Anda di halaman 1dari 30

I N J I L I [EVANGELICAL]

HAKIKAT PENGINJILAN
Menginjili berarti menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus mati uniuk dosa-dosa
kita don bangkit dari antara orang mali sesuai dengan Alkilab, dan sebagai Tuhan yang
memerintah Ia kini menawarkan pengampunan dosa dan karunia Roh yang membebaskan
kepada semua orang yang bertobat dan percoya. Kehadiran kristiani kita di dunia ini tak
terpisahkan dari tugas penginjilan, sama halnya dengan dialog yang maksudnya adalah
mendengar dengan peka agar mengerti. Tetapi penginjilan itu sendiri adalah proklamasi
tentang Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan yang historis dun alkilabiah, dengan
maksud mengajak orang datang kepada-Nya secara pribadi dan dengan demikian
diperdamaikan dengan Allah. Dalam memberitakan Injil kita tidak punya kebebasan
uniuk membatalkan harga kemuridan. Yesus masih tetap memanggil barangsiapa yang
mau mengikut Dia uniuk menyangkal dirinya, ntemikul salib, dan memahami dirinya
sebagai bagian dari persekutuan-Nya yang baru. Hasil penginjilan termasuk ketaatan
kepada Kristus, penghisaban ke dalam gereja-Nya, dan pelayanan yang berianggung
jawab di dalam dunia.
(Butir 4 dari Wasiat Lausanne [Lausanne Covenant], dirumuskan pada Kongres
Internasional Penginjilan se-Dunia, 1974; dimuat sebagai lampiran dalam Kim-Sai Tan
1980:154)
Masalah Peristilahan, khususnya di Indonesia
s
Di antara sekitar 275 organisasi gereja Protestan di Indonesia, diInmbah dengan 400-an
yayasan, paling kurang setengah - kalau hukan semua - mengaku sebagai gereja dan
yayasan yang injili. Di ihilamnya termasuklah sejumlah gereja yang masuk kategori arus
ninma (misalnya GMIM, GMIT, GMIH, GMIST, GM Irja dsb.) - di mann huruf I
merupakan singkatan dari'lnjili' - dan juga sebagian be-
sar gereja Pentakostal. Dengan melihat kenyataan ini kita sekaligus disadarkan bahwa
istilah Injili mengandung beberapa pengertian dan kerumitan, yang bisa - bahkan sering -
membingungkan.
Bila kita melihat kodrat atau sifat dasar gereja, memang tak bisa tidak setiap gereja harus
bersifat injili, dalam arti: keberadaannya didasarkan pada Injil (kabar baik) yang
diproklamasikan Tuhan Yesus Kristus, dan tugas utamanya adalah memberitakan Injil
Kristus itu. Tetapi di dalam sejarah gereja istilah 'Injilii' (dengan huruf I besar) telah
diberi muatan pengertian tertentu. Bila kita berbicara tentang gerakan atau aliran Injili
pada masa kini, maka yang dimaksudkan adalah gerakan atau aliran gerejawi yang
terutama muncul di Amerika Serikat sejak 1940-an (didahului atau dicikal-bakali oleh
gerakan dan paham fundamentalisme), lalu menyebar ke seluruh dunia, dan mencapai
puncak perkembangannya pada dasawarsa 1970-an (mungkin masih berlanjut hingga
sekarang).
Lalu bisa segera muncul pertanyaan: bagaimana dengan istilah 'Injilii' yang digunakan
pada nama sejumlah gereja arus utama seperti yang dicontohkan di atas? Apakah itu tidak
menandakan bahwa gerakan/aliran Injili sudah ada sebelumnya, dan bahwa gereja-gereja
itu merupakan penganutnya? Sebaiknya pertanyaan ini dijawab oleh kalangan gereja itu
masing-masing. Tetapi untuk ikut memberi sekadar jawaban, baiklah kita melihat sejenak
ke sejarah gereja pada zaman Reformasi.
