Anda di halaman 1dari 84

BAGIAN II

SUBSTANSI KAJIAN
MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

I. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Berpikir dan bersikap sesuai dengan aliran teologis yang dapat menunjang
perkembangan IPTEK dan peningkatan etos kerja.
2. Membuktikan adanya Tuhan melalui kajian ilmiah, sehingga dapat
memantapkan iman.
3. Bersikap dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan
iman.
4. Bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan
iman.
5. Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan amal saleh dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Menerangkan peranan iman dan takwa, sehingga meyakini benar
perlunya beriman dan bertakwa.

Daftar Istilah Penting


Filsafat Ketuhanan : Analisis logis tentang Tuhan
Ibadah Mahdhah : Ibadah yang sudah ditentukan macam, cara,
waktu, dan bacaannya.
Karakter Islam : Watak/sifat/tabiat Islam.
Pola pikir teologis : Pola pikir berkenaan dengan ilmu ketuhanan.
Bersifat azali : Wujud yang terbentuk secara abadi tanpa adanya
permulaan.

1.1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam


Filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Dalam
hal ini terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama adalah menerangkan
apa yang benar dan apa yang baik, sedang filsafat juga menerangkan apa yang benar
dan apa yang baik. Yang Benar Pertama (alhaqqul awwalu = the First Truth) menurut
al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan,
sebagaimana dinyatakan al-Kindi: Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya
adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab
bagi segala yang benar (Harun Nasution, 1978:15).
Sesuai dengan paham dalam Islam, menurut al-Kindi Tuhan adalah Pencipta.
Menurut al-Kindi, alam bukan kekal di zaman lampau (qadim), tetapi mempunyai
permulaan. Dalam hal ini al-Kindi lebih dekat pada filsafat Plotinus, yang
mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah Sumber dari alam dan sumber dari
segala yang ada. Alam adalah emanasi dari Yang Maha Satu (Harun Nasution,
1978:16).
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik,
menjadi bukti adanya sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu Akal
yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya ada dan
percaya pula bahwa alam ini ada. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dilakukan berbagai kegiatan ilmiah.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang
adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: Percaya adanya makhluk,
tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum
pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan.
Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu,
bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan
sendirinya tanpa pencipta?
Pemikiran terhadap Allah yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw.
Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang
bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadits. Sebagian umat
memahami dengan pendekatan kontekstual, sehingga lahir aliran yang bersifat
liberal. Sebagian umat Islam memahami dengan pendekatan tekstual, sehingga lahir
aliran yang bersifat tradisional. Sedangkan sebagian umat Islam yang lain memahami
dengan pendekatan antara kontekstual dengan tekstual, sehingga lahir aliran yang
bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai
sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.

Keimanan dan Ketakwaan


Dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat yang redaksionalnya terdapat kata
iman, di antaranya terdapat pada surat al-Baqarah ayat 165:

Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-


tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
Berdasarkan teks ayat tersebut dapat diketahui bahwa iman adalah identik
dengan asyaddu hubban lillah. Asyaddu hubban berarti sikap yang menunjukkan
kecintaan atau kerinduan yang luar biasa terhadap Allah. Dari ayat tersebut
tergambar bahwa iman adalah sikap atau attitude, yaitu kondisi mental yang
menunjukkan kecenderungan atau keinginan luar biasa terhadap Allah. Orang yang
beriman kepada Allah adalah orang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk
mewujudkan harapan atau kemauan yang dituntut Allah kepadanya.
Kata takwa berasal dari waqa, yaqi, wiqayah, yang berarti takut, menjadi,
memelihara, dan melindungi. Sesuai dengan makna etimologis tersebut, maka
takwa dapat diartikan sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam
pengamalan ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten atau istiqamah (Depag,
1999 : 157-158). Dalam surat al-Baqarah ayat 177 :

Artinya : bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat di atas menjelaskan karakteristik orang-orang yang bertakwa, yang


secara umum dapat dikelompokkan dalam lima indikator ketakwaan, yaitu :
1. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi. Indikator
ketakwaan yang pertama adalah memelihara fitrah iman.
2. Mengeluarkan harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin, orang-orang yang terputus di perjalanan, orang-orang yang meminta-
minta dana, dan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
kewajiban memerdekakan hamba sahaya. Indikator takwa yang kedua adalah
mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan melalui kesanggupan
mengorbankan harta.
3. Mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Indikator takwa ketiga adalah
memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah memelihara kehormatan diri.
5. Sabar di saat kepayahan, kesusahan, dan di waktu perang, atau dengan kata lain
memiliki semangat perjuangan.
Implementasi Iman dan Takwa
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Allah, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan
dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan orang itu sudah bertauhid secara
sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna
adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan
manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni
dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep dan pelaksanaan, pikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan
demikian bertauhid adalah mengesakan Allah dalam pengertian yakin dan percaya
kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan,
dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan
beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat
asyhadu allaa ilaaha illaa Allah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah),
kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan
segala larangan-Nya (Yunan Yusuf, 16-21).

II. Konsep Manusia Menurut Islam

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan perbedaan pandangan Al-Quran dengan pendapat ulama
Islam tentang konsep manusia.
2. Melakukan ibadah dengan benar, karena memahami tujuan penciptaan
manusia adalah beribadah.
3. Berpikir dan bersifat sesuai dengan fungsi dan peran manusia menurut
Al-Quran.
4. Berperilaku sesuai dengan tanggung jawab dirinya sebagai hamba dan
khalifah Allah.

Daftar Istilah Penting


Ruh bersifat azali : Ruh merupakan wujud yang terbentuk secara
abadi tanpa adanya permulaan.
Biologis manusia : Mempunyai hubungan dengan ilmu
pengetahuan tentang gejala hidup manusia dan hubungan dengan
sesamanya dan dunia di luar dari lingkungannya.
Pembudayaan ilmu : Proses memajukan budaya/ilmu menjadi
suatu kebiasaan yang mutlak.
Memikul amanah : Memikul kepercayaan/pesan.

2.1. Hakikat Manusia


Konsep manusia dalam Al-Quran dipahami dengan memperhatikan kata-kata
yang saling menunjuk pada makna manusia yaitu kata basyar, insan dan al-nas. Allah
memakai konsep basyar dalam Al-Quran sebanyak 37 kali, salah satunya al-Kahfi:
110, yaitu:

Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku : Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada Tuhannya.
(Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar
selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat
atau lempung kering seperti pada surah al-Hijr: 33; yaitu :

Artinya : Berkata Iblis : Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang
Engkau Telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk
Begitu pula pada surah al-Ruum : 20

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu


dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
Serta manusia makan dan minum (al-Muminuun : 33).

Artinya : Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir diantara kaumnya dan yang
mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang Telah kami mewahkan
mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) Ini tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu
minum.
Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq : 5),
yaitu :

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia
sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzah : 72).
Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah
kesempurnaan. Kata an-Nas disebut sebanyak 240 kali, seperti dalam surah az-
Zummar:27 :
artinya : Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini
setiap macam perumpamaan.
Konsep an-Nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau
secara kolektif. Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah,
sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan an-Nas bertalian dengan
hembusan Ilahi atau ruh Allah, memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk
atau menantang takdir Allah.
Menurut pandangan Murtadha Mutahhari manusia adalah makhluk serba
dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan,
membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah, supaya ia dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang
bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.
Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi
keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima,
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia
dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa
nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam,
manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, ia akan
mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia
diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa ia diciptakan.
(Murtadha Mutahhari, 1984, 125-135).

2.2. Martabat Manusia


Manusia sebagai makhluk memiliki keunggulan dan keistimewaan dari
makhluk lain. Keunggulan tersebut karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang
terbaik dan sempurna (ahsani taqwiim QS. At-Tiin: 95 : 4), dengan bentuk tubuh
yang elastis dan dinamis, serta diberi akal, kewajiban, dan tanggung-jawab.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu gumpalan tanah dan hembusan
ruh. Ia adalah kesatuan dari kedua unsur tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Bila
terpisah, maka ia bukan lagi manusia, sebagaimana halnya air, yang merupakan
perpaduan antara oksigen dan hidrogen. Dalam kadar-kadar tertentu bila salah satu
di antaranya terpisah, maka ia bukan air lagi.
Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari
gumpalan tanah, harus menurut cara-cara manusia, bukan seperti hewan. Demikian
pula dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohaniah bukan seperti malaikat.
Sebab kalau demikian, ia akan menjadi binatang atau malaikat, yang keduanya akan
membawa jatuh dari hakikat kemanusiaannya.
Manusia kecuali diberi potensi positif ada juga potensi negatif berupa
kelemahan-kelemahan sebagai manusia. Kelemahan pertama, potensi untuk
terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan. Kedua, dinyatakan secara tegas
oleh Al-Quran bahwa banyak masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran
manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta banyak hal menyangkut
hakikat manusia.
Al-Quran menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah, sebagai
khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-
duniawi, yang dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Allah, bebas, terpercaya,
rasa tanggung-jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia
keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai dengan
kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan manusia dimulai
dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan,
tetapi hal itu tidak akan menghapuskan kegelisahan, kecuali manusia dekat dengan
Allah dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak terbatas, baik dalam kemampuan
belajar maupun dalam menerapkan ilmu.
Manusia memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi atau
pendorong manusia, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat
secara leluasa memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada dirinya,
namun pada saat yang sama, manusia harus menunaikan kewajiban kepada Allah.

2.3. Tanggung Jawab Manusia


Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat Allah, yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka
bumi adalah tugas kekhalifahan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah, di muka
bumi untuk mengelola dan memelihara alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia
menjadi khalifah, berarti manusia memperoleh mandat Allah untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat
kreatif, yang memungkinkan dirinya mengolah serta mendayagunakan apa yang ada
di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Allah.
Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah
mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaan-Nya. Melalui
pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam
ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa
membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
Kekuasaan manusia sebagai khalifah Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwalikinya, yaitu hukum-
hukum Allah baik yang tertulis dalam kitab suci (Al-Quran), maupun yang tersirat
dalam kandungan alam semesta (al-Kaun). Seorang wakil yang melanggar batas
ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya,
serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta
pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang
diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam surat Fathir ayat 39 yaitu :



Artinya : Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang
siapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi
Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka.
Di samping peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi yang memiliki
kebebasan, ia juga sebagai hamba Allah (abdullah). Sebagai hamba Allah harus taat
dan patuh kepada perintah Allah.
Makna yang esensial dari kata abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan
kepatuhan. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan
kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan pada
kebenaran dan keadilan.
Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi, sebagai khalifah dan abd
merupakan keterpaduan tugas dan tanggung-jawab yang melahirkan dinamika hidup
yang sarat dengan kreativitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai
kebenaran (Toto Suryana, dkk, 1996:18-21).
2.4. Perwalian Dalam Akad Nikah
Pengertian madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlak
Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbath.
Pengertian bermadzhab ialah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istimbathnya.
Kalau kita perhatikan, dalam menetapkan suatu hukum, adakalanya terdapat
perbedaan pendapat di antara imam-imam madzhab itu, walaupun sama-sama merujuk
kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah, disamping sumber hukum lainnya baik yang
muttafaq `alaih maupun yang mukhtalaf fiih.
Termasuk dalam pembahasan hukum yang terdapat perbedaan pendapat, yaitu
masalah Perwalian dalam akad nikah. Makalah ini akan menjelaskan tentang perwalian
dalam akad nikah, yang terlebih dahulu mengemukakan pengertian dan hukum nikah itu
sendiri.

A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih Allah SWT. sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya.
Nikah menurut bahasa seperti yang dinyatakan dalam kitab Fathul Mu`in yaitu
( )yakni menjadi satu yakni berkumpul. Menurut Syara` yaitu akad yang
mengandung pembolehan (hal yang membolehkan) watha` (setubuh/jima) dengan
lafaz nikah atau kawin.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasanngan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Allah
SWT, berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 1 yang artinya : Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya. Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik
atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat
manusia, maka Allah SWT. mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.

B. Hukum Nikah
Nikah itu sunat hukumnya bagi orang yang menginginkannya dengan syarat
mempunyai kemampuan untuk belanja nikah seperti mahar, pakaian dan nafkah. Dan
makruh hukumnya bagi orang yang tidak menginginkan nikah jika ia tidak mampu
(punya belanja nikah) atau mampu tetapi memiliki penyakit impoten atau terlalu tua,
dan jika orang yang tidak menginginkan nikah tadi mempunyai kemampuan nafkah
dan tidak memiliki penyakit tersebut, jika ia sibuk mengerjakan ibadah maka lebih
afdhal tidak menikah, namun jika ia tidak sibuk dengan mengerjakan ibadah maka
menikah lebih afdhal.
Dan wajib jika karena nadzar, jika keadaanya mencukupi syarat mendapatkan
hukum sunat nikah seperti yang tersebut di atas.
C. Perwalian dalam Pernikahan
1. Pendapat tentang Wali sebagai Syarat Sah Pernikahan
a. Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka
nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini
berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada
wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa
perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-
Baqarah ayat 232:

Artinya : .maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya
Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis
iddah-nya, si wanita itu boleh lagi kawin dengan bekas suaminya (ada
ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali
tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua
calon mempelai.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu
memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan. Selain Ayat
tersebut, juga terdapat Hadits yang menyatakan perkawinan tidak dipandang
sah kecuali dengan adanya wali, yaitu yang artinya : Tidak sah nikah, kecuali
dengan wali. (HR. Lima orang Ahli Hadits).
Juga Hadits Siti Aisyah r.a, Nabi SAW. yang artinya : Wanita manapun
yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal. (HR. Empat
orang Ahli Hadits kecuali Nasai).
Sabda Nabi SAW. lagi yang artinya : Seorang wanita tidak boleh
menikahkan wanita lain, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan
dirinya. (HR. Ibnu Majah dan Dara Quthny)
Dari Hadits di atas hendaknya dipahami, bahwa seorang wanita boleh
mengawinkan dirinya bila telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita
tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa
sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak
dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk
menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadits istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu
Salamah, Zainab mencapai tiga puluh Hadits mengemukakan tentang wali
dalam pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda.
Oleh Ibnu Mundzir ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah
seorang sahabat pun menyalahinya. Diantara sahabat yang berpegang kepada
Hadits (tidak sah nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan
Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan
Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`i, Umar bin Abd. Aziz. Selain ulama-ulama
tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn Mubarak,
Syafi`i, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Laila, At-Thavary
dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka dengan para sahabat
yang telah disebutkan di atas.

b. Hanafiyah
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa
apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon
suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wanita yang
baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang
masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain.
Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak
kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih
kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli
waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak
ada hak untuk menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak
kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena wewenang berada
di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu dan maharnya kecil,
tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya (walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah
firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu :

Artinya : Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga dia kawin dengan suaminya
yang lain.

Juga firman Allah surah Al-Baqarah ayat 232:




Artinya : Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka
janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.

Kemudian juga firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 234 :




Artinya : kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali), membiarkkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut

Menurut golongan ini, ayat pertama dan kedua ditujukan (khitab) kepada
suami, buka kepada wali (pendapat jumhur). Sedangkan ayat ketiga jelas,
bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak
dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri. Di
samping firman Allah di atas, mereka berpegang kepada Hadits Rasulullah :
Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis itu
diminyai izinnya, dan diamnya menunjukkan izinnya (HR. Jamaah kecuali
Bukhari)
Menurut riwayat Ahmad, Muslim, Abu daud dan Nasai : Perawan itu
dimintai pertimbangannya oleh bapaknya (sebelum akad).
Rasulullah bersabda: Janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai
pertimbangannya (diajak musyawarah) dan perawan (tidak boleh dinikahkan)
sebelum diminta izinnya. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana
(diketahui) izinnya? Jawabnya: Dia diam . (HR. Muttafaq Alaih)
Hadits Rasulullah: Dari Khansa` binti Khidam, bahwa ia dikawinkan oleh
ayahnya setelah ia janda, maka ia datang kepada Rasulullah (mengadukan
permasalahannya), maka beliau menolak (membatalkan) perkawinannya itu.
(HR. Jamaah kecuali Muslim).
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan
hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah
seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu
perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan
walinya.
1. Syarat Wali
Wali adalah org yang bertanggungjawab atas sah atau tidaknya akad
nikah. Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus; Islam,
dewasa, dan laki-laki. Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba
sahaya, orang fasik, dan orang bodoh.
Mengenai kecerdikan menurut mazhab Maliki tidak termasuk syarat
dalam perwalian. Akan tetapi Imam Syafi` mensyaratkan kecerdikan dalam
perwalian. Sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu Musy`ab. Perbedaan
pendapat ini disebabkan adanya kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan
kekuasaan dalam urusan harta benda. Dengan demikian, dapat dikemukakan
bahwa orang yang bodoh, tidak sah menjadi wali.
Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua bagian, yaitu bahwa
kecerdikan dalam urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon
suami yang patut untuk wanita.
Dalam masalah keadilan, ulama juga berbeda pendapat dalam kaitannya
dengan kekuasaan untuk menjadi wali, apabila tidak terdapat keadilan, maka
tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilih calon suami yang seimbang
bagi wanita yang berada di bawah perwaliannya. Sedangkan tentang hamba
sahaya, karena tidak sempurnanya, maka terdapat perselisihan tentang
perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang keadilannya.

2. Macam-macam Wali
Adapun dari beberapa referensi disebutkan, wali nikah ada empat macam,
yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim, dan wali maula.

a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab,
terdapat perbedaan pendapat.
Imam Syafi` memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa
anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`,
suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat
lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib.
Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak
sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik
dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah. Imam Malik berpendapat
keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau
mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah
sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara
laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki
seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja,
lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara
laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian
paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki
sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai
berikut :
1) Ayah,
2) Ayanya Ayah (kakek) terus ke atas,
3) Saudara laki-laki sekandung,
4) Saudara laki-laki seayah,
5) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
6) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7) Anak laki-laki dari no. 5,
8) Anak laki-laki dari no. 6,
9) Anak laki-laki dari no. 7,
10) Anak laki-laki dari no. 8 dan seterusnya,
11) Saudara laki-laki ayah sekandung,
12) Saudara laki-laki ayah seayah saja,
13) Anak laki-laki dari no. 11,
14) Anak laki-laki dari no. 12,
15) Anak laki-laki dari no 13 dan seterusnya.
Singkatnya urutan wali adalah:
1) Ayah seterusnya ke atas,
2) Saudara laki-laki ke bawah,
3) Saudara laki-laki seayah ke bawah.
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali
ab`ad (jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk wali aqrabadalah wali
nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab`ad. Jika nomor 1 tidak
ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab`ad, dan
demikian seterusnya.
Adapun perpindahan dari wali aqrab menjadi wali ab`ad adalah
sebagai berikut :
1) Apabila wali aqrabnya non-muslim,
2) Apabila wali aqrabnya fasik,
3) Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
4) Apabila wali aqrabnya gila,
5) Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.

b. Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Sabda Rasulullah
SAW yang artinya :Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi
seseorang yang tidak ada walinya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majjah, dan
Nasa`i).
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala
pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi
wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat
diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang
`alim. Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak ada wali nasab.
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua
hari perjalanan.
4) Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5) Wali aqrabnya adol.
6) Wali aqrabnya mempersulit.
7) Wali aqrab sedang ihram.
8) Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9) Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir
tidak ada.

Wali hakim tidak berhak menikahkan :


1) Wanita yang belum baligh.
2) Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekufu`.
3) Tanpa seizing wanita yang akan menikah.
4) Di luar daerah kekuasaannya.

c. Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon
istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah calon suami
mengucapkan tahkim, Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya
pada si (calon istri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya
terima dengan senang. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang
sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, Saya terima tahkim ini..
Wali tahkim terjadi apabila :
1) Wali nasab tidak ada,
2) Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada
wakilnya di situ,
3) Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d. Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam
perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini
yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah
kekuasaannya.
Dalam hal boleh tidaknya majikan menjadi wali sekaligus
menikahkannya dengan dirinya sendiri, ini ada beberapa pendapat. Imam
Malik berkata, Andaikata seorang janda berkata kepada walinya nikahkanlah
aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan dirinya sendiri,
atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sah-
lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya.
Pendapat senada juga disebutkan oleh Imam Hanafi, Lais, Sauri dan Auza`i.
Sedang Imam Syafi` berkata,: Yang menikahkannya haruslah hakim
atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali
termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli dirinya sendiri..
Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi` dan Abu Daud, ia
mengatakan bahwa kalau dalam masalah ini diqiyaskan dengan seorang
penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang
tidak benar. Sebab jika orang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu
membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan.
Ia beralasan dengan sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan
istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta
mengadakan walimahnya dengan seekor kambing, (HR. Bukhari).

3. Wanita yang Dinikahkan oleh Dua Orang Wali


Apabila seorang wanita dinikahkan oleh dua orang wali yang sederajat
kepada dua orang laki-laki, maka boleh jadi salah satunya melaksanakan lebih
dahulu ketimbang yang lainnya, atau bisa jadi keduanya bersama-sama
melaksanakan akad nikah dalam satu waktu, baik dapat diketahui
pelaksanaannya atau tidak. Jika dapat diketahui mana yang lebih dahulu
melaksanakannya, maka fukaha sepakat bahwa perempuan itu menjadi istri lelaki
yang pertama jika lelaki yang kedua belum menggaulinya. Akan tetapi jika lelaki
kedua telah menggaulinya, maka fukaha berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa ia menjadi istri lelaki pertama dan sebagian lagi mengatakan
ia menjadi istri lelaki yang kedua. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Imam
Malik dan Ibnul Qasim. Sedang pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Syafi`
dan Ibnul Abdil Hakam.
Akan tetapi, apabila kedua wali tersebut secara bersama-sama
menikahkannya, maka tidak diperselisihkan lagi bahwa keduanya adalah batal,
termasuk apabila tidak bisa diketahui yang mana yang pertama. Sebab asalnya
perempuan itu adalah haram sehingga jelas sebab batalnya.
Kesimpulan
Menurut Jumhur Ulama, wali termasuk rukun nikah, akad nikah tidak sah tanpa
adanya wali. Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah perwalian dalam akad nikah
hukumnya sunnat. Syarat wali nikah dapat disimpulkan yaitu; Islam, laki-laki, baligh,
berakal, cerdik (urusan memilih calon suami) dan adil.
Hukum wanita yang dinikahkan dua orang wali dan dua orang laki-laki ada
beberapa pendapat. Jika diketahui mana yang lebih dahulu (pertama) akadnya, ulama
sepakat yang pertama yang sah jika suami kedua belum menggauli. Sedangkan bila telah
digauli oleh lelaki kedua, Imam Syafi` dan Ibnul Abdil Hakam mengemukakan, maka
lelaki yang pertama kali sah menjadi suaminya, berbeda dengan Imam Malik dan Ibnul
Qasim menyatakan bahwa ia menjadi istri lelaki yang kedua. Sedangkan bila tidak dapat
diketahui waktu pelaksanaannya, maka akad nikah keduanya batal.

III. Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Islam

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui dan memahami pengertian, ruang lingkup, dan tujuan Hukum
Islam, serta sumber hukum Islam secara baik dan benar.
2. Menjelaskan kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum di Indonesia.
3. Menjelaskan fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Memahami dan menjelaskan hak asasi manusia menurut ajaran Islam.
5. Menjelaskan perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam pandangan Islam
dan Barat.
6. Memahami dan menjelaskan demokrasi dalam Islam.
Daftar Istilah Penting
Syari'ah : Seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial,
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.
Fiqih : Pemahaman manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad tentang
syariah.
Munakahat : Hukum yang mengatur sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya.
Wirasah : Mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta warisan, dan cara pembagian warisan.
Mu'amalat : Hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Jinayat : Hukum yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah
tazir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah
hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Jarimah tazir
adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
Al-ahkam as-sulthaniyah : Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah,
tentara, pajak, dan sebagainya.
Siyar : Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan
dengan pemeluk agama dan negara lain; mukhassamat, mengatur peradilan,
kehakiman dan hukum acara.
Maqashid syariah : Lima tujuan hukum Islam.

3.1. Konsep Hukum dan Hak Asasi Manusia


3.1.1. Hukum Islam : Pengertian, Ruang Lingkup, dan Tujuannya
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyu-Nya
yang kini terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya melalui Sunnah beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-
kitab hadits. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah,
dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan sekaligus juga
mempunyai perbedaan. Istilah-istilah dimaksud adalah syariat Islam, fiqih Islam,
dan hukum Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syariat
Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fiqih Islam diterjemahkan
dengan Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam
sering dipergunakan istilah hukum syariat atau hukum syara, sedang untuk fiqih
Islam dipergunakan istilah hukum fiqih atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam
praktik, sering kali kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa
menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami karena keduanya sangat
erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Syariat
merupakan landasan fiqih, dan fiqih merupakan pemahaman orang yang
memenuhi syarat tentang syariat. Oleh karena itu seseorang yang akan
memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara
syariat Islam dengan fiqih Islam. Pada pokoknya perbedaan antara keduanya
adalah sebagai berikut :
a. Syariah terdapat di dalam Al-Quran dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita
berbicara tentang syariah yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sunnah
Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
Kalau kita berbicara tentang fiqih, yang dimaksud adalah pemahaman
manusia yang memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu.
b. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang-lingkup yang lebih luas,
karena ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak.
Fiqih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang
mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan
hukum.
c. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku
abadi; fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah
dari masa ke masa.
d. Syariat hanya satu, sedang fiqih mungkin lebih dari satu, seperti misalnya
terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
mazhab-mazhab.
e. Syariat menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fiqih menunjukkan
keragamannya (H.M. Rasjidi, 1958: 403; Asaf A.A. Fyzee, 1955:17).
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fiqih dibagi ke dalam
dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan bidang muamalah (Mohammad Daud
Ali, 1999:49). Hukum Islam itu sangat luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut
masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang
dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fuqaha (para yuris Islam) di
masa lampau seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga
berencana, hukum bunga bank, dan euthanasia.
Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah
kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, serta
mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang madharat, yakni yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq al-Sathibi merumuskan
lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4)
keturunan, dan (5) harta yang disebut maqashid al-khamsah. Kelima tujuan ini
kemudian disepakati oleh para ahli hukum Islam.
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hukum Islam yang ditetapkan
oleh Allah adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia, baik yang bersifat
primer, sekunder, maupun tersier (Juhaya S. Praja, 1988 : 196). Oleh karena itu
apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah,
maka ia akan selamat baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

3.1.2. Hak Asasi Manusia Menurut Islam


Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi
hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya.
Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan,
dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan suatu hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandang Barat dan Islam. Hak asasi manusia menurut pemikiran Barat semata-
mata bersifat antroposentris, artinya, segala sesuatu berpusat pada manusia.
Dengan demikian, manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi
manusia ditilik dari sudut pandang Islam bersifat teosentris, artinya, segala
sesuatu berpusat pada Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan.
Dalam hubungan ini, A.K. Brohi mengatakan: Berbeda dengan pendekatan Barat,
strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan
kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran
keagamaan yang terpatri di dalam hati, pikiran, dan jiwa penganut-penganutnya.
Dengan demikian, hak asasi manusia dalam perspektif Islam sungguh-sungguh
bersifat teosentris (Altaf Gauhar, 1983 : 198).
Pemikiran Barat tentang hak asasi manusia menempatkan manusia pada
posisi bahwa manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu, sedang di
dalam Islam melalui firman-Nya, Allah-lah yang menjadi tolok ukur segala
sesuatu, karena manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Di
sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut
pola pemikiran Barat dengan hak-hak asasi manusia menurut pola ajaran Islam.
Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini
ajaran pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat, yakni
pengakuan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Barulah
setelah itu manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik menurut
keyakinannya itu (Mohammad Daud Ali, 1995 : 304).
Dari uraian tersebut di atas, sepintas lalu nampak bahwa seakan-akan dalam
Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep Islam, seseorang
hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas kepada Allah, karena ia
harus mematuhi hukum-Nya. Namun secara paradoks, di dalam tugas-tugas inilah
terletak semua hak dan kemerdekaannya. Menurut ajaran Islam, manusia
mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban
yang dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah (Altaf Gauhar, 1982 :
204). Oleh karena itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata
menekankan kepada hak asasi manusia saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi
kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai Penciptanya.
Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia dapat dibagi ke dalam
dua kategori, yaitu huququllah dan huququl ibad. Huququllah (hak-hak Allah)
adalah kewajiban-kewajiban manusia kepada Allah SWT yang diwujudkan dalam
berbagai ritual ibadah, sedangkan huququl ibad (hak-hak manusia) merupakan
kewajiban-kewajiban manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-
makhluk Allah lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang diminta
oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, karena hak-hak Allah bersesuaian
dengan hak-hak makhluk-Nya (Syaukat Hussains, 1996:54).

3.2. Sumber Hukum Islam


Menurut Al-Quran surat 4 (al-Nisa) ayat 59, setiap muslim wajib menaati
(mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul, dan kehendak Ulil Amri,
yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau penguasa. Kehendak Allah yang
berupa ketaatan tersebut kini tertulis dalam Al-Quran, kehendak Rasul kini
terhimpun dalam kitab-kitab hadits, dan kehendak penguasa sekarang termaktub
dalam kitab-kitab fiqih. Yang dimaksud penguasa dalam hal ini adalah orang-orang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad, karena kekuasaan berupa ilmu
pengetahuan untuk mengalirkan (hukum) Islam dari dua sumber utamanya, yakni Al-
Quran dan kitab-kitab hadits yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang
ditetapkan Allah dalam Al-Quran tersebut, kemudian dirumuskan dengan jelas
dalam percakapan antara Nabi Muhammad dengan salah seorang sahabatnya yang
akan ditugaskan untuk menjadi Gubernur di Yaman. Sebelum Muaz bin Jabal
berangkat ke Yaman, Nabi Muhammad menguji dengan menanyakan sumber hukum
yang akan dia pergunakan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang dia
hadapi di daerah yang baru itu. Pertanyaan itu dijawab oleh Muaz bahwa dia akan
menggunakan Al-Quran. Jawaban itu kemudian disusul oleh Nabi Muhammad
dengan pertanyaan berikutnya : Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai
suatu masalah) dalam Al-Quran bagaimana? Muaz menjawab: Saya akan
mencarinya dalam Sunnah Nabi Muhammad. Kemudian Nabi bertanya: Kalau
engkau tidak menemukan petunjuk pemecahannya dalam Sunnah Nabi
Muhammad, bagaimana? Kemudian Muaz menjawab : Jika demikian, saya akan
berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan mempergunakan akal saya
dan akan mengikuti pendapat saya itu. Nabi sangat senang atas jawaban Muaz itu
dan berkata : Aku bersyukur kepada Allah yang telah menuntun utusan Rasul-Nya.
(H.M.Rasjidi, 1980 : 456).
Dari hadits yang dikemukakan, para ulama menyimpulkan bahwa sumber
hukum Islam ada tiga, yakni Al-Quran, al-Sunnah, dan akal pikiran orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini dalam kepustakaan hukum Islam
diistilahkan dengan al-rayu, yakni pendapat orang atau orang-orang yang
memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma pengukur tingkah laku
manusia dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu merupakan
rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al-Quran dan al-
Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan al-rayu merupakan
sumber tambahan atau sumber pengembangan.

3.3. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat


Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup
banyak, namun dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan fungsi utamanya
saja, yaitu: (a) fungsi ibadah. Fungsi paling utama hukum Islam adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT; (b) fungsi amar maruf nahi munkar, (c) fungsi zawajir;
(d) fungsi tanzim wa islah al-ummah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah
sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi
sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera
(Ibrahim Hosen, 1996 : 90).

3.4. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum


Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-
akhir ini semakin nampak jelas, dengan diundangkannya beberapa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7. Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Namun upaya yang harus dilakukan untuk menegakkan hukum Islam dalam
praktik bermasyarakat dan bernegara memang harus melalui proses, yakni proses
kultural dan dakwah. Apabila hukum Islam sudah memasyarakat, maka sebagai
konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Di dalam negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat wajib ada.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan
pemikiran hukum Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun
dalam segi pengembangannya. Masalahnya kemudian, bagaimanakah sesuatu yang
wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut peraturan perundang-
undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk merealisasikannya.
Sebenarnya fiqih dibagi dalam banyak bagian, diantaranya fiqh al-ibadah, fiqh
al-munakahah, fiqh al-buyu, fiqh al-mawarits, fiqh al-jinayat dan lain-lain. Tetapi
secara global dan praktis, para ulama hanya membaginya dalam dua bagian besar
yang sering dinamakan dengan fiqh ibadah dan fiqh al-muamalah. Masing-masing
pembagian tersebut memiliki prinsip dasar yang menjadi acuan utama penentuan
hukum pada masalah tersebut :
1. Prinsip Dasar Ibadah :


Pada dasarnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang menyelisihinya
(membolehkannya).

Prinsip di atas hasil interpretasi deduktif dari al-Quran dan al-Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW, diutus tidak lain adalah untuk meluruskan
cara beribadah dan berakhlak masyarakat jahiliyah yang telah melenceng dari
ketentuan Allah.

2. Prinsip dasar Muamalah :




Pada dasarnya muamalah itu boleh kecuali ada dalil yang menyelisihinnya
(melarangnya).
Timbul persoalan di seputar batasan muamalah; apakah semua
persoalan yang ada di luar ibadah mahdlah (selain shalat, puasa, haji, zakat,
dzikir dan doa) itu termasuk muamalah, meskipun ditegaskan dalam nash secara
tegas (sharih)? Ataukah yang dinamakan muamalah hanyalah hal-hal yang tidak
ada ada ketegasan dari Allah dan Rasul-Nya?
Dari pemahaman yang ada tentang muamalah akan memberikan dampak
yang berbeda ketika hukum diterapkan dalam realitas kehidupan. Orang yang
berpandangan pertama akan lebih luas dalam memandang persoalan
(kontekstual), sementara yang kedua sangat kaku (tekstual).

3. Hukum Islam Bersifat Taaqquli dan Taabbudi


Hukum Islam mempunyai dua dasar pokok; al-Quran dan sunnah Nabi.
Di samping dua sumber pokok tersebut, ajaran Islam juga memiliki sumber lain
yaitu konsensus masyarakat (ulama) yang mencerminkan suatu transisi ke arah
satu hukum yang berdiri sendiri (penafsiran terhadap al-Quran dan al-Sunnah).
Untuk memahami kedua sumber tersebut perlu digunakan kejernihan
hati dan fikiran, kecerdasan dan pengetahuan dan mempertimbangkan konteks
masyarakat yang ada. Hal ini karena di dalam kedua sumber tersebut terdapat
ajaran yang bersifat taabbudi (tidak bisa dirasionalisasika) dan ada yang bersifat
taaqquli (bersifat rasional).

Soal :
1. Jelaskan bagaimana implementasi iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari
saudara !
2. Jelaskan pengertian pernikahan, syarat wali, dan macam-macam wali !
3. Bagaimana konsep hak asasi manusia menurut islam ?
BAGIAN III

A. Hukum Beramal Dengan Hadits Dhaif


Ada juga yang membidahkan amal ibadat yang berdalilkan Hadits dhaif
Pendapat yang macam begini adalah keliru kalau tidak akan dikatakan salah besar.
Hadith yang dhaif bukanlah Hadits yang maudu (hadits dibuat buat), tetapi hanya
Hadits yang lemah sanadnya, dan bukan Hadits yang tidak benar, bukan Hadits
bohong, karena asalnya dari Nabi juga.
Hadits yang dikatakan dhaif atau lemah ini ialah Hadits yang derajatnya
kurang sedikit dari Hadits Shahih atau Hadits Hasan. Hal ini dapat dicontohkan
umpamanya kepada sebuah Hadits dari Nabi, kemudian turun kepada Mansur, turun
lagi kepada Zeid, turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah
atau Abu Daud.
Ibnu Majah atau Abu daud membukukan Hadits itu dalam kitabnya.
Kalau orang yang bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zeid dan Khalid terdiri dari orang
baik-baik, dengan arti baik perangainya, saleh orangnya, tidak pelupa hafalannya,
maka haditsnya itu dinamai hadits shahih. Tetapi kalau ketiganya atau salah seorang
dari padanya terkenal dengan akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah
makan di jalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya,
maka haditsnya dinamai Hadits dhaif (lemah).
Pada hakikatnya Hadits yang semacam ini adalah dari Nabi juga, tetapi
sanadnya kurang baik. Bukan Haditsnya yang kurang baik. Ada lagi yang
menyebabkan Hadits itu menjadi dhaif, ialah hilang salah seorang daripada rawinya.
Umpamanya seorang Thabiin yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan:
Berkata Rasulullah, pada hal ia tidak berjumpa dengan Nabi. Hadits ini dinamai
Hadits Mursal, yaitu Haditst yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar.
Hadits ini ialah dhaif juga. Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membikin
sesuatu Hadits menjadi dhaif atau lemah.

1. Tentang Memakai Hadits Dhaif Untuk Dijadikan Dalil


Terdapat perbedaan pendapat di antara Imam-imam mujtahid, yaitu :
a. Dalam madzhab syafiI Hadits dhaif tidak dipakai untuk dalil bagi penegak
hukum, tetapi dipakai untuk dalil bagi fadhailul amal. Fadhailul Amal
maksudnya ialah amal ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut dengan
orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain-lain. Hadits Mursal tidak
dipakai juga bagi penegak hukum dalam madzhab Syafie karena Hadits
Mursal juga Hadits dhaif. Tetapi dikecualikan mursalnya seorang Thabiin
bernama Said Ibnul Musayyab.
b. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dhaif bukan saja dipakai dalam
Fadhailul Amal, tetapi juga bagi penegak hukum, dengan syarat dhaifnya itu
tidak keterlaluan.
c. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memakai Hadits yang
dhaif karena Mursal, baik untuk Fadhailul Amal maupun bagi penegak
hukum.
Nah, di sini nampak bahwa Imam-imam Mujtahid memakai Hadits-hadits
dhaif untuk dalil karena Hadits itu bukanlah Hadits yang dibuat-buat, tetapi
hanya lemah saja sifatnya. Karena itu tidaklah tepat kalau amal-amal ibadah yang
berdasarkan kepada Hadits dhaif dikatakan bidah, apalagi kalau dikatakan bidah
dhalalah.

2. Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya


a. Hadits riwayat muslim
Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru
berdalil dengan hadits tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada
orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan :
inqataa intifauhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat).
Hadits itu hanya mengatakan inqathaa amaluhu (terputus amalnya).
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang
mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang
mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini
sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka
bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai
membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah
memperoleh manfaat (intifa) dari orang lain.
b. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan
nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan
memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia
selain dari yang diusahakannya.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat
tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara
jawaban-jawaban itu adalah :
a) Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat
tersebut :
1) Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh
banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi
beberapa istri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan
menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah
orang-orang itu yang menyayanginya. Mereka pun berdoa untuknya
dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah
dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan
masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang
lain di dalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam
hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin
kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati
nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan
disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk
memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum
mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman,
maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya
kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang
dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari
usahanya sendiri).
2) Ayat al-quran itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk
seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-quran itu hanya
menafikan kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain. Allah
SWT hanya mengabarkan bahwa laa yamliku illa sayah (orang itu
tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun
usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya
kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya
untuk dirinya sendiri. (jadi huruf lam pada lafadz lil insane itu
adalah lil istihqaq yakni menunjukkan arti milik).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah
thahawiyah. Berkata pengarang tafsir Khazin :
Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan Musa. Adapun umat
islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala
dari usahanya dan juga dari usaha orang lain.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan
Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab Nabi Musa
dan Nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat
oleh manusia selain dari yang diusahakannya.

b) Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirkan ayat tersebut :
ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita
dengan firman Allah SWT : Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang
dibuat oleh bapaknya (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai
berikut :
Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti
mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu
dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus
hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.

c) Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : Tidak ada
seseorang itu.. Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (min thariqil
adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zhahir
ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dalil baik dari al-quran maupun hadits-hadits shahih yang ditentang
oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai
dalil.

c. Dalil mereka dengan Surat Al-Baqarah ayat 286 :


Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya
apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang
dia usahakan (daripada kejahatan).
Jawab : Kata-kata laha maa kasabat menurut ilmu balaghah tidak
mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan:
Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan. Kalaulah artinya demikian
ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan
dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : Seseorang akan
memperoleh harta dari usahanya. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa
seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian
orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain
halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti
umpamanya : laisa laha illa maa kasabat artinya : Tidak ada baginya
kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia
usahakan.
d. Dalil mereka dengan surat Yasin ayat 54 :
Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena
pangkal ayat tersebut adalah : Pada hari dimana seseorang tidak akan
didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap
apa yang mereka kerjakan
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa
yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain,
bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan
orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).

B. Sejarah Pembentukan Hukum Islam


Sejak zaman Rasulullah SAW sampai zaman modern Dalam menyusun sejarah
pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh) Islam, di kalangan ulama fiqh
kontemporer terdapat beberapa macam cara. Dua diantaranya yang terkenal adalah
cara menurut Syekh Muhammad Khudari Bek (mantan dosen Universitas Cairo) dan
cara Mustafa Ahmad az-Zarqa (guru besar fiqh Islam Universitas Amman, Yordania).
Cara pertama, periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh
Muhammad Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri al-Islamy (Sejarah
Pembentukan Hukum Islam). Ia membagi masa pembentukan hukum (fiqh) Islam
dalam enam periode, yaitu :
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2. Periode para sahabat besar;
3. Periode sahabat kecil dan thabiin;
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-
1265]) sampai sekarang.
Cara kedua, pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Mustafa Ahmad az-Zarqa
dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-Amm (Pengantar Umum fiqh Islam). Ia
membagi periodisasi pembentukan dan pembinaan hukum Islam dalam tujuh
periode. Ia setuju dengan pembagian Syekh Khudari Bek sampai periode kelima,
tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu :
1. Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2. Periode sejak munculnya Majalah al-Al-Akam al-Adliyyah sampai sekarang.
Secara lengkap periodisasi sejarah pembentukan hukum Islam menurut
Mustafa Ahmad az-Zarqa adalah sebagai berikut.

Periode Pertama
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum
berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Quran.
Apabila ayat Al-Quran tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia,
dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan
ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. Ilmu dan fiqh pada masa
Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan
memahami dalil berupa Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami
dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum,
maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan
bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah
kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu.
Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW
belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya.
Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum
dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Quran maupun dari
sunnahnya sendiri.

Periode Kedua
Masa al-Khulafa ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad
ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai
masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW.
setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para
sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu
persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Quran atau
sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam
membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad
dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka.
Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan
persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman
musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip
umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini
masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori.
Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak
merambat kepada kasus lain secara teoritis.

Periode Ketiga
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan
awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah
ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang
ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Quran dan hadits
Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang
hukum Islam adalah Abdullah bin Masud (Ibnu Masud), Zaid bin Sabit (11 SH/611
M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di
Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
dikenal dengan para thabiin. Para thabiin yang terkenal itu adalah Said bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah,
Ibrahiman-Nakhai (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di
Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi
guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat
setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga
muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut
berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian
muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah
ar-rayu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-
Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-rayu dikenal dengan
sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad.
Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika
dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan
hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada
mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan
beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi
Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang
memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyarakat
yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak
mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua,
karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amali
(praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini
pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai
metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama
fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi
juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftird
(fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh rayu (ar-rayu; pemikiran tanpa
berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin
berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan rayu dalam
fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal
berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jamaah (imam yang empat).

Periode Keempat
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut
sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada
periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-rayu semakin menipis sehingga
masing-masing pihak mengakui peranan rayu dalam berijtihad, seperti yang
diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-
Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata
kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang
dikenal sebagai Ahlurrayu (Ahlulhadits dan Ahlurrayu), datang ke Madinah berguru
kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa (buku hadits dan
fiqh). Imam asy-Syafii, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurrayu, banyak
mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah
SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak
berisi rayu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing
kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun
mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab
ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafii. Sebagaimana pada periode ketiga,
pada periode ini fiqh iftird semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan
dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada
pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan
terjadi pun sudah ditentukan.

Periode Kelima
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai
dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup
puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak
mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah
yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-
Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang
menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut :
1. Munculnya sikap taassub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan
pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang
ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam
mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak
penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan
hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim
yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama
sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri
mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya
terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad
Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan
banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya
perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-
masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini
kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.

Periode Keenam
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah
pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta taassub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh
tidak lagi mengacu pada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan
tujuan syara dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap
mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij
(mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan
mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari
kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya
terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini
pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan
penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini
dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab
resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab
Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah.

Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga
ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu :
1. Munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang
diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di
seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum
yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai
mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih
pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di
pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah
Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk
dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum
perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki
Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang terdiri atas 1.851
pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah, para
penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani
mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana,
maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai
negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta
menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan
pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat
dan thabiin, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber
dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada
tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi
hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah
Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari
pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat
dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk
diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong
oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh
hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual
mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi,
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam,
upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi
setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum
keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah,
Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan
hukum Islam di berbagai negara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan
dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada
kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya,
yaitu Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jamai (kolektif)
harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu,
tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang
kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif
jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
IV. Etika, Moral, dan Akhlak

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan perbedaan etika, moral, dan akhlak.
2. Menjelaskan hubungan tasawuf dan akhlak, serta peran tasawuf dalam
pembentukan akhlak al-karimah.
3. Menerangkan keseimbangan akhlak terhadap Khaliq, makhluk, dan alam.
4. Mengimplementasikan akhlak dalam kehidupan.
5. Mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi baik.

Daftar Istilah Penting


Etika : Ajaran yang membahas kebaikan dan keburukan berdasarkan ukuran
akal.
Moral : Ajaran kebaikan dan keburukan dengan ukuran tradisi yang berlaku
di suatu masyarakat tertentu.
Akhlak : Ajaran yang membahas kebaikan dan keburukan, terpuji dan
tercela, baik perkataan maupun perbuatan manusia lahir dan batin
berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Takwa : Melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.
Tasawuf : Ajaran tentang proses penyucian hati (taswiyah al-Qalb) supaya
bisa dekat dengan Allah.
Sufi : Orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mensucikan
hati.

4.1. Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak


Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu
masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat,
sehubungan dengan itu yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia
(Rahmat Djatnika, 1992:26). Sementara kata akhlak merupakan bentuk jamak dari
kata khuluk, secara etimologi artinya adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku,
atau tabiat. Sedangkan secara terminologis akhlak adalah ilmu yang menentukan
batas antara baik dan buruk, antara yang terbaik dan tercela, tentang perkataan
atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Dalam definisi yang agak panjang Ahmad Amin menjelaskan bahwa akhlak
adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang
harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat (Hamzah Yacub, 1983:11).
Moral secara lugawi berasal dar bahasa Latin mores kata jamak dari kata mos
yang berarti adat kebiasaan, susila. Yang dimaksud adat kebiasaan dalam hal ini
adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima oleh
masyarakat, mana yang baik dan wajar. Jadi bisa juga dikatakan moral adalah
perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima
meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.

4.2. Karakteristik Etika Islam (Akhlak)


Berbeda dengan etika filsafat, etika Islam mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik
dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik
buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran Allah SWT.
c. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan
pedoman oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat.
d. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang
luhur dan meluruskan manusia (Hamzah Yaqub, 1996: 11).

4.3. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak


Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan cara
menyucikan hati sesuci-sucinya. Tuhan yang maha suci tidak dapat didekati kecuali
oleh orang yang suci hatinya. Cara bagaimana menyucikan hati dijelaskan dalam
ilmu tasawuf. Dalam pengamalannya, tasawuf tidak dapat lepas dari fiqih, sebab
fiqih merupakan aspek zahir ajaran Islam sementara tasawuf merupakan aspek
batinnya. Islam yang sebenarnya adalah keterpaduan aspek zahir dan batin secara
seimbang.
Orang yang suci hatinya akan tercermin dalam air muka dan perilakunya yang
baik. Akhlak yang baik sebenarnya merupakan gambaran dari hati yang suci,
sebaliknya akhlak yang buruk merupakan gambaran dari hati yang busuk. Dengan
demikian, agar seorang mukmin bermoral maka pengamalan aspek tasawuf secara
sistematis menjadi suatu keharusan.

4.4. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan


Keimanan bagi seorang muslim merupakan asas dalam kehidupan. Dengan
iman segala aktivitas manusia menjadi bernilai ibadah, sebaliknya tanpa iman segala
aktivitas manusia menjadi sia-sia, itulah sebabnya iman diibaratkan sebagai akar
bagi sebuah pohon. Pohon akan berbuah manakala akarnya terhunjam ke tanah
secara kokoh. Dalam hadits disebutkan bahwa iman masih telanjang dan perlu
diberi pakaian, sedangkan pakaiannya adalah takwa. Takwa secara terminologis
adalah melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hakikat takwa adalah membumikan nilai-nilai ilahiyyah dalam kehidupan
keseharian. Iman tempatnya di hati, iman tidak kelihatan. Untuk mengetahui bahwa
seseorang beriman, maka dapat dilihat sikap hidup dan perbuatannya. Kalau sikap
hidupnya berhiaskan moral yang baik, maka ia beriman, dan kalau sikap hidupnya
tidak mencerminkan moral yang baik, maka ia diragukan keimananya. Demikian juga
iman bisa dilihat dalam perilaku sehari-hari. Kalau ia beriman, maka ia melakukan
amal saleh, dan kalau tidak melakukan amal saleh, maka dipertanyakan
keimanannya.
V. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni dalam Islam

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian Iptek dalam pandangan Islam.
2. Membedakan antara Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni.
3. Menyebutkan sumber pengembangan Iptek dalam Islam.
4. Berperilaku arif dan bijaksana dalam mengembangkan dan memanfaatkan
produk teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menghindarkan diri dari kesombongan intelektual dan menyadari bahwa
pada hakikatnya Iptek itu adalah suatu proses pemahaman sunnatullah di
alam semesta ini.

Daftar Istilah Penting


Iptek : Singkatan dari Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni.
Dalam pandangan Islam Iptek merupakan hasil olah pikir dan olah rasa
manusia. Iptek selalu berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi
manusia. Oleh sebab itu kebenaran Iptek sangat relatif.
Sumber pengembangan Iptek dalam Islam : Wahyu Allah. Iptek
yang Islami selalu mengutamakan kepentingan orang banyak dan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Untuk itu Iptek dalam pandangan
Islam tidak bebas nilai.
Sekularisasi : Pemisahan antara doktrin-doktrin agama dengan
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

5.1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Iptek)


Dalam kehidupan sehari-hari terdapat tiga istilah yang saling berkaitan yaitu
pengetahuan (knowledge), ilmu pengetahuan (sciences), dan teknologi.
Pengetahuan adalah segala fenomena alam yang dapat dicapai oleh indra kita.
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah segala fenomena alam yang dapat dicapai oleh
indra berdasar penelitian dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah
adalah metode atau tata kerja yang lazim digunakan untuk melakukan penelitian
terhadap suatu obyek dalam bidang ilmu tertentu. Metode dimaksud tergantung
ilmu apa yang menjadi kajiannya, misalnya metode deduktif, induktif, analisis,
eksplorasi, observasi, dan depth interview. Dalam pengertian lain metode ilmiah
adalah prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah,
dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan atau mengembangkan
pengetahuan yang telah ada (The Liang Gie, 2004: 110). Prosedur lainnya yang
dapat dianggap sebagai pola-pola metode ilmiah adalah : analisis, pemberian,
penggolongan, pengukuran, perbandingan, dan survei.
Teknologi adalah pengejawantahan ilmu pengetahuan dalam bentuk alat atau
wahana kehidupan. Teknologi merupakan produk sains atau ilmu pengetahuan.
Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya
sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan. Seperti halnya sains,
teknologi pun tidak bebas nilai, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa sains itu
bebas nilai (netral). Keuntungan sains netral, ialah perkembangan sains dan
teknologi akan cepat, karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala
peneliti (1) memilih dan menetapkan obyek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti,
dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sains tidak netral (terikat dengan nilai), maka akan
dibatasi oleh nilai dalam: (1) memilih obyek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3)
menggunakan hasil penelitian (A Tafsir, 2004, 47)
Dengan teknologi sesuatu yang sulit dilakukan menjadi mudah, sesuatu yang
mustahil dilakukan menjadi mungkin. Teknologi selain merupakan aktualisasi ilmu
pengetahuan, juga sebagai wujud peradaban manusia dalam setiap zamannya.
Teknologi yang dihasilkan oleh suatu bangsa tidak selalu sama dengan yang
dihasilkan oleh bangsa yang lainnya. Semakin tinggi kepedulian bangsa terhadap
pengembangan ilmu, semakin tinggi pula peradaban yang dicapai bangsa itu.
Seni atau kesenian adalah ekspresi jiwa dalam bentuk keindahan. Keindahan
dapat wujud dalam bentuk lukisan, tulisan, kata-kata, ukiran, musik, gerakan
(tarian) dan lain-lain. Hukum asal seni adalah mubah, sebab seni sendiri adalah
keindahan. Allah yang Maha Indah cinta terhadap keindahan. Salah satu fungsi
hidup manusia adalah bagaimana ia dapat membumikan sifat-sifat Tuhan dalam
kehidupan. Salah satu sifat Tuhan adalah Indah. Oleh karena itu bagaimana manusia
dapat mengekspresikan keindahan dalam segala aktivitasnya. Aktivitas termaksud
adalah pengembangan kesenian dalam berbagai bentuknya. Hukum seni dapat
berubah menjadi makruh bahkan haram sama sekali, manakala seni lepas dari
akarnya yaitu tauhidullah. Seni yang lepas dari tauhidullah adalah seni yang
landasannya adalah nafsu dan thagut. Tentu saja umat Islam dilarang
mengembangkan kesenian yang landasannya adalah thagut dan pemenuhan hasrat
nafsu dan syahwat. Karya seni yang memenuhi syarat-syarat estetik, menurut
penilaian Islam, merupakan karya ibadah apabila bercirikan: (1) ikhlas sebagai titik
tolak; (2) mardhatillah sebagai titik tuju; dan (3) amal saleh sebagai garis amal
(Endang Saefuddin Ansari, 1992: 154).
Bagi seorang muslim, seni adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Dengan
demikian pertanyaan Seni untuk apa itu sama saja dengan Hidup untuk apa.
Tujuan kesenian adalah sama dengan tujuan hidup itu sendiri. Tujuan hidup setiap
muslim adalah kebahagiaan spiritual dan material di dunia dan akhirat, rahmat bagi
segenap alam, di bawah naungan keridhaan Allah.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya dalam al-Quran terulang sebanyak 854
kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek
pengetahuan (Quraish Shihab : 434). Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu
bidang kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis, ahli, atau pakar. Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber
ilmu, yaitu wahyu dan alam, dalam istilah lain disebut ayat-ayat Quraniyyah dan
ayat-ayat kauniyyah. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akalnya
dengan catatan dalam pengembangannya tetap terikat dengan wahyu dan tidak
bertentangan dengan syariat.
Menurut A. Tafsir yang dikutip dari Ensiklopedia Indonesia, struktur sains
adalah sebagai berikut :
1. Sains Kealaman :
a. Astronomi.
b.Fisika : Mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir.
c. Kimia : kimia organik, kimia teknik.
d.Ilmu Bumi : paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;
e.Ilmu Hayat, biofisika, botani, zoologi;
2. Sains Sosial
a. Sosiologi : Sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan.
b.Antropologi : Antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi politik.
c. Psikologi : Psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal.
d.Politik : Politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional.
3. Humaniora
a. Seni : Seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
b.Hukum : Hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat;
c. Filsafat, etika, logika, dan estetika;
d.Bahasa : Sastra;
e.Agama : Islam, Kristen, Hindu;
f. Sejarah : Sejarah Indonesia, sejarah dunia. (Ensiklopedia Indonesia).

5.2. Iman, Ilmu, dan Amal sebagai Satu Kesatuan


Islam merupakan ajaran agama yang landasan pengembangannya adalah
iman. Iman adalah kepercayaan terhadap wujud Zat yang Maha Mutlak yang
menjadi tujuan hidup manusia. Iman merupakan fundamen dalam sistem ajaran
Islam. Iman merupakan potensi dasar yang harus dikembangkan dan
pengembangannya adalah dalam bentuk amal. Iman tanpa amal sama dengan
potensi yang tak dikembangkan. Supaya pengembangan iman bermakna dan
berhasil guna, maka perlu ilmu. Ilmu merupakan motor penggerak untuk majunya
Islam. Iman adalah kendali yang mengarahkan motor tadi supaya dapat mencapai
tujuan.
Islam melihat bahwa Iptek dan agama adalah sesuatu yang memiliki kaitan.
Sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan. Agama menjadi landasan
segala perilaku manusia termasuk di dalamnya sains dan teknologi. Islam melihat
sains sebagai suatu perkara yang amat penting karena dengan sains dan teknologi
manusia dapat :
1. Mengenal Tuhannya
2. Menegakkan hakikat kebenaran
3. Membawa manusia kepada sikap tafakkur dan berpikir
4. Membantu manusia memenuhi keperluan material untuk kehidupannya
5. Membantu manusia dalam melaksanakan syariat
6. Menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam.
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal saleh, apabila perbuatan
tersebut tidak dibangun di atas landasan iman dan takwa. Sama halnya
pengembangan Iptek yang lepas dari keimanan dan ketakwaan, tidak akan bernilai
ibadah serta tidak akan menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam
lingkungannya. Apabila Iptek tidak dikembangkan di atas dasar iman, maka yang
akan muncul adalah kerusakan dan kemafsadatan bagi kehidupan umat manusia.

5.3. Keutamaan Orang Beriman dan Berilmu


Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kesempurnaannya karena dibekali seperangkat potensi. Potensi yang paling utama
dalam diri manusia adalah akal. Akal, menurut Ibnu 'Arabi adalah puncak
kesempurnaan ciptaan Tuhan. Akal berfungsi untuk berpikir dan hasil pemikirannya
itu adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkenaan dengan keutamaan orang-
orang yang berilmu, al-Quran menyatakan bahwa :


Artinya : Allah akan mengangkat martabat orang yang beriman dan berilmu
beberapa derajat.
Dalam ayat lain Allah menyatakan bahwa tidaklah sama orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu diibaratkan sebagai orang
yang hidup dan orang yang tidak berilmu diibaratkan orang yang mati. Orang yang
berilmu laksana orang yang dapat melihat dan orang yang tidak berilmu laksana
orang yang buta. Tinta para ulama lebih bernilai di sisi Allah daripada darah para
syuhada, demikian sabda Nabi. Dalam hadits yang lain Nabi menyatakan: Barang
siapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memberikan
kemudahan baginya jalan menempuh surga. Masih banyak ayat-ayat dan hadits-
hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang beriman dan berilmu. Barang siapa
berilmu lalu ia memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, maka ia bagaikan matahari,
selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi
yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang lain. (Ihya Ulumuddin,
Juz I, 49).

5.4. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan


Ada dua fungsi manusia di dunia, yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan
sebagai khalifah Allah di bumi. Tugas utama seorang abdun adalah
mengaktualisasikan ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada kebenaran dan
keadilan Allah. Adapun tugas utamanya sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah
memakmurkan dunia ini sekaligus menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya
tempat mereka tinggal. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali
dan mengelola sumber-sumber daya alam, serta memanfaatkannya dengan
sebesar-besar kemanfaatan untuk kehidupan umat manusia dengan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, karena alam diciptakan untuk
kehidupan manusia sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya
diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Tanpa menguasai Iptek,
fungsi hidup manusia sebagai khalifah akan menjadi kurang dan kehidupan yang
lebih baik tidak akan terwujud dan kehidupan manusia akan tetap terbelakang.
Allah menciptakan alam, karena Allah menciptakan manusia. Seandainya Allah tidak
menciptakan manusia, maka Allah tidak perlu menciptakan alam. Oleh karena itu
manusia mendapat amanah dari Allah untuk memelihara alam, agar terjaga
kelestariannya dan keseimbangannya untuk kepentingan umat manusia. Demikian
kata Ibnu Arabi.

Soal :
1. Bagaimana pendapat para ulama tentang memakai hadits dhaif untuk dijadikan
dalil?
2. Sebutkan periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad
Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum
Islam) !
3. Jelaskan konsep ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (iptek) dan perbedaan antara
pengetahuan dan ilmu pengetahuan !
4. Bagaimana pendapat saudara tentang iman, ilmu, dan amal sebagai satu kesatuan !
5. Jelaskan sumber pengembangan iptek dalam islam dan keutamaan orang beriman
dan berilmu !
BAGIAN IV
MAZHAB DALAM PARADIGMA ISLAM

A. Pengertian Mazhab
Mazhab dalam bahasa Arab adalah isim makn (kata benda keterangan
tempat) dari akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya,
tempat pergi, yaitu jalan (al-Tharq). Kata-kata yang semakna ialah: maslak,
thariiqah dan sabiil, yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian
mazhab menurut bahasa.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat
mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariah yang rinci serta berbagai kaidah (qawid) dan landasan
(ushl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-
hukum syariah (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (Tharqah al-Istinbth) untuk
melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafii, itu
artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafii.
1. Sejarah Lahirnya Mazhab
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut
dengan istilah The Golden Age. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai
puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan.
Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena
ini kemudian melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan
berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam
sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fikih Islam,
dimana lahir beberapa mazhab fikih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh
fikih agung yang berjasa mengintegrasikan fikih Islam dan meninggalkan
khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fikih sampai
sekarang.
Memasuki abad kedua Hijriah inilah yang menjadi era kelahiran mazhab-
mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah
melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri
dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum.
Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafii, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka
metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam
menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk
memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami
nash al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan
jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam
mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia
tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari
sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran
hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka
kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan
oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan)
hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbat (penetapan) hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka
metodologi inilah yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fikih.

2. Sekilas tentang 4 Mazhab


1) Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Numan bin Tsabit bin Zautha. Dilahirkan
pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun
150 H bertepatan dengan lahirnya Imam SyafiI, beliau lebih dikenal dengan
sebutan: Abu Hanifah An Numan.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang
fikih beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua
hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tbiin, seperti Atha bin Abi
Rabah dan Nafi Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu
Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat
yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-
pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan
perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya
adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama ahli pemikiran
(Ahlu al-Rayi). Maka disebut juga mazhab Ahlu alRayi masa tbiit tbiin.

Dasar-dasar Mazhab Hanafi


Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fikih terdiri dari tujuh pokok,
yaitu: Al-Kitab, al-Sunnah, Perkataan para Sahabat, al-Qiyas, al-Istihsan, Ijma
dan Urf.

Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi


Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke
negara-negara Islam bagian timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi
merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.
Mazhab ini juga dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan,
Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
2) Mazhab Maliki
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu
Amir. Lahir pada tahun 93 H = 712 M di Madinah. Selanjutnya dikalangan
umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik
terkenal dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah saw.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru
pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi
Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab al-Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fikih ialah Rabiah bin
Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya
semua bidang fikih dan hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas
pokok(dasar) yaitu : Nash al-Kitab, dzhir al-Kitab (umum), dall al-Kitab
(mafhm mukhlafah), mafhm muwfaqah, tanbh al-Kitab terhadap illat,
nash-nash sunnah, dzhir al-Sunnah, dall al-Sunnah, mafhm al-Sunnah,
tanbh al-Sunnah, Ijma, Qiyas, amalu Ahli al-Madinah, qaul Shahbi, istihsn,
muraaah al-Khilaaf, Sad al-dzari.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki.
Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai
saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisia, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

3) Mazhab Syafii
Mazhab ini dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafii
seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di
Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu
Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafii yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang
Mufti di Mekah. Imam Syafii sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun.
Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syiir,
kemudian beliau mempelajari hadits dan fikih.
Mazhab Syafii terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan
tempat beliau mukim. Yang pertama ialah qaul qadm yaitu mazhab yang
dibentuk sewaktu beliau tinggal di Irak. Dan yang kedua ialah qaul jadd yaitu
mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafii dibanding dengan Imam Mujtahid yang
lainnya yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu ushul fikih
dengan kitabnya al-Rislah. Dan kitabnya dalam bidang fikih yang menjadi
induk dari mazhabnya ialah: al-Um.
Dasar-dasar Mazhab Syafii
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafii dalam
mengistinbat hukum syariah adalah: al-Kitab, Sunnah Mutawatirah, al-Ijma,
khabar Ahad, al-Qiyas, al-Istishab.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafii
Mazhab Syafii sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir,
Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania,
Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan
Yaman.

4) Mazhab Hambali
Pendiri mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal bin Hilal al-zhahili al-Syaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164
H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz,
Yaman, Kufah dan Bashrah. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000
hadits dalam kitab Musnadnya.

Dasar-dasar Mazhabnya
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum
adalah: Nash Al-Qur-an atau nash hadits, Fatwa sebagian Sahabat, Pendapat
sebagian Sahabat, Hadits Mursal atau Hadits Dhoif, Qiyas. Dalam menjelaskan
dasar-dasar fatwanya, Ahmad bin Hanbal menulis kitab Ilm al-Muwqiin.

Daerah yang Menganut Mazhab Hambali


Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak
dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali
berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Suudi.
Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan
mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan
Irak.

B. Nikah (Perkawinan) Menurut UU No. 1 Tahun 1974


Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Quran dan hadits
Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut
Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan
termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah
(boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori
kaidah hukum Islam adalah Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari
pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan
membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau
seseorang telah cukup matang untuk berumahtangga, baik dilihat dari segi
pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai
kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan),
Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental),
maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak
mampu menghidupi keluarganya.
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
1. Persetujuan kedua belah pihak,
2. Mahar (mas kawin),
3. Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah
atau batal demi hukum. Sedangkan rukun perkawinan adalah :
1. calon suami,
2. calon istri,
3. wali,
4. saksi
5. ijab kabul.
Ringkasan Tata Cara Perkawinan dalam Islam
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua
sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak
dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau
masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Termasuk tata cara perkawinan Islam
yang begitu agung nan penuh nuansa. Dan Islam mengajak untuk meninggalkan
tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara dan adat istiadat yang
berkepanjangan dan melelahkan serta bertentangan dengan syariat Islam.
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan
berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih. Dalam kesempatan kali ini redaksi
berupaya menyajikannya secara singkat dan seperlunya. Adapun tata cara atau
Runtutan Perkawinan Dalam Islam adalah sebagai Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia
meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain,
dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang
dipinang oleh orang lain (Muttafaq alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat
wajah yang akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan
Darimi).
Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai
b. Adanya Ijab Qabul
c. Adanya Mahar
d. Adanya Wali
e. Adanya Saksi-saksi
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan
dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti
makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Makanan paling buruk
adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja
untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak
menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR:
[shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih,
baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan
jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa. (HR: [shahih] Abu
Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Said Al-Khudri).

C. Jual Beli
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada di muka bumi ini sebagai
sumber ekonomi. Allah SWT berfirman yang artinya : Dan Carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada
orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.(QS Az Zumar : 39)
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna
berlawanan yaitu Al Bai yang artinya jual dan Asy Syiraa yang artinya Beli. Menurut
istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas
dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua
pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az
Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93)

Hukum Jual Beli


Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual
beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual
maupun pihak pembeli. Jual beli hukumnya mubah. Artinya, hal tersebut
diperbolehkan sepanjang suka sama suka. Allah berfirman yang artinya : Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu.(QS An Nisa : 29)
Hadits nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut :

( )
Artinya : Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka. (HR
Bukhari)

( )
Artinya : Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau
tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad. (HR Bukhari
dan Muslim)
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan
jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan
pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak.
Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran,
kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad,
keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.

Rukun dan syarat Jual Beli


Dalam pelaksanaan jual beli, minimal ada tiga rukun yang perlu dipenuhi,
yaitu :
a. Penjual atau pembeli harus dalam keadaan sehat akalnya
Orang gila tidak sah jual belinya. Penjual atau pembeli melakukan jual beli
dengan kehendak sendiri, tidak ada paksaan kepada keduanya, atau salah satu
diantara keduanya. Apabila ada paksaan, jual beli tersebut tidak sah.
b. Syarat Ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan untuk menjual atau transaksi menyerahkan,
misalnya saya menjual mobil ini dengan harga 25 juta rupiah. Kabul adalah
ucapan si pembeli sebagai jawaban dari perkataan si penjual, misalnya saya
membeli mobil ini dengan harga 25 juta rupiah. Sebelum akad terjadi, biasanya
telah terjadi proses tawar menawar terlebih dulu.
Pernyataan ijab kabul tidak harus menggunakan kata-kata khusus. Yang
diperlukan ijab kabul adalah saling rela (ridha) yang direalisasikan dalam bentuk
kata-kata. Contohnya, aku jual, aku berikan, aku beli, aku ambil, dan aku terima.
Ijab kabul jual beli juga sah dilakukan dalam bentuk tulisan dengan sarat bahwa
kedua belah pihak berjauhan tempat, atau orang yang melakukan transaksi itu
diwakilkan. Di zaman modern saat ini, jual beli dilakukan dengan cara memesan
lewat telepon. Jual beli seperti itu sah saja, apabila si pemesan sudah tahu pasti
kualitas barang pesanannya dan mempunyai keyakinan tidak ada unsur penipuan.
c. Benda yang diperjualbelikan
1) Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi sarat sebagai berikut :
2) Suci atau bersih dan halal barangnya
3) Barang yang diperjualbelikan harus diteliti lebih dulu
4) Barang yang diperjualbelikan tidak berada dalam proses penawaran dengan
orang lain
5) Barang yang diperjualbelikan bukan hasil monopoli yang merugikan
6) Barang yang diperjualbelikan tidak boleh ditaksir (spekulasi)
7) Barang yang dijual adalah milik sendiri atau yang diberi kuasa
8) Barang itu dapat diserahterimakan
Perilaku atau sikap yang harus dimiliki oleh penjual
a. Berlaku Benar (Lurus)
Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang
beriman. Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim
dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi promosi
barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter pedagang
yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.
Dusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah atas
nama Allah. Empat macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu penjual yang
suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan
pemimpin yang zalim.(HR Nasai dan Ibnu Hibban)

b. Menepati Amanat
Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud
amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang
tidak melaksanakan amanat dalam islam sangat dicela.
Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau
pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya kepada
pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar pembeli tidak
merasa tertipu dan dirugikan.

c. Jujur
Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku
jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli
karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan
salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran kualitas, dan kuantitas
barang yang diperjualbelikan adalah perintah Allah SWT. Firman Allah artinya :
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syuaib.
Ia berkata : Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman. (QS Al Araf : 85)
Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan
cacat barang dagangan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda
Nabi Muhammad SAW yang artinya : Muslim itu adalah saudara muslim, tidak
boleh seorang muslim apabila ia berdagang dengan saudaranya dan
menemukan cacat, kecuali diterangkannya.
Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti mengurangi takaran,
timbangan, kualitas, kuantitas, atau menonjolkan keunggulan barang tetapi
menyembunyikan cacatnya. Hadits lain meriwayatkan dari umar bin khattab r.a
berkata seorang lelaki mengadu kepada rasulullah SAW sebagai berikut :
katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia
melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu.(HR Muslim)
d. Khiar
Khiar artinya boleh memilih satu diantara dua yaitu meneruskan
kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali atau tidak
jadi melakukan transaksi jual beli). Ada tiga macam khiar yaitu sebagai berikut :
1) Khiar Majelis
Khiar majelis adalah si pembeli dan penjual boleh memilih antara
meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya selama keduanya masih
tetap di tempat jual beli. Khiar majelis ini berlaku pada semua macam jual
beli.
2) Khiar Syarat
Khiar syarat adalah suatu pilihan antara meneruskan atau
mengurungkan jual beli setelah mempertimbangkan satu atau dua hari.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka jual beli harus ditegaskan untuk
dilanjutkan atau diurungkan. Masa khiar syarat selambat-lambatnya tiga hari
3) Khiar Aib (cacat)
Khiar aib (cacat) adalah si pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya, apabila barang tersebut diketahui ada cacatnya. Kecacatan itu
sudah ada sebelumnya, namun tidak diketahui oleh si penjual maupun si
pembeli. Hadits nabi Muhammad SAW. Yang artinya : Jika dua orang laki-laki
mengadakan jual beli, maka masing-masing boleh melakukan khiar selama
mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul, atau salah satu
melakukan khiar, kemudian mereka sepakat dengan khiar tersebut, maka jual
beli yang demikian itu sah. (HR Mutafaqun alaih)

D. Riba
Bagi manusia yang tidak memiliki iman, segala sesuatunya selalu dinilai
dengan harta (materialisme). Manusia berlomba-lomba untuk memperoleh harta
kekayaan sebanyak mungkin. Mereka tidak memperdulikan dari mana datangnya
harta yang didapat, apakah dari sumber yang halal atau haram. Salah satu contoh
perolehan harta yang haram adalah sesuatu yang berasal dari pekerjaan memungut
riba. Hadits nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut. Yang artinya : Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Akan tiba suatu zaman, tidak
ada seorang pun, kecuali ia memakan harta riba. Kalau ia memakannya secara
langsung ia akan terkena debunya. (HR Ibnu Majah)
Kata riba (ar riba) menurut bahasa yaitu tambahan (az ziyadah) atau
kelebihan. Riba menurut istilah syara ialah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam
tukar menukar suatu barang yang tidak diketahui syaraknya. Atau dalam tukar
menukar itu disyaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat.
Riba dapat terjadi pada hutang piutang, pinjaman, gadai, atau sewa menyewa.
Contohnya, Fauzi meminjam uang sebesar Rp 10.000 pada hari senin. Disepakati
dalam setiap satu hari keterlambatan, Fauzi harus mengembalikan uang tersebut
dengan tambahan 2 %. Jadi hari berikutnya Fauzi harus mengembalikan hutangnya
menjadi Rp 10.200. Kelebihan atau tambahan ini disebut dengan riba.
Allah SWT berfirman yang artinya : Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya. (QS Al Baqarah : 275)
Allah telah melarang hamba-Nya untuk memakan riba, Allah juga menjanjikan
untuk melipatgandakan pahala bagi orang yang ikhlas mengeluarkan zakat, infak dan
sedekah. Allah SWT berfirman yang artinya : Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al Baqarah : 276) dan ayat lain menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kepada Allah Supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS
Ali Imran : 130)
Hadits nabi Muhammad SAW yang artinya : Dari Jabir r.a ia berkata :
Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang
menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan,
orang yang menyaksikannya, dan (selanjutnya) nabi bersabda, mereka itu semua
sama saja. (HR Muslim)
Beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan menunjukkan bahwa Islam
sangat membenci perbuatan riba dan menganjurkan kepada umatnya agar di dalam
mencari rezeki hendaknya menempuh cara yang halal.
Ulama fikih membagi riba menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Riba fadal
Riba fadal yaitu tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak
sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya. Contohnya tukar
menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang
disyaratkan oleh yang menukarkan. Supaya tukar menukar seperti ini tidak
termasuk riba harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
Barang yang ditukarkan harus sama
Timbangan atau takarannya harus sama
Serah terima harus pada saat itu juga.

2. Riba nasiah
Riba nasiah yaitu tukar menukar barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis
atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu
yang dilambatkan. Contohnya, Salim membeli arloji seharga Rp 500.000. Oleh
penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp 525.000

3. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima.
Misalnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang
tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah
terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad
Berikut syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba.
a. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu :
1) serupa timbangan dan banyaknya
2) tunai
3) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
b. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu :
1) tunai
2) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab diharamkannya
karena memiliki bahaya yang sangat besar antara lain sebagai berikut :
1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat
kerja sama atau saling menolong sesama manusia. Padahal, semua agama,
terutama Islam menyeru kepada manusia untuk saling tolong menolong,
membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri atau egois, serta
orang yang mengeksploitasi orang lain.
2. Riba dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau
bekerja keras dan penimbun harta di tangan satu pihak. Islam menghargai kerja
keras dan menghormati orang yang suka bekerja keras sebagai saran pencarian
nafkah.
3. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu
pihak mengeksploitasi pihak yang lain.
4. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka
mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya
membutuhkan harta.

