Anda di halaman 1dari 20

KATEKESE

Doktriner dan Kebermaknaan

KOMKAT KAM
Catholic Certer
MEDAN

1
DIKLAT

KATEKESE

Doktriner dan Kebermaknaan

RP.Octavianus Situngkir, OFM Cap


Komkat KAM, Catholic Center
MEDAN

2
KATEKESE
Doktriner dan Kebermaknaan
Pengantar
Katekese menghantar umat kepada iman yang dewasa.
Penyelenggaraan katekese merupakan tugas Gereja yang dimanatkan
oleh Yesus Kristus kepada para murid-Nya yakni menjadikan semua
bangsa jadi murid-Nya dan mengajar mereka untuk mematuhi segala
yang dipetintahkan-Nya (bdk Mt 28:19-20). Melalui ketekese yang benar
dan berkelanjutan, umat beriman akan mendapat pemahaman ajaran dan
penghayatan iman yang lebih hidup dan mendalam. Catechese Tradende
(Berkatekese) mengartikan “katekese” adalah pendidikan anak-anak,
orang muda dan orang dewasa dalam iman. Dengan ini katekese
mancakup pengajaran iman gerejani pada umumnya yang diberikan
secara sistematik, dengan tujuan untuk mengantar para pendengar masuk
ke dalam kepenuhan hidup kristen. Katekese juga menghantar umat pada
penghayatan iman sehingga iman itu sungguh memberi arti dalam
kehidupan. Maka dalam berkatekese itu ada unsur doktriner tetapi juga
pemaknaan.

Katekese dalam kenyataannya mengalami perkembangan


dari zaman ke zaman. Pada zaman dan tempat tertentu, katekese
memiliki kekhususan serta tekanan tertentu pula. Walaupun
demikian, sejak Gereja perdana hingga sekarang, lingkup pokok
karya katekese adalah tetap yakni dalam pelayanan Sabda Gereja
(Pewartaan = Kerygma). Pokok pewartaannya juga tetap yaitu
karya keselamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus Kristus,
yang puncaknya terlaksana dalam wafat dan Kebangkitan Kristus
pula.
Para Wali Gereja Indonesia dalam pesan pastoral melihat
ada dua kecendrungan yang ada dalam sejarah katekese Indonesia.
Yang pertama lebih memperhatikan aspek doktrinal. Yang kedua
3
lebih peduli dengan “kebermaknaan” yaitu tanggapan iman atas
hidup sehari-hari. Menurut para Wali Gereja dua-duanya belum
memenuhi harapan. Bahkan ditengarai bahwa itulah yang menjadi
sebab mengapa banyak orang muda lebih tertarik dengan gereja-
gereja lain. Para Wali Gereja menantang para katekis untuk
“bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model
katekese yang bermutu dan menanggapi harapan”.

KATEKESE DOKTRINER
Katekese dipahami untuk menyampaikan ajaran iman agar
dipahami dan dihayati. Dalam sejarah pernah dikenal dengan
Katekese doktriner yang menekankan penerusan isi ajaran iman.
Paham ini muncul sangat kuat setelah Konsili Trente. Corak
doktriner katekese ditekankan sebagai reaksi atas protestanstisme
dan berkembangnya paham relativisme di zaman modern. Pada
tahun 1566 terbit Katekismus Roma yang merupakan buku
pegangan dalam kegiatan katekese. Pola katekismus menekankan
perhatian terhadap penerusan ajaran yang diterima Gereja dari para
Rasul.

Dalam pola ini orang kristen dituntut untuk memiliki


pengetahuan yang luas dan mendalam tentang pokok-pokok ajaran
yang telah diwahyukan Allah. Sinode XIII para uskup, tahun 2012
di Roma dengan tema Evangelisasi Baru untuk Penerusan Iman,
kembali menekankan isi ajaran iman dalam katekese. Pengetahun
yang mendalam tentang isi ajaran dipandang sebagai jawaban
terhadap krisis relativisme dalam dunia sekarang ini (Sinodo dei
Vescovi XIII Assemblea Generale Ordinaria, 2012).

Pertanyaannya, apakah dengan mengetahui isi ajaran orang


bisa beriman matang dan mendalam? Penekanan pada isi ajaran
dalam katekese umumnya mengacu pada aspek fides que iman,
yakni “apa yang diakui”. Berkaitan dengan hal tersebut, Paus
Fransiskus dalam Ensiklik Lumen Fidei berkata:
4
“Manusia membutuhkan pengetahuan, membutuhkan
kebenaran, karena tanpanya dia tidak nyaman dan tidak
dapat berkembang. Iman tanpa kebenaran tidak
menyelamatkan, tidak memberi kepastian kepada ziarah
hidup manusia. Iman itu hanya akan menjadi dongeng yang
indah, projeksi dari keinginan kita tentang kesenangan,
sesuatu yang memberikan ketenangan palsu. Di sini iman
bisa direduksi menjadi sekedar perasaan indah yang
menghibur dan menghangatkan, namun hanya sebentar
dan terbatas dalam gerak waktu, tidak bertahan dan tidak
mampu berkanjang dalam seluruh ziarah hidup manusia”
(LF 24).
Penegasan Paus di atas menunjukkan pentingnya
pengetahuan tentang objek iman. Sikap iman membutuhkan
pengetahuan tentang isi dari objek iman, sebab jika tidak maka
akan jatuh dalam kehampaan. Pengetahuan yang mendalam pasti
menyokong sikap iman yang lebih teguh, iman yang berkobar-
kobar.
Tetapi apakah isi objek iman hanya berkaitan dengan
rumusan-rumusan tentang kebenaran? Berkenaan dengan objek
atau isi iman kristen, penting sekali ditelaah tiga istilah yang
disampaikan St. Agustinus: credere Deo, credere Deum, dan
credere in Deum.
Mengacu kepada istilah Agustinus tersebut, St. Thomas Aquinas
menegaskan bahwa iman dari segi intelektual memiliki objek
formal:
- credere Deum yakni pribadi Allah sendiri, dan objek
material
- credere Deo yakni apa yang dikatakan-Nya dalam
pewahyuan diri-NYa. Dari segi kehendak yang
menggerakkan akal budi, terungkap tujuan iman
- credere in Deum, yakni bersekutu dengan Tuhan dalam
cinta (Summa Teologia II-II)
5
Objek formal iman bukanlah rumusan kebenaran absrak
melainkan misteri Allah Tritunggal. Dalam hal ini, iman mengacu
kepada penyataan diri Allah dan kemampuan manusia untuk
menerima-Nya. Manusia tidak percaya pada sesuatu tetapi pada
seseorang. Seseorang di sini adalah Allah, misteri yang tidak bisa
secara penuh dianalisis oleh akal budi, kendati demikian tidak
berarti tak dapat dikenal, karena justru di sinilah iman memediasi,
dengannya manusia dapat mencintai misteri yang memanifestasi
dirinya secara sempurna di dalam Yesus Kristus. "Dalam kebaikan
dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan diri-Nya dan
memaklumkan rahasia kehendak-Nya" (DV 2). Untuk itu Ia
mengutus PuteraNya yang terkasih, Yesus Kristus dan Roh Kudus
(KGK 50).
Objek material iman adalah Sabda Allah sebagaimana
terungkap dalam kotbah dan ajaran para pewarta Injil (Dulles,
1997: 260). Iman muncul dari pendengaran pewartaan Injil (Rm
10, 17). Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan dan
memperoleh pengetahuan akan kebenaran (1Tim 2:4). “Maka
Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang
Mahatinggi (2Kor 1:30; 3:16-4:6), memerintahkan kepada para
rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para Nabi
dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya dengan mulut-Nya
sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber
segala kebenaran yang menyelamatkan serta memberi ajaran
kesusilaan" (DV 7). Kehendak Allah itu dilaksanakan dalam dua
cara: secara lisan (disebut Tradisi) oleh para rasul dan pengganti-
penggantinya, dan kemudian secara tertulis, setelah "para rasul dan
tokoh-tokoh rasuli, atas ilham Roh Kudus juga telah membukukan
amanat keselamatan" (DV 7). Bisa dikatakan bahwa objek material
utama dari iman adalah ajaran Gereja yang tertuang dalam Kitab
Suci dan dalam tradisi Gereja.

Konsili Vatikan II melihat Kitab Suci dan Tradisi sebagai


satu kesatuan: “Jadi Tradisi suci dan Kitab Suci berhubungan erat
6
sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi
yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan
menjurus ke arah tujuan yang sama. Sebab Kitab Suci itu
pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi.
Sedangkan oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan
dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan
seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam
terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara,
menjelaskan dan menyebarkannya dengan setia. Dengan demikian
Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang
diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu
keduanya (baik Tradisi maupun Kitab suci) harus diterima dan
dihormati dengan cita-rasa kesalehan dan hormat yang sama”
(DV9).
Finalitas atau tujuan akhir iman bukan saja untuk
mengetahui melainkan untuk mencintai Allah, tinggal dalam
persekutuan kasih-Nya (credere in Deum). Percaya kepada Allah
terutama berarti percaya kepada seorang pribadi, yang mencakup
keinginan untuk mengenal-Nya lebih dalam dan masuk dalam satu
relasi yang bersifat personal. Manusia beriman merindukan Allah
dan berjalan menuju Dia. Tujuan iman pada akhirnya adalah
bertumbuh secara terus-menerus dalam penyerahan total kepada-
Nya, karena menyadari bahwa Dia sungguh-sungguh mencintai
manusia dengan menyerahkan Yesus Kristus, Putra-Nya yang
tunggal demi keselamatan dunia.
Dalam perspektif tersebut di atas, iman sesungguhnya
adalah perjalanan menuju persekutuan cinta dengan Tuhan. Maka
mengenal Tuhan bukan terutama mengetahui rumusan-rumusan
ajaran melainkan mencintai Tuhan dengan segenap hati dan Jiwa.
Katekese yang peduli dengan aspek fides qua iman, karena itu,
tidak bisa diredusir kepada penerusan rumusan-rumusan iman.
Tentu tidak berarti bahwa kebenaran rumusan tidak penting.
Rumusan tetap penting tetapi harus ditempatkan dalam bingkai
7
kebenaran tentang relasi personal Allah dan manusia yang saling
memberi diri dalam komunikasi cinta. Revelasi personal Allah
yang memanggil manusia untuk masuk dalam persekutuan dengan-
Nya membutuhkan jawaban personal manusia melalui iman.

KATEKESE “KEBERMAKNAAN”
Dalam perjalanan waktu dan sebagai tanggapan terhadap
pola doktriner dalam katekese, muncul katekese “kebermaknaan”
atau katekese antropologis pasca Konsili Vatikan II. Katekese
antropologis memberi penekanan pada aspek fides qua iman, yakni
sikap penyerahan diri manusia kepada apa yang diimaninya. Fides
qua mengacu pada dimensi subjektif iman. Dalam dimensi
subjektif-personal, iman adalah tindakan manusiawi dan ilahi
sekaligus. Manusialah yang beriman. Manusia dengan seluruh
konteks yang mengitarinya, dialah yang menerima Sabda yang
diwahyukan Allah. Dialah yang menjawab dengan pernyataan “ya”
terhadap Allah yang mewahyukan diri-Nya. Sebelum menjawab,
dia mendengar Sabda. Tindakan mendengar adalah tindakan
personal (LG 29). Dia mendengar dalam situasi tertentu dan
mendengar dengan bebas tanpa paksaan dari pihak manapun.
Tindakan mendengar itu menjadi pintu masuk bagi ketaatan iman
(Kis 13, 12; 15, 7-9). Sikap mendengar menciptakan relasi
dialogis, relasi cinta yang melibatkan seluruh aspek kepribadian
manusia: kognitif, afektif, dan operatif.
Dalam perspektif teologi, jawaban manusia terhadap sapaan
dan panggilan Allah tentu tidak pernah merupakan hasil dari
kemampuan manusiawi semata. Jawaban iman selalu merupakan
hadiah dari Allah (KGK 55). Allah selalu berinisiatif untuk datang
menjumpai manusia dan “membuka pikirannya untuk menyetujui
kebenaran Sabda Allah” (DV 5). Dapat dikatakan bahwa sikap
beriman tidak akan mungkin terjadi jika pada saat yang sama Allah
sendiri tidak hadir dalam hati manusia dan mentransformasinya
sedemikian sehingga bersedia menjawab panggilan-Nya.
8
Katekese “kebermaknaan” atau katekese antropologis
menekankan gerak personal-manusiawi iman. Dalam katekese
antropologis, pengalaman manusiawi dipandang sebagai ladang
yang harus diolah. Kebenaran Injil akan bermakna bila dia
menanggapi pengalaman personal, sosial, dan kultural penerima.
Tugas katekese dalam hal ini adalah menunjukkan bahwa Kristus
adalah tokoh model yang menjadi pola hidup kristiani. Dia adalah
pribadi yang menerangi kehidupan sampai ke dasar-dasarnya,
pribadi yang memberi makna pada kehidupan. Dalam pergumulan
keseharian untuk mencari makna hidup Yesus diyakini sebagai
penafsir rahasia, kebutuhan, dan aspirasi manusia yang paling
dalam. Bersama Kristus, hidup ini memiliki arti dan makna baik
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Proses katekese di sini,
mulai dari situasi manusia. Kondisi manusia ditafsir, dicari akar
persoalnya dan dicari jawabanya dalam terang ajaran kristiani yang
tersimpan dalam Kitab Suci dan tradisi.

