Agama) lebih dari satu. Dengan kewenangan dan kompetensi yang mereka
sandang sebagi pengajar suatu mata pelajaran kiranya kelompok guru tersebut dapat duduk
bersama memikirkan dan merumuskan sesuatu, msl. Silabus, demi petingkatan prestasi siswa
pada mata pelajaran yang mereka ajarkan. Justru dalam kebersamaan kiranya memungkinkan
suatu sekolah mendapatkan suatu model silabus yang lebih menyeluruh,lebih cermat dan
terpercaya.
 Kelompok Kerja Pengajar Mata Pelajaran: Terdapat sejumlah mata pelajaran yang kurang lebih
memiliki sifat-sifat yang searah, msl. Mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan humaniora.
Pegaja-pengajar mata pelajaran tersebut dapat membentuk kelompok kerja dan duduk bersama
memikirkan atau menyusun Silabus bersama. Bentuk dacara kerjanya memang perlu diatur lebih
jelas dan konkret. Selain itu, Institusi/lembaga atau sekolah dibawa kepemimpinan kepala
sekolah dan dukungan pengelola sekolah kianya dapat membentuk suatu struktur kerja ataupun
satuan-satuan kerja demi perkembangan sekolah secara menyeluruh. Satuan-satuan kerja
tersebut dalam kerja sama dengan institut/lembaga satuan kerja yang terdiri dari kelompok
pengajar bertangung jawab memajukan sekolah. Satuan-satuan kerja tersebut antara lain

79
bidang penelitian dan pengembangan sekolah. Bidang peneltian dan pengembangan tentu
bertanggng jawab atas keseluruhan pengembangan belajar mengajar di sekolah. Salah satu
tugasnya adalah menyusun Silabus mata pelajaran.
 Dinas Pendidikan: Lembaga pemerintah yang bertaanggng jawab atas kemajuan dan
perkembangan di bidang pendidikan adalah dinas pendidikan dari pusat sampai d daerah,
provinsi/kabupaten/kota dan kecamatan.
 Kementerian Agama/BIMAS Agama: Selain dinas pendidikan, saat ini Kementerian Agama
khususnya bidang Agama Katolik, mengusahakan sejumlah kegiatan berhubungan dengan
pengembangan di bidang pendidikan agama mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah. Saat ini
nampak usaha-usaha departemen Agama khusus bagi pengembangan pendidikan sekolah,
khususnya sekolah-sekolah yang diasuh oleh kementerian Agama Republik Indonesia.

c. Tahapan Pengembangan Silabus


Silabus dibangun/disusun melalui tahapan-tahapan tertentu. Silabus terdiri dari rangkaian tahap
yang saling mengandaikan dan saling menunjang. Uraian tentang tahapan-tahapan ini menggunakan
tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Jamal Ma’mur Asmani dalam bukunya “Tips Efektif
Aplikasi KTSP di Sekolah” (2010:110-112). Jamal menyebutkan 5 tahapan penyususnan Silabus, sbb.

 Tahap Perencanaan: Pada tahap ini penyusun mengumpulkan informasi, mempersiapkan


kepustakaan/referensi berkaitan dengan pengembangan Silabus.Untuk ini penyusun dapat
memanfaatkan perpustakaan-perpustakaan serta sumber-sumber informasi lain yang tersedia,
seperti multi media dan internet.
 Tahap Pelaksanaan: Berkaitan dengan tahap pelaksanaan, penyusun diandaikan memiliki
pemahaman semua komponen berkaitan dengan Silabus, seperti: standar isi berkaitan dengan
mata pelajaran bersangkutan, standar kompetensi lulusan, dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pelajaran (KTSP).
 Tahap Perbaikan: Silabus yang sudah tersusun (bersifat sementara) kemudian dikaji ulang.
Untuk itu, penyusun dapat memanfaatkan jasa para ahli (di bidangnya masing-masing) berkaitan
dengan kurikulum, mata pelajaran, didaktik metodik, penilaian, psikolog, guru/instruktur, kepala
sekolah, staf profesional Dinas Pendidikan, perwakilan orang tua siswa, eda siswa sendiri.
 Tahap Pemantapan: Hasil kajian dari paa ahli dibidangnya, seperti yang disebutkan, menjadi
bahan masukan/pertimbangan untuk memperbaiki susunan Silabus yang sifatnya sementara.

80
Jika akhirnya dianggap sudah mantap, susunan silabus yang sudah diperbaiki tersebut
diserahkan kepada kepala sekolah, lembaga/sekolah, atau instasi lain yang terkait seperti Dinas
Pendidikan.
 Tahap Penilaian: Silabus yang tersusun harus digunakan secara dinamis. Artinya, Silabus perlu
mempertimbangkan perkembangan/perubahanperubahan bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan yang terjadi, stuasi/lingkungan sekolah, dan situasi sosial kemasyarakatan. Maka
kendati Silabus yang sudah dianggap mantap dan sudah diberlakukan perlu terus-menerus
dinilai dalam jangka waktu tertentu, secara berkala, msl. pada akhir tahun ajaran. Penilaian
hendaknya menggnakan model-model penilaian kurikulum yang baku dan terpercaya.

2. KOMPONEN-KOMPONEN SILABUS DAN PENGKAJIANNYA


Penyusunan Silabus melalui suatu proses, tidak sekali jadi. Silabus merupakan suatu bangunan yang
berdiri diatas rangkaian komponen (bagian). Bagian-bagian tersebut membangun suatu yang
dinamakan Silabus. Bagian yang penting dalam proses penyusunan Silabus tersebut adalah
pengkajian komponen-komponen Silabus itu sendiri. Sedapat mungkin pengkajian tersebut akan
dihubungkan dengan PAK di SMA. Maka, selanjutnya akan diuraikan dua hal pokok, yaitu tentang
komponen-komponen Silabus dan pengkajian setiap komponen Silabus.

a. Komponen-komponen Silabus
 Identifikasi :
 Standard Kompetensi :
 Kompetensi Dasar :
 Materi Pokok :
 Indikator :
 Kegiatan Pembelajaran :
 Alokasi Waktu :
 Penilaian :
 Sumber/Bahan/Alat :
Dari komponen-komponen yang disebutkan terdapat 6 komponen utama, yaitu Standar
Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, Materi, Kegiatan pembelajaran (pengalaman Belajar) dan
Penilaian. Diluar keenam komponen tersebut, komponen lainnya dapat dilengkapi/ditambahkan
sesuai kebijakan sekolah/pengajar. Yang penting adalah semakin rinci susunan suatu Silabus akan

81
semakin memudahkan guru/pengajar menjabarkannya dalam suatu Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran.

b. Pengkajian Komponen-komponen Silabus


1) Mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Yang dimaksudkan dengan kompetensi adalah keseluruhan kemampuan dasar serta sikap dan nilai
yang dimiliki seseorang individu setelah dididik dan dilatih melalui pengalaman pembelajaran yang
dilakukan secara bertahap. Jadi, tekanannya bukan pertama-tama pada pengetahuan (unsur
kognitif), melainkan pada keterampilan ataupun kemampuan berkaitan dengan sikap dan nilai-nilai
yang penting, yang berguna dalam hidup dan karya dalam masyarakat. Dalam rangkah penyusunan
Silabus, yang perlu diusahakan: mengkaji standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran,
mencermati standar isi. Standar isi yang harus dikaji, msl. keterkaitan antara standar kompetensi
dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran bersangkutan (msl. Pendidikan Agama Katolik) serta
keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar antar mata pelajaran (Mata pelajaran
Pendidikan AgamaKatolik dengan mata-mata pelajaran lainnya). Dalam rangka endidikan Agama
Katolik di sekolah menengah kompetensi adalah

- Memahami diri sebagai pria dan wanita sebagai citra Allah yang memiliki suara hati dan
kehendak bebas untk bertindak secara bertanggung jawab.
- Memahmi pribadi Yesus Kristus seperti diwartakan oleh Kitab Suci dan diajarkan oleh Gereja dan
meneladaninya dalam kehidupan seharai-hari.
- Memahmi mkna Gereja, fungsinya, sifat-sifatnya, hubungannya dengan dunia, dan
menghayatinya dalam hidup menggereja.
- Memahami fungsi Gereja, yakni melanjutkan perutusan Yesus dalam mewartakan Kerajaan Allah
dan melibatkan diri dalam perutusan tersebut untuk menegakkan nilai-nilai Kerajaan Allah,
antara lain, martabat manusia, hak asasi, keadilan, kejujuran, dan keutuhan lingkungan hidup.
-
2) Mengidentifikasi materi pokok.
Yang dimaksudkan dengan materi adalam bahan (hal-hal menyangkut isi) pokok pembelajaran.
Materi-materi pokok yang menunjang pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar mata
pelajaran bersangkutan perlu diidentifikasi. Dalam kaitan dengan itu, perlu dipertimbangkan hal-hal,
seperti: tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta didik. Selain

82
itu, perlu juga dipertimbangkan manfaatnya bagi siswa, kedalaman serta keluasan materi,
relevansinya bagi kebutuhan siswa, tuntutan lingkungan dan alokasi waktu. Dalam rangkah
Pendidikan Agama Katolik di Sekolah, bahan/isi yang dimaksudkan mengandung 4 aspek sbb:

- Pribadi siswa dan relasinya dengan sesama (pengalaman imanku sekarang dan disini serta dalam
kebersamaan dengan sesama) ,
- Pribadi Yesus Kristus (sebagaimana dialami/dihayati Gereja Perdana),
- Gereja (pengalaman/penghayatan iman gereja sepanjang sejarah), dan
- Kemasyarakatan (iman yang diwujudkan dalam hidup bermasyarakat).

3) Mengembangkan pengalaman belajar.


Mengembangkan pengalaman belajar berarti menetapkan sejumlah kegiatan pembelajaran demi
mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri. Kegiatan-kegiatan pembelajaran tersebut merupakan
pengalaman belajar. Yang dimaksudkan dengan pengalaman belajar adalah kegiatan mental dan
fisik yang dilakukan siswa dengan bantuan metode pembelajaran yang bervariasi, yang
mengaktifkan/melibatkan siswa. Pengalaman belajar tersebut memuat kecakapan hidup yang perlu
dikuasai siswa. Rumusan pengalaman belajar juga mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar
siswa. Dalam Pendidikan Agama Katolik, pengalaman belajarnya siswa dapat dikembangkan dengan
pola tertentu. Namun, apapun pola/pendekatan yang dipilih dalam mengembangkan pengalaman
belajar, hendaknya memungkinkan:

- Siswa aktif berpartisipasi dalam peroses pembelajaran,


- Interaksi antar siswa sendiri, serta antar siswa dan guru,
- Suatu proses yang berkesinambungan, dan
- Bertujuan menginterpretasikan dan mengaplikasikan ajaran iman dalam hidup nyata, sehingga
menjadi semakin beriman.

4) Merumuskan indikator keberhasilan Belajar.


Indikator yang dimaksudkan adalah spesifikasi atau jabaran dari kemampuan siswa sebagaimana
terumus baik dalam standar kompetensi maupun dalam kompetensi dasar. Jabaran tersebut
menunjuk pada tanda-tanda, perbuatan-perbuatan ataupun respons yang diungkapkan dan
diwujudkan siswa. Indikator yang ditentukan hendaknya sesuai dengan karakteristik satuan

83
pendidik, potensi daerah dan siswa, dan dirumuskan dalam bentuk kata kerja operasional yang
terukur dan (atau) dapat diobservasi.Indikator juga digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat
penilaian (alat ujian). Dengan kata lain, indikator sekaligus juga sebagai target pencapaian
pembelajaran dan ukuran keberhasilan proses pembelajaran.

5) Penentuan jenis penilaian.


Perlu ditentukan alat penilaian terhadap tingkat pencapaian siswa terhadap kompetensi dasar mata
pelajaran yang secara rinci/konkret terumus dalam sejumlah indikator. Alat penilaian (alat ujian)
yang digunakan hendaknya sesuai dengan prinsip, syarat, serta sifat setiap alat penilaian. Hal ini
perlu sungguh dipahami agar penggunaan alat penilaian tersebut tepat dan betul-betul dapat
menilai tingkat prestasi atau ketercapaian siswa berhubungan dengan kompetensi mata pelajaran.

6) Menentukan alokasi waktu.


Yang dimaksudkan dengan alokasi waktu dalam konteks silabus adalah perkiraan waktu yang
dibutuhkan oleh siswa untuk mengusai kompetensi dasar. Alokasi waktu pada setiap kompetensi
harus sesuai dengan alokasi waktu per minggu mata pelajaran dengan mempertimbangkan jumlah
kompetensi dasar yang ditentukan, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat
kemendesakan kompetensi dasar tersebut.

7) Menentukan sumber belajar.


Yang dimaksudkan dengan sumber belajar adalah bahan atau rujukan yang dimanfaatkan untuk
kegiatan pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa media cetak, media elektronik, nara sumber,
lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penentuan sumber belajar pun harus berdasakan pada
standar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi/pokok bahasan/sub pokok bahasan,
keseluruhan kegiatan pembelajaran dan indikator-indkator dalam mencapai kopetensi.

84
B. PENYUSUNAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

1. PENGERTIAN RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (disingkat RPP), adalah suatu perkiraan atau proyeksi
pengajar/guru yang kurang lebih menyeluruh tentang proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dalam mencapai prestasi tertinggi berkaitan dengan kompetensi suatu mata pelajaran. Dengan RPP
pengajar/guru dengan penuh tanggung jawab sungguh-sungguh mempersiapkan diri dengan segala
sesuatu yang berkaitan dengan proes pelaksanaan pembelajaran suatu mata pelajaran. Ketika
proses pembelajaran sedang berlangsung, maka RPP menjadi pedoman dan arah. Dengan kata lain,
adanya RPP menjadikan proses pelaksanaan pembelajaran tersebut berjalan secara terduga,
terkontrol, tersusun, runtut, dan lancar. Ketika proses pembelajaran usai/berakhir, maka RPP
menjadi salah satu sumber tertulis, baik bagi pengajar itu sendiri maupun orang lain yang terkait,
untuk mengevaluasi keseluruhan proses secara obyektif. Evaluasi tersebut bermaksud demi
peningkatan program pembelajaran yang sudah ada dan sekaligus dapat juga sumber untuk
memperbaiki program yang sudah ada agar di kemudian hari menjadi semakin baik. Dengan
demikian RPP menjadi penting dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Singkatnya, RPP
merupakan suatu perkiraan atau proyeksi pengajar yang kurang lebih menyeluruh tentang proses
pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam mencapai tingkat prestasi berkaitan dengan kompetensi
mata pelajaran.

RPP dan Silabus laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan (Jamal Ma’mur Asmani,
2010:123). RPP erat terkait dengan Silabus. RPP merupakan penjabaran/turunan dari Silabus,
khususnya pada komponen/bagian kegiatan pembelajaran. Dengan RPP kegiatan pembelajaran yang
ditetapkan dalam Silabus diperluas atau lebih dikonkretkan. Sehingga Silabus dapat dilihat sebagai
bingkai penyusunan RPP. Penyusunan RPP harus mengacu pada Silabus.

2. FUNGSI RPP
RPP mempunyai dua fungsi penting yaitu fungsi yang berhubungan dengan perencanaan dan fungsi
yang berhubungan dengan pelaksanaan. Berhubungan dengan fungsi perencanaan, dengan RPP

85
pengajar didorong untuk sungguh mempersiapkan diri sebelum melaksanakan proses
pembelajaran. Dengan adanya RPP pengajar dapat diandaikan lebih siap untuk tampil
melaksanakan proses kegiatan pembelajaran. Dengan adanya RPP pengajar diandaikan terlebih
dahulu sudah memahami tentang kompetensi dasar, indicator-indikator berkaitan dengan
kompetensi tersebut, pokok-pokok bahasan dan sub pokok bahasan, metode, alat, dan kegiatan-
kegiatan yang akan terjadi serta alat penilaian yang akan dipakai. Fungsi lain RPP adalah
berkaitan dengan pelaksanaan. Dengan RPP keseluruhan proses belajar mengajar mendapatkan
pedoman sekaligus arah yang jelas. RPP membantu pengajar untuk mendmpingi siswa agar
senantiasa mengarahkan diri pada kompetensi dasar. Dengan RPP keseluruhan pengalaman
belajar secara sadar dan terduga diarahkan pada indikator ataupun pada tujuan pembelajaran
yang ditetapkan. Dengan demikian, kedua fungsi tersebut menegaskan fungsi lain yaitu sebagai
bentuk pertanggungjawaban pengajar dalam menjalankan kewajibannya sebagai pengajar, baik bagi
para siswa sendiri maupun kepada orang lain di luas kelas, seperti: orang tua, pengajar lain, kepala
sekolah serta instansi lain yang terkait.

Walaupun demikian, harus disadari sungguh-sungguh bahwa RPP merupakan sarana/alat


pembelajaran. RPP yang tersusun secara tertulis dengan seluruh fungsinya bukanlah segala-galanya.
Secara praktis RPP digunakan sebelum pembelajaran, sedang kegiatan pembelajaran dan juga
sesudah pelaksanaan pembelajaran di kelas. Sebagai sarana/alat, RPP digunakan demi mencapai
tingkat prestasi tertentu atas kompetensi suatu mata pelajaran. Sebelum tampil melaksanakan
proses pembelajaran, penyusunan RPP menjadi suatu bentuk persiapan konkret bagi seorang
pengajar/guru mata pelajaran. Baik Pengajar/guru maupun siswa yang terlibat dalam seluruh
kegiatan pembelajaran di kelas bukanlah benda mati, tetapi manusia yang hidup dan selalu terbuka
pada perkembangan yang mungkin terjadi. Artinya, RPP yang tersusun secara tertulis hendaknya
terbuka pada kemungkinan perkembangan ataupun kreatifitas dalam kelas saat pelaksanaan
kegiatan pembelajaran. Sering terjadi bahwa terdapat hal-hal yang tak terduga, yang mungkin
sebelumnya tidak terbayangkan, sehingga tidak tertampung dan tidak tertulis dalam penyusunan
RPP. Dengan kata lain, RPP bukan sesuatu yang statis dan mutlak. Sejauh hal-hal tak terduga itu
menunjang pencapaian kompetensi mata pelajaran, seorang guru/pengajar mesti menampungnya
dan menempatkannya dalam kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Maka, kendati
seorang guru/pengajar berkewajiban bekerja sesuai rencana dan harus menyiapkan diri dengan baik

86
sebelum melaksanakan tugasnya, hendaknya dihindari sikap tertutup dan bertindak hanya karena
sudah tertulis. Dengandemikian, pengajar/guru menjadi budak dari apa yang tertulis dalam RPP.

3. KOMPONEN-KOMPONEN RPP
Seperti yang sudah ditegaskan dalam penyusunan Silabus, demikian juga dengan penyusunan RPP.
Sebagai suatu system pembelajaran, RPP pun terbangun/tersusun dari sejumlah komponen yang
saling terkait, saling mengandaikan, ataupun saling menujang (Syaiful Bahri Djamarah dkk, 2006:41-
52). Untuk beberapa komponen, susunan RPP mengonkretkan Silabus. Bagian ini ingin menunjukkan
komponen-komponen RPP yang dimaksudkan serta pengkahiannya secara umum.

A. Identitas :

 Nama Sekolah : Sekolah dimana proses pembelajaran dilaksanakan.


 Mata Pelajaran: Jenis mata pelajaran yang diajarkan, dalam hal ini adalah Pendidikan Agama
Katolik.
 Kelas/Semester : Kelas dimana mata pelajaran tersebut diajarkan.
 Pertemuan ke : Disesuaikan dengan komponen pengembangan pengelaman belajar dalam
Silabus.
 Alokasi Waktu : Disesuaikan dengan pembagian waktu dalam Silabus.
 Standar Kompetensi : Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan dalam Silabus.
 Kompetensi Dasar: Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan dalam Silabus.
 Indikator : Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan dalam Silabus.
B. Tujuan Pembelajaran: Hasil/prestasi yang dibayangkan setelah pelaksanaan pembelajaran.
Prestasi tersebut berkaitan dengan kemampuan-kemampuan sebagaimana dirumuskan dalam
indicator (lht. Silabus). Penjelasan tambahan, dapat dilihat di bawah !

C. Materi Pokok: Disesuaikan dengan rumusan komponen Materi dalam Silabus.

D. Metode Pembelajaran : Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan komponen Metode dalam


Silabus.

87
E. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran: Secara garis besar mengacu pada komponen
pengembangan pembelajaran dalam Silabus.

 Kegiatan Awal
 Kegiatan Inti
 Kegiatan Penutup
F. Sumber Belajar : Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan komponen sumber
belajar dalam Silabus.

G. Penilaian : Disesuaikan dengan ketetapan/rumusan dalam komponen


penilaian dalam Silabus.

Pengesahan: Persetujuan pihak pimpinan/wali kelas di sekolah dimana proses pembelajaran


dillaksanakan.

1) Tujuan Pembelajaran :
Tujuan pembelajaran adalah suatu harapan ataupun bayangan hasil yang ingin dicapai setelah
proses pembelajaran dilaksanakan.

Tujuan pembelajaran merupakan turunan sekaligus dirumuskan berdasarkan Standar kompetensi


dan Kompetensi Dasar. Tujuan pembelajaran posisinya sejajar dengan indikator. Indikator dan
tujuan pembelajaran kurang lebih sama. Kalau indikator merupakan spesifikasi kemapuan
kompetensi dasar, sedangkan dalam tujuan pembelajaran spesifikasi kemampuan tersebut
ditempatkan dalam rangka keseluruhan langkah/kegiatan pelaksanaan pembelajaran. Dengan
demikian, tujuan pembelajaran selaain mempengaruhi bahan, metode, alat pembelajaran, dan
langkah-langkah pengembangan pembelajaran, juga menjadi kriterium paling dekat
evaluasi/penilaian hasil belajar siswa pada akhir pelaksanaan pembelajaran. Cara perumusan tujuan
pelajaran dapat menggunakan rumus audience (siswa), behavior (kemampuan sikap/perilaku yang
dirumuskan dengan kata kerja operasional), condition.

88
2) Materi Pembelajaran:
Materi adalah salah satu sumber belajarnya siswa yang paling inti. Melalui proses kegiatan
pembelajaran disahakan agar materi tersebut dikuasai oleh siswa. Materi pembelajaran adalah
bahan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Bahan tersebut dikembangkan dalam
keseluruhan langkah/kegiatan/pengalaman pembelajaran. Materi pun tetap berdasarkan pada
materi pembelajaran yang ditempatkan dalam Silabus. Maka, materi pembelajaran dalam
pelaksanaan pembelajaran merupakan turunan dari materi dalam Silabus. Dengan kata lain materi
pembelajaran berhubungan langsung dengan tujuan pembelajaran.(lht. Uraian tentang Materi
dalam penyususnan Silabus )

3) Metode pembelajaran:
Yang dimaksudkan dengan metode pembelajaran adalah cara menempuh tujuan, jalan ke tujuan,
penghantar ke tujuan yang diharapkan/dibayangkan. Metode dapat juga berarti model, atau
pendekatan, tergantung bentuk pendekatan atau strategi yang dipilh. Syaiful Bahri Djamarah dkk,
(2006:72-104) menunjukkan fungsi metode dalam rangka pembelajaran, yaitu sebagai alat motivasi
ekstrinsik, perangsang dari luar yang dapat membangkitkan belajar seseorang, sebagai strategi
pengajaran, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya
pengajar menggunakan metode secara bervariasi dan tidak terpaku pada salah satu metode.
Beberapa metode, seperti: proyek, penugasan, diskusi, sosiodrama, demonstrasi, pemecahan
masalah, karyawisata, tanya jawab, latihan, ceramah.( lht. Uraian tentang Metode dalam
penyusunan Silabus)

4) Langkah-langkah Pembelajaran:
Langkah-langkah pembelajaran adalah inti kegiatan pendidikan. Langkah-langkah pembelajaran
terdiri dari tiga tahapan, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Dalam
kegiatan pendahuluan bermaksud membangkitkan motivasi, gairah siswa untuk ikut terlibat dalam
proses pembelajaran. Kegiatan inti berkaitan dengan usaha pengajar menawarkan materi yang
disiapkan dengan cara yang komunikatif, interaktif, menyenangkan dan menantang siswa. Artinya,
pengajar perlu memperhatikan perbedaaan individual siswa, baik segi biologis,psikologis, maupun

89
segi inteletualsiswa. Dalam kegiatan pembelajaran perlu dbukan kemungkinan kreatifitas siswa,
tentu dengan tetap memperrtimbangkan sistem dan sistematikanya.

