Anda di halaman 1dari 2

Nama : Gedalya R. H.

Sihotang

NIM/ Kelas : 21.3678/6A

Mata Kuliah : Teologi Biblika

Dosen Pengampu : Pdt. Pahala Jannen Simanjuntak, D.Th

ETIKA MENURUT TRADISI KENABIAN

Nubuatan para nabi dalam konteks kehidupan agama, politik, dan struktur sosial Israel
memiliki dampak yang sangat signifikan. Mereka bukan hanya menyampaikan pesan
spiritual, tetapi juga menekankan pentingnya perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama,
terutama dalam ibadah kepada Yahweh. Amos dengan tegas menyatakan bahwa ibadah yang
tidak diikuti dengan perbuatan yang adil merupakan penghujatan terhadap Allah. Ia
mengkritik eksploitasi dan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat, menunjukkan
bahwa prinsip kemanusiaan, seperti keadilan, harus ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari.1

Pemikiran Yahudi tidak mengadopsi dualisme, melainkan menyatukan aspek fisik dan
spiritual ke dalam kesatuan. Mereka menolak pandangan asketis dan memperjuangkan
keselarasan antara materialisme dan idealisme. Para nabi menyoroti tidak hanya kerusakan
moralitas, tetapi juga dampak negatifnya terhadap ekonomi dan sosial. Mereka menentang
ketidakseimbangan distribusi kekayaan yang hanya menguntungkan golongan kaya dan
penguasa, sementara orang miskin dan tertindas terpingkirkan. Fokus utama mereka adalah
membangkitkan kesadaran akan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. 2

Dalam pandangan Graham yang disebutkan dalam tulisan Epzstein, para nabi
mempromosikan nilai-nilai positif seperti kebaikan, kehormatan, kepercayaan, kesetiaan, dan
keadilan. Mereka menentang perilaku jahat orang kaya, melindungi yang lemah dan tertindas,
serta menentang penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa. Kritik mereka terhadap
ketidakadilan ekonomi dan sosial mencerminkan upaya mereka untuk memperjuangkan
keadilan bagi semua lapisan masyarakat.3

Philip R. Davies menekankan bahwa para nabi Israel sangat memperhatikan etika,
khususnya terkait penindasan terhadap orang-orang yang lemah dan kurang mampu. Mereka

1
Leon Epzstein, Social Justice in the Ancient Near East and the People of the Bible, trans. John Bowden (SCM
Press Ltd., 1986), 90–103.
2
Epzstein, Social Justice in the Ancient Near East and the People of the Bible, 98–100.
3
Epzstein, Social Justice in the Ancient Near East and the People of the Bible, 93.

1
menjadi suara bagi yang tidak memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka
sendiri. Melalui ajaran mereka, mereka mendorong masyarakat untuk memerangi
ketidakadilan dan menegakkan kebenaran, sebagaimana tergambar dalam ajaran hikmat
Amsal. Dengan demikian, nubuatan para nabi tidak hanya menjadi bagian integral dari
kehidupan agama Yahudi, tetapi juga memberikan pandangan kritis terhadap struktur sosial
dan politik pada zamannya. Mereka menyerukan perubahan moral dan sosial, serta
membangkitkan kesadaran akan pentingnya keadilan dan kebenaran dalam kehidupan
bermasyarakat. Upaya mereka membela yang lemah dan menentang ketidakadilan menjadi
cerminan dari nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang dipegang teguh dalam agama
Yahudi. Dalam konteks Perjanjian Lama, para nabi berperan sebagai wakil nilai-nilai etika,
menyoroti urgensi keadilan dan menentang segala bentuk penindasan. Namun, terdapat
perbedaan signifikan antara sistem totaliter yang mengklaim sumber ilahi dengan sistem
berbasis tradisi dan evolusi masyarakat. Sistem totaliter cenderung membatasi kebebasan
individu, sementara sistem yang didasarkan pada tradisi masyarakat lebih condong pada
prinsip etika karena melibatkan persetujuan kolektif.4

Daftar Pustaka

Epzstein, Leon. Social Justice in the Ancient Near East and the People of the Bible.
Translated by John Bowden. SCM Press Ltd., 1986.

Rogerson, J. W., Margaret Davies, and M. Daniel Carroll R., eds. The Bible in Ethics: The
Second Sheffield Colloquium. Journal for the Study of the Old Testament 207.
Sheffield, England: Sheffield Academic Press, 1995.

4
J. W. Rogerson, Margaret Davies, and M. Daniel Carroll R., eds., The Bible in Ethics: The Second Sheffield
Colloquium, Journal for the Study of the Old Testament 207 (Presented at the Sheffield Colloquium, Sheffield,
England: Sheffield Academic Press, 1995), 172–173.

Anda mungkin juga menyukai