Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENGANTAR TEOLOGI
Kita mulai dengan sebuah pertanyaan pokok, apakah teologi itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memberikan definisi teologi
secara menyeluruh. Itu berarti kita harus memberikan batasan yang jelas
sehingga teologi bisa dibedakan dari ilmu-ilmu yang lain. Pertanyaan apakah
teologi itu sama dengan bertanya tentang Hakekat Teologi. Karena itu dalam
bagian ini kita akan membahas pertama, Definisi Teologi dan Konteks
penggunaannya. Kedua, Teologi Sebagai Ilmu Iman dan Ketiga Teologi
sebagai Ilmu Gereja.

Kemampuan akhir yang diharapkan dalam bab ini:


Mahasiswa mampu mengetahui dan menerangkan hal-hal yang berkaitan
dengan teologi secara umum

Kriteria capaian pembelajaran dalam bab ini,:


1. Ketepatan menjelaskan definisi Teologi
2. Ketepatan menjelaskan perbedaan ilmu teologi dengan ilmu
pengetahuan lainnya.

1.1Definisi Teologi
Kata teologi berasal dari kata bahasa Yunani, yakni theos yang bearti
Allah dan logos yang berarti perkataan, uraian, pikiran atau ilmu. Secara
etimologis, teologi berarti ilmu tentang Allah. Teologi adalah sebuah cabang
ilmu pengetahuan. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, teologi adalah sebuah
pengetahuan yang sifatnya bertanya dan berusaha untuk memahami tentang
iman. Pada saat kita berteologi berarti kita sedang bertanya tentang iman,
sebuah usaha untuk mencari suatu pengertian yang mendalam tentang
iman. Namun sebagai ilmu, ia berbeda dengan ilmu pengetahuan yang lain.
Dalam teologi, pengetahuan yang diperoleh bukan hanya melalui akal budi,
indrawi dan intuisi rohani, tetapi juga pengetahuan wahyu dan iman
(Revelatio dan Fides).
Pengetahuan wahyu dan iman bersifat adi-kodrati karena didasarkan
pada wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan manusia. Sifat adi-
1
kodrati juga bentuknya yang ilmiah, yakni teologi. Kebenaran yang dicari
dalam teologi, yang direnungkan dan diuraikan olehnya bukanlah kebenaran
yang dapat dibuktikan secara empiris atau pengalaman hidup, bukan pula
kebenaran yang dengan sendirinya jelas karena masuk akal, melainkan
kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah. Pemahaman
arti wahyu dan iman yang dijelaskannya akan menjadi jelas untuk mengerti
bahwa keduanya merupakan prinsip bagi teologi sebagai ilmu. Sebagai ilmu,
teologi berusaha menerangkan iman (misalnya iman tentang Yesus Kristus
Sang Juru Selamat). Supaya dapat diimani manusia, wahyu harus
disampaikan kepada manusia dalam peistiwa sejarah. Wahyu Allah dimuat
dalam Kitab Suci dan Tradisi.
Dikatakan bahwa wahyu merupakan inisiatif Allah untuk mendekati
manusia. Supaya wahyu ini diterima atau diimani oleh manusia, pertama-
tama wahyu ini harus disampaikan. Penyampaian wahyu tersebut pertama-
tama terungkap dalam sejarah keselamatan manusia, secara khusus dalam
sejarah umat Israel. Melalui para nabi Allah menyatakan kehendakNya,
kemahakuasaanNya, kemuliaanNya, keadilan dan kerahimanNya.
Pewahyuan diri Allah ini mencapai puncaknya dalam diri Yesus Kristus.
Peristiwa wafat dan kebangkitanNya merupakan wujut dan merupakan
kepenuhan rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sikap manusia terhadap
wahyu Allah ini haruslah percaya. Iman atau percaya pertama-tama dimulai
dengan sikap mendengarkan yakni sabda Allah. Sabda Allah yang
didengarkan tersebut kemudian diresapkan dalam hati dengan penyerahan
diri yang total terhadap apa yang dikatakanNya.

1.2 Sejarah Penggunaan Istilah Teologi


Arti suatu kata sangat ditentukan oleh dunia atau konteks penggunaannya.
Demikian kita perlu melihat konteks penggunaan kata “teologi” itu. Orang
yang pertama kali menggunakan kata teologi ialah Plato (427-347 SM),
seorang filsuf besar Yunani. Plato menggunakan kata “teologi” untuk
menyebut ilmu yang menyelidiki cerita tentang dewa-dewi. Cerita-cerita ini
perlu dinilai secara kritis untuk menyingkap kebenaran yang terkandung di
dalamnya. Dalam konteks penggunaan itu, teologi berarti suatu penafsiran
kritis atas cerita tentang dewa-dewi. Tujuannya adalah untuk mendidik orang
menjadi warga negara yang baik.
2
Aristoteles (384-322 SM), filsuf besar Yunani lainnya, menyebut
penyair atau pengarang yang menulis tentang dewa-dewi dan asal mula dunia
sebagai teolog. Kemudian dia menggunakan kata teologi dalam arti lain.
Teologi adalah suatu refleksi kritis tentang segala sesuatu yang ada untuk
mencari tahu sebab musebabnya yang terdalah dan terakhir. Teologi yang
dimaksudkan Aristoteles ini disebut Filsafat tentang Allah (Filsafat
Ketuhanan).
Kata yang dipakai oleh kedua filsuf ini kemudian secara perlahan
diterima dalam dunia pemikiran Kristen sampai akhirnya menjadi suatu
istilah khas Kristen. Dari pemikiran-pemikiran itu, bolehlah kita mengatakan
bahwa kalau dibuat atas dasar pertimbangan manusiawi saja, maka disebut
teologi filsafat (Natural theology), di Indonesia dipakai istilah Filsafat
Ketuhanan.
Umumnya “teologi” berarti ilmu mengenai yang ilahi atas dasar
wahyu. Maka ada berbagai teologi, teologi Islam atas dasar Al Qur’an (sebab
itulah yang mereka pandang sebagai Wahyu), teologi Yahudi atas dasar
Perjanjian Lama, teologi Kristen atas dasar wahyu Yahudi-Kristen, dan
sebagainya. Melihat bahwa wahyu Yahudi dan Kristen hidup terus di dalam
Gereja, maka sebagai definisi teologi Kristen dapat disebut sebagai refleksi
atas dasar wahyu Allah yang diterima dalam Gereja. Dengan kata lain,
Teologi adalah releksi atas iman Gereja.
Dasar Teologi adalah Wahyu, pernyataan diri Allah. Di mana wahyu
itu? Dalam peristiwa perwahyuan dulu yang dibukukan dalam, pertama,
Kitab Suci dan kedua, dalam apa yang dibaca, digali dan dihayati dalam
Gereja. Allah masih tetap berkarya dan dialami sekarang ini juga, maka itu
pun diperhatikan oleh teologi, Namun wahyu yang termuat dalam Kitab Suci
dan Tradisi merupakan norma dan patokan, maka harus selalu diperhatikan.
Tekanan dalam Teologi dapat berbeda, entah pada karya Allah dulu
atau pada karya Allah di antara kita sekarang. Tekanan itu pertama-tama
bergantung pada tema dan tujuan. Misalnya, dalam studi Kitab Suci tekanan
pada karya atau wahyu Allah dulu ataukah pada bimbingan atau konseling
rohani karya Allah sekarang. Demikian juga pada tujuannya. Misalnya,
Ekaristi dapat dibahas dengan tujuan utama agar pembaca mengenal Kitab
dan tradisi mengenai Ekaristi, ataukah agar Ekaristi sekarang dapat dihayati
dengan baik. Tekanan itu juga bergantung pada mentalitas dan pandangan
3
sang teolog sendiri. Ada yang lebih mengutamakan karya Allah sekarang,
atau ada yang lebih mengutamakan Kitab Suci dan Tradisi, sebab itu tetap
menjadi patokan kita juga.
Perlu dicatat bahwa kedua segi itu tidak boleh dieksklusifkan. Proses
berpikir teologis bisa bersifat dialogis atau perbandingan, baik wahyu dulu
atau pun karya Allah sekarang harus diperhatikan. Seandainya wahyu dulu
terlalu diutamakan, maka kita menjadi buta terhadap unsur-unsur baru
sekarang seperti perubahan dalam kebudayaan, inkulturasi dan lain
sebagainya, sebab kita hanya memperhatikan dan meneruskan yang lama.
Seandainya situasi sekarang terlalu diutamakan, kita hanya mau menemukan
gagasan dan keinginan kita sendiri dalam Kitab Suci atau Tradisi dan kita
menjadi buta untuk kekayaan lain yang ada dalam Kitab Suci atau Tradisi.

1.3 Teologi Sebagai Ilmu Iman


Manusia menggunakan akal budi dan pikirannya untuk mencari tahu
apa sebenarnya yang ada di balik segala kenyataan atau realitas yang ada di
sekitarnya. Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran yang disebut
pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri obyektif, metodis, sistematis
dan koheren dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka
lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu Pengetahuan adalah pengetahuan yang obyektif yang disusun


secara metodis, sistematis dan koheren tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan dan yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang pengetahuan tersebut. Karena itu Teologi sebagai ilmu
adalah keseluruhan pengetahuan adikodrati yang obyektif dan kritis serta
disusun secara metodis, sistematis dan koheren dengan apa yang diimani
sebagai wahyu Allah.

Pengetahuan iman itu bersifat adi-kodrati karena didasarkan pada


Wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan insani. Kebenaran yang
dicari, direnungkan dan diuraikan oleh teologi bukanlah kebenaran yang
dapat dibuktikan secara empiris, yang masuk di akal, melaikan kebenaran
yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah.

4
Supaya dapat disebut ilmiah, pengetahuan harus diusahakan bersifat
obyektif. Artinya seorang ilmuwan berusaha membuat rekonstruksi dari apa
yang terjadi di dalam kenyataan. Diusahakan agar pengetahuannya memang
sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Menjelaskan secara metodis berarti menggunakan cara kerja tertentu.


Istilah “metode” berasal dari kata Yunani “meta hodos” yang berarti
“menurut jalan (tertentu)”. Seorang ilmuwan memakai cara atau jalan
tertentu untuk mencari dan mencapai kebenaran. Metode dimaksudkan
sebagai cara yang dilakukan dalam proses pengenalan untuk mencapai
tujuan. Ada berbagai macam metode yang digunakan dalam ilmu seperti
deduktif, induktif, analitis, sintetis, percobaan dan sejarah.
Menjelaskan secara sistematis berarti menyusun seluruh pernyataan
dalam urutan yang logis dengan mengikuti suatu prinsip dan dengan
menggunakan metode tertentu. Tata susunan harus tampak dari kerangka
yang rapi, teratur dan logis, sehingga dapat dimengerti dengan baik dan
benar. Secara kritis artinya setiap langkah yang diambil dalam penyelidikan
ilmiah itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Ilmuwan tak pernah
menerima begitu saja apa yang dikatakan orang.

Menjelaskan dengan koheren atau bertalian berarti


mempertanggungjawabkan setiap pernyataan yang diberikan. Koherensi
penjelasan itu tampak pada kejelasan, keteraturan dan kesesuaian
penggunaan data dan analisis yang ditampilkan.

Hubungan dengan iman dengan sendirinya menimbulkan pertanyaan


mengenai sifat ilmiah teologi. Ada yang mengatakan bahwa ilmu iman bukan
ilmu. Adapun dasar untuk pernyataan ini ialah fakta bahwa iman bukan
hanya obyek refleksi teologis, tetapi juga dasarnya. Titik tolak teologi adalah
iman akan Sabda Allah, entah sebagaimana dirumuskan dalam Kitab Suci
entah sejauh disampaikan oleh Gereja. Tetapi Allah dan Sabda Allah
bukanlah obyek yang dapat dibuktikan dengan rasio.

Itulah sebabnya maka ada yang mengatakan bahwa teologi yang


memandang diri sebagai ilmu iman sebenarnya suatu kontradiksi. Yang
5
mungkin refleksi atas pandangan, pendapat dan perhatian yang ada di bawah
ungkapan-ungkapan iman. Jadi bukan pembicaraan mengenai Allah. Teologi
menjadi teori sistematis tentang pengandaian dan perhatian dasariah manusia
beriman. Selain itu teologi juga dipandang sebagai teori bahasa dari cara
berbicara dalam agama, khususnya suatu teori mengenai apa yang biasanya
disebut teologi dan pengungkapan iman. Singkatnya kata teologi adalah suatu
refleksi atas diri manusia, khususnya atas kemungkinan-kemungkinannya
untuk berbicara mengenai Allah dan agama.

Obyek Teologi
Sebagai ilmu iman, teologi mempelajari wahyu Allah. Dalam kaitan
dengan obyek teologi, kita perlu bedakan dua macam obyek. Pertama, obyek
material atau objectum material (Lat.) atau material object (Eng.),
maksudnya bidang penyelidikan sebuah ilmu. Obyek material adalah apa
yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan atau materi pembicaraan. Karena
itu objek material teologi ialah iman yang diwahyukan Allah.

Kedua, obyek formal atau objectum formale (Lat.) atau formal object
(Eng.) adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material atau sudut
pandang mana sebuah ilmu pengetahuan memandang obyek material itu.
Maka obyek formal teologi adalah isi iman yang diwahyukan Allah itu.
Maka tidak mengherankan kita mengenal macam-macam teologi
menurut agama yang dipeluk oleh seseorang. Misalnya teologi Yahudi adalah
refleksi ilmiah atas imannya itu. Demikian teologi Kristiani dan teologi
Islam. Kesamaan antara semua teologi adalah sama-sama merenungkan
secara ilmiah apa yang diimani penganutnya sebagai wahyu Allah kepada
manusia. Perbedaannya terletak dalam sudut pandangan yang ditentukan oleh
masing-masing agama. Obyek formal itulah yang membedakan antara ketiga
macam teologi itu.

Hubungan Teologi dengan Ilmu-Ilmu Lain


Teologi berhubungan dengan ilmu-ilmu lain artinya teologi harus
berdialog dengan ilmu-ilmu lain, terutama ilmu yang bergelut dengan dengan
keselamatan manusia. Karena kebenaran-kebenaran yang kita imani termasuk
kebenaran yang menyangkut keselamatan manusia. Selain itu tugas ilmu
6
termasuk teologi adalah memberi sumbangan untuk pembangunan umat
manusia masing-masing di bidangnya. Karena itu teologi tidak menutup mata
misalnya terhadap eksperimen-eksperimen yang dilakukan dalam bidang
kedokteran, karena hal itu menyangkut keselamatan manusia. Demikian pula
teologi tidak dapat berdiam diri terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial
politik ekonomi dan kebudayaan yang langsung berkaitan dengan
keselamatan manusia dan penghayatan imannya.

Teologi juga membutuhkan ilmu-ilmu lain terutama psikologi,


sosiologi, antropologi budaya, ilmu bahasa dan komunikasi. Karena ilmu-
ilmu lain itu dapat menolong teologi untuk mendalami persoalan-persoalan
yang dihadapinya berhubungan dengan pewartaan, perayaan dan
penghayatan iman. Memanfaatkan hasil-hasil yang diperoleh oleh ilmu-ilmu
tersebut akan sangat membantu teologi dalam menjawab persoalan yang
dihadapinya.

Apa hubungan Teologi dengan Filsafat. Filsafat adalah suatu


keseluruhan pengetahuan kodrati yang obyektif, kritis dan bertalian serta
disusun secara metodis, sistematis dengan maksud mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi bidang-bidang tertentu dari kenyataan. Karena itu
ciri-cirinya bersifat kodrati, ilmiah, mencari struktur fundamental atau sebab
yang sedalam-dalamnya dan tidak boleh menerima sesuatu tanpa
membuktikannya. Sedangkan Teologi adalah suatu keseluruhan pengetahuan
adi-kodrati yang obyektif, kritis dan disusun secara metodis, sistematis,
koheren dengan hal-hal yang diimani sebagai wahyu Allah.

Filsafat dan Teologi pada dasarnya sama-sama berusaha mencari


kebenaran secara ilmiah dengan mengadakan penyelidikan secara metodis,
sistematis dan kritis. Hanya keduanya dapat dibedakan. Pengetahuan
filosofis bersifat adikodrati, mendasarkan penyelidikannya hanya melalui
penalaran akalbudi, sedangkan pengetahuan teologis bersifat adi-kodrati
karena berdasarkan pada wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan
insani, berdasarkan hubungan yang langsung dengan Allah karena
berdasarkan kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah.
Karena apa yang diwahyukan Tuhan itu diterima manusia dalam iman sebab
7
Tuhanlah yang mengatakannya. Manusia percaya kepada Tuhan itu.
Kepercayaan itu anugerah Tuhan sendiri kepada manusia. Anugerah ini jauh
melebihi kemampuan yang dimiliki manusia demi kodratnya untuk
mengetahui. Dan anugerah iman bersifat adi-kodrati. Sebab teologi adalah
refleksi ilmiah atas iman itu.

Teologi sebagai ilmu iman, mempelajari wahyu Allah. Maka obyek


teologi ialah apa yang diwahyukan Allah. Sedangkan isi iman seseorang
tergantung pada agama yang dianut oleh orang yang bersangkutan. Teologi
Yahudi, Kristiani dan Islam sama-sama merenungkan secara ilmiah apa yang
oleh penganutnya diimani sebagai wahyu Allah kepada manusia.
Perbedaannya terletak dalam sudut pandangan yang ditentukan masing-
masing agama. Sudut pandangan itulah obyek formal masing-masing teologi
tersebut.

Teologi Sebagai Perbuatan Beriman

Teologi adalah pengetahuan adi-kodrati yang disusun secara metodis,


sistematis dan koheren dengan seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara
sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia di hadapan Allah,
Yang Mutlak, Yang Kudus, yang diakui sebagai sumber segala kehidupan di
dalam alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui
pendidikan orang tua di rumah, tetapi juga melalui usaha sendiri, misalnya
dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang Pemberi Hidup itu.
Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan.

Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap,


perilaku dan perbuatannya terhadap sesamanya dan lingkungan hidupnya.
Jika iman yang sama dimiliki oleh sekelompok orang, maka terjadilah proses
pelembagaan. Proses itu yang disebut sebagai usaha yang sifatnya metodis,
sistematis dan koheren dengan kenyataan berupa kesadaran akan kehadiran
Sang Realitas yang mengatasi hidup.

Pelembagaan itu misalnya berupa tata cara bagaimana kelompok itu


ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, berupa tata nilai dan
8
aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam
kegiatan sehari-hari, serta berupa ajaran atau isi iman untuk dikomunisikan
atau disiarkan dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, maka lahirlah
apa yang disebut agama. Karena itu agama adalah wujud social dari iman.

Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan di sini pantas


disebut sebagai pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal dari
manusia, yang ingin menemukan hakikat hidupnya di duni ini dalam
hubungan dengan Sang Sumber Hidup dan Kehidupan. Manusia meniti dan
menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas”
nyata pada agama-agama samawi. Allah mengambil inisiatif mewahyukan
kehendakNya kepada manusia, dan karena itu iman adalah tanggapan
manusia atas “sapaan” Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi mereflesikan hubungan Allah dengan manusia.


Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara yang lebih
baik serta ingin mempertanggungjawabkannya, sebagaimana apa yang
dikatakan Rasul Paulus: “Aku tahu kepada siapa aku percaya” (bdk. 1 Tim
1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan ajaran agama. Dalam
teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (= Akal yang menyelidi isi
iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan
iman yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

1.4 Teologi Sebagai Ilmu Gereja


Teologi sebagai ilmu Gereja berarti teologi tidak mungkin dijalankan
lepas dari Gereja. Karena pertama, teologi itu suatu kegiatan beriman.
Beriman berarti percaya seperti yang Gereja percaya, sesuai yang diajarkan
Kristus. Kita orang Katolik memegang beberapa keyakinan pokok mengenai
Tuhan dan agama. Kita menerima semua pernyataan itu sebagai yang benar.
Kita percaya bahwa ada tiga pribadi dalam diri Allah; Yesus Kristus itu
sungguh Allah dan sungguh manusia, ada tujuh sakramen, Paus adalah
pemimpin Gereja Universal dan Uskup adalah pemimpin Gereja Partikular.

Kedua, teologi tidak lepas dari Gereja karena teologi juga harus
terlaksana di dalam suatu komunitas ilmiah. Sifat keilmiahan dari teologi
9
harus dikomunikasikan dan diatur dalam kelompok ilmiah pula. Misalnya
melalui pertukaran pendapat atau pandangan; melalui dialog yang terbuka
dan saling menerima dengan pemikiran-pemikiran yang telah dikemukakan
oleh ilmuwan yang lain. Ia berdialog dengan pemikiran teologis dari para
teolog, baik dari masa lampau maupun yang hidup pada masa sekarang ini.

Ketiga, karena Gereja itu hidup dan berkembang, maka teologi


bertugas untuk menafsirkan hidup dan perkembangan Gereja secara terus
menerus. Keilmuan teologi mengabdi kepada kebenaran. Konsili Vatikan II
menyatakan secara khusus dan ilmiah, teologi “menyelidiki dalam terang
iman segala kebenaran yang tersimpan dalam rahasia Kristus” (bdk. DV 24).
Dengan kata lain teologi bertugas untuk merefleksikan iman pada konteks
zamannya. Karena itu teologi pun harus kritis dalam penyelidikan atas iman.

Karena unsur kritis inilah, maka sering ada antipasti terhadap teologi.
Selain itu juga Bahasa teologi yang terkadang terasa terlalu intelektual dan
kering. Dalam kehidupan bergereja, lebih terasa bahwa pengungkapan
gagasan dalam Bahasa yang menggugah perasaan, penuh kehangatan,
kedamaian dengan contoh-contoh dari praksis pastoral lebih dibutuhkan.
Terasa bahwa gagasan-gagasan teologis ilmiah itu kurang menjawab
langsung kebutuhan pastoral. Oleh karena itu dalam kehidupan menggereja
sangat diperlukan interaksi yang lebih besar antara umat, petugas pastoral
dan teolog dalam menerjemahkan gagasan-gagasan teologis itu.

Teologi adalah refleksi ilmiah atas iman. Iman itu sebagai sebuah
ilmu dan iman itu ilmu dalam Gereja. Lalu bagaimana teologi itu harus
dijalankan. Karena berteologi artinya berefleksi tentang iman Gereja. Iman
Gereja itu menyangkut pengalaman hidup Gereja. Maka dari mana kita harus
mulai, kita mulai refleksi teologis dari hidup Gereja. Hidup Gereja menjadi
titik tolak berteologi.

Karena itu kita akan membahas Hidup Gereja sebagai Titik Tolak
Teologi dalam beberapa sub pokok bahasan. Pertama, Mengapa harus mulai
dengan Hidup Gereja. Kedua, Hidup Gereja dan magisterium. Ketiga, Hidup

10
Gereja sebagai satu fenomena kebudayaan. Keempat, Hidup Gereja sebagai
satu peristiwa Sabda. Kelima, Penafsiran Hidup Gereja secara teologis.

Pengukuran Hasil Belajar

1. Jelaskan apa arti teologi !


2. Jelaskan hubungan Teologi dengan Filsafat!
3. Jelaskanlah pengertian Teologi sebagai Ilmu Iman dan Ilmu
Gereja!
4. Mengapa teologi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan Gereja?
5. Mengapa kita perlu berteologi?

11
BAB 2
GEREJA SEBAGAI TITIK TOLAK TEOLOGI

2.1. Mengapa harus mulai dengan Hidup Gereja

Karena iman ditemukan dalam Gereja. Gereja muncul dari iman dan
tobat orang-orang yang percaya kepada Kristus. Karena iman kepada Kristus,
para pengikut Kristus itu berhimpun dalam satu persekutuan yang disebut
Gereja. Di dalam persekutuan itu, iman dihayati dalam perilaku hidup sehari-
hari. Hal itu selaras dengan apa yang dicita-citakan dan dijalankan oleh
jemaat awal (bdk. Kis 2:41-47), perihal cara hidup jemaat. Iman itu
diteguhkan dan dihayati dengan saling melayani, saling menghibur dan saling
menguatkan satu sama lain.

Selain itu juga karena teologi adalah suatu reflesi iman untuk
membangun Gereja. Pembangunan ini tidak mungkin terjadi kalau orang
tidak mengenal kehidupan Gereja, dan tidak ada orang yang mengadakan
refleksi kritis atas visi dan misi Gereja. Demikianlah Gereja dan teologi
saling membutuhkan pada pembangunan Gereja itu.

2.2. Hidup Gereja dan Magisterium

Iman direfleksikan dalam konteks tradisi. Iman pribadi ditempatkan


dalam sejarah pewahyuan yang berpusat pada Kristus. Dengan “tradisi”
dimaksudkan pengalaman iman seluruh Gereja, mulai dengan Gereja purba
sampai dengan pengalaman iman Gereja zaman sekarang. Tradisi itu tidak
sama dengan rumus-rumus pengungkapan iman. Memang tradisi hanya dapat
didekati melalui ungkapan, tetapi rumus-rumus selalu harus dilihat sebagai
pengungkapan iman yang hidup. Oleh karena itu perlu menafsirkan dan
merumuskan kembali pengungkapan iman dari generasi yang mendahului.
Namun pada pokoknya harus diterima bahwa iman yang diungkapkan dahulu
sama dengan iman Gereja sekarang, karena Roh yang menggerakkan Gereja
dari semula tetap menghidupkan iman Gereja sampai sekarang.
12
Maka yang perlu dalam refleksi teologis adalah kesadaran akan
pluralitas atau keragaman pengungkapan dalam tradisi. Keanekaragaman itu
sudah terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Kristologi penginjil
Sinoptik berbeda dengan Kristologi penginjil Yohanes dan Kristologi Santo
Paulus. Namun tidak hanya keanekaragaman rumusan iman antara orang-
orang sezaman, khususnya antara abad-abad ada perbedaan rumusan yang
besar, menurut perkembangan masyarakat atau kebudayaan. Tidak dapat
dikatakan bahwa perkembangan Gereja dan perkembangan sejarah Gereja
adalah perkembangan yang lurus. Perkembangan dogmatis tidak berarti
penyadaran dan pemahaman dogma kristiani yang semakin sempurna.

Memang dogma harus diteruskan, semakin dipahami dan dimengerti,


namun pemahaman itu menjawab pertanyaan-pertanyaan pada saat itu hidup
dalam Gereja dan masyarakat. Maka perumusan yang berbeda-beda tidak
selalu berarti perkembangan kea rah pemahaman yang semakin jelas. Dalam
perkembangan dogma dilihat bagaimana kekayaan iman kristiani
mengungkapkan diri dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Oleh
sebab itu rumusan tradisi merupakan tantangan dan konfrontasi bagi proses
penyadaran dan pengungkapan iman Gereja sekarang. Apa yang ditemukan
dalam tradisi bukanlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaa sekarang,
melainkan model-model yang mengarahkan dan membantu kesadaran dan
perumusan iman umat sekarang.

Sebagai contoh dapatlah disebut Revolusi Perancis (1789) dan


dampaknya bagi Gereja. Menurut pandangan tradisional setiap kekuasaan itu
berasal dari atas atau bersifat ilahi. Kewibawaan menjadi kriterium
kebenaran dan agama Katolik di banyak tempat menjadi agama Negara.
Revolusi Perancis menggugat pandangan tradisional ini. Kekuasaan itu tidak
lagi berasal dari atas, tetapi dari rakyat berdasarkan persamaan hak,
kebebasan dan persaudaraan. Akal budi menjadi kriterium kebenaran dan
Gereja tidak berada di atas Negara, melainkan dalam suatu Negara yang
bebas. Kebebasan berpikir menjadi panglima. Tentu saja pada awalnya
pandangan ini membawa dampak yang tidak menetramkan bagi Gereja.

13
Gereja merasa kehilangan kekuasaannya. Ketaatan umat yang sampai
sekarang dinikmatinya dengan tentram mendapat ancaman. Kekerasan dan
kekacauan muncul di mana-mana. Gereja lalu berpendapat bahwa kebebasan
dan persamaan hanya membawa kekerasan dan anarki. Pandangan ini jelas
terikat pada zaman.

Dalam konteks ini pula perlulah dipahami dogma Infallibilitas Paus


(= Paus yang tidak dapat sesat) yang diumumkan pada tahun 1871 oleh Paus
Pius IX. Dogma ini baru dirumuskan pada waktu itu untuk melindungi iman
umat menghadapi teori-teori sosialis dan rasionalis yang menggugat setiap
kewibawan rohani. Karena bersifat apologetis atau pembelaan, maka ajaran
magisterium dalam rumusannya biasanya hanya menekankan salah satu
aspek kebenaran yang dibela khususnya aspek yang diserang atau disangkal.

2.3. Hidup Gereja Sebagai Satu Fenomena Kebudayaan

Hidup Gereja menunjukkan ciri-ciri suatu kebudayaan. Gereja


mengungkapkan imannya dengan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu baik
yang bersifat kebendaan, seperti bangunan gereja, lukisan, tempat ziarah,
maupun yang bersifat kelembagaan dan sosial seperti bentuk-bentuk hidup
membiara, hidup keluarga, perayaan, dan lain sebagainya. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan kebudayaan adalah keseluruhan cara manusia dari suatu
zaman dan daerah mengungkapkan dirinya dan memberi makna kepada
hidupnya baik dalam bidang keagamaan maupun dalam penataan hidup
bersama seperti adat istiadat, etiket, moral, politik, hokum, dan sarana-sarana
untuk memelihara hidup sehari-hari seperti pengobatan dan teknologi.
Kebudayaan itu dinamis, berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah
dan kemampuannya untuk menghadapi situasi-situasi baru.

Konsili Vatikan II menyadari bahwa menyadari bahwa mereka yang


belum mengenal Injil juga diarahkan kepada umat Allah dengan berbagai
alasan (bdk. LG 16). Kesadaran ini merupakan alasan pokok dan utama
untuk menempatkan pengalaman iman bukan hanya dalam konteks tradisi
kristiani, tetapi juga dalam konteks kebudayaan setempat. Karena kesatuan
yang fundamental ini bolehlah diterima bahwa kebudayaan sekeliling tidak
14
hanya mempengaruhi pengungkapan dan perumusan iman, melainkan
langsung mengena pada pengalaman iman itu sendiri. Malahan dapat
diharapkan bahwa dalam pertemuan dengan tradisi keagamaan bukan
kristiani dalam lingkungan kebudayaan yang sama, kesadaran pengalaman
iman kristiani sendiri dan juga arti dari pengalaman itu menjadi lebih nyata.

Namun tetap ada perbedaan antara pengalaman kristiani dan


pengalaman keagamaan yang bukan kristiani, dan perbedaan itu perlu
disadari. Refleksi atas kebudayaan harus menolong orang untuk memahami
pengalaman kristiani. Refleksi atas kebudayaan tidak dimaksud untuk
mencapai suatu pengertian yang mendalam mengenai sejarah dan latar
belakang kebudayaan setempat, melainkan untuk membantu pemahaman
pengalaman iman. Hal ini perlu disadari dengan baik bila kita mau
mengembangkan kemampuan berteologi kita dengan bertitik tolak dari hidup
Gereja.

2.4. Hidup Gereja Sebagai Suatu Peristiwa Bahasa atau Sabda

Hidup Gereja sebagai suatu peristiwa sabda berarti hidup Gereja itu
lahir dari sabda (bdk. 1 Ptr 1:23; Yak 1:18; Yoh 1:12-13) dan berkembang
karena pewartaan sabda dan jawaban manusia atas pewartaan itu (bdk. Rm
10:14-15). Oleh sebab itu Gereja ada untuk melaksanakan dan melanjutkan
hidup Kristus. Artinya Gereja bertugas untuk merefleksikan dan menyatakan
karya Kristus. Refleksi dan pernyataan itu kelihatan dalam Bahasa Gereja,
yang menunjukkan salah satu kekhasannya. Manakah ciri-ciri Bahasa Gereja
itu? Peristiwa Bahasa Gereja terdiri atas tiga ciri yatu:

Pertama, mengikutsertakan atau melibatkan pendengar. Hal ini


nampak jelas dalam ibadat atau liturgi Gereja. Misalnya, Allah bukan hanya
disapa sebaga Bapa, tetapi sebagai Bapa Kami. Doa umat ditutup dengan
seruan: “Kami mohon kabulkanlah doa kami ya Tuhan” menyatakan
pengharapan umat yang berperan serta dalam ibadat itu kepada: “Ya Tuhan,
Bapa yang berbelaskasihan, yang mendengarkan permohonan anak-
anakNya.”

15
Kedua, kaya dengan penggunaan Bahasa kiasan. Bahasa kiasan tidak
bermaksud untuk mengatakan hal atau fakta dari apa yang terucapkan, tetapi
untuk memberikan gambaran akan sesuatu agar dapat lebih dimengerti; dan
itu terikat pada lingkungan dan kebudayaan masyarakat setempat pengguna
bahasa tersebut. Misalnya penginjil Lukas menggambarkan Yesus sebagai
Terang yang menyelamatkan dengan kata-kata kiasan ini: “Surya pagi dari
tempat yang tinggi untuk menyinari mereka yang tinggal dalam kegelapan
dan naungan maut, untuk mengarahkan kaki kita ke jalan damai sejahtera”
(bdk. Luk 1:78-79).

Ketiga, terikat pada bentuk-bentuk Bahasa dari masa yang lampau.


Sejarah, latar belakang, konteks dan jenis literer kata atau istilah atau bahasa
asli harus diperhatikan untuk dapat mengerti kata atau istilah yang
digunakan. Misalnya taman eden, perjanjian Allah dengan Israel, kurban,
darah perjanjian, kedatangan Anak Manusia, dan lain sebagainya. Atas dasar
pengertian yang tepat pada bahasa asli itu, orang dapat menafsirkan untuk
menangkap maksud yang terungkap dalam kata atau istilah bahasa yang
digunakan itu.

16
BAB 3
SUMBER DAN METODE TEOLOGI

Pendahuluan
Teologi adalah refleksi atas iman sebagaimana yang diwartakan dalam Kitab
Suci dan diajarkan oleh Gereja. Proses komunikasi iman dari satu generasi
kepada generasi berikut dan di antara orang sezaman disebut Tradisi. Karena
itu sumber teologi adalah Kitab Suci, Tradisi dan Buku-buku lain yang telah
dihasilkan oleh teologi biblis dan sistematis yang dipakai sebagai sarana
membantu penyelidikan Kitab Suci yang lebih sehat. Dalam bagian ini kita
akan berturut-turut membahas: Teologi dan Kitab Suci; Kitab Suci dan
Tradisi, Saksi-saksi utama dalam Tradisi serta Penafsiran dokumen-dokumen
dalam Tradisi.

Teologi memiliki tiga sumber, yakni :


1. Alkitab, sebagai sumber yang paling utama yang menjadi otoritas
tertinggi dan mutlak bagi iman dan kehidupan Kristen.
2. Tradisi gereja, khususnya dari Bapak-bapak Gereja, dan
perkembangan pengajaran di gereja dari jaman ke jaman, yaitu
tentang apa yang diterima/ditolak oleh gereja sepanjang sejarah.
3. Buku-buku Lain, sumber-sumber lain berasal dari buku-buku yang
sudah "jadi" yang dihasilkan oleh teologia biblika, historika atau
filosofika untuk dipergunakan sebagai sarana membantu menyelidiki
Alkitab dengan lebih sehat.

3.1. Teologi dan Kitab Suci

Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi (“Dei Verbum” - DV) dari


Konsili Vatikan II menyatakan tugas wewenang mengajar Gereja adalah
menafsir secara otentik sabda Allah yang tertulis dan diturukan (Bdk. DV
10), artinya sabda Allah yang disampaikan dalam Kitab Suci dan Tradisi.
Kekhasan Hirarki dalam hal mengajar ialah melaksanakannya secara otentik,
yaitu dengan wewenang atau atas nama Kristus.
17
Namun yang menafsirkan sabda Allah yang tertulis dan diturunkan
bukan hanya Hirarki. Konstitusi dogmatis tentang Gereja (“Lumen Gentium”
– LG) menegaskan bahwa “para awam hendaknya dengan tekun berusaha
makin mendalami arti kebenaran yang diwahyukan, dan sepenuh hati
memohon kurnia kebijaksanaan dari Allah” (LG 35). “Hendaknya lebih
banyak kaum awam menerima pendidikan yang memadai dalam ilmu-ilmu
Gerejawi. Hendaknya mereka diberi kebebasan yang sewajarnya untuk
mengadakan penyelididikan, mengembangkan pemikiran, serta di bidang-
bidang keahlian mereka mengutarakan pandangan mereka dengan rendah hati
dan dengan tegas” (GS 62). Dan pada “setiap bangsa ditumbuhkan
kemampuan untuk mengungkapkan warta Kristus dengan caranya sendiri”
(GS 44).

Karena itu tugas para teolog adalah secara khusus mencari


pemahaman lebih mendalam mengenai Sabda Allah yang terdapat dalam
Kitab Suci dan diteruskan dalam Tradisi. Tugas ini dilakukan dalam kerja
sama dengan wewenang mengajar Gereja, yang dibebani tanggung jawab
pemeliharaan iman. Teologi sebagai ilmu berperan khusus dalam rangka
komunikasi iman. Namun ditegaskan juga bahwa kebebasan teologi
janganlah menjadi penghalang kesatuan iman dan kesatuan Gereja.
Khususnya mereka yang mengajar teologi dalam lembaga pendidikan,
haruslah mempunyai mandat dari otoritas Gereja yang berwewenang. Mereka
bukan hanya ahli teologi, melainkan juga petugas Gerejawi.

Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan hubungan antara


Teologi dan Kitab Suci. Kitab Suci adalah jiwa teologi. Alasan pertama,
karena Kitab Suci merupakan buku iman. Kitab Suci adalah sabda Allah
yang dalam bentuk tulisan-tulisan manusia yang disampaikan kepada kita.
Karenanya tidak ada buku yang lebih penting, perlu dan berharga daripada
Kitab Suci. Konstitusi dogmatis Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 11 dan 16
menyebutkan alasannya. Karena Kitab Suci ditulis atas ilham dan dorongan
Roh Kudus. Tidak cukuplah bagi kita mengetahui saja bahwa Allah berbicara
dalam Kitab Suci, melainkan juga harus mengerti apa yang difirmankanNya
kepada kita. Sebagaimana Rasul Paulus mengingatkan Timotius dalam
18
pengajarannya, demikianlah kita juga. Karena seluruh Kitab Suci diilhamkan
oleh Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan,
untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”
(bdk. 2 Tim 3:16; 2 Ptr 1:19-21). Kitab Suci adalah hukum dan kaidah
tertinggi dari iman Gereja.
Alasan kedua, apa artinya Kitab Suci harus menjadi jiwa
teologi. Artinya dalam merefleksikan persoalan-persoalan hidup Gereja,
Kitab Suci tidak hanya dijadikan titik tolak berteologi, melainkan juga bahwa
seluruh proses teologis itu diarahkan pada pengertian dan penjelasan sabda
Allah. Isi sabda Allah harus tampak dalam setiap tahap refleksi tersebut.
Dalam arti ini Kitab Suci dapat menjadi jiwa teologi.

3.2. Kitab Suci dan Tradisi

Tradisi adalah penerusan pewartaan rasuli yang tidak tertulis. Maka


Konstitusi dogmatis tentang Wahyu Ilahi, “Dei Verbum” menegaskan bahwa
yang dimaksudkan tradisi adalah segala sesuatu yang memenuhi syarat
pertama memiliki asal-usul ilahi-rasuli dan syarat kedua yaitu menyangkut
iman dan moral (Bdk. DV 11).

Menurut Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, “Dei Verbum”


(DV 9) mengatakan Kitab Suci dan Tradisi berhubungan sangat erat dan
berpadu karena keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama dan memiliki
tujuan yang sama. Dikatakan memiliki tujuan yang sama karena Kitab Suci
adalah penuturan Allah sejauh dituangkan ke dalam tulisan dengan ilham
Roh Kudus; sedangkan Tradisi suci meneruskan secara utuh sabda Allah
yang dipercayakan Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul dan para
pengganti mereka. Karena itu Tradisi suci dan Kitab Suci harus dijunjung
tinggi dan diterima dengan perasaan saleh dan hormat yang sama.

Namun Kitab Suci memiliki kualitas istimewa dan unik karena ditulis
dengan ilham atau inspirasi ilahi. Inspirasi ini memberikan kepadanya suatu
fungsi khusus yang tak tergantikan dalam meneruskan wahyu. Tetapi
kekhususan itu tidak membuat Kitab suci menjadi satu-satunya sarana

19
penerusan wahyu. Kitab suci dalam hubungan dengaan wahyu, hanya
merupakan salah satu bentuk kesaksian. Bentuk ini tidak lengkap karena
pengalaman yang diperoleh para Rasul dari kontak langsung dengan Kristus,
sang Pewahyu dan wahyu sendiri, mengatasi dan melebihi tulisan-tulisan
yang memberi kesaksian tentangNya. Kitab Suci sendiri berasal dari
pewartaan rasuli yang hidup. Para rasul meninggalkan dalam Gereja tidak
hanya kitab-kitab, tetapi juga pewartaan lisan yang hidup, segala yang telah
mereka perbuat dan mereka ajarkan tanpa ditulis, oleh mereka diterukan.

3.3. Saksi- Saksi Utama dalam Tradisi

Tradisi yang berasal dari para Rasul itu berkat bantuan Roh Kudus
berkembang dalam Gereja. Para rasul telah meneruskannya mencakup segala
sesuatu yang membantu umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan
berkembang dalam imannya. Di antara semua kesaksian Tradisi itu kita
pantas menyebut dua saksi utama Tradisi yaitu Ungkapan-ungkapan para
Bapa Gereja dan Liturgi Gereja yaitu semua praktek dan hidup keagamaan
seluruh persekutuan Gerejawi.

3.3.1. Ungkapan-ungkapan para Bapa Gereja

Menurut “Dei Verbum” artikel 8, ungkapan-ungkapan para Bapa


Gereja memberi kesaksian akan Tradisi. Dalam Dei Verbum disebutkan
“para bapa Gereja yang suci” menunjukkan tokoh-tokoh, entah uskup atau
bukan, tapi yang memenuhi dua syarat, pertama yaitu hidupnya secara
relative dekat pada zaman Rasul dan kedua yaitu karya adan ajarannya diakui
sebagai hal yang benar untuk seluruh Gereja.

Para Bapa Gereja merupakan saksi Tradisi secara istimewa karena


wibawa mereka sebagai orang yang mengumpulkan perbendaharaan wahyu
dalam masa transisi dari zaman rasuli kepada generasi yang menyusul.
Kualitas mereka sebagai saksi Tradisi terletak dalam kesepakatan mereka
memberikan pengungkapan-pengungkapan baru kepada pewartaan para
rasul.

20
3.3.2. Liturgi Gereja yaitu praktek hidup keagamaan seluruh
persekutuan Gerejawi

Liturgi sebagai kesaksian yang hidup itu dipersembahkan oleh Gereja


dari dirinya sendiri. Sebagai umat yang percaya dan berdoa, Gereja
merayakan misteri keselamatan dalam bentuk doa dan menghadirkannya
dalam bentuk ibadat. Dalam Liturgi, Tradisi bagaikan dipadatkan. Pewartaan
rasuli yang masih aktif itu bergema dalam Liturgi. Karena itu keseluruhan
liturgi menghadirkan keseluruhan wahyu. Peristiwa-peristiwa wahyu dari
masa lampau diaktualkan dalam liturgi. Kalau dalam Kitab Suci, Injil
menjadi dokumen dan tunduk pada kondisi yang statis, maka dalam liturgi
itu, Injil menjadi sabda yang diucapkan kembali oleh Kristus.

Liturgi tidak menciptakan iman tetapi memberi kesaksian tentang


adanya iman, karena liturgy menghadirkan wahyu sebagaimana dinyatakan
di dalam Gereja dan diimani oleh umat Kristen. Norma iman yang
menetapkan aturan doa dan memberikan kepadanya ciri kekatolikannya
sejati, bukannya doa dalam liturgi menentukan norma iman. Demikianlah arti
semboyan: “Lex orandi lex credenda” artinya norma doa yaitu norma iman.

3.4. Saksi-saksi lain adalah Para Pujangga Gereja dan Magisterium

Dalam Gereja Barat ada empat Pujangga Gereja, yakni Paus


Gregorius Agung (540-604); Ambrosius dari Milano (339-397); Agustinus
dari Hippo (353-430) dan Hieronimus (342-420). Dalam Gereja Timur ada
empat Pujangga Gereja, yakni Basilius Agung (330-379); Gregorius dari
Nazianze (328-389); Yohanes Chrisostomus (347-407) dan Athanasius dari
Alexandria (296-373).

Paus Benediktus XIV (1675)-1758) merumuskan syarat-syarat untuk


diangkat menjadi pujangga Gereja. Paus Paulus VI menambahkan dua orang
wanita suci dalam deretan Pujangga Gereja yaitu Kathatina dari Siena (1347-
1380) dan Theresia dari Avilla (1515-1582).

21
Sebagai saksi utama Tradisi disebut juga Magisterium yaitu wewenang
mengajar Gereja. Kuasa mengajar ini dimiliki oleh seluruh dewan para
Uskup yang menjadi pengganti dewan para rasul dan masing-masing uskup
dalam kesatuan dengan Uskup Roma atau Paus (bdk. LG 20-25). Salah satu
penafsiran magisterium yang paling berwibawa adalah melalui Konsili
Ekumenis. Magisterium tidak membahas sistematis lengkap mengenai apa itu
iman, tetapi memberikan petunjuk yang perlu untuk menghadapai situasi
Gereja. Misalnya kita bisa sebutkan:

 Konsili Trente (1545-1553)


Konsili ini diadakan untuk menanggapi Reformasi. Dalam
bidang iman dan wahyu terdapat dua masalah yaitu di manakah kita
temukan wahyu dan kedua, apakah kita dibenarkan hanya oleh karena
iman dan bukan oleh karena perbuatan kita.
 Konsili Vatikan I (1869-1870)
 Konsili Vatikan II (1962-1965).

3.5. Ilmu Penafsiran Dokumen-Dokumen Tradisi

Penafsiran terhadap dokumen-dokumen Tradisi itu mempersyaratkan


pertama-tama bahwa sang teolog mampu membaca naskah-naskah asli dalam
bahasa aslinya. Untuk itu ia harus mengetahui latar-belakang sejrahnya, baik
politik, rohani, kebudayaan maupun lingkungan sosialnya yang
menyebabkan lahirnya dokumen itu. Dengan kemampuan awal yang dimiliki
itu, sang teolog melangkah ke tahap berikut yakni merenungkan maknanya
bagi Gereja pada konteks zamannya. Apa yang terjadi pada masa lampau,
kini dikomunikasikan atau diterjemahkan pada masa sekarang dan pada
orang-orang sezamannya. Dari tahap ini mengharuskan teolog untuk
berproses lebih lanjut. Buah renungan teologisnya menjadi bermakna bagi
kehidupan orang-orang sezamannya. Dan inilah sumbangan terbesar dari
studi penafsiran naskah-naskah kuno itu.

22
BAB 4
WAHYU DAN IMAN

Wahyu: Allah Menyapa Manusia

Kita sudah membicarakan sumber-sumber Teologi yaitu Kitab


Suci,Tradisi dan Magisterium. Sekarang kita mau mempelajari aspek
sistematis teologi yaitu wahyu dan iman. Secara berturut-turut kita
membahas, apakah hakikat wahyu itu; sifat dasar wahyu; asal-usul dan
maksud-tujuannya, obyek wahyu dan puncak wahyu.

Pengertian Wahyu
Wahyu merupakan tindakan Allah menyapa dan menyatakan diri
pada manusia. Yesus Kristus adalah puncak wahyu diri Allah. Penerusan
wahyu ini dismpaikan melalui para rasul dalam pewartaan mereka tentang
Yesus Kristus dan karya keselamatanNya. Dan akhirnya, fase kontinuitas
wahyu disampaikan secara tidak tertulis dengan istilah Tradisi maupun
tertulis yakni dalam Kitab Suci. Keduanya mengungkapkan wahyu diri Allah
yang dijamin oleh Allah melalui Roh Kudus. Dalam Tradisi, wahyu Allah
disampaikan secara verbal. Apa yang diterima para rasul dalam kontak
langsung dengan Yesus diteruskan dalam pewartaan secara lisan. Dengan
pewartaan tertulis, wahyu Allah tersebut diteruskan yakni dalam Kitab Suci.

Paham Wahyu dalam Kitab Suci.


Setelah zaman dahulu berakhir Allah berulang kali dan dalam berbagai cara
Ia berbicara kepada nenek moyang kita melalui nabi-nabi. Dan pada jaman

23
ini Allah berbicara kepada kita dengan perantaraan Putra-Nya yaitu Yesus
Kristus ( Ibr.1:1-21) dalam teks ini selain memjelaskan perbedaan esensial
antara wahyu dalam perjanjian lama dan perjanjian baru, tetapi juga
menunjukan sifat hakiki seluruh wahyu dalam alkitabiah. Dalam kitab suci
wahyu di rangkum dalam dua kata yaitu Allah berbicara. Allah keluar dari
keadaan yang tersembunyi dan secara aktif menyatakan diri, memberikan
kesaksian mengenai sikap, sifat, dan kehendakNya membuat diriNya dikenal
dan diakui sebagai Allah yang hidup.istilah yang digunakan dalam kitab suci
yang mengacu pada kenyataan yang kita tunjukkan dengan kata” wahyu” dan
“mewahyukan” itu berkisar pada perbuatan menyingkapkan, mengambil
selubung,membuka apa yang telah tertutup,menyampaikan apa yang
sebelumnya tak dikenal dan apa yang dahulu tersembunyi akan menjadi
nyata.

Allah keluar dari keadaannya yang tersembunyi aktif menyatakan diri,


memberi kesaksian tentang sikap, sifat dan kehendakNya, membuat dirinya
dikenal dan diakui. Kata “wahyu” mengacu pada: menyingkap, mengambil
selubung, membuka apa yang dulu tertutup, Menyampaikan apa yang
sebelumnya tidak dikenal atau diketahui. Pada hakikatnya, wahyu dalam
Kitab Suci dapat diringkas dalam dua kata ini: Allah berbicara.

Wahyu dalam perjanjian Lama

Surat ibrani 1:1-2 wahyu Allah terjadi paling utama yaitu melalui para
nabi.yang dinyatakan Tuhan adalah
kehendak,kemahakuasaan,kemuliaan ,keadilan dan kerahimanNya.

• KehendakNya- diwahyukan dalam hukum taurat (Maz 147:19).


Diwahyukan dalam hukum taurat.Ia memberitakan firmanNya kepada
yakub,ketetapan-ketetapan dan hukum –hukumNya kepada bangsa
Israel.wahyu bersifat kontinu( terus menerus) dan tetap. Wahyu selalu
terarah pada praktek hidup.
• Mahakuasa dan MuliaNya- lewat alam ciptaan (Maz 19:2) Yang
dinyatakan oleh Allah dalam ciptaanNya.Allah menyatakan diriNya
sebagai Allah yang hidup. Allah menyatakan diriNya sebagai Tuhan

24
yang adil dan berbelas kasih yakni memilih, membimbing, dan
melindungi umatNya.
• Allah yang hidup (Yos 3:10; UL 5:23; Maz 96:5; 97:7; Yes 40:12-26,
44:6)
• Tuhan yang adil dan berbelaskasih- memilih, membimbing dan
melindungi umat-Nya (Kel 19:4)
Yang dinyatakan Tuhan yaitu kehendak-Nya, kemahakuasaan, kemuliaan-
Nya dan keadilan serta kerahiman-Nya.