5) Sumber Belajar:
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sumber sesuai dengan
kepentingan bagi pencapaian tujuan yang ditetapkan, msl. Orang, bahan, alat, peristiwa, yang dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa untuk menerima bahan ajar baik secara kogniti,
afektif maupun psikomotoris. Sumber belajar RPP tetap mengacu pada sumber belajaran yang
ditetapkan dalam Silabus matapelajaran. Artinya, sumber belajar tetap mengacu pada tujuan
pembelajaran, indikator, kompetesi dasar, dan standar kompetensi. Selain itu, sumber belajar harus
mempertimbangkan aktualitas dan kontektualitas. Sumber belajar sangat terkait dengan
materi/bahan ajar yang dikembangkan atau yang digunakan dalam langkah-langkah pembelajaran.
Sumber belajar dapat berupa media cetak, media elektronik, nara sumber, lingkungan (fisik, alam,
sosial, dan budaya). Drs. Sudirman dkk, seperti yang dikutib Syaiful Bahri Djamarah, mengemukakan
bahwa sumber belajar meliputi: Manusia, Bahan, Lingkungan, Alat perlengkapan, dan aktivitas
(Syaiful Bahri Djamarah, 2006:49)

6) Penilaian:
Penilaian, khususnya penilaian pendidikan dapat diartikan sebagai tindakan untuk menentukn nilai
sesuatu yang berhubungan dengan pedidikan. Penilaian dalam RPP merupakan turunan dari rumus
penilaian dalam Silabus mata pelajaran. Dengan begitu, penilaian merupakan rangkaian kegiatan
untuk memperoleh gambaran tentang tingkat pencapaian kompetesi dasar mata pelajaran yang
sekaligus juga pencapaian standar kompetensi sebgaimana dirumuskan dan ditetapkan dalam
indikator. Melalui sejumlah soal/pertanyaan semua indikator ditagih kemudian hasilnya dianalisa
untuk menentukan kompetensi dasar yang sudah dimiliki/dipahami sswa dan mana yang belum
dipahami serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan siswa berhubungan dengan kompetensi
tersebut. Hasil analisis atas hasil penilaian tersebut menentukan tindak lanjut berupa perbaikan
proses pembelajaran selanjutnya, program remedial bagisiswa yang encapaian ketuntatasan
kompetens nya di bawah kriteria ketuntasan dan program pegayaan bagi siswa yang telah
memenuhi kriteria ketuntasan. Apapun alat penilaian yang digunakan, alat ujian terbuka atau

90
tertutup, lisan atau tilisan, hendaknya alat penilaian tersebut mampu menggali pemahaman siswa
sekaligus mampu memberi gambaran yang benar tentang tingkat ketercapaian siswa atas
kompetensi mata pelajaran bersangkutan.

7) Pengesahan:
Komponen ini tidak langsung berhubungan dengan RPP sebagai sistem pembelajaran. Pengesahan
adalah bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan pembelajaran tersebut. RPP perlu disahkan
oleh kepala sekolah sebagai penanggung jawab akhir keseluruhan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dengan pengesahan secara tertulis pengajar pun secara konkret (de yure) telah
mewujudkan tanggung jawabnya sebagai pengajar mata pelajaran bersangkutan. Pengesahan
merupakan bentuk pertanggungjawaban tertulis pengajar mata pelajaran bersangkutan, kepada
kepala sekolah baik sebagai wakil yayasan pengelola, maupun kepada instansi lain yang
berkepentingan, seperti: orang tua siswa, pemerintah/masyarakat.

C. LATIHAN MENYUSUN SILABUS

Latihan menyusun Silabus ini bermaksud mengantar mahasiswa pada hal-hal praktis penyusunan
Silabus. Setelah pada kegiatan-kegiatan belajar sebelumnya mahasiswa memperoleh pejelasan yang
umum teoritis tentang Silabus, maka pada bagian ini mahasiswa, dalam pendampingan dosen mata
kuliah, mencoba berlatih menyusun suatu Silabus. Dengan mengacu pada Silabus Pendidikan Agama
Katolik, berdasarkan konsep KTSP yang sudah diberlakukan secara nasional oleh pemerintah. Latihan ini
diawali dengan mengugui mahasiswa, membagikan kepada mahasiswa sebuah Silabus yang siap pakai
(dikuitb dari Silabus Pendidikan agama Katolik di SMA). Kemudian Silabus tersebut dalam pendampingan
dosen mata kuliah, mengamati, mempelajarinya dengan latar belakang teori tentang Silabus yang sudah
dipelajari pada kegiatan belajar sebelumnya. Setelah itu, mahasiswa dibagi dalam kelompok. Dalam
kelompok (setiap kelompok paling banyak paling sedikit 3 orang dan paling banyak 5 orang) mahasiswa
mengerjakan tugas penyusunan Silabus berdasarkan Silabus yang sudah dipilih dan ditentukan
sebelumnya oleh dosen pendamping/dosen mata kuliah

91
1. Model Sebuah Silabus
Model Silabus ini berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA untuk mata pelajaran
Pendidikan Agama Katolik. KTSP SMA tersebut telah ditetapkan dan diberlakukan mulai tahun ajaran
2006/2007. Format Silabus dapat bermacam-macam wujudnya. Dalam rangka pembahasan ini, kami
pilih salah satu format yang ada untuk memperjelas pembahasan tentang Penyusunan Silabus

- NAMA SEKOLAH : SMA/SMK


- MATA PELAJARAN
: PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
- KELAS / SEMESTER
- STANDAR KOMPETENSI :X/I

: Memahami nilai-nilai keteladanan Yesus Kristus sebagai landasan


mengembangkan diri sebagai perempuan atau laki-laki yang memiliki
rupa-rupa kemampuan dan keterbatasan sehinggadapat berelasi
dengansesama secara lebih baik.

ALOK
ASI
KOMPETENS MATER KEGIATAN BELAJAR INDIKATOR PENILAIAN SUMBER
WAKT
I DASAR I BAHAN/ALAT
U
POKOK

1. Mengenal 1.1.  Doa Pembukaan.  Menyebutka Tes Lisan / 2x45  Lembar


diri Sa  Menunjukkan n unsur- Tulisan: mnt identitas
dengan ya keunikan diri unsur yang diri.
 Menyebut
segala pri dengan cara menunjukka  Puisi
kan

92
kelebihan ba mengisi “kartu n keunikan unsur- tentang
dan di Pengenal”. seseorang. unsur smbol diri,
kekuranga ya  Membandingkan  Menjelaskan yang msl. Puisi
nnya, ng antara ciri yang pengertian menunjkk “Bunga
sehingga un dimiliki diri manusia an Liar”.
menerima ik. sendiri dan ciri sebagai keunikan  Artikel
diri orang lain pribadi. seseoran “Jadilah diri
sebagaima dengan cara  Merumuskan g. sendiri yang
na adanya. saling bertukan pesan Kitab  Menjelask terbaik”.
“katu pengenal” Suci Kej. an  Teks KS. Kej.
 Merumuskan 1:26-31, pengertia 1:26-31 dan
pengertian tetang n Mzr. 139.
keunikan keunikan manusia  KOMKAT
pribadi, melalui manusia sebagai KWI Seri
tanya jawab: ciptaan pribadi Murid-
- dalam hal apa Allah. unk. murid
mereka sama  Menggambar  Merumusk Yesus:
dengan orang kan simbol an pesan Perutusan
lain, diri. Kitab Suci Murid-
- dalam hal apa Kej.1:26- murid
berbeda 31. Yesus,
dengan orang Pendidikan
lain; Agama
Unjuk kerja:
- lebih banyak Katolik
lersamaan  Membuat untuk
atau simbol SMA/SMK,
perbedaan; gambar Buku Guru 1
- apa yang diri. dan Siswa 1
dimaksudkan A, Kanisius,
pribadi Yogyakarta,
Tugas:
seseorang 2004.
dikatakan  Membuat

93
unik. tanggapa
 Mengungkakan n tertulis
keunikan diri atas
dengan cara artikel”ja
membuat dilah diri
gambar simbol sendiri
diri. yang
 Rangkuman dan terbaik”.
informasi.
 Membaca kutipa
Kitab Kejadian
1:26-31.
 Mendiskusikan
makna keunikan
dengan
menyoroti:
kalimat dalam
Kitab Suci yang
mengungkap-
kan manusia itu
istimewa dan
unik.
 Pleno dan
rangkuman,
dengan
menekankan
bahwa:
- Manusia
makluk
istimewa
karena secitra
dengan Allah,

94
- Allah bekerja
secara
langsung
dalam
penciptaan
manusia,
- Semua
diserahkan
bagi manusia.
 Tugas:
- Merenungk
an dan
merumuska
n
tanggapana
tas
artikel”Jadil
ah diri
sendiri yag
terbaik”
 Doa penutup:
Mendaraskan
bersama Mzm.
139.

2. Latihan

95
Setelah contoh dan formatnya dipelajari, pengajar/dosen membagikan kepada setiap mahasiswa sebuah
format Silabus yang belum tersusun secara lengkap. Mahasiswa dibentuk dalam kelompok-kelompok
kerja (Setiap kelompok kerja berjumlah 3 orang).

Tugas yang harus dikerjakan, sbb.

 Lengkapilah komponen-komponen Silabus di bawah ini dengan memperhatikan contoh Silabus di


atas (lht.Model Silabus)

- NAMA SEKOLAH : SMA/SMK


- MATA PELAJARAN
: PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
- KELAS / SEMESTER
- STANDAR KOMPETENSI :X/I

: Memahami nilai-nilai keteladanan Yesus Kristus sebagai landasan


mengembangkan diri sebagai perempuan atau laki-laki yang memiliki
rupa-rupa kemampuan dan keterbatasan sehingga dapat berelasi dengan
sesama secara lebih baik.

ALOK
ASI
KOMPETENSI MATERI KEGIATAN INDIKATOR PENILAIA SUMBER
WAK
DASAR POKOK BELAJAR N BAHAN/ALAT
TU

1.Mengenal 1.1. Saya .................. ..................... ............... ......... .........................


diri dengan pribadi .................. ..................... ............... .........................
segala yang ............ . . .
kelebihan da unik.
..................

96
kekurangan .................... .................. ..................... ............... .........................
nya, ............ ............ ..................... ............... .........................
sehingga . .
....................
menerima
............
diri
sebagaiman
a
adanya........
....................
.........

.......................
.............

