SUBSTANSI KAJIAN
MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Berpikir dan bersikap sesuai dengan aliran teologis yang dapat menunjang
perkembangan IPTEK dan peningkatan etos kerja.
2. Membuktikan adanya Tuhan melalui kajian ilmiah, sehingga dapat
memantapkan iman.
3. Bersikap dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan
iman.
4. Bersifat dengan benar sesuai dengan prinsip dalam proses pembentukan
iman.
5. Mengimplementasikan iman dengan ibadah dan amal saleh dalam
kehidupan sehari-hari.
6. Menerangkan peranan iman dan takwa, sehingga meyakini benar
perlunya beriman dan bertakwa.
Artinya : bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan perbedaan pandangan Al-Quran dengan pendapat ulama
Islam tentang konsep manusia.
2. Melakukan ibadah dengan benar, karena memahami tujuan penciptaan
manusia adalah beribadah.
3. Berpikir dan bersifat sesuai dengan fungsi dan peran manusia menurut
Al-Quran.
4. Berperilaku sesuai dengan tanggung jawab dirinya sebagai hamba dan
khalifah Allah.
Artinya : Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku : Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
dalam beribadat kepada Tuhannya.
(Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu). Konsep basyar
selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis manusia, seperti asalnya dari tanah liat
atau lempung kering seperti pada surah al-Hijr: 33; yaitu :
Artinya : Berkata Iblis : Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang
Engkau Telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk
Begitu pula pada surah al-Ruum : 20
Artinya : Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir diantara kaumnya dan yang
mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang Telah kami mewahkan
mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) Ini tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu
minum.
Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 65 kali, di antaranya (al-Alaq : 5),
yaitu :
Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia
sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah (al-Ahzah : 72).
Insan adalah makhluk yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju ke arah
kesempurnaan. Kata an-Nas disebut sebanyak 240 kali, seperti dalam surah az-
Zummar:27 :
artinya : Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al-Quran ini
setiap macam perumpamaan.
Konsep an-Nas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau
secara kolektif. Dengan demikian Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk
biologis, psikologis, dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada takdir Allah,
sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan an-Nas bertalian dengan
hembusan Ilahi atau ruh Allah, memiliki kebebasan dalam memilih untuk tunduk
atau menantang takdir Allah.
Menurut pandangan Murtadha Mutahhari manusia adalah makhluk serba
dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia hampir sama dengan hewan,
membutuhkan makan, minum, istirahat, dan menikah, supaya ia dapat hidup,
tumbuh, dan berkembang. Dimensi kedua, manusia memiliki sejumlah emosi yang
bersifat etis, yaitu ingin memperoleh keuntungan dan menghindari kerugian.
Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian terhadap keindahan. Dimensi
keempat, manusia memiliki dorongan untuk menyembah Tuhan. Dimensi kelima,
manusia memiliki kemampuan dan kekuatan yang berlipat ganda, karena ia
dikaruniai akal, pikiran, dan kehendak bebas, sehingga ia mampu menahan hawa
nafsu dan dapat menciptakan keseimbangan dalam hidupnya. Dimensi keenam,
manusia mampu mengenal dirinya sendiri. Jika ia sudah mengenal dirinya, ia akan
mencari dan ingin mengetahui siapa penciptanya, mengapa ia diciptakan, dari apa ia
diciptakan, bagaimana proses penciptaannya, dan untuk apa ia diciptakan.
(Murtadha Mutahhari, 1984, 125-135).
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara yang dipilih Allah SWT. sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya.
Nikah menurut bahasa seperti yang dinyatakan dalam kitab Fathul Mu`in yaitu
( )yakni menjadi satu yakni berkumpul. Menurut Syara` yaitu akad yang
mengandung pembolehan (hal yang membolehkan) watha` (setubuh/jima) dengan
lafaz nikah atau kawin.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasanngan siap melakukan
peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Allah
SWT, berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 1 yang artinya : Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya. Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan Mengawasi kamu.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anargik
atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat
manusia, maka Allah SWT. mengadakan hukum sesuai dengan martabat tersebut.
B. Hukum Nikah
Nikah itu sunat hukumnya bagi orang yang menginginkannya dengan syarat
mempunyai kemampuan untuk belanja nikah seperti mahar, pakaian dan nafkah. Dan
makruh hukumnya bagi orang yang tidak menginginkan nikah jika ia tidak mampu
(punya belanja nikah) atau mampu tetapi memiliki penyakit impoten atau terlalu tua,
dan jika orang yang tidak menginginkan nikah tadi mempunyai kemampuan nafkah
dan tidak memiliki penyakit tersebut, jika ia sibuk mengerjakan ibadah maka lebih
afdhal tidak menikah, namun jika ia tidak sibuk dengan mengerjakan ibadah maka
menikah lebih afdhal.
Dan wajib jika karena nadzar, jika keadaanya mencukupi syarat mendapatkan
hukum sunat nikah seperti yang tersebut di atas.
C. Perwalian dalam Pernikahan
1. Pendapat tentang Wali sebagai Syarat Sah Pernikahan
a. Jumhur Ulama
Salah satu rukun nikah adalah wali. Karena wali termasuk rukun, maka
nikah tidak sah tanpa ada wali. Demikian pendapat Jumhur Ulama. Hal ini
berarti ada juga pendapat yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada
wali. Dasar yang dipergunakan oleh Jumhur Ulama yang berpendapat bahwa
perkawinan tidak sah tanpa adanya wali yaitu firman Allah dalam Surah al-
Baqarah ayat 232:
Artinya : .maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya
Apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, maka setelah habis
iddah-nya, si wanita itu boleh lagi kawin dengan bekas suaminya (ada
ketentuannya sesudah talak tiga/talak baa`in), atau laki-laki lain. Para wali
tidak boleh menghalangi atau melarang bila ada kesepakatan antara kedua
calon mempelai.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa kedudukan dan keberadaan wali itu
memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan. Selain Ayat
tersebut, juga terdapat Hadits yang menyatakan perkawinan tidak dipandang
sah kecuali dengan adanya wali, yaitu yang artinya : Tidak sah nikah, kecuali
dengan wali. (HR. Lima orang Ahli Hadits).
Juga Hadits Siti Aisyah r.a, Nabi SAW. yang artinya : Wanita manapun
yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal. (HR. Empat
orang Ahli Hadits kecuali Nasai).
Sabda Nabi SAW. lagi yang artinya : Seorang wanita tidak boleh
menikahkan wanita lain, dan seorang wanita tidak boleh menikahkan
dirinya. (HR. Ibnu Majah dan Dara Quthny)
Dari Hadits di atas hendaknya dipahami, bahwa seorang wanita boleh
mengawinkan dirinya bila telah mendapat izin dari walinya, karena si wanita
tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Apabila telah mendapatkan izin dari wali, namun oleh beberapa
sebab, (tempat tinggal jauh, dalam tahanan dan sebagainya), wali itu tidak
dapat secara langsung menikahkannya, maka hakimlah yang menjadi walinya.
Demikian juga si wanita tidak boleh mewakilkan kepada seseorang untuk
menikahkan dirinya, karena dia tidak mempunyai wewenang untuk itu.
Menurut Al-Hakim, Hadits istri Rasulullah seperti Aisyah, Ummu
Salamah, Zainab mencapai tiga puluh Hadits mengemukakan tentang wali
dalam pengertian yang sama, walaupun redaksinya berbeda.
Oleh Ibnu Mundzir ditegaskan lagi, bahwa dia tidak melihat salah
seorang sahabat pun menyalahinya. Diantara sahabat yang berpegang kepada
Hadits (tidak sah nikah tanpa wali), adalah Umar bin Khatab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas`ud dan
Aisyah.