E. Hukum Islam tentang Kerja sama Ekonomi (Syirkah)


Saat ini umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam (muslim
world) lainnya telah menerapkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan
prinsip syariah (Islamic economic system) untuk dapat diterapkan dalam segenap
aspek kehidupan bisnis dan transaksi ekonomi umat. Keinginan ini didasari oleh
kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total.

Pengertian Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal
(expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
a. Dasar Hukum
Landasan hukum dari musyarakah ini antara lain :
] = # !%
Artinya : maka mereka berserikat pada sepertiga (QS An Nisa : 12)
Bersabda Rasulullah yang artinya : Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman : Aku pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya. (HR Abu Daud)
Hadits tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya
yang melakukan perkongsian atau kerja sama selama pihak-pihak yang bekerja
sama tersebut saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi
pengkhianatan.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, musyarakah (syirkah) dapat diartikan dua
orang atau lebih yang bersekutu (berserikat) dimana uang yang mereka dapatkan
dari harta warisan, atau mereka kumpulkan diantara mereka, kemudian
diinvestasikan dalam perdagangan, industri, atau pertanian dan lain-lain
sepanjang sesuai dengan kesepakatan bersama dan hal tersebut hukumnya
boleh.

b. Syarat-syarat musyarakah
Dalam bersyarikah ada 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
1) Benda (harta dinilai dengan uang)
2) Harta-harta itu sesuai dalam jenis dan macamnya
3) Harta-harta dicampur
4) Satu sama lain membolehkan untuk membelanjakan harta itu
5) Untung rugi diterima dengan ukuran harta masing-masing

c. Jenis-jenis musyarakah
Ada dua jenis musyarakah yakni musyarakah pemilikan dan musyarakah
akad (kontrak)
1) Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya
yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih, berbagi dalam sebuah aset
nyata dan berbagi pula keuntungan yang dihasilkan oleh aset tersebut.
2) Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau
lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad
terbagi menjadi inan, mufawadah, amal, wujuh, dan mudarabah.
a) Syirkah inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam
kerja, keuntungan dan kerugian yang dibagi sesuai dengan kesepakatan
diantara mereka.
b) Syirkah mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak memberikan dana yang jumlahnya sama dan
berpartisipasi dalam kerja, keuntungan dan kerugian dibagi secara sama
besar.
c) Syirkah amal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan itu. Misal dua orang arsitek menggarap sebuah proyek.
d) Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prestise baik dalam bisnis. Mereka membeli barang secara
kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Keuntungan dan kerugian dibagi berdasarkan jaminan yang disediakan
masing-masing.
Pada bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud
hal-hal berikut ini :
1. Pembiayaan proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati.
2. Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam
skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu
tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian
sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

F. Mudarabah (bagi hasil)


Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dasar Hukum
Secara umum landasan dasar syariah mudarabah lebih mencerminkan
anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits berikut ini.
Allah berfirman dalam surat al-Muzammil, artinya : dan dari orang-orang yang
berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT (Al-Muzammil: 20).
Adanya kata yadribun pada ayat diatas dianggap sama dengan akar kata
mudarabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Surah tersebut
mendorong kaum muslim untuk melakukan upaya atau usaha yang telah
diperintahkan Allah SWT.
Hadits nabi Muhammad yang artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara
mudarabah mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni
lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut,
maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan
syarat syarat tersebut kepada rasulullah SAW. Dan rasulullah pun membolehkannya.
(HR Tabrani).

Jenis-jenis Mudarabah
Secara umum, mudarabah terbagi menjadi dua jenis yakni mudarabah
mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.
a. Mudarabah mutlaqah
Mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik modal
(sahibul mal) dan pengelola (mudarib) yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fikih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan
ifal ma syita (lakukan sesukamu) dari sahibul mal ke mudarib yang memberi
kekuasaan sangat besar.
b. Mudarabah Muqayyadah
Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah mutlaqah. Si
Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya
pembatasan ini sering kali mencerminkan kecenderungan umum si Sahibul Mal
dalam memasuki jenis dunia usaha.
Adapun dari sisi pembiayaan, mudarabah biasanya diterapkan untuk
bidang-bidang berikut :
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b. Investasi khusus disebut juga mudarabah muqayyadah, yaitu sumber investasi
yang khusus dengan penyaluran yang khusus pula dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh sahibul mal.
Mudarabah dan kaitannya dengan dunia perbankan biasanya diterapkan
pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Sisa penghimpunan dana
mudarabah biasanya diterapkan pada bidang-bidang berikut ini.
1. Tabungan berjangka, yaitu dengan tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan deposito berjangka.
2. Deposito spesial (special investment), yaitu dana dititipkan kepada nasabah
untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah atau ijarah saja.
Mudaroban yang berkaitan dengan dunia Pertanian ialah : Musaqah, Muzaraah,
dan Mukhabarah.

a. Musaqah (paroan kebun)


Yang dimaksud musaqah adalah bentuk kerja sama dimana orang yang
mempunyai kebun memberikan kebunnya kepada orang lain (petani) agar
dipelihara dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi berdua
menurut perjanjian sewaktu akad.
Musaqah dibolehkan oleh agama karena banyak orang yang
membutuhkannya. Ada orang yang mempunyai kebun, tapi dia tidak dapat
memeliharanya. Sebaliknya, ada orang yang tidak mempunyai kebun, tapi
terampil bekerja. Musaqah memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak
yakni pemilik kebun dan pengelola sehingga sama-sama memperoleh hasil
dari kerja sama tersebut. Hadits menjelaskan sebagai berikut yang artinya :
Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya nabi Muhammad SAW telah memberikan
kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan
perjanjian, mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-
buahan atau hasil petani (palawija). (HR Muslim)

b. Muzaraah
Muzaraah adalah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah
atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan
benih(bibit tanaman)nya dari pekerja (petani). Zakat hasil paroan ini
diwajibkan atas orang yang punya benih. Oleh karena itu, pada muzaraah
zakat wajib atas petani yang bekerja karena pada hakekatnya dialah (si petani)
yang bertanam, yang mempunyai tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya, sedangkan pengantar dari sewaan tidak wajib mengeluarkan
zakatnya.
c. Mukhabara
Mukhabarah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau
ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya
dari pemilik sawah/ladang. Adapun pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas
yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, sedangkan
petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah
tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas
keduanya yang diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. Hukum kerja
sama tersebut di atas diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabiin dan
para imam.

G. Perbankan yang Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam


Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah
perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain
karena lahir atau berasal dari ajaran Islam yang mengharamkan riba dan
menganjurkan sedekah. Kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan
pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20 diantaranya
melalui pendirian institusi sebagai berikut.
1. Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas
prakarsa seorang cendekiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar.
2. Dubai Islamic Bank (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab
3. Islamic Development Bank (1975) di Saudi Arabia
4. Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir
5. Kuwait House of Finance di Kuwait (1977)
6. Jordan Islamic Bank di Yordania (1978)
Bank non Islam yang disebut juga bank konvensional adalah sebuah lembaga
keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang
memerlukan dana, baik perorangan atau badan usaha guna investasi dalam usaha-
usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.
Sedangkan Bank Islam yang dikenal dengan Bank Syariah adalah sebuah
lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum (syariat) Islam dan
tidak memakai sistem bunga karena bunga dianggap riba yang diharamkan oleh
Islam. (QS Al Baqarah : 275-279)
Sebagai pengganti sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang
bersih dari unsur riba, antara lain sebagai berikut.
1. Wadiah atau titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito. Wadiah ini
bisa diterapkan oleh Bank Islam dalam operasinya untuk menghimpun dana dari
masyarakat, dengan cara menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-
surat berharga sebagai amanat yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank
Islam. Bank berhak menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus
membayar imbalannya, tetapi Bank harus menjamin dapat mengembalikan dana
itupada waktu pemiliknya (depositor) memerlukannya.
2. Mudarabah adalah kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar
perjanjian profit and loss sharing. Dengan mudarabah ini, Bank Islam dapat
memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan
perjanjian bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian
misalnya, fifty-fifty. Dalam mudarabah ini, Bank tidak mencampuri manajemen
perusahaan.
3. Syirkah (perseroan). Dibawah kerjasama syirkah ini, pihak Bank dan pihak
pengusaha sama-sama mempunyai andil (saham) pada usaha patungan (joint
ventura). Oleh karena itu, kedua belah pihak berpartisipasi mengelola usaha
patungan ini dengan menanggung untung rugi bersama atas dasar perjanjian
profit and loss sharing (PLS Agreement).
4. Murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan harga atau cost plus atas
dasar harga pembelian yang pertama secara jujur. Dengan murabahah ini, pada
hakikatnya suatu pihak ingin mengubah bentuk bisnisnya dari kegiatan pinjam
meminjam menjadi transaksi jual beli. Dengan sistem murabahah ini, Bank bisa
membelikan atau menyediakan barang barang yang diperlukan oleh pengusaha
untuk dijual lagi, dan Bank minta tambahan harga atas harga pembeliannya.
Syarat bisnis dengan murabahah ini, ialah si pemilik barang (dalam hal ini Bank)
harus memberi informasi yang sebenarnya kepada pembeli tentang harga
pembeliannya dan keuntungan bersih (profit margin) dari pada cost plus-nya itu.
5. Qard hasan (pinjaman yang baik atau benevolent loan). Bank Islam dapat
memberikan pinjaman tanpa bunga (benevolent loan) kepada para nasabah yang
baik, terutama nasabah yang mempunyai deposito di Bank Islam itu sebagai salah
satu pelayanan dan penghargaan Bank kepada para deposan karena mereka tidak
menerima bunga atas depositonya dari Bank Islam.
Perkembangan pesat Bank-Bank Islam yang lazim disebut Bank syariah terjadi
pada dasawarsa 70-an setelah terjadinya krisis minyak yang menimbulkan oil boom
pada tahun 1971. perkembangan pesat Bank syariah tersebut membuktikan bahwa:
(1) ajaran Islam menggerakkan ide sosial ekonomi. Ide spirit yang bersumber pada
ajaran Islam disebut juga modal masyarakat (Social Capital). (2) Peranan
cendekiawan yang memiliki suatu konsep yang mengoperasionalkan ajaran agama
yaitu zakat, infak, sedekah (ZIS), dan larangan riba. ZIS dapat dijadikan modal Bank,
hal ini juga pernah dipelopori oleh pemikiran dari KH. Ahmad Dahlan. Beliau memiliki
gagasan membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola zakat).
Bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia adalah PT. Bank Muamalat
Indonesia (BMI) berdiri pada tanggal 1 Mei 1992. Perkembangan perbankan syariah
pada awalnya berjalan lebih lambat dibanding dengan Bank konvensional. Sampai
dengan tahun 1998 hanya terdapat 1 Bank Umum Syariah dan 78 BPRS (Bank
Perkreditan Rakyat Syariah). Berdasarkan statistik perbankan syariah mei 2003 dari
Bank Indonesia tercatat, Bank Umum Syariah 2 yaitu BMI dan Bank Syariah Mandiri, 8
Bank umum yang membuka unit atau kantor cabang syariah yaitu Danamon Syariah,
Jabar Syariah, Bukopin Syariah, BII Syariah dll, serta 89 Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS). Beberapa bank konvensional dalam negeri, maupun asing yang
beroperasi di Indonesia juga telah mengajukan izin dan menyiapkan diri untuk segera
beroperasi menjadi Bank Syariah.
Kehadiran Bank Syariah memiliki hikmah yang cukup besar, diantaranya
sebagai berikut.
1. Umat Islam yang berpendirian bahwa bunga Bank konvensional adalah riba, maka
Bank Syariah menjadi alternatif untuk menyimpan uangnya, baik dengan cara
deposito, bagi hasil maupun yang lainnya.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam dari praktik bunga yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang kuat
ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
3. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap Bank non Islam yang
menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan Bank sehingga umat Islam
belum bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat, terutama dalam kegiatan bisnis dan perekonomiannya
4. Bank Islam dapat mengelola zakat di negara yang pemerintahannya belum
mengelola zakat secara langsung. Bank juga dapat menggunakan sebagian zakat
yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif dan hasilnya untuk
kepentingan agama dan umum.
5. Bank Islam juga boleh memungut dan menerima pembayaran untuk hal-hal
berikut.
a. Mengganti biaya-biaya yang langsung dikeluarkan oleh Bank dalam
melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan nasabah, misalnya biaya
telegram, telepon, atau telex dalam memindahkan atau memberitahukan
rekening nasabah, dan sebagainya
b. Membayar gaji para karyawan Bank yang melakukan pekerjaan untuk
kepentingan nasabah dan sebagai sarana dan prasarana yang disediakan oleh
Bank dan biaya administrasi pada umumnya.

H. Sistem Asuransi yang Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam


Mengikuti sukses perbankan Syariah, asuransi Syariah juga mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Sampai dengan tahun 2002, tercatat sejumlah
asuransi konvensional yang membuka divisi Syariah yang terbukti mampu bersaing
dengan asuransi lainnya.
Asuransi pada umumnya, termasuk asuransi jiwa, menurut pandangan Islam
adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya, masalah tersebut perlu dikaji
hukumnya karena tidak ada penjelasan yang mendalam di dalam Al Quran atau
hadits secara tersurat. Para imam mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafii, Imam Ahmad dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka
(abad II dan III H atau VIII dan IX M) tidak memberi fatwa hukum terhadap masalah
asuransi karena hal tersebut belum dikenal pada waktu itu. Sistem asuransi di dunia
Islam baru dikenal pada abad XIX M, sedangkan di dunia barat sudah dikenal sejak
sekitar abad XIV M,.
Kini umat Islam di Indonesia dihadapkan kepada masalah asuransi dalam
berbagai bentuknya (asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan) dan
dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan bisnis maupun
kehidupan keagamaannya.
Di kalangan ulama dan cendekiawan muslim ada empat pendapat tentang
hukum asuransi, yakni sebagai berikut.
1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini,
termasuk asuransi jiwa.
2. Membolehkan semua asuransi dalam praktiknya sekarang ini.
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersial.
4. Menganggap syubhat
Ketika mengkaji hukum Islam tentang asuransi, sudah tentu harus dilakukan
dengan menggunakan metode ijtihad yang lazim digunakan oleh mujtahidin dahulu.
Diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam mengistinbatkan
(mencari dan menetapkan hukum) terhadap masalah-masalah baru yang tidak ada
nasnya dalam Al Quran dan hadits adalah maslahah mursalah atau istislah (public
good) dan qiyas (analogical reasoning).
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia ditulis oleh Vide Wirjono
Prodjodikoro, menjelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab
Undang-undang perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu bentuk
persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk
menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan
diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan
terjadi.
Adapun asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset
atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai Syariah
Ada beberapa sumber yang dijadikan rujukan bagi berlangsungnya sistem
asuransi tersebut, diantaranya adalah hadits Nabi Muhammad SAW : Seorang
mukmin dengan mukmin lainnya dalam suatu masyarakat ibarat satu bangunan,
dimana tiap bangunan saling mengokohkan satu sama lain. (HR Bukhari dan
Muslim)
Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan Syariah memiliki sistem yang
mengandung hal-hal sebagai berikut :
1) Mempunyai akad takafuli (tolong menolong) untuk memberikan santunan atau
perlindungan atas musibah yang akan datang.
2) Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut
diinvestasikan sesuai dengan instrumen Syariah seperti mudarabah, wakalah,
wadiah dan murabahah.
3) Premi memiliki unsur tabaru atau mortalita (harapan hidup).
4) Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada
kisaran 30 % dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk
pada tahun pertama yang memiliki nilai 70 % dari premi.
5) dari rekening tabaru (dana kebajikan seluruh peserta) sejak awal sudah
diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.
6) Mekanisme pertanggungan pada asuransi Syariah adalah sharing of risk. Apabila
terjadi musibah semua peserta ikut (saling) menanggung dan membantu.
7) Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi
hasil (mudarabah),atau dalam akad tabarru dapat berbentuk hadiah kepada
peserta dan ujrah (fee) kepada pengelola.
8) Mempunyai misi akidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat Islam atau
misi iqtisadi.

I. Sistem Lembaga Keuangan non Bank yang sesuai dengan Prinsip Hukum Islam
Sistem lembaga keuangan non Bank yang sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum Islam antara lain adalah sebagai berikut :
1. Koperasi
Pengertian koperasi dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris
corporation, yang artinya bekerja sama. Pengertian koperasi dari segi etimologi
ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau
badan hukum yang bekerja sama denagn penuh kesadaran untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota atas dasar suka rela secara kekeluargaan.
Koperasi mempunyai dua fungsi, yakni :
fungsi ekonomi dalam bentuk kegiatan-kegiatan usaha ekonomi yang
dilakukan koperasi untuk meringankan beban hidup sehari-hari para
anggotanya dan
fungsi sosial dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara
gotong royong atau dalam bentuk sumbangan berupa uang yang berasal dari
bagian laba koperasi disisihkan untuk tujuan-tujuan sosial, misalnya untuk
mendirikan sekolah atau tempat ibadah
Koperasi dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu
bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi.
Ini disebut koperasi berusaha tunggal (single purpose). Dan ada pula koperasi
yang meluaskan usahanya dalam berbagai bidang yang disebut koperasi serba
usaha (multi purpose) seperti bidang pembelian dan penjualan
Modal usaha koperasi diperoleh dari uang simpanan pokok, uang
simpanan wajib, uang simpanan sukarela yang merupakan deposito, uang
pinjaman, penyisihan-penyisihan hasil usaha termasuk cadangan dan sumber lain
yang sah.
Menurut mahmud syaltut, koperasi sebagaimana diuraikan di atas adalah
bentuk syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi dan banyak sekali
memiliki manfaat, antara lain memberi keuntungan kepada para anggota pemilik
saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan
keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan tempat ibadah,
sekolah dan sebagainya. Koperasi tidak mempunyai unsur kezaliman dan
pemerasan oleh manusia yang kuat atau kaya atas manusia yang lemah atau
miskin, pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta
membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan
yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh
karena itu, koperasi dapat diterima oleh kalangan Islam.

2. BMT (Baitul Mal wat Tamwil)


Merupakan lembaga keuangan mikro yang sangat sukses. BMT di
Indonesia tumbuh dari bawah (masyarakat berekonomi lemah) yang didukung
oleh deposan-deposan kecil. BMT telah menjalankan fungsinya sebagai lembaga
intermediasi yang mengelola dana dari, untuk dan oleh masyarakat yang
merupakan perwujudan demokrasi ekonomi. BMT-BMT sebagian besar berbadan
hukum koperasi yang merupakan badan usaha berdasarkan azas kekeluargaan
yang sesuai dengan Islam. Sampai tahun 2003, jumlah BMT sudah mendekati
angka 4000 unit dimana proses operasionalnya tidak jauh beda dengan
operasional BPRS atau Bank Syariah.

J. Perilaku yang Mencerminkan Kepatuhan Terhadap Hukum Islam tentang Kerjasama


Ekonomi
Ekonomi Islam di Indonesia hingga saat ini mengalami perkembangan yang
signifikan. Hal ini ditandai dengan maraknya kajian-kajian ekonomi Syariah,
banyaknya lembaga keuangan yang berorientasi Syariah serta semakin tingginya
kesadaran masyarakat Indonesia dalam menerapkan kerjasama ekonomi berdasarkan
Syariah. Ada beberapa aspek perilaku yang harus mencerminkan kepatuhan terhadap
hukum Islam di segala aspek kehidupan, khususnya tentang kerja sama ekonomi
Islam yaitu sebagai berikut :
Tanggung Jawab
Dalam melaksanakan akad tanggung jawab yang berkaitan dengan
kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untung
memegang kepercayaan secara penuh dengan pihak yang masih perlu memenuhi
kewajiban sebagai penjamin (damin) harus dipertimbangkan

Tolong Menolong
Saling menolong sesama peserta (nasabah) dengan hanya berhadapan
keridaan Allah. Dan tolong menolong untuk memberikan santunan perlindungan atas
musibah yang akan datang

Saling melindungi
Perekonomian Islam yang berdasarkan Syariah merupakan usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui
investasi.

Adil
Dalam melakukan transaksi/perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai.

Amanah/jujur
Dalam menjalankan kerja sama ekonomi Syariah mengharuskan dipenuhinya
semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi
harus dilaksanakan secara rida sama rida dan disepakati oleh semua pihak yang
terkait. Perilaku lain adalah mempunyai manajemen islami, menghormati hak azasi
manusia, menjaga lingkungan hidup, melaksanakan good corporate governance,
tidak spekulatif dan memegang teguh prinsip kehati-hatian.

VI. Kerukunan Antar Umat Beragama

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan makna agama Islam beserta karakteristiknya.
2. Menjelaskan makna ajaran Islam sebagai rahmat Allah bagi semua
makhluk-Nya beserta perwujudannya.
3. Menjelaskan makna ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Insaniyah, serta
memiliki sikap yang sesuai dengan ajaran Islam tentang ukhuwah
tersebut.
4. Menjelaskan pandangan Islam terhadap umat non Islam dengan
kategorisasinya.
5. Menjelaskan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial umat Islam, baik
terhadap sesama umat Islam maupun terhadap umat non Islam dengan
sikap amar maruf dan nahi munkar.
Daftar Istilah Penting
Islam : Damai, selamat, sejahtera, taat, dan patuh. Sebagai agama, Islam
berisi ajaran yang memberi petunjuk kepada umat manusia untuk
melaksanakan tugas kehidupan menurut syariat, jalan kehidupan yang
benar, yang memberikan kemaslahatan bagi semua makhluk Allah. Islam
adalah agama universal, agama yang diturunkan oleh Allah sejak Rasul
pertama Adam sampai Rasul terakhir Muhammad SAW.
Rahmat : Kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
Non Islam : Umat non Islam adalah orang-orang kafir, yaitu orang yang tidak
mau mengakui Allah sebagai Tuhannya dan atau tidak mau menerima serta
menaati aturan-Nya yang disampaikan Rasul-Nya Muhammad SAW.
Ukhuwah : Persaudaraan antar individu atau kelompok umat manusia, baik
dalam bentuk rasa simpati maupun empati dan ditindaklanjuti dengan sikap
serta prilaku yang bermaslahat.
Amar maruf dan nahi munkar : Memerintahkan, mengajak, dan memberi
contoh kepada orang lain untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan
keburukan.

6.1. Agama Islam Merupakan Rahmat Allah


Kata Islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat, dan patuh.
Pengertian tersebut memberikan gambaran, bahwa agama Islam adalah agama
yang memiliki misi untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan
kehidupan manusia pada khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya.
Keadaan tersebut terwujud melalui penyerahan diri, ketaatan, dan kepatuhan
manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Menurut ajaran Islam, manusia
diberikan amanat oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, terikat dalam
tugas untuk menciptakan kemaslahatan bagi sesama makhluk Allah. Artinya bahwa,
setiap perbuatan yang dilakukan manusia harus memberikan kebaikan dan tidak
boleh merugikan atau menyakiti pihak lain dengan cara menegakkan aturan Allah.
Ketika menjelaskan misi Rasulullah untuk menyampaikan agama Islam bagi umat
manusia, dalam QS. 21 (al-Anbiya) ayat 107 Allah menegaskan :

Artinya : Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Allah sebagai Khalik, Maha Rahman dan Rahim terhadap makhluk-Nya. Karena
itu manusia sebagai khalifah-Nya, memiliki tanggung jawab merealisasikan sifat
Rahman dan Rahim Allah tersebut melalui (implementasi) pengamalan aturan Allah,
yaitu ajaran agama Islam dalam kehidupan ini yang menghormati orang lain sesama
makhluk Allah dan bersikap terbuka untuk bekerja sama bagi kebaikan bersama.

6.2. Konsep Ukhuwah dalam Islam


Kata ukhuwah atau persaudaraan, asalnya berarti persekutuan dua anak atau
lebih dalam satu kesatuan karena kelahiran atau sepersusuan. Pengertian tersebut
kemudian dipergunakan juga untuk menggambarkan kesatuan dalam perasaan
simpati dan empati. Seseorang memiliki perasaan, suka ataupun duka, senang
ataupun sedih dengan orang lain. Jalinan perasaan itu menimbulkan sikap timbal
balik untuk saling membantu apabila pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap
untuk saling membagi kesenangan apabila salah satu pihak menemukan
kesenangan. Konsep ukhuwah atau persaudaraan dilandasi oleh adanya perbedaan
dua hal atau lebih sekalipun terdapat unsur yang mempersatukan.
Ukhuwah atau persaudaraan dalam kehidupan umat beragama meliputi :
(1) Persaudaraan sesama umat Islam, atau ukhuwah Islamiyah. Perbedaan yang
terjadi diantara umat Islam, umat yang seiman, baik dalam bentuk perbedaan
mazhab, organisasi, partai, suku, bangsa, dan perbedaan-perbedaan lainnya
hendaknya tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan kesatuan dalam
persaudaraan diantara mereka;
(2) Persaudaraan sesama umat manusia secara universal tanpa membedakan
agama, suku, bangsa, ras, dan aspek-aspek kekhususan lainnya, yang disebut
ukhuwah insaniyah. Persaudaraan atau ukhuwah sesama umat manusia,
dilandasi oleh ajaran bahwa semua umat manusia adalah makhluk Allah, semua
manusia sama di hadapan Allah. Sekalipun Allah memberikan petunjuk
kebenaran melalui ajaran Islam, dan Allah memerintahkan manusia untuk
menggunakan petunjuk itu dalam kehidupan, tetapi Allah juga memberikan
kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalan hidup berdasarkan
pertimbangan akal budinya. Persaudaraan atau ukhuwah Islamiah ini dapat
direalisasikan dalam berbagai bentuk ukhuwah, seperti (a) persaudaraan atau
ukhuwah antara umat beragama dengan pemerintah. Perlindungan terhadap
kepentingan publik umat beragama memerlukan adanya lembaga pemerintah
yang memiliki kewenangan dalam masalah publik tersebut. Untuk mewujudkan
perlindungan tersebut, umat beragama harus bekerja sama dengan pemerintah;
(b) persaudaraan sesama umat manusia dalam satu negara yang disebut
ukhuwah wathaniah. Realitas kehidupan umat manusia telah berkembang
dalam kelompok kebangsaan atau kenegaraan. Persamaan kebangsaan atau
kenegaraan tersebut menunjukkan adanya persamaan nasib, hak dan tanggung
jawab sesama warga negara. Karena itu diperlukan kebersamaan, kerjasama
diantara mereka untuk merealisasikan hak dan tanggung jawabnya, guna
memperbaiki nasib hidupnya.
6.3. Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial
Umat manusia yang jumlahnya telah mencapai milyaran jiwa, berasal dari satu
keturunan, yaitu Adam AS. Karena itu Al-Quran menyebut manusia sebagai bani
Adam, anak keturunan Adam. Sebagai keluarga besar, manusia memiliki satu fitrah
kehidupan, yaitu naluri kehidupan beragama tauhid sebagaimana pada Surah 30, Al-
Ruum: 30 yaitu :



Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.
Manusia juga memiliki satu misi kehidupan, yaitu beribadah, berserah diri
dengan mentaati aturan Allah (QS. 51, Adz-Dzariyat : 56) :

Namun demikian, manusia dianugerahi oleh Allah akal-pikiran dan hati nurani.
Karena itu manusia memiliki kemampuan berpikir dan menentukan pilihan hidup.
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir dan menentukan
pilihan hidup yang menurut pemikirannya baik dan benar. Tetapi Allah juga akan
meminta tanggung jawab pemikiran dan pilihan hidupnya tersebut berdasarkan
standar kebaikan dan kebenaran yang telah Allah berikan kepada manusia.
Kebebasan berpikir dan menentukan pilihan hidup bagi manusia diberikan
oleh Allah sebagaimana dinyatakan dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29 yaitu :



Artinya : Dan Katakanlah : Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barang
siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin
(kafir) Biarlah ia kafir. Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang-orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat
yang paling jelek.
Dalam QS. 5 (al-Maidah) : 48 dan QS. 10 (Yunus) : 99 juga dijelaskan, bahwa
Allah sengaja tidak menjadikan manusia dalam satu umat yang beriman, tetapi
memberikan kebebasan untuk menguji manusia. Karena itu dalam QS. 2 al-
Baqarah : 256 Allah berfirman:



Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah
berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kebebasan yang dapat mengakibatkan perbedaan dalam berpikir dan pilihan
hidup pada manusia itu dilandasi oleh adanya potensi pada diri manusia sejak awal
penciptaan, sebagaimana dijelaskan dalam QS. 91 (Al-Syams) : 8, yang artinya :
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Kesatuan manusia sebagai satu keluarga besar, satu umat, telah ditegaskan
oleh Allah dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 213 yang berbunyi :


Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu.
Manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menciptakan keluarga
besarnya itu hidup dalam kedamaian, kerukunan, saling tolong menolong satu
sama lain. Menjadi hak Allah untuk menilai dan memberikan balasan akan pilihan
hidup dalam perbedaan iman. Kontribusi sosial yang ditekankan oleh Islam adalah
kebaikan dan tidak berbuat kerusakan (QS. 28 (al-Qashash) : 77). Karena itu
perintah tolong-menolong berorientasi untuk mengerjakan kebajikan, bukan
mengerjakan dosa dan pelanggaran, sebagaimana dinyatakan di dalam surah 5 (al-
Maidah): 2 yaitu :

Artinya : ... Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Prinsip tolong-menolong sesama manusia itu memberi makna universalisme
nilai-nilai kebaikan yang diinginkan, dan sejalan dengan fitrah hidup manusia. Nilai-
nilai kebaikan yang bersifat universal tersebut adalah fitrah kehidupan, dan manusia
diciptakan dalam fitrah tersebut. Karena itu Islam juga disebut agama fitrah, karena
mengajarkan kebaikan sesuai dengan kebaikan dalam fitrah kehidupan manusia.
Itulah makna rahmat Allah bagi kehidupan ini sekalipun manusia hidup dalam
perbedaan iman, keragaman beragama.

VII. Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan konsep masyarakat madani menurut ajaran Islam dan
karakteristiknya.
2. Menjelaskan kondisi SDM umat Islam, parameternya, dan konsep
peningkatan kualitasnya.
3. Menjelaskan konsep zakat dan wakaf serta fungsinya bagi kesejahteraan
umat.
4. Menjelaskan cara pengelolaan zakat dan wakaf yang dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.

Daftar Istilah Penting


Masyarakat Madani: Masyarakat yang berperadaban tinggi, yang ditandai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keteraturan dalam
berbagai sistem kehidupan. Kata madani berasal dari kata madinah, yang
berarti kota atau polis dalam filsafat Yunani. Kata madani menunjukkan sifat
dari masyarakat Madinah ketika terjadi perjanjian Madinah di masa
Rasulullah SAW.
SDM Islam : Kondisi umat Islam, baik dari segi akidahnya, ketaatan
beribadahnya, akhlaknya, maupun penguasaannya terhadap Iptek.

7.1. Konsep Masyarakat Madani


Makna utama dari masyarakat madani adalah masyarakat yang menjadikan
nilai-nilai peradaban sebagai ciri utama. Dalam sejarah pemikiran filsafat, sejak
filsafat Yunani sampai masa filsafat Islam juga dikenal istilah Madmah atau Polls,
yang berarti kota, yaitu masyarakat yang maju dan berperadaban. Masyarakat
madani menjadi simbol idealisme yang diharapkan oleh setiap masyarakat. Dalam
Al-Quran, Allah memberikan illustrasi masyarakat ideal, sebagai gambaran dari
masyarakat madani dengan firman-Nya Baldatun thayyibatun warabbun ghafuur
yang artinya : (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan
Yang Maha Pengampun (QS. Saba : 15).

7.2. Karakteristik Masyarakat Madani


Masyarakat madani sebagai masyarakat ideal memiliki karakteristik sebagai
berikut :
(1) ber-Tuhan;
(2) damai;
(3) tolong-menolong;
(4) toleran;
(5) keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial. Konsep zakat, infak, shadaqah,
dan hibah bagi umat Islam serta jizyah dan kharaj bagi non Islam, merupakan
salah satu wujud keseimbangan yang adil dalam masalah tersebut;
(6) berperadaban tinggi; dan
(7) berakhlak mulia.

7.3. Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani


Dalam konteks masyarakat Indonesia, dimana umat Islam, adalah mayoritas,
peranan umat Islam untuk mewujudkan masyarakat madani sangat besar. Kondisi
masyarakat Indonesia sangat bergantung pada kontribusi yang diberikan oleh umat
Islam. Peranan umat Islam itu dapat direalisasikan melalui jalur hukum, sosial-
politik, ekonomi, dan yang lain. Sistem hukum, sosial-politik, ekonomi dan yang lain
di Indonesia, memberikan ruang kepada umat Islam untuk menyalurkan aspirasinya
secara konstruktif bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Permasalahan
pokok yang masih menjadi kendala saat ini adalah kemampuan dan konsistensi
umat Islam Indonesia terhadap karakter dasarnya, untuk mengimplementasikan
ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur-jalur yang
ada. Sekalipun umat Islam secara kuantitatif mayoritas, tetapi secara kualitatif
masih rendah, sehingga perlu pemberdayaan secara sistematis. Sikap amar ma'ruf
dan nahi munkar juga masih sangat lemah. Hal itu dapat dilihat dari fenomena-
fenomena sosial yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti angka kriminalitas
yang tinggi, korupsi yang terjadi di semua sektor, dan kurangnya rasa aman. Jika
umat Islam Indonesia benar-benar mencerminkan sikap hidup yang Islami, pasti
bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.

7.4. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat


Yang dimaksud dengan sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang
terjadi setelah prinsip ekonomi yang menjadi pedoman kerjanya, dipengaruhi atau
dibatasi oleh ajaran-ajaran Islam. Sistem ekonomi Islam tersebut di atas, bersumber
dari Al-Quran dan al-Hadits yang dikembangkan oleh pemikiran manusia yang
memenuhi syarat dan ahli dalam bidangnya. Jika Al-Quran dan al-Hadits dipelajari
dengan seksama, tampak jelas bahwa Islam mengakui motif laba (profit) dalam
kegiatan ekonomi. Namun motif itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral,
sosial, dan temperance (pembatasan diri).
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara,
yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lain
dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan serentak. Menurut ajaran
Islam, dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtera
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan
dimaksud, di dalam Islam selain kewajiban zakat, masih disyari'atkan untuk
memberikan shadaqah, infaq, hibah, dan wakaf kepada pihak-pihak yang
memerlukan. Lembaga-lembaga tersebut dimaksudkan untuk menjembatani dan
memperdekat hubungan sesama manusia, terutama hubungan antara kelompok
yang kuat dengan kelompok yang lemah, antara yang kaya dengan yang miskin.

7.5. Etos Kerja Islami


Etos kerja adalah totalitas kepribadian diri dan cara mengekspresikan,
memandang, meyakini, dan memberikan makna tentang sesuatu pekerjaan yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (Toto
Tasmara:20). Etos kerja juga berarti percaya, tekun, dan senang pada pekerjaan
yang sedang dihadapi dengan tidak memandang apakah pekerjaan itu sebagai
buruh kasar atau memimpin suatu perusahaan besar (M. Yunan Nasution : 147).
Etos kerja mencerminkan nilai kerohanian yang membentuk kepribadian dan
terekpresikan melalui sikap dan perilaku produktif. Bagi umat Islam, sifat etos
kerjanya adalah etos kerja Islami, yang dilandasi oleh ajaran Al-Quran dan al-
Sunnah.
Al-Quran menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, karena
melakukan amar maruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah (QS. Ali
Imran : 110). Nilai kebaikan umat Islam tersebut dapat terealisasi apabila
keimanannya menghasilkan amal yang shalih. Oleh karena itu Allah akan menilai,
siapa yang paling baik amalnya (QS. Hud : 7; Mulk : 2). Islam memotivasi umatnya
untuk berkompetisi dalam kebaikan, memiliki etos kerja yang baik, yang
menentukan nilai hidup di dunia dan konsekuensi di akhirat (QS. al-Baqarah : 148).
Hubungan etos kerja dengan masalah eskatologi, balasan di akhirat memberikan
kestabilan (istiqamah) pada setiap pribadi akan kepastian hasil kebaikan dari amal
baik yang dilakukan, yang tidak bergantung pada kerelatifan manusia.
Menurut Toto Tasmara, etos kerja muslim memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
(1) menghargai waktu;
(2) memiliki moralitas yang ikhlas;
(3) memiliki kejujuran;
(4) memiliki komitmen;
(5) istiqamah, kuat pendirian;
(6) disiplin;
(7) konsekuen dan berani menghadapi tantangan;
(8) memiliki sikap percaya diri;
(9) kreatif;
(10) bertanggung jawab;
(11) bahagia karena melayani;
(12) memiliki harga diri;
(13) memiliki jiwa kepemimpinan;
(14) berorientasi ke masa depan;
(15) hidup hemat dan efisien;
(16) memiliki jiwa wiraswasta;
(17) memiliki insting berkompetisi;
(18) mandiri;
(19) berkemauan belajar dan mencari ilmu;
(20) memiliki semangat perantauan;
(21) memperhatikan kesehatan dan gizi;
(22) tangguh dan pantang menyerah;
(23) berorientasi pada produktivitas;
(24) memperkaya jaringan silaturrahmi; dan
(25) memiliki semangat perubahan (Toto Tasmara : 73).

7.6. Filantropi Islam : Zakat dan Wakaf


7.6.1. Zakat
Zakat merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur sosial Islam.
Zakat bukanlah derma atau sedekah biasa, ia adalah sedekah wajib. Dengan
terlaksananya lembaga zakat dengan baik dan benar, diharapkan kesulitan dan
penderitaan fakir miskin dapat berkurang. Di samping itu dengan pengelolaan zakat
yang profesional, berbagai permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang ada
hubungannya dengan mustahiq juga dapat dipecahkan.
Zakat ada dua macam, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal adalah
bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan
kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah
dimiliki selama jangka waktu tertentu pula. Sedangkan zakat fitrah adalah zakat
yang diwajibkan pada akhir puasa Ramadhan. Hukum zakat fitrah wajib atas setiap
orang Islam, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka
(Yusuf al-Qardhawi, : 162).
Dalam hubungan dengan pemilikan harta benda dalam ajaran Islam dikenal
dengan kewajiban membayar zakat. Menurut asal katanya zakat berarti tambah,
bersih atau suci, sedangkan menurut terminologi syariat, zakat adalah
mengeluarkan sebagian harta kepada mereka yang telah ditetapkan menurut
syariat.
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai harta yang
telah mencapai nisab atau ketentuan minimal pemilikan harta kena zakat. Firman
Allah yang artinya : Dan dirikanlah shalat, dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah
bersama-sama orang-orang yang tunduk. (Al-Baqarah, 2:43)
Harta yang wajib dizakati, nisab dan zakatnya adalah: binatang ternak, emas
dan perak serta buah-buahan. Adapun pembagiannya untuk binatang ternak yaitu
unta dan telah cukup nisabnya sebanyak lima ekor maka wajib mengeluarkan
zakatnya satu ekor kambing berumur dua tahun lebih, sedangkan untuk sapi/kerbau
setelah nisabnya mencapai 30 ekor maka zakat yang harus dikeluarkan satu ekor
anak sapi berumur dua tahun lebih dan untuk kambing apabila telah sampai
nisabnya sebanyak 40 ekor maka wajib dikeluarkan zakatnya satu ekor kambing/biri-
biri berumur dua tahun. Untuk jenis harta emas bila telah cukup nisabnya 93,6 gram
maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% dan untuk perak yang telah
sampai nisabnya 624 gram wajib mengeluarkan zakatnya 2,5%. Adapun zakat pada
buah-buahan yaitu kurma bila telah cukup nisabnya 930 maka wajib mengeluarkan
10% zakatnya, dan buah anggur bila cukup 930 nisabnya maka wajib mengeluarkan
10% zakatnya.
Adapun harta yang diperoleh dari perniagaan dan perdagangan zakatnya
sebesar 2,5 %, demikian pula harta yang diperoleh melalui kegiatan profesi, seperti
dokter, pengacara, dan sebagainya. Orang yang berhak menerima zakat ditetapkan
firman Allah yang artinya: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, miskin, pengurus zakat, para mualaf yang baru dibina jiwanya ke arah Islam,
untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Demikian itu adalah ketetapan yang
diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah,
9:60)
Berdasarkan ayat di atas orang-orang yang berhak menerima (mustahik) zakat
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Fakir, yaitu orang yang memiliki usaha yang hanya menjamin setengah dari
kebutuhan hidupnya sehari-hari.
2. Miskin, yaitu orang yang memiliki usaha yang menghasilkan lebih dari setengah
kebutuhan hidupnya.
3. Amil, yaitu orang yang dipercaya untuk mengumpulkan dan membagikan harta
zakat.
4. Muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam yang masih lemah keimanannya
yang perlu bimbingan dan dukungan dana.
5. Hamba sahaya, yaitu budak beliau.
6. Garim, yaitu orang yang mempunyai utang akibat usahanya bangkrut yang
bukan karena maksiat dan ia tidak sanggup membayarnya.
7. Sabilillah, yaitu orang yang berjuang suka rela untuk menegakkan agama Allah.
8. Ibnu sabil atau musafir, yaitu yang kekurangan bekal dalam suatu perjalanan
yang baik, seperti menuntut ilmu, menyiarkan agama dan sebagainya.
Zakat pada dasarnya merupakan implementasi dari pandangan dasar Islam
tentang alam, yaitu alam adalah milik Allah.
Zakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan di kalangan umat Islam
sendiri, dari golongan umat yang kaya kepada golongan umat yang miskin, agar
tidak terjadi jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin, serta untuk
menghindari penumpukan kekayaan pada golongan kaya saja. Untuk melaksanakan
lembaga zakat. itu dengan baik dan sesuai dengan fungsi dan tujuannya, tentu harus
ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam pengelolaannya. Pengelolaan zakat
yang berdasar pada prinsip-prinsip pengaturan yang baik jelas akan meningkatkan
manfaatnya yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan
pengelolaan zakat yang kurang optimal, pada tanggal 23 September 1999 Presiden
RI, B.J. Habibie mengesahkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Zakat tersebut, Menteri Agama RI menetapkan Keputusan Menteri Agama
RI Nomor 581 Tahun 1999.
Berhasilnya pengelolaan zakat tidak hanya tergantung pada banyaknya zakat
yang terkumpul, tetapi sangat tergantung pada dampak dari pengelolaan zakat
tersebut dalam masyarakat. Zakat baru dapat dikatakan berhasil dalam
pengelolaannya, apabila zakat tersebut benar-benar dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat. Keadaan yang demikian sangat
tergantung dari manajemen yang diterapkan oleh amil zakat dan political will dari
pemerintah.

7.6.2. Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial
ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya
sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara
misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh. Hal ini barangkali karena
lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga manfaatnya
sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk suatu usaha, yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang
memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial
khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya
kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan
wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat
terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka perlu
dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya
dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara
produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan
Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga
berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang saham, real estate dan lain-lain
yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar
dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di
Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai
mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan,
pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa
lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan
masalah sosial ekonomi masyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah
berkembang, menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf.
Sayangnya pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-
abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa
tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan hanyalah tanah milik, yakni diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda
bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh umat Islam di Indonesia sekitar
akhir tahun 2001. Alhamdulillah pada tanggal II Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah
sebagai berikut:
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan secara syari.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di
Indonesia sudah tidak bermasalah lagi, apalagi dalam Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf uang sudah diatur tersendiri. Yang menjadi
masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di Indonesia,
karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat
kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-
undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat
diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam menyambut baik lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang
Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fiqih wakaf baru di Indonesia
yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf
(mauquf alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda
bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain
yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang
diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak
saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya
pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas
dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melakukan pembinaan terhadap
nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

VIII. Kebudayaan Islam

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian kebudayaan dan peradaban Islam.
2. Membedakan kebudayaan dan peradaban Islam dengan kebudayaan dan
peradaban pada umumnya
3. Menjelaskan sejarah intelektual Islam dan pusat-pusat peradaban Islam
4. Berperilaku arif dan bijaksana dalam menyikapi perkembangan budaya dan
peradaban modern
5. Memiliki prinsip dan kebanggaan terhadap kebudayaan dan peradaban
Islam.

Daftar Istilah Penting


Kebudayaan : Segala hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan
pengungkapan bentuk
Iptek : Singkatan dari Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Sent. Dalam
pandangan Islam, Iptek merupakan hasil olah pikir dan olah rasa manusia.
Iptek selalu berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi manusia.
Oleh sebab itu kebenaran Iptek sangat relatif
Sumber pengembangan Iptek dalam Islam : Wahyu Allah. Iptek yang Islami
selalu mengutamakan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi
kehidupan manusia. Untuk itu Iptek dalam pandangan Islam tidak bebas
nilai.

8.1. Konsep Kebudayaan dalam Islam


Secara umum kebudayaan adalah istilah yang menunjukkan segala hasil karya
manusia yang berkaitan erat dengan pengungkapan bentuk. Kebudayaan
merupakan wadah, dimana hakikat manusia memperkembangkan diri. Antara
hakikat manusia dengan pengembangan diri (kebudayaan) tersebut terjalin
hubungan, korelasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangannya,
kebudayaan sering dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tempat, waktu, dan
kondisi masyarakat, sehingga lahir suatu bentuk kebudayaan khusus, seperti
kebudayaan Islam, kebudayaan Timur, dan kebudayaan Barat. (Ensiklopedi
Indonesia : 1705). Kebudayaan lahir dari olah akal-budi, jiwa atau hati nurani
manusia. Bentuk kebudayaan tersebut selalu mencerminkan nilai-nilai kehidupan
yang diyakini, yang dirasa, dan diharapkan memberikan kebaikan dalam hidup. Oleh
karena itu kebudayaan yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan tersebut juga
disebut peradaban. Kebudayaan atau peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai
ajaran Islam disebut kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam ajaran Islam, aktivitas kehidupan manusia dalam bentuk olah akal-budi
nuraninya harus dibimbing oleh wahyu. Akal budi nurani manusia memiliki
keterbatasan dan dipengaruhi oleh pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun
masyarakat. Sekalipun aktivitas akal budi nurani manusia dalam bentuk kebudayaan
atau peradaban tersebut diyakini atau diharapkan memberikan kebaikan bagi
masyarakat yang melahirkan kebudayaan-peradaban tersebut, dalam pandangan
masyarakat lain belum tentu dinilai baik. Oleh karena itu sejak awal mula manusia
dilahirkan, Allah Yang Maha Tahu akan keterbatasan manusia menurunkan wahyu
sebagai pembimbing arah olah akal budi nurani manusia tersebut, agar tidak
berkembang dan melahirkan kebudayaan-peradaban yang bertentangan dengan
nilai nilai-nilai universal kemanusiaan yang dianggap menguntungkan sekelompok
masyarakat tertentu tetapi merugikan sekelompok masyarakat lainnya. Wahyu Al-
Quran sebagai wahyu terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah
Muhammad SAW menjadi petunjuk-pembimbing dan menjaga nilai-nilai
universalitas kemanusiaan tersebut sekalipun memberikan toleransi perwujudan
kebudayaan-peradaban khusus.
8.2. Perkembangan Kebudayaan Islam
Islam diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, agar disampaikan
kepada seluruh umat manusia dan menjadi petunjuk kebenaran bagi umat manusia
sampai akhir masa. Rasulullah Muhammad SAW adalah orang Arab yang hidup
dalam kebudayaan Arab. Oleh karena itu beliau berbicara dalam bahasa Arab dan
berpakaian menurut mode pakaian masyarakat Arab. Bagi umat Islam Arab,
kebudayaan-peradaban Islam berkembang dalam bentuk kebudayaan-peradaban
Islam Arab, begitu pula bagi umat Islam Indonesia. Perbedaan yang lahir dari
kekhususan kelompok masyarakat atau bangsa, dalam ajaran Islam tidak dianggap
sebagai penyimpangan atau bertentangan dengan ajaran Islam sepanjang tetap
mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam, seperti bahasa komunikasi, dan model
pakaian. Oleh karena itu kebudayaan atau peradaban Islam harus dibedakan dengan
syariat Islam. Kebudayaan atau peradaban Islam boleh beragam, berkembang dan
berubah-ubah, tetapi syariat Islam hanyalah satu dan tetap, sehingga dimana dan
kapan pun umat Islam hidup, syariatnya tetap sama.
Perkembangan kebudayaan Islam yang paling menonjol dalam sejarah adalah
budaya intelektual Islam. Sejak abad pertama perkembangan Islam (abad ketujuh
M) telah lahir ilmuwan-ilmuwan muslim yang melahirkan sistem berpikir atau
metode berijtihad dalam disiplin ilmu tertentu yang dikenal dengan istilah mazhab.
Di antara para ilmuwan tersebut adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii,
dan Imam Hambali dalam disiplin ilmu fiqih. Perkembangan pemikiran Islam di
bidang ilmu Fiqih kemudian diiringi dengan perkembangan pemikiran di bidang
keilmuan yang lain yang melahirkan banyak ilmuwan muslim. Di antara para
ilmuwan tersebut adalah Al-Kindi (801-873 M), Al-Farabi (870-950M), Al-Razi (865-
925M) dan lain-lain di bidang filsafat, Rabi'ah Al-Adawiyah yang terkenal dengan
teori mahabbah dan Ibnu Arabi yang terkenal dengan konsep wahdatul wujud
dalam ilmu tasawuf. Di bidang ilmu matematika lahir Muhammad bin Musa Al-
Khawarizmi dan Abu Al-Wafa, di bidang fisika lahir Abu Yusuf Yaqub bin Ishak Al-
Kindi dan Abu Al-Rayhan Muhaminad bin Ahmad Al-Biruni, sedangkan di bidang
ilmu kimia lahir Jabir bin Hayyan Al-Kufi Al-Sufi dan Abu Usman Al-Jahiz, dan di
bidang ilmu biologi lahir Al-Dinawari dengan karya besarnya yang diterjemahkan
menjadi Encyclopedia Botanica. Di bidang ilmu kedokteran lahir Ali Al-Thabari,
Hunain bin Ishak Al-Ibadi, dll. Adapun di bidang ilmu geografi lahir Hisyam Al-Kalbi,
dan di bidang ilmu astronomi dikenal ilmuwan Abu Yusuf Yaqub bin Ishak al-Kindi
dengan karyanya yang populer, diantaranya adalah Risalah fi masail Suila anha min
Ahwal al-Makasib (Jawaban Persoalan tentang Planet-planet) (Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam : 21-249).

8.3. Nilai-nilai Kebudayaan Islam


Bentuk kebudayaan yang sangat penting dan perlu memperoleh perhatian
besar dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan masyarakat akademisi,
masyarakat intelektual, yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran intelektual
muslim adalah :
1. Berorientasi pada Pengabdian dan Kebenaran Ilahi
Tujuan penciptaan manusia berdasarkan firman Allah dalam QS. 51 (Adz-
Dzariyat): 56 hanyalah untuk beribadah, mengabdi kepada Allah. Karena itu
seluruh aktivitas manusia dalam kehidupan ini harus berorientasi pada
pengabdian kepada Allah. Untuk menciptakan nilai pengabdian tersebut,
manusia harus bertitik tolak pada kebenaran yang ditunjukkan oleh Allah. Dalam
QS. 2 (al-Baqarah) : 147 Allah berfirman :

Artinya : Kebenaran adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu
termasuk orang-orang yang ragu).

2. Berpikir Kritis dan Inovatif


Berpikir kritis adalah berpikir secara obyektif dan analitis, sedangkan berpikir
inovatif adalah berpikir ke depan untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru.
Berpikir kritis dan inovatif inilah yang telah menghantarkan kemajuan intelektual
Islam pada masa keemasannya, golden age, dalam berbagai disiplin ilmu.

3. Bekerja Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar dalam bentuk
akal-budi, dan seluruh aktivitas kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah
tersebut harus difungsikan secara optimal. Karena itu dalam QS. 28 (al-
Qashash) : 77 Allah memerintahkan manusia berusaha meraih kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat, dan Allah melarang berputus asa akan rahmat yang
telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu adalah sifat orang kafir,
sebagaimana firman Allah dalam QS. 12 (Yusuf) : 87 yang berbunyi :


Artinya : dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir)

4. Bersikap Terbuka
Sikap terbuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran yang datang dari
orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Karena itu Rasulullah SAW
memerintahkan untuk memperhatikan substansi perkataan orang dan bukan
siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan
sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran, dan kemajuan yang dicapai orang
lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah.
5. Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan, baik dalam bentuk
pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain, maupun dalam bentuk
pengakuan akan keberadaan diri pribadi. Kejujuran akan membimbing manusia
dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara
obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang
merugikan. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan, kebohongan (sikap
tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.

6. Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap
yang proporsional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan yang
berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada
umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam
berbagai aspek kehidupan. Karena itu dalam QS. 16 (al-Nahl) : 90


Artinya : Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.

7. Tanggung Jawab
Tanggung jawab berarti kesediaan menanggung segala resiko atau konsekuensi
dari setiap perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi
baik atau buruk. Hal itu bergantung pada substansi perbuatannya. Oleh karena
itu dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 286 :

Artinya : Allah mengingatkan, bahwa setiap manusia akan mendapat pahala
sebagai balasan (dari kebajikan) yang dilakukannya, dan mendapat siksa sebagai
balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.

8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari
nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud pengabdian dalam ketaatan
kepada Allah. Oleh karena itu ikhlas dalam niat selalu dikaitkan dengan
pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS. 98 (al-Bayyinah) : 5 :
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.

8.4. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam


Dari segi bahasa, masjid berarti tempat sujud, menyembah, menghambakan
diri, beribadah kepada Allah. Sujud merupakan wujud ketundukan dan ketaatan
manusia secara total, secara lahir dalam bentuk mencium bumi, yang
menggambarkan pengakuan rendahnya kedudukan manusia di hadapan Allah Yang
Maha Tinggi, dan secara batin, wujud keikhlasan manusia untuk mentaati kehendak
Allah. Bagi umat Islam, sujud merupakan salah satu rukun dan menjadi ciri khas
kegiatan shalat. Oleh karena itu salah satu kegiatan yang pasti ada dan dilakukan
oleh umat Islam secara rutin di mesjid adalah shalat. Dalam kehidupan
bermasyarakat, masjid menjadi ciri kehidupan masyarakat Islam. Di mana terdapat
masjid, maka di situ terdapat umat Islam. Akan tetapi dalam pengertiannya yang
luas, yang menggambarkan ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah, masjid
menjadi tempat pembentukan kepribadian muslim dan pengembangan kehidupan
berdasarkan aturan-aturan Allah.
Dalam sejarah Islam, setelah Rasulullah Muhammad SAW hijrah dari Mekah ke
Madinah, beliau memiliki kekuasaan di berbagai aspek kehidupan, di samping aspek
agama. Tempat pertama yang beliau bangun sebagai pusat kegiatan melakukan
tugas-tugasnya sebagai pemimpin adalah mesjid. Di masjid beliau memimpin shalat
dan di masjid pula beliau membangun kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum,
pertahanan, dan keamanan. Di masjid Rasulullah SAW mengajar, menerima tamu
negara, menyelesaikan permasalahan umat, menyusun program kehidupan umat,
dan memberikan komando. Fungsi mesjid sebagai tempat beribadah ritual dan sosial
yang terjadi pada masa Rasulullah SAW berlangsung berabad-abad setelah beliau
wafat.
Saat ini, fungsi mesjid pada umumnya hanya sebagai tempat shalat dan
pengajian atau majelis taklim. Bahkan banyak majelis taklim yang sudah berkembang
di luar dan terpisah dari mesjid. Oleh karena itu khususnya di kalangan masyarakat
kampus dan masyarakat perkotaan yang terpelajar timbul kesadaran dan usaha
untuk mengembalikan fungsi mesjid sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Di dalam kompleks mesjid mulai dikembangkan usaha perdagangan, lembaga
ekonomi syariah, seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT), BAZIS, dan kegiatan lainnya.
Di berbagai mesjid juga sudah terdapat program strategis yang menyentuh
kebutuhan riil masyarakat, seperti pembinaan remaja mesjid, pengentasan
kemiskinan melalui pengembangan industri kecil berdasarkan syariah Islam,
bimbingan belajar bagi para santri untuk meningkatkan kemampuan pada pelajaran
umum, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Memang perkembangan bidang-bidang
kehidupan menuntut adanya berbagai pusat kegiatan. Mesjid saat ini tidak
memungkinkan lagi menampung semua kebutuhan akan pusat-pusat kegiatan
tersebut. Implementasi fungsi mesjid sebagaimana terjadi pada masa Rasulullah
SAW saat ini adalah perannya yang menjadikan ajaran Islam sebagai dasar yang
menentukan kebijakan dalam membangun umat dalam berbagai sektor kehidupan.
Sarana fisik dan kelembagaan mungkin saja berkembang di luar mesjid, tetapi
substansi arah dan kebijakan tidak boleh terpisah dan bertentangan dengan mesjid.
IX. Politik Islam dan Demokrasi

Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian sistem politik islam
2. Bersikap komprehensif dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan
3. Menjelaskan garis-garis besar bahasan sistem politik Islam.
4. Membuktikan kontribusi umat Islam dalam kehidupan politik Islam

Daftar Istilah Penting


Politik : Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya)
mengenai pemerintahan suatu negara, kebijakan suatu negara terhadap
negara lain, dan dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu
negara dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Siasah Dusturiyyah : Hukum Tata Negara dalam Islam.
Siasah Dauliyyah : Hukum Politik yang mengatur hubungan antara satu
negara dengan negara yang lain.
Siasah Maliyyah : Hukum Politik yang mengatur sistem ekonomi negara.

9.1. Pengertian Politik Islam


Dalam term keislaman politik identik dengan siasah. Secara etimologis siasah
artinya mengatur, aturan, dan keteraturan. Fiqih Siasah adalah hukum Islam yang
mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan
dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat juga berarti
kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah.
Garis-garis besar siasah Islam meliputi tiga aspek :
1. Siasah Dusturiyyah (Tata Negara dalam Islam).
2. Siasah Dauliyyah (Hukum politik yang mengatur hubungan antara satu negara
dengan negara yang lain.
3. Siasah Maliyyah (Hukum politik yang mengatur sistem ekonomi negara).
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi menurut siasah Islam ada pada Allah.
Kedaulatan yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan aliran-aliran yang
berbeda-beda di masyarakat dalam konsep Islam berada di tangan Tuhan.
Gambaran kekuasaan dan kehendak Tuhan tertuang dalam al-Quran dan sunnah
Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki kekuasaan mutlak, ia hanyalah
wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang berfungsi untuk membumikan sifat-sifat
Allah dalam kehidupan nyata. Kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan
kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Pemegang amanah haruslah
menggunakan kekuasaannya itu dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar yang ditetapkan al-Quran.

9.2. Prinsip-prinsip Dasar Politik dalam Islam


Prinsip-prinsip dasar siasah dalam Islam meliputi antara lain :
1. al-Musyawarah
a. Pembahasan bersama
b. Tujuan bersama yakni untuk mencapai suatu keputusan
c. Keputusan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi
bersama
2. al- Adalah (keadilan)
3. al-Musawah (persamaan)
4. al-Hurriyyah (kemerdekaan)
5. perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat. (A Djazuli, 2000: 15).

9.3. Demokrasi dalam Islam


Kedaulatan mutlak dan Keesaan Tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid
dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan
kerangka yang dengannya para cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori
politik tertentu yang dapat dianggap demokratis. Di dalamnya tercakup definisi
khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat
manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintah. Penjelasan
mengenai demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak memberikan
perhatian pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi
Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah
lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma), dan penilaian
interpretatif yang mandiri (ijtihad). Seperti banyak konsep dalam tradisi Barat,
istilah-istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai
banyak konteks dalam wacana muslim dewasa ini. Namun, lepas dari konteks dan
pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut
demokratisasi di kalangan masyarakat muslim (John L. Esposito & John 0. Voll,
1999 : 33). Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan
manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam Al-Quran
surat 42 Asy-Syuura : 28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam
kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan
cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan
dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu,
perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin
musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan
mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam
menangani masalah negara (John L. Esposito, 1991 : 149).
Di samping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah
demokrasi, yakni konsensus atau ijma. Konsensus memainkan peranan yang
menentukan dalam perkembangan hukum Islam dan memberikan sumbangan
sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Namun hampir sepanjang
sejarah Islam konsensus sebagai salah satu sumber hukum Islam cenderung dibatasi
pada konsensus para cendekiawan, sedangkan konsensus rakyat kebanyakan
mempunyai makna yang kurang begitu penting dalam kehidupan umat Islam.
Namun dalam pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung
dalam konsep konsensus akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk
mengembangkan hukum Islam dan menyesuaikannya dengan kondisi yang terus
berubah (Hamidullah, 1970 : 130). Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan
musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam
modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang
mengakui suara mayoritas (John L. Espositi & John O. Voll, 1999:34).
Selain syura dan ijma, ada konsep yang sangat penting dalam proses
demokrasi Islam, yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan
langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan di suatu tempat atau waktu.
Musyawarah, konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting
bagi artikulasi demokrasi Islam dalam kerangka Keesaan Tuhan dan kewajiban-
kewajiban manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak
diperdebatkan maknanya, namun lepas dari ramainya perdebatan maknanya di
dunia Islam, istilah-istilah ini memberi landasan yang efektif untuk memahami
hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia kontemporer (John L. Esposito &
John O. Voll, 1999 : 36).
9.4. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam (Siasah Dauliyyah)
Prinsip-prinsip hukum internasional dalam Islam adalah sebagai berikut :
1. Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat.
2. Menjaga kehormatan dan integrasi nasional masing-masing negara
3. Keadilan universal
4. Menjaga perdamaian abadi
5. Menjaga kenetralan negara-negara lain, serta larangan terhadap eksploitasi dan
imperialisme.
6. Memberikan perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup
di negara lain.
7. Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral
8. Menjaga kehormatan dalam hubungan internasional
9. Persamaan keadilan untuk para penyerang.
9.5. Kontribusi Umat Islam terhadap Kehidupan Politik di Indonesia
Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik
telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta
partai nasionalis berbasis umat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro aktifnya
tokoh-tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), sejak proses awal kemerdekaan, mempertahankan
kemerdekaan, mengisi kemerdekaan hingga sekarang era reformasi.
Berkaitan dengan keutuhan negara, misalnya Muhammad Natsir pernah
menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan Pancasila dengan Islam.
Dalam pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran Al-Quran, karena nilai-nilai yang terdapat dalam
Pancasila juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Quran.
Demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan
tujuh kata dari sila kesatu dari Pancasila, yaitu kata-kata kewajiban melaksanakan
syariat Islam bagi para pemeluknya.
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan : Pertama, nilai-nilainya dibenarkan
oleh ajaran Islam; Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar
berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. (Kuntowijoyo,
1997: 80)
DAFTAR PUSTAKA

Adams, Wahiduddin, dkk., Peradilan Agama di Indonesia, Sejarah Perkembangan


Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-undangnya, Jakarta : Direktorat
Badan Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999.
Ahmad, Khurshid, Islam : Its Meaning and Massage, London : Islamic Council of Europe,
1978.
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan,
Jakarta : UI Press, 1995.
Alba, Cecep, dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Bandung : Tiga
Mutiara, 1996.
Al-Faruqi, Ismail R., Tawhid : Its Implication For Thought and Life (Washington D.C.,The
International Institute of Islamic Thought, 1982).
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi (Dinul Islam), penerjemah R. Kaelan dan HM
Bachrun, Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 1996.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI - Press, 1988.
_____, dan Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1985.
_____, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1996.
_____, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1998.
Al-Jashshas, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi, Ahkam Al-Quran, Jilid III, Beirut: Dar al-
Kitab al-Arabi, t.t.
Al-Jaziri, Abu Bakar, Minhaj al-Muslimin, Dar el Fikr, tt.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, Kairo: al-Istiqamah, t.t.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir: Al-Bab al-Halabi, 1973.
Al- Qardlawi, Yusuf, Fiqh al-Zakat, jilid I, Beirut: Dar al-Irsyad, 1969.
______, Anatomi Masyarakat Islam, cetakan ke satu, penerjemah Setiawan Budi Utomo,
Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 1999.
Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung : Pustaka, 1997.
Amin, Ahmad, Akhlak, penerjemah Bachtiar Afandi, Jakarta : Jembatan, 1957
Amin, Hasan Abdullah, Idarah wa Tastmir Mumtalakat al-Anqaf, Jeddah : Al-Mahad al-
Islamy li al-Buhus wa al-Tadrib al-Bank al-Islamy li Tanmiyah, 1998.
Amrullah Ahmad, A.E. Priyono dan Bintang Sucipto (Eds.), Islamisasi Ekonomi,
Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Azhary, Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dili hat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya puda Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
______, dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Jakarta : Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Azra, Azumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Bandung : Mizan, 1995.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Bandung : Al-
Maarif, 1987.
Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani, Edisi 1, Cetakan kedua, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1999.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, Hasil
seminar, 30 Juni dan 7 Juli 1975, Jakarta : BAZIS DKI, 1987.
Daim, Abdullah Abdul, Tarbiyah Abd Tarikh Min Ushuri Qadimah Hatta Qarnu Isyrin,
Beirut: Dar al-Ilmi lil Muallim, 1984.
Djazuli, Acep, Fiqih Siyasah, Bandung : Sunan Gunung Djati Pers, 1990.
Gazalba, Sidi, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna,
1994.
Ghazali, Ihya Ulumuddin, penerjemah Ismail Yaqub, Jakarta : CV Faizan, 1988.
Gulen, M. Fetullah, Memadukan Akal dan Kalbu dalam Beriman, penerjemah oleh Tri
Wibowo Santoso, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
______, Menghidupkan Iman dengan Mempelajari Tanda-tandanya, penerjemah Sugeng
Heriyanto, Fathor Rasyid dan Susi Rohwani, Jakarta : Raja Grafindo. Persada,
2002.
Ibnu Miskawaih, Abu Ali Ahmad, Menuju Kesempurnaan Akhlak, penerjemah Heri
Hidayat, Bandung : Mizan, 1994.
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas, penerjemah Abdul Hayis al-Kattanie, Jakarta :
Gema Insani, 1999.
John J. Donohue dan John L. Esposito (Eds.) Islam dan Pembaharuan, penerjemah
Mahnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984.
John L. Esposito, Islam dan Politik, Penerjemah Joesoef Souyb, Jakarta : Bulan Bintang,
1990.
Jumhuriyyah Misr al-Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat al-Tanfiziyyah,
Kairo: Al-Haiah al-'Ammah li Syuun al-Matabi al-Amiriyyah, 1993.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Mesir : Mathbaah al-Misr, 1951.
Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Bandung : Pustaka, 1983.
Kubaisyi, Muhammad Ubaid Abdullah, Ahkam al-Waqfji Syariat al-Islamiyah, Baghdad :
Maktabah al-Irsyad, 1977.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan, 1997.
Lopa, Baharuddin, Al-Quran dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta : PT Dana Bakti
PrimaYasa, 1999.
Madjid, Nurchalis, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina, 1999.
______, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Paramadina, 2002.
Manna, M. A., Cash-Waqf Certificate Global Opportunities for Developing The Social
Capital Market in 21-Century Voluntary Sector Banking, di dalam Harvard
Islamic Finance Information Program-Centre for Middle Eastern Studies,
Proceedings of The Third Hanard University Forum on Islamic Finance,
Cambridge: Harvard University, 1999.
Muhammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta : UI Press, 1993.
Muslim Nurdin, dkk., Moral dan Kognisi Islam, Bandung : Alfabeta, 1995.
Mutahhari, Murtadha, Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama, Bandung :
Mizan, 1984.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung : Mizan, 1995.
_______, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1978.
_______, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan
Bintang, 1975.
Nasution, Yunan, Dinamika Hidup, Jakarta : Bulan Bintang, 1966.
BUKU AJAR
MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Editor :

La Sensu, S.Ag., M.H.

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014
BUKU AJAR
MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TEAM REVISI
1. Drs. H. Arsidiq Asuru, M.Ag
2. Jahada, S.Ag. M.Pd. I
3. La Sensu, S.Ag, MH

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2014
KATA PENGANTAR

REKTOR UNIVERSITAS HALU OLEO (UHO) KENDARI

Assalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Hidayah dan Rahmat-Nya kepada


mahasiswa secara khusus dan masyarakat secara umum agar senantiasa mensyukuri
akan ilmu, iman dan amal pada dirinya. Semoga dengan adanya Buku Bahan Ajar
Pendidikan Agama Islam yang saat ini ada di hadapan anda akan menambah wawasan
Ajaran Islam dalam dunia pendidikan tinggi.
Buku Bahan ajar ini merupakan bagian dari upaya untuk memperoleh ilmu Ajaran
Islam bagi mahasiswa melalui pendekatan nilai-nilai moral dan mengenal adanya
keinginan, rasa, dan motivasi terhadap peningkatan sumber daya manusia untuk
meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Karena dengan adanya ilmu, iman dan
amal, maka suatu ilmu yang bersumber dari nilai-nilai suatu ajaran keyakinan tiap-tiap
umat manusia dapat meningkatkan motivasi belajar bagi mahasiswa.
Ajaran Islam merupakan inti dari suatu upaya kesadaran tiap-tiap manusia yang
beragama Islam, karena ajaran Islam dapat dipergunakan bagi siapa saja, yang pada
prinsipnya mengarah pada pemahaman akan potensi diri manusia itu sendiri. Potensi diri
manusia dalam pengenalan ilmu merupakan sebuah anugrah dari Allah SWT dan
Rasulullah SAW. dan merupakan upaya manusia dalam memahami akan pentingnya
sebuah catatan ilmu dunia dan akhirat dalam mengarungi dunia pendidikan tinggi.
Buku Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam di hadapan anda ini dapat
dipergunakan di lingkungan Universitas Haluoleo (Unhalu Kendari) dan semoga dapat
bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat secara umum.

Billahi Taufiq wal Hidayah


Wassalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Kendari, 7 Juli 2014

R e k t o r,

Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, MS


NIP. 19620204 198703 1 004
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAGIAN I : KETENTUAN UMUM MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM........................................................................ 1
I. Dasar Penyusunan Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 1
II. Tujuan Penyusunan Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 1
III. Visi dan Misi Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 1
IV. Kompetensi Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 1
V. Materi Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 2
VI. Struktur Substansi Kompetensi Dasar........................................................ 3
VII. Status Tiap Substansi Kajian dalam Kesatuan Acuan
Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 4
VIII. Indikator Keberhasilan Tiap Substansi Kajian dalam Kesatuan
Acuan Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 4
IX. Deskripsi Substansi Kajian Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 5
X. Pengalaman dan Strategi Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 7
XI. Metode Pembelajaran Matakuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam....................................................... 7
XII. Evaluasi Proses dan Penilaian Hasil Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 7
XIII. Manajemen Lingkungan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 8
BAGIAN II: SUBSTANSI KAJIAN MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM........................................................................ 9
I. Konsep Ketuhanan dalam Islam................................................................. 9
1.1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam........................................................ 9
II. Konsep Manusia Menurut Islam................................................................ 12
2.1. Hakikat Manusia............................................................................... 12
2.2. Martabat Manusia............................................................................. 14
2.3. Tanggung Jawab Manusia................................................................. 15
2.4. Perwalian Dalam Akad Nikah........................................................... 16
III. Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Islam............................................ 23
3.1. Konsep Hukum dan Hak Asasi Manusia........................................... 24
3.1.1. Hukum Islam : Pengertian, Ruang Lingkup, dan
Tujuannya............................................................................. 24
3.1.2. Hak Asasi Manusia Menurut Islam....................................... 25
3.2. Sumber Hukum Islam....................................................................... 26
3.3. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat................... 27
3.4. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum.............................................................................................. 27
BAGIAN III HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHAIF........................................... 30
IV. Etika, Moral, dan Akhlak........................................................................... 39
4.1. Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak................................................ 40
4.2. Karakteristik Etika Islam (Akhlak)................................................... 40
4.3. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak.................................................. 41
4.4. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan............................................... 41
V. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni dalam Islam................................ 41
5.1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Iptek)................... 42
5.2. Iman, Ilmu, dan Amal sebagai Satu Kesatuan................................... 44
5.3. Keutamaan Orang Beriman dan Berilmu.......................................... 44
5.4. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan............. 45

BAGIAN IV MAZHAB DALAM PARADIGMA ISLAM....................................................... 46


VI. Kerukunan Antar Umat Beragama............................................................. 65
6.1. Agama Islam Merupakan Rahmat Allah........................................... 66
6.2. Konsep Ukhuwah dalam Islam......................................................... 66
6.3. Kebersamaan Umat Beragama dalam Kehidupan Sosial.................. 67
VII. Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat............................................ 69
7.1. Konsep Masyarakat Madani............................................................. 69
7.2. Karakteristik Masyarakat Madani..................................................... 70
7.3. Peranan Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani.............................................................................................. 70
7.4. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat.............................. 70
7.5. Etos Kerja Islami.............................................................................. 71
7.6. Filantropi Islam : Zakat dan Wakaf................................................... 72
7.6.1. Zakat..................................................................................... 72
7.6.2. Wakaf.................................................................................... 74
VIII. Kebudayaan Islam...................................................................................... 76
8.1. Konsep Kebudayaan dalam Islam..................................................... 76
8.2. Perkembangan Kebudayaan Islam.................................................... 77
8.3. Nilai-nilai Kebudayaan Islam........................................................... 78
8.4. Masjid sebagai Pusat Kebudayaan Islam.......................................... 79
IX. Politik Islam dan Demokrasi...................................................................... 81
9.1. Pengertian Politik Islam.................................................................... 81
9.2. Prinsip-prinsip Dasar Politik dalam Islam........................................ 81
9.3. Demokrasi dalam Islam.................................................................... 82
9.4. Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam
(Siasah Dauliyyah)........................................................................... 83
9.5. Kontribusi Umat Islam terhadap Kehidupan Politik di
Indonesia........................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 43 dan 44/Dikti/Kep/2006
2. Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/DIKTI/Kep/2006
3. Nama-Nama Dosen Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam Universitas
Haluoleo Kendari
NAMA-NAMA DOSEN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI

CONTACT
NO N A M A FAKULTAS
PERSON
1. Drs. H. Arsidiq Asuru, M.Ag FKIP 0813 4190 1829
2. Drs. H. La Ode Muharam, M.Pd FKIP 0813 4260 2177
0813 4191 5656
3. Dra. Hj. Sakka Hasan, M.Pd FKIP
0811 401 667
4. Jahada Sahabudin, S.Ag, M.Pd.I FKIP 0852 4191 0255
5. La Sensu, S.Ag, MH Fak. Ekonomi 0852 4183 1968
6. Muhammad Nazar, S.Ag, M.HI Fak. Teknik 0813 4156 7807
7. Drs. H. Bambang Sugianto, M.Pd.I FKIP 0819 4326 8186
8. Pendais Haq, S.Ag, M.Pd FKIP 0852 5580 2158
9. Arman Alimuddin, S.Ag, M.Si Fak. Ekonomi 0813 2266 6695
10. Muamal Khadafi, S.Ag, M.Pd Fak. MIPA 0813 4166 6413
11. Idaman, S.Ag, MA Fak. Hukum 0852 4240 5401
12. Drs. Sukring, M.Pd.I Fak. Hukum 0819 4324 3583
13. Muhammad Masrul, S.Ag, M.Si Fak. Fisip 0813 4156 5166
14. Dra. Nurjannah Fak. Fisip
15. H. Asfar Dahlan, Lc, MA Unhalu 081382848922
16. Mulawarman Side, S.Ag, S.Kom Unhalu 081355121479

Anda mungkin juga menyukai