D. LATIHAN MENYUSUN RPP

Latihan menyusun RPP ini bermaksud mengantar mahasiswa pada hal-hal praktis penyusunan RPP.
Setelah pada kegiatan-kegiatan belajar sebelumnya mahasiswa memperoleh pejelasan yang umum yang
sifatnya teoritis tentang RPP, maka pada bagian ini mahasiswa dalam pendampingan dosen mata kuliah,
mencoba berlatih menyusun suatu RPP dengan mengacu pada Silabus Pendidikan Agama Katolik,
berdasarkan konsep KTSP yang sudah diberlakukan secara nasional oleh pemerintah. Latihan ini diawali
dengan mengugui mahasiswa sebuah model RPP yang siap pakaiKemudian Silabus tersebut dalam
pendampingan dosen mata kuliah, mengamati, mempelajarinya dengan latar belakang teori tentang
RPP yang sudah dipelajari pada kegiatan belajar sebelumnya. Setelah itu, seperti pada latihan
penyusunan Silabus sebelumnya, mahasiswa dibagi dalam kelompok (setiap kelompok paling sedikit 3
orang dan paling banyak 5 orang) mahasiswa mengerjakan tugas penyusunan RPP berdasarkan
kompetensi dasar, indikator, materi, dan tujuan pembelajaran dalam Silabus yang sudah dipilih dan
ditentukan oleh dosen pendamping/dosen mata kuliah

97
1. Sebuah Model RPP (Siap Pakai)

Dibagikan sebuah contoh RPP PAK (siap pakai) yang dikutib dari PAK untuk SMA/SMK, Buku Guru,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Mahasiswa, dalam pendampingan dosen, mencoba
mengamati, mempelajari RPP tersebut sesuai dengan penjelasan teoritis sebelumnya. Dengan sebuah
contoh RPP PAK tersebut diharapkan teori tentang RPP yang sudah dipelajari pada kegiatan belajar 2 di
atas semakin konkret. Untuk beberapa model RPP, Tujuan pembelajaran disatukan dengan indikator
mata pelajaran dengan menambah kalimat tertentu pada awal rumusan indikator, seperti: “Pada akhir
pembelajaran siswa.......” Sedangkan pada model RPP di bawah ini, indikator dan tujuan pembelajaran
tetap dipisahkan, sendiri-sendiri.

NamaSekolah SMA Frater “Don Bosco” Manado.

Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik.

Kelas/Semester X/I

Alokasi Waktu 2 x 45 menit

Standar Memahami nilai-nilai keteladanan Yesus Kristus sebagai landasan


Kompetensi mengembangkan diri sebaai perempuan atau laki-laki yang memiliki rupa-rupa
kemampuan dan keterbatasan sehinga dapat berelasi denan sesame secara lebih
baik.

Kompetensi Mengenal diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya sehingga menerima
Dasar diri sebagaimana adanya.

Indikator - Menyebutkan kelebihan dan kekurangannya dari segi jasmaniah, kemampuan


dan sifat-sifatnya.
- Menganalisis kelebihan dan kekurangannya.
- Menyebutkan sikap yang sering muncul ketika menghadapi kelebihan dan
kekurangan diri dan orang lain.
- Menyebutkan sikap yang perlu dikembangkan dalam menghadapi kelebihan

98
dan kekurangan diri dan orang lain.
- Menyebutkan alasan-alasan perlunya mengembangkan talenta yang dimiliki
(lht. Mat.25:14-30).
- Mejelaskan cara-cara mengembangkan talenta ang dimilki.
- Melalkukan usaha-usaha untuk mengembankan talenta yang dimilki.

1. Tujuan Pembelajaran:

Pada akhir pembelajaran siswa diharapkan dapat :

- Menyebutkan kelebihan dan kekurangannya dari segi jasmaniah, kemampuan dan sifat-sifatnya.
- Menganalisis kelebihan dan kekurangannya.
- Menyebutkan sikap yang sering muncul ketika menghadapi kelebihan dan kekurangan diri dan
orang lain.
- Menyebutkan sikap yang perlu dikembangkan dalam menghadapi kelebihan dan kekurangan diri
dan orang lain.
- Menyebutkan alasan-alasan perlunya mengembangkan talenta yang dimiliki (lht. Mat.25:14-30).
- Mejelaskan cara-cara mengembangkan talenta ang dimilki.
- Melakukan usaha-usaha untuk mengembankan talenta yang dimilki.

2. Materi: SAYA MEMILIKI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

2. Metode Pembelajaran: Ceramah, Tanya jawab, Ceritera.

3. Langkah-langkah Pembelajaran:
Kegiatan Awal:.

- Lagu dan Doa Pembukaan.


- Apersepsi: Mengingatkan pelajaran minggu sebelumnya tentang “Saya Pribadi yang Unik”.

Kegiatan Inti:

99
1) Mengamati keunggulan dan kekurangan dalam diri. Untuk itu, siswa diajak menyapkan
selembar kertas. Kemudian menugaskan siswa, sbb.

- Tulislah salah satu kemampuan yang dimiliki oleh teman disampingmu.


- Tulislah beberapa sifat yang baik yang dimiliki oleh teman disampingmu.
- Tulislah salah satu sifat yang kurang baik yang dimliki oleh teman disampingmu.
2) Setelah tugas dikerjakan, apa yang dirulis ditukar dengan teman di sampingmu dan dibaca sendiri-
sendiri.
3) Guru mengajak para siswa untuk mendialogkan apa yang ditulis. Dialog tersebut dituntun dengan
beberapa pertanyaan, msl.
- Apa yang anda rasakan ketika membaca tulisan teman tentang emampuan dan
sifatmu ?
- Apa yang muncul dalam pikiranmu tentang tulisan temanmu itu ?
- Apakah benar yang ditulis temanmu itu ?
- Sifat-sifat baik manakah yang paling banyak ditulis oleh temanmu ?
- Bagaimana sikapmu terhadap tulisan temanmu itu ?
4) Guru menganalisis keberadaan fisik, kemampuan, sifat-sifat yang dimliki siswa dan sikap menerima
keadaan seperti itu.
- Keadaan fisik kita serta segala kemampuan, karakter, bakat dan sifat kita bisa saja
berasal dari keturunan (factor genetic) atau dari pengaruh lingkungan bahkan bisa saja
kedua-keduanya.
- Perlu dikembangkan sifat-sifat dasar untuk menerima dan mensyukuri diri apa adanya.
Thadap potensi atau bakat dalam diri, kita perlu mengembangkannya. Sedangkan
terhadap kekuangan dalam diri, kita perlu menerima dengan lapang dada tanpa perlu
merasa minder atau rendah diri.
- Diperlkan juga bantuan orang lain (msl.dari teman) untuk mengembangkan bakat dan
kemampuan serta mengatasi kekurangan dan kelemahan
5) Menyadari potensi dan peluang dalam terang Kitab Suci: Mat. 25:14-30. Untuk kegiatan ini,
- Guru mengajak siswa membaca teks Kitab Suci Matius tersebut.
- Setelah dibaca siswa diberi kesempatan mengajukan pertanyaan di sekitar teks yang
dibaca.
- Kemudian guru memberikan beberapa penjelasan atas teks tsbt, sbb.

100
o Kata talenta berasal dari bhs. Yunani, talanton, yang menunjuk pada mata uang
Yunani yang paling kuat dan dinilai berbeda-beda beratnya dari 24-34 bahkan 41 kg,
dan senilai dengan 6000 dinar. Kata talenta dalam teks ini dipakai sebagai kiasan.
o Talenta yang dipercayakan pada tiga orang hamba dalam teks KS bukan menunjuk
pada besaran uang tetapi pada “tanggung jawab” yang lebih besar.
o Bisa disimpulkan bahwa dengan teks ini mau ditekankan mengenai harta duniawi
ataupun bakat yang kita miliki adalah laksana modal yang harus dikelola bagi Kristus
sebagai dasar, arah dan tujuan panggilan hidup kita pengikutnya.

Kegiatan Akhir

1) Guru memberikan rangkuman pelajaran, sbb.


- Setiap orang pasti mempunyai kelebihan/bakat/kemampuan, tetapi juga kelemahan
dan keterbatasan.
- Keadaan fisik seseorang serta kemampuan, bakat sekaligus kelemahan dan
keterbatasan bisa disebabkan oleh kator keturunan atau linkunga, bahkan kedua-
duanya.
- Perlu dikembangkan sifat menerima dan mensyukuri diri apa adanya. Kita perlu
mengembangkan potensi, bakat yang kita miliki. Kitapun perlu membagikan
kelebihan, kemampuan yang dimiliki demi kebaikan sesasama yang berkekurangan
dan tidak menjadi smbong dengan kelebihan tersebut. Kekurangan, kelemahan yang
ada perlu diterima dengan lapang dada seraya meninggalkan rasa minder, rendah
diri, atau cemburu.
- Teks KS, Mat. 25:14-30, mengingatkan kita, para remaja, sudah dianugerahkan
talenta. Talenta yang diterima harus dikembangkan dan menggunakannya bagi
sesama yang membutuhkan, sebagai wujud panggilan sebagai pengikut Kristus.
- Terdapat tokoh-tokoh dalam sejarah yang taelentanya pernah diremehkan banyak
orang namun pantang meyerah terus memperjuangkannya, seperti: Thmas Alva
Edison, Albert Enstein, Isaac Newton, arner von Braun, dan Golda Meir.
2) Lagu dan Doa Penutup.

101
Alat dan Sumber Belajar

 Daftar kemampuan, kelebihan, dan kekurangan.


 Sumber Pembelajaran.
- Teks Kitab Suci. Matius 25:14-30
- Komisi Kateketik KWI. Seri Perutusan Murid-murid Yesus. Pendidikan Agama Katolik untuk
SMA/SMK. Buku Guru I. Yogyakarta. Kanisius. 2007.
- Komisi Kateketik KWI. Seri Perutusan Murid-murid Yesus. Pendidikan Agama Katolik untuk
SMA/SMK. Buku Siswa IA. Yogyakarta. Kanisius. 2007.
- Xavier Leon-Dufour. Ensiklopedi Perjanjian Baru, entry Talenta. Yogyakarta. Kanisius. 1990.

Penilaian: Bentuk Esei, secara tertulis.

1) Dari manakah asalnya kemampuan/bakat, kelebihan atau kekurangan/keterbayasan yang anda


miliki saat ini ?
2) Bagaimana skap yang tepat dalam menghadapi kelebihan ataupun kekurangan dalam diri anda ?
3) Berikanlah alasan mengembangkan Talenta yang kita miliki sehingga berguna bagi sesame yang
membutuhkan, berdasarkan teks Kitab Suci Matius 25:14-30 !
4) Sebutkalah talenta-talenta yang anda miliki !
5) Sebutkan usaha-usaha yang dapat anda lakukan untuk mengembangkan Talenta yang anda
dimliki itu !

Pengesahan :

Mengetahui

KepalaSekolah, Guru Mata Pelajaran

102
(……………………………) (…………………………….)

NIP. NIP

Bab 6

PENILAIAN BERBASIS KELAS

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2006, melalui peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 24 Tahun 2006,
pemerintah Repubik Indonesia memberlakukan Konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dalam sekolah-sekolah formal di seluruh Indonesia (Jamal Ma’mur Asmani, 2010:15-103). KTSP
merupakan pola pendekatan pendidikan yang memberikan kewenangan kepada satuan pendidikan
(Lembaga, Sekolah) dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Pola pendekatan KTSP pun
menitik beratkan pembentukan karakter dan kompetensi siswa degan pendekatan pembelajaran
yang dialogis, interaktif, dan komunikatif. untuk mencapai tujuan pendidikan/pembelajaran dalam
kelas/sekolah. Salah satu komponen KTSP adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK). Yang dimaksudkan
dengan PBK adalah penilaian yang berorientasi pada kompetensi serta patokan ketuntasan yang
diperoleh melalui berbagai cara, tes dan non-tes, kumpulan kerja siswa, hasil karya, penugasan,
unjuk kerja dan tes tertulis. Bagaimana proses penilaian tersebut direncanakan dan dilaksanakan
agar informasi tentang tingkat prestasi/ketercapaian siswa atas kompetensi mata pelajaran yang
diajarkan di kelas itu lengkap, menyeluruh, dan dapat dipercaya. Nampaknya, penerapan PBK dalam
proses pembelajaran tidaklah sederhana. Penerapan PBK mengandaikan pemahaman menyeluruh
tentang penilaian pendidikan pada umumnya.

A. PENGERTIAN, PRINSIP, FUNGSI PENILAIAN


DAN FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN

103
1. PENGERTIAN PENILAIAN
Penilaian dapat juga dilihat sebagai suatu bentuk kesaksian tentang keberhasilan siswa dalam
mencapai suatu prestasi tertentu berkaitan dengan kompetensi mata pelajaran yang diajarkan.
Kesaksian mana diperlukan dalam banyak peristiwa penting dalam kehidupan, khususnya dalam bidang
pendidikan, msl. kenaikan kelas, meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, menyelesaikan pendidikan,
bahkan juga untuk memperoleh pekerjaan. Dengan demikian, penilaian pun dilihat sebagai
tanda/symbol yang harus diperjuangkan dan direbut dengan pelbagai cara dan usaha, bahkan dengan
pelbagai tipu daya. Pengertian penilaian pada bagian ini mengacu pada uraian Prof. Dr. Raka Joni, MSc.,
dalam bukunya “Pengukuran dan Penilaian Pendidikan” (1986:6-9). Penilaian dilihat dalam kaitannya
dengan pengukuran dan Tes Penilaian diartikan sebagai suatu proses mempertimbangkan sesuatu
(msl.gejala sesuatu) dengan menggunakan patokan-patokan tertentu. Patokan tersebut mengandung
pengertian baik, tidak baik, memadai-tidak memadai, memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat,
dst. Pertimbangan yang dimaksud bukan saja menyangkut pertimbangan-pertimbangan yang berbentuk
kuantitatif akan tetapi juga meliputi pertimbangan-pertimbangan non-kuantitatif (msl. anak itu sopan,
anak itu rajin, gadis itu cantik, dsb.) Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa diperoleh selain melalui
pengalaman yang subyektif tetapi juga bisa melalui cara-cara yang lebih sistematik, dengan
menggunakan prosedur-prosedur ilmiah. Dalam kaitannya dengan KTSP, patokan-patokan yang
digunakan dalam proses penilaian seharusnya bersumber pada indicator-indikator (sebagai spesifikasi
standar kompetensi dan kompetensi dasar) yang kemudian dijabarkan dalam tujuan-tujuan yang mau
dicapai dalam suatu proses pelaksanaan pembelajaran.

Sedangkan Tes merupakan suatu alat/sarana penilaian. Tes diartikan sebagai sejumlah tugas atau
pertanyaan/soal yang harus dikerjakan oleh testee (siswa). Tugas-tugas ataupun pertanyaan/soal
tersebut berkaitan dengan alat ujian tertentu yang dipilih, msl. esei, pilihan berganda, isian dst. Atas
dasar hasil tersebut dapat disimpulkan aspek-aspek tertentu dari kepribadian siswa. Aspek-aspek dari
kepribadian maksudnya berupa prestasi akademik, bakat, sikap, minat, penyesuaian social, dst. Dengan
tes dimungkinkan membandingkan prestasi seorang dengan yang lain, asalkan soal-soalnya sama.
Prestasi dalam mengerjakan tugas-tugas (pertanyaan/soal) tersebut bisa dinyatakan dalam bentuk
angka-angka (hasil pengukuran), misalnya berdasarkan jumlah tugas yang bisa diselesaikan dengan baik
dalam batas waktu tertentu. Dengan kata lain Tes sebagai alat penilaian, dapat dimengerti sebagai alat
untuk mengukur prestasi ataupun tingkat ketercapaian siswa atas kompetensi mata pelajaran yang

104
diajarkan. Dan pengukuran dilihat sebagai suatu proses melukiskan aspek-aspek kepribadian/tingkah
laku seseorang (siswa) ke dalam bentuk angka-angka berdasarkan aturan-aturan tertentu.

2. PRINSIP-PRINSIP PENILAIAN
Apa pun alat ataupun cara yang digunakan untuk menilai tingkat ketercapaian siswa atas
kompetensi mata pelajaran, termasuk pelajaran PAK di sekolah, hendaknya mempertimbankan prinsip-
prinsip tertentu yang berkaitan dengan penilaian. Terdapat sejumlah hal yang merupakan prinsip suatu
penilaian. Hal tersebut penting dipahami agar proses penilaian sungguh-sungguh dapat dipercaya dan
bermanfaat, selain bagi instansi/lembaga/sekolah yang mendampingi siswa itu sendiri juga bagi siswa itu
sendiri dalam memahami kompetensi suatu mata pelajaran. Prinsip-prinsip tersebut menentukan
kualitas suatu penilaian. Dengan kata lain, suatu proses penilaian dikatakan baik sejauh memenuhi
prinsip-prinsip tersebut. Kalau pada bagian sebelumnya digambarkan apa yang dimaksud dengan
penilaian dalam kaitannya dengan pengukuran dan tes, pada bagian ini secara khusus akan menjelaskan
tentang prinsi-prinsip penilaian. Penjelasan tentang prinsip-prinsip penilaian yang dimaksukan
bersumber pada Pedoman Model Penilaian Kelas yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional.

Prinsip-prinsip penilaian yang dimaksudkan, adalah:

a. Valid dan reliable:


Penilaian benar-benar mengukur apa yang dimaksudkan untuk dinilai dan mantap (hasilnya sama
walaupun menggunakan dua bentuk ujian). Menggunakan alat penilaian yang sesuai agar benar-benar
mengukur apa yang ingin diukur (kompetensi dan indicatornya). Pelajaran yang menekankan sikap dan
perilaku, seperti pelajaran agama katolik kiranya rana afektif dan psikomotorik lebih diutama
diperhatikan dalam memilih alat ujian, walaupun pengetahuan (kognitif) tidak dikesampingkan.

b. Komprehensif:
Penilaian harus dilaksanakan menyeluruh, mencakup seluruh unsure yang tertuang dalam standard
kompetensi dan kompetensi dasar. Kemenyeluruhannya juga menyangkut seluruh kemampuan siswa
(kognitif, afektif, psikomotorik) dan menggunakan beberapa alat ujian tepat. Alat ujian yang digunakan
beragam (menggunakan lebih dari satu alat pengukuran msl. lisan maupun tulisan, obyektif dan esei),

105
untuk menilai keragaman kompetensi siswa sehingga memperoleh gambaran yang kurang lebih umum
dan lengkap tentang profile kompetensi siswa. Selain itu, penilaian menggunakan hasil penilaian
berdasarkan contoh-contoh atau sample prestasi yang banyak (mencukupi)

c. Berkesinambungan:
Penilaian dilaksanakan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh gambaran
pencapaian kompetens siswa yang menyeluruh dalam kurun waktu tertentu. Terintegrasi dengan proses
belajar mengajar ( ke depan dan pijakan balik) baik bagi siswa maupun pengajar

d. Mendidik (Pedagogis):
Proses dan hasil penilaian hendaknya dapat dijadikan sebagai dasar untuk memotivasi dan memperbaiki
proses pembelajaran bagi pengajar dan meningkatkan kualitas belajarnya siswa untuk tumbuh
berkembng secara optimal.

e. Obyektif:
Penilaian harus dilaksanakan secara obyektif. Artiya penilaian harus adil, terencana dan menerapkan
standar atau criteria yang jelas dalam pemberian skores.

f. Kejelasan system: Sistem penilaian yang digunakan harus jelas baik bagi pengajar maupun siswa

3. FAKTOR-FAKTOR YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN


Biasanya untuk menilai hasil prestasi siswa berkaitan dengan kompetensi suatu mata pelajaran yang
diajarkan di kelas/sekolah dilaksanakan suatu ulangan atau ujian (harian, mingguan, bulanan,
midsemester, semester, akhir tahun). Namun, praktek penilaian seperti itu, cenderung sepihak,
mengutamakan apa yang dimengerti berkitan bahan/isi mata pelajaran yang telah diajarkan. Dengan
demikian penilaian cenderung menekankan faktor yang bersifat intelektualitik. Dalam pengertian
tersebut penilaian dipersempit pada hasil pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran

106
suatu mata pelajaran. Sedangkan faktor-faktor lain seperti: afektif dan psikomotis, kurang diberi
tempat dan perhatian.

Subyek penilaian adalah siswa itu sendiri, terutama berhubungan dengan tingkat ketercapaian siswa
itu sendiri atas kompetensi suatu mata pelajaran yang diajarkan di kelas/sekolah. Agar proses penilaian
itu sungguh-sungguh dapat menilai prestasi serta ketercapaian siswa terhadap kompetensi suatu mata
pelajaran yang diajarkan, hendaknya penilaian tersebut dilaksanakan secara bertanggung jawab, jujur
dan adil. Selanjutnya, uUraian tentang factor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penilaian secara
umumnya masih akan mengikuti gagasan Prof. Dr. Raka Joni Msc. Menurut Raka Joni terdapat sejumlah
faktor yang harus dipertimbangkan oleh pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan penilaian
tersebut. Faktor-faktor yang dimaksudkan, adalah:

a. Faktor Umum: Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian, sbb.


o Kurikulum (dalam konteks KTSP adalah komponen-komponen penting dalam Silabus dan RPP,
seperti: standard kompetensi, kompetensi dasar, indicator dan tujuan pembelajaran)
o Proses mengajarnya guru,
o Proses belajarnya siswa, baik pribadi maupun bersama dengan teman,
o Keterlibatan orang tua
o Alat penilaian yang digunakan,
o Prosedur penilaian, keteraturan/ketersusunannya.

b. Faktor Siswa: Faktor-faktor yang secara khusus berhubungan dengan siswa,sbb.


o Kemajuan siswa
o Kemampuan siswa (kognitif, afektive dan psiko-motorik).
o Kesungguhan siswa
o Integritas dan kejujuran intelektual siswa
o Minat siswa terhadap pelajaran.
o Kecermatan mempersiapkan diri.
o Kecermatan/kerapian pekerjaan.
o Kesopanan.

107
o Usaha siswa dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas mata pelajaran
o Ketepatan waktu menyelesaikan tugas-tugas.
o Kualitas dan kuantitas prestasi.
o Pencapaian tujuan mata pelajaran yang bersangkutan.
o Penguasaan bahan yang diajarkan.
o Keterampilan menerangkan pengetahuan yang dipelajari.
o Kemampuan menyatakan diri secara tertulis/lisan.
o Partisispasi dalam kegiatan-kegiatan kelas.
o Logika berpikir.
o Kemampuan bergaul dengan teman-teman.
o Pemberian hukuman bagi perbuatan yang kurang baik dan ganjaran bagi perbuatan baik

B. PENGGUNAAN ALAT PENILAIAN

1. FUNGSI PENILAIAN KELAS


Suatu proses penilaian mengandaikan alat ujian tertentu yang dapat digunakan dalam berbagai
bentuk pelaksanaan ujian, seperti ulangan, atau ujian. Secara konkret alat ujian tersebut terdiri dari
sejumlah pertanyaan/soal ataupun tugas yang terkait dengan kompetensi mata pelajaran yang diajarkan
di kelas/sekolah. Pertanyaan/soal tersebut harus dikerjakan siswa dalam waktu tertentu Sebelum
menyusun pertanyaan/soal-soal ujian atau tugas tersebut seorang pengajar perlu mengetahui terlebih
dahulu kegunaan alat ujian yang digunakan. Pembahasan selanjutnya berhubungan dengan fungsi
penilaian khususnya alat penilaian yang digunakan dalam menilai prestasi siswa.

Secara umum, alat penilaian (ujian), berfungsi, sbb:

 Menilai hasil: Melihat sejauh mana siswa berhasil untuk mengerti. Dapat menilai atau pun dapat
mengukur hasil pengajaran yang ia lakukan, sebagai nilai hasil.
 Menilai proses: Melihat jalannya proses belajarnya siswa demi mencapai tujuan pengajaran yang
dibayangkan. Melihat sejauh mana pengajarannya berhasil memberikan kemungkinan kepada siswa
untuk menyelesaikan proses belajarnya.

108
 Membantu Institusi/lembaga/sekolah: Melihat keseluruhan proses pengajarannya dalam kaitan
dengan standard kompetensi, kompetensi dasar ataupun aturan/kebijakan lembaga/sekolah.
Setelah proses pengajarannya terlaksana sejauh mana para siswa dapat diputuskan berhasil/lulus
sesuai dengan pedoman/patokan yang dtetapkan oleh institusi/lembaga/sekolah.
 Memprediksi: Mengukur hasil, apakah di kemudian hari bisa diharapkan hasil; apakah seorang siswa
dikemudian hari dapat belajar dengan baik dan berhasil.
 Menyeleksi: Meneliti sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelum
proses pembelajaan. Apakah siswa telah cukup memehami bahan ajar. Dengan demikian, siswa
dapat dibagi dua yaitu siswa yang lulus dan tidak lulus.
 Mendiagnosa: Memeriksa letak titik kuat dan titik lemah para siswa atau letak kekurangan program
pembelajaran yang disusun, baik dari segi hasil mapun prosesnya.
 Komparasi: Mengetahui apakah kelompok siswa yang satu dengan kelompok siswa yang lain sama
rajin dan sama pandai. Proses membandingkan hasil-hasil setiap kelompok dapat juga berlanjut
dengan membandingkan hasil kelompok siswa tahun-tahun sebelumnya, baik dari sekolah sendiri
tetapi juga dengan kelompok siswa di sekolah lain.

2. JENIS-JENIS ALAT PENILAIAN DAB SIFAT-SIFATNYA


Secara umum, alat ujian dapat digolongkan dalam dua macam, yaitu alat ujian yang sifatnya
terbuka dan tertutup (Ad Rooijakers, 1986:146 dst). Alat ujian yang terbuka meliputi ujian lisan, ujian
esei dan ujian isian. Sedangkan ujian tertutup meliputi ujian salah-benar, ujian pilihan berganda, dan
ujian menjodohkan. Tidak semua alat ujian cocok untuk setiap mata pelajaran yang hendak diujikan.
Dapat terjadi bahwa Jenis alat ujian yang satu cocok dengan salah satu mata pelajaran tetapi tidak cocok
untuk mata pelajaran lain. Bisa terjadi salah satu alat ujian lebih baik untuk mata pelajaran tertentu dan
kurang baik untuk mata pelajaran lainnya. Karena itu, seorang pengajar sebelum memilih dan
menentukan alat ujian yang akan digunakan perlu mengetahui sifat-sifat alat ujian tersebut.

a. Alat penilaian terbuka.


Dengan alat ujian terbuka siswa harus menggunakan sebagian besar waktunya untuk berpikir,
menulis dan merumuskan sehingga kesempatan untuk melihat kembali apa yang sudah dikerjakannya
sangat singkat. Siswa yang kurang mampu merumuskan dengan baik akan memperoleh hasil yang

109
kurang bila dibandingkan dengan siswa yang lebih mampu dalam merumuskan dan menyusun
penjelasannya. Menyusun soal-soal ujian terbuka tidak akan memerlukan waktu yang banyak tetapi
untuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa akan memakan waktu yang lebih banyak. Pengajar perlu
waspada dalam menggunakan ujian terbuka sebab siswa dapat berlagak seakan mengerti/memahami
semua soal. Dalam ujian lisan siswa akan berceritera panjang lebar dalam menjawab soal-soal dan
dalam ujian tulisan siswa dapat menggunakan kelimat-kalimat indah walaupun sebenarnya ia tidak
mengerti persoalannya. Pengajar harus benar-benar mengukur apa yang dimiliki dan bukan apa yang
nampaknya dimiliki siswa. Selanjutnya secara lebih rinci dikemukakan sifat-sifat setiap alat ujian
terbuka, sbb.

 Ujian Lisan: Jenis ujian lisan terlaksana dalam bentuk pembicaraan atau wawancara antara pengajar
dan siswanya. Melalui pembicaraan tersebut pengjara ingin mengetahui sejauh mana siswanya telah
memahami dan mengerti bahan yang diajarkan. Cara ini memakan banyak waktu dan kurang efisien.
Masalah cara ini adalah kurang pasti dan kurang obyektif. Padahal setiap siswa harus diuji dengan
standat yang pasti atau patokan yang jelas dan sama. Pengajar harus menilai atas dasar kesan yang
diperoleh dari siswa bersangkutan. Kesan tersebut tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki
siswa tentang pelajaran tertentu. Kesan dalam pembicaraan tersebut ditentukan oleh banyak hal,
seperti hubungan pengajar dengan siswa tersebut, keadaan di sekitarnya, waktu/saat pembicaraan,
cara murid berbicara. Karena itu, ujian lisan tidak dapat sepenuhnya obyektif. Sejauh pengajar ingin
mengiventarisasi, ujian ini bisa bermanfaat. Tetap, jika hasil pembicaraan tersebut akan
menentukan nilai murid sebaiknya cara ujian ini tidak dpakai.
 Ujian Esei: Biasanya ujian seperti ini dilaksanakan secara tertulis. Ujian esei hanya menawarkan
beberapa pertanyaan dan siswa harus memberikan jawaban/uraian panjang lebar, dengan
pembatasan yang ditentukan oleh pengajar, msl. Uraian hendaknya tidak melebihi satu halaman;
uraian tidak melebih 10 kalimat, dst. Pertanyaan esei dapat juga disediakan beberapa pertanyaan
tetapi jawaban yang diminta hanya singkat saja. Ujian esei mempunyai beberapa keuntungan,
seperti: siswa punya kebebasan dalam menjawab, ujian esei merupakan cara yang baik mengetahui
kemampuan siswa untuk menjelaskan atau merumuskan jawaban. Pengajar muda menyusun
peranyaan, siswa tidak muda untuk menerka jawaban. Esei pun punya beberapa kerugian, seperti:
menyita banyak waktu dari pengajar, baik untuk menyusun soal maupun mengoreksi hasil ujian

110
siswa; koreksi sering sulit untuk sungguh obyektif. Tulisan siswa yang kurang jelas dan kurang rapi
sering menyulitkan pengajar dalam mengoreksi.
 Ujian isian: Soal ujian disusun secara tertulis dengan teks yang masih harus dilengkapi oleh siswa.
Keuntungan macam ujian ini ialah kemungkinan untuk siswa menerka jawabannya sangat kecil,
cepat dan mudah mengoreksi, relative mudah menyusun soal jian, siswa dapat menjawab banyak
soal dalam waktu yang relative singkat. Kerugiannya, ialah sult bagi pengajar untuk megetahui
dengan jelas apakah siswa mengerti/memahami masalah tersebut dengan taraf berpikir yang paling
tinggi, sulit mengetahui apakah siswa cukup kreatif dalam menjawab soal-soal ujian yang
ditawarkan. Jika pengajar terlalu sering menggunakan cara ini siswa cenderung hanya akan
mempelajari nama-nama atau kata-kata kunci, data dan nama tempat. Siswa kurang mempelajari
keseluruhan struktur bahan ajar.

1. Alat penilaian tetutup:

Pada alat penilaian tertutup siswa tidak perlu banyak merumuskan dan menjelaskan. Dengan alat
ujian ini, siswa dituntut kemampuan membaca dengan teliti mencoba memahami dan menelaah
persoalan dengan tepat. Jenis alat ujian tertutup terdiri dari banyak pertanyaan untuk memperkecil
kemungkinan untuk main terka. Memungkinkan pengajar untuk menyusun ujian yang cukup
representatif. Pengajar membutuhkan banyak waktu untuk memeriksa hasil pekerjaan siswa. Dengan
dibuatnya kunci jawaban, pengajar dapat meminta bantuan orang lain untuk memeriksanya. Jenis ujian
tertutup ini dapat digunakan bagi kelompok siswa yang besar. Soal-soal yang disusun dapat digunakan
dalam kesempatan ujian di lain waktu (sebagai “bank soal”). Sehingga pengajar tinggal mengambl sejauh
berkaitan untuk ujian di lain kesempatan. Sehingga persiapan untuk ujian tidak memakan waktu.
Mengingat jenis ujian tertutup ini dapat mendorong siswa main terka, maka cara pertama yang harus
dibuat adalah menyajikan banyak pertanyaan. Pengajar perlu menentukan patokan. Msl. Untuk
memperoleh nilai baik siswa harus dapat mengerjakan tujuh puluh lima persen dari soal-soal yang
disediakan. Selanjutnya secara lebih rinci dikemukakan sifat-sifat setiap alat ujian tertutup, sbb.

 Salah-benar: Macam ujian tertutup ini, jawaban soal sudah disiapkan lebih dahulu: salah atau
benar. Siswa tinggal memilih dari jawaban yang tersedia. Ciri utama jenis ujian ini adalah segi

111
obyektifnya. Pengajar, atau factor-faktor lain yang sifat subyektif dari luar, tidak dapat
mempengaruhi hasil yang dicapai oleh siswa. Hasil ujian diberikan secara kuantitatif (dengan symbol
angka) dan bukan dalam bentuk kualitatif. Kelemahannya adalah jika siswa tidak tahu jawabannya
siswa cenderung menerka. Untuk memperkecil kemungkinan terka tersebut, jenis ujian ini
menamba pertanyaan ke dua pada pertanyaan pertama. Selain menjawab salah atau benar siswa
harus mencantumkan jawaban lanjutan dengan : jakin atau tidak yakin. Msl. Yesus adalah putera
Allah: Siswa yang menjawab benar dan yakin memperoleh nilai dua. Sedangkan siswa yang
menjawab salah dan tidak yakin memperoleh nilai satu, dst.
 Ujian pilihan berganda (multiple Choise): Pada setiap soal ujian disediakan beberapa kemungkinan
jawaban. Siswa harus memilih satu di antaranya sebagai jawaban yang benar . Keuntungan jenis
ujian ini adalah jawabannya bersifat tidak begitu mutlak. Jenis ujian ini selain mudah bagi pengajar
untuk mengoreksinya, tetapi juga pengajar dapat menyusun soal ujian secara bervariasi. Dapat saja
jawaban yang tersedia semuanya benar tetapi siswa diminta memilih mana dari jawaban benar
tersebut yang paling tepat. Kesulitan dari jenis ujian ini adalah pengajar dituntut untuk menyediakan
waktu cukup, ketelitian dan ketepatan dalam menyusun soal. Jika soal disusun secara tidak teliti dan
tidak tepat, siswa tidak dapat menunjukkan bahwa sebenarnya ia mengerti dan tahu jawabannya.
Dengan demikian, siswa diperlakukan secara tidak jujur oleh pegajar.
 Ujian Menjodohkan: Jenis ujian ini terdiri dari dua kolom. Kolom kiri terdiri kalimat/pengertian yang
harus dicari jodohnya yang paling tepat pada kolom kanan. Jenis ujian ini hanya cocok untuk mata
pelajaran tertentu saja. Soal-soal ujian dapat diajukan sangat terbatas

3. SYARAT-SYARAT PENGGUNAAN ALAT PENILAIAN


Menggunakan suatu alat penilaian (alat ujian) harus memenuhi persyaratan tertentu agar alat tersebut
selain dapat digunakan sebagai alat penilaian, selain benar-benar berguna, juga informasi yang
diperoleh melalui alat penilaian tersebut sungguh-sunguh dapat dipercaya (Ad Rooijakers, 1986:146
dst). .Syarat-syarat yang dimaksud, sbb.