Dari kalangan Tabi`in, yaitu di antaranya; Sa`iid bin Musayyah, Hasan
Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha`i, Umar bin Abd. Aziz. Selain ulama-ulama
tersebut, kita lihat pula; Sofyan As-Tsaury, Auzaai`y, Abdullah ibn Mubarak,
Syafi`i, Ibnu Syubramah, Ahmad, Ishak, Ibnu Hazm, Ibnu Abi Laila, At-Thavary
dan Abu Tsaur, yang sejalan dengan pendapat mereka dengan para sahabat
yang telah disebutkan di atas.
b. Hanafiyah
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy Sya`bi dan Az-Zuhri berpendapat bahwa
apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon
suaminya sebanding (kufu`), maka pernikahannya boleh.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf malahan mengatakan bahwa wanita yang
baligh lagi berakal boleh menikahkan dirinya dan anak perempuannya yang
masih belum dewasa (kecil) dan dapat pula sebagai wakil dari orang lain.
Tetapi sekiranya wanita itu ingin kawin dengan seorang laki-laki yang tidak
kufu, maka wali dapat menghalanginya.
Para wali juga dapat menghalangi pernikahan, bila maharnya lebih
kecil (rendah) dari mahar yang biasanya berlaku (dipandang tidak wajar).
Sekiranya wanita itu tidak mempunyai wali (dalam kedudukannya sebagai ahli
waris) dan yang ada hanya wali hakim saja umpamanya, maka wali itu tidak
ada hak untuk menghalangi wanita itu menikah dengan laki-laki yang tidak
kufu dan maharnya lebih kecil (rendah) sekalipun, karena wewenang berada
di tangan wanita itu sepenuhnya. Kendatipun tidak kufu dan maharnya kecil,
tidak ada yang menanggung malu dari keluarganya (walinya).
Sebagai landasan yang dikemukakan oleh golongan Hanafiyah adalah
firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 230, yaitu :
Artinya : Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga dia kawin dengan suaminya
yang lain.
Menurut golongan ini, ayat pertama dan kedua ditujukan (khitab) kepada
suami, buka kepada wali (pendapat jumhur). Sedangkan ayat ketiga jelas,
bahwa wewenang itu berada pada diri wanita itu. Para wali tidak
dipersalahkan (berdosa). Bila si wanita itu bertindak atas namanya sendiri. Di
samping firman Allah di atas, mereka berpegang kepada Hadits Rasulullah :
Janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis itu
diminyai izinnya, dan diamnya menunjukkan izinnya (HR. Jamaah kecuali
Bukhari)
Menurut riwayat Ahmad, Muslim, Abu daud dan Nasai : Perawan itu
dimintai pertimbangannya oleh bapaknya (sebelum akad).
Rasulullah bersabda: Janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai
pertimbangannya (diajak musyawarah) dan perawan (tidak boleh dinikahkan)
sebelum diminta izinnya. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, bagaimana
(diketahui) izinnya? Jawabnya: Dia diam . (HR. Muttafaq Alaih)
Hadits Rasulullah: Dari Khansa` binti Khidam, bahwa ia dikawinkan oleh
ayahnya setelah ia janda, maka ia datang kepada Rasulullah (mengadukan
permasalahannya), maka beliau menolak (membatalkan) perkawinannya itu.
(HR. Jamaah kecuali Muslim).
Menurut golongan Hanafiyah, keberadaann wali dalam suatu perkawinan
hukumnya sunat.
Setelah melihat kedua pendapat yang berbeda, maka Abu Tsaur (salah
seorang fakih golongan Syafi`iyah) mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu
perkawinan dilangsungkan sesudah disetujui bersama oleh wanita dan
walinya.
1. Syarat Wali
Wali adalah org yang bertanggungjawab atas sah atau tidaknya akad
nikah. Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah harus; Islam,
dewasa, dan laki-laki. Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba
sahaya, orang fasik, dan orang bodoh.
Mengenai kecerdikan menurut mazhab Maliki tidak termasuk syarat
dalam perwalian. Akan tetapi Imam Syafi` mensyaratkan kecerdikan dalam
perwalian. Sama halnya dengan pendapat Asyhab dan Abu Musy`ab. Perbedaan
pendapat ini disebabkan adanya kemiripan kekuasaan dalam menikahkan dengan
kekuasaan dalam urusan harta benda. Dengan demikian, dapat dikemukakan
bahwa orang yang bodoh, tidak sah menjadi wali.
Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua bagian, yaitu bahwa
kecerdikan dalam urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon
suami yang patut untuk wanita.
Dalam masalah keadilan, ulama juga berbeda pendapat dalam kaitannya
dengan kekuasaan untuk menjadi wali, apabila tidak terdapat keadilan, maka
tidak dapat dijamin bahwa wali tidak akan memilih calon suami yang seimbang
bagi wanita yang berada di bawah perwaliannya. Sedangkan tentang hamba
sahaya, karena tidak sempurnanya, maka terdapat perselisihan tentang
perwaliannya sebagaimana diperselisihkan tentang keadilannya.
2. Macam-macam Wali
Adapun dari beberapa referensi disebutkan, wali nikah ada empat macam,
yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim, dan wali maula.
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab,
terdapat perbedaan pendapat.
Imam Syafi` memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa
anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`,
suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat
lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib.
Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak
sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik
dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah. Imam Malik berpendapat
keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau
mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah
sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara
laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki
seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja,
lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara
laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian
paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki
sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai
berikut :
1) Ayah,
2) Ayanya Ayah (kakek) terus ke atas,
3) Saudara laki-laki sekandung,
4) Saudara laki-laki seayah,
5) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
6) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7) Anak laki-laki dari no. 5,
8) Anak laki-laki dari no. 6,
9) Anak laki-laki dari no. 7,
10) Anak laki-laki dari no. 8 dan seterusnya,
11) Saudara laki-laki ayah sekandung,
12) Saudara laki-laki ayah seayah saja,
13) Anak laki-laki dari no. 11,
14) Anak laki-laki dari no. 12,
15) Anak laki-laki dari no 13 dan seterusnya.
Singkatnya urutan wali adalah:
1) Ayah seterusnya ke atas,
2) Saudara laki-laki ke bawah,
3) Saudara laki-laki seayah ke bawah.
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali
ab`ad (jauh). Dalam urutan di atas yang termasuk wali aqrabadalah wali
nomor urut 1, sedangkan nomor 2 menjadi wali ab`ad. Jika nomor 1 tidak
ada, maka nomor 2 menjadi wali aqrab, dan nomor 3 menjadi wali ab`ad, dan
demikian seterusnya.
Adapun perpindahan dari wali aqrab menjadi wali ab`ad adalah
sebagai berikut :
1) Apabila wali aqrabnya non-muslim,
2) Apabila wali aqrabnya fasik,
3) Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
4) Apabila wali aqrabnya gila,
5) Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.
b. Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Sabda Rasulullah
SAW yang artinya :Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi
seseorang yang tidak ada walinya. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majjah, dan
Nasa`i).
Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala
pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi
wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat
diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang
`alim. Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Tidak ada wali nasab.
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua
hari perjalanan.
4) Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5) Wali aqrabnya adol.
6) Wali aqrabnya mempersulit.
7) Wali aqrab sedang ihram.
8) Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9) Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir
tidak ada.
c. Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon
istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah calon suami
mengucapkan tahkim, Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya
pada si (calon istri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya
terima dengan senang. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang
sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, Saya terima tahkim ini..
Wali tahkim terjadi apabila :
1) Wali nasab tidak ada,
2) Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada
wakilnya di situ,
3) Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d. Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam
perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini
yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah
kekuasaannya.
