Anda di halaman 1dari 30

LENSA APOLOGETIKA INTEGRATIF

FIETER ASWANDI SIAHAAN


SERI KAJIAN EDUKASI TEOLOGI :
IMAN & RASIONALITAS
IMAN & RASIONALITAS

1. Prolegomena : Substansi
Iman dan Rasionalitas
2. Historis Progresivitas
Iman dan Rasionalitas
Prolegomena :
Substansi Iman dan Rasionalitas
Prolegomena : Substansi Iman dan Rasionalitas

Questions
Apakah iman bertentangan dengan rasio atau akal budi, ataukah rasio adalah sesuatu
yang tidak bersangkut paut dengan iman? Hal ini adalah pertanyaan klasik di dalam
kekristenan, oleh karenanya telah mempengaruhi agama Kristen selama berabad-abad.
Berdasarkan pertanyaan di atas muncul dua macam ekstrim, yakni :
1. Kaum Fideisme/Religius yang menekankan bahwa Iman merupakan Inti tunggal
sebagai fondasi Kekristenan, dalam memahami eksistensi realitas kehidupan.
2. Kaum Rasional/Free Thinker, yang menempatkan Rasionalitas sebagai Instrumen
Analisis dalam memverifikasi realitas kehidupan secara logis dan empiris. Immanuel
Kant (1724-1804) in The Critique of Pure Reason berkata : "gunakanlah rasiomu
setinggi mungkin", bahkan Rene Descartes (1596-1650) in Discourse on the Method
berkata, "Cogito ergo sum, I think therefore I am. I am a thinking being“.
Prolegomena : Substansi Iman dan Rasionalitas
Iman
Kata iman dalam bahasa lbrani, berasal dari kata "Emun",yang berarti kesetiaan, dan kata "Batakh",
yang berarti percaya. Dalam bahasa Yunani, iman berasal dari kata "Pistis", (kata benda), yang berarti
kepercayaan, keyakinan, dan iman itu sendiri, dan kata " Pisteo {' (kata kerja), yang artinya, percaya,
meyakini, mengimani. Dalam istilah bahasa Inggris kata ini mempunyai pengertian yang sama dengan
pengertian di atas, yaitu "Faith" : kepercavaan, dan keyakinan.

Peter Kreeft dan Ronald K. Tacelli in Pedoman Apotogetik Kristen 1, dalam memberikan definisi iman
membagi ke dalam dua bagian.
1. Objek iman, yaitu segala sesuatu yang dipercayai, melalui pernyataan Allah dalam Alkitab.
2. Tindakan iman, yaitu bukan hanya percaya tetapi rela mengorbankan diri dalam kepercayaan
tersebut. Dalam aspek ini ada tiga jenis yaitu (a) Iman emosional, yaitu ekspresi kepercayaan yang
didorong oleh Perasaan (b) Iman intelektual, yaitu dengan memahami secara logis, analitis dan
kritis. (c) Iman volisional adalah tindakan kehendak, suatu komitmen untuk menaati kehendak
Allah.
Prolegomena : Substansi Iman dan Rasionalitas
Rasionalitas
Apakah yang dimaksud dengan rasio? W.I.S. Poerwadarminta in Kamus Umum Bahasa Indonesia
memberikan definisi rasio yaitu: alat berpikir; daya pikir (untuk mengerti & memahami subtansi
objek).