a. Syarat umum

112
 Valid: Artinya alat ujian yang digunakan harus menggambarkan indicator-indikator yang
dirumuskan berdasarkan standar kompetensi, dan kompetensi dasar. Setiap indicator
hendaknya memuat satu kemampuan yang harus dimiliki siswa dan dirumuskan secara
operasional.
 Representatif: Alat ujian ataupun soal-soal ujian yang disediakan hendaknya menyeluruh.
Artinya soal-soal harus menampung tujuan-tujuan pembelajaran (indicator-indikator) yang
harus dimiliki siswa setelah proses pembelajaran berlangsung.

b. Syarat mutu
 Relevansi: Suatu alat ujian harus mengukur hal yang harus diukur. Artinya, seorang pengajar
yang igin mengukur kemampuan berhitungnya siswa, maka ia tidak merumuskan soal-soal ujian
dengan ceitera yang panjang lebar. Selain itu, suatu alat ukur hanya boleh mengukur satu hal
saja, yaitu kemampuan berhitungnya siswa dan bukan menguji kemahiran siswa dalam
memahami ceritera.
 Keseimbangan: Artinya soal-soal yang diterapkan hendak merata dan menyangkut keseluruhan
bahan ajar dan bagian-bagian yang gianggap penting.
 Berdaya guna (efisien): Soal-soal ujian hendaknya mampu ember informasi yang cukup dengan
waktu yang disediakan. Soa-soal yang disediakan hendaknya memungkin pengajar berkerja
efisien terutama secaa cepat dapat mengukur kemampuan siswa.
 Obyektivitas: Soal-soal yang ditawarkan memungkinkan jawaban siswa yang benar atau salah
saja, jika tidak pengajar akan sulit memeriksanya secara obyektif dan cenderung tidak jujur
terhadap siswa.
 Kekhususan: Soal-soal yang disediakan dirumuskan sdemikian rupa sehingga hanya siswa yang
telah mempelajari bahan ajar saja yang mengetahui jawabannya.
 Tingkat kesulitan: Soal-soal ujian harus disesuaikan dengan taraf pengetahuan siswa. Pada soal-
soal yang mengarah para sasaran Belajar diberi bobot yang lebih tingi dari soal-soal yang
mengarah pada hal-hal sampingan.
 Perbedaan atau diferensiasi: Soal-soal/alat ujian dirumuskan sedemikian rupa sehingga siswa
yang menguasai bahan ajar dengan baik akan dapat mengerjakan soal-soal dengn hasil baik.
Sedangkan yang tidak akan memperoleh hasil jelek.

113
 Terpercaya: Rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga dua kelompok siswa pada tingkatan
yang sama akan menghasilkan hasil yang sama. Sekalian pada saat yang berbeda, akan
menhasilkan hasil yang sama.
 Kejujuran: Alat ujian/soal-soal harus disusun sedemikian rupa sehingga setiap siswa
memperoleh kesempatan yang sama untuk menunukkan al yang diketahuinya, dan memperoleh
kesempatan yang sama untuk meraih nilai yang baik.
 Waktu:Alat ujian atau soal-soal yang disedikan hendakya disesun sedemikian rupa sehingga
jawabn yang mesti dikemukakan sesuai dengan waktu yang tersedia. Soal yag menhendaki
jawaban yang panjang hendaknya juga disediaka waktu yang cukup.

C. PENYUSUNAN ALAT PENILAIAN

1. MENCERMATI DOKUMEN/PROGRAM PEMBELAJARAN


Yang ingin dinilai adalah prestasi ataupun tingkat ketuntasan belajarnya siswa berkaitan dengan
indikator-indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator yang menjadi dasar penyusunan
pertanyaan/soal dalam ujian tersebut merupakan indikator-indikator yang dianggap penting oleh
pengajar . Dipahami bahwa indikator-indikator penting yang ditetapkan tersebut diturunkan dari
kompetensi dasar (KD). Sedangkan KD yang ditetapkan merupakan turunan dari standard kompetensi
(SK) dan SK itu sendiri ditetapkan berdasarkan Visi ataupun Misi dari institusi.lembaga atau sekolah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selain indikator-indikator, sumber lain yang perlu dicermati
oleh pengajar dalam menyusun pertanyaan/soal ujian, adalah Visi dan Misi institusi/Lembaga/Sekolah
yang terumus dalam SK serta KD mata pelajaran agama katolik yang ditetapkan dan dirumuskan baik
dalam Garis Besar Pengembangan Bahan Ajar (GBPBA) maupun dalam Garis Besar Program
Pembelajaran (GBPP) Mata Pelajaran Agama Katolik. Maka, pengajar mata pelajaran agama katolik di
sekolah yang akan menyusun pertanyaan/soal untuk ujian mata pelajaran agama katolik harus betul-
betul membaca dan mencermati dokumen/program pembelajaran yang ditetapkan. Dokumen yang
dimaksudkan adalah GBPP dan GBPBA.

2. PENYUSUNAN PERTANYAAN/SOAL

114
Keseluruhan pertanyaa/soal harus disusun dengan teliti dan cermat. Tugas yang diberikan harus
tegas dan jelas. Dengan begitu, siswa langsung bisa melihat apa yang dikehendaki pengajar berkaitan
dengan pertanyaan/soal serta tugas yang diberikan. Hendaknya pengajar memberikan patokan-patokan
yang jelas. Perlu juga disadari betul, setelah pertanyaan/soal atau tugas telah selesai disusun sebaiknya
pengajar/guru memeriksa ulang seluruh pertanyaan/soal dan tugas tersebut agar tidak terjadi
pengulangan atau antara satu soal dengan soal lainya, tidak saling menjawab; satu pertanyaan/soal
tidak menjadi bagian jawaban dari pertanyaan/soal lain. Selain itu, harus dipastikan jenis alat ujian yang
dipilih cocok dengan tingkat kesulitan yang akan diukur.

Jika dikaitkan dengan konsep KTSP, maka tindakan awal yang perlu diusahakan oleh pengajar/guru
dalam proses penyusunan pertanyaan/soal adalah pertama-tama menentukan indicator mana dari
sekian indicator yang telah ditentukan dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dianggap penting dan
perlu dipilih dalam menyusun pertanyaan/soal. Alat penilaian, ataupun pertanyaan/soal serta tugas
yang disusun, hendaknya memenuhi prinsip seperti yang sudah disebutkan pada bahagian sebelumnya.
Selain prinsip umum yang telah disebutkan, masih terdapat ketentuan-ketentuan lain yang perlu
diperhatikan, khususnya oleh pegajar/guru mata pelajaran yang bersangkutan. Perlu disadari betul
bahwa ketentuan-ketentuan pada salah satu alat penilaian dapat juga berlaku pada alat penilaian
lainnya. Namun, ketentuan-ketentuan pada salah satu alat penilaian tidak selalu (belum tentu) sama
dengan ketentuan pada alat penilaian lainnya. Selanjutnya, secara lebih rinci akan diuraikan ketentuan-
ketentuan lain berkaitan dengan penyusunan ataupun penggunaan pertanyaan/soal pada setiap alat
ujian. Uraian tentang ketentuan-ketentuan penyusunan alat ujian selanjutnya masih akan mengikuti
gagasan Ad Rooijakers dalam bukunya yang berjudul “Mengajar dengan Sukses” (1986: 146-169), sbb.

a. Ujian Lisan:
 Pertanyaan/soalnya yang diajukan bersifat khas.
 Sesuai dengan hal yang hendak diukur.
 Jawaban siswa hendaknya dapat dimengerti dengan baik.
 Tidak terlalu banyak member keterangan tambahan pada pertanyaan/soal.
 Yang dinilai terutama kejelasan jawaban siswa.
 Memeriksa dengan benar apakah jawaban yang diberikan benar-benar merupakan jawaban
yang benar.

115
 Dalam menilai tidak ada factor-faktor tambahan yang mungkin akan memegang peranan
(lingkungan betul siap dan pengajar dan siswa dalam keadaan segar)

b. Ujian Esei:
 Memilih dari sejumlah indicator dan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
 Untuk masing-masing indicator yang dianggap penting oleh pengajar hendaknya dibuatkan satu
atau beberapa pertanyaa/soal.
 Rumusan pertanyaan/soal disusun dengan jelas agar siswa tidak salah paham tentang jawaban
yang diminta.
 Menjelaskan jawaban yang diinginkan. Memberi tahu jumlah alasan atau sebab-sebab yang
harus disebutkan oleh siswa.Menjelaskan aspek-aspek dari jawaban tersebut yang perlu
diperdalam/dijelaskan lebih dalam.
 Pertanyaan/soal harus disusun dengan kalimat penugasan dan bukan bertanya.
 Menentukan sebelumnya jawaban yang diinginkan.(Kunci jawaban). Hal ii akan sangat
membantu pengajar dalam mengoreksi dan membantu agar pemeriksaan dapat seobyektif
mungkin.
 Menentukan jumlah pertanyaan/soal yang dapat dijawab sesuai waktu yang ditetapkan.
 Mengusahakan agar siswa mengetahui bahan yang akan diujikan jauh sebelumnya. Sebaiknya
pada awal kursus/tahun sudah diingatkan.
 Mengumumkan waktu dan tempat ujian pada waktunya. (sekurang-kurangnya tiga minggu
sebelum ujian siswa sudah mengetahuinya)Pada saat pemeriksaan pengajar harus bekerja teliti
dan tepat, agar hasil siswa diperlakukan secara adil.
 Tetap waspada agar setelah memeriksa pekerjaan siswa yang baik pengajar harus tetap
menghargai pekerjaan siswa yang kurang baik.
 Dalam pemeriksaan, pengajar jangan terpengaruh dengan kalimat-kalimat atau tulisan indah
serta cara kerja siswa.
 Mengusahakan agar satu pertanyaan/soal dengan soal lain tdak saling menjawab atau satu soal
jangan sampai jawaban satu soal tidak menjadi bagian jawaban dari soal lain.
 Sebelum ujian dan pemeriksaan bobot setiap pertanyaan sudah ditentukan.
 Pada saat pemeriksaan nama siswa tidak penting agar pengajar tetap memelihara
obyektivitasnya.

116
 Jika hasil ujian akan menjadi pememtu nilai murid sebaiknya koreksi/pemeriksaan dikerjakan
oleh bebera[a orang.Jika timul perbedaan yang jauh para pemeriksa dapat mendiskusikannya.

c. Ujian Isian
 Menyediakan tepat/ruang yang oerlu diisi pada akhir kalimat.
 Satu pertanyaan/soal memerlukan satu ruangan atau dua ruangan pada akhir kalimat.
 Ruangan kosong pada akahir kalimat hendaknya sama panjangnya sehngga ruangan tersebut
tidak mempengaruhi jawaban. Memberi keterangan yang diperlukan oleh siswa.
 Menunjukkan dengan jelas di mana jawaban itu harus ditulis (hal ini menguntungkan pengajar
dalam pemeriksaan)
 Karena pemeriksaan untuk isian ini tidak memakan waktu panjang, maka setelah dikoreksi dapat
segera ditentukan mana yang salah dan mana yang benar.

d. Ujian Salah-Benar
 Diusakan agar soal-soalnya relevan. Pertanyaan/soal yang disusun hanya yang ingin diketahui
dan yang dapat menerangkan kepada pengajar bahwa siswa mengerti suatu hal.
 Soal-soal yang disusun harus nyata.
 Diusahakan agar tidak mengutib begitu saja soal-soal dari buku ajar yang dipegang siswa.
 Tidak mengajukan pertanyaaan/soal yang pengalimatannya tersusun secara negative.
 Diusahakan agar jumlah pertanyaa/soal yang jawabannya salah dan yang benar berjumlah sama
banyaknya. Selain itu diusahakan agar siswa tidak muda menebak pola penyusunan
pertanyaan/soal.

e. Ujian Pilihan Berganda


 Untuk jangka waktu pegerjaan seluruh pertanyaan/soal selama dua sampai dua setengah jam
pelajaran dapat disajikan empat puluh sampai dengan enam puluh pertanyaan/soal.
 Pada permulaan ujian pengajar perlu menjelaskan kepada siswa (sebagai petunjuk) tentang cara
menandai pilihan. Dan ditegaskan bahwa menandai lebih dari satu pilihan dianggap salah.