Dalam hal boleh tidaknya majikan menjadi wali sekaligus
menikahkannya dengan dirinya sendiri, ini ada beberapa pendapat. Imam
Malik berkata, Andaikata seorang janda berkata kepada walinya nikahkanlah
aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan dirinya sendiri,
atau lelaki lain yang dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sah-
lah nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya.
Pendapat senada juga disebutkan oleh Imam Hanafi, Lais, Sauri dan Auza`i.
Sedang Imam Syafi` berkata,: Yang menikahkannya haruslah hakim
atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab wali
termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya
sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli dirinya sendiri..
Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi` dan Abu Daud, ia
mengatakan bahwa kalau dalam masalah ini diqiyaskan dengan seorang
penjual tidak boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang
tidak benar. Sebab jika orang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu
membelinya sendiri, asal ia tidak melalaikan maka hukumnya diperbolehkan.
Ia beralasan dengan sebuah Hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a.:
Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan
istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya, serta
mengadakan walimahnya dengan seekor kambing, (HR. Bukhari).
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui dan memahami pengertian, ruang lingkup, dan tujuan Hukum
Islam, serta sumber hukum Islam secara baik dan benar.
2. Menjelaskan kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum di Indonesia.
3. Menjelaskan fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Memahami dan menjelaskan hak asasi manusia menurut ajaran Islam.
5. Menjelaskan perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam pandangan Islam
dan Barat.
6. Memahami dan menjelaskan demokrasi dalam Islam.
Daftar Istilah Penting
Syari'ah : Seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial,
hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.
Fiqih : Pemahaman manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad tentang
syariah.
Munakahat : Hukum yang mengatur sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya.
Wirasah : Mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta warisan, dan cara pembagian warisan.
Mu'amalat : Hukum yang mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas
benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa, pinjam-
meminjam, perserikatan dan sebagainya.
Jinayat : Hukum yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah
tazir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah
hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Jarimah tazir
adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
Al-ahkam as-sulthaniyah : Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan
dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah,
tentara, pajak, dan sebagainya.
Siyar : Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan
dengan pemeluk agama dan negara lain; mukhassamat, mengatur peradilan,
kehakiman dan hukum acara.
Maqashid syariah : Lima tujuan hukum Islam.
Prinsip di atas hasil interpretasi deduktif dari al-Quran dan al-Hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW, diutus tidak lain adalah untuk meluruskan
cara beribadah dan berakhlak masyarakat jahiliyah yang telah melenceng dari
ketentuan Allah.
Soal :
1. Jelaskan bagaimana implementasi iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari
saudara !
2. Jelaskan pengertian pernikahan, syarat wali, dan macam-macam wali !
3. Bagaimana konsep hak asasi manusia menurut islam ?
BAGIAN III
b) Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam
menafsirkan ayat tersebut :
ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita
dengan firman Allah SWT : Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka, maka dimasukanlah anak ke dalam surga berkat kebaikan yang
dibuat oleh bapaknya (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat
an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai
berikut :
Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti
mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu
dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka.
Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus
hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
c) Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : Tidak ada
seseorang itu.. Maksudnya tidak ada dari segi keadilan (min thariqil
adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi
seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran
ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zhahir
ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali
dalil-dalil baik dari al-quran maupun hadits-hadits shahih yang ditentang
oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai
dalil.
Periode Pertama
Masa Rasulullah SAW. Pada periode ini, kekuasaan pembentukan hukum
berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum Islam ketika itu adalah Al-Quran.
Apabila ayat Al-Quran tidak turun ketika ia menghadapi suatu masalah, maka ia,
dengan bimbingan Allah SWT menentukan hukum sendiri. Yang disebut terakhir ini
dinamakan sunnah Rasulullah SAW. Istilah fiqh dalam pengertian yang dikemukakan
ulama fiqh klasik maupun modern belum dikenal ketika itu. Ilmu dan fiqh pada masa
Rasulullah SAW mengandung pengertian yang sama, yaitu mengetahui dan
memahami dalil berupa Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Pengertian fiqh di zaman Rasulullah SAW adalah seluruh yang dapat dipahami
dari nash (ayat atau hadits), baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum,
maupun kebudayaan. Disamping itu, fiqh pada periode ini bersifat aktual, bukan
bersifat teori. Penentuan hukum terhadap suatu masalah baru ditentukan setelah
kasus tersebut terjadi, dan hukum yang ditentukan hanya menyangkut kasus itu.
Dengan demikian, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, pada periode Rasulullah SAW
belum muncul teori hukum seperti yang dikenal pada beberapa periode sesudahnya.
Sekalipun demikian, Rasulullah SAW telah mengemukakan kaidah-kaidah umum
dalam pembentukan hukum Islam, baik yang berasal dari Al-Quran maupun dari
sunnahnya sendiri.
Periode Kedua
Masa al-Khulafa ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad
ke-l H. Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai
masalah yang menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW.
setelah ia wafat, rujukan untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para
sahabat besar melihat bahwa perlu dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu
persoalan yang muncul dalam masyarakat tidak ditemukan di dalam Al-Quran atau
sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam
membuat persoalan hukum semakin berkembang karena perbedaan budaya di
masing-masing daerah.
Dalam keadaan seperti ini, para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad
dan menjawab persoalan yang dipertanyakan tersebut dengan hasil ijtihad mereka.
Ketika itu para sahabat melakukan ijtihad dengan berkumpul dan memusyawarahkan
persoalan itu. Apabila sahabat yang menghadapi persoalan itu tidak memiliki teman
musyawarah atau sendiri, maka ia melakukan ijtihad sesuai dengan prinsip-prinsip
umum yang telah ditinggalkan Rasulullah SAW. Pengertian fiqh dalam periode ini
masih sama dengan fiqh di zaman Rasulullah SAW, yaitu bersifat aktual, bukan teori.
Artinya, ketentuan hukum bagi suatu masalah terbatas pada kasus itu saja, tidak
merambat kepada kasus lain secara teoritis.
Periode Ketiga
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan
awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah
ketiga, para sahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang
ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Quran dan hadits
Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang
hukum Islam adalah Abdullah bin Masud (Ibnu Masud), Zaid bin Sabit (11 SH/611
M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di
Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang
dikenal dengan para thabiin. Para thabiin yang terkenal itu adalah Said bin
Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah,
Ibrahiman-Nakhai (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di
Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi
guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat
setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga
muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut
berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga
muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian
muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah
ar-rayu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-
Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-rayu dikenal dengan
sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad.
Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak
mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka
hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika
dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan
hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada
mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan
beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi
Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang
memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyarakat
yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak
mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan
pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua,
karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang
mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amali
(praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini
pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai
metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama
fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi
juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftird
(fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang).
Pada periode ketiga ini pengaruh rayu (ar-rayu; pemikiran tanpa
berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah secara langsung) dalam fiqh semakin
berkembang karena ulama Madrasah al-hadits juga mempergunakan rayu dalam
fiqh mereka. Di samping itu, di Irak muncul pula fiqh Syiah yang dalam beberapa hal
berbeda dari fiqh Ahlusunnah wal Jamaah (imam yang empat).
Periode Keempat
Pertengahan abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Periode ini disebut
sebagai periode gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada
periode inilah muncul berbagai mazhab, khususnya mazhab yang empat, yaitu
Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Pertentangan
antara Madrasah al-hadits dengan Madrasah ar-rayu semakin menipis sehingga
masing-masing pihak mengakui peranan rayu dalam berijtihad, seperti yang
diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas al-
Azhar, Mesir, bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata
kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain.
Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, ulama dari Mazhab Hanafi yang
dikenal sebagai Ahlurrayu (Ahlulhadits dan Ahlurrayu), datang ke Madinah berguru
kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, al-Muwaththa (buku hadits dan
fiqh). Imam asy-Syafii, salah seorang tokoh ahlulhadits, datang belajar kepada
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahlurrayu, banyak
mendukung pendapat ahli hadits dengan mempergunakan hadits-hadits Rasulullah
SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah. kitab-kitab fiqh banyak
berisi rayu dan hadits. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing
kelompok.
Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini, dan pemerintah pun
mulai menganut salah satu mazhab fiqh resmi negara, seperti dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah yang menjadikan fiqh Mazhab Hanafi sebagai pegangan para
hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab-kitab fiqh dalam
berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab usul fiqh, seperti kitab
ar-Risalah yang disusun oleh Imam asy-Syafii. Sebagaimana pada periode ketiga,
pada periode ini fiqh iftird semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan
dalam fiqh tidak lagi pendekatan aktual di kala itu, tetapi mulai bergeser pada
pendekatan teoretis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan
terjadi pun sudah ditentukan.
Periode Kelima
Pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Periode ini ditandai
dengan menurunnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqh, bahkan mereka cukup
puas dengan fiqh yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak
mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah
yang ada dalam kitab fiqh mazhab masing-masing. Lebih jauh, Mustafa Ahmad az-
Zarqa menyatakan bahwa pada periode ini muncullah anggapan bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup. Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang
menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu sebagai berikut :
1. Munculnya sikap taassub madzhab (fanatisme mazhab imamnya) di kalangan
pengikut mazhab. Ulama ketika itu merasa lebih baik mengikuti pendapat yang
ada dalam mazhab daripada mengikuti metode yang dikembangkan imam
mazhabnya untuk melakukan ijtihad;
2. Dipilihnya para hakim yang hanya bertaqlid kepada suatu mazhab oleh pihak
penguasa untuk menyelesaikan persoalan, sehingga hukum fiqh yang diterapkan
hanyalah hukum fiqh mazhabnya; sedangkan sebelum periode ini, para hakim
yang ditunjuk oleh penguasa adalah ulama mujtahid yang tidak terikat sama
sekali pada suatu mazhab; dan
3. Munculnya buku-buku fiqh yang disusun oleh masing-masing mazhab; hal ini pun,
menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, membuat umat Islam mencukupkan diri
mengikuti yang tertulis dalam buku-buku tersebut.
Sekalipun ada mujtahid yang melakukan ijtihad ketika itu, ijtihadnya hanya
terbatas pada mazhab yang dianutnya. Di samping itu, menurut Imam Muhammad
Abu Zahrah, perkembangan pemikiran fiqh serta metode iitihad menyebabkan
banyaknya upaya tarjadi (menguatkan satu pendapat) dari ulama dan munculnya
perdebatan antarmazhab di seluruh daerah. Hal ini pun menyebabkan masing-
masing pihak/mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Akan tetapi, sebagaimana dituturkan Imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini
kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Periode Keenam
Pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah
pada tahun 1286 H. Periode ini diawali dengan kelemahan semangat ijtihad dan
berkembangnya taklid serta taassub (fanatisme) mazhab. Penyelesaian masalah fiqh
tidak lagi mengacu pada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta pertimbangan
tujuan syara dalam menetapkan hukum, tetapi telah beralih pada sikap
mempertahankan pendapat mazhab secara jumud (konservatif). Upaya mentakhrij
(mengembangkan fiqh melalui metode yang dikembangkan imam mazhab) dan
mentarjih pun sudah mulai memudar.
Ulama merasa sudah cukup dengan mempelajari sebuah kitab fiqh dari
kalangan mazhabnya, sehingga penyusunan kitab fiqh pada periode ini pun hanya
terbatas pada meringkas dan mengomentari kitab fiqh tertentu. Di akhir periode ini
pemikiran ilmiah berubah menjadi hal yang langka. Di samping itu, keinginan
penguasa pun sudah masuk ke dalam masalah-masalah fiqh. Pada akhir periode ini
dimulai upaya kodifikasi fiqh (hukum) Islam yang seluruhnya diambilkan dari mazhab
resmi pemerintah Turki Usmani (Kerajaan Ottoman; 1300-1922), yaitu Mazhab
Hanafi, yang dikenal dengan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah.
Periode Ketujuh
Sejak munculnya Majalah al-Ahkam al- Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga
ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu :
1. Munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang
diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2. Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3. Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di
seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majalah al-Ahkam
al-Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum
yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai
mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih
pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di
pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah
Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk
dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum
perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki
Usmani yang dinamai dengan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang terdiri atas 1.851
pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majalah al-Ahkam al-Adliyyah, para
penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani
mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana,
maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai
negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta
menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan
pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat
dan thabiin, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber
dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada
tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Di dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah ini terdapat berbagai pemikiran mazhab
yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi
hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah
Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari
pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat
dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk
diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong
oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh
hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual
mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini. Lebih jauh lagi,
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam,
upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi
setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum
keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah,
Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
Ali Hasaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan
hukum Islam di berbagai negara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan
dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada
kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya,
yaitu Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jamai (kolektif)
harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu,
tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang
kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif
jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.
IV. Etika, Moral, dan Akhlak
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan perbedaan etika, moral, dan akhlak.
2. Menjelaskan hubungan tasawuf dan akhlak, serta peran tasawuf dalam
pembentukan akhlak al-karimah.
3. Menerangkan keseimbangan akhlak terhadap Khaliq, makhluk, dan alam.
4. Mengimplementasikan akhlak dalam kehidupan.
5. Mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi baik.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian Iptek dalam pandangan Islam.
2. Membedakan antara Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni.
3. Menyebutkan sumber pengembangan Iptek dalam Islam.
4. Berperilaku arif dan bijaksana dalam mengembangkan dan memanfaatkan
produk teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menghindarkan diri dari kesombongan intelektual dan menyadari bahwa
pada hakikatnya Iptek itu adalah suatu proses pemahaman sunnatullah di
alam semesta ini.
Artinya : Allah akan mengangkat martabat orang yang beriman dan berilmu
beberapa derajat.
Dalam ayat lain Allah menyatakan bahwa tidaklah sama orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu. Orang yang berilmu diibaratkan sebagai orang
yang hidup dan orang yang tidak berilmu diibaratkan orang yang mati. Orang yang
berilmu laksana orang yang dapat melihat dan orang yang tidak berilmu laksana
orang yang buta. Tinta para ulama lebih bernilai di sisi Allah daripada darah para
syuhada, demikian sabda Nabi. Dalam hadits yang lain Nabi menyatakan: Barang
siapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memberikan
kemudahan baginya jalan menempuh surga. Masih banyak ayat-ayat dan hadits-
hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang beriman dan berilmu. Barang siapa
berilmu lalu ia memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, maka ia bagaikan matahari,
selain menerangi dirinya, juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kesturi
yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang lain. (Ihya Ulumuddin,
Juz I, 49).
Soal :
1. Bagaimana pendapat para ulama tentang memakai hadits dhaif untuk dijadikan
dalil?
2. Sebutkan periodisasi pembentukan hukum (fiqh) Islam oleh Syekh Muhammad
Khudari Bek dalam bukunya, Tarikh at-Tasyri al-Islamy (Sejarah Pembentukan Hukum
Islam) !
3. Jelaskan konsep ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (iptek) dan perbedaan antara
pengetahuan dan ilmu pengetahuan !
4. Bagaimana pendapat saudara tentang iman, ilmu, dan amal sebagai satu kesatuan !
5. Jelaskan sumber pengembangan iptek dalam islam dan keutamaan orang beriman
dan berilmu !
BAGIAN IV
MAZHAB DALAM PARADIGMA ISLAM
A. Pengertian Mazhab
Mazhab dalam bahasa Arab adalah isim makn (kata benda keterangan
tempat) dari akar kata dzahaba (pergi). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya,
tempat pergi, yaitu jalan (al-Tharq). Kata-kata yang semakna ialah: maslak,
thariiqah dan sabiil, yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Demikian pengertian
mazhab menurut bahasa.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat
mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariah yang rinci serta berbagai kaidah (qawid) dan landasan
(ushl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-
hukum syariah (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga
mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (Tharqah al-Istinbth) untuk
melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafii, itu
artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafii.
1. Sejarah Lahirnya Mazhab
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut
dengan istilah The Golden Age. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai
puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban maupun kekuasaan.
Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena
ini kemudian melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan
berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Periode ini dalam
sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fikih Islam,
dimana lahir beberapa mazhab fikih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh
fikih agung yang berjasa mengintegrasikan fikih Islam dan meninggalkan
khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fikih sampai
sekarang.
Memasuki abad kedua Hijriah inilah yang menjadi era kelahiran mazhab-
mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah
melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri
dalam melakukan istinbat (penetapan) hukum.
Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafii, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka
metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam
menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk
memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam
memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi, baik dalam memahami
nash al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan
jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam
mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia
tanpa disadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari
sumbernya. Dengan semakin mengakar dan melembaganya doktrin pemikiran
hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka
kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan
oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat (penetapan)
hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbat (penetapan) hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka
metodologi inilah yang dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fikih.
3) Mazhab Syafii
Mazhab ini dibangun oleh al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafii
seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di
Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu
Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.
Guru Imam Syafii yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang
Mufti di Mekah. Imam Syafii sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun.
Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syiir,
kemudian beliau mempelajari hadits dan fikih.
Mazhab Syafii terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan
tempat beliau mukim. Yang pertama ialah qaul qadm yaitu mazhab yang
dibentuk sewaktu beliau tinggal di Irak. Dan yang kedua ialah qaul jadd yaitu
mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafii dibanding dengan Imam Mujtahid yang
lainnya yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu ushul fikih
dengan kitabnya al-Rislah. Dan kitabnya dalam bidang fikih yang menjadi
induk dari mazhabnya ialah: al-Um.
Dasar-dasar Mazhab Syafii
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafii dalam
mengistinbat hukum syariah adalah: al-Kitab, Sunnah Mutawatirah, al-Ijma,
khabar Ahad, al-Qiyas, al-Istishab.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafii
Mazhab Syafii sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir,
Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania,
Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan
Yaman.
4) Mazhab Hambali
Pendiri mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin
Hanbal bin Hilal al-zhahili al-Syaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164
H. dan wafat tahun 241 H.
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke
berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz,
Yaman, Kufah dan Bashrah. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000
hadits dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum
adalah: Nash Al-Qur-an atau nash hadits, Fatwa sebagian Sahabat, Pendapat
sebagian Sahabat, Hadits Mursal atau Hadits Dhoif, Qiyas. Dalam menjelaskan
dasar-dasar fatwanya, Ahmad bin Hanbal menulis kitab Ilm al-Muwqiin.
C. Jual Beli
Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling
membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada di muka bumi ini sebagai
sumber ekonomi. Allah SWT berfirman yang artinya : Dan Carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada
orang lain) sebagai mana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.(QS Az Zumar : 39)
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna
berlawanan yaitu Al Bai yang artinya jual dan Asy Syiraa yang artinya Beli. Menurut
istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas
dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua
pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az
Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93)
( )
Artinya : Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka. (HR
Bukhari)
( )
Artinya : Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau
tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad. (HR Bukhari
dan Muslim)
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan
jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan
pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak.
Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran,
kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad,
keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.
b. Menepati Amanat
Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud
amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang
tidak melaksanakan amanat dalam islam sangat dicela.
Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau
pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya kepada
pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar pembeli tidak
merasa tertipu dan dirugikan.
c. Jujur
Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku
jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli
karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan
salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran kualitas, dan kuantitas
barang yang diperjualbelikan adalah perintah Allah SWT. Firman Allah artinya :
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syuaib.
Ia berkata : Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman. (QS Al Araf : 85)
Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan
cacat barang dagangan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda
Nabi Muhammad SAW yang artinya : Muslim itu adalah saudara muslim, tidak
boleh seorang muslim apabila ia berdagang dengan saudaranya dan
menemukan cacat, kecuali diterangkannya.
Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti mengurangi takaran,
timbangan, kualitas, kuantitas, atau menonjolkan keunggulan barang tetapi
menyembunyikan cacatnya. Hadits lain meriwayatkan dari umar bin khattab r.a
berkata seorang lelaki mengadu kepada rasulullah SAW sebagai berikut :
katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia
melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu.(HR Muslim)
d. Khiar
Khiar artinya boleh memilih satu diantara dua yaitu meneruskan
kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali atau tidak
jadi melakukan transaksi jual beli). Ada tiga macam khiar yaitu sebagai berikut :
1) Khiar Majelis
Khiar majelis adalah si pembeli dan penjual boleh memilih antara
meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya selama keduanya masih
tetap di tempat jual beli. Khiar majelis ini berlaku pada semua macam jual
beli.
2) Khiar Syarat
Khiar syarat adalah suatu pilihan antara meneruskan atau
mengurungkan jual beli setelah mempertimbangkan satu atau dua hari.
Setelah hari yang ditentukan tiba, maka jual beli harus ditegaskan untuk
dilanjutkan atau diurungkan. Masa khiar syarat selambat-lambatnya tiga hari
3) Khiar Aib (cacat)
Khiar aib (cacat) adalah si pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya, apabila barang tersebut diketahui ada cacatnya. Kecacatan itu
sudah ada sebelumnya, namun tidak diketahui oleh si penjual maupun si
pembeli. Hadits nabi Muhammad SAW. Yang artinya : Jika dua orang laki-laki
mengadakan jual beli, maka masing-masing boleh melakukan khiar selama
mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul, atau salah satu
melakukan khiar, kemudian mereka sepakat dengan khiar tersebut, maka jual
beli yang demikian itu sah. (HR Mutafaqun alaih)
D. Riba
Bagi manusia yang tidak memiliki iman, segala sesuatunya selalu dinilai
dengan harta (materialisme). Manusia berlomba-lomba untuk memperoleh harta
kekayaan sebanyak mungkin. Mereka tidak memperdulikan dari mana datangnya
harta yang didapat, apakah dari sumber yang halal atau haram. Salah satu contoh
perolehan harta yang haram adalah sesuatu yang berasal dari pekerjaan memungut
riba. Hadits nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut. Yang artinya : Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Akan tiba suatu zaman, tidak
ada seorang pun, kecuali ia memakan harta riba. Kalau ia memakannya secara
langsung ia akan terkena debunya. (HR Ibnu Majah)
Kata riba (ar riba) menurut bahasa yaitu tambahan (az ziyadah) atau
kelebihan. Riba menurut istilah syara ialah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam
tukar menukar suatu barang yang tidak diketahui syaraknya. Atau dalam tukar
menukar itu disyaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat.
Riba dapat terjadi pada hutang piutang, pinjaman, gadai, atau sewa menyewa.
Contohnya, Fauzi meminjam uang sebesar Rp 10.000 pada hari senin. Disepakati
dalam setiap satu hari keterlambatan, Fauzi harus mengembalikan uang tersebut
dengan tambahan 2 %. Jadi hari berikutnya Fauzi harus mengembalikan hutangnya
menjadi Rp 10.200. Kelebihan atau tambahan ini disebut dengan riba.
Allah SWT berfirman yang artinya : Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya. (QS Al Baqarah : 275)
Allah telah melarang hamba-Nya untuk memakan riba, Allah juga menjanjikan
untuk melipatgandakan pahala bagi orang yang ikhlas mengeluarkan zakat, infak dan
sedekah. Allah SWT berfirman yang artinya : Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (QS Al Baqarah : 276) dan ayat lain menyatakan:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kepada Allah Supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS
Ali Imran : 130)
Hadits nabi Muhammad SAW yang artinya : Dari Jabir r.a ia berkata :
Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang
menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan,
orang yang menyaksikannya, dan (selanjutnya) nabi bersabda, mereka itu semua
sama saja. (HR Muslim)
Beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan menunjukkan bahwa Islam
sangat membenci perbuatan riba dan menganjurkan kepada umatnya agar di dalam
mencari rezeki hendaknya menempuh cara yang halal.
Ulama fikih membagi riba menjadi empat bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Riba fadal
Riba fadal yaitu tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak
sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya. Contohnya tukar
menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang
disyaratkan oleh yang menukarkan. Supaya tukar menukar seperti ini tidak
termasuk riba harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut :
Barang yang ditukarkan harus sama
Timbangan atau takarannya harus sama
Serah terima harus pada saat itu juga.
2. Riba nasiah
Riba nasiah yaitu tukar menukar barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis
atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu
yang dilambatkan. Contohnya, Salim membeli arloji seharga Rp 500.000. Oleh
penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp 525.000
3. Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima.
Misalnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang
tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah
terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad
Berikut syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba.
a. Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu :
1) serupa timbangan dan banyaknya
2) tunai
3) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
b. Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu :
1) tunai
2) timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab diharamkannya
karena memiliki bahaya yang sangat besar antara lain sebagai berikut :
1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat
kerja sama atau saling menolong sesama manusia. Padahal, semua agama,
terutama Islam menyeru kepada manusia untuk saling tolong menolong,
membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri atau egois, serta
orang yang mengeksploitasi orang lain.
2. Riba dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau
bekerja keras dan penimbun harta di tangan satu pihak. Islam menghargai kerja
keras dan menghormati orang yang suka bekerja keras sebagai saran pencarian
nafkah.
3. Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu
pihak mengeksploitasi pihak yang lain.
4. Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka
mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya
membutuhkan harta.
Pengertian Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal
(expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.
a. Dasar Hukum
Landasan hukum dari musyarakah ini antara lain :
] = # !%
Artinya : maka mereka berserikat pada sepertiga (QS An Nisa : 12)
Bersabda Rasulullah yang artinya : Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman : Aku pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya. (HR Abu Daud)
Hadits tersebut menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambanya
yang melakukan perkongsian atau kerja sama selama pihak-pihak yang bekerja
sama tersebut saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi
pengkhianatan.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, musyarakah (syirkah) dapat diartikan dua
orang atau lebih yang bersekutu (berserikat) dimana uang yang mereka dapatkan
dari harta warisan, atau mereka kumpulkan diantara mereka, kemudian
diinvestasikan dalam perdagangan, industri, atau pertanian dan lain-lain
sepanjang sesuai dengan kesepakatan bersama dan hal tersebut hukumnya
boleh.
b. Syarat-syarat musyarakah
Dalam bersyarikah ada 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut :
1) Benda (harta dinilai dengan uang)
2) Harta-harta itu sesuai dalam jenis dan macamnya
3) Harta-harta dicampur
4) Satu sama lain membolehkan untuk membelanjakan harta itu
5) Untung rugi diterima dengan ukuran harta masing-masing
c. Jenis-jenis musyarakah
Ada dua jenis musyarakah yakni musyarakah pemilikan dan musyarakah
akad (kontrak)
1) Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya
yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih, berbagi dalam sebuah aset
nyata dan berbagi pula keuntungan yang dihasilkan oleh aset tersebut.
2) Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau
lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.
Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad
terbagi menjadi inan, mufawadah, amal, wujuh, dan mudarabah.
a) Syirkah inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam
kerja, keuntungan dan kerugian yang dibagi sesuai dengan kesepakatan
diantara mereka.
b) Syirkah mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak memberikan dana yang jumlahnya sama dan
berpartisipasi dalam kerja, keuntungan dan kerugian dibagi secara sama
besar.
c) Syirkah amal adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan itu. Misal dua orang arsitek menggarap sebuah proyek.
d) Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki
reputasi dan prestise baik dalam bisnis. Mereka membeli barang secara
kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai.
Keuntungan dan kerugian dibagi berdasarkan jaminan yang disediakan
masing-masing.
Pada bidang perbankan misalnya, penerapan musyarakah dapat berwujud
hal-hal berikut ini :
1. Pembiayaan proyek. Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan
dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati.
2. Modal ventura. Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam
skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu
tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian
sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Jenis-jenis Mudarabah
Secara umum, mudarabah terbagi menjadi dua jenis yakni mudarabah
mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.
a. Mudarabah mutlaqah
Mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik modal
(sahibul mal) dan pengelola (mudarib) yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fikih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan
ifal ma syita (lakukan sesukamu) dari sahibul mal ke mudarib yang memberi
kekuasaan sangat besar.
b. Mudarabah Muqayyadah
Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah mutlaqah. Si
Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya
pembatasan ini sering kali mencerminkan kecenderungan umum si Sahibul Mal
dalam memasuki jenis dunia usaha.
Adapun dari sisi pembiayaan, mudarabah biasanya diterapkan untuk
bidang-bidang berikut :
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
b. Investasi khusus disebut juga mudarabah muqayyadah, yaitu sumber investasi
yang khusus dengan penyaluran yang khusus pula dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh sahibul mal.
Mudarabah dan kaitannya dengan dunia perbankan biasanya diterapkan
pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Sisa penghimpunan dana
mudarabah biasanya diterapkan pada bidang-bidang berikut ini.
1. Tabungan berjangka, yaitu dengan tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan deposito berjangka.
2. Deposito spesial (special investment), yaitu dana dititipkan kepada nasabah
untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah atau ijarah saja.
Mudaroban yang berkaitan dengan dunia Pertanian ialah : Musaqah, Muzaraah,
dan Mukhabarah.
b. Muzaraah
Muzaraah adalah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah
atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan
benih(bibit tanaman)nya dari pekerja (petani). Zakat hasil paroan ini
diwajibkan atas orang yang punya benih. Oleh karena itu, pada muzaraah
zakat wajib atas petani yang bekerja karena pada hakekatnya dialah (si petani)
yang bertanam, yang mempunyai tanah seolah-olah mengambil sewa
tanahnya, sedangkan pengantar dari sewaan tidak wajib mengeluarkan
zakatnya.
c. Mukhabara
Mukhabarah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau
ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya
dari pemilik sawah/ladang. Adapun pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas
yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, sedangkan
petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah
tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas
keduanya yang diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. Hukum kerja
sama tersebut di atas diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabiin dan
para imam.
I. Sistem Lembaga Keuangan non Bank yang sesuai dengan Prinsip Hukum Islam
Sistem lembaga keuangan non Bank yang sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum Islam antara lain adalah sebagai berikut :
1. Koperasi
Pengertian koperasi dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris
corporation, yang artinya bekerja sama. Pengertian koperasi dari segi etimologi
ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau
badan hukum yang bekerja sama denagn penuh kesadaran untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota atas dasar suka rela secara kekeluargaan.
Koperasi mempunyai dua fungsi, yakni :
fungsi ekonomi dalam bentuk kegiatan-kegiatan usaha ekonomi yang
dilakukan koperasi untuk meringankan beban hidup sehari-hari para
anggotanya dan
fungsi sosial dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara
gotong royong atau dalam bentuk sumbangan berupa uang yang berasal dari
bagian laba koperasi disisihkan untuk tujuan-tujuan sosial, misalnya untuk
mendirikan sekolah atau tempat ibadah
Koperasi dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu
bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi.
Ini disebut koperasi berusaha tunggal (single purpose). Dan ada pula koperasi
yang meluaskan usahanya dalam berbagai bidang yang disebut koperasi serba
usaha (multi purpose) seperti bidang pembelian dan penjualan
Modal usaha koperasi diperoleh dari uang simpanan pokok, uang
simpanan wajib, uang simpanan sukarela yang merupakan deposito, uang
pinjaman, penyisihan-penyisihan hasil usaha termasuk cadangan dan sumber lain
yang sah.
Menurut mahmud syaltut, koperasi sebagaimana diuraikan di atas adalah
bentuk syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi dan banyak sekali
memiliki manfaat, antara lain memberi keuntungan kepada para anggota pemilik
saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan
keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan tempat ibadah,
sekolah dan sebagainya. Koperasi tidak mempunyai unsur kezaliman dan
pemerasan oleh manusia yang kuat atau kaya atas manusia yang lemah atau
miskin, pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta
membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan
yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh
karena itu, koperasi dapat diterima oleh kalangan Islam.
Tolong Menolong
Saling menolong sesama peserta (nasabah) dengan hanya berhadapan
keridaan Allah. Dan tolong menolong untuk memberikan santunan perlindungan atas
musibah yang akan datang
Saling melindungi
Perekonomian Islam yang berdasarkan Syariah merupakan usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui
investasi.
Adil
Dalam melakukan transaksi/perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai.
Amanah/jujur
Dalam menjalankan kerja sama ekonomi Syariah mengharuskan dipenuhinya
semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi
harus dilaksanakan secara rida sama rida dan disepakati oleh semua pihak yang
terkait. Perilaku lain adalah mempunyai manajemen islami, menghormati hak azasi
manusia, menjaga lingkungan hidup, melaksanakan good corporate governance,
tidak spekulatif dan memegang teguh prinsip kehati-hatian.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan makna agama Islam beserta karakteristiknya.
2. Menjelaskan makna ajaran Islam sebagai rahmat Allah bagi semua
makhluk-Nya beserta perwujudannya.
3. Menjelaskan makna ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah Insaniyah, serta
memiliki sikap yang sesuai dengan ajaran Islam tentang ukhuwah
tersebut.
4. Menjelaskan pandangan Islam terhadap umat non Islam dengan
kategorisasinya.
5. Menjelaskan bentuk-bentuk tanggung jawab sosial umat Islam, baik
terhadap sesama umat Islam maupun terhadap umat non Islam dengan
sikap amar maruf dan nahi munkar.
Daftar Istilah Penting
Islam : Damai, selamat, sejahtera, taat, dan patuh. Sebagai agama, Islam
berisi ajaran yang memberi petunjuk kepada umat manusia untuk
melaksanakan tugas kehidupan menurut syariat, jalan kehidupan yang
benar, yang memberikan kemaslahatan bagi semua makhluk Allah. Islam
adalah agama universal, agama yang diturunkan oleh Allah sejak Rasul
pertama Adam sampai Rasul terakhir Muhammad SAW.
Rahmat : Kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
Non Islam : Umat non Islam adalah orang-orang kafir, yaitu orang yang tidak
mau mengakui Allah sebagai Tuhannya dan atau tidak mau menerima serta
menaati aturan-Nya yang disampaikan Rasul-Nya Muhammad SAW.
Ukhuwah : Persaudaraan antar individu atau kelompok umat manusia, baik
dalam bentuk rasa simpati maupun empati dan ditindaklanjuti dengan sikap
serta prilaku yang bermaslahat.
Amar maruf dan nahi munkar : Memerintahkan, mengajak, dan memberi
contoh kepada orang lain untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan
keburukan.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan konsep masyarakat madani menurut ajaran Islam dan
karakteristiknya.
2. Menjelaskan kondisi SDM umat Islam, parameternya, dan konsep
peningkatan kualitasnya.
3. Menjelaskan konsep zakat dan wakaf serta fungsinya bagi kesejahteraan
umat.
4. Menjelaskan cara pengelolaan zakat dan wakaf yang dapat mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.
7.6.2. Wakaf
Sebagai salah satu lembaga sosial Islam, wakaf erat kaitannya dengan sosial
ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan lembaga Islam yang hukumnya
sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang dengan baik di beberapa negara
misalnya Mesir, Yordania, Saudi Arabia dan Bangladesh. Hal ini barangkali karena
lembaga wakaf ini dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga manfaatnya
sangat dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Di Indonesia sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk suatu usaha, yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang
memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial
khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif, tetapi dampaknya
kurang berpengaruh positif dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila
peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan
wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka wakaf sebagai salah satu sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, tidak akan dapat
terealisasi secara optimal.
Agar wakaf di Indonesia dapat memberdayakan ekonomi umat, maka perlu
dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini hanya
dikelola secara konsumtif dan tradisional, sudah saatnya kini wakaf dikelola secara
produktif.
Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, dan
Bangladesh, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan, juga
berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang saham, real estate dan lain-lain
yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar
dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Wakaf uang dan wakaf produktif penting sekali untuk dikembangkan di
Indonesia di saat kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf tunai
mempunyai peluang yang unik bagi terciptanya investasi di bidang keagamaan,
pendidikan, dan pelayanan sosial. Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa
lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan
masalah sosial ekonomi masyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah
berkembang, menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf.
Sayangnya pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap wakaf selama berabad-
abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa
tanah. Bahkan sebelum tanggal 27 Oktober 2004, benda wakaf yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan hanyalah tanah milik, yakni diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda
bergerak khususnya uang baru dibicarakan oleh umat Islam di Indonesia sekitar
akhir tahun 2001. Alhamdulillah pada tanggal II Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah
sebagai berikut:
a. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan secara syari.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan dikeluarkannya fatwa MUI tersebut, maka penerapan wakaf uang di
Indonesia sudah tidak bermasalah lagi, apalagi dalam Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf uang sudah diatur tersendiri. Yang menjadi
masalah bagaimanakah penerapan wakaf khususnya wakaf uang di Indonesia,
karena wakaf uang ini penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat
kondisi perekonomian yang kian memburuk. Wakaf uang dapat dipergunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka Undang-
undang Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat
diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam menyambut baik lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-undang
Wakaf tersebut sudah dimasukkan rumusan konsepsi fiqih wakaf baru di Indonesia
yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf
(mauquf alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda
bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain
yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf (mauquf bih) yang
diatur dalam Undang-undang Tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda tidak bergerak
saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan wakaf inilah perlunya
pembinaan nadzir. Untuk itu di dalam Undang-undang 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Salah satu tugas
dan wewenang Badan Wakaf Indonesia adalah melakukan pembinaan terhadap
nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian kebudayaan dan peradaban Islam.
2. Membedakan kebudayaan dan peradaban Islam dengan kebudayaan dan
peradaban pada umumnya
3. Menjelaskan sejarah intelektual Islam dan pusat-pusat peradaban Islam
4. Berperilaku arif dan bijaksana dalam menyikapi perkembangan budaya dan
peradaban modern
5. Memiliki prinsip dan kebanggaan terhadap kebudayaan dan peradaban
Islam.
3. Bekerja Keras
Manusia adalah makhluk terbaik yang dianugerahi potensi besar dalam bentuk
akal-budi, dan seluruh aktivitas kehidupan manusia dinilai oleh Allah. Anugerah
tersebut harus difungsikan secara optimal. Karena itu dalam QS. 28 (al-
Qashash) : 77 Allah memerintahkan manusia berusaha meraih kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat, dan Allah melarang berputus asa akan rahmat yang
telah Allah anugerahkan, karena putus asa itu adalah sifat orang kafir,
sebagaimana firman Allah dalam QS. 12 (Yusuf) : 87 yang berbunyi :
Artinya : dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir)
4. Bersikap Terbuka
Sikap terbuka berarti mau menerima masukan dan kebenaran yang datang dari
orang lain, siapapun dia, dan apapun posisinya. Karena itu Rasulullah SAW
memerintahkan untuk memperhatikan substansi perkataan orang dan bukan
siapa orang yang mengatakannya. Kemajuan akan lebih mudah dicapai dengan
sikap terbuka, serta memanfaatkan pemikiran, dan kemajuan yang dicapai orang
lain, sepanjang tetap sejalan dengan nilai-nilai kebenaran yang ditetapkan Allah.
5. Jujur
Dalam kehidupan intelektual, kejujuran mutlak diperlukan, baik dalam bentuk
pengakuan terhadap kebenaran pemikiran orang lain, maupun dalam bentuk
pengakuan akan keberadaan diri pribadi. Kejujuran akan membimbing manusia
dalam proses penemuan kebenaran dan mengemukakan kebenaran secara
obyektif. Kejujuran menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan yang
merugikan. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan, kebohongan (sikap
tidak jujur) merupakan pangkal terjadinya dosa.
6. Adil
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adil menunjukkan sikap
yang proporsional dalam mengambil keputusan dalam berbagai persoalan yang
berkait dengan banyak pihak yang berkepentingan. Sekalipun sikap adil pada
umumnya berkaitan dengan proses peradilan, tetapi adil diperlukan dalam
berbagai aspek kehidupan. Karena itu dalam QS. 16 (al-Nahl) : 90
Artinya : Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan.
7. Tanggung Jawab
Tanggung jawab berarti kesediaan menanggung segala resiko atau konsekuensi
dari setiap perbuatan yang dilakukan. Setiap perbuatan memiliki konsekuensi
baik atau buruk. Hal itu bergantung pada substansi perbuatannya. Oleh karena
itu dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 286 :
Artinya : Allah mengingatkan, bahwa setiap manusia akan mendapat pahala
sebagai balasan (dari kebajikan) yang dilakukannya, dan mendapat siksa sebagai
balasan (dari kejahatan) yang dilakukannya.
8. Ikhlas
Ikhlas berarti murni, bersih dari segala unsur yang mengotori atau mencemari
nilai niat seseorang untuk berbuat sebagai wujud pengabdian dalam ketaatan
kepada Allah. Oleh karena itu ikhlas dalam niat selalu dikaitkan dengan
pengabdian kepada Allah, seperti firman Allah dalam QS. 98 (al-Bayyinah) : 5 :
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Sasaran Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan pengertian sistem politik islam
2. Bersikap komprehensif dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan
3. Menjelaskan garis-garis besar bahasan sistem politik Islam.
4. Membuktikan kontribusi umat Islam dalam kehidupan politik Islam
Editor :
TEAM REVISI
1. Drs. H. Arsidiq Asuru, M.Ag
2. Jahada, S.Ag. M.Pd. I
3. La Sensu, S.Ag, MH
R e k t o r,
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAGIAN I : KETENTUAN UMUM MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM........................................................................ 1
I. Dasar Penyusunan Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 1
II. Tujuan Penyusunan Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 1
III. Visi dan Misi Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 1
IV. Kompetensi Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 1
V. Materi Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 2
VI. Struktur Substansi Kompetensi Dasar........................................................ 3
VII. Status Tiap Substansi Kajian dalam Kesatuan Acuan
Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 4
VIII. Indikator Keberhasilan Tiap Substansi Kajian dalam Kesatuan
Acuan Pembelajaran Matakuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama Islam........................................................................... 4
IX. Deskripsi Substansi Kajian Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 5
X. Pengalaman dan Strategi Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 7
XI. Metode Pembelajaran Matakuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam....................................................... 7
XII. Evaluasi Proses dan Penilaian Hasil Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 7
XIII. Manajemen Lingkungan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam.............................. 8
BAGIAN II: SUBSTANSI KAJIAN MATAKULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM........................................................................ 9
I. Konsep Ketuhanan dalam Islam................................................................. 9
1.1. Filsafat Ketuhanan dalam Islam........................................................ 9
II. Konsep Manusia Menurut Islam................................................................ 12
2.1. Hakikat Manusia............................................................................... 12
2.2. Martabat Manusia............................................................................. 14
2.3. Tanggung Jawab Manusia................................................................. 15
2.4. Perwalian Dalam Akad Nikah........................................................... 16
III. Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Islam............................................ 23
3.1. Konsep Hukum dan Hak Asasi Manusia........................................... 24
3.1.1. Hukum Islam : Pengertian, Ruang Lingkup, dan
Tujuannya............................................................................. 24
3.1.2. Hak Asasi Manusia Menurut Islam....................................... 25
3.2. Sumber Hukum Islam....................................................................... 26
3.3. Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat................... 27
3.4. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan
Hukum.............................................................................................. 27
BAGIAN III HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHAIF........................................... 30
IV. Etika, Moral, dan Akhlak........................................................................... 39
4.1. Pengertian Etika, Moral, dan Akhlak................................................ 40
4.2. Karakteristik Etika Islam (Akhlak)................................................... 40
4.3. Hubungan Tasawuf dengan Akhlak.................................................. 41
4.4. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan............................................... 41
V. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni dalam Islam................................ 41
5.1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (Iptek)................... 42
5.2. Iman, Ilmu, dan Amal sebagai Satu Kesatuan................................... 44
5.3. Keutamaan Orang Beriman dan Berilmu.......................................... 44
5.4. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam dan Lingkungan............. 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No. 43 dan 44/Dikti/Kep/2006
2. Salinan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor : 43/DIKTI/Kep/2006
3. Nama-Nama Dosen Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam Universitas
Haluoleo Kendari
NAMA-NAMA DOSEN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI
CONTACT
NO N A M A FAKULTAS
PERSON
1. Drs. H. Arsidiq Asuru, M.Ag FKIP 0813 4190 1829
2. Drs. H. La Ode Muharam, M.Pd FKIP 0813 4260 2177
0813 4191 5656
3. Dra. Hj. Sakka Hasan, M.Pd FKIP
0811 401 667
4. Jahada Sahabudin, S.Ag, M.Pd.I FKIP 0852 4191 0255
5. La Sensu, S.Ag, MH Fak. Ekonomi 0852 4183 1968
6. Muhammad Nazar, S.Ag, M.HI Fak. Teknik 0813 4156 7807
7. Drs. H. Bambang Sugianto, M.Pd.I FKIP 0819 4326 8186
8. Pendais Haq, S.Ag, M.Pd FKIP 0852 5580 2158
9. Arman Alimuddin, S.Ag, M.Si Fak. Ekonomi 0813 2266 6695
10. Muamal Khadafi, S.Ag, M.Pd Fak. MIPA 0813 4166 6413
11. Idaman, S.Ag, MA Fak. Hukum 0852 4240 5401
12. Drs. Sukring, M.Pd.I Fak. Hukum 0819 4324 3583
13. Muhammad Masrul, S.Ag, M.Si Fak. Fisip 0813 4156 5166
14. Dra. Nurjannah Fak. Fisip
15. H. Asfar Dahlan, Lc, MA Unhalu 081382848922
16. Mulawarman Side, S.Ag, S.Kom Unhalu 081355121479