Katekese Umat (PKKI I – IX)


Katekese umat disepakati oleh PKKI I-IX sebagai model
khas katekese Indonesia. Katekese umat dipahami sebagai
musyawarah iman (tinjauan antropologis), komunikasi iman
(tinjauan teologis), dan analisis sosial dalam terang Kitab Suci
(tinjauan sosiologis) (Lalu, 2007: 85-92). Katekese umat
menekankan musyawarah, analisis sosial bersama, dan sharing
pengalaman iman untuk menyelesaikan masalah konkrit sehari-
hari. Yang sangat penting dalam katekese umat adalah partisipasi
aktif peserta. Pendamping hanya berperan sebagai fasilitator.
Katekese ini sejak awal disebut sebagai katekese dari umat, oleh
umat, dan untuk umat (Komkat KWI, 1979: 1).
Yang menjadi aspirasi dalam katekese umat adalah
pengalaman iman akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang
bersabda kepada manusia dan pengantara manusia dalam
9
menanggapi Sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup
dalam Kitab Suci khususnya Perjanjian Baru, yang mendasari
penghayatan iman Gereja sepanjang tradisinya. Jelas, yang
berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman, yang secara
pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk lebih
memahami Kristus. Kristus menjadi pola hidup pribadi dan pola
kehidupan kelompok dalam keseharian. Penekanan peranan umat
pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada pengertian
Gereja itu sendiri (Komkat KWI, 1984: 6-7).
Tujuan katekese umat adalah sebagai berikut: supaya dalam
terang Injil umat semakin meresapi arti pengalaman-
pengalamannya sehari-hari; dan mereka bertobat (metanoia)
kepada Allah dan semakin menyadari kehadiranNya dalam
kenyataan hidup sehari-hari; dengan demikian mereka semakin
sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan makin
dikukuhkan hidup kristianinya; mereka makin bersatu dalam
Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja
setempat dan mengokohkan Gereja semesta; sehingga mereka
sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidupnya
sehari-hari di tengah masyarakat (Komkat KWI, 1984: 1-3).
Katekese umat berlangsung dalam KBG-KBG baik yang
teritorial maupun kategorial (Komkat KWI, 2002: 40-80).
Prosesnya mengikuti tiga tahap penting yakni melihat situasi,
menimbangnya dalam terang Kitab Suci, dan memutuskan pilihan
aksi sebagai rencana tindak lanjut (Lalu, 2007: 98-100).
Dalam tahap melihat situasi, umat bersama-sama melihat
masalah yang sedang dihadapi. Dalam kerangka ini, tema katekese
lazimnya telah ditentukan berdasarkan masalah yang terjadi di
tengah umat. Tema-tema yang pernah diangkat dalam katekese
umat misalnya: lingkungan hidup, ekonomi rumah tangga, korupsi,
pendidikan, keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, krisis
generasi muda, politik, hukum, HAM, dll. Masalah yang diangkat
sebagai tema mesti sungguh dipahami oleh peserta atau warga
10
kelompok jemaat dalam KBG-KGB. Mereka bersama-sama
membahas pokok persoalan yang mereka hadapi, sebab-
musababnya, akar masalahnya, dan akibat-akibatnya. Terkadang
untuk proses ini mereka melakukan analisis sosial yakni melihat
secara kritis hubungan antara masalah yang ada dengan jejaring
struktur sosial yang memengaruhi kehidupan bersama seperti
struktur politik, ekonomi, budaya, agama, hukum, dll. Analisis
tersebut diperlukan agar umat terdorong untuk mendengarkan
Allah yang bersabda di tengah kehidupan mereka sehari-hari dan
untuk menyadarkan mereka untuk menghayati iman yang terlibat
dalam masyarakat (Lalu, 2007: 107-109).
Pada tahap menimbang dalam terang Kitab Suci, umat
menimba inspirasi dari Kitab Suci dan tradisi Gereja. Gereja
meyakini bahwa Allah bersabda secara sempurna dan definitif
dalam dan melalui Putera-Nya, Yesus Kristus, Sabda yang
menjelma (DV. 4). Peristiwa Yesus Kristus direkam oleh murid-
murid-Nya yang pertama, diwartakan dengan ajaran dan kesaksian
hidup mereka, dan diungkapkan secara tertulis dalam Kitab Suci
serta terpelihara dalam tradisi Gereja (DV. 7-10). Kitab Suci yang
merupakan ungkapan tertulis Sabda Allah mempunyai peranan
penting dalam katekese umat. Melalui pendalaman Kitab Suci
umat diajak untuk mendengarkan Allah, yang hic et nunc (di sini
dan sekarang) bersabda kepada mereka di tengah masalah yang
dihadapi masyarakatnya, agar Sabda Allah sungguh menggema
dalam hati sanubari umat. Umat perlu diajak dan diberi
kesempatan serta waktu untuk sungguh-sungguh mendengarkan
dan merenungkan Sabda Allah tersebut.
Dalam tahap ini diharapkan umat dapat menemukan dan
memahami kepedulian Allah terhadap masalah-masalah yang
dihadapi oleh masyarakatnya. Dengan kata lain inspirasi dari
Sabda Allah diharapkan membantu mereka untuk mengerti serta
meresapkan pandangan dan sikap Allah atas peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam masyarakatnya. Mereka dapat menyadari apa
11
artinya keselamatan hic et nunc bagi masyarakatnya dan apa yang
perlu mereka perbuat agar keselamatan tersebut sungguh terjadi di
tengah persoalan hidup yang mereka hadapi (Lalu, 2007: 99-100).
Dalam tahap rencana tindak lanjut, peserta menjadi lebih
sadar akan tanggungjawabnya untuk memperbaiki keadaan.
Inspirasi dari kebajikan tradisi kristen bisa saja memberanikan
mereka untuk terlibat secara meyakinkan dalam menyelesaikan
masalah konkrit yang mereka hadapi. Inspirasi yang sama bisa
membantu mereka untuk membuat rencana-rencana tindak lanjut
yang harus diwujudkan dalam aksi nyata. Aksi yang dimaksud
tentu saja sudah di luar pertemuan katekese umat, namun
merupakan implementasi dari katekese tersebut.
Dengan karakteristik sebagaimana dijelaskan di atas, jelas
sekali katekese umat termasuk katekese “kebermaknaan”. Katekese
umat peduli dengan konteks manusia dan pengalaman manusia.
Dalam proses katekese umat, persoalan-persoalan keseharian
direfleksikan dalam terang Kitab Suci. Yesus dipandang sebagi
pola hidup kristiani. Orang harus memamahi pesan sabda Allah
untuk konteks kesehariannya , dengan demikian mereka dapat
bertobat dan mengatasi persoalan dengan tindakan nyata.
Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat hal-hal positip yang
ada dalam katekese umat. Pertama, dari segi isi, katekese umat
selalu berangkat dari persoalan konkrit. Tema-temanya selalu
berkaitan dengan masalah hidup jemaat. Yang dibicarakan dalam
katekese umat selama ini bukanlah tema-tema doktriner ajaran
Gereja. Umat tidak menggumuli tema-tema Katekismus yang
seringkali terasa jauh dari kehidupan konkrit, namun tema-tema
aktual yang ril mereka alami.
Kedua, yang berktekese dalam katekese umat benar-benar
umat. Mereka secara bersama-sama membahas aspirasi mereka
dalam kehidupan beriman. Katekese tidak bersifat satu arah dari
katekis ke umat melainkan multi arah, dari umat ke umat, umat ke
12
katekis, dan katekis ke umat. Peran katekis hanya sebagai
fasilitator yang mempermudah lalu lintas pembicaraan dan bukan
corong Gereja untuk menginformasikan dan mensosialisasikan
program-program Gereja. Keputusan akhir desepakati oleh semua
peserta, dan bukannya secara sepihak ditentukan oleh fasilitator.
Ketiga, katekese umat selalu dilanjutkan dengan rencana
aksi. Masalah yang diangkat dalam pertemuan mesti diselesaikan.
Penyelesaian selalu berimplikasi pada tindakan konkrit yang harus
dilaksanakan. Dengan aksi konkrit, iman tidak hanya berkaitan
dengan hal batiniah melainkan nyata dalam perbuatan. “Iman tanpa
perbuatan pada hakekatnya mati”. Iman sejati adalah iman yang
terwujud dalam aksi. Iman serentak berdimensi kognitif, afektif
dan operatif.

Katekese Dalam Sejarah Gereja


Katekese sebagai pengajaran dan pewartaan iman telah ada
sejak dahulu. Umat dituntun untuk memahami ajaran iman secara
benar sejak dahulu dan sekarang dengan adanya katekese.

Katekese Dalam Zaman Kitab Suci


Katekese yang dimaksud pada jaman ini adalah pewartaan
Sabda Tuhan dan ketaatan melakukan perintah Tuhan.

Masa Perjanjian Lama


Katekese pertama adalah Allah menyatakan diri-Nya. Allah
menciptakan manusia yang memiliki kemampuan untuk
memahami-Nya. Allah memilih Abraham yang dikenal Bapa orang
beriman, Yakob dan Isai nenek moyang bangsa terpilih yaitu umat
Israel. Di tengah-tengah Israel, Allah memilih dan menghunjuk
nabi-nabi untuk memberi pengajaran dan mewartakan Sabda
Tuhan kepada bangsa terpilih. Sejak Musa hingga Yohanes
Pembaptis katekese disampaikan oleh orang pilihan Tuhan.

13
Katekese yang lebih dipahami pada jaman ini adalah Sabda
Allah yakni Kitab Suci yang memuat berita penciptaan dan
penyelamatan manusia dari pihak Allah. Katekese menjadi upaya
untuk mengenal Allah dan memahami kehendak Allah agar
menaati dan setia melaksanakan perintah Tuhan.

Masa Perjanjian Baru


Katekese pada masa ini adalah berita penyelamatan umat
manusia dari pihak Allah yang memuncak dalam diri Yesus
Kristus. Dalam diri Yesus, maklumat diri Allah dikonkritkan dan
rencana penyelamatan direalisasikan. “Barang siapa melihat Aku
melihat Bapa; barang siapa percaya kepada-Ku akan
diselamatkan”. Sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus adalah
peristiwa definitif penyelamatan manusia menuju pertemuan abadi
dengan Allah Tritunggal.
Dengan demikian katekese bertugas menghadirkan Sabda
Allah, agar manusia bertemu secara pribadi dengan Kristus.
Katekese terutama adalah pewartaan diri Kristus. Yesus Kristus
dalam kepenuhan pribadi-Nya adalah pusat yang tidak dapat
dibantah dalam katekese. Itulah sebabnya katekese haruslah
bersifat kristosentris. Seorang pewarta atau katekis atau petugas
pastoral pada umumnya perlu menyadari sungguh-sungguh ahwa
yang mereka wartakan kepada umat adalah Kristus, sementara
mereka adalah alat di tangan Kristus agar tercipta pertemuan
pribadi manusia dengan Kristus, Sang Guru Ilahi.
Yesus memang terkadang disebut juga ‘katekis’ dari sudut
ilmu katekese. Karena memang Yesus itu mengajar dan memberi
pemahaman serta penghayatan akan isi ajaran. Yesus Kristus
disebut juga model katekis yang memadukan hidup dan ajaran,
pengetahuan dan kebijaksanaan. Para rasul juga memerankan peran
katekis karena mereka dari awal pengutusan sudah diberi kuasa
mengajar. Setelah pentakosta, para rasullah yang memberi
pengajaran bagi bangsa-bangsa terutama mengajarkan peristiwa
14
kebangkitan yang mamastikan umat percaya kepada karya
penyelamatan Allah dengan perantaraan Yesus Kristus.
Abab Pertama dan Zaman Kebebasan Gereja
Pengajaran dan pewartaan menjadi kunci kehidupan jemaat.
Walau dalam situasi dikejar-kejar dan dianiaya, umat dapat
bertahan karena adanya pewartaan Sabda dan juga pengajaran
sehingga umat tidak dapat diombang-ambingkan tekanan dan
penyesatan. Umat tetap dikumpulkan dalam semangat kesatuan.
Mereka berkumpul di katakombe yaitu kuburan bawah tanah untuk
beribadat dan juga menerima penjelasan Injil maupun pengajaran
yang tepat sehingga umat satu pemahaman.
Katekese tidak pernah lepas dari hidup jemaat. Setelah Gereja
mengalami pembebasan, yaitu tahun 313 pada masa Kaisar
Konstantinus yang mengeluarkan dekrit ‘Edikta Milan’, katekese
dapat diberikan secara bebas dan terbuka.

Zaman Patristik dan Abad Pertengahan


Setelah Gereja mendapat pengakuan dari para penguasa
daerah dan kerajaan, katekese sungguh cepat berkembang baik dari
segi pewartaan maupun pengajaran. Bapa-bapa Gereja seperti
Agustinus, Ambrosius, Hironimus, dsb., menulis dan memberi
pengajaran iman. Mereka-mereka ini dikenal saksi yang kompeten
atas iman dan ajaran Gereja. Ajaran mereka ini diterima sebagai
tafsiran Wahyu Allah dan diyakini penerusan tradisi para rasul.
Pada masa ini memang dikenal dengan refleksi teologis
yang sangat mendalam dan hebat. Pendidikan dan pembinaan para
petugas gereja seperti para imam mendapat perhatian. Karena
waktu-waktu sebelumnya belum ada pembinaan dan pengajaran
yang lebih teratur. Dalam hal ini peran biara-biara yang mulai
memikirkan pembinaan teratur banyak diadopsi gereja untuk
membina para petugas pastoralnya.

15
Konsili Trente – Katekismus Gereja Katolik Paska Konsili
Vatikan II
Perkembangan katekese sangat dirasakan setelah reformasi.
Martin Luther membawa suatu refleksi serius dan disikapi Gereja
Katolik dengan sungguh-sungguh. Gereja menyadari perlu adanya
penegasan dan kejelasan ajaran. Gereja Katolik pun mengeluarkan
katekismus yang bersifat universal yaitu Katekismus Romawi dan
Katekismus Tridentina. Martin Luther pun membuat katekismus
kecil dan besar untuk pokok-pokok ajaran gerejanya. Katekismus
Tridentina merupakan model katekismus pada masa itu dan
seterusnya dengan isi ajarannya yang makin sistimatis dan
uraiannya seperti ajaran iman: sakramen, hidup moral dan doa.
Sejak reformasi rumusan ajaran makin terang, jelas dan
sistimatis. Para misionaris membuat bahan pengajaran yang
menjadi buku pegangan. Jauh sebelum keluar Katekismus Gereja
Katolik (1992) telah ada katekismus-katekismus kecil yang
memuat rumusan iman yang menjadi bahan pokok pengajaran
kepada umat.
Tahun 1992 setelah Konsili Vatikan II, keluarlah buku
Katekismus Gereja Katolik yang memuat secara lengkap ajaran
iman, dan buku ini sangat tebal. Buku ini menjadi buku acuan dan
pegangan untuk pengajaran iman Gereja Katolik.
Sehubungan dengan pengajaran iman kepada umat, di
Keuskupan Agung Medan (KAM) ini telah disusun dan dikenal
katekismus kecil dengan nama “Katekismus 100 Sungkun-
Sungkun”. Para misionaris membuat buku kecil ini sebagai bahan
dan buku pegangan katekese bagi umat terutama bagi petugas
pastoral.
“Katekismus 100 Sungkun-sungkun” dapat disebut katekismus
lokal karena disusun untuk menjawab kebutuhan umat di wilayah
ini. Katekismus ini ringkas dan rumusan-rumusan pendek tetapi
padat isinya. Penyajiannya dibuat gaya pertanyaan dan langsung
16
diikuti dengan jawaban yang tepat dan pendek. Dengan ini tentu
umat mendapat pemahaman atau pengetahuan.
“Katekismus 100 Sungkun-Sungkun” ditulis dalam bahasa
Daerah Toba. Tetapi pada tahun 2014 dalam rangka menyikapi
Ensklik Paus Benediktus IV yaitu ‘Porta Fidei’, “Katekismus 100
Sungkun-Sungkun” diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dengan judul “Katekismus 100 Pertanyaan”. Katekismus ini
sungguh memberi pengetahuan iman ajaran Gereja Katolik. Buku
kecil ini telah berjasa membangun Gereja Katolik di wilayah ini.
Gerakan katekese yang sudah berhasil dan berjalan di zaman dulu,
kiranya menjadi gerakan bersama seluruh umat, agar Gereja
Katolik semakin Katolik dan umat semakin dapat menghayati iman
kekatolikannya.

Katekese: Pokok-pokok Ajaran Gereja Katolik


Buku sederhana ini memuat pokok-pokok ajaran yang
pantas diketahui seorang umat Katolik agar makin memahami
imannya. Diberi judul “Katekese: Pokok-pokok Ajaran Gereja
Katolik” karena memang memberi pemahaman dasar untuk
mengerti Gereja dan apa saja yang diajarkan serta diarayakan
seturut tradisi Gereja Katolik. Maka uraian yang ada dalam buku
ini sungguh memberi gambaran yang memadai untuk dapat
digunakan dan dipahami oleh umat secara keseluruhan. Isi secara
doktrin dan kebermaknaannya cukup diperhatikan.

Proses Katekese:
Buku ini menggunakan metode katekese umat secara
sederhana. Buku dirancang untuk dikatekesekan oleh pengurus
Gereja yang diakui punya dedikasi tinggi untuk mengajar umat
kendati mereka tidak mengalami dan memiliki pengetahuan yang
cukup tentang pedagogi katekese seperti para frater dan alumni
Sekolah Tinggi Pastoral (STP). Walau tidak punya cukup

17
latarbelakang akademik secara formal tetapi memiliki pengalaman
dan kemauan yang kuat atas pengalaman mengikuti kursus-kursus
dan sermon-sermon yang diselenggarakan komisi dan paroki.

Struktur Pengajaran:
Judul
- tujuan
- sarana
- waktu
- metode
- catatan bagi pembimbing
- jalannya kegiatan
 Pengantar
 Pertanyaan pembuka atau brainstorming atau sejenis curah
gagasan
 Pembahasan topik: topik diuraikan selengkap mungkin dengan
pengandaikan bahwa para pengurus Gereja stasi tidak
memiliki cukup referensi. Karena itu dibuat sistimatis dan
lengkap uraiannya. Tetapi sangat baik bila didukung lagi
dengan referensi atau buku pendukung lain sehingga makin
kaya penguraian maupun ungkapan yang semakin menolong
pendengar.
 Penyimpulan
 Penutup: Doa dan lagu

Penutup
Katekese menghantar umat memahami ajaran imannya
sekaligus menghayati ajaran itu dalam praksis hidup. Katekese
dikatakan berhasil baik dalam tugasnya ketika umat memiliki
pengetahuan iman yang memadai dan juga menghayati
pengetahuan imannya. Dengan demikian katekese itu menghantar

18
umat pada kedewasaan iman. Selain itu ada hal yang harus disikapi
yaitu pelaku katekese itu. Keberhasilan katekese sangat bergantung
pada para pewarta atau fasilitator. Ke masa depan perlu dipikirkan
formasi yang baik dan terus-menerus dari para katekis, baik katekis
tertabis maupun katekis terbaptis, yang berijazah maupun yang
relawan.
Katekese umat perlu diselenggarakan dengan baik agar
umat semakin dapat berbagi pemahaman dan meneguhkan satu
sama lain. Katekese umat tetap interaktif, tidak hanya meneruskan
pesan tetapi juga menerima kekayaan rahmat dari orang lain apa
pun latar belakangnya. Gereja harus selalu mau dievangelisasi dan
akhirnya mengevangelisasi.
Selain itu katekese juga mengandaikan kerja sama dengan
bidang-bidang pastoral yang lain. Kekuatan katekese umat sering
kali datang dari aneka bidang pastoral yang lain seperti pastoral
keluarga, pastoral 19ka na ekonomi, kerawam dan politik, jpic,
19ka nada19n, dll. Katekese umat tidak bisa mengambil alih semua
peran pastoral yang lain. Katekese merupakan dimensi sabda dari
seluruh karya pastoral Gereja. Bila pastoral lain berkembang maka
katekese akan turut berkembang. Tentu 19ka nada pengaruh timbal
balik. Katekese yang berkembang memengaruhi perkembangan
karya pastoral yang lain.

RP.Octavianus Situngkir, OFMCap


Komkat KAM, Catholic Center
MEDAN

19
Komkat KAM
Catholic Center, MEDAN

20

Anda mungkin juga menyukai