Dalam definisinya tentang akal, Peter Kreef dan Ronald K. Tacelli in Pedoman Apotogetik Kristen 1
membagi akal itu ke dalam dua bagian yang mempunyai pengertian yang berbeda-beda.
1. Objek dari Rasio. Yaitu segala sesutu yang dapat diketahui oleh pikiran, di mana dalam hal ini
melibatkan tiga hal seperti dalam logika Aristoteles klasik, yaitu (a) Dimengerti oleh akal tanpa
iman, (b) Ditemukan oleh akal sebagai kebenaran, (c) Dibuktikan secara logika tanpa adanya
pengaruh dari iman
2. Tindakan akal. Dalam hal ini melibatkan tiga hal yang terdapat dalam objek akal yaitu
memahami, menemukan, dan membuktikan. Jadi, akal adalah kemampuan yang dimiliki oleh
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang mana manusia terdiri dari pikiran, kehendak, dan
perasaan, untuk menyelidiki, menguraikan, meneliti, dan menganalisa segala sesuatu.
Prolegomena : Substansi Iman dan Rasionalitas
Menurut Immanuel Kant (1724-1804) in The Critique of Pure Reason, Rasio diklasifikasikan ke
dalam tiga bagian :
1. Rasio murni, yaitu akal yang mempelajari, menganalisa, menguraikan sesuatu hal yang bersifat
materi, yaitu segala sesuatu yang masuk akal.
2. Rasio praktis, adalah bagian yang menyangkut masalah etika yang tidak bisa diuraikan oleh akal,
seperti bagaimanakah manusia harus bermoral? bagaimana manusia harus berkehendak? Pada
aspek tersebut merupakan hal yang tidak bisa diuraikan dengan rasio murni.
3. Rasio kritis, yaitu bagian mengenai segala sesuatu di luar diri manusia, seperti mempertanyakan
eksistensi Allah. Pada aspek ini juga tidak bisa diuraikan dengan rasio murni.

Menurut Immanuel Kant, yang paling rendah nilainya adalah akal murni, di mana hanya bisa
menguraikan hal-hal yang ada di bawah manusia, hal hal yang masuk akal' Etika, atau perilaku
manusia, tidak bisa diuraikan dalam laboratorium atau dianalisis dengan akal murni, apalagi
tentang hal-hal yang transenden yang berada di luar manusia yaitu Allah.
Prolegomena : Substansi Iman dan Rasionalitas
Konklusi Ringkas :
1. Objek iman, yaitu segala sesuatu yang dipercayai, melalui pernyataan Allah dalam Alkitab.
2. Tindakan iman, yaitu bukan hanya percaya tetapi rela mengorbankan diri dalam kepercayaan
tersebut. Dalam aspek ini ada empat macam yaitu (a) Iman emosional (b) Iman intelektual (c)
Iman volisional
3. Rasio murni, yaitu akal yang mempelajari, menganalisa, menguraikan sesuatu hal yang
bersifat materi, yaitu segala sesuatu yang masuk akal.
4. Rasio praktis, adalah bagian yang menyangkut masalah etika yang tidak bisa diuraikan oleh
akal, seperti bagaimanakah manusia harus bermoral? bagaimana manusia harus
berkehendak? Pada aspek tersebut merupakan hal yang tidak bisa diuraikan dengan rasio
murni.
5. Rasio kritis, yaitu bagian mengenai segala sesuatu di luar diri manusia, seperti
mempertanyakan eksistensi Allah. Pada aspek ini juga tidak bisa diuraikan dengan rasio
murni.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Kajian ini berfokus pada eksplorasi literasi sumber periode Abad
Pertengahan dan Reformasi.
Abad Pertengahan
1. Anselm dari Canterbury (1033-1109)
2. Bonaventura dari Bognoregio (1221-1274)
3. Thomas Aquinas (1225-1274)

Abad Reformasi
4. Martin Luther (1483-1546)
5. Philipp Melanchthon (1497-1560)
6. John Calvin (1509-1564)
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas

Etienne Gilson dalam bukunya, Reason and


Revelation in The Middle Ages berpendapat bahwa
secara umum relasi antara Iman dan Rasionalitas pada
masa abad pertengahan berada di dalam hubungan
yang harmonis, dimana keharmonisan tersebut oleh
para teolog cenderung ada pada dua posisi yang
berbeda, yaitu antara theologism dan rationalism.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Abad Pertengahan
Anselm dari Canterbury (1033-1109)
Pemikiran Anselm dilatarbelakangi oleh konteks historis, di
mana terdapat dua arus pemikiran yang berkembang pada
masa itu, yaitu kelompok yang berusaha untuk menjaga
kehidupan monastik dan kelompok yang lebih terbuka dengan
filsafat sekuler.
Oleh karena hal tersebut, Anselm berupaya untuk
membuat sintesis terhadap problem tersebut.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Anselm dalam bukunya, Proslogion, menyatakan bahwa “For I do not seek to
understand so that I may believe; but I believe so that I may understand.”
Ketika ia menggunakan kata believe dan understand, yang juga berarti Iman dan
Rasio, Anselm tidak membatasi pengetahuan yang dimiliki manusia tentang
Allah. Bahkan Gilson mengatakan bahwa bagi Anselm, di dalam Iman, kapasitas
rasio tidak memiliki batas.
Tetapi prinsip ini tidak berarti bahwa seluruh mystery of faith dapat dijelaskan
oleh rasio. Bagi Anselm, rasio tidak bersifat niscaya dan Iman bersifat niscaya,
sehingga untuk dapat memahaminya diperlukan presuposisi terhadap
keberadaan Iman terlebih dahulu. Jadi melalui pemikiran Anselm terbentuklah
sebuah sistem teologi yang memberikan ruang yang leluasa bagi reason, namun
dengan tetap memiliki fungsi untuk melayani mystery of faith.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Abad Pertengahan
Bonaventura dari Bognoregio (1221-1274)
Dua pemikiran yang mendasar dari Bonaventura dalam bukunya, St.
Works on St. Bonaventure: Breviloquium mengenai relasi Iman dan
Rasionalitas, yang pertama posisi iman adalah “above ratio”, dan yang
kedua mengenai unsur pembentuk dari Iman yang berupa “cognition”
dan “affection”.
Namun Bonaventura memiliki penekanan khusus terkait relasi Iman dan
Rasionalitas. Ia menegaskan posisi rasio, sebagai sesuatu yang
mengandung banyak kesalahan (error), sehingga berpegang pada filsafat
saja adalah sebuah kesia-siaan. Itu sebabnya, manusia membutuhkan
pemberian anugerah dari Allah yang berupa Iman.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Bagi Bonaventura, Iman bukan merupakan musuh terhadap rasio, melainkan
merupakan “fellow traveler” yang bersama-sama membawa the soul untuk berjalan
semakin dekat kepada Allah. Tetapi di dalam perjalanan Iman harus berjalan lebih dahulu
dari pada rasio, dan harus ikut pada tuntunan Iman. Bonaventura mengatakan, “it
[intellect] must believe, therefore, not only what is in accord with reason, but even
surpasses reason and is contrary to sense perception.”
Bonaventura, dalam kutipan ini, berusaha untuk menjaga aspek misteri dari Iman. Di
dalam perjalanan antara Iman dan Rasio, Allah di dalam anugerah-Nya akan selalu
membawa manusia kepada “God-conformed perfection”, di mana dalam setiap anugerah
tersebut hati manusia menjadi “purifies, illumines, and perfects the soul; that vivifies,
reforms, and strengthen it; that elevates it, likens it, and joins it to God.” Jadi menurut
Bonaventura, relasi yang harmonis antara iman dan rasio mampu membawa manusia
semakin dekat kepada Allah, serta semakin disempurnakan di dalam Dia.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Abad Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1274)
Muller menyebutkan bahwa Aquinas merupakan seorang teolog yang mengambil
langkah lebih jauh untuk menjelaskan karakter ilmiah dari teologi. Akibatnya, Aquinas
harus menjelaskan tentang status teologi sebagai sains, cabang ilmu lainnya sebagai
sains, serta menentukan relasi antara keduanya. Dalam Summa Theologica, Aquinas
menjelaskan bahwa “hanya ada satu science yang di dalamnya terbagi menjadi higher
science dan other science.”
Ia menyebutkan bahwa higher science adalah ilmu tentang Tuhan dan “the
blessedness”, sedangkan other science dapat disebut sebagai filsafat. Aquinas
berpendapat bahwa other science berperan sebagai pelayan daripada higher science.
Pendapat ini didasarkan pada pandangan Aquinas yang melihat bahwa filsafat yang
dibangun atas fungsi Rasio mengandung banyak kesalahan (error).
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Oleh sebab itu Rasio tidak dapat berjalan sendirian, melainkan harus berjalan bersama
dengan Iman, dan berfungsi untuk melayani Iman. Aquinas menyimpulkan dalam sebuah
kalimat yang terkenal, yaitu: “grace does not destroy nature, but perfects it.” Dalam rangka
disempurnakan oleh anugerah Allah maka diperlukan suatu tindakan terhadap reason. Untuk
dapat menjelaskan hal ini, Aquinas menggunakan alegori dari dua bagian Alkitab.

Pertama, Aquinas mengumpamakan relasi Iman dan Rasio seperti mengubah air tawar
menjadi air anggur.
Kedua, Aquinas mengutip 2 Korintus 5:10 dimana ia mengambil prinsip dari ayat tersebut,
bahwa seluruh kapasitas rasionalitas dari manusia perlu untuk tunduk atas kehendak Allah.
Menurut Aquinas, transformasi yang terjadi melalui relasi Iman dan Rasio bertujuan untuk
menunjukkan adanya motif keselamatan bagi umat manusia. Dengan adanya rasio yang
dikuduskan kepada tuntunan Allah, maka manusia dapat berjalan menuju keselamatan dalam
Kristus.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Abad Pertengahan
Konklusi Abad Pertengahan oleh pemikiran Anselm, Bonaventura dan
Aquinas, berfokus pada representasi peran rasio sebagai pelayan bagi
mystery of faith. Ketiganya menegaskan bahwa rasio tidak dapat berjalan
sendirian, melainkan harus mengarah dan tunduk atas tuntunan iman.

Berdasarkan relasi ini maka akan terjadi transformasi bagi manusia,


di mana oleh karya Kristus melalui keselamatan, maka rasio
menjadi alat untuk meneguhkan, mendorong, menuntun,
mempelajari, mengenal dan mendedikasikan kehidupan
sepenuhNya kepada Allah Tritunggal, melalui Iman yang
dianugrahkan.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas

Ketiga tokoh Abad Pertengahan (Anselm, Bonaventura dan


Aquinas) dapat dilihat bagaimana para teolog ini berusaha
untuk menunjukkan peran Rasio sebagai pelayan bagi
misteri Iman.
Ketiganya menegaskan bahwa Rasio tidak dapat berjalan
sendirian, melainkan harus mengarah dan tunduk atas
tuntunan Iman. Di dalam relasi ini maka akan terjadi
transformasi bagi manusia, oleh karya Kristus melalui
keselamatan yang telah dituntaskanNya.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Momentum ini merupakan gerakan pengembalian Alkitab dan teks para Bapa
Gereja sebagai dasar dari pengajaran gereja. Akan tetapi, di dalam
penerapannya gerakan ini justru memunculkan dua kelompok besar, yang
dikenal dengan istilah Reformation dan Counter-Reformation.
Heiko A. Oberman berpendapat bahwa kedua kelompok ini terpecah
berdasarkan sikap yang berbeda terhadap Alkitab dan tradisi para Bapa Gereja.
Oberman menggunakan istilah tradition I untuk menggambarkan kelompok
reformation yang menjadikan Alkitab sebagai dasar dan otoritas atas
pengajarannya, sedangkan tradition II untuk menggambarkan kelompok
counterreformation yang memberikan otoritas pengajaran gereja kepada
Alkitab, Tradisi dan Magisterium.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Martin Luther (1483-1546)
Dalam salah satu artikelnya Luther mengatakan, “the whole Aristotle is to theology as
darkness is to light.” Dari kutipan ini, Luther ingin berhati-hati terhadap penggunaan rasio.
Luther menganggap bahwa kapasitas rasio manusia memiliki potensi otokratik, dimana ia
dapat memimpin seluruh kehidupan manusia tanpa peran iman. Langkah ini yang membuat
Luther membatasi kapasitas rasio terhadap Iman.
Luther membedakan fungsi rasio di dalam dua ranah yang berbeda, yaitu coram mundo (di
dalam ciptaan) dan coram Deo (di hadapan Allah). Luther menyadari bahwa terdapat peran
dari rasio dalam menolong umat agar dapat memahami apa yang mereka percayai, namun di
dalam cakupan yang lebih luas keduanya tidak dapat disatukan. Mungkin bagi Luther, iman
adalah sesuatu yang non-reason (atau tanpa reason), dimana di dalam ruang misteri tersebut
rasio tidak dapat berkata apa-apa. Berdasarkan pada permasalahan ini, maka Luther
mengambil jalan lain untuk menjembatani Iman dan Rasio.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Martin Luther (1483-1546)
Pertama-tama Luther mengatakan bahwa faith tidak dapat muncul tanpa adanya pewahyuan Allah
yang terjadi dalam Alkitab. Bagi Luther, iman harus dibangun atas Alkitab yang akan selalu
mengingatkan bahwa kehadiran iman bukanlah pekerjaannya sendiri, melainkan anugerah dari Allah
yang telah lebih dahulu menganugerahkannya. Dalam bagian ini, rasio dapat berkreasi sejauh hal
tersebut dapat sejalan dengan wahyu Allah dan sesuai dengan tuntunan Roh Kudus. Namun sampai
pada titik tertentu, rasio harus melepaskan tanggung jawabnya karena hanya tersisa tanggung jawab
dari iman. Dalam bagian iman, Luther berpendapat bahwa, hanya akan terdapat hati nurani manusia di
sana, yang secara terus menerus ingin untuk berharap dan percaya pada janji keselamatan dari Allah.
Jadi, di dalam upaya Luther untuk berespons terhadap permasalahan teologis yang ada pada
masa awal reformasi, ia memberikan penekanan akan iman yang harus didasarkan pada
wahyu Allah. Sebuah kehidupan iman yang bergantung pada karya Allah, melalui pengetahuan
yang didapatkan pada Alkitab dan Roh Kudus yang menerangi hati manusia. Tujuan akhir dari
Iman adalah pengharapan keselamatan jiwa manusia atas dosa.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Philipp Melanchthon (1497-1560)
Philip Melanchthon adalah rekan teolog yang membantu Martin Luther (1483-1546) untuk melakukan
reformasi di Jerman. Jika Luther berusaha mereformasi gereja melalui khotbah-khotbahnya,
Melanchthon berusaha melakukan reformasi di dunia akademik. Kedekatan yang terjalin antara Luther
dan Melanchthon menyebabkan terdapat kesamaan pandangan teologis di antara mereka berdua.
Berdasarkan motif utama dari gerakan reformasi yang diawali oleh Luther, Melanchthon berpendapat
bahwa teologi harus dibangun atas “God’s self-revelation”, yaitu Alkitab, yang telah diterangi oleh
Roh Kudus.
Dalam bukunya ia menuliskan, “In the first place, it is clear that natural understanding is not enough
because natural understanding speaks only of laws and punishments.” Persis dalam bagian ini,
Melanchthon tidak dengan mudah mengambil posisi seperti Luther yang secara eksplisit menolak
filsafat. Sachiko Kusukawa dalam bukunya “The Transformation on Natural Philosophy: The Case of
Philipp Melanchthon” berpendapat bahwa Melanchthon mengambil jalan a posteriori dalam upaya
menjelaskan relasi law and gospel, yang juga berimplikasi dalam relasi Iman dan Rasio.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Philipp Melanchthon (1497-1560)
Melanchthon menjelaskannya dengan mengatakan bahwa “God implanted the knowledge of
virtue in men precisely that we might know and be aware that God is, that He is a wise
being, the fullness of virtues.” Kusukawa menjelaskan bahwa Melanchthon tidak berusaha
untuk membuang filsafat yang lalu, melainkan ia mengubahnya agar dapat sejalan dengan
Alkitab. Jadi bagi Melanchthon, rasio manusia memang telah jatuh ke dalam dosa, namun jika
rasio dapat tunduk pada Wahyu Ilahi, maka akan tercipta sebuah pengajaran yang benar dan
dapat menjadi sebuah tempat bagi iman untuk bernaung.

Melanchthon berkata : “We should…learn that right doctrine and receive it


with firm faith, in order that invocation of God may remain true and firm.”
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
John Calvin (1509-1564)
Pemikiran Calvin tentang relasi Iman and Rasio dapat dilihat dari pembedaan yang ia lakukan terhadap
pengetahuan akan Allah, yaitu antara nonsaving knowledge of God dan saving knowledge of God (dikenal
dengan istilah duplex cognitio Dei). Pertama-tama, Calvin menggambarkan bagaimana ciptaan merupakan
ekspresi dari Allah sendiri, sehingga keindahan ciptaan dapat dinikmati oleh manusia. Calvin mengatakan,
“You cannot in one glance survey this most vast and beautiful system of the universe, in its wide
expanse, without being completely overwhelmed by the boundless force of its brightness.” Calvin juga
menambahkan bahwa secara alamiah, di kedalaman hati manusia, terdapat “sense of divinity”.
Akan tetapi terdapat sebuah permasalahan yang substansial yang membuat “sense of divinity” tidak
mampu membawa kepada pengetahuan yang benar akan Allah. Permasalahan itu adalah adanya natur
dosa. Calvin sendiri mengatakan bahwa, “Yet that seed remains which can in no wise be uprooted: that
there is some sort of divinity; but this seed is so corrupted that by itself it produces only the worst fruits.”
Jadi, sekalipun manusia memiliki bibit dari dalam hatinya untuk mencari Tuhan, serta di dalam
kapasitasnya ia mampu mengenal Tuhan, sesungguhnya yang ia sembah adalah “idol”. Itu sebabnya
manusia memerlukan Iman dari Allah.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
John Calvin (1509-1564)
Calvin mendefinsikan iman sebagai “a firm and certain knowledge of God's benevolence toward us,
founded upon the truth of the freely given promise in Christ, both revealed to our minds and sealed upon
our hearts through the Holy Spirit.” Pengetahuan yang harus dimiliki oleh manusia adalah pengetahuan
yang didapatkan melalui Firman Allah serta di dalam karya Roh Kudus. Pembedaan faith yang dilakukan
oleh teolog pada masa abad pertengahan, Calvin berpendapat bahwa Iman bekerja melalui fakultas intelek
untuk berkeinginan menggapai pengetahuan tentang Allah (notitia dan assensus) dan fakultas kehendak
(fiducia) yang mendorong hati manusia untuk diarahkan kepada Tuhan.
Anugerah Allah yang pertama-tama diberikan bagi manusia dalam bentuk iman yang didasarkan atas
Firman Allah, kini dapat mengerjakan bibit yang telah tertanam dalam jiwa manusia untuk mengenal Allah
yang benar. Di dalam iman yang seperti ini maka manusia mampu untuk mengenal Allah yang benar
sebagai pencipta dan penebusnya. Jadi, di dalam pemikiran Calvin, rasio tidak dapat berdiri sendiri.
Sekalipun ia memiliki kapasitasnya sendiri, ia tidak mampu untuk menuju kepada pengetahuan tentang
Allah yang benar. Rasio perlu menerima iman sebagai anugerah Allah yang pertama-tama diberikan kepada
manusia, kemudian akan membawanya kepada pengenalan yang benar tentang Allah.
Historis Progresivitas Iman dan Rasionalitas
Periode Reformasi
Berdasarkan Ketiga pemikiran Teolog Reformasi, Iman dan Rasio
merupakan sebuah sarana yang menjembatani manusia untuk
mengenal Allah dan Karya Keselamatan Penebusan. Rasio yang
dikuduskan, memimpin setiap orang percaya pada peneguhan
doktrin yang benar, dan tidak memandang hierarki antara Iman
dan Rasio. Melainkan sebagai kaki kanan dan kiri, yang
digunakan secara simultan untuk berjalan atau melangkah pada
perpustakaan kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai