Anda di halaman 1dari 24

Nama : Radier Sihombing

NPM : 21.3695.6C
Mata Kuliah : Teologi Kontemporer
Dosen : Pdt. Dr. Jordan Pakpahan

LAPORAN BUKU
Judul Buku : Anselm: Fides Quaerens Intellectum – Anselm’s Proof of the Existence of
God in the Context of his Theological Scheme
Penulis Buku : Karl Bath
Penerbit : London: SCM Press, 1960
Jumlah Halaman : 173 halaman
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam dunia pemikiran teologis, karya Anselm yang terkenal, “Fides Quaerens Intellectum,” atau “Iman yang
Mencari Pemahaman,” menonjol sebagai salah satu pijakan penting dalam upaya memahami keberadaan
Tuhan. Dalam konteks karya tersebut, Karl Barth, seorang teolog dan pemikir yang berpengaruh, menawarkan
sebuah analisis mendalam tentang bukti keberadaan Tuhan yang dirumuskan oleh Anselm. Dalam tulisannya
yang membingkai kembali pemikiran Anselm, Barth mengajak kita untuk menyelami esensi dari argumen
filosofis ini dalam kerangka skema teologis Anselm.
Anselmus, seorang teolog abad pertengahan yang terkenal, memadukan akal budi dan iman dalam upayanya
membuktikan eksistensi Tuhan. Dia menghadirkan suatu pendekatan yang menantang intelektualitas pembaca,
mengajak mereka untuk mengikuti perjalanan kompleks pemikirannya yang mengaitkan keyakinan agama
Kristen dengan logika rasional. Barth, dalam karya analitisnya, tidak hanya menguraikan argumen Anselm,
tetapi juga membawa kita ke dalam pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana teologi Kristen
menghadapi konsep keberadaan Tuhan.
Dalam buku Barth, kita akan menjelajahi aspek-aspek tersembunyi dan relevansi argumen Anselmus dalam
konteks teologis yang lebih luas. Analisis Barth memberikan landasan yang kuat untuk menafsir ulang dan
memahami warisan intelektual Anselm, serta menyoroti pentingnya pemikiran ini dalam pembentukan
landasan teologis Kristen. Tulisan ini tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang hubungan yang
kompleks antara iman dan akal budi, tetapi juga memberikan wawasan yang lebih dalam tentang cara pandang
teologi Kristen terhadap keberadaan Tuhan. Dengan mengeksplorasi interpretasi Barth terhadap pemikiran
Anselm, kita dapat melihat bagaimana argumen-argumen filosofis dapat diintegrasikan ke dalam kerangka
teologis Kristen, memperkaya pandangan kita tentang esensi dan arti dari keberadaan Tuhan dalam konteks
kehidupan manusia dan iman Kristen.

1
BAB II
RINGKASAN BUKU (PER BAB)
I. SKEMA TEOLOGI
1. PERLUNYA TEOLOGI
Anselmus, seorang tokoh teolog abad pertengahan, menyampaikan pandangannya tentang kecerdasan dan
kebutuhan dalam konteks iman. Bagi Anselmus, kecerdasan bukan hanya tentang membuktikan keberadaan
Tuhan, tetapi juga tentang kegembiraan dan keindahan iman. Hal ini sering diabaikan dalam penafsiran karya
Anselmus. Tujuannya bukan sekadar membuktikan keberadaan Tuhan, melainkan memperoleh pengetahuan
tentang-Nya melalui iman. Perhatian utama Anselmus adalah pada teologi dan kecerdasan intelektual yang
diinginkan oleh iman. Bagi Anselmus, iman adalah yang diinginkan, dan pengetahuan tentang Tuhan adalah
konsekuensi alami dari iman itu sendiri. Iman tidak hanya merupakan perjuangan kehendak manusia terhadap
Tuhan, tetapi juga perjuangan untuk mencapai pengetahuan tentang-Nya. Iman memanggil seseorang untuk
pengetahuan. Anselmus menganggap Tuhan sebagai sumber segala kebenaran. Iman pada Tuhan juga
membutuhkan pengetahuan tentang-Nya. Iman, menurut Anselmus, merupakan gerakan kemauan yang
membawa kita pada pengetahuan tentang Tuhan. Ini melibatkan pemilihan antara yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang jahat, yang merupakan dasar dari pengetahuan. Dalam antropologi Anselmus, manusia
tidak dapat memiliki iman tanpa pengalaman kasih karunia dan penerimaan Firman Tuhan. Namun, dengan
iman, manusia mampu mengingat, mengenal, dan mencintai Tuhan. Anselmus menempatkan pengetahuan
sebagai langkah menuju penglihatan surgawi. Pengetahuan adalah tahap antara iman dan penglihatan, dan
melibatkan keserupaan dengan Tuhan. Bagi Anselmus, iman dan pengetahuan berjalan beriringan. Iman
memanggil kita untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan pengetahuan ini adalah landasan bagi
iman. Pandangan ini mengungkapkan pemikiran Anselmus tentang hubungan antara iman, kecerdasan, dan
pengetahuan tentang Tuhan, serta bagaimana elemen-elemen ini saling berhubungan dalam pemikirannya.
2. KEMUNGKINAN TEOLOGI
Anselmus menekankan bahwa iman kepada Tuhan dan ajaran Kristen adalah tindakan yang benar dari
kehendak dan ketaatan, bukan sesuatu yang tidak rasional atau irasional. Iman ini tidak hanya muncul dari
pendengaran, tetapi juga dari pemberitaan yang terkait dengan “Firman Kristus” yang diungkapkan melalui
kata-kata manusia tertentu. Baginya, otoritas Kitab Suci dan Tradisi Gereja sangatlah penting. Ini mencakup
doktrin-doktrin yang dinyatakan dalam simbol-simbol Gereja awal dan tulisan-tulisan para Bapa Gereja,
terutama Santo Augustinus. Gereja bagi Anselmus adalah norma untuk penafsiran Kitab Suci. Anselmus
melihat hubungan antara iman (kredo) dan pengetahuan (intelligere) sebagai proses yang berkelanjutan. Iman
bukan hanya tentang kesadaran akan pengertian tertentu, tetapi juga tentang persetujuan terhadap kebenaran
yang diberitakan, khususnya dalam konteks penerimaan Kristus sebagai Kebenaran. Teologi, menurut
Anselmus, adalah tugas yang layak dilakukan karena terdapat kesamaan ganda antara kredo dan intelligere.
Teologi merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan kebenaran iman dengan akal sehat, tanpa
mengabaikan otoritas gerejawi. Kredo objektif membentuk dasar bagi ilmu teologi, mengakui kesenjangan

2
antara kesadaran akan kebenaran dan persetujuan terhadapnya. Hal ini memungkinkan kerendahan hati umat
Kristiani di hadapan kebenaran ilahi, yang merupakan bagian dari wahyu Allah yang sejati.
3. KONDISI TEOLOGI
Anselmus memaparkan pemikirannya tentang hubungan antara teologi, iman, dan intelligere (pemahaman)
dengan beberapa poin penting yang sangat relevan bagi praktik teologi. Pertama, Anselmus menegaskan
bahwa ilmu teologi, sebagai ilmu Kredo, memiliki sifat positif. Artinya, pengetahuan teologis tidak boleh
bertentangan dengan Kredo Gereja, melainkan bertujuan untuk memperluas dan menjelaskan penerimaan
Kredo yang ada dalam iman. Namun, Anselmus juga menyoroti pentingnya memahami bahwa pertanyaan
tentang realitas iman Kristen memiliki batasannya sendiri. Jika dilewati, teologi bisa kehilangan esensinya dan
berubah menjadi “a-teologi”. Meskipun pernyataan teologis harus mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, Anselmus
menekankan bahwa keterbatasan manusia tetap memengaruhi pernyataan tersebut. Namun, ia juga mengakui
kemungkinan kemajuan dalam ilmu pengetahuan teologi, yang didorong oleh rahmat Tuhan, meskipun tidak
boleh mengabaikan ajaran yang telah ada. Anselmus menyoroti pentingnya doa dalam proses intelligere, yang
bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan, tetapi juga tentang mendapatkan pengalaman yang mendalam
dari Tuhan. Baginya, kriteria utama bagi pernyataan teologis adalah kesesuaian dengan Kitab Suci. Namun, ia
juga menekankan bahwa pemahaman yang benar tidak hanya bergantung pada usaha manusia, tetapi juga pada
rahmat Tuhan. Dengan demikian, Anselmus menegaskan bahwa menjaga keseimbangan antara pengetahuan
ilmiah dan kepercayaan iman sangat penting dalam praktik teologi. Dia mengajak untuk memahami bahwa
kesempurnaan dalam pemahaman kita hanya mungkin melalui rahmat Tuhan yang diberikan kepada kita
melalui doa dan dedikasi yang tulus.
4. CARA TEOLOGI
Penjelasan ini menggambarkan pandangan Anselmus tentang bagaimana manusia memahami kebenaran
dalam konteks teologi. Intinya, Anselmus menekankan pentingnya pemahaman yang mendalam melalui
refleksi dan doa, yang merupakan gabungan antara kepercayaan dan intelektualitas. Anselmus mengartikan
“Intelligere" sebagai lebih dari sekadar membaca atau mengetahui. Bagi Anselmus, itu mencakup pemahaman
yang mendalam dan refleksi yang memungkinkan individu untuk memahami kebenaran sebagai kebenaran.
Ini menunjukkan bahwa dalam proses memahami kebenaran, refleksi dan pemikiran yang mendalam sangat
penting. Dia juga menegaskan hubungan antara kepercayaan (Credere) dan pemahaman sejati (Intelligere).
Meskipun keduanya harus dibedakan, mereka tetap saling terkait. Intelektualitas yang mendalam harus dicari
melalui doa dan penggunaan kekuatan intelektual secara terus-menerus, menunjukkan bahwa proses
pemahaman kebenaran memerlukan usaha yang berkelanjutan. Pentingnya Kitab Suci dan Kredo dalam
memahami kebenaran ditonjolkan oleh Anselmus. Dia juga mengakui bahwa pemahaman yang mendalam
memerlukan upaya khusus dan rahmat khusus, menunjukkan bahwa pemahaman kebenaran tidak selalu
mudah diakses dan memerlukan bantuan ilahi. Peran rasio dalam pemahaman kebenaran bukan hanya alat
untuk mencapai pemahaman, tetapi juga memiliki dimensi objektif yang terkait dengan kebenaran itu sendiri.
Ini menunjukkan bahwa rasionalitas manusia berperan penting dalam memahami kebenaran. Anselmus

3
membedakan antara rasio manusia yang terbatas dan rasio obyektif yang memiliki hubungan langsung dengan
kebenaran itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara pemahaman manusia dan kebenaran
objektif yang diberikan oleh wahyu ilahi. Anselmus mengakui peran wahyu sebagai sumber kebenaran yang
melebihi kapasitas rasio manusia. Pemahaman kebenaran yang mendalam hanya dapat diperoleh melalui
wahyu dan pengaruh rahmat khusus, menunjukkan bahwa pemahaman kebenaran memerlukan bantuan ilahi.
Anselmus menekankan perlunya menggunakan rasio dalam penyelidikan dan demonstrasi teologis, tetapi juga
memperhatikan pentingnya memuaskan perdebatan dengan orang Yahudi dan non-Yahudi. Ini menunjukkan
bahwa pendekatan teologis Anselmus melibatkan dialog dan refleksi kritis. Meskipun Kitab Suci dan Kredo
tetap menjadi pijakan utama bagi pemikiran Anselmus, dia menahan diri dari mengutip mereka sebagai otoritas
mutlak dalam penyelidikan ilmiah. Ini menunjukkan bahwa Anselmus mengakui pentingnya pemikiran
rasional dalam memahami kebenaran. Anselmus memahami bahwa pemahaman kebenaran tersembunyi dalam
Kitab Suci dan Kredo harus terungkap melalui rahmat khusus dan keputusan Tuhan, menunjukkan bahwa
pemahaman kebenaran memerlukan pengungkapan ilahi. Anselmus menegaskan bahwa kebenaran adalah
penguasa semua rasio, dan pemahaman yang mendalam hanya terjadi ketika rasio manusia berada dalam
kesesuaian dengan kebenaran itu sendiri, yang diputuskan oleh Tuhan. Ini menunjukkan bahwa pemahaman
kebenaran bergantung pada pengaruh ilahi dan keputusan Tuhan. Secara keseluruhan, pandangan Anselmus
tentang pemahaman kebenaran menekankan pentingnya kombinasi antara refleksi rasional dan bantuan ilahi
dalam mencapai pemahaman yang mendalam tentang kebenaran teologis.
Sebelum melanjutkan untuk menjelajahi struktur konsepsi Anselmus tentang rasio lebih lanjut, ada beberapa
pengamatan yang perlu dipertimbangkan dari penjelasan sebelumnya.
Pertama, Anselmus menekankan pentingnya hubungan antara pengetahuan dan doa, di mana pencarian
pengetahuan sejati harus didasarkan pada doa yang benar. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang sejati
tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang dalam. Kedua, Anselmus
menegaskan bahwa wahyu pertama-tama harus datang dalam bentuk otoritas, seperti teks-teks lahiriah, yang
memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman akan kebenaran dan rasionalitas. Selanjutnya, dia
menyoroti pentingnya intelligere, yaitu pencarian mendalam akan kebenaran, yang diperoleh melalui
pengungkapan Allah. Kemudian, Anselmus mengaitkan rasio dengan necessitas, menunjukkan bahwa objek
keimanan memiliki dasar yang tidak mungkin tidak ada atau berbeda. Dia juga membedakan antara rasio
subyektif dan obyektif dalam pengetahuan, yang keduanya penting dalam memahami kebenaran objek
keimanan. Selain itu, Anselmus menekankan peran otoritas dalam menentukan dasar-dasar keimanan dan
rasionalitas, sambil menggunakan akal budi manusia dalam pencarian akan kebenaran. Namun, dia juga
mengakui batasan akal budi dalam memahami kebenaran sejati, yang menyoroti pentingnya iman dan
pengungkapan dalam proses pencarian kebenaran. Secara keseluruhan, Anselmus menggunakan pendekatan
sistematis dan prosesional dalam memahami objek keimanan, yang menggabungkan pengetahuan, iman, dan
penggunaan rasionalitas manusia. Ini menunjukkan kompleksitas dan kedalaman pemikirannya tentang
hubungan antara rasionalitas, pengetahuan, dan keimanan.
4
5. TUJUAN TEOLOGI (BUKTINYA)
Anselmus memandang pembuktian teologis sebagai suatu hasil yang penting dari karya teologisnya, yang
tidak hanya bertujuan membuktikan kebenaran iman Kristen tetapi juga menjelaskan serta membela keyakinan
tersebut. Meskipun Anselmus menggunakan bentuk dialog dalam karya-karyanya, itu tidak berarti bahwa dia
meninggalkan pemikirannya sendirian. Dia menyadari bahwa pasal-pasal iman Kristen sering kali
disalahpahami atau dipertanyakan, baik oleh orang kafir maupun dalam lingkungan gereja sendiri. Oleh karena
itu, dia menantang dan berdialog dengan oposisi tersebut untuk membela keyakinan iman Kristen. Anselmus
menegaskan bahwa otoritas gereja memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pemahaman akan
kebenaran iman Kristen dan merespons keraguan yang mungkin timbul. Tujuan dialog Anselmus bukanlah
untuk menyelesaikan polemik secara langsung dengan oposisi, tetapi lebih untuk membela dan menjelaskan
keyakinan iman Kristen kepada pembaca Kristen, terutama para teolog dan monastik pada masanya. Dalam
karya Anselmus, seperti “Proslogion”, perhatian utamanya bukanlah eksistensi Tuhan itu sendiri, tetapi lebih
kepada pembuktian yang mendukung keyakinan Kristen. Ini menunjukkan bahwa dia ingin membela iman
Kristen daripada meyakinkan orang yang tidak percaya akan eksistensi Tuhan. Anselmus menyadari
keterbatasan pengetahuan manusia, terutama dalam memahami dan membuktikan keyakinan keagamaan.
Namun, dia tetap berusaha untuk menyelidiki dan menjelaskan rasionalitas keyakinan tersebut dengan segenap
pengetahuan dan hati nurani manusia.
Dalam penjelasan ini juga Anselmus menjelaskan tentang Kelembutan dalam Polemik. Kelembutan dalam
Polemik dikenal karena kelembutan yang luar biasa dalam menangani polemik teologis, yang merupakan
kebalikan dari pendekatan agresif yang sering dihadapi dalam situasi seperti Perang Salib. Hal ini
menunjukkan pendekatannya yang penuh kasih dalam menjelaskan keyakinan iman Kristen. Juga tidak hanya
menghadapi orang-orang yang tidak beriman dengan kelembutan, tetapi juga secara aktif berdialog dengan
mereka. Dia berusaha untuk memahami perspektif mereka dan memberikan jawaban yang memadai terhadap
pertanyaan-pertanyaan mereka, bahkan jika itu berarti memberikan bukti rasional atas keyakinan iman Kristen.
Meskipun Anselmus adalah seorang teolog Kristen yang kuat, ia juga mengakui pentingnya rasio dan
kemampuan manusia untuk memahami dan mempertanyakan keyakinan keagamaan. Ini tercermin dalam
pendekatannya yang menghargai pencarian rasional terhadap keyakinan agama. Anselmus tidak merasa
terpisah dari orang-orang duniawi atau orang-orang yang tidak beriman. Sebaliknya, dia merasa bertanggung
jawab untuk membimbing mereka dan menyediakan petunjuk bagi mereka dalam memahami keyakinan
Kristen, bahkan jika itu berarti menghadapi keraguan mereka dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Anselmus
tidak membatasi diskusi teologis hanya kepada lingkaran orang yang beriman. Dia bersedia berdiskusi dengan
orang-orang yang skeptis atau tidak beriman, dan bahkan mencoba meyakinkan mereka dengan bukti rasional,
meskipun ia tetap yakin bahwa iman Kristen tidak selalu bisa sepenuhnya dimengerti oleh rasio semata.
Anselmus menunjukkan bahwa teologi bukanlah bidang yang terisolasi atau eksklusif, tetapi harus dapat
diakses oleh semua orang. Pendekatannya yang sederhana dan jelas dalam memberikan bukti atau penjelasan
menunjukkan keinginannya untuk membuat keyakinan Kristen dipahami oleh semua orang. Dengan demikian,
5
penjelasan tersebut menyoroti pentingnya pendekatan yang penuh kasih, dialog terbuka, dan penghargaan
terhadap rasio dalam karya Anselmus.
II. BUKTI KEBERADAAN TUHAN
A. Praanggapan Pembuktian
1. NAMA TUHAN
Dalam proses pembuktian keberadaan dan hakikat Tuhan dalam Proslogion, Anselmus menggunakan konsep
Nama Tuhan sebagai titik tolak utama. Pada bagian awal, Anselmus mencari keberadaan Tuhan dengan
menyatakan bahwa Tuhan adalah “sesuatu yang lebih besar dari yang tidak dapat dibayangkan lebih besar”.
Konsep ini menggambarkan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak terbatas oleh pemikiran manusia, melebihi
segala yang dapat dibayangkan. Anselmus menemukan konsep ini setelah mencoba dan gagal menemukannya
dengan cara konvensional. Penemuan ini bukanlah hasil dari penalaran semata, tetapi dipandang sebagai
wahyu Tuhan. Anselmus ingin membuktikan hakikat Tuhan, yaitu kesempurnaan dan keasliannya yang unik.
Dia menggunakan pengandaian Nama Tuhan untuk membuktikan bahwa pernyataan tentang kesempurnaan
Tuhan adalah perlu, karena tidak ada yang lebih besar atau lebih sempurna daripada Tuhan. Ini membawa kita
pada pemahaman bahwa Tuhan adalah keberadaan yang mutlak dan tidak tergantikan, serta mengacu pada
keterbatasan pemahaman manusia terhadap-Nya.
Konsep Nama Tuhan yang diandaikan oleh Anselmus memperkuat dasar argumennya dalam pembuktian
keberadaan dan hakikat Tuhan. Meskipun rumusan dan interpretasi dari konsep ini dapat bervariasi, intinya
adalah bahwa Tuhan adalah sesuatu yang tidak terbatas oleh pemikiran manusia dan melebihi segala yang
dapat dibayangkan. Anselmus percaya bahwa konsep ini bukanlah hasil dari penalaran semata, tetapi
merupakan wahyu Tuhan yang diterima dengan iman. Dengan demikian, Nama Tuhan menjadi landasan
penting dalam proses pemikiran dan bukti keberadaan dan hakikat Tuhan menurut Anselmus.
Dalam respons Gaunilo terhadap argumen Anselmus, ia menyoroti ketidakmampuan manusia untuk benar-
benar memahami makna dari Nama Tuhan, yang secara implisit menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk
memahami hakikat Tuhan. Gaunilo meragukan bahwa sebuah kata seperti “Deus” atau rumusan Anselmus
tentang “sesuatu yang lebih besar dari yang tidak dapat dibayangkan lebih besar” dapat memberikan
pengetahuan tentang Tuhan kecuali jika penjelasan tambahan diberikan dari sumber lain. Hal ini memengaruhi
argumen Anselmus dalam beberapa cara.
Pertama, Gaunilo meragukan kemungkinan pengetahuan tentang Tuhan dan mendukung konsep Tuhan yang
tidak dapat dipahami. Dia mempertanyakan apakah kata-kata manusia tentang Tuhan lebih dari sekadar simbol
makna manusia yang tidak pernah terpenuhi dalam mencoba memahami hal-hal yang tidak dapat dipahami.
Namun, Anselmus menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan adalah pasal iman, yang diterima melalui
wahyu Tuhan, dan menggunakan Nama Tuhan sebagai landasan untuk bukti keberadaan dan hakikat Tuhan.
Kedua, Gaunilo menginginkan unsur pengetahuan lain yang bekerja bersama dengan Nama Tuhan untuk
menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan, sementara Anselmus menganggap unsur pengetahuan itu sebagai

6
aksiomatik. Bagi Gaunilo, konsep Tuhan hanya sebagai kata kosong kecuali jika diisi dengan ide yang sesuai,
sedangkan Anselmus memandang Nama Tuhan sebagai wahyu ilahi yang mengisi konsep Tuhan.
Ketiga, Gaunilo menunjukkan ketidakjelasan Tuhan sebagai argumen melawan validitas pengetahuan dalam
rumusan Anselmus. Dia berpendapat bahwa kata-kata seperti “quo maius cogitari nequit” atau “Deus” hanya
kosong secara epistemologis, kecuali jika penjelasan yang sesuai diberikan. Namun, Anselmus mengklaim
bahwa Nama Tuhan, meskipun memiliki kandungan yang niskala, masih penting dalam memahami
keberadaan dan hakikat Tuhan, karena teologi menganut perintah ini dan karena kebutuhan ontik yang tidak
dapat dipisahkan dari rasionalitas ontik.
Respons Gaunilo terhadap argumen Anselmus menyoroti ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya
memahami Tuhan hanya dengan menggunakan kata-kata manusia atau konsep yang dibentuk oleh pikiran
manusia saja. Namun, Anselmus mempercayai bahwa Nama Tuhan adalah wahyu ilahi yang penting dalam
membuktikan keberadaan dan hakikat Tuhan, dan bahwa keberadaan dan hakikat Tuhan hanya dapat dipahami
melalui iman dan wahyu Tuhan. Dalam tanggapannya terhadap argumen Anselmus, Gaunilo terus-menerus
mengutip rumusannya, seperti “aliquid, quod est maius omnibus" (sesuatu yang lebih besar dari yang tidak
dapat dibayangkan lebih besar dari segala sesuatu). Namun, Gaunilo tampaknya tidak memahami secara
sepenuhnya bahwa rumusan yang digunakan oleh Anselmus dalam Proslogion memiliki isi yang sangat
spesifik dan berbeda dari definisi-definisi yang digunakan dalam Monologion, yang membuat protesnya
tampak kurang tajam. Meskipun ada kecerobohan dalam argumen Gaunilo, Anselmus tetap mengakui niat
baiknya. Anselmus memiliki kegelisahan dalam menemukan argumentum baru yang cukup kuat untuk
membuktikan eksistensi dan hakikat Tuhan. Rumusan baru haruslah cukup kuat untuk memenuhi persyaratan
iman tentang keberadaan dan hakikat Tuhan, dan Anselmus mengharapkan rumusan itu untuk memberikan
bukti yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Namun, Gaunilo kurang memahami pentingnya rumusan
tersebut, dan mencoba mengajukan protes dengan menggunakan rumusan yang tidak sesuai dengan argumen
Anselmus. Gaunilo juga tidak sepenuhnya memahami bahwa rumusan “aliquid, quod est maius omnibus”
tidak hanya sekadar sebutan atau nama Tuhan, tetapi merupakan sebuah parafrase singkat tentang hakikat
Tuhan. Dengan demikian, rumusan tersebut tidak cukup untuk membuktikan eksistensi dan hakikat Tuhan
seperti yang diinginkan oleh Anselmus. Meskipun Gaunilo mencoba untuk mengkritik Anselmus dengan
menggunakan rumusan tersebut, hal itu tidak berhasil menghancurkan argumen Anselmus.
2. PERTANYAAN TENTANG KEBERADAAN TUHAN
Dalam perbandingan antara Proslogion dan Monologion, terdapat kemajuan yang signifikan dalam pemikiran
Anselmus. Dalam Proslogion, persoalan keberadaan Tuhan (quia es) menonjol sebagai persoalan yang berbeda
dengan persoalan hakikat Tuhan (quia hoc es). Meskipun dalam Monologion Anselmus telah mengenal konsep
esse dalam arti eksistere atau subsistere, namun dalam Proslogion, pertanyaan tentang keberadaan Tuhan
menjadi pusat perhatian sebagai objek intelektus fidei, yaitu bukti, yang berbeda dari Monologion. Anselmus
menjelaskan makna konsep “keberadaan” dalam Monologion dengan membandingkan tiga frasa essentia,
esse, eksistensis sive subsistens sebagai lux, lucere, dan lucens. Essentia diinterpretasikan sebagai potensi
7
(potentia), esse sebagai realitas (actus) keberadaan suatu benda, dan eksistensis sive subsistens sebagai
keberadaan objek yang ada dalam pikiran dan juga ada dalam realitas yang independen dari pikiran. Anselmus
membedakan antara objek yang hanya ada dalam pikiran dan objek yang ada dalam pikiran serta secara
independen di luar pikiran.
Dalam Proslogion, Anselmus memperjelas perbedaan antara ada dalam pikiran dan keberadaan aktual objek
dengan pernyataannya tentang esse in intellectu dan intelligere rem esse. Essensi pertama merujuk pada objek
yang hanya ada dalam pikiran, sementara essensi kedua merujuk pada objek yang tidak hanya ada dalam
pikiran, tetapi juga dalam realitas yang independen dari pikiran. Anselmus menegaskan bahwa keberadaan
objek dalam realitas merupakan prasyarat utama untuk memastikan kebenaran objek tersebut. Pertanyaan
tentang keberadaan dianggap sebagai persoalan baru yang membedakan diri dari pertanyaan tentang esensi
dan hakikat objek. Anselmus menekankan bahwa urgensi pertanyaan tentang keberadaan berkaitan dengan
pengetahuan sejati dan kebenaran. Persoalan ini tidak dapat direduksi menjadi pertanyaan tentang potensi dan
realitas, melainkan merupakan persoalan yang eksklusif dan khusus dalam dirinya sendiri. Prioritas diberikan
pada pemahaman dan jawaban atas pertanyaan tentang keberadaan dalam sifatnya yang khusus, yang
membutuhkan penelitian terpisah dari pertanyaan tentang esensi dan hakikat objek. Karena itu, perbandingan
antara Proslogion dan Monologion menunjukkan perkembangan signifikan dalam pemikiran Anselmus,
khususnya dalam pemahaman tentang persoalan keberadaan Tuhan dan peran pentingnya dalam mencapai
pengetahuan sejati dan kebenaran.
Doktrin tentang Hakikat Tuhan yang dibahas dalam Monologi dan Proslogion 5-26 menyoroti perbedaan
antara Tuhan dan semua makhluk lainnya dalam hal esensi dan keberadaan. Anselmus menjelaskan bahwa
dalam Tuhan, esensi dan keberadaan-Nya bukanlah dua hal terpisah, melainkan satu kesatuan. Tuhan adalah
dirinya sendiri apa adanya, tidak melalui partisipasi dalam potensi-potensi tertentu, tetapi sebagai realitas yang
identik dengan kekuasaan-Nya. Bukti realitas potensial Tuhan digarap dalam Monologi dengan asumsi maius
omnibus sebagai konsepsi Tuhan, sementara pertanyaan tentang Keberadaan Tuhan dibiarkan terbuka. Namun,
dalam Proslogion, Anselmus mengubah konsepsi tentang Tuhan dengan quo matus cogitart nequit dan
membuktikan hakikat Tuhan dengan cara yang berbeda. Meskipun bagi iman, keberadaan Tuhan bukanlah
pertanyaan terbuka, Anselmus merasa terganggu oleh kedekatan pertanyaan terbuka itu dengan bagian lain
dari doktrin Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara konsep Tuhan dan Keberadaan Tuhan
harus dipahami dengan jelas, karena pertanyaan tentang Keberadaan Tuhan tidak sepenting pertanyaan tentang
konsep Tuhan.
Gaunilo, dengan argumennya tentang pulau yang hilang, menimbulkan kesalahpahaman dengan
memperlakukan keberadaan Tuhan sebagai kasus umum dari pertanyaan tentang keberadaan secara umum. Ini
menyebabkan penggabungan dan pertanyaan khusus tentang keberadaan Tuhan. Anselmus menegaskan bahwa
untuk membuktikan keberadaan suatu benda, keberadaannya sendiri yang harus dibuktikan. Meskipun
Gaunilo adalah seorang pemikir tajam dan jujur, pandangannya tentang keberadaan Tuhan tidak sejalan dengan
kebutuhan untuk memahaminya secara mendalam. Anselmus menanggapinya dengan keyakinan bahwa
8
keberadaan suatu benda dapat dibuktikan jika keberadaannya sendiri yang menjadi subjek pembuktian. Ini
menunjukkan bahwa bagi Anselmus, bukti Keberadaan Tuhan adalah sebuah tuntutan yang harus dijawab.
Dalam Monologion dan Proslogion 5-26, Anselmus menjelaskan bahwa fakta keberadaan Tuhan tidak dapat
diturunkan dari sifat-Nya. Pertanyaan apakah Tuhan itu ada tetap merupakan pertanyaan khusus dan terbuka,
meskipun dalam konteks kepastian iman. Konsepsi tentang Tuhan dalam bukti Keberadaan Tuhan tidak boleh
disamakan dengan doktrin tentang hakikat-Nya. Meskipun kita dapat membuat kesimpulan dari sifat Tuhan
tentang arti keberadaan secara umum, Tuhan sendiri menentukan seberapa jauh kita benar atau salah.
Pentingnya menyelidiki keberadaan Tuhan dengan pertanyaan yang terbuka karena eksistensi Tuhan adalah
eksistensi dalam arti superlatif, sebagai dasar dari semua eksistensi lainnya. Tuhan adalah Kebenaran yang
menentukan dan keberadaan-Nya terlibat dalam segala keberadaan lainnya. Keberadaan Tuhan tidak hanya
unik, tetapi juga merupakan satu-satunya yang dapat dibuktikan. Meskipun Tuhan ada dalam cara yang sama
seperti segala sesuatu yang lain ada, keberadaan-Nya yang khas pada diri-Nya sendiri merupakan fokus utama
pembuktian. Bukti keberadaan Tuhan menjadi urgensi yang tak tertandingi karena eksistensi-Nya adalah dasar
dari segala eksistensi lainnya. Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan harus diperlakukan sama seriusnya
dengan pertanyaan tentang kebenaran. Tuhan adalah objek pengetahuan yang memerlukan keberadaan hakiki,
dan jika keberadaan-Nya terwujud melalui wahyu dalam iman, maka bukti yang lebih lanjut mungkin tidak
lagi diperlukan.
B. Perkembangan Pembuktian Komentar Prosl. 2-4
1. KEBERADAAN UMUM TUHAN (Prosl. 2)
Dalam pembahasan mengenai judul bab dalam Proslogion, terlihat bahwa Anselmus mengarahkan
perhatiannya kembali kepada dirinya sendiri. Judul Prosl. 2, “Quod vere sit Deus” (bahwa Tuhan itu benar-
benar ada), menunjukkan fokus pembahasan pada keberadaan Tuhan. Kata “vere” memiliki dua makna yang
berkaitan dengan keberadaan Tuhan: pertama, mengacu pada keberadaan Tuhan secara umum, bahwa Dia ada
dalam kenyataan dan bukan hanya dalam pikiran; dan kedua, merujuk pada keberadaan yang unik bagi Tuhan
sebagai Asal segala eksistensi. Prosl. 2 membuktikan keberadaan Tuhan dalam arti pertama, sementara Prosl.
3 dalam arti kedua.
Anselmus menyatakan bahwa pembuktian ini bukanlah berdasarkan logika semata, tetapi juga melalui doa
dan pengalaman langsung dengan Tuhan yang menjadi objek pembahasan. Pembuktian dalam Prosl. 3 tidak
akan terpahami sepenuhnya jika fakta bahwa Anselmus berbicara langsung kepada Tuhan diabaikan. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmu yang ingin diuraikan dalam Proslogion adalah ilmu khas iman, yaitu pengetahuan
tentang apa yang diyakini dari apa yang diyakini. Bersamaan dengan pembahasan selanjutnya, menegaskan
bahwa pengetahuan tentang keberadaan dan sifat Tuhan dipahami melalui iman dan dipertimbangkan dalam
konteks doa dan hubungan langsung dengan-Nya. Pembahasan Anselmus tentang keberadaan Tuhan
membawa fokus pada eksistensi unik Tuhan sebagai asal segala eksistensi, yang dipahami melalui wahyu dan
keyakinan iman. Oleh karena itu, proses pembuktian keberadaan dan sifat sempurna Tuhan merupakan bagian
integral dari pencarian pengetahuan yang didorong oleh iman.

9
Dalam pertanyaan ini, Anselmus mempertimbangkan masalah eksistensi Tuhan dalam dua aspek utama:
independensi eksistensi-Nya dan kesadaran manusia tentang eksistensi-Nya. Konsep “est” digunakan untuk
menyatakan ada. Pertanyaan utamanya adalah apakah objek yang disebut Tuhan sebenarnya ada atau bukan,
bukan hanya dalam ranah iman tetapi juga dalam pemikiran manusia. Anselmus menyadari bahwa pernyataan
tentang keberadaan Tuhan yang independen juga dapat dianggap sebagai hipotesis atau kesalahan oleh orang
yang tidak beriman. Namun, bagi mereka yang memahaminya, pernyataan ini harus dipertimbangkan dengan
menimbang kebutuhan faktual dan batiniah, serta menunjukkan keberatan yang mungkin salah dan
menolaknya. Anselmus kemudian mengutip Mazmur 13:1 untuk menyoroti pandangan insipiens, orang bodoh
yang mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Meskipun Anselmus tidak secara langsung mengidentifikasi siapa
insipiens ini, namun ia mengacu pada orang yang kurang dalam iman dan pengetahuan, yang terperangkap
dalam prinsip yang sesat dan merugikan. Anselmus menegaskan bahwa orang beriman harus jelas dan eksplisit
dalam penegasan iman mereka terhadap eksistensi Tuhan yang tak terbayangkan. Dalam penjelasan lebih
lanjut, Anselmus menggambarkan insipiens sebagai mereka yang tidak hanya berpikir secara bodoh tetapi juga
berperilaku bodoh dengan menjauh dari Tuhan. Namun, meskipun berbeda dalam pemikiran, orang beriman
harus mengakui solidaritas kemanusiaan dengan insipiens dan memberikan jawaban atas keberatan yang
diajukan. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh insipiens tidak hanya
merupakan kontradiksi logis tetapi juga simbol dari dua sikap eksistensial yang berbeda terhadap Tuhan.
Pada awal diskusinya, Anselmus secara tegas memperkenalkan asumsi bahwa konsep “Tuhan” berarti aliquid
quo maius nihil cogitari potest, atau “sesuatu yang lebih besar dari yang tidak bisa dipikirkan.” Ia tidak
mencoba mencapai kesepakatan dengan lawannya dalam perdebatan atau bahkan dengan dirinya sendiri
sebagai seorang filsuf dalam upaya membangun landasan argumennya. Sebaliknya, Anselmus sendiri
menentukan apa yang dimaksud dengan “Tuhan” dalam konteks diskusi, dan orang lain diharapkan untuk
mendengarkan dengan penuh perhatian. Pendekatan Anselmus ini menantang lawannya untuk mempercayai
definisi yang dia buat sendiri. Pembukaan diskusi ini sendiri merupakan tantangan implisit bagi para insipiens
untuk membuka diri terhadap gagasan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang dapat mereka pikirkan.
Meskipun mungkin konsep ini asing bagi mereka pada awalnya, namun Anselmus yakin bahwa verbum
praedicantium Christum memiliki kekuatan untuk membawa mereka keluar dari kebodohan mereka.
Anselmus menegaskan bahwa ketika seseorang mendengar rumusan definisi ini, mereka tidak dapat
menghindari untuk memikirkannya dan mempertimbangkannya, bahkan jika dalam hati mereka mereka
mungkin menyangkal keberadaan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa menghindari tanggung
jawab atas makna dari apa yang mereka sangkal, karena mereka telah mendengar dan memahami rumusan
tersebut.
Pada tahap selanjutnya dalam diskusi, Anselmus menjelaskan bahwa konsep “Tuhan” yang dia ajukan
bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami, tetapi sebaliknya adalah sesuatu yang dapat dipahami. Perintah
yang diungkapkan dalam definisi ini—baik itu diikuti atau tidak—sudah jelas. Siapapun yang setuju untuk
selalu menafsirkan kata “Deus” di masa depan dengan rumus quo maius cogitari nequit, tidak dapat mengeluh
10
bahwa bagi mereka arti harfiah dari “Tuhan” tidak bermakna. Anselmus kemudian membedakan antara esse
in intellectu (ada dalam pengetahuan) dengan esse in re (ada dalam realitas), dan dalam diskusi dengan
Gaunilo, esse in intellectu tampaknya memiliki arti yang sama dengan esse in cogitatione. Ini menunjukkan
bahwa ketika seseorang memahami rumusan definisi Tuhan, mereka juga memahami kemungkinan
keberadaan Tuhan sebagai objek pemikiran. Anselmus menjelaskan bahwa bahkan bagi mereka yang baru
mengenal rumusan ini, rumusan tersebut menggambarkan sesuatu atau seseorang—Tuhan—sebagai sebuah
objek. Ini memungkinkan pemikiran tentang Tuhan menjadi lebih konkrit bagi mereka yang awalnya mungkin
tidak akrab dengan konsep tersebut.
Dalam diskusi dengan Gaunilo, Anselmus menegaskan bahwa keberadaan Tuhan hadir dalam pengetahuan
seseorang, bahkan jika seseorang menyangkalnya. Ini menempatkan beban pengetahuan dan pemahaman atas
lawannya, menunjukkan bahwa mereka tidak dapat dengan mudah menolak keberadaan Tuhan tanpa
mempertimbangkan dengan serius makna dari apa yang mereka sangkal. Anselmus juga menafsirkan
pernyataannya dengan mengatakan bahwa yang ingin ia tegaskan hanyalah bahwa setidaknya ada pengetahuan
di pihak manusia tertentu yang di dalamnya Tuhan ada. Ini menyoroti pentingnya pengetahuan dan
pemahaman terhadap Tuhan dalam konteks argumen Anselmus. Anselmus menghadapi pertanyaan-
pertanyaan yang menantang, termasuk tentang asal mula objek dan apakah kita bisa membayangkan sesuatu
yang tidak dapat dipikirkan. Diskusi ini menggambarkan kompleksitas argumen Anselmus dan responsnya
terhadap berbagai keberatan yang diajukan. Secara keseluruhan, diskusi ini membawa pemahaman yang lebih
dalam tentang konsep keberadaan Tuhan dalam konteks pemikiran dan pengetahuan manusia, serta cara
Anselmus merespons berbagai keberatan dan pertanyaan yang timbul dalam diskusi tersebut.
Untuk memahami tanggapan Anselmus terhadap keberatan ini, ada tiga aspek dalam jawabannya yang perlu
diperhatikan:
(a) Anselmus menyoroti bahwa Gaunilo seharusnya memahami pentingnya pengetahuan tentang Tuhan dalam
konteks keyakinan Kristen. Gaunilo, sebagai pembela yang tidak terlalu cerdas, seharusnya menyadari bahwa
pengetahuan tentang Tuhan melalui Nama-Nya tidak hanya konsep kosong, tetapi juga mencakup pemahaman
akan keberadaan Tuhan. Anselmus juga menekankan bahwa Nama Tuhan bukan sekadar kata-kata biasa,
melainkan memiliki makna yang dalam tentang keberadaan Tuhan.
(b) Anselmus menanggapi keberatan Gaunilo dengan menegaskan bahwa pengetahuan tentang keberadaan
Tuhan tidak hanya bergantung pada pemahaman intelektual, tetapi juga melibatkan iman. Dia mengkritik
kebingungan Gaunilo tentang sifat pengetahuan tentang Tuhan dan menekankan pentingnya wahyu dan iman
dalam memahami keberadaan Tuhan. Anselmus juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak
terbatas pada akal pikiran semata, tetapi juga melibatkan pengalaman spiritual.
(c) Anselmus menolak argumen Gaunilo bahwa pengetahuan tentang keberadaan Tuhan tidak dapat
dibandingkan dengan pengetahuan tentang objek lain. Dia menekankan pentingnya pemahaman akan Sifat
Tuhan dalam memahami keberadaan-Nya. Anselmus juga mengkritik pandangan Gaunilo tentang
pengetahuan manusia tanpa wahyu dan iman sebagai terbatas dan tidak memadai.
11
Dalam dua poin, Gaunilo mengkritik analogi yang digunakan oleh Anselmus:
1. Gaunilo mengeluh bahwa dalam analogi tersebut, Anselmus mengasumsikan keutamaan temporal bagi
“habere rem in intellectu” dibandingkan dengan “intelligere rem esse”, sementara pada kenyataannya
keduanya harus terjadi secara bersamaan. Gaunilo menunjukkan ketidakkonsistenan ini dalam
argumentasi Anselmus. Namun, Anselmus secara eksplisit menyatakan bahwa keduanya terjadi secara
bersamaan, namun Gaunilo gagal memahami hal ini. Gaunilo juga tidak menyadari bahwa Anselmus
menggunakan analogi tersebut dengan hati-hati untuk menunjukkan hubungan antara pemahaman
intelektual dan eksistensi suatu objek.
2. Gaunilo menaruh perhatian besar pada pernyataan pembukaan Anselmus dan mencoba untuk
merendahkan argumen tersebut dengan mengutip Agustinus. Namun, Gaunilo gagal memahami bahwa
pemahaman Anselmus tentang analogi ini tidak bertentangan dengan Agustinus. Gaunilo tampaknya
terobsesi dengan menunjukkan kelemahan dalam argumen Anselmus tanpa memahami secara menyeluruh
konteksnya. Gaunilo juga mungkin merasakan ada unsur kebaruan dalam pemikiran Anselmus yang dapat
mengarah pada konsepsi manusia sebagai pencipta Tuhan, yang merupakan sebuah keberatan tidak
beralasan.
Pernyataan di atas merangkum argumen-argumen yang rumit dan memperkuat pemahaman tentang hubungan
antara pengetahuan manusia tentang Tuhan dan keberadaan-Nya, serta implikasinya terhadap identifikasi
Tuhan yang sesungguhnya. Diskusi dimulai dengan penekanan pada pentingnya Nama Tuhan sebagai kriteria
untuk pengetahuan dan keyakinan manusia tentang-Nya. Meskipun keberadaan Tuhan dalam intelektu
manusia dapat menjadi subjek pembuktian, perlu diakui bahwa keberadaan-Nya juga memiliki dimensi
ekstramental yang penting. Kebenaran tentang keberadaan Tuhan tidak hanya terbatas pada pengetahuan,
tetapi juga pada objek, dan harus diperiksa dalam kedua dimensi tersebut untuk menjadi benar secara
menyeluruh. Konsekuensi logis dari mempertimbangkan keberadaan Tuhan dalam intelektu dan dalam realitas
adalah adanya perbedaan kualitatif antara Tuhan yang hanya ada dalam intelektu dengan Tuhan yang juga
hadir secara objektif, yang menghasilkan pertanyaan tentang identifikasi Tuhan dan pemahaman yang benar
tentang-Nya. Meskipun memungkinkan bagi manusia untuk memahami keberadaan Tuhan dalam intelektu
dan dalam realitas, konsekuensinya adalah adanya entitas yang lebih besar daripada konsep awal Tuhan yang
mungkin dipertimbangkan, yang menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi Tuhan dengan benar dan
menyoroti pentingnya memahami kualitas dan sifat Tuhan yang sesungguhnya.
Diskusi tersebut dimulai dengan penekanan pada pentingnya Nama Tuhan sebagai kriteria untuk pengetahuan
dan keyakinan manusia tentang keberadaan-Nya, yang kemudian melahirkan pertimbangan tentang
keberadaan Tuhan dalam intelektu manusia serta realitas ekstramental-Nya. Selanjutnya, perlu diakui bahwa
kebenaran tentang keberadaan Tuhan tidak hanya tergantung pada pengetahuan, tetapi juga pada dimensi
objek, yang menghasilkan kesulitan dalam mengidentifikasi Tuhan secara akurat. Gaunilo menyoroti bahwa
bukti positif tentang keberadaan Tuhan tidak berasal dari argumen-argumen Anselmus, dan bahwa keberadaan
Tuhan haruslah terbukti lebih dari sekadar keberadaan dalam intelektu. Dalam penggambaran analogi pulau
12
yang hilang, Gaunilo menyoroti kesulitan dalam membuktikan keberadaan Tuhan hanya dengan
mempertimbangkan-Nya dalam intelektu. Kesimpulannya menegaskan pentingnya memahami argumen-
argumen Anselmus tentang keberadaan Tuhan, serta respons Gaunilo yang menyoroti kompleksitas dan
ketidakpastian dalam membuktikan keberadaan Tuhan dengan cara yang memuaskan.
2. KEBERADAAN TUHAN YANG KHUSUS (Prosi.3)
Pertama-tama, terdapat penjelasan tentang pengertian dari judul yang menggarisbawahi pentingnya bahwa
Tuhan ada sedemikian rupa sehingga tidak mungkin Dia dianggap tidak ada. Ini mengarah pada pemahaman
bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya terbatas pada dimensi intelektual manusia, tetapi juga memiliki dimensi
ekstramental yang penting. Selanjutnya, diberikan penjelasan tentang dua definisi keberadaan Tuhan: pertama
adalah keberadaan umum yang mencakup keberadaan dalam intelektu dan realitas, dan kedua adalah
keberadaan yang lebih sempit yang menegaskan bahwa tidak mungkin bagi Tuhan untuk dianggap tidak ada.
Kemudian berlanjut dengan mengulas tesis Prosl. 3, yang menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak hanya
ada dalam intelektu, tetapi juga dalam realitas, sehingga mustahil untuk menganggap-Nya tidak ada. Hal ini
disertai dengan pembahasan mengenai pemahaman Gaunilo terhadap argumen Anselmus, di mana Gaunilo
menekankan bahwa keberadaan Tuhan haruslah terbukti lebih dari sekadar keberadaan dalam
intelektu.Selanjutnya, terdapat penjelasan tentang tanggapan Gaunilo terhadap Prosl. 3, di mana Gaunilo
menyatakan bahwa pengetahuan tentang keberadaan Tuhan tidak hanya merupakan pengetahuan intelektual,
tetapi juga merupakan keyakinan yang tumbuh dari pengalaman pribadi dan iman yang kuat. Kemudian
mengarah pada pertanyaan filosofis tentang kemungkinan ketidakberadaan Tuhan, dengan Gaunilo
menegaskan bahwa bahkan jika kita menerima keberadaan Tuhan, kita tidak bisa memastikan bahwa kita tidak
dapat menganggap-Nya tidak ada. Penjelasan terakhir mencakup pertimbangan tentang pentingnya pemikiran
tentang keberadaan diri sendiri dalam konteks pertimbangan tentang keberadaan Tuhan, dengan Gaunilo
mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang alasan mengapa pemikiran tentang keberadaan diri
sendiri penting dalam menentukan keberadaan Tuhan.
Anselmus menanggapi argumen Gaunilo dengan menyatakan bahwa meskipun Tuhan tidak dapat dipahami
sebagai tidak ada, hal ini tidak berlaku untuk segala sesuatu di luar Tuhan. Dia menunjukkan bahwa semua
yang terbatas dan dapat dibagi dapat dipahami sebagai tidak ada, kecuali Tuhan yang tak terbatas dan tak
terpisahkan. Meskipun seseorang mungkin tidak dapat membayangkan ketidakberadaan Tuhan secara konkret,
secara hipotetis hal itu memungkinkan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Tuhan seharusnya dianggap tidak
ada, karena keberadaannya tidak bisa disangkal berdasarkan fakta bahwa Dia tak terbatas. Anselmus kemudian
memperluas argumennya dengan membahas konsep makhluk yang ada tetapi dapat dibayangkan sebagai tidak
ada, dan sebaliknya, makhluk yang ada tetapi tidak dapat dibayangkan sebagai tidak ada. Tuhan diidentifikasi
dengan kategori kedua, di mana keberadaannya tidak bergantung pada kontradiksi antara pengetahuan dan
objek. Namun, dalam perdebatan ini, dia menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan yang diwahyukan tidak dapat
disangkal oleh pemikiran manusia, dan oleh karena itu, keberadaannya tidak dapat dipertanyakan. Anselmus
menyimpulkan bahwa keberadaan Tuhan tidak terbatas dan tidak bisa dibayangkan sebagai tidak ada, dan

13
bahwa pernyataan-pernyataan tentang keberadaannya yang diwahyukan harus diterima tanpa disangsikan.
Selain itu, ia menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah hasil dari refleksi rasionalitas yang dalam dan tidak
hanya berdasarkan bukti eksternal. Sebelum memasuki argumen yang lebih lanjut, Anselmus juga meminta
maaf kepada Gaunilo, mengakui bahwa dia telah memperluas bukti yang dipersempit dari Prosl. 3 untuk
memperjelas posisinya.
Anselmus melalui serangkaian argumen dalam tulisannya menjelaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat
dipungkiri karena keharusannya yang logis. Ia menunjukkan bahwa Nama Tuhan menunjukkan bahwa Tuhan
adalah yang lebih besar daripada makhluk lain, sehingga Tuhan tidak dapat diidentikkan dengan makhluk yang
lebih kecil. Ini menghasilkan argumen bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat disangkal karena
ketidakmungkinannya menjadi yang lebih kecil. Menanggapi analogi pulau Gaunilo, Anselmus menekankan
bahwa hanya keberadaan Tuhan yang dapat dibuktikan secara logis, sedangkan makhluk lain tidak memiliki
status yang sama. Siapa pun yang menyangkal keberadaan Tuhan sebenarnya memikirkan konsep Tuhan yang
tidak terbatas, dan oleh karena itu, keberadaan Tuhan tidak dapat dipungkiri. Anselmus terus memperkuat
argumennya dengan menunjukkan perbedaan antara Tuhan dan makhluk lain yang dapat dibayangkan sebagai
tidak ada. Ia menegaskan bahwa Tuhan adalah kebutuhan ontologis yang tidak dapat disangkal, sedangkan
makhluk lain tidak memiliki karakteristik yang sama.
Dengan menyoroti pentingnya Nama Tuhan dalam menentukan keberadaan Tuhan, Anselmus mengklaim
bahwa Tuhan harus ada sebagai suatu wujud yang berbeda dari dirinya sendiri. Ini memperkuat kesimpulan
bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dipungkiri. Secara keseluruhan, Anselmus menggunakan serangkaian
argumen yang logis dan rasional untuk menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dipungkiri karena
keharusannya dan statusnya yang unik sebagai wujud yang tidak terbatas. Anselmus menawarkan sebuah
argumen yang disebut pembuktian ontologis untuk eksistensi Tuhan. Ia mengembangkan ide bahwa Tuhan,
sebagai wesen yang terbesar, harus ada dalam realitas objektif karena jika tidak, kita dapat membayangkan
wesen yang lebih besar dari Tuhan, yang bertentangan dengan konsep Tuhan sebagai wesen yang terbesar.
Anselmus menekankan bahwa eksistensi Tuhan bukanlah eksistensi yang sama dengan makhluk lain,
melainkan eksistensi yang ganjil, unik, dan tidak dapat dibayangkan ketiadaannya. Dia mengklaim bahwa
dalam doa dan penyelidikan teologis, Tuhan adalah objek yang disembah dan diselidiki, dan keberadaannya
harus dipahami dalam kaitannya dengan penyelidikan teologis yang dilakukan dalam doa. Anselmus
menetapkan dasar teologis untuk pembuktian eksistensi Tuhan dan menegaskan bahwa keberadaan Tuhan
adalah realitas objektif yang tidak dapat disangkal, dan hanya Dia satu-satunya yang memiliki eksistensi dalam
segala kesempurnaan. Pada akhirnya, Anselmus mengakui bahwa meskipun ada orang yang menyangkal
keberadaan Tuhan, pemikiran teologisnya menegaskan bahwa hal ini tidak mengurangi keberadaan Tuhan
yang pasti dan sepenuhnya benar.
3. KEMUNGKINAN MENYANGKAL KEBERADAAN TUHAN (Prosl. 4)
Dalam karya Anselmus, masalah orang yang mengingkari keberadaan Tuhan muncul dari kenyataan bahwa
mereka dianggap “bodoh” karena mengakui Tuhan hanya sebagai sesuatu yang melampaui pemahaman
14
manusia. Anselmus menyimpulkan bahwa pernyataan mengingkari Tuhan adalah tidak masuk akal dan tidak
boleh diikutsertakan dalam perdebatan teologis yang serius. Bagaimanapun, pernyataan ini juga merupakan
pernyataan iman yang memerlukan pengetahuan. Anselmus menemukan bahwa orang bodoh tidak dapat
menghindari kontradiksi antara mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dan pada saat yang sama mengakui bahwa
mereka tidak dapat memahami konsep itu. Ini menghasilkan paradoks di mana orang bodoh secara paradoxical
mengatakan sesuatu yang tidak dapat mereka pahami. Anselmus berpikir bahwa kebodohan ini terletak dalam
ketidaktahuan mereka akan hakikat Tuhan, bukan dalam ketidaktahuan mereka tentang konsep-konsep
teologis. Pemikiran Anselmus tentang kebodohan ini mencapai puncaknya dalam penegasan bahwa hanya
mereka yang mengenal Tuhan secara pribadi yang benar-benar mengalami kesulitan dalam memahami
keberadaan-Nya. Bagi mereka yang mengenal Tuhan, pengingkaran tentang keberadaan-Nya menjadi tidak
mungkin, karena keberadaan Tuhan menjadi begitu nyata bagi mereka sehingga tidak dapat mereka pungkiri.
Kesimpulannya, Anselmus menegaskan bahwa bukti Keberadaan Tuhan yang diajukan olehnya telah terbukti
secara meyakinkan, didasarkan pada pengakuan akan keberadaan Tuhan yang menjadi jelas bagi mereka yang
mengenal-Nya. Bagi Anselmus, ini bukan sekadar pembuktian filosofis, tetapi juga sebuah pengalaman iman
yang mendalam, di mana Tuhan memberikan diri-Nya sebagai objek pengetahuan dan menerangi pikiran
manusia agar mereka dapat mengenal-Nya dengan benar.

15
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam budaya modern, terdapat prinsip yang umumnya diterima yang memisahkan antara iman dan akal
sebagai dua domain pengalaman manusia yang berbeda secara sepenuhnya. Prinsip ini tidak hanya relevan
bagi individu yang religius, tetapi juga bagi mereka yang mungkin tidak memiliki keterlibatan agama.
Beberapa menyatakan bahwa akal berkaitan dengan pengetahuan yang dapat diuji dan diselidiki, sementara
iman lebih terkait dengan pengalaman personal. Ada yang berpendapat bahwa akal mengatasi hal-hal yang
dapat dibuktikan secara empiris, sementara iman berkaitan dengan keyakinan dan harapan yang lebih subjektif.
Atau mungkin juga, bahwa akal cenderung untuk bersifat objektif, sementara iman lebih bersifat subjektif dan
terkait dengan pengalaman personal. Sebagian lain menyatakan bahwa akal berkaitan dengan metode ilmiah
yang rasional, sementara iman lebih cenderung bersifat personal dan tidak selalu dapat dijelaskan secara
rasional. Bahkan ada yang menganggap bahwa akal membawa kita kepada pengetahuan yang pasti dan terukur,
sedangkan iman hanya dipandang sebagai masalah pendapat atau keyakinan pribadi yang tidak bisa dipastikan
secara empiris. Dengan demikian, prinsip ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara iman dan akal
dalam pemahaman manusia modern.
Pengajaran dalam Alkitab memberikan pandangan yang jelas tentang bagaimana hidup sebagai orang yang
memiliki iman. Ketika kita menggambarkan iman sebagai sebuah keterpercayaan yang mendalam dan
penyerahan diri yang penuh kepada Allah, hal itu mencerminkan kesetiaan total manusia kepada-Nya. Esensi
dari kepercayaan dan penyerahan dalam konsep “percaya” menjadi pusat dari pemahaman manusia tentang
iman. Dalam konteks ini, tidak ada penindasan terhadap akal karena iman juga meminta persetujuan akal untuk
dipercayai. Oleh karena itu, iman tidak hanya tentang pengalaman spiritual semata, tetapi juga menghargai
proses akal yang memberikan kesaksian terhadap kebenaran iman. Montgomery menegaskan bahwa iman
yang sejati tidaklah tergantung pada sikap atau perasaan individu. Dia berusaha untuk membedakan antara
iman dan perasaan manusiawi yang seringkali menjadi fokus perhatian, dengan menekankan bahwa iman yang
sesungguhnya bukanlah sekadar optimisme yang diyakini oleh semua orang. Boice melanjutkan dengan
menjelaskan konsep iman yang berakar pada ajaran Alkitab, di mana iman yang sejati dapat dipercaya dan
diteguhkan karena memiliki fondasi yang kukuh dalam Allah yang konsisten dalam penegasan-Nya. Dengan
demikian, iman yang didasarkan pada ajaran Alkitab tidak hanya merupakan sikap mental atau optimisme
semata, tetapi sebuah keyakinan yang kokoh dan diperkuat oleh keandalan Allah. 1
Pemisahan antara iman dan akal dapat menghasilkan dampak negatif yang signifikan pada kemajuan
kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan untuk mengabaikan pentingnya kedua
dimensi tersebut secara bersamaan. Ketika iman diabaikan, akal mungkin terjebak dalam batasan pemahaman
yang hanya didasarkan pada apa yang dapat dipahami oleh indra dan logika semata. Ini berarti potensi manusia
untuk memahami realitas yang lebih luas, termasuk yang tidak dapat dijelaskan secara langsung oleh metode

1
James Montgomery Boice, Dasar-Dasar Iman Kristen (Surabaya: Penerbit Momentum, 2015), 464-65.
16
ilmiah, dapat terlewatkan. Di sisi lain, ketika akal diabaikan, iman dapat menjadi buta dan mudah
dimanipulasi. Tanpa kemampuan untuk menilai dan menganalisis secara rasional, keyakinan dapat dengan
mudah dimanipulasi oleh kepentingan tertentu atau dipelintir untuk tujuan yang tidak baik. Oleh karena itu,
sangat penting untuk mengakui bahwa iman dan akal saling melengkapi satu sama lain. Keduanya memiliki
peran yang penting dalam pengalaman manusia dan memperkaya pemahaman kita tentang dunia dan diri kita
sendiri. Dengan menghormati dan memperkuat keduanya, kita dapat membangun pemahaman yang lebih
holistik dan seimbang tentang kehidupan, yang memungkinkan kita untuk berkembang secara pribadi dan
berkontribusi secara positif pada masyarakat.
Pentingnya interaksi antara iman dan akal sangatlah relevan dalam konteks pencarian pemahaman yang lebih
dalam dan komprehensif tentang Tuhan serta realitas keagamaan. Iman membawa dimensi spiritual yang
memungkinkan manusia untuk merasakan kehadiran Tuhan secara langsung dalam kehidupan mereka. Iman
memungkinkan kita untuk mengalami perasaan keterhubungan yang mendalam dengan sesuatu yang lebih
besar dari diri kita sendiri, serta memberikan kerangka kerja untuk memahami makna dan tujuan dalam
kehidupan. Namun, untuk memahami lebih lanjut makna dari pengalaman keagamaan tersebut, akal
diperlukan. Akal memberikan kemampuan untuk merenungkan, menganalisis, dan memahami secara rasional
aspek-aspek dari keyakinan dan pengalaman spiritual. Dengan menggunakan akal, manusia dapat
mengeksplorasi konsep-konsep teologis, mempertimbangkan implikasi etis dari ajaran agama, dan
mengintegrasikan pengalaman spiritual ke dalam kerangka pemikiran yang lebih luas. Melalui interaksi yang
harmonis antara iman dan akal, seseorang dapat mencapai pemahaman yang lebih holistik tentang Tuhan dan
realitas keagamaan. Iman memberikan fondasi spiritual yang kuat, sementara akal membantu menerangi dan
memperdalam pengalaman keagamaan tersebut melalui proses refleksi dan pemikiran kritis. Lebih jauh lagi,
interaksi antara iman dan akal juga memungkinkan seseorang untuk mengatasi konflik atau ketegangan yang
mungkin muncul antara keyakinan keagamaan dan pemahaman rasional. Ini menghasilkan keselarasan yang
lebih besar dalam pandangan dunia seseorang, memungkinkan mereka untuk hidup dengan keyakinan yang
kuat sambil tetap terbuka terhadap pengetahuan dan pemahaman yang baru. Dengan demikian, pentingnya
interaksi antara iman dan akal adalah untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif tentang
Tuhan serta realitas keagamaan, yang memungkinkan pertumbuhan spiritual dan intelektual yang seimbang
dalam kehidupan manusia.
Sejak zaman kuno hingga saat ini, para ahli filsafat telah meneliti dengan seksama tentang keberadaan Allah,
menjadikannya sebagai subjek penyelidikan yang sangat penting bagi manusia. Namun, untuk memahami
secara mendalam tentang eksistensi-Nya, diperlukan pengorbanan yang besar, yaitu melepaskan
keterbelengguan pikiran yang sempit dan mengikuti jalur yang benar dalam pencarian-Nya. Ini menunjukkan
bahwa memahami keberadaan Allah memerlukan proses pemikiran yang jelas dan tekun, serta kemauan untuk
melampaui batasan-batasan pemikiran yang sempit untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan
mendalam tentang keberadaan-Nya.

17
Bertrand Russell, seorang filsuf terkenal, dikenal karena sikap skeptisnya terhadap agama yang sering
diekspresikan dalam debat-debat publik dengan tokoh-tokoh agama terkemuka. Dia dengan senang hati
menyampaikan kritik-kritiknya terhadap agama, bahkan membuat sindiran-sindiran yang khas, seperti
pernyataannya bahwa jika dia harus berhadapan langsung dengan Tuhan, dia akan menegur Penciptanya
karena tidak memberikan cukup bukti akan eksistensi-Nya. Di sisi lain, Russell juga menekankan bahwa ketika
seseorang mempertimbangkan konsep Tuhan, penting untuk tidak terjebak dalam pandangan sempit yang
menghubungkan Tuhan dengan salah satu planet atau kepercayaan agama tertentu. Baginya, cara berpikir
semacam itu tidak akan membantu dalam memahami eksistensi sejati Tuhan. Sebaliknya, dia menyarankan
agar seseorang memikirkan Tuhan dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai Tuhan dari seluruh alam
semesta. Ini menekankan pentingnya memiliki pandangan yang komprehensif dan holistik dalam memahami
konsep Tuhan, yang memperhitungkan kompleksitas dan kebesaran alam semesta secara keseluruhan. 2
Tuhan, yang dikenal sebagai entitas Roh, dipahami sebagai sumber penciptaan segala sesuatu dalam alam
semesta. Konsep Tuhan sebagai Roh menegaskan bahwa-Nya tidak terbatas oleh bentuk atau substansi yang
dapat dipahami oleh panca indera manusia. Sebaliknya, keberadaan-Nya melampaui batasan-batasan materi
dan dimensi fisik yang dapat dipahami oleh akal manusia. Dalam konteks ini, sangatlah sulit, bahkan mustahil,
untuk menggambarkan atau menganggap Tuhan sebagai objek atau benda yang diciptakan, sebagaimana kita
melakukannya terhadap entitas materi dalam alam semesta. Tuhan, sebagai pencipta segala sesuatu, berdiri di
luar dan di atas cakupan pemahaman ilmiah dan penalaran manusia yang terbatas. Upaya untuk memahami-
Nya hanya melalui kerangka ilmu pengetahuan seringkali menjadi suatu yang mustahil, karena ilmu
pengetahuan terutama berkutat dengan pengamatan dan pemahaman terhadap fenomena alam yang dapat
diobservasi atau diukur secara empiris. Oleh karena itu, untuk mendekati pemahaman tentang keberadaan
Allah, diperlukan pendekatan yang melibatkan dimensi spiritual, filosofis, dan religius yang melampaui batas-
batas pengetahuan ilmiah semata. Kita perlu memperluas cakupan pemahaman kita dan memperkaya
perspektif kita dengan mempertimbangkan nilai-nilai spiritual dan kearifan dalam berbagai tradisi keagamaan,
serta dengan mengakui keterbatasan pengetahuan dan akal manusia dalam mencapai pemahaman yang
menyeluruh tentang Sang Pencipta.
A.G. Honig Jr. Mengatakan: “Barangsiapa makan, ia mendapat bagian kekuatan ilahi...” 3 Gagasan tersebut
menjelaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat timbul begitu saja dari pemikiran manusia secara mandiri.
Sebaliknya, konsep tentang keberadaan Tuhan sering kali dipahami sebagai hasil dari pengalaman spiritual,
refleksi filosofis, dan wahyu yang diberikan oleh Allah kepada manusia melalui berbagai cara, seperti kitab
suci, ajaran agama, atau pengalaman mistis. Pemikiran manusia, meskipun memiliki kemampuan untuk
merenungkan dan mencari makna dalam kehidupan, memiliki keterbatasan yang tidak dapat menghasilkan
pemahaman yang lengkap tentang keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, konsep tentang Tuhan sering kali
dipandang sebagai hasil dari interaksi antara pikiran manusia yang terbatas dengan kehadiran ilahi yang

2
Louis Greenspan & Stefan Anderson. Russell on Religion. Terj. Bertuhan Tanpa Agama, 102.
3
AG. Honig Jr. Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982),77.
18
melampaui pemahaman manusia. Dalam konteks ini, wahyu Allah menjadi sarana utama untuk manusia
memahami keberadaan-Nya. Melalui wahyu, Allah memberikan petunjuk, pengajaran, dan pemahaman yang
lebih dalam tentang diri-Nya kepada manusia. Konsep tentang keberadaan Tuhan berkembang dari wahyu
tersebut, membentuk dasar keyakinan agama dan spiritualitas yang beragam di seluruh dunia. Maka penting
untuk diakui bahwa gagasan tentang keberadaan Tuhan tidak muncul begitu saja dari pikiran manusia,
melainkan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara pengalaman manusia, refleksi filosofis, dan wahyu
ilahi yang diberikan oleh Allah kepada umat manusia.
Plato, mengemukakan: “...di dalam pikiran manusia terdapat idea..., idea yang merangkum segala idea ini
adalah... Tuhan”4 dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa pemahaman akan keberadaan Tuhan
memainkan peran sentral dalam kompleksitas keberadaan manusia. Ini tidak sekadar menjadi bagian dari
identitas manusia, tetapi juga menjadi landasan yang mendalam dari perspektif dan pengalaman hidupnya.
Kepercayaan pada Tuhan tidak hanya mencerminkan keterlibatan spiritual individu, tetapi juga memengaruhi
cara mereka memahami diri mereka sendiri, hubungan dengan sesama, serta pandangan mereka terhadap dunia
dan makna kehidupan. Dalam banyak budaya dan tradisi spiritual, kepercayaan pada Tuhan sering dianggap
sebagai fitrah, atau sifat dasar bawaan manusia. Ini menunjukkan bahwa keberadaan manusia secara inheren
terhubung dengan dimensi spiritualitas, dan keberadaan Tuhan adalah bagian yang tak terpisahkan dari realitas
kemanusiaan. Kepercayaan akan keberadaan Tuhan juga memberikan fondasi moral dan etis bagi individu
dalam menjalani kehidupan mereka. Hal ini mendorong praktik-praktik kebajikan, kerja sama sosial, dan rasa
empati terhadap sesama, yang secara kolektif membentuk komunitas yang lebih baik dan lebih harmonis. Oleh
sebab itu, kepercayaan akan keberadaan Tuhan bukan hanya menjadi sifat dasar dari eksistensi manusia, tetapi
juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, dari dimensi spiritual hingga aspek
moral dan sosial.
Aristoteles juga memberikan argumentasinya tentang keberadaan Tuhan. Dalam pemikiran Aristoteles, konsep
tentang Tuhan sebagai “Penggerak Pertama” adalah inti dari filsafat metafisiknya. 5 Aristoteles melihat Tuhan
sebagai entitas yang menyebabkan gerakan tanpa sendiri bergerak, yang merupakan prinsip yang mendasari
segala perubahan dan gerak di alam semesta. Melalui argumen teleologis, atau argumen dari tujuan, Aristoteles
menjelaskan bahwa Tuhan merupakan tujuan akhir atau finalitas dari kosmos ini. Artinya, segala sesuatu dalam
alam semesta menuju atau bergerak menuju Tuhan sebagai tujuan utama. Bagi Aristoteles, Tuhan dianggap
sebagai entitas yang ada dalam dirinya sendiri, terlepas dari materi atau dunia fisik. Dia adalah sumber yang
abadi dan sempurna, menjaga stabilitas, harmoni, dan keteraturan dalam alam semesta. Tuhan juga dianggap
sebagai penjaga yang memelihara kelangsungan hidup dan kesinambungan alam semesta, mengatur
pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, serta memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan
rancangan yang telah ditetapkan. Konsep Aristoteles tentang Tuhan menekankan bahwa Tuhan adalah

4
Hadiwijono, Hindu dan Budha (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1982), 75.
5
Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy. Terj. Sejarah Filsafat. (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2002), 122-123.
19
aktualitas yang penuh makna dan tujuan akhir dari segala gerakan dan upaya yang dilakukan oleh entitas dalam
mencapai potensinya. Sebagai landasan utama bagi eksistensi dan keberlangsungan alam semesta, Tuhan
dipandang sebagai sumber keberadaan, kehidupan, dan tujuan yang memberikan arah dan makna bagi segala
sesuatu yang ada. Dalam pandangan Aristoteles, pemahaman tentang Tuhan memperkaya pemahaman
manusia tentang diri mereka sendiri dan tempatnya dalam tatanan alam semesta.
Hal itulah yang dijabarkan oleh Anselmus dalam bukunya “Fides Quaerens Intellectum”. Anselmus ingin
menegaskan bahwa prinsip-prinsip fundamental dalam ajaran agama, terutama dalam konteks agama Kristen,
memiliki kemampuan untuk dikembangkan dan dipahami secara rasional menggunakan akal dan alasan, tanpa
perlu mengandalkan otoritas lain seperti kitab suci, wahyu, atau pandangan para Bapa Gereja. Dalam karyanya
yang terkenal, Proslogion, ia menyajikan sebuah argumen yang tidak hanya relevan bagi mereka yang
memiliki keyakinan agama, tetapi juga dapat diterima oleh individu yang mendasarkan pemikiran mereka pada
akal dan penalaran semata. Argumen ini menyoroti aspek-aspek rasional dan filsafat dari keyakinan akan
keberadaan Tuhan, yang dapat merangsang pertimbangan dan refleksi bagi semua orang, termasuk yang tidak
memeluk agama tertentu. Anselmus menegaskan bahwa pemahaman tentang Tuhan tidak harus terbatas pada
wilayah keyakinan keagamaan semata, tetapi juga dapat dilihat dan dipahami melalui proses pemikiran
rasional yang terbuka bagi semua individu, tidak peduli latar belakang keagamaan atau filosofis mereka.
Anselmus memandang Tuhan sebagai konsep yang melebihi segala sesuatu yang mungkin dipikirkan oleh
manusia. Dalam pandangannya, Tuhan melampaui batas pemikiran dan imajinasi manusia, menjadi eksistensi
tertinggi yang dapat dipahami atau diwujudkan oleh akal budi manusia. Dengan demikian, bagi Anselmus,
Tuhan adalah manifestasi dari “ada” tertinggi yang dapat dicapai oleh pikiran manusia, menjadi titik fokus
dari segala refleksi filosofis dan spiritualitas manusia. Anselmus mengajukan dua pertanyaan mengenai
keberadaan Tuhan. Pertama, apakah pemahaman manusia tentang Tuhan sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya?. Kedua, jika iya, apakah eksistensi Tuhan nyata atau hanya merupakan produk pikiran semata
atau bahkan mungkin merupakan ilusi?
Anselmus menanggapi pertanyaan pertama, bahwa orang yang kurang bijaksana mungkin menolaknya dengan
mengatakan dalam hati mereka bahwa “tidak ada”. Namun, ketika mereka mendengar pernyataan bahwa
“Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar daripada yang tidak bisa difikirkan”, mereka memahami arti kata-kata
tersebut, mereka mengonsepsikan objek yang diartikan oleh kata-kata tersebut. Meskipun mereka mungkin
tidak sepenuhnya percaya pada keberadaannya, objek tersebut ada dalam pemikiran mereka. Fakta bahwa
Tuhan dapat dimengerti, dipikirkan, dan bahkan disanggah menunjukkan bahwa Tuhan ada, setidaknya ada
dalam wilayah pemikiran. Anselmus menyatakan bahwa orang juga dapat berpikir bahwa sesuatu yang
dipertimbangkan dalam pikiran juga dapat ada dalam realitas. Ini merupakan tingkat pemahaman yang lebih
tinggi. Dengan kata lain, jika seseorang memikirkan sesuatu, itu pasti juga ada di luar pemikirannya, yaitu di
dalam realitas. Karena jika tidak, pemikiran tersebut tidak akan memiliki objeknya, dan pemikiran tanpa objek
(apapun bentuknya) adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, menurut Anselmus, tidak ada keraguan

20
bahwa “sesuatu yang lebih besar daripada yang tidak bisa difikirkan” itu ada, baik dalam pikiran maupun
dalam realitas.6
Dalam menjawab pertanyaan kedua, Anselmus menjelaskan bahwa jika suatu konsep hanya ada dalam pikiran
dan tidak memiliki keberadaan di luar pikiran itu sendiri, maka Aristoteles dan Aquinas mengemukakan bahwa
seseorang harus mencari penyebab atau asal mula yang tidak terpengaruh oleh faktor lain. Mereka
menggunakan analogi bahwa jika tangan tidak menggerakkan tongkat, maka tongkat tidak akan menggerakkan
apapun. Dengan demikian, mereka menyatakan bahwa ada suatu kebutuhan untuk mengidentifikasi entitas
pertama yang tidak bergantung pada atau diatur oleh faktor-faktor eksternal. Konsep ini merujuk pada
pandangan bahwa setiap orang memiliki pemahaman akan adanya entitas yang mendasari segala sesuatu, dan
ini biasanya dikaitkan dengan konsepsi tentang Tuhan. Mereka menguraikan bahwa seperti halnya tongkat
harus dipengaruhi oleh gerakan tangan untuk bergerak, setiap perubahan atau keberadaan dalam alam semesta
memiliki asal mula atau penyebabnya. Namun, ada suatu titik di mana ada suatu entitas yang merupakan
penyebab utama, yang tidak dipengaruhi oleh entitas lain, melainkan merupakan sumber atau penyebab bagi
segala sesuatu yang ada. Hal ini mencerminkan pemahaman umum mengenai Tuhan sebagai entitas yang
mendasari segala sesuatu dan tidak terikat oleh batasan atau pengaruh eksternal. Dengan demikian, konsepsi
ini menjadi fondasi pemahaman universal tentang keberadaan Tuhan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemisahan antara iman dan akal memperkenalkan kerumitan
dalam pemahaman manusia tentang Tuhan dan eksistensinya. Sementara iman membawa dimensi spiritual
yang mendalam, akal membawa kemampuan untuk merenungkan dan menganalisis secara rasional prinsip-
prinsip keyakinan agama. Keduanya saling melengkapi, memungkinkan kita untuk mencapai pemahaman
yang lebih holistik tentang Tuhan dan realitas keagamaan. Melalui interaksi yang harmonis antara iman dan
akal, kita dapat mendalami konsep-konsep teologis dengan lebih mendalam dan mencapai keselarasan dalam
pandangan dunia kita. Dalam upaya memahami Tuhan, keterlibatan spiritual, refleksi filosofis, dan
pengalaman manusia memegang peran penting. Ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang keberadaan
Tuhan tidaklah semata-mata berasal dari pikiran manusia, melainkan juga merupakan hasil dari interaksi
kompleks antara akal dan kehadiran ilahi. Dengan demikian, keberadaan Tuhan menjadi bagian yang integral
dari kompleksitas dan makna dalam kehidupan manusia, memberikan landasan bagi pemahaman spiritual yang
lebih dalam dan pengembangan pandangan dunia yang lebih holistik.

6
Simon Petrus L. Tjahyadi. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Dari Descartes Sampai Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 26-
27.
21
BAB IV
PENUTUP
Anselmus adalah seorang teolog yang sangat dihormati, menekankan pentingnya menyatukan iman dan akal
budi dalam memahami keyakinan Kristen. Baginya, iman bukan sekadar keyakinan buta, tetapi juga
memerlukan pemahaman yang mendalam melalui refleksi rasional. Selain itu, Anselm mengakui peran kunci
otoritas gereja dan Kitab Suci dalam membentuk pemahaman akan kebenaran iman Kristen. Dia menekankan
bahwa pengetahuan teologis tidak boleh bertentangan dengan Kredo Gereja, sementara Kitab Suci dianggap
sebagai sumber utama kebenaran. Pendekatan Anselm dalam menangani polemik teologis juga patut
diperhatikan. Dia menunjukkan sikap lembut dan penuh kasih, siap untuk berdialog dengan mereka yang
skeptis atau tidak beriman. Bahkan, dia berusaha meyakinkan mereka dengan bukti rasional, sambil mengakui
bahwa iman Kristen tidak selalu sepenuhnya dapat dimengerti oleh akal semata. Ini menunjukkan toleransi
dan keinginan untuk membimbing orang lain menuju pemahaman yang lebih dalam tentang keyakinan agama.
Anselmus juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pengetahuan ilmiah dan kepercayaan
iman dalam praktik teologi. Dia menegaskan bahwa kesempurnaan dalam pemahaman hanya dapat dicapai
melalui rahmat Tuhan yang diberikan melalui doa dan dedikasi yang tulus. Dengan demikian, Anselm
mengajak kita untuk menghargai peran penting iman dan akal budi dalam memperdalam pemahaman kita
tentang kebenaran agama, sambil tetap menghormati otoritas gereja dan Kitab Suci serta menunjukkan
toleransi dan kelembutan dalam berdialog dengan orang lain.
Untuk memahami tanggapan Anselmus terhadap keberatan Gaunilo, perlu dicermati tiga aspek penting dalam
jawabannya.
Pertama, Anselmus menyoroti pentingnya pemahaman tentang Tuhan dalam konteks keyakinan Kristen. Dia
menekankan bahwa Gaunilo seharusnya memahami bahwa pengetahuan tentang Tuhan melalui Nama-Nya
tidak hanya konsep kosong, tetapi juga mencakup pemahaman akan keberadaan Tuhan. Anselmus juga
menegaskan bahwa Nama Tuhan bukan sekadar kata-kata biasa, melainkan memiliki makna yang dalam
tentang keberadaan Tuhan.
Kedua, Anselmus menanggapi keberatan Gaunilo dengan menegaskan bahwa pengetahuan tentang keberadaan
Tuhan tidak hanya bergantung pada pemahaman intelektual, tetapi juga melibatkan iman. Dia mengkritik
kebingungan Gaunilo tentang sifat pengetahuan tentang Tuhan dan menekankan pentingnya wahyu dan iman
dalam memahami keberadaan Tuhan. Anselmus menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak
terbatas pada akal pikiran semata, tetapi juga melibatkan pengalaman spiritual.
Ketiga, Anselmus menolak argumen Gaunilo bahwa pengetahuan tentang keberadaan Tuhan tidak dapat
dibandingkan dengan pengetahuan tentang objek lain. Dia menekankan pentingnya pemahaman akan Sifat
Tuhan dalam memahami keberadaan-Nya. Anselmus juga mengkritik pandangan Gaunilo tentang
pengetahuan manusia tanpa wahyu dan iman sebagai terbatas dan tidak memadai.
Dalam menghadapi kritik Gaunilo terhadap analogi yang digunakan, Anselmus menanggapi dengan beberapa
poin. Pertama, Anselmus menjelaskan bahwa keduanya, yakni pemahaman intelektual dan eksistensi objek,
22
seharusnya terjadi secara bersamaan, dan bahwa Gaunilo gagal memahami hal ini. Anselmus juga menekankan
bahwa analogi tersebut digunakan dengan hati-hati untuk menunjukkan hubungan antara pemahaman
intelektual dan eksistensi objek. Kedua, Anselmus menegaskan bahwa pemahaman Agustinus tentang analogi
tersebut sejalan dengan pemahamannya sendiri, dan bahwa Gaunilo gagal memahami konteksnya secara
menyeluruh. Anselmus menunjukkan bahwa Gaunilo tampaknya terobsesi dengan menunjukkan kelemahan
dalam argumen Anselmus tanpa memahami secara menyeluruh konteksnya, dan bahwa keberatan Gaunilo
terhadap pemikiran baru Anselmus sebagai pencipta Tuhan tidak beralasan. Terakhir, tanggapan Anselmus
terhadap keberatan Gaunilo memperkuat pemahaman tentang hubungan antara pengetahuan manusia tentang
Tuhan dan keberadaan-Nya. Diskusi mereka menyoroti kompleksitas dari pemahaman akan Tuhan dalam
intelektu dan realitas serta implikasinya terhadap identifikasi Tuhan yang sesungguhnya.

23
DAFTAR PUSTAKA
Boice, James Montgomery. Dasar-Dasar Iman Kristen. Surabaya: Penerbit Momentum, 2015.

Greenspan, Louis & Anderson, Stefan. Bertuhan Tanpa Agama. Terj. Russell on Religion

Honig Jr., AG. Ilmu Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Hadiwijono. Hindu dan Budha. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Solomon, Robert C. & Higgins, Kathleen M. Sejarah Filsafat. Terj. A Short History of Philosophy. Yogyakarta:

Yayasan Bentang Budaya, 2002.

Tjahyadi, Simon Petrus L. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Dari Descartes Sampai Whitehead. Yogyakarta:

Kanisius, 2011.

24

Anda mungkin juga menyukai