Anda di halaman 1dari 14

ERMAWATI-1170750020

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dekade terakhir ini banyak orang membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di
Amerika Latin tempat asal teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi
Pembebasan timbul di mana- mana, namun yang secara vokal dan sistematis berbicara tentang
Teologi Pembebasan adalah yang berasal dari Amerika Latin. 1 Teologi adalah suatu ilmu yang
membahas hakikat dan hubungan antara Tuhan dan maupun mahluk lainnya. Istilah pembebasan,
muncul sebagai istilah khas Amerika Latin baru. Istilah tersebut merupakan istilah yang
dibakukan sebagai reaksi terhadap

pembangunan di Amerika Latin dan negara lainnya.

Pembangunan telah membawa misi sistem ekonomi, politik, liberal kapitalis. Sistem liberal
kapitalis justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan kaya. Negara
miskin semakin tergantung pada negara kaya, dalam hal hutang dan hubungan dagang
internasional. Desa semakin menjadi pinggiran dan tergantung pada kota. Buruh semakin
menggantungkan nasibnya pada majikan yang memerasnya. Situasi tersebut disadari oleh para
teolog Amerika latin untuk menggali lebih dalam arti pembebasan. Teologi pembebasan di
Amerika Latin merupakan sebuah entitas gerakan sekaligus juga doktrin.
Secara konsepsional maupun gerakan atau aksinya, teologi pembebasan ini tumbuh dan
berkembang serta populer khususnya di negara-negara Amerika Latin pada dasawarsa 70-an.
Gerakan atau aksi dari teologi pembebasan lahir dari masyarakat yang dalam keadaan miskin
atau negara-negara yang tertindas oleh kekuatan dan kekuasaan materialistis serta ekonomis
seperti misalnya dalam sistem kapitalisme, sistem developmentalism, sistem liberalisasi ekonomi
(globalisasi) dan lainnya. Dengan kata lain, konsepsi tersebut lahir dari refleksi kritis atas
gagalnya sistem-sistem tadi dalam mewujudkan kehidupan yang humanis bagi umat manusia di

1A. A. Yewangoe, Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi
dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (ed. John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan
Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995) 69.

muka bumi ini.2 Oleh karena itu menurut Gutierrez, sebagai seorang yang mula-mula
mempopulerkan dan menganjurkan menerapkan teolgi pembebasan, realitas kemiskinan di
Amerika Latin identik dengan kematian.3 Dengan demikian, realitas yang terjadi bukan hanya
sekedar menyangkut masalah sosial tetapi juga masalah iman, yakni situasi yang bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental injili: kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian. Hal yang terjadi di
Amerika Latin adalah situasi yang bertentangan dengan kerajaan kehidupan (Kerajaan Allah)
yang diproklamasikan Tuhan.4
Para teolog berusaha memberikan arti secara utuh dan integral terhadap istilah pembebasan
antara lain adalah: Gustavo Gutierrez (1973) dan Leonardo Boff (1974). Gutierrez mengartikan
sebagai pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial dan politik, pembebasan dari
kekerasan yang melembaga yang menghalagi terciptanya manusia baru dan ditingkatkan
solidaritas antar manusia, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam
persekutuan dengan Tuhan dan semua manusia. Sedangkan Boff menggagas pembebasan sebagai
proses menuju kemerdekaan. Wujudnya berupa pembebasan dari segala sistem yang menindak
ke dalam bentuk pembebasan untuk realisasi pribadi manusia yang memungkinkan manusia
untuk menentukan tujuan-tujuan hidup, politk, ekonomi dan kulturalnya.5 Mereka berharap
gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan
teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan
dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa
penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Gerakan teologi pembebasan ini melibatkan sektor-sektor
penting gereja (para romo, pengamal tarekat atau ordo-ordo, para uskup), gerakan keagamaan
2 Lihat Herbert Marcuse, Pembebasan dari Masyarakat Berkelimpahan diterjemahkan oleh: Baskara T. Wardaya
dalam Pembebasan Manusia: Sebuah Refleksi Multidimensional editor: Baskara T. Wardaya, Buku Baik,
Yogyakarta, 2004, hlm. 189-191.

3 Gustavo Gutierrez, We Drink from our own Wells, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1984) hal. 9.
4 Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1987), hal. 84.
5 Michael Lowy, Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal: 27.
2

orang awam, keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat
gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar
nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka. Dorongan moral dan
keagamaan inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktifis
dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, dan front-front kerakyatan untuk
melawan penindasan dan kemiskinan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses terjadinya gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin?
2. Bagaimana teologi pembebasan ini mempengaruhi masyarakat di Amerika Latin dan
pencapaian nya?
1.3 Kerangka Teori
A. Teori Sosial Kritik
Teori Sosial Kritis, (2003) Ben Agger menyatakan bahwa tidak seharusnya melalaikan
konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan
(kosmos) yang tetap memegang etika transcendental-religius di samping moral kesusilaan dalam
hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya
negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun
batin, maka mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu
gugat, di samping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya
masing-masing.6 Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan bantuan dan uluran tangan orang
lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka senantiasa mengadakan interasksi
sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan timbal balik, interaksi ini suatu ketika akan
menimbulkan benturan-benturan yang tidak menutup kemungkinan justru menjadi konflik.
Teori sosial kritik mempunyai tugas membawa praktek pembebasan. Ada dua hal yang harus
dilakukan oleh teoritisi kritik, yakni:
1. Teori sosial harus mampu menjelaskan tentang bagaimana kondisi serta sistem sosial
yang ada telah menciptakan pemahaman dan kesadaran palsu mmengenai realitas sosial
yang harus diterima masyarakat demi melanggengkan status quo. Teori sosial kritik
6 Agger, Ben. 2003. TEORI SOSIAL KRITIS. Penerbit Kreasi Wacana: Yogyakarta
3

berkewajiban agar masyarakat memiliki kesadaran kritis terhadap realitas sosial yang
sedang dihadapi.
2. Teori sosial harus memfasilitasi munculnya visi alternatif tentang relasi sosial yang bebas
dari segala bentuk penindasan, eksploitasi dan ketidakadilan. Hal ini berarti ilmu sosial
juga berdimensi praksis.
Kedua tugas tersebut sesungguhnya tidak meletakkan masyarakat sebagai obyek,
melainkan harus ditempatkan sebagai subyek teori maupun sejarah bagi perubahan masyarakat
itu sendiri. Pandangan Teori Kritik yang meletakkan masyarakat sebagai subyek perubahan
sosial dan pembangunan telah memberi pengaruh pada pandangan yang meletakkan masyarakat
sebagai subyek pendidikan, serta penelitian sosial. Atas dasar prinsip tersebut telah lahir berbagai
metodologi partisipatori dalam berbagai aspek, seperti pengembangan masyarakat model
partisipatif, yakni suatu proses kombinasi pendidikan, penelitian dan aksi sosial yang meletakkan
masyarakat sebagai subyeknya.

B. Teori Gerakan Sosial Keagamaan


Menurut Durkheim, karakteristik paling dasar dari setiap kepercayaan agama adalah yang
terletak pada konsep tentang Yang Sakral. Di dalam masyarakat beragama manapun, dunia
dibagi menjadi dua bagian terpisah, dunia yang sakral dan dunia yang profane atau duniawi,
bukan apa yang selama ini dikenal dengan natural dan supernatural. Hal-hal yang sakral selalu
diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal dia tidak tersentuh dan
selalu dihormati. Sebaliknya, hal-hal yang profan adalah bagian keseharian dari hidup dan
bersifat biasa-biasa saja. Dan konsentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral. Durkheim
mengatakan bahwa agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh
dan selalu dikaitkan dengan Yang Sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.Perilakuperilaku tersebut kemudian disatukan ke dalam satu komunitas moral, tempat masyarakat
memberikan kesetiaannya. Menurutnya, Yang Sakral tersebut memiliki pengaruh luas,
menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sedangkan Yang Profan
tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan keseharian tiap individu, baik
itu menyangkut aktivitas pribadi, atau pun kebiasaan yang selalu dilakukan setiap individu dan
4

keluarga. Dikaitkan dengan keagamaan maka gerakan sosial keagamaan berarti adalah hasil
perilaku kolektif yang dilakukan oleh sejumlah orang dengan mengatasnamakan nilai dan ajaran
keagamaan yang bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap adanya rangsangan yang
berkaitan dengan kesadaran keagamaan. 7

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Terjadinya Gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin
Sejak Colombus menemukan beberapa pulau di Karibia, Kolumbia, pada abad ke- 15,
sejarah kolonialisme mulai terpahat di benua Amerika Latin. 8 Negara-negara Eropa, terutama
Spanyol berdatangan ke benua ini dan menjajah rakyat Amerika Latin. Mereka menguasai daerah
yang membentang dari Meksiko di utara sampai Argentina di selatan, dari Brasilia di timur
sampai Meksiko di barat. Kekayaan alam yang terdapat di wilayah ini, terutama emas,
dieksploitasi dan dijarah oleh Spanyol. Orang-orang Amerindian (penduduk asli (Indian)
Amerika Latin) tidak hanya kehilangan tanah dan kekayaan alam tapi juga juga martabat pribadi
sebagai manusia yang bebas. Mereka dijadikan tenaga kerja paksa dan murah, diperlakukan
sebagi budak dan dibunuh secara kejam kalau melakukan perlawanan. Maka realitas kemiskinan
Amerika Latin dewasa ini tidak muncul dengan tiba-tiba tetapi sesungguhnya mempunyai asal
usul historis berabad-abad lampau dengan dimulainya penjajahan oleh Spanyol.
Pada abad ke-19, banyak wilayah di Amerika Latin berhasil memperoleh kemerdekaan
mereka dari kolonialisme politik dan berdiri menjadi negara-negara baru, tetapi muncul
kolonialisme ekonomi Barat berupa kapitalisme yang melanjutkan eksploitasi di Amerika Latin.
Namun ternyata sistem kapitalisme ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyat seperti yang
telah dijanjikan, tetapi sebaliknya mengakibatkan kemiskinan. Wajah kemiskinan yang tragis
tersebut tampak secara konkret dalam diri orang-orang miskin, yakni manusia-manusia yang
7Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2012), hlm. 129-177.
8 E. Dussel, A History of the Church in Latin America, (Grandrapids, Michigan: Eerdmans, 1981) hal.
26-31.
5

hidup tanpa kelayakan manusiawi baik dalam aspek fisik seperti lapar, sakit, tidak memiliki
tempat tinggal maupun dalam aspek psikis seperti hilangnya kebebasan pribadi untuk
menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Dengan kejadian ini, muncullah istilah Teologi
Pembebasan yang berusaha memperbaiki keadaan sosial dengan menggunakan cara teologis.
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan
pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar
munculnya Teologi Pembebasan. Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol,
Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi
korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga
para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai Musa Teologi
Pembebasan Amerika Latin.Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap
Gutierrez dan amat mewarnai pandangan- pandangan teologisnya.9
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada
pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara
yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya,
Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi
Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.10
Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudium et Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang
menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin
dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para
Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti
perumusannya berbunyi: Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya
apapun pengorbanan yang diberikan. Pada tahun 1962, Paus Yohanes XXIII disebut Konsili
Vatikan Kedua (Vatikan II) untuk mencoba untuk menyesuaikan pesan Kristen ke dunia

9Gustavo Gutierrez, dikutip oleh Grenz, 20th Century 211; bdk. Wardaya, Spiritualitas 106, dan
Yewangoe, Implikasi 70-71.
10 Grenz, 20th Century 211; Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids:
Baker, 1985) 635.
6

modern,11 serta memikirkan kembali sifat Gereja, dunia dan hubungan antara keduanya. 12 Selama
konferensi, gereja merumuskan kembali perannya; gereja sekarang harus dilihat sebagai "Umat
Allah" - sebuah komunitas orang-orang dengan hadiah yang berbeda tetapi semua berbagi
kesetaraan umum, kemanusiaan, dan takdir di mata Tuhan.13 Vatikan II menyerukan gereja untuk
terlibat dengan perjuangan kaum miskin; jika gereja mengadopsi peran yang rendah hati, miskin
dapat mencapai lebih efektif.14Konferensi menolak gagasan bahwa gereja harus menyesuaikan
diri dengan elit yang kuat dan menegaskan pentingnya dunia yang lebih adil .Meskipun uskup
Amerika Latin tidak tokoh menonjol dalam perdebatan Vatikan II, itu adalah pengalaman belajar
bagi mereka.Ketika para uskup pulang ke Amerika Latin, banyak mengambil melihat lebih dekat
pada tatanan sosial yang menindas di berbagai negara Amerika Latin dan melanjutkan peran
gereja.
Pada akhir musim panas tahun 1968, Amerika Latin Konferensi Waligereja (CELAM)
bertemu di Medelln, Kolombia, dengan tujuan penerapan konsep Vatikan II ke Amerika Latin.
Hasilnya adalah sebuah dokumen yang pada akhirnya akan menjadi dasar untuk teologi
pembebasan dan memberikan otoritas gereja untuk terlibat dalam perubahan sosial.

Gustavo

Gutirrez, seorang teolog pembebasan terkemuka, mendesak gereja untuk mulai berbicara
tentang pembebasan bukan pembangunan dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh Amerika
Latin. Ketika konferensi dimulai, itu adalah istirahat dari tradisi karena para uskup yang
diterapkan gereja untuk masyarakat daripada masyarakat ke gereja.Dalam semua dokumen dan
diskusi, situasi dinilai dan kemudian refleksi teologis dibentuk.Akhirnya, komitmen pastoral
untuk memecahkan masalah, seperti penciptaan Komunitas Basis Gerejani Base, dibuat.
Selama konferensi, para uskup menyerukan umat Katolik untuk mengecam kekerasan
dilembagakan, memberlakukan perubahan sosial, dan melaksanakan "kesadaran penggalangan"

11 Arthur F. McGovern, Teologi Pembebasan dan Its Critics (Maryknoll: Orbis Books, 1989), 5
12 Christian Smith, Munculnya Teologi Pembebasan (Chicago: The University of Chicago Press, 1991),
94
13Ibid. 96.
14 Phillip Berryman, Teologi Pembebasan (Philadelphia: Temple University Press, 1987), 7
7

penginjilan.15Para uskup mengkritik imperialisme internasional dan ketidaksetaraan antara kelaskelas sosial dan menyerukan komitmen kepada orang miskin.Para uskup menegaskan bahwa
kekerasan itu salah, tapi kadang-kadang diperlukan ketika berjuang melawan kekerasan
dilembagakan, seperti kekerasan melalui pemerintah.Gereja Katolik membuat dokumen Medelln
dokumen resmi Gereja.Meskipun teologi pembebasan tumbuh dari ide-ide yang diakui secara
resmi, dokumen Medelln bukan dokumen teologi pembebasan.Hal itu, bagaimanapun,
meletakkan dasar, dan sejak itu teologi pembebasan telah berkembang pesat dalam gereja
Katolik Amerika Latin.
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi
korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya
ketergantungan ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya),
yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan
keresahan-keresahan sosial.

a. Munculnya Teologi Pembebasan di Brazil


Gereja di Brasil selalu menjadi salah satu yang paling progresif dan teologis adalah
contoh terbaik dari Komunitas Basis Gerejani Base. Karena kekurangan parah imam, pada
tahun 1954, 372 berbaring katekis dilatih untuk memberikan massa menggunakan sudah
ditahbiskan Ekaristi.16Pada tahun 1960, 475 CEBs dibentuk di pantai timur laut Brasil.Tidak
ada angka resmi dari CEBs di Brasil saat ini, namun perkiraan umum adalah bahwa tujuh
puluh ribu ada, melibatkan empat juta orang. Di Brazil, gereja telah mengambil peran yang
terdesentralisasi dan partisipatif yang melepaskan diri dari sifat hirarki gereja. Pembentukan
CEBs disediakan partisipasi gereja dan pengaruh dalam masyarakat sipil yang lemah, bahkan
selama pemerintahan militer teknokratis 1964-1985.Bahkan, banyak orang Katolik melihat
CEBs mendefinisikan gereja di Brazil karena orang-orang sekarang dapat berhubungan
dengan lembaga.
15Ibid, 23.
16Thomas C. Bruneau, "Brasil: Gereja Katolik dan Komunitas Kristen Basic" Agama dan Konflik Politik
di Amerika Latin ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 108
8

Setelah kudeta 1964, pemerintah militer menindas gerakan rakyat dan kekuatan oposisi,
termasuk gereja.Menanggapi penindasan ini, gereja menjadi lebih progresif dan CEBs
menjadi pusat gereja,17bahkan ada di antara kelas menengah-atas.The CEBs memperkenalkan
ide-ide baru dan metode sosial demokrasi yang menyebabkan keterlibatan aktif banyak
peserta dalam gerakan rakyat Brazil yang bekerja untuk perubahan sosial yang
progresif.Contoh perubahan sosial yang progresif diprakarsai oleh CEBs di Nova Iguacu.
Sebuah program kesehatan mulai sana untuk mencoba untuk mengatur penduduk dalam
rangka untuk memperbaiki kekurangan gizi, selokan terbuka, dan bahaya kesehatan lainnya.
Program yang ditawarkan oleh keuskupan wilayah dan empat dokter sekuler yang pergi
langsung kepada orang miskin.
Populasi membahas semua masalah yang mereka hadapi, bukan hanya masalah
kesehatan; secara bersamaan orang-orang mulai mengorganisir CEBs untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.Upaya-upaya konkrit menekankan kebutuhan penduduk lokal daripada
diskusi teoritis.Itu teologi pembebasan dalam praksis.Kursus kesehatan lingkungan menyebar
ke lainnya CEBs di Nova Iguacu dan segera menjadi sebuah gerakan massa, meskipun masih
berkaitan dengan kebutuhan penduduk setempat. Fokus ini mulai berubah pada tahun 1978,
ketika kepemimpinan gerakan menjadi lebih tertarik dalam politik lokal dan nasional dan
mulai bekerja untuk perubahan progresif yang akan datang dari pemerintah nasional. Banyak
sejarawan melihat CEBs Brasil sebagai memiliki memainkan peran penting dalam transisi
dari pemerintahan militer ke politik demokrasi dengan menjadi terlibat seperti CEBs dari
Nova Iguacu.18
b. Munculnya Teologi Pembebasan di Nicaragua
Peran gereja dalam revolusi Nikaragua 1970 bisa dipungkiri. Setelah Medelln, CEBs
didirikan di seluruh Nikaragua dan mendorong aktivisme sosial di kalangan pemuda.Pada
tahun 1970, para ulama baru dan pemuda aktivis mulai memprotes Somoza, yang lama
diktator, melalui aksi mogok makan dan pawai.Protes keras ini memicu kepentingan FSLN
17 Scott Mainwaring, "Brasil: Gereja Katolik dan Gerakan Populer di Nova Iguacu, 1974-1985" Politik
Teologi Pembebasan, ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 126
18 John R. Pottenger, Teori Politik Teologi Pembebasan (New york: State University of New York Press,
1989), 141
9

(Sandinist Front Pembebasan Nasional), dan FSLN dan imam melakukan kontak.Ini
pekerjaan akar rumput meletakkan dasar untuk kolaborasi gereja dalam revolusi. Pendeta
lokal datang ke dalam konflik langsung dengan kedua rezim dan hirarki gereja dengan
menolak untuk mendukung Somoza setelah gempa bumi pada tahun 1972 membawa korupsi
rezim Somoza terhadap cahaya.CEBs didirikan mengalami korupsi dan kekerasan ini secara
langsung.19Dukungan untuk FSLN tumbuh sangat seluruh CEBs dan pada tahun 1977,
beberapa imam terkemuka mengumumkan bahwa mereka bergabung dengan FSLN dan
kelompok oposisi lainnya.The CEBs terbukti efektif sebagai kelompok politik akar rumput
dalam revolusi dan pada bulan Juli 1979, FSLN menang atas Somoza.
Sebuah situasi yang sedikit berbeda terjadi di El Salvador.Selama awal 1970-an, gereja
diciptakan CEBs di seluruh negeri. Antara menengah ke akhir 1970-an, lima belas imam,
semuanya bekerja di daerah pedesaan dengan orang miskin, dibunuh oleh regu kematian
Salvador bertentangan dengan upaya CEB mereka.20 Karena semakin banyak imam dan
awam ditangkap, dipukuli, dan dibunuh karena pekerjaan progresif mereka, sulit untuk tidak
mengaitkan situasi dengan "kekerasan institusional" dikutip pada konferensi Medelln. Pada
tahun 1977, tahun yang sama di mana partai pemerintah memenangkan pemilihan melalui
penipuan besar-besaran, Oscar Romero, seorang imam konservatif, ditunjuk Uskup Agung El
Salvador. Represi meningkat ke tingkat baru. Pada tanggal 28 Februari 100 orang tewas
dalam serangan pada Misa terbuka dan beberapa imam lainnya kemudian dibunuh. Pamflet
yang beredar yang berbunyi "Jadilah Patriot, Membunuh seorang Imam".
Uskup Agung Romero mulai memberikan khotbah dan menulis surat yang menganalisis
pertanyaan kekerasan dan non-kekerasan. Ia mencontohkan enam jenis kekerasan:
kekerasan dilembagakan, kekerasan negara terhadap pembangkang, kekerasan ekstrim kanan
dalam pertahanan dari tatanan sosial yang tidak adil, kekerasan teroris, kekerasan
insureksional terhadap tirani berkepanjangan, dan terakhir, kekerasan yang sah untuk
membela diri. Romero memberikan persetujuan bersyarat untuk revolusi, namun
memperingatkan bahaya berarti tidak etis mengakhiri otoritarianisme. Ia dikutip mengatakan,
19 Michael Dodson, "Nikaragua: Perjuangan untuk Gereja" Agama dan Konflik Politik di Amerika Latin,
ed. Daniel H, Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 83
20 Paul E. Sigmund, Teologi Pembebasan at the Crossroads (New York: Oxford University Press, 1990),
109
10

"Kapitalisme sebenarnya apa yang paling adil dan kristiani tentang masyarakat di mana kita
hidup". Meskipun pemerintah digulingkan pada tahun 1979 dan junta baru menjanjikan
reformasi, penindasan terus; Romero berbicara menentang rezim baru dan memohon dengan
militer untuk menghentikan penindasan dan pembunuhan.Keesokan harinya,saat memberikan
Misa, dia dibunuh dengan darah dingin. Selama pemakamannya minggu berikutnya, dua bom
meledak, dan menembak pecah membunuh dua puluh enam orang.
Pada bulan Juni 1980, Dewan Nasional Gereja Rakyat didirikan untuk menghubungkan
sejumlah CEBs dedikasi pembebasan rakyat Salvador.Sebagai perang sipil berdarah terjadi,
gereja mengadopsi sikap resmi netral, pendukung hak asasi manusia di kedua sisi.Pada Maret
1982, demokrasi parsial telah dipulihkan dan beberapa regu pembunuh kanan bersayap
diadili atas kejahatan mereka.Meskipun gereja resmi memegang posisi netral selama perang,
oligarki dan militer terkait organisasi populer dengan gereja karena banyak CEBs
dimasukkan ke dalam organisasi populer dan, kemudian, ke dalam gerakan gerilya.21
2.2 Pengaruh Teologi Pembebasan Bagi Masyarakat Amerika Latin
Sejak akhir 1950-an, gereja telah membuat beberapa perubahan drastis di Amerika Latin
dan penciptaan teologi pembebasan telah menjadi salah satu yang penting.Pada sebuah benua di
mana sangat miskin sangat melebihi jumlah orang kaya, teologi pembebasan telah bertemu
dengan tinjauan yang beragam.Gereja telah datang untuk membela kaum miskin dan karena ini,
banyak orang melihat teologi pembebasan dan CEBs sebagai kekuatan hidup baru dalam gereja
yang menghubungkan orang-orang dengan agama serta masyarakat mereka.CEBs, perwujudan
utama dari teologi pembebasan, telah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat miskin,
baik agama maupun social. Melalui CEBs, gereja telah mampu mempromosikan refleksi tentang
Alkitab dan memberikan rasa martabat kepada orang miskin. Akar rumput organisasi yang
menciptakan CEBs telah memungkinkan para peserta untuk memperjuangkan perubahan sosial
yang progresif, seperti dalam reformasi kesehatan Nova Iguacu, dan hak-hak mereka sebagai
manusia di beberapa negara, seperti Nikaragua dan El Salvador. Namun, sebagian besar CEBs
tidak politis, tetapi ada masyarakat hanya sebagai spiritual.

21 Phillip Berryman, "El Salvador: Dari Penginjilan ke Pemberontakan," Agama dan Konflik Politik di
Amerika Latin, ed. Daniel H. Levine (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1986), 70, 75
11

Meskipun pengaruh positif, elit kaya dari Amerika Latin dan Gereja Katolik resmi melihat
teologi pembebasan dan ide-ide progresif sebagai mengancam status quo.Bahkan, sikap resmi
Gereja Katolik melawan teologi pembebasan.

Kritik terbesar dari teologi pembebasan adalah

bahwa ia cenderung untuk mengurangi iman dengan politik. 22Gutirrez menanggapi kritik ini
dengan memberikan "politik" dua makna yang berbeda - upaya umat manusia untuk menemukan
potensi mereka, dan mencari kekuasaan.Gutirrez berpendapat bahwa teologi pembebasan bukan
untuk kekuasaan, melainkan untuk membantu upaya manusia untuk menemukan kapasitas
mereka.23Uskup Agung Romero menyatakan bahwa gerakan rakyat dan gereja yang erat terkait
dengan carayang positif, tapi keduanya tidak harus menyatu menjadi satu.24Kritik kedua dari
gereja Katolik utama adalah penggunaan Marxisme untuk menganalisis sejarah dan kemudian
merancang solusi.Banyak yang berpendapat bahwa pendekatan ini menciptakan praksis
revolusioner dan sementara mengklaim untuk membebaskan orang miskin, benar-benar membuat
lebih banyak kekerasan dan penindasan.25 Sekali lagi, para teolog pembebasan berpendapat
bahwa mereka tidak selalu menganjurkan sistem ekonomi yang didasarkan pada Marxisme,
melainkan sebuah sistem yang unik Amerika Latin.Kapitalisme jelas belum bekerja di benua
mereka karena beberapa alasan, termasuk ketergantungan pada negara-negara Dunia Pertama,
dan eksploitasi dan rezim politik yang tidak stabil.Oleh karena itu, perlu untuk menciptakan
sebuah sistem yang tidak.
Menilai dampak sebenarnya dari teologi pembebasan di Amerika Latin sangat sulit karena,
pertama dan terutama, itu adalah teologi, bukan gerakan; itu harus disesuaikan dengan situasi
yang dihadapi. Karena adaptasi yang diperlukan ini, tidak ada contoh murni teologi pembebasan
praksis; teologi pembebasan dalam prakteknya berbeda dari satu negara ke negara - kadangkadang bahkan dari CEB ke CEB. Oposisi dari beberapa pemerintah dan pejabat gereja yang
teolog pembebasan hadapi ketika mencoba untuk menempatkan teori mereka ke dalam praktek
juga membuat lebih sulit untuk menilai dampaknya. Sangat sedikit penelitian yang benar telah
22 McGoven, 16
23Ibid. 100
24 Berryman, "El Salvador," 76
25 Ibid. 132
12

dilakukan untuk mempelajari teologi pembebasan sebagai sebuah gerakan, dan sebagai hasilnya,
data untuk studi kasus sangat terbatas. Seperti dalam kasus kebanyakan studi ilmu sosial, data
yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mendukung teologi pembebasan atau untuk
membantah hal itu. Selain itu, banyak dari para ulama yang menganalisis data dari studi kasus
sedikit yang melakukannya dari Amerika kapitalistik itu sudut pandang. Teologi pembebasan,
dengan kepedulian terhadap kaum miskin dan koneksi dengan Marxisme, yang paling sering
tidak duduk dengan baik dengan negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat.Mereka yang
menganalisis teologi pembebasan praksis dari sudut pandang yang sering kehilangan pengaruh
positif yang telah di Amerika Latin.
Teologi pembebasan harus diizinkan untuk tumbuh sebagai teologi sebagai situasi dalam
perubahan Amerika Latin. Teologi pembebasan telah berubah sejak awal; telah menjadi kurang
radikal dan lebih pragmatis. Ini telah menerima bahwa organisasi, bukan revolusi, adalah cara
terbaik untuk memerangi penindasan. Tapi, menggunakan Alkitab sebagai dasar, ia masih
melihat dunia yang ditandai dengan konflik lebih dari dengan kompromi, dengan ketidaksetaraan
lebih dari oleh kesetaraan, dan oleh penindasan oleh lebih dari pembebasan. 26 Mungkin kritik
teologi pembebasan perlu mengingat konteks sejarah dari mana para teolog berbicara.Amerika
Latin jauh dari demokrasi yang Amerika Serikat pengalaman. Gereja Katolik, juga, harus
menyadari bahwa mayoritas umat Katolik di dunia berada di Amerika Latin, yang sebagian besar
miskin. Teologi pembebasan mampu menghubungkan gereja kepada masyarakat serta
memberikan harapan untuk masa depan.

26 Paul E. Sigmund, Teologi Pembebasan at the Crossroads (New York: Oxford University Press, 1990),
181.
13

BAB III
KESIMPULAN
Teologi pembebasan adalah sebuah paham tentang peranan agama dalam ruang lingkup
lingkungan sosial. Dengan kata lain Teologi pembebasan adalah suatu usaha kontekstualisasi
ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Teologi Pembebasan
yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak
keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di
luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim
yang kuat. Keprihatinan sosial, telah membawa para teolog pembebasan pada satu kesimpulan,
Amerika Latin telah menjadi korban bangkitnya kolonialisme, imperialisme global, dan
perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan,
masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan
rakyat. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Karena itu masyarakat terlibat
dalam perenungan-perenungan keagamaan. Tanpa diragukan lagi, jelaslah bahwa Teologi
Pembebasan telah menjadi bentuk teologi yang paling berpengaruh dan paling kontroversial di
Amerika Latin pada akhir abad ke-20. Gagasan ini berarti sedang menunjukkan pada proses
gerakan yang membawa kebenaran teologis untuk mendukung adanya partisipasi manusia dalam
merumuskan kebenaran berkaitan dengan perjuangan kelas di Amerika Latin menuju masyarakat
dengan kesadaran baru dan tentu saja mnasyarakat sosialis baru.
Teologi Pembebasan Gutierrez menjadi bukti bahwa agama tidak diam. Ia bisa saja
bergerak dan cair dalam suatu kondisi yang dibentuk. Dengan tidak mengabaikan doktrinisasi
para pemimpinnya, gerak radikal ditunjukkan agama secara institusional untuk menciptakan,
setidaknya mengusahakan, tatanan masyarakat yang diimpikan. Namun, gerak institusi, termasuk
agama tak pernah lepas dari celah. Gerak itu, bukan saja berbentuk pertarungan secara vertikal,
antara yang menindas dengan yang ditindas, tetapi bisa juga terjadi secara horizontal, antara
sesama pemeluk agama, serta pertarungan antara mereka yang berlainan agama. Terlepas dari
makna yang terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan
kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata.

14

Anda mungkin juga menyukai