117
 Agar hasil pemeriksaan dapat diketahui secara cepat sebaiknya membuat daftar kolektif nama-
nama siswa lengkap dengan pilihannya. Sehingga pemeriksaan kembali tinggal melihat daftar
kolektif tersebut.
 Sesegera mungkin setelah pengoreksian selesai hasil ujian siswa diumuman. Pengaruh atau
kegunaan hasil ujian dalam memotivasi belajarnya siswa akan menjadi lemah dan Siswa kurang
termotivasi untuk meneliti apakah yang mereka kerjakan itu baik, salah ataupun benar bila
pengumuman hasil ujian tertunda-tunda pelaksanaannya.
 Mengusahakan agar pertanyaan/soal yang disusun mengukur hal yang akan diukur, relevan dan
representative.
 Pertanyaan/soal hendaknya dirumuskan secara sederhana dan tidak menampilkan kalimat ikat
atau negative.
 Mengusahakan agar pilihan yang disediakan pengalimatannya tidak terlalu panjang dan tidak
berupa certera panjang.
 Diusahakan agar hanya ada satu [pilihan yang benar atau yang paling tepat.
 Suatu soal harus khas sehingga hanya siswa yang mengerti bahan ajar saja yang dapat
menemukan pilihan yang benar dan yang paling tepat.
 Mengusahakan agar pilihan yang disediakan tidak saling menutupi dan harus saling
memisahkan.
 Diusahakan agar pilihan-pilihan yang tersedia sama nilainya dan kemungkinn benar setiap pilhan
harus sama.
 Kalaupun terpaksa terdapat kalimat ingkat hendaknya kalimat tersebut digarisbawahi.
 Susunan empat pilihan baik tetapi bukan satu-satuya kemungkinan dan bukan keharusan. Jika
tidak mungkin menemukan pilahan dengan jumlah empat, pilihan keempat dapat berupa”
semuanya benar” atau “tidak ada pilihan yang benar”.
 Tingkat kesulitan pertanyaan/soal dapat dpertinggi dengan menerapkan bebeapa perubahan.
 Mengusahakan sejumlah pertanyaa/soal yang meliputi seluruh bahan ajar.
 Mengusahakan agar setiap pertanyaan/soal terlepas satu sama lain, satu soal jangan sampai
mempermuda soal lain atau satu soal menjadi bagian dari jawaban soal lain.
 Mengusahakan agar pola setiap pilihan tidak sama dan mudah diterka. Pilihan yang benar dan
paling tepat tidak terletak pada tempat yang sama untuk setiap pertanyaan/soal atau untuk
sejumlah pertanyaan.

118
f. Ujian Menjodohkan
 Ketentuan-ketentuan yang dikemukakan pada alat-alat penilaian (alat ujian) terbuka sedikit-
banyak juga berlaku pada alat penilaian tertutup seperti ketentuan umum relevansi, validitas,
representative, waktu, dll. Ketentuan-ketentuan penyusunan pertanyaan/soal sebagaimana
yang dikemukakan pada alat penilaian “salah-benar” dan “pilihan berganda” juga sama berlaku
pada alat penilaian menjodohkan.
 Diusahakan agar setiap pertanyaan/soal pada alat ujian menjodohkan seluruhnya mungkin.

3. PENENTUAN BOBOT SETIAP PERTANYAAN/SOAL


Dalam kaitannya dengan penilaian kelas, hal yang penting lainnya yang perlu dilaksanakan oleh
pengajar/guru suatu mata pelajaran di kelas adalah penentuan bobot setiap pertanyaan/soal yang
disusun. Dalam menyusun pertanyaan/soal-soal ujian, selain menentukan jenis-jenis soal yang sesuai
dengan indicator (standard kompetensi dan kompetensi dasar) serta tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai, tidak kalah penting adalah penentuan seberapa besar jumlah bobot yang harus dicapai oleh
siswa. Karena itu, hendaknya pegajar/guru terlebih dahulu harus menentukan bobot setiap
pertanyaan/soal sebelum ujian tersebut dilangsungkan. Dengan demikian, boleh dibayangkan bahwa
prestasi siswa atas kompetensi suatu mata pelajaran yang diajarkan di kelas benar-benar akan dapat
dinilai. Berkaitan dengan penentuan bobot tersebut, uraian selanjutnya adalah cara kerja yang perlu
diusahakan oleh pengajar/guru dalam menentukan bobot pada setiap pertanyaan/soal, sbb.

 Bobot untuk keseluruhan pertanyaan hendaknya “100” agar muda dalam penentuan angka.
 Pertanyaan/soal yang tingkat kesulitannya tinggi diberi bobot lebih dari soal yang rendah tingkat
kesulitannya. Walaupun demikian, jangan terlalu tinggi ember bobot pada satu/beberapa soal agar
prestasi siswa tidak hanya ditentukan oleh beberapa pertayaan/soal tersebut.
 Sebelum ujian dilangsungkan sebaiknya pengajar menjelaskan system pembobotan setiap soal
kepada siswa agar siswa dapat membagi waktu dan dapat mengatur bagaimana menjawab soal yang
disedikan. Dengan demikian, siswa tidak akan berlama-lama dalam sala satu pertanayaan yang
bobotnya rendah.
 Sesudah ujian berlangsung pengajar harus menilai berapa dari bobot yang ditentukan untuk setiap
pertanyaan/soal dapat dicapai oleh siswa atau berapa siswa yang dapat menyelesaikan soal-soal

119
yang disedikan dapat mencapai bobot yang telah ditentukan. Tanpa mengurangi ketepatan jawaban
terhadap patokan yang telah ditentukan perlu dipertimbangkan juga siswa yang hasil kerjanya jelek
tetapi menulis rapih bekerja sesuai ketentuan pengajar selama ujian berlangsung.

4. PENGELOLAAN HASIL PENILAIAN


Tersusunnya pertanyaan/soal ujian dengan bobotnya , pekerjaan pengajar/guru berkaitan dengan
penilaian belum selesai. Setelah soal-soal dikerjakan dan hasilnya sudah ada, pengajar perlu mengolah
lagi hasil tersebut untuk memperoleh hasil akhir dari proses penilaian. Hal-hal berkaitan dengan
pengolahan hasil penilaian tersebut, sbb.

a. Pengolahan Hasil Penilaian: Data-data Penilaian menyangkut


 Penilaian Unjuk kerja : Keseluruhan skor yang terkumpul yang diperoleh melalui pengamatan
atas penampilan siswa berkaitan dengan kompetensi tertentu. Skor tersebut diperoleh melalui
isian format penilaian unjuk kerja yang dapat berupa daftar cek atau skala penlaian.
 Penilaian Sikap: Data penilaian berhubungan dengan sikap diperoleh melalui catatan harian
peserta didik berdasarkan pengamatan atau observasi pengajar mata pelajaran agama katolik,
yaitu kejadian-kejadian yang menonjol yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan unjuk kerja
dalam semester untuk pelajaran agama katolik. Kejadian yang menonjol maksudnya adalah
kejadian yang perlu mendapatkan perhatian atau perlu diberi peringatkan dan perli dihargai
dalam rangka pembinaan siswa. Data-data tersebut dapat dilengkapi dengan hasil penilaian
berdasarkan pertanyaan langsung dan laporan pribadi. Pada akhir semester pengajar perlu
merumuskan sistesis berkaitan dengan mata pelajaran agama katolik,sebagai deskripsi dari
sikap, perilaku dan unjuk kerja siswa dalam semester tersebut. Deskripsi tersebut merupakan
bahan atau pernyataan untuk diisi dalam kolom sebagai catatan pengajar pada buku laporan
nilai (Rapor) semester siswa atas pelajaran agama katolik . Berdasarkan catatan lain yang diimiki,
pengajar dapat juga memberikan masukan, masukan mana dapat merupakan bimbingan,
peringatan, atau rekomendasi terttentu berkaitan dengan pelajaran agama katolik. Masukan
tersebut, yang dirumuskan dalam bentuk naratif, sebagai bahan bagi wali kelas dalam mengisi
kolom deskripasi perilaku dalam buku laporan nilai. Bahan masukan pengajar tersebut

120
merupakan gambaan sikap atau tingkat penguasaan siswa berkaitan dengan pelajaran agama
katolik yang diajarkan. Tertulis:
 Penilaian Tertulis: Data penilaian tertulis ialah skor yang diperoleh siswa dari hasil berbagai
bentuk ujian tertulis yang diikuti, baik ujian terbuka maupun ujian tertutup, seperti pilihan-
ganda, benar-salah, menjodohkan esei, dst. Berhubungan dengan penentuan dan penghitungan
skor selengkapnya dapat dibaca pada uraian tentang “pembobotan setiap pertanyaan/soal”.
 Penilaian Proyek: Data penlaiain proyek meliputi skor yang diperoleh dari keseluruhan tahap:
perencanan/persiapan, pengumpulan data, penglahan data, dan penyajian data/laporan.Dalam
menilai setiap tahap pengajar dapat menggunakan skor yng terentang dari 1 s/d 4. Untuk setiap
tahap skor 1 terendah dan skor 4 tertinggi. Sehingga skor terendah untuk keseluruhan tahap
adalah 4 dan tertinggi adalah 16.
 Penilaian Portopolio: Data portopolio siswa dari keseluruhan informasi yang telah dilakukan
siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Komponen-komponen oenilaian portopolio
yang dimaksudkan adalah catatan pengajar, hasil pekerjaan siswa, profil perkembangan siswa.
 Penilaian diri: Data penilaian diri adalah keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penilaian
tentang kemampuan, kecakapan, atau penguasaan kompetensi tertentu, yang dilakukan siswa
sendiri sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

b. Interpretasi Hasil Penilaian


 Kriteria ketuntasan belajar setiap indikator suatu kompetensi dasar ditetapkan antara 0 % s/d
100 %. Kriteria ideal untuk masing-masing indikator tidak kurang dari 60 %. Sesuai dengan
kondisi ataupun tingkat kemampuan akademis siswa, atau sesuai dengan ketersediaan sarana
dan staf pengajar yang berkompeten pada Intitusi/lembaga atau sekolah, maka kriteria ataupun
tingkat pencapaian indikator dapat ditentukan lain, msl. Tidak kurang dari 50 % atau 70 %.
 Apabilah nilai siswa untuk indikator pencapaian sama atau lebih besar dari kriteria ketuntasan,
maka dapat dikatakan bahwa siswa telah menuntaskan indikator tersebut.
 Jika semua indikator telah tuntas bisa dikatakan siswa telah menguasai kompetensi dasar
bersangkutan. Dengan demikian, siswa dapat diinterpretasikan telah menguasai standard
kompetensi mata pelajaran.
 Jika jumlah indikator dari suatu kompetensi dasar yang telah tuntas lebih besar dari batas
kriteria terendah (msl. 50 %) yang ditetapkan maka siswa dapat mempelajari kompetensi dasar

121
berikutnya dengan mengikuti remedial untuk indikator yang belum tuntas. Sebaliknya, jjika nilai
indikator dari suatu kompetensi dasar lebih kecil dari batas terendah dari kriteria ketuntasan
yang telah ditetapkan dapat dikatakan siswa belum menuntaskan indikator tersebut.
 Jika jumlah indikator dari suatu kompetensi dasar yang belum tuntas sama atau kurang dari
batas kriteria terendah (msl. 50 %), maka siswa belum dapat mempelajari kompetensi dasar
berikutnya.

122

Anda mungkin juga menyukai