Seperti telah disinggung pada Pendahuluan, Luther dan para penerusnya menyebut gereja
produk gerakan Reformasi itu (yang terbentuk tidak dengan sengaja, karena mereka
dikeluarkan dari GKR dan diberi julukan Protestan) dengan nama Evangelische Kirche
(terjemahan harfiah: Gereja Injili). Nama itu digunakan untuk menegaskan bahwa
Reformasi beserta gereja yang dihasilkannya hendak kembali kepada Injil yang murni
sebagaimana terdapat di dalam Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran dan dasar
kehidupan gereja. (Dengan begitu di dalamnya terkandung kritik terhadap GKR pada
masa itu, yang menurut para reformator tidak lagi bersifat injili.) Nama itu hingga
sekarang digunakan di Jerman, terutama oleh gereja Lutheran (kita ingat misalnya
Evangelische Kirche in Deutschland), dan satu• satunya gereja di Indonesia yang
menggunakan nama itu tanpa terjemahan Indonesia adalah Gereja Kalimantan Evangelis
(kendati gereja ini bukan hanya produk badan penginjilan yang murni Lutheran dari
Jerman, melainkan juga dari Swiss yang lebih bercorak Calvinis). Sementara itu gereja-
gereja reformatoris (Protestan) di Belan
da dan lain-lain yang bercorak Calvinis lebih suka menggunakan nama Gereformeerd,
Hervormd atau Relormed.
Ketika gereja-gereja di Indonesia mulai mandiri (paling tidak secara formal) sejak 1930-
an, rupanya para pemimpinnya lebih suka menggunakan istilah Injili ketimbang Protestan
ataupun istilah lain, kendati gereja-gereja yang menggunakan istilah Injili itu pada
umumnya merupakan produk badan-badan penginjilan dari Belanda. Boleh jadi hal itu
terjadi karena badan-badan zending itu juga terpengaruh oleh European Evangelical
Alliance yang sudah terbentuk di Inggris sejak 1842, yang sedikit-banyak ikut menandai
atau merintis kemunculan gerakan Injili pada pertengahan abad ke-20 ini (lebih lanjut
lihat di bawah).

Kehadirannya di Indonesia
Sejak 1950-an, langsung dari Amerika ataupun melalui Eropa (terutama Jerman dan
Belanda), gerakan Injili (Evangelical) dalam arti yang terakhir, yaitu sebagaimana yang
muncul secara besar-besaran di AS sejak 1940-an itu, mulai memasuki Indonesia. Salah
satu tonggak yang menandai kehadiran gerakan ini di Indonesia adalah Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil di Indonesia (YPPII) yang didirikan pada tahun 1961
menyusul Institut Injili Indonesia (1-3) yang didirikan di Batu-Malang pada tahun 1959,
dengan dukungan dari gerakan dan persekutuan Injili (Evangelikall) dari Jerman. Salah
satu tonggak lain yang juga patut disebut adalah Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT),
juga di kota Malang.
Dalam pada itu tak boleh pula dilupakan berbagai lembaga penginjilan ataupun penginjil
individual yang berasal dari berbagai organisasi ataupun gereja di Amerika yang sudah
bekerja di Indonesia sejak awal abad ini. Selain kalangan Pentakostal yang nantinya juga
mengaku diri dan bergabung dalam gerakan Injili, kita catat misalnya Christian and
Missionary Alliance (CMA atau CAMA), salah satu organisasi gereja di AS yang
menganut gerakan Kesucian, yang kemudian bergabung di dalam gerakan Injili. Tokoh
tokoh utamanya di Indonesia adalah R.A. Jaffray (1873-1945); namanya diabadikan 1nda
beberapa sekolah teologi, antara lain di Ujung Pandang dan Jaknrta. CAMA bekerja di
berbagai penjuru tanah air dan pada akhir",va melahirkan sejumlah gereja yang masuk
dalam rumpun Kemah
Injil Gereja-gereja Masehi di Indonesia (KINGMI), yang sejak 1983 menggunakan nama
baru: Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Sementara itu gerakan Injili dari Inggris dan
negara-negara anggota persemakmurannya hadir di Indonesia sejak tahun 1950-an antara
lain melalui Overseas Missionary Fellowship (OMF; dahulu China Inland Mission;
sekarang menggunakan juga nama Yayasan Persekutuan Kristen Indonesiia, disingkat
YAPKI), yang melayani di dalam dan melalui berbagai gereja, termasuk gereja-gereja
arus utama.
Semula gerakan Injili ini tidak bermaksud mendirikan organisasi gereja yang baru di
Indonesia, melainkan hendak membawa gereja-gereja yang ada pada pembaruan,
ataupun'kembali pada ajaran yang benar, yaitu yang Injili', karena ada kecurigaan yang
kuat bahwa sebagian besar gereja-gereja di Indonesia sudah dirasuki semangat atau aliran
Liberal (tentang hal ini akan kita bicarakan nanti lebih lanjut). Tetapi dalam kenyataannya
sejak 1960-an, dan terutama sejak 1970-an, telah berdiri sejumlah gereja baru, yang
secara gamblang memakai istilah Injili pada nama yang digunakan, ataupun mengaku diri
sebagai bagian dari gerakan atau gereja yang injili. Jumlah organisasi maupun warga dari
gereja-gereja yang menamakan diri ataupun mengaku Injili ini bertambah dengan pesat,
seiring dengan yang terjadi di negeri asalnya Amerika Serikat. Apa alasan untuk
mendirikan sejumlah organisasi gereja baru, baiklah hal itu dijelaskan oleh para
pemimpinnya. Yang jelas sejak saat itu di Indonesia terasa adanya ketegangan hubungan
antara gereja-gereja anus utama (yang merupakan bagian terbesar dari keanggotaan di
DGI/PGI) dengan gereja-gereja Injili ini.
Belakangan malah dibentuk sebuah wadah perhimpunan gerejagereja Injili, yaitu
Persekutuan Injili Indonesia (PII) yang menjadi salah satu wadah di samping DGI/PGI
dan DPI/PGPI. Seperti telah kita singgung pada pasal-pasal terdahulu, ada beberapa
organisasi gereja di Indonesia anggota DGI/PGI yang juga menjadi anggota PII, bahkan
juga menjadi anggota DPI. Apakah ini menandakan bahwa di antara ketiga wadah
perhimpunan ini terdapat kerjasama yang baik, atau justru sebaliknya, akan kita lihat
nanti, atau lebih baik kita serahkan pada para pemimpinnya untuk menjawabnya.
Khusus tentang gereja-gereja Pentakostal yang menjadi anggota
PIT ataupun yang juga mengaku atau menyebut diri Injili, di sini juga
terkandung kerumitan. Memang di hampir seluruh dunia sebagian
besar (untuk tidak mengatakan semua) gereja-gereja Pentakostal [dan
Kharismatik] mengaku atau menyebut diri Injili. Tetapi, pada lain
Dihak sebagian besar kaum Injili tidak mau diidentikkan dengan
kaum Pentakostal ataupun Kharismatik, kendati mereka tidak selalu menolak
keikutsertaan kaum Pentakostal dan Kharismatik dalam barisan gerakan Injili. Bahkan
tidak sedikit di antara tokoh-tokoh gerakan Injili yang merupakan pengecam keras
gerakan/aiiran Pentakostal dan Kharismatik (seperti misalnya Billy Graham, seperti akan
kita lihat lebih lanjut nanti). Sementara itu ada pula dari kalangan Kharismatik (lihat
misalnya Quebedeaux 1974:41-45) yang berpendapat bahwa gerakan Injili, terutama New
Evangelical sejak 1960-an, adalah bagian dari gerakan Kharismatik.
***
Gerakan Injili sebagaimana yang kita kenal sekarang mempunyai latar belakang dan
sejarah yang rumit dan panjang. Pada bagian berikut kita akan coba melihat bagaimana
sampai gerakan ini muncul di panggung sejarah, kenapa para pencetusnya menggunakan
istilah Injili (Evangelical), apa yang merupakan amanat ataupun ajaran utama yang dianut
dan disebarluaskannya dan bagaimana perkembangannya, termasuk sumbangannya bagi
kehidupan gereja maupun persoalan yang ditimbulkannya. Kita akan terutama
mengandalkan literatur yang ditulis oleh kalangan Injili sendiri (antara lain R. Quebe-
deaux 1974 dan 1978, dan Ellingsen 1988). Karena gerakan in' - sebagaimana dikenal
sekarang - terutama lahir di AS, maka 'dengan agak terpaksa' uraian berikut ini pun lebih
banyak menuturkan seluk-beluk gerakan ini di sana, dan lebih mengandalkan literatur
produk penulis-penulis dari sana.
LATAR BELAKANGNYA DI AMERIKA, KHUSUSNYA FUNDAMENTALISME
Bila hendak menelusuri latar belakang dan sejarah gerakan Injili, dari mana kita harus
mulai? Cukup banyak kalangan Injili yang berpendapat bahwa gerakan ini bermula pada
saat proklamasi Injil itu
, endiri, jadi pada diri Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya, atau sekurang-kurangnya -
seperti telah disinggung di atas - pada peristiwa Ileformasi, ketika Luther dan kawan-
kawan 'menemukan kembali' Injil Kristus dan mencanangkannya sebagai dasar
keberadaan gereja. Pendapat ini tentu tidak salah, apalagi bila kemudian ada sejumlah
a ereja yang sebelumnya sudah_utedy~but diri Evangelicah atau Injili
merasa satu atau punya hubungan sangat dekat dengan gerakan Injili yang timbul pada
pertengahan abad ke-20 ini.
Akan tetapi sebagian terbesar peneliti berpendapat bahwa untuk memahami gerakan ini,
kita harus memulainya dengan melihat pada fundamentalisme, karena gerakan ini secara
langsung melanjutkan dan mengembangkan semangat dan paharn fundamentalisme,
kendati keduanya tidak persis sama dan sebangun, bahkan banyak hal yang menjadi ciri
ataupun muatan fundamentalisme ditolak oleh kaum Injili. Fundamentalisme sendiri
punya latar belakang dan sejarah yang cukup panjang. Dalam buku ini kita tidak akan
membahas fundamentalisme secara panjang-lebar, karena telah ada sejumlah tulisan
tentang itu, misalnya karya James Barr, Fundamentalisme, yang barn saja terbit (1994).
Di sini hanya disajikan beberapa catatan secara garis besar.
Pertama-tama perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan fundamentalisme.
Fundamentalisme adalah suatu gerakan yang bersifat antar-denominasi dan antar-konfesi
- artinya tidak terbatas pada aliran gereja ataupun pengakuan-gereja tertentu - yang
berkembang dan menyebar pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ini, mula-mula di
Iingkungan gereja-gereja Protestan di Amerika, lalu meluas ke berbagai penjuru dunia.
Gerakan ini sempat kendor pada dasawarsa 1930-an, tetapi sejak 1940-an (terutama sejak
1960-an) kembali dihidupkan terutama melalui gerakan Neo-Evangelical, yang
belakangan cuma disebut Evangelical (Injili). Fundamentalisme me
rupakan koalisi antara berbagai aliran gerejawi di AS, termasuk Revivalisme (gerakan
kebangunan rohani), Pietisme (lihat pasal 2 dan 7) dan Dispensasionalisme2. Paham yang
disebut terakhir ini sebelumnya sudah terdapat di berbagai gereja arus utama (terutama
Presbyterian dan Baptis), bahkan sedikit-banyak juga gerakan Kesucian
dan Pentakostal. Koalisi ini terutama dimungkinkan oleh suatu reaksi mihtan terhadap
berkembangnya teologi liberal di dalam gereja, dan sekularisme di dalam masyarakat dan
kebudayaan pada umumnya.
Fundamentalisme dicirikan oleh pembelaan dan kesetiaan yang teguh dan militan atas
seperangkat dasar-dasar iman (fund&imentals of faith), terutama kelima butir berikut: (1)
pengilhaman dan kemutlakan Alkitab (dalam arti: setiap kata di dalam Alkitab berasal
dari Allah); (2) keilahian Kristus dan kelahiran-Nya dari anak dara (perawan); (3)
kematian Kristus sebagai ganti dan penebus manusia; (4) kebangkitan-Nya secara
jasmani; dan (5) kedatwigan-Nya kedua kali.3 Di samping itu, gerakan ini juga ditandai
oleh 'mentalitas separatis', yakni membenarkan pemisahan secara religius dari siapa saja
yang tidak menyatakan bersedia menerima dasar-dasar iman di atas. Juga terlihat bahwa
gerakan ini dicirikan oleh penekanan teoIogis atas Kesucian pribadi (termasuk di
dalamnya pengudusan dan I)ertobatan).
Dari hal yang disebut terakhir ini tampak bahwa fundamentalismne antara lain berakar
dan berhutang budi pada gerakan Kesucian,
Lerutama gerakan Kesucian versi Inggris, yang dikenal dengan nama gerakan Keswick.

Gerakan ini muncul di Keswick-Inggris menjelang akhir abad ke-19 dan merupakan
modifikasi tertentu atas gerakan Kesucian-Kesempurnaan'klasik' (yaitu yang berpedoman
pada ajaran John Wesley; pasal 8). Gerakan Kesucian Keswick ini menerima gagasan
dasar dari gerakan Kesucian klasik, tetapi - berbeda dari yang klasik - lebih suka
berbicara tentang karya Roh Kudus 'memberi kuasa' kepada orang Kristen untuk
melayani (terutama di bidang rohani), ketimbang karya Roh Kudus membasmi dosa
secara total seraya menghasilkan kesucian dan kesempurnaan penuh pada manusia,
ataupun kuasa Roh Kudus memberi berbagai karunia khusus (misalnya glossolalia,
nubuat, pe
nyembuhan, dan sebagainya; Bebbington 1989:151-180).
Semangat kesucian versi Keswick, terutama bila dikombinasikan dengan gagasan
dispensasionalis yang menyatakan bahwa pada masa kini Roh Allah berkarya secara unik,
melahirkan kecenderungan unIii k memahami kekristenan dalam kerangka pengalaman
akan karya koh Kudus secara pribadi, bukan dalam kerangka penegakan Taurat (seperti
pada PL) ataupun pembaruan masyarakat seperti yang misalnya dicita-citakan Social
Gospel (lihat di bawah). Sementara itu, seba-
Sejak saat itu berakhirlah status atau fungsi Seminari Princeton sebagai kubu
fundamentalisme. Tindakan Machen ini membuat ia diberhentikan dari Gereja
Presbyterian, lalu tahun 1936 ia mendirikan gereja Presbyterian bare, The Presbyterian
Church in America alias The Orthodox Presbyterian Church, yang tak lama kemudian
terpecah lagi dan menghasilkan gereja baru, Bible Presbyterian Church.
(2) Kasus Scopes: Sejak 1923 kaum F undamentalis berhasil memperjuangkan
diterbitkannya undang-undang yang melarang pengajaran teori evolusi Darwin di
sekolah. Pada tahun 1925, berdasarkan undang-undang itu, seorang guru sekolah, John T.
Scopes, diseret ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan teori evolusi. Pada
pengadilan tahap pertama Scopes dinyatakan bersalah. Tetapi kemudian karena beberapa
alasan teknis dibuka pengadilan tahap kedua. Pengacara dari Scopes melancarkan
sejumlah pertanyaan yang 'tajam dan kejam kepada kalangan F undamentalis menyangkut
keabsahan tuduhan mereka maupun kebenaran pandangannya. Kaum Fundamentalis
ternyata tidak mampu mempertahankan diri; argumentasi mereka terkesan dangkal, anti
intelektual dan kampungan. Keadaan semakin buruk bagi kaum Fundamentalis karena
pers berpihak pads Scopes dan pada kenyataannya telah menjalankan pengadilan
tersendiri terhadap kaum F undamentalis. Kekalahan kaum Fundamentalis dalam kasus
ini dengan sangat cepat memerosotkan pamor gerakan ini di mata masyarakat.
Sejak kedua kasus itu kaum Fundamentalis semakin jarang menampilkan diri di
lingkungan gereja-gereja arus utama maupun di gelanggang sosial-politik; mereka lebih
banyak bergerak dan memusatkan perhatian - sambil tetap menggalang kekuatan - di
lingkungan persekutuan yang eksklusif. Sikap negatif sebagian besar dari mereka
terhadap 'dunia' (memantangkan rokok, minuman beralkohol, dansadansi, bioskop, teater,
main kartu dan sebagainya - yang dianggap sebagai pekei jaan setan) semakin
menjauhkan mereka dari pergaulan umum. Kendati kelihatan kalah dan mundur, namun
dalam kenyataannya dengan cara bergerak 'di bawah permukaan' seperti itu gerakan ini
malah mengalami pertumbuhan yang pesat, terutama melalui kegiatan 'penginjilan'
organisasi-organisasi parachurch (yayasanyayasan) dan di sekolah-sekolah. Dan ini kelak
juga menjadi basis utama gerakan Injili gelombang pertama sebagai pewaris rohani
fundamentalisme.
SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DI AMERIKA
Dari uraian cli atas bisa segera timbul kesan bahwa gerakan Injili identik dengan
fundamentalisme. Kendati di antara keduanya terdapat hubungan yang sangat erat dan
terjadi saling-terobos yang sangat intensif, dan kendati gerakan Injili di Amerika tidak
bisa dip, 1ami lepas dari fundamentalisme, namun sejak dini harus ditegaskan bahwa
keduanya tidaklah identik. Harus diakui bahwa para pemimpin gerakan Injili sejak
kemunculannya pada dasawarsa 1940-an (yang sebagian sudah disebut di atas; misalnya
Billy Graham) berakar dan dididik di lingkungan (gereja ataupun sekolah) yang
menganut fundamentalisme. Tetapi gerakan Injili, sebagaimana dikonotasikan oleh
namanya, merupakan gerakan yang lebih menganut sikap konstruktif ketimbang defensif-
separatis seperti tersirat pada istilah fundamentalis. Kaum Injili tidak mengambil posisi
sebagai pembela'fundamen-fundamen iman' melawan kebudayaan. Dalam menghadapi li-
beralisme dalam teologi dan kebobrokan budaya, mereka lebih cenderung memelihara
prinsip-prinsip fundamental dari Injil sambil terjun ke dalam masyarakat modem dengan
tujuan mempengaruhi dan membaruinya.
Tokoh yang biasa disebut dengan hormat sebagai organisator ge rakan Injili ini adalah
Harold Ockenga (1905-1985). Dalam rangka menanggalkan kecenderungan separatis
pada fundamentalisme, ia menegaskan bahwa tugas kaum Injili haruslah "merembesi
[gereja dan masyarakat] ketimbang memisahkan diri [daripadanya]". Dengan penegasan
itu sekaligus terlihat bahwa Ockenga bersama sejumlah tokoh Injili lainnya (misalnya
Carl F.H. Henry) melancarkan kritik tajam dan koreksi terhadap fundamentalisme;
sebaliknya kritik kaum Fundamentalis yang tidak ikut bergabung dalam gerakan Injili ini
pun tak kalah tajamnya.
Toh di antara keduanya tetap ada kesamaan pokok: keduanya memiliki semangat
bemyala-nyala memelihara 'agama lama' terhadap ancaman situasi dan perkembangan
teologi serta budaya modem, sehingga dalam hal ini keduanya dapat disebut sebag''ai
gerakan reaksioner. Cuma, cara gerakan Injili menyatakan sikap dan menampilkan diri
jauh lebih terbuka dan simpatik ketimbang kaum Fundamentalis. Hal ini terutama nyata
dalam kiprah National Association of Evangelicals (NAE; Perhimpunan Nasional kaum
Injili) yang dibentuk tahun 1942, yang menandai kehadiran gerakan Injili secara nyata
dan besar-besaran, sekaligus membedakannya dari fundamentalisme.
NAE terbentuk di dalam konferensi nasional teologi konservatif Amerika, yang antara
lain dipelopori dan diorganisir oleh Ockenga. Ockenga dan kawan-kawan secara sadar
dan sengaja tidak menggunakan nama fundamentalis[me] un
tuk wadah baru ini dan tidak bergabung dalam organisasi kaum F undamentalis yang
terbentuk setahun sebelumnya, yaitu American Council of Christian Churches (ACC).
Pembentukan ACC terutama diprakarsai oleh Carl McIntire, yang bersama Machen
meninggalkan Seminari Princeton, mendirikan seminari dan gereja bare, tetapi kemudian
memisahkan diri dari Machen untuk membentuk gereja bare,
tralnya, yakni pertobatan dan penerimaan atas Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi,
CCC merumuskan Empat Hukum Rohani, yaitu:
1. Allah mengasihimu dan mempunyai rencana yang mengagumkan bagi hidupmu;
2. Manusia adalah berdosa dan terpisah dari Allah, sehingga is tidak dapat mengenal dan
mengalami kasih dan rencana Allah bagi hidupnya;
3. Yesus Kristus adalah satu-satunya yang ditetapkan Allah sebagai Penebus dosa
manusia. Melalui Dia kamu akan mengenal dan mengalami kasih dan rencana Allah bagi
hidupmu;
4. Kita masing-masing hares menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat
pribadi, supaya kita pun mengenal dan mengalami kasih dan rencana Allah bagi hidup
kita.
Metode penyampaian pesan Injil ini sangat sederhana (namun sekaligus agresil): Pelayan
atau aktivis CCC akan menyampaikan keempat hukum rohani ini kepada seseorang yang
mereka nilai sebagai berpeluang besar untuk ditobatkan, dengan mengacu dan merujuk
pada serangkaian nas Alkitab. Para caIon petobat itu kemudian segera diajak "menerima
Kristus" melalui doa penyerahan diri yang sungguh-sungguh. Jika orang itu menyatakan
kesediaannya, maka dia sudah dianggap bertobat, lalu diajak mendaftar pads program
lanjutan berupa pelatihan kemuridan, juga datang ke gereja, serta membagikan'iman
baru'nya itu kepada teman-temannya.

Metode CCC ini mengundang banyak kritik, karena dianggap kelewat gegabah, anti-
intelektual dan gampangan. Para teolog sering mengeluh bahwa pesan-pesan yang
disampaikannya kelewat sempit dan tidak mengandung bobot teologis yang mantap. Yang
lain lagi mengecam bahwa pesan dan metode CCC ini sama sekali mengabaikan dimensi
sosial Injil dan kelewat individualistis. Dari segi keberhasilan atau buah dari metode
maupun kampanye penginjilan dan kebangunan rohani CCC ini, yang paling nyata adalah
respons sesaat setelah kampanye berlangsung: banyak yang menyatakan diri bertobat,
menerima Kristus dan sebagainya. Tetapi buah lanjutannya, misalnya pertambahan
kehadiran pada kegiatan di gereja maupun di lingkungan CCC sendiri sangat kecil
(contoh statistik tentang ini di AS, lihat antara lain Quebedeaux 1978:58). Bagaimanapun,
banyak juga yang menghargai upaya dan pelayanan CCC ini, antara lain karena membuat
banyak jemaat lokal sadar akan penginjilan dan banyak kaum muda dan warga gereja
biasa mendapat latihan kerohanian.
LATAR BELAKANG, SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DI EROPA
Seperti telah disinggung di atas (ketika menyebut European Evangelical Alliance),
sebenarnya gerakan Injili (dalam arti Evange
lisch) di Eropa sudah lama ada; mungkin sama tuanya dengan Reformasi. Pietisme di
daratan Eropa dan Revivalisme di Inggris bisa menjadi acuan ke arah itu. Tetapi
kebangkitan gerakan Injili (dalam arti Evangelikal, yang berbeda dari Evangelisch) di
Eropa [dan di Dunia Ketiga] pada abad ke-20 terutama merupakan dampak dan kelanjut-
an dari kebangkitan gerakan ini di Amerika. Toh ada juga perbedaan yang cukup
mendasar: tidak seperti di Amerika, gerakan Injili di luar Amerika itu tidak begitu
langsung bergantung pada fundamentalisme, karena memang tidak ada gerakan atau
paham fundamentalisme yang ash lahir di sana.
Dalam banyak hal, gerakan Injili di Eropa dan Dunia Ketiga merupakan fenomena pasca
Perang Dunia II. Di Jerman, misalnya, dorongan ke arah pembentukan sejumlah
organisasi parachurch yang bersifat, Injili dikaitkan dengan munculnya
Bekenntnisbewegung (Gerakan Pengakuan). Gerakan ini muncul dan berkembang
terutama sebagai reaksi terhadap dua keadaan yang meresahkan: (1) munculnya adat-
kebiasaan baru di dalam masyarakat yang semakin bersifat majemuk; (2) pertikaian
teologis yang ditimbulkan oleh karya-karya seorang ahli Perjanjian Baru, yaitu Rudolf
Bultmann, di mana ia, antara lain mencanangkan program "demitologisasi Alkitab", yakni
gagasan bahwa Injil sebagaimana disajikan di dalam Alkitab - yang dibungkus oleh
pandangan-dunia yang bersifat mitologis (berupa dongeng) -perlu direkonseptualisasi
(dirumuskan-ulang) kebenarannya yang terdalam menurut pandangan-dunia