Anda di halaman 1dari 15

TEMA 1: APA ITU TEOLOGI

Teologi adalah ilmu. Akal budi umat beriman, dengan diterangi oleh iman, mencoba
memahami dengan lebih baik misteri-misteri yang diwahyukan oleh Allah dan
menyampaikannya secara sistematis dan teratur, berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi
Gerejawi. Teologi mengandaikan iman, bukan semata pencarian intelektual karena ke- ingin-
tahu-an, melainkan terutama pengetahuan akan keselamatan sebab seharusnya membantu
manusia untuk menuju ke tujuan abadi.

1. Kriterium identifikasi
Apakah teologi itu? Menurut etimologi, teologi bisa berarti tiga hal: 1) kata-kata dari
Allah atau tentang Allah; 2) pengetahuan Allah atau pengetahuan tentang Allah; dan
3) ilmu tentang Allah. Ketika orang berbicara tentang teologi, yang dimaksudkan
adalah pengertian ketiga. Biarpun demikian, pengertian etimologis ini belum
menjawab pertanyaan, sebab masih ada ilmu lain yang berbicara tentang Allah yang
tidak disebut teologi. Sebut saja filsafat ketuhanan (menalar hal Allah berdasarkan
akal budi melulu) dan teosofi (berbicara tentang Allah berdasarkan ekstase rohani
dan intuisi langsung). Untuk memahami istilah teologi, ada baiknya menelusuri
penggunaannya dalam sejarah.
Istilah teologi dan teolog digunakan cukup sering dalam dunia pagan. Orang-orang
Yunani kuno menggunakan istilah teologi untuk menunjuk pada kisah-kisah dari
penyair, seperti Homerus dan Hesiodos, tentang dewa-dewi. Plato menggunakan
setidaknya sekali istilah teologi, yang baginya sinonim dengan mitologi dalam hal
nilai dan makna yang lebih dalam. Aristoteles menggunakannya dengan makna
yang kurang lebih sama, tetapi di tempat lain membagi “filsafat teoretis” dalam tiga
bagian: matematika, fisika dan teologi (teologi di sini sinonim dengan metafisika).
Filsuf stoikos abad ke-dua SM memperluas makna pada penjelasan tentang dewa-
dewi yang dielaborasi dalam dunia intelektual, yang biasanya berupa syair atau
mitos, kultual dan filosofis.
Para penulis kristen memperkenalkan aspek-aspek baru pada istilah teologi, dengan
resonansi dan makna awalnya.

 Santo Yustinus menggunakan istilah berteologi untuk menunjuk pada kegiatan


eksegesis teks-teks biblis. Santo Klemens dari Aleksandria membedakan teogonia
(fabel mitologis) dari teologi sejati (pengetahuan kristen tentang Allah). Bagi
Origenes, teologi adalah sebuah doktrin yang lurus tentang Allah. Eusebius dari
Kaisarea adalah pengarang “Teologi eklesiastika,” yang mana istilah teologi
muncul pertama kali dalam judul sebuah buku kristen. Santo Basilius adalah
orang pertama yang membedakan antara teologi, sebagai doktrin tentang Allah,
dan ekonomi, sebagai sejarah keselamatan.
 Bagi para penulis kristen abad-abad pertama, seorang teolog adalah peramal
langsung dari misteri-misteri ilahi. Teolog adalah dia yang menikmati
kontemplasi mistik dari Allah.
 Di kekristenan Barat, istilah teologi muncul belakangan. Santo Agustinus
menggunakan istilah teologi dan teolog hampir delapan puluh kali, tetapi dalam
pengertian seperti yang dipahami oleh seorang penulis latin bernama Varron.
Orang ini membedakan antara teologi fisika atau natural (interpretasi filosofis
atas aneka sebab atau causa), poetika (mitologia), dan politica (peribadatan suci).
Petrus Abelardus (1079-1142) adalah orang pertama yang menggunakan istilah
teologi dalam arti ilmiah dan akademis seperti sekarang ini.
 Pengetahuan teologis mendapatkan tempat dalam disiplin akademis dengan
munculnya universitas-universitas, dan dibedakan dengan jelas dari filsafat, studi
biblis, dan hukum kanonik. Sejak saat itu, istilah teologi dikhususkan untuk
menunjuk pengetahuan sistematis dan diskursif tentang Allah dan misteri-
misteri yang diwahyukan.

2. Teologi sebagai karya iman


a). Pada saat ini, istilah teologi digunakan tidak terbatas pada “pembicaraan tentang
Tuhan.” Terdengar ungkapan seperti teologi tentang Gereja, teologi imamat, teologi
sosial, dan sebagainya. Biarpun demikian, teologi yang berbicara tentang banyak hal
yang tidak langsung mengenai Tuhan itu, nantinya akan melibatkan Tuhan dan dari
sudut Tuhan.
Selain itu, istilah teologi tidak digunakan untuk setiap karya atau hasil penelitian
tentang fenomen-fenomen keagamaan dan kepercayaan di dunia ini. Meskipun
penelitian itu tentang agama kristen sekalipun, hasilnya belum tentu disebut teologi.
Bisa jadi akan dikelompokkan dalam ilmu-ilmu agama, sejarah agama-agama, dan
sebagainya. Jika demikian, kapan suatu karya disebut teologi?
Suatu karya disebut teologi jika itu digerakkan oleh iman kristen. Pengarangnya
percaya bahwa apa yang diuraikannya itu berdasarkan wahyu Allah yang disimpan,
diteruskan dan dikembangkan dalam suatu jemaat gerejawi. Suatu karya belum
disebut teologi jika itu hanya berbicara tentang iman kristen tetapi tanpa iman. Tanpa
iman tidak ada teologi.
b) Apakah iman itu? Iman berarti penyerahan diri secara bulat kepada Tuhan, kepada
apa saja yang dikatakan-Nya tentang diri-Nya dan rencana keselamatan-Nya untuk
manusia. Iman adalah suatu pilihan dan keputusan untuk percaya kepada Tuhan
sendiri. Contoh beriman yang paling terkenal adalah iman Abraham (Kej. 12:1-4;
16:1-6; 22) dan Maria (Luk. 1:26-38, 45; 2:41-51).
Apakah artinya semua ini untuk teologi sebagai karya iman? Apa hubungan antara
teologi dan iman? Iman mendahului, menyertai, dan mendukung seluruh studi teologi.
Iman adalah ruang hidup teologi.
Pertanyaannya, jika iman mendahuluinya, apakah teologi itu bersifat subyektif
melulu? Sama sekali tidak. Iman itu dapat dipertanggungjawabkan: “… karena aku
tahu kepada siapa aku percaya …” (2 Tim. 1:12). Orang yang tidak beriman kristen
harus mengakui bahwa orang beriman kristen mempunyai alasan-alasan untuk
beriman. Itulah sebabnya penulis Surat Petrus berkata:
“Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan. Dan siap sedialah
pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap
orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang
pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut
dan hormat, dengan hati nurani yang murni, supaya mereka yang
memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi
malu karena fitnahan mereka.” (1 Ptr. 3:15-16)
Lebih jauh, iman bukanlah suatu perbuatan irasional dan subyektif melulu, karena
dalam beriman selalu ada unsur pertanyaan, kesukaran, dan kegelapan. Iman itu
memiliki isi dan orang beriman ditantang oleh aneka ragam kenyataan hidup ini,
yang tidak jarang, terlihat seperti bertentangan dengan isi iman itu. Dalam situasi
demikian, orang beriman pasti memiliki alasan-alasan, walau tidak terjelaskan
secara meyakinkan.
c) Mentalitas manakah yang harus ada dalam berteologi? Karena iman adalah
penyerahan diri kepada Tuhan sendiri, teologi sebagai karya iman akan berbuah
limpah hanya jika dilandasi suatu penyerahan diri kepada Tuhan. Dalam studi teologi
dan berteologi, dasar utamanya adalah mencari Allah dan mendengarkan sabda
keselamatan-Nya.
Hidup kita bertumpu pada sabda Allah dan kesaksian orang lain, terutama
kesaksian Yesus Kristus sendiri. Karena belum melihat Tuhan dalam diri-Nya, kita
selalu berada dalam kerinduan untuk mengerti dan melihat. Teologi sebagai karya iman
berada dalam situasi yang sama. Teologi merupakan usaha untuk menjawab
kerinduan, yang dapat terpenuhi hanya di dunia seberang. Dalam hal inilah teologi
adalah suatu cara penghayatan iman dan dalam beriman sebenarnya sudah
terkandung suatu permulaan teologi.
Sebagaimana iman membutuhkan rahmat, teologi juga memerlukan rahmat.
Pengertian dan kebijaksanaan iman diberikan kepada yang dikenani Tuhan, namun
diperlukan juga persiapan tanah yang subur berupa kerendahan hati, keterbukaan
terhadap Tuhan dan semangat doa. Cinta kepada Tuhan membuat orang lebih
mudah masuk ke dalam pikiran dan perasaan-Nya. Singkat kata, teologi sebagai
karya iman mengandaikan penghayatan iman.

3. Teologi sebagai ilmu iman


a). Teologi bukanlah sembarang karya iman; ia adalah suatu karya yang ilmiah,
sebuah ilmu iman. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap ilmu bersifat
menerangkan. Suatu hal diterangkan dan dimengerti menggunakan metode yang
berbeda-beda. Hasil akhirnya adalah suatu penjelasan yang bersifat kritis, metodis,
dan sistematis.
Unsur kritis mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan, tahu memecahkan
kesukaran-kesukaran yang timbul. Metodis berarti memiliki cara kerja tertentu.
Metode yang baik bersifat jelas, pasti, dan benar (deduktif-induktif, analitis-sintetis).
Cara kerja harus koheren. Unsur sistematis menyusun pernyataan-pernyataan secara
logis dengan mengikuti prinsip dan metode tertentu, sedemikian rupa hingga orang
dapat memperoleh suatu pandangan yang menyeluruh.
Setiap ilmu memiliki obyek material, seperti manusia, benda-benda mati, ciptaan yang
hidup, agama, dan sebagainya. Satu bidang yang sama dapat diselidiki dari
bermacam-macam sudut. Manusia, misalnya, dapat diselidiki kesehatannya,
anatominya, kejiwaannya, pendidikannya, dan sebagainya. Sudut penyelidikan ini
dinamakan obyek formal. Sudut pandang yang berbeda mengandaikan metode dan
sarana yang berbeda dan melahirkan ilmu yang berbeda pula.
b). Teologi adalah suatu ilmu karena dia merupakan juga “suatu pengenalan yang
bersifat menerangkan.” Sebagai ilmu iman, teologi “menerangkan” iman kristen.
Ketika seorang percaya bahwa Yesus adalah “Roti yang memberi hidup kekal,”
dalam berteologi dia mau mencari pengertian yang lebih mendalam tentang iman
ini. Sehingga, suatu pengenalan akan lahir dari iman ini. Orang harus bersikap kritis
terhadap imannya. Apakah arti pernyataan bahwa Kristus adalah Roti hidup kekal?
Apakah isi iman ini dapat dipertanggungjawabkan terhadap kenyataan hidup yang
lain? Apakah isi iman ini dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang yang tidak
percaya dan bagaimana caranya? Apakah kebenaran ini dapat disaksikan dalam
penghayatan hidup sehari-hari? Bagaimana mewartakannya? Pertanyaan-
pertanyaan di atas bukan saja mengundang sikap kritis, melainkan juga menuntut
kemampuan menjelaskannya secara metodis dan sistematis. Orang dianggap mulai
berteologi bila dia mampu menjalankan semuanya itu.
c). Lebih jauh lagi tentang relasi antara iman dan pengenalan. Kita menerima Allah
dan kebenaran keselamatan-Nya itu sebagai manusia yang berakal budi. Kita bertanya
dan mencari pengertian tentang apa yang diwahyukan tersebut. Iman tidak
melepaskan dan membebaskan seseorang dari usaha-usaha mencari pengertian.
Bertanya secara kritis terhadap iman bukanlah sesuatu yang tidak pantas. Orang-
orang yang benar-benar beriman itu justru bertanya dan hanya dia yang sanggup
menanggung pertanyaannya. Dia perlu bertanya karena kebenaran-kebenaran iman
diterima dari Allah dan, pada saat yang sama, bukanlah obyek panca indera. Orang
tidak bisa bersikap masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap kebenaran-kebenaran
keselamatan tersebut (seperti Roti hidup tadi), sebab kebenaran tersebut menjawab
persoalan-persoalan yang paling dalam tentang hidupnya sebagai manusia. Orang harus
tahu memberikan dasar-dasar tentang apa yang diimani dalam dialog dengan
pengalamannya sendiri dan pengenalan orang lain.
d). Bagaimana menghayati ketegangan antara beriman dan bertanya, beriman dan
menerangkan? Penulis Surat Yohanes menandaskan: “Dan inilah tandanya bahwa
kita mengenal Allah, yaitu jika kita menuruti perintah-perintah-Nya” (1 Yoh 2:3).
Jadi, ketegangan antara beriman dan bertanya harus dihayati melalui usaha
pengayatan iman secara penuh. Bertanya tanpa keikutsertaan pribadi untuk mencoba
menghidupi apa yang kita tanyakan tidak akan membawa kita pada pengenalan
yang benar tentang Allah. Mengapa demikian?
Obyek teologi adalah iman atau apa yang dikatakan oleh iman. Kita beriman karena
Allah telah menyatakan diri-Nya. Sehingga, obyek teologi pada akhirnya ialah Allah
sendiri. Dia adalah pribadi dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Konsekuensinya,
teologi tidak dapat dijalankan dalam suatu sikap dingin dan acuh tak acuh tanpa
suatu usaha pertemuan antar pribadi dengan Allah. Teologi harus dijalankan dalam
sikap ketaatan dan penyembahan kepada Allah. Kita harus merenungkan iman
dengan sikap hormat kepada misteri Allah dan karya-Nya.
e). Teologi di antara ilmu-ilmu lain. Meskipun otonom, ilmu-ilmu itu punya kaitan.
Kaitan pertama adalah obyek materialnya. Semua ilmu menyelidiki sesuatu yang
konkret, yang bisa ditangkap dengan panca indra dan akal budi. Perbedaannya
hanya terletak pada sudut pandang dan bidang yang diselidiki. Tidak ada satu
bidang pun yang menjawab semua persoalan secara menyeluruh; semua saling
membutuhkan. Kaitan kedua adalah manusia sebagai subyek dan tujuan setiap karya
ilmiah. Setiap ilmu menyumbang sesuai bidang masing-masing untuk
pembangunan dan pembinaan manusia.
Teologi sebagai ilmu memiliki bidang sendiri. Meskipun sangat luhur, dia terbatas.
Teologi berbicara tentang Allah (obyek material) yang menyatakan diri-Nya dalam
sejarah demi keselamatan manusia dan yang diterima dalam iman (obyek formal).
Jadi, kebenaran yang diterima hanya mengenai Allah yang telah menyatakan diri-Nya
dalam sejarah dan mengenai keselamatan manusia.
Dalam mencari pengertian tentang kedua hal itu, kita membutuhkan ilmu-ilmu lain.
Karena Allah mewahyukan diri-Nya dalam sejarah, teologi memerlukan sejarah dan
metodenya. Kita harus mengenal konteks sejarah pernyataan diri Allah agar kita
bisa menilai iman kita dengan lebih tepat. Karena iman harus dirayakan, dihayati,
dan diwartakan, teologi memerlukan ilmu bahasa, komunikasi, psikologi, sosiologi
dan pendidikan. Karena berbicara tentang kebenaran yang menyangkut
keselamatan manusia, teologi harus berhadapan pula dengan ilmu lain seperti
kedokteran dan kebijakan politik-sosial-ekonomi.
Tugas teologi sama sekali tidak mudah. Dia harus menyadari batas-batas bidangnya
dan hidup dalam suatu masyarakat yang plural. Ilmu-ilmu lain juga harus
mengakui keterbatasannya. Suatu teologi yang tidak mengenal, menggunakan dan
berdialog dengan ilmu-ilmu lain akan mandul dan akan menimbulkan lagi semacam
perkara Galileo Galilei.

Dalam hal ini, kita berada dalam suatu ketegangan: berbicara tentang Allah dan
kebenaran keselamatan yang diwahyukan-Nya, namun selalu berdasar pada
penyaksian Allah sendiri.

4. Teologi sebagai ilmu dan tugas kegerejaan


a). Pengenalan dan ilmu mengandaikan pengalaman. Pengalaman itu terjadi bukan
hanya karena kontak antara panca indera dan benda-benda, melainkan terutama
berkat adanya kontak akal budi dan yang ada. Selain itu, pengenalan hanya
mungkin terjadi sejauh si pengenal berada dalam suatu masyarakat, kelompok dan
yang semacam itu.
Hal yang sama berlaku bagi teologi. Tidak mungkin orang berteologi lepas dan terpisah
dari Gereja atau jemaat kaum beriman. Iman, sebagai unsur dasar teologi, hanya ada
dalam jemaat. Iman kita terima dari Gereja. Allah telah menyatakan diri-Nya
pertama-tama bukan kepada orang perorangan, melainkan kepada jemaat dan
untuk membentuk jemaat.
Gerejalah yang telah mengantarkan kita kepada iman. Karena kesaksiannya, kita
mengetahui bahwa Allah telah bersabda kepada kita dan memasuki sejarah kita.
Berkat kesaksian Gereja, kita menerima Kitab Suci sebagai sabda Allah. Gereja
memberikan bentuk-bentuk konkret tentang hidup menurut iman kita. Gereja
mengajarkan apa yang harus kita imani. Karena itu, teologi harus bersifat gerejawi.
Orang hanya dapat berteologi di dalam Gereja.
b). Teologi bersifat gerejawi karena dia adalah suatu ilmu. Ilmu bukanlah hasil
pemikiran seorang pribadi yang lepas dari kelompok. Suatu penelitian ilmiah
memasukkan seseorang dalam dunia penyelidikan, pendapat-pendapat, hipotesis-
hipotesis dan pertanyaan yang telah dikemukakan oleh orang lain. Hasilnya pun
harus siap diuji oleh orang lain. Kita harus tahu apa yang telah dipikirkan dan
dikatakan oleh orang lain mengenai suatu persoalan, mengapa mereka harus
menghadapinya, bagaimana mereka telah merumuskannya dan bagaimana mereka
telah mencoba memecahkannya. Apabila kita tidak memperhatikan apa yang
dipikirkan oleh orang lain, maka pemikiran kita dari sendirinya akan sampai pada
titik mati.
Sebagai ilmu kegerejaan, teologi juga harus dijalankan dalam dialog iman dengan
apa yang telah direfleksikan oleh orang lain, baik dari masa lampau maupun masa
sekarang.
Apakah arti kejemaatan ini bagi teologi? Bagaimana teologi harus menjalankan
tugasnya di dalam Gereja? Sebagai ilmu, teologi harus menerangkan isi iman Gereja.
Iman itu adalah suatu wahyu Allah dan telah sampai kepada kita dengan berbagai
cara dalam sejarah. Teologi harus menyelidiki dan membuka isi iman yang
menyejarah itu di dalam jemaah orang beriman. Teologi harus mengabdi kebenaran
dan terikat pada kebenaran wahyu Allah yang telah sampai kepadanya berkat
pewartaan Gereja. Dia harus menyelidiki apakah penghayatan iman di dalam
sejarah itu sudah sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah sendiri. Dalam hal
ini, teologi bersifat kritis terhadap Gereja demi hidup dan kemajuan Gereja.

5. Kesimpulan
Teologi adalah suatu karya iman. Tanpa iman tidak ada teologi. Iman adalah dasar,
penggerak dan penjiwa teologi. Iman yang hidup membawa orang berteologi,
mencari pengertian iman. Tanpa usaha itu, iman tidak akan bertahan. Santo
Agustinus berkata, “Barangsiapa beriman, berefleksi; dengan beriman orang
merenungkan dan dengan merenungkan orang beriman … Iman yang tidak
direfleksikan bukan lagi iman.”
Teologi adalah suatu ilmu iman. Ini tidak berarti bahwa setiap orang beriman itu
berteologi dalam arti penuh, yakni ilmiah. Sebagai ilmu, teologi memiliki tuntutan
yang harus dipenuhi. Maksudnya, iman saja tidak cukup untuk berteologi;
diperlukan akal budi.
Teologi secara hakiki adalah ilmu kegerejaan. Dia bersifat gerejawi. Lahan teologi
adalah Gereja. Memang tidak setiap orang beriman harus berteologi secara ilmiah,
namun teologi merupakan suatu keharusan bagi Gereja sebagai umat Allah.
Karena teologi adalah suatu karya iman dan ilmu iman, dalam bereteologi tidak saja
dituntut akal budi, tetapi juga “ketaatan iman” (Rom. 16:26; bdk. Rom. 1:5; 2 Kor.
10:5-6; Dei Verbum art. 5). Obyektivitas dan keikutsertaan pribadi selalu dituntut
dalam berteologi. Hal ini akan selalu menimbulkan ketegangan sekaligus
dinamisme hidup. Ketegangan ini harus dihayati dalam usaha terus-menerus untuk
berkontak dengan Tuhan.

SOAL-SOAL
Kriterium identifikasi
1. Dari mana asal kata teologi itu? Apa artinya?
2. Mengapa pertanyaan mengenai apa itu teologi tidak dapat dijawab menurut
etimologinya? Apa beda teologi dengan filsafat ketuhanan dan teosofi?
3. Carilah lima contoh dari kehidupan sehari-hari dimana arti sebuah kata
ditentukan oleh lingkungan orang yang menggunakannya.
4. Siapakah yang pertama menggunakan istilah teologi? Apa maksudnya? Apa arti
teologi menurut Aristoteles? Mengapa Gereja Awali secara pelan sekali
mengambil alih istilah teologi ke dalam bahasa kegerejaannya? Apa arti sikap
itu untuk kita sekarang?

Teologi sebagai karya iman


1. Apakah teologi itu hanya berbicara tentang Tuhan?
2. Apa beda antara teologi dengan filsafat agama, ilmu agama dan sejarah agama-
agama? Kapan suatu karya disebut teologi?
3. Apakah iman itu? Terangkanlah setiap unsur dari jawaban Anda dengan contoh
dari tokoh dalam Kitab Suci.
4. Terangkanlah bahawa iman mendahului, menyertai dan mendukung seluruh
studi teologi.
5. Apakah iman itu suatu yang irasional? Mengapa? Terangkanlah jawaban Anda
dengan contoh. Apakah dasar hidup seorang yang mau belajar teologi?
6. Mengapa dalam beriman selalu ada kerinduan untuk mengerti dan melihat?
7. Terangkanlah bahwa berteologi itu suatu cara penghayatan iman.
8. Apakah berteologi membutuhkan rahmat? Bagaimana hal itu harus dihayati?

Teologi sebagai ilmu iman


1. Apakah ilmu itu? Mungkinkah memberikan definisi ilmu yang dapat
memuaskan semua pihak? Jika tidak, mengapa?
2. Apa bedanya pengenalan ilmiah dan pengenalan biasa?
3. Apakah yang dimaksud dengan pengenalan kritis, metodis, dan sistematis?
4. Apakah yang dimaksud dengan obyek material dari suatu ilmu? Dimana letak
perbedaan antara ilmu kedokteran dan biologi misalnya? Mengapa ilmu
kedokteran misalnya tidak mampu menjawab seluruh persoalan tentang
manusia? Adakah ilmu yang dapat menjawab segala-galanya tentang manusia?
5. Mengapa ada perbedaan metode dan sarana dalam ilmu-ilmu yang termasuk
dalam satu rumpun? Jelaskan jawaban Anda dengan contoh.
6. Mengapa teologi itu juga suatu ilmu? Apakah pernyataan ilmu iman dapat
dipertanggungjawabkan?
7. Mengapa bisa terjadi perbedaan mutu berteologi dalam hal yang sama misalnya
tentang doa, panggilan orang kristen, dan sebagainya?
8. Apakah bertanya dalam beriman itu merupakan suatu yang tidak pantas?
Mengapa?
9. Apakah dalam ilmu dibutuhkan pula kepercayaan? Mengapa?
10. Mengapa dalam penghayatan iman yang sejati selalu terdapat ketegangan?
Bagaimana ketegangan itu dapat diatasi dan dihayati?
11. Mengapa dalam berteologi dituntut pula kemampuan akal budi yang cukup?
Apakah setiap orang kristen harus berteologi dalam arti yang penuh?
12. Apa obyek material dan formal teologi?
13. Mengapa dalam berteologi kita membutuhkan ilmu-ilmu yang lain? Manakah
misalnya ilmu-ilmu itu? Mengapa?
14. Di mana letak kesatuan antara ilmu-ilmu yang ada? Kapan timbul kepincangan
dalam menuntut suatu ilmu? Bagaimana pembudayaan diri yang integral itu
seharusnya?
15. Mengapa kemampuan bahasa yang baik itu sangat mendasar dalam pendidikan
ilmiah, juga dalam teologi?

Teologi sebagai ilmu tugas dan tugas kegerejaan


1. Terangkanlah bahwa tidak ada pengenalan dan ilmu tanpa pengalaman. Apa
yang dimaksud dengan pengalaman itu? Apakah semuanya ini berlaku pula
untuk teologi?
2. Mungkinkah ada pengenalan bagi manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di
luar suatu kelompok?
3. Apakah orang bisa berteologi lepas dan terpisah dari Gereja? Mengapa?
4. Terangkanlah mengapa ilmu itu selalu bersifat jamaah. Bagaimana kita harus
membaca dan mempelajari hasil studi orang lain tentang salah satu persoalan?
Kapan pemikiran kita sampai pada titik mati?
5. Bagaimana sifat jamaah teologi itu harus dijalankan dalam berteologi?
6. Apa tujuan dan tugas ilmu?
7. Manakah kenyataan yang harus diselidiki dan dijelaskan oleh teologi?
Bagaimanakah sifat kenyataan ini?
8. Mengapa teologi harus bersifat kritis terhadap Gerejanya dalam penghayatan
imannya? Apakah arti kritis di sini? Kapan teologi tidak menjalankan tugas
kegerejaannya?

Kesimpulan
1. Manakah tiga unsur utama teologi? Bagaimana hubungannya satu sama lain?
2. Apakah yang dikatakan Santo Agustinus tentang refleksi iman? Setujukah Anda
dengan kata-kata tersebut? Mengapa?
3. Mengapa iman saja tidak cukup untuk berteologi?
4. Mengapa dalam berteologi dituntut “ketaatan iman”?
Komentar teks secara pribadi berdasarkan pemahaman yang sudah diterima
Teologi adalah ilmu yang memiliki semua kemungkinan pengetahuan manusia. Dia
bebas dalam menggunakan metode dan analisisnya. Tetapi, pada saat yang sama, ia
harus memperhitungkan hubungannya dengan iman Gereja. Iman bukanlah sesuatu
yang kita miliki sendiri; alih-alih iman itu “dibangun di atas dasar para rasul dan
para nabi, Kristus Yesus sendirilah yang menjadi batu penjuru” (Ef 2:20). Teologi
juga harus menerima iman begitu saja, tetapi tidak dapat menghasilkannya. Dan
teolog selalu didukung oleh para bapa dalam iman. Dia tahu bahwa spesialisasinya
tidak terdiri dari serangkaian benda-benda bersejarah atau bahan-bahan dicampur
dalam alembic yang dibuat-buat, tetapi bahwa itu adalah tentang iman Gereja yang
hidup. Tidak sia-sia mengajar teolog atas nama dan demi komunitas iman gerejawi.
Secara tak terelakkan teolog harus membuat proposal baru yang bertujuan untuk
memahami iman, tetapi ini hanyalah tawaran bagi seluruh Gereja. Banyak hal harus
diperbaiki dan diperluas dalam dialog persaudaraan sampai seluruh Gereja dapat
menerimanya. Teologi, pada dasarnya, harus menjadi pelayanan yang sangat
tertarik kepada komunitas orang percaya. Untuk alasan ini, diskusi yang tidak
memihak dan obyektif, dialog persaudaraan, keterbukaan, dan keinginan untuk
berubah dalam menghadapi pendapat mereka sendiri adalah bagian dari esensinya.

Yohanes Paulus II
Alocución a los profesores de teología
18 November 1980

Sesuai sifatnya, iman menantang kecerdasan, karena ia mengungkapkan kepada


manusia kebenaran tentang tujuan dan jalan untuk mencapainya. Meskipun
kebenaran yang diwahyukan melampaui cara kita berbicara dan konsep-konsep kita
tidak sempurna dalam menghadapi keagungannya yang tak terduga (lih. Ef 3:19),
namun demikian kebenaran itu mengundang akal budi kita - karunia Allah yang
diberikan untuk menangkap kebenaran - untuk memasuki cahayanya, dengan
demikian memungkinkan memahami sampai batas tertentu apa yang diyakini. Ilmu
teologis, yang mencari kecerdasan (atau logika) iman dengan menanggapi
undangan suara kebenaran, membantu umat Allah, menurut perintah Rasul (lih. 1
Pet 3:15), untuk memberi pertanggungjawaban atas harapan mereka kepada mereka
yang memintanya.

Instrucción sobre la vocación eclesial del teólogo, 1990, art. 6


TEMA 2: HIDUP GEREJA SEBAGAI TITIK TOLAK BERTEOLOGI

Tema 1 menunjukkan bahwa teologi menyelidiki iman Gereja. Iman itu diungkapkan
Gereja melalui hidupnya. Di luar persaudaraan iman ini tidak ada iman, karya
pengertian iman dan ilmu iman atau teologi. Gereja menjadi titik-tolak dalam
berteologi. Lalu, apakah hidup Gereja itu? Bagaimana kenyataan hidup Gereja harus
ditafsirkan? Jawaban atas dua pertanyaan ini menentukan teologi dan cara
berteologi kita. Di sini teologi dipandang bukan sebagai sistem kebenaran-
kebenaran, melainkan suatu panggilan untuk menjalankan suatu tugas kegerejaan.

1. Apakah hidup Gereja itu?


a). Sebagian besar orang beranggapan bahwa iman Gereja itu seluruhnya sama
dengan ajaran-ajaran Magisterium (Badan Pengajar Gereja yang terdiri atas dewan
Uskup dengan Paus sebagai kepalanya). Hidup Gereja ditentukan oleh ajaran-ajaran
Magisterium. Gereja diidentikkan dengan Hirarki. Dalam pemahaman semacam ini,
orang berteologi dengan bertolak dari ajaran-ajaran Magisterium. Teologi
dipandang sebagai penafsiran dan pembelaan ajaran-ajaran tersebut. Kaidah untuk
mengukur kemurnian atau ortodoksi suatu teologi dilandaskan pada ajaran
Magisterium.
Pandangan semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Memang benar bahwa
ajaran-ajaran Magisterium penting dan merupakan suatu hal yang normatif dalam
hidup Gereja. Namun, dari sendirinya ajaran-ajaran itu tidak dapat memberikan
landasan yang cukup kuat untuk memulai suatu penyelidikan teologis dan
membentuk kemampuan berteologi. Mengapa demikian?
Persoalannya adalah bahwa ajaran Magisterium tidak mengandung seluruh kekayaan
wahyu. Ada banyak aspek iman kita yang tidak pernah disinggung oleh
Magisterium atau menjadi dogma. Tidak ada, misalnya, dogma penebusan, padahal
hal itu termasuk dasar iman kita. Selain itu, ajaran Magisterium dirumuskan dalam
suatu konteks sejarah tertentu dan kerap merupakan pembelaan terhadap serangan-
serangan atas iman Gereja atau ancaman lain terhadap penghayatan iman itu. 1
Karena bersifat pembelaan, ajaran Magisterium biasanya hanya menekankan salah
satu aspek dari kebenaran yang dibela, terutama aspek yang diserang dan disangkal.
Selanjutnya, ajaran Magisterium kerap merupakan hasil refleksi teologis atas iman
Gereja. Magisterim sendiri, meskipun sering menuntut supaya teologi menguraikan
dan mempertahankan ajarannya, mengakui pula bahwa teologi bertugas khusus
mempersiapkan ajarannya. Dalam hal ini, teologi berada di antara iman Gereja dan
Magisterium. Tanpa teologi, Magisterium tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik.
b). Iman Gereja, yang tidak terungkap habis dalam Magisterium, terungkap dalam
seluruh hidupnya. Lantas bagaimana kita harus melihat hidup iman Gereja ini?
Bagaimana Gereja menampakkan dan mengungkapkan imannya?
Iman Gereja yang menyejarah itu terungkap dalam suatu visi tentang manusia,
dunia dan zaman, dalam perbuatan-perbuatan, dalam bentuk-bentuk kebendaan dan
lembaga, dalam kebiasaan-kebiasan dan sebagainya. Semuanya menunjukkan ciri-ciri
suatu kebudayaan.
Sebelum dilanjutkan, apa itu kebudayaan? Kebudayaan adalah hasil dari cara
manusia dari suatu zaman dan daerah mengungkapkan dirinya, baik dalam hidup
keagamaan, sosial, kesenian, maupun dalam dunia ekonomi, politik, teknik, dan
bahasa. Kebudayaan itu berbeda-beda, bukan saja secara geografis, melainkan juga
kronologis. Suatu bangsa bisa memiliki lebih dari satu kebudayaan dan mengalami
perkembangan kebudayaan. Ragam budaya tampak dalam perbedaan pandangan
dan gagasan tentang manusia dan dunia, dalam tata nilai dan mentalitas yang
kemudian terwujud dalam perbedaan gaya hidup. Perbedaan dalam kebudayaan itu
disebabkan terutama oleh perbedaan lingkungan alam dan pengalaman sejarah.
Biasanya dipertentangkan antara kebudayaan dan kepercayaan, sebab kepercayaan
yang sama dapat hidup dan diungkapkan dalam berbagai-bagai kebudayaan.
Biarpun demikian, kepercayaan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
suatu kebudayaan.
c). Hidup Gereja menunjukkan ciri-ciri kebudayaan. Hal ini dapat diamati pada
jemaat yang menghayati imannya secara penuh. Mereka mengungkapkan imannya
dalam pelbagai bentuk. Ada yang bersifat kebendaan seperti bangunan gereja,
lukisan, pahatan, peralatan ibadat. Ada pula yang bersifat kelembagaan seperti
hukum Gereja, hidup membiara, ritus, dan yang bersifat sosial seperti hidup
keluarga, pendidikan, karya sosial dan sebagainya. Di balik hal-hal yang kelihatan
ini terdapat suatu visi tentang manusia dan dunia; ada iman sebagai dasarnya.
1
Dogma Maria dikandung tanpa noda yang diumumkan Pius IX pada tahun 1854, misalnya,
merupakan tanggapan atas situasi sejarah zaman itu, yang menyangkal adanya dosa dan kebutuhan
akan penebusan. Dogma infalibilitas Paus yang diumumkan Pius IX pada tahun 1871 juga
merupakan jawaban atas situasi zaman, yakni teori-teori sosialis dan rasionalis yang menggugat
setiap kewibawaan rohani.
Meskipun hidup Gereja menunjukkan ciri-ciri kebudayaan, perlu ditekankan bahwa
iman itu bukanlah suatu kebudayaan.
Injil adalah berita keselamatan dari Allah, kekuatan Allah dan kabar gembira
tentang Kristus. Injil ini pertama-tama dikabarkan kepada orang berkebudayaan
Yunani-Romawi. Mereka telah menerima Injil ini. Hidup mereka telah diubah
olehnya dan sekaligus mengayatinya dalam gaya kebudayaan mereka. Mereka
menghayati kebudayaan secara baru dan segala sesuatu yang baik dalam
kebudayaan ini telah diterima dan diresapi oleh Injil.
Hidup Gereja di tanah air kita belum membudaya secara penuh. Berita Injil tiba di
sini setelah dia tumbuh dan berkembang di Eropa selama 15 sampai 17 abad. Dia
datang dalam gaya penghayatan kebudayaan Yunani-Latin-Romawi. Tidak jarang,
gaya ini dipandang asing oleh bangsa kita.
Dalam refleksi tentang hidup Gereja yang menunjukkan ciri-ciri kebudayaan, perlu
diperhatikan bahwa Injil tidak mengidentifikasikan dirinya dengan kebudayaan
mana pun. Memang benar bahwa iman yang disaksikan Gereja melalui hidupnya
terkait erat dengan manusia dan kebudayaannya. Biarpun demikian, yang terjadi
sebenarnya adalah bahwa hidup Gereja itu menyejarah, imannya telah menyejarah.
d). Berkat ciri-ciri kebudayaannya, hidup Gereja merupakan suatu “peristiwa
bahasa.” Artinya, hidup Gereja terjadi dan berkembang karena dan dalam bahasa.
Lalu apakah bahasa itu? Bahasa adalah kemampuan dasar insani untuk
mengungkapkan diri dan mengatakan pengalaman. Bahasa adalah keseluruhan sistem
pengungkapan diri dalam kata. Dia menjadi sarana suatu kelompok untuk
mengungkapkan dirinya dan saling menyampaikan pikiran dan pengalamannya.
Setiap orang yang lahir dalam kelompok tertentu dan hidup di dalamnya harus
mempelajari bahasa sebagai prasyarat untuk hidup sebagai manusia dan
memperkembangkan dirinya.
Bahasa mengenal kata, bunyi, tata kata, tata bahasa dan ungkapan. Adanya sekian
banyak bahasa di dunia yang berbeda adalah suatu fenomen yang mengagumkan.
Bahasa menjadi bentuk pengalaman itu sendiri. Perbedaan-perbedaan dalam bahasa
menunjukkan perbedaan pengalaman, cara berpikir, cara memandang dunia dan cara
hidup.
e). Hidup Gereja adalah suatu peristiwa bahasa, tegasnya, bahasa iman. Dia lahir dari
iman, dari jawaban manusia kepada Allah yang bersabda. Hidup Gereja lahir dari
sabda (bdk. Rm 10:14-15). Pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada
pewartaan sabda Allah secara terus-menerus (bdk. Mat 28:18, 20).
Hidup Gereja adalah suatu peristiwa bahasa yang berdasar pada pengalaman, suatu
pengalaman yang dibagikan supaya terbentuk suatu persekutuan.
“Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah
kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah
kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami
tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah
melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu
tentang hidup kekal, yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah
dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami
dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamupun beroleh
persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami adalah persekutuan
dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus. Dan semuanya ini kami
tuliskan kepada kamu, supaya sukacita kami menjadi sempurna.” (1 Yoh
1:1-4)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hidup Gereja mempunyai suatu sifat
kebahasaan yang sangat mendalam. Dia membentuk suatu persudaraan batiniah,
suatu persaudaraan hidup yang berdasarkan sabda Allah.
f). Untuk menafsirkan hidup Gereja sebagai peristiwa bahasa, perlulah dilihat sifat-
sifat peristiwa bahasa dalam hidup kegerejaan. Setidaknya ada tiga ciri: 1).
Mengikutsertakan pembicara; 2). kaya dengan bahasa gambaran; 3). terikat kepada
bentuk-bentuk bahasa dari masa lampau.
Pertama, mengikutsertakan si pembicara. Ciri ini muncul karena peristiwa bahasa
hidup Gereja itu adalah bahasa iman, bahasa yang lahir dari jawaban manusia atas
sabda Allah. Injil diwartakan supaya kita percaya (bdk. Luk 1:1-4; Yoh 20:31). Orang
beriman tidak hanya berkata “Kristus itu Tuhan”, melainkan juga “Aku percaya
bahwa Kristus itu Tuhan.” Ciri khas pertama ini paling tampak dalam liturgi dan
doa. Pengikutsertaan ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga bersama-sama.
Kedua, kaya dengan bahasa gambaran. Hal ini terjadi karena Allah menyatakan diri-
Nya, bukan pertama-tama supaya manusia mengerti, melainkan terutama supaya
mereka mengambil bagian dalam hidup-Nya. Persoalannya adalah bahwa wahyu Allah
itu dahsyat, seperti dikatakan Santo Paulus: “O, alangkah dalamnya kekayaan,
hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya
dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm 11:33).
Karena misteri Allah itu tak terselami dan karena kita dipanggil untuk mengambil
bagian dalam hidup-Nya, bahasa wahyu penuh gambaran. Bahasa gambaran ini
mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan melalui gagasan-gagasan yang terang
dan terperinci. Bahasa gambaran bukan saja menerangkan melainkan juga
memasukkan orang pada kenyataan iman. Dia membuat orang mengerti dan lebih-lebih
melihat dan mendengar dengan hati. Dia membuat orang berulang-ulang melihat dan
mendengar.
Dalam bahasa gambaran, secara sadar dibedakan antara gambaran dan yang
disimbolkan. “Terang” dalam bahasa wahyu, misalnya, menunjuk pada keallahan
Kristus. Tetapi, terang dalam dirinya sendiri bukanlah Kristus; dia hanyalah simbol.
Simbol menajamkan penangkapan kita mengenai misteri iman kita dan
mengundang kita untuk memasuki misteri tersebut dan hidup sesuai dengannya.
Daya suatu simbol dapat menjadi kabur dan lemah. Dia dapat tidak terpakai karena
tidak dimengerti dan tidak menggerakkan manusia untuk mengambil bagian dalam
misteri itu. Bahasa gambaran kerapkali membutuhkan banyak penafsiran sebelum
kita mengerti dan melihat yang dimaksudkan. Hal itu terjadi karena bahasa
gambaran terikat pada lingkungan alam dan kebudayaan tertentu.
Ketiga, terikat pada bentuk-bentuk dari masa lampau. Setiap agama yang
melembaga terikat pada suatu pengalaman keagamaan awali yang memberikan
kepadanya ciri khas. Hampir setiap bahasa keagamaan, konsekuensinya, memiliki
ciri “kuno.” Dan dalam kekristenan, hal itu tampak.
Allah berulang kali dan dengan berbagai macam cara pada zaman lampau telah
mewahyukan diri-Nya kepada nenek moyang kita dalam iman (bdk. Ibr 1:1). Allah
berbicara dan menyatakan diri-Nya kepada manusia dengan menggunakan bahasa
yang mereka mengerti. Bahasa penyataan diri Allah inilah yang terikat ruang dan
waktu. Pengalaman semacam ini tidak berubah bahkan dengan kedatangan Putera-
Nya yang dikaruniakan kepada kita. Hal ini selanjutnya juga tidak berubah dengan
perutusan Paulus dan rasul-rasul lain ke dalam kebudayaan Yunani. Akibatnya,
bahasa pewahyuan diri Allah terikat pada kebudayaan Yahudi dan Yunani.
Tambahan lagi, pewahyuan Allah itu berlangsung dalam jangka waktu yang cukup
lama, yakni kurang lebih 2.000 tahun.
Di samping bahasa wahyu, ada pula bahasa penafsiran wahyu yang dalam perjalanan
sejarahnya juga sudah hampir 2.000. Dia mengenal lebih dari satu bahasa
kebudayaan. Ada cukup banyak bahasa penafsiran wahyu yang tidak terdapat dalam
bahasa wahyu, misalnya, Tritunggal, pribadi, hidup membiara, dan sebagainya.
Akibatnya, tidaklah terlalu mudah bagi seorang beriman pada zaman sekarang dan
dari kebudayaan lain untuk mengerti bahasa iman dengan tepat.
2. Keharusan penafsiran dan bagaimana harus ditafsirkan
3. Penutup

Anda mungkin juga menyukai