Wahyu dalam perjanjian Baru

Adalah wahyu dalam dan oleh Yesus Kristus, Anak Allah (Mat.17:5).
Sifatnya unik karena dua alasan yakni karena Yesuslah satu-satunya
pembawa wahyu dalam arti yang sesungguhnya dan sepenuhnya (Yoh
1:18),tidak seorang pun yang melihat Allah tetapi anak tunggal Allah yang di
pangkuan Allah yang menyatakannya. Dan karena Yesus merupakan satu-
satunya objek wahyu (Yoh 14:9-11).

Obyek Wahyu
Jelas bahwa yang menjadi subyek wahyu atau pelaku pewahyuan
adalah Allah sendiri. Timbul juga pertanyaan tentang obyek wahyu, atau
apakah yang diwahyukan oleh Allah? Menurut Dei Verbum, obyek wahyu
adalah “Diri Allah sendiri dan rahasia kehendakNya”. Yang dimaksudkan
dengan rahasia kehendakNya (bdk. Ef 1:9) ialah rencana Allah untuk
menyelamatkan manusia. Namun keselamatan manusia, menurut iman
Kristen justru terletak dalam persatuan mesra dengan Allah sendiri.

Oleh karena itu Allah sebagai keselamatan bagi manusia disebut


“keselamatan tak tercipta” (“gratia increata”). Ada juga “keselamatan
tercipta” (“gratia creata”) yaitu nilai-nilai seperti kesehatan, hidup sesudah
mati, rasa bahagia, dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan keselamatan
tak tercipta, keselamatan tercipta hanya bersifat akibat dan pelengkap.
Dengan kata lain, pada dasarnya Allah sendiri merupakan keselamatan bagi
manusia, dua obyek wahyu itu sebenarnya menjadi dwitunggal. Karena Allah
sendiri juga menjadi obyek yang diwahyukan, dan bukan hanya subyek yang
25
mewahyukan. Karena itu teologi memakai istilah “pewahyuan-diri” untuk
menunjukkan wahyu Allah kepada manusia.

Puncak Wahyu

Pada dasarnya wahyu merupakan pemberian diri Allah yang


mempersatukan manusia denganNya. Wahyu dalam arti penuh terjadi di
mana ada persatuan penuh Allah dengan manusia. Kita, manusia ini baru
sedang dalam perjalanan menuju persatuan penuh dengan Allah itu, tetapi
belum sampai. Namun demikian sudah ada manusia yang bersatu penuh
dengan Allah yaitu YESUS DARI NASARET. Dialah “kepenuhan wahyu”
(bdk. DV no. 2 & 4), sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh
kepenuhan keAllahan” (bdk. Kol 2:9; Kol 1:19).

Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum menjelaskan


mengapa Yesus Kristus terjadi kepenuhan wahyu, sehingga Dialah puncak
seluruh wahyu. Dasarnya yaitu Kristus itu Putera Allah sendiri, Sabda Allah
sendiri, Sabda kekal Allah yang diutus kepada kita. Seluruh Diri Kristus dan
seluruh hidupNya merupakan pelaksanaan kehadiran Allah di tengah-tengah
manusia. Hidup manusia Yesus sepenuhnya selaras dengan Allah. Maka
wahyu dalam arti penuh ialah Diri Yesus yang bersatu dengan Allah, Diri
Yesus yang berkat kebangkitanNya kini ada di dalam kemuliaan Allah Bapa
(bdk. DV no.4).

Kita yang masih berada di bumi ini, belum dapat mengalami dengan
sepenuhnya wahyu yang penuh itu. Baru kelak, “apabila Kristus menyatakan
diriNya, kita akan melihat Dia dalam keadaanNya yang sebenarnya” (bdk. 1
Yoh 3:2). Jadi sekarang ini kita belum mengalami Kristus Mulia secara
langsung dan penuh. Wahyu eskatologis kita masih kita nantikan. Namun
demikian sekarang ini juga kita sungguh mengenal Kristus melalui berbagai
ungkapanNya yang terbatas, yaitu melalui sabdaNya dan semua peristiwa
hidupNya dahulu, dan juga melalui karyaNya sekarang di dalam Gereja dan
dunia.

Justru karena kita sekarang sudah mengenalNya dan menuju kepada


kepenuhan pengenalan kelak, kita dijiwai dan disemangati oleh Roh Kudus
26
yang adalah Roh Kristus dan Roh Allah Bapa. Sejauh itu kita sekarang
mengalami wahyu batin Roh Kudus. Roh Kudus sebagai wahyu batin sudah
berkarya sebelum tarikh Masehi, yakni sebagai persiapan akan wahyu injili.
Dan Roh itu tetap berkarya sampai sekarang, sebagai lanjutan wahyu injili.
Kristus dan Roh bukanlah dua pewahyuan melainkan satu: Ia yaitu Roh
Kudus tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu
yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya (bdk. Yoh 16:13).

Wahyu dalam injil sinopsis

Perbuatan Yesus yang bersifat wahyu itu tidak terdapat suatu teologi wahyu
yang sistematis sebab sebagai kesaksian iman angkatan pasca-Paskah yang
pertama dan kedua, Injil Sinoptik merupakan pewartaan yang hidup. Menurut
kesaksian murid-murid beriman, Allah telah menawarkan keselamatan (Mat
10:26/Luk12:2) dan amanat Yesus untuk mencintai orang kecil (Mat
11:25/Luk 10:21-22)
Mengemukakan perbuatan dan perkataan Yesus yang bersifat wahyu itu tidak
terdapat suatu teologi wahyu yang sistematis karena sebagai kesaksian iman
angkatan pasca-paskah yang pertama dan kedua.injil sinoptik merupakan
endapan tertulis bukan dari refleksi sistematis melainkan dari pewartaan yang
hidup. Dua sabda Yesus yang yang disampaikan oleh injil sinoptik,tawaran
keselamatan itu diungkapkan sebagai penyingkapan dari apa yang
tersembunyi.

Secara lebih refleksif, uraian paham wahyu terutama terdapat pada surat-
surat paulusdan tulisa Yohanes.kata yang biasanya dipakai rasul paulus untuk
menunjuk kepada wahyu, yaitu apokaluptein (menyingkap,mengambil
selubung,menyatakan) dan phaneroun (memperkenalkan,menjelaskan).
Terminology ( istilah) dalam hal ini yaitu rahasia yang dahulu tersembunyi
ataupun didiamkan itu kini dinyatakan dan dengan demikian memberikan
kebijaksanaan rohani.istilah ini seluruhnya dapat dijelaskan dari bahasa
sastra hikmat dan apokaliptik zaman yudaisme.

Yang dimaksudkan paulus dengan wahyu adalah menyingkapkan rencana


Allah tentang keselamtan dalam kristus dan juga tentang penghakiman yang
adil.Paham wahyu menurut W. Grossouw dan J. de Fraine,SJ.
27
Pelaku wahyu.Arti wahyu yang pertama adalah Allah Sasaran wahyu Kepada
semua orang baik,orang yahudi maupun orang yunani.kepada segala
bangsa.Wahyu yang masih dinantikan.Pernyataan kristus dengan semarak
dan mulia bila ia kembali di akhir jaman.pada saat itu akan dinyatakan juga
kemuliaan kita bersama dengan Dia. Kebangkitan kita akan menampakkan
dalam tubuh kita kemuliaan surgawi anak –anak Allah kelak.
Isi wahyu Ialah misteri sang kristus dan Yesus Kristus sendiri. Apa yang
selanjutnya disebutkan paulus sebagai objek wahyu itu selalu berpautan
dengan kenyataan keselamatan yang utama yaitu kebenaran Allah yang
membawa keselamatan.pandangan sang rasul para bangsa mengenai
rencana penyelamatan taurat lebih berfungsi negatif yakni pernyataan
dosa,baru berkat hukum taurat itu dosa menampakkan dengan
sepenuhnya.hakikat yang sebenarnya kuasa adidaya yang bermusuhan
dengan Allah.yang tidak termasuk wahyu khusus Kristiani-Yahudiini ialah
apa yang lazim disebut wahyu umum yang bersifat kodrati atau
alamiah.wahyu diperoleh berkat pengalaman indrawi,akal budi,dan intuisi
rohaniyang dimiliki manusia demi kodratnya dan yang memungkinkannya
merefleksikan asal usul alam ciptaan dan berkat suara hati.

Sikap manusia terhadap Wahyu

Harus percaya yang oleh yohanes kadang-kadang disebut “melihat”.


Tidak seorangpun yang dating kepada-Ku jika ia tidak ditarik oleh
Bapa.iman juga hal yang diperoleh. Pandangan yohanes tentang eksistensi
kristiani yang dianggapnya lebih sebagai suatu yang dipunyai,dimiliki dari
pada pandangan paulus yang lebih dinamis sebagai suatu yang
dinantikan.pandangan yohanes dan paulus bersesuaian lagi bila yohanes
berbicara mengenai kedatangan-Nya yaitu apabila kristus akan menyatakan
dirinNya,kita akan sama seperti dia sebab kita akan melihaat dia dalam
keadaan yang sebenarnya .sikap konkret dari manusia dari dunia dan orang
yahudi terhadap wahyu di dalam kristus terhadap terang itu telah membuat
suasana hati yohanes menjadi suram.

Wahyu kodrati tidak ditemukan pada Yohanes.ia hanya mengenal wahyu


dalam arti yang penuh yakni wahyu anak dan wahyu bapak melalui anak
28
yang seluruhnya bersifat adi kodrati dalam firman yang telah menjadi
manusia.

Surat Paulus

Kata yang biasa dipakai rasul Paulus untuk menunjuk kepada wahyu,
yaitu apokaluptein (menyingkapkan, mengambil selubung, menyatakan)
dan phaneroun (memperkenalkan, menjelaskan). Terminologi yang
digunakan Paulus yaitu “rahasia” yang dahulu tersembunyi, sekarang
dinyatakan dan dengan demikian memberi kebijaksanaan rohani.
Paulus dalam Perjanjian Baru memakai istilah untuk menyatakan wahyu:
• Menyingkapkan
• Mengambil selubung
• Menyatakan
• Memperkenalkan
• Menjelaskan
• Rahasia yang dahulu tersembunyi
• Kebijaksanaan rohani
Maksud Paulus dengan “wahyu” ialah penyingkapan rencana Allah tentang
keselamatan dalam Kristus (Rm 16:25-27) dan juga tentang penghakiman
yang adil (Rm 2:5; 1 Kor 3:13)
Wahyu-aktif personal # kebendaan, tidak tertutup, masa lampau tetapi
perbuatan Allah yang eskatologis. Wahyu- tindakan penyelamatan yagn
berdaya cipta berupa penyampaian pengetahuan dengan jalan intelektual
belaka.
 Tulisan Yohanes
Pengarang Injil Yohanes memiliki keunikan dalam menyatakan Wahyu:
Yohanes memakai kata-kata: terang/kegelapan, melihat dan menatap Allah
atau hal-hal surgawi. Kristus yang membawa Wahyu itu berdiri di pusat-
Sang Pewahyu, Dia adalah Hidup dan Terang (Yoh 1:4). Sikap manusia
terhadap wahyu- iman kepercayaan (Yohanes menyebutnya “melihat” (Yoh
6:40; 12:45; 14:19). Walaupun teologi Yohanes seluruhnya dikuasai oleh
gagasan wahyu namun terminologi yang berasal dari sastra hikmat dan
apokaliptik Yahudi tidak terdapat dalam Injil Yohanes.

29
Surat ibrani

Memandang Allah sebagai pihak ciri khas Wahyu.wahyu tidak ada maksud
kiasan. Didalam yesus perkataan yang berbuat dan perbuatan yang berkata
kata itu bertindih tepat,bersatu padu.yang patut di ingat yaitu berbicara bukan
secara langsung melainkan dengan perantaraan melalui orang pilihan (nabi-
nabi dan anaknya. Dalam pembicaraan dari manusia ( nabi- nabi dan
anakNya) kepada manusia( nenek moyang) terjadilah wahyu Allah. Wahyu
yang terakhir adalah Yesus Kristus.dari berbagai segi sifat yang kokoh dan
teguh membuat kepercayaan itu stabil tetapi bukan statis.

Kitab wahyu

Pemenuhan janji kristus dalam injil Yohanes dan menunjukan keterarahan


batiniah dari hidup kristiani menuju kemenangan pada akhir zaman. Karena
wafat,kebangkitan,dan kenaikanNya ke surga, kristus di tetapkan sebagai
hakim eskatologis.

Konsili Vatikan II mengembangkan pandangannya secara


menyeluruh tentang Wahyu dan bertanya apakah wahyu itu pada hakikatnya.
Pertanyaan ini tidak dapat ditanyakan oleh Konsili Trente dan Vatikan I,
karena kedua konsili ini harus menghadapi aliran sesat dan bermaksud
mengoreksi pendapat-pendapat yang keliru.

Konsili Trente (1545-1563) menghadapi gerakan Reformasi yang


berpendapat bahwa wahyu sampai kepada kita sekarang hanya melalui Kitab
Suci saja (“Sola Scriptura”). Melawan pendapat Reformasi ini konsili Trente
menegaskan bahwa wahyu diteruskan bukan hanya melalui Kitab Suci tetapi
juga melalui Tradisi Lisan. Jadi Trente tidak bertanya apakah wahyu itu pada
hakikatnya melainkan bagaimanakah wahyu itu sampai kepada kita sekarang.
Bukan hakikat wahyu yang dibahas oleh Trente tetapi cara wahyu itu
diteruskan.

Konsili Vatikan I (1869-1870) menghadapi gerakan Modernisme


yang berusaha mengintegrasikan hasil ilmu pengetahuan modern ke dalam
iman, tetapi dalam praktek sering cenderung mengorbankan iman demi ilmu

30
pengetahuan. Kebenaran iman yang tidak dapat dimengerti dengan akal budi
insani itu sering ditolak oleh kaum Modernis. Melawan Modernisme ini
Vatikan I menyatakan bahwa kebenaran iman yang tidak dapat dipahami
dengan cahaya kodrati akal budi manusia, harus diterima oleh orang beriman,
sebab diwahyukan oleh Allah yang tidak dapat sesat atau pun menyesatkan.
Oleh karena itu jelaslah Vatikan I juga tidak bertanya apakah wahyu itu
sebenarnya, melainkan menanyakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
Vatikan I tidak memandang wahyu secara menyeluruh melainkan
memandangnya dari sudut pengetahuan saja.

Berbeda dengan Trente dan Konsili Vatikan I, Vatikan II


mengarahkan pandangannya kepada keseluruhannya dan bertanya apakah
wahyu itu sebenarnya. Untuk menjawab pertanyaan ini, Vatikan II bertolak
bukan dari gagasan-gagasan teoretis melainkan dari fakta wahyu: “Dalam
kebaikan dan kebijaksanaanNya, Allah berkenan mewahyukan diriNya dan
menyatakan rahasia kehendakNya (bdk. Ef 1:9). Berdasarkan kehendak Allah
ini, manusia melalui Kristus, Sabda yang menjadi daging, di dalam Roh
Kudus menemukan jalan kepada Bapa dan mengambil bagian dalam kodrat
ilahi (bdk. Ef 2:18; 2 Ptr 1:4).

Wahyu itu suatu fakta, karena pada kenyataannyaNya Allah telah


mewahyukan diriNya dan menyatakan rahasia kehendakNya melalui Kristus.
Karena itu Wahyu adalah komunikasi pribadi antara Allah yang transenden
dengan manusia yang ada di bumi ini. Dengan kata lain, wahyu menurut
paham Kristen adalah Allah memperkenalkan diriNya sendiri dan rencana
penyelamatanNya. Karena itu menurut Vatikan II wahyu pada hakikatnya
merupakan penganugerahan diri dari Allah kepada manusia. Berpandanan
dengan wahyu, iman adalah jawaban manusia atas wahyu Allah itu. Menurut
Konsili Vatikan II, iman adalah penyerahan diri manusia kepada Allah.

Dengan memandang hakikat wahyu dan iman secara demikian, maka


Konsili vatikan II menekankan aspek personal yang terdapat dalam wahyu
dan iman. Tanpa mengabaikan aspek-aspek wahyu yang digarisbawahi oleh
Trente dan Vatikan I, Vatikan II menarik perhatian kita pada suatu aspek
lain, aspek pertemuan pribadi antara Allah dan manusia. Dalam hubungan
31
antar-pribadi itu Allah menyapa umat dan bergaul dengannya, sedangkan
umat pada gilirannya mendengarkan Allah serta menjawabnya.

C. Paham Wahyu Dalam Patristika


 Para Bapa Apostolik
Paham wahyu mempunyai ciri yang kosmic, universalitis dan harmoni
semesta alam berlaku sebagai pernyataan hukum Allah, dan seperti dilakukan
juga oleh filsafat Stoa, dari keteraturan alam semesta itu mereka
menyimpulkan peraturan etis bagi manusia. Wahyu berarti terutama
pemerintahan Allah yang universal yang sudah menjadi nyata dalam kosmos
dan dalam peristiwa Kristus.

 Para Apologet (pengarang Kristiani abad II)


Teologi para apologet dimaksudkan untuk membina iman kaum beriman dan
untuk menghadapi “orang luar”. Para apologet berusaha menunjukkan
keunikan dan kemutlakan wahyu dalam Yesus Kristus. Teologi para apologet
(pengarang Kristiani pada abad II) dimaksudkan bukan pertama-tama (para
papa apostolik) untuk membina iman kaum beriman sendiri, tetapi untuk
menghadapi “orang luar.” pewartaan iman para misionaris kepada orang
Yahudi dan Yunani. Diskusi de teologi para apologet dengan kaum Yahudi-
keyakinan Gereja bahwa Kitab Perjanjian Lama merupakan saksi wahyu
kristiani, dan karena itu harus ditafsirkan dengan memandang peristiwa
Kristus sebagai kriteria: sabda para nabi diarahkan kepadanya. Diskusi
dengan orang Yunani, para apologet berusaha menunjukkan keunikan dan
kemutlakan wahyu dalam Yesus Kristus.

 Pustaka Antibidaah Abad II

Dalam Gereja timbul ajaran sesat yang mendasarkan diri pada “wahyu” tetapi
sebenarnya mengancam hakikat iman sendiri. Melawan ajaran itu, para
pemikir Kristiani yang ortodoks menonjolkan ciri khas wahyu Kristiani
dengan naik banding kepada ekonomi keselamtan, yakni kepada perwujudan
historis dari rencana Allah untuk menyelamatkan bangsa manusia. Tokoh-

32
tokohnya adalah Ireneus, Hipolytus dari Roma, Tertullianus dan Cyprianus
dari Kartago.

 Mazhab Aleksandria Abad II-III


Klemens menonjolkan Kristus sebagai guru universal siapa yang
menaklukkan diri pada Logos, khusus kepada pembaptisan terjadi ketika
wahyu Allah mewahyukan diri dalam Kristus tetap menahului dan mendasari
Gnosis yg sejati. Klemens dari lingkungan Hellenis demi membebaskan
agama Kristiani dari isolasi. Kaum Aleksandria ini bertugas untuk
memikirkan kembali hubungan antara wahyu dengan Gnosis: dipandang dari
sudut orang Kristen yang sempurna, yakni orang Gnostik. Ternyata Logos
sebagai jaminan dan perantara eksistensi Kristiani memainkan peranan yang
menentukan. Origenes menyatakan bahawa sang logos sebagai gambar Allah
yang memegang peranan pewahyu; gambar menyatakan Dia yg
digambarkanNya. Setelah menjelma menjadi manusia maka Yesus
berbicaralah Logos-Anak Allah Yang Mahakuasa. Logos- subyek dan objek
wahyu serentak. Inkarnasi menjadi puncak pertama yg dicapai wahyu Allah.
Parusia, mengaitkan penjelmaan dengan kedatangan Kristus pada akhir
zaman dia mengembangkan paham wahyu yg dinamis

 Para Bapa Gereja Latin Abad IV-VI


Marius Victorinus, Ambrosius, Hieronimus, Augustinus tidak mengenal
paham wahyu modern dalam arti transendental dan menyeluruh, yang
pelaksanaannya mencakup seluruh peristiwa penyelamatan yang disaksikan
Alkitab. Sebaliknya dengan kata wahyu dimaksudkan tindakan Allah yang
tertentu dan bukan ekonomi keselamatan dalam keseluruhannya. Para bapa
Gereja tidak merangkum seluruh amanat Alkitabiah dibawah sudut pandang
wahyu, dan juga tidak mempersoalkan kemungkinan wahyu begitu saja.

D. Paham Wahyu Menurut Magisterium Gereja


 Konsili Trente
Konsili ini berurusan dengan kaum Reformasi yang menekankan Sola
Scriptura. Magisterium dan Tradisi dianggap tidak perlu. Konsili Trente
menegaskan bahwa selain Kitab Suci, wahyu juga diteruskan oleh Tradisi
Gereja dan ditafsirkan secara wewenang oleh kuasa Mengajar
33
Gereja/Magisterium. Yang termasuk paham wahyu menurut para bapa
konsili ini adalah:
1. Sejarah Israel Perjanjian Lama
2. Injil dalam arti peristiwa Kristus yg meliputi segala yg dikatakan dan
diperbuat Yesus
3. Kegiatan Roh Kudus yg bersifat pewahyu sepanjang zaman Gereja;
baik proses penulisan Injil maupun penjaminan hal-hal yg walau tidak
ditulis namun tertera dalam hati orang beriman yg diteruskan oleh
rasul-rasul Yesus serta para pengganti mereka.

 Vatikan I
Adanya gerakan modernism pada saat itu, yakni mengintegrasikan hasil ilmu
pengetahuan modern ke dalam iman, tetapi adanya kekhawatiran pemimpin
Gereja bahwa iman kepercayaan akan dikorbankan demi ilmu pengetahuan.
Bahaya rasionalisme dapat mengancam dalam bidang teologi, yang
menyatakan bahwa iman tidak dapat ditangkap secara rasional akan ditolak
oleh penganut rasionalisme. Dalam konstitusi Dogmatis Dei Filius tentang
iman Katolik, konsili membahas hubungan wahyu dengan akal budi. Konsili
ini menentang aliran Deisme dan rasionalisme absolut. Pentingnya wahyu
untuk sampai kepada keselamatan adikodrati
Komentar tokoh teologi masa kini yaitu H.U.von Balthasar bahwa akal budi
manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari alam ciptaan.
Sedangkan Karl Rahner menyatakan, Allah mewahyukan misteri dan
mencurahkan iman ke dalam hati manusia itu sama dengan Allah yang telah
memberikan terang akal budi kepada manusia sebagai makhluk rohani.

 Vatikan II
Dalam Konstitusi Dogmatis Dei Verbum tentang wahyu, yaitu wahyu dilihat
sebagai komunikasi pribadi antara Allah yang transenden dengan manusia
yang di bumi ini. relasi interpersonal antara Allah dan manusia sehingga
Allah menyapa mereka dan manusia menjawab Allah atau menanggapi
sapaan yang ilahi.
Kepenuhan wahyu itu terungkap dalam pribadi Yesus Kristus. Wahyu tidak
lagi berupa pengetahuan atau teoritis belaka tetapi pesan yang telah
disampaikan Allah lewat para nabi. Wahyu yang telah dinantikan dan
34
diharapkan kini telah ada secara real atau konkrit dalam kehidupan manusia.
Kepenuhan wahyu hadir lewat tanda-tanda dan mukjizat yang dilakukan oleh
Yesus. Kepenuhan Wahyu itu juga sempurna dengan wafat dan kebangkitan-
Nya yang penuh kemuliaan yang senantisa menyertai manudia sampai
selama-lamanya.

Iman: Manusia Menjawab Allah


Pengertian Iman
Iman dipahami sebagai tindakan percaya, artinya “dengan bebas
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah”. Wahyu yang diimani itulah yang
juga disebut iman kepercayaan. Iman adalah manusia menyawab Allah, Iman
dipahami sebagai tindakan percaya (fides qua) iman dengan mana orang
percaya dan tindakan. Vatikan II dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya
kepada alllah dan baru ditempat kedua sebagai menerima dengan akal budi
dan dengan kemauan apa yang diwahyukan alla itu benar. Ksanah wahyu
yang di imani itulah yang juga disebut isi iman kepercayaan yan kita imani
itu melalu yesus kristus.

“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan ?ketaatan


iman? (Rom 16:26; lih. Rom 1:5; 2Cor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan ?kepatuhan
akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan?[ ], dan
dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-
Nya. Supaya orang dapat beriman seperti itu, diperlukan rahmat Allah yang
mendahului serta menolong, pun juga bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikkannya kepada Allah, membuka mata budi, dan
menimbulkan ?pada semua orang rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai
kebenaran?[ ]. Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus
itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui kurnia-kurnia-Nya.” (Konsili
Vatikan II Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Allah)

Iman Kepercayaan Menurut Kitab Suci


 Iman Menurut Perjanjian Lama
1. Mendengarkan Sabda Allah (1 Sam3:10).

35
2. Taat dan patuh kepada perintah Allah-dijelmakan kepada tingkah
laku. (Kej 12:1-4a)
3. Kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah-hidup menurut
tuntutan perjanjian.
4. Percaya pada janji Allah (Kej 15:6)
Pertama-tama iman berarti mendengarkan sabda Allah. Beriman berarti taat
dan patuh pada perintah Allah seperti yang dilakukan Abraham (Kej.
12:1.4a), setia melaksanakan kehendak Allah, dan percaya pada janji Allah.
 Iman Menurut Perjanjian Baru
Maria dalam Iman perjanjian Baru memuncak menjadi kepatuhan hamba
Tuhan yang total (Luk 1:38), menjadi kepercayaan seorang wanita yang
kepadaNya Allah itu setia pada janji-Nya (Luk 1:46-55).
Perjanjian pertama-Allah Yesus bukanlah Allah baru. Perjanjian kedua yaitu
iman dikaitkan pada sejarah sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam
riwayat hidup Yesus, terutama wafat dan kebangkitanNya.

 Injil Sinoptik
Yesus tampil sebagai pribadi yang mewartakan Kerajaan Allah- mengajak
manusia supaya bertobat dan percaya kepada Injil (Mark 1:15)
Tindakan percaya memiliki makna:
1. Mendengar apa yang diwartakan (Mark 4:9)
2. Mengerti dan memahami apa yang didengar (Mat 13:19)
3. Tidak membatasi pelaksanaan firman itu menjadi satu dua kali saja,
melainkan selalu dan dimana-mana sehingga terbina sikap batin u
membiasakan diri melaksanakan sabda Tuhan.
Percaya mempunyai arti: mendengar apa yang diwartakan (Mrk 4:9),
mengerti apa yang didengar (Bdk Mat 13:19), dan bertobat sebagai unsur
hakiki dari iman kepercayaan (Mat 1:15; Bdk 4:17).

 Kisah Para Rasul

Memaparkan iman yang diyakini sebagai anugerah dalam Kisah Para Rasul
adalah sikap taat dan melekat kepada Kristus secara total dan mutlak (Kis
3:16; 9:42; 11:17; 16:31). Kisah Para Rasul- iman dilukiskan sebagai sikap
batin yang menyeluruh, melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan
36
manusia kepada diri Yesus seluruhnya. Iman- sikap taat dan melekat kepada
Kristus secara total dan mutlak. Surat St. Paulus-pewartaan Sabda Allah
yakni pewartaan diri Yesus sebagai Tuhan dan penyelamat. Dengan percaya,
kita mengenal misteri Allah dalam Yesus Kristus, baik rencana maupun
pelaksanaan penyelamatan manusia.

Dalam Surat Paulus, dengan percaya berarti kita mengenal misteri Allah
dalam Yesus Kristus baik rencana maupun pelaksanaan penyelamatan
manusia yang dilangsungkan Allah dalam penjelmaan hidup, wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus (Bdk 1 Kor 1:17-2:4; Flp 2:5-11).

 Injil Yohanes, Menghadapkan orang pada pilihan: menjawab pewahyuan


Allah dalam pribadi Yesus Kristus denga suatu “YA yang total kepada
Yesus atau suatu TIDAK yang total, percaya atau tidak. Dengan tegas
Injil Yohanes menghadapkanorang pada pilihan ya atau tidak, percaya
atau tidak. Ya secara total kepada Yesus dan tidak secara total.

C. Iman Kepercayaan Menurut Para Bapa Gereja


 Para Bapa Apostolik
Paham iman dalam pandangan para bapa apostolik sangat mirip dengan
paham iman dalam Kitab Suci. Namun mereka sangat menekankan sikap taat
kepada hukum ilahi.
 Para Apologet Yunani
Para apologet Yunani menghadapka iman Kristiani pada budaya Hellenis dan
berusaha mempertanggungjawabkan iman Kristiani di hadapan budaya
Hellenis tersebut.
 Pustaka Antibidaah
Dalam pustaka antibidaah khususnya Ireneus dan Tertullianus
mengembangkan paham iman secara ekonomi keselamatan. Hal ini
dilakukan untuk melawan Gnosis yang mengemukakan ajarannya semau-
maunya.
 Perguruan Aleksandria
Clemens dan Origenes mengemukakan bahwa Allah dikenal bukan lewat
ilmu pengetahuan tetapi dari pewahyuan Allah itu sendiri. Origenes
berpendapat bahwa sumber iman kepercayaan adalah sabda Kitab Suci yang
menyapa kita.
37
 Ketiga Orang Kapadokia
Basilius Agung, Gregorius dari Nazianze dan Gregorius dari Nyssa
mentransformasikan iman Kristiani ke dalam alam pikiran Yunani, sehingga
ajaran rohani mereka seimbang dengan dasar iman yaitu sabda pewartaan.
 Teologi-Eikon
Gregorius dari Nyssa bukan hanya mengembangkan gambar untuk Kristologi
tetapi juga untuk antropologi teologi.
 Santo Augustinus
Menurut Agustinus, hati manusia merupakan organ pengenalan akan Allah.
Untuk itu hati harus suci dengan beraskese, iman kepercayaan dan cinta
kasih.
D. Paham Iman Pada Abad XIX-XX
Dalam paham reformasi, iman mencakup harapan iman dan kasih.
Dalam konsili Trente, iman mendasari harapan dan perlu dibentuk oleh cinta
kasih menjadi iman yang hidup. Konsili Vatikan I melanjutkan paham Trente
sedangkan Konsili Vatikan II lebih senada dengan paham iman Reformasi.
Bagi Konsili Vatikan II, beriman berarti percaya bahwa sesuatu hal benar.
Selain itu Konsili Vatikan II memandang iman secara lebih menyeluruh dan
bukan hanya seperti Vatikan I.

38

Anda mungkin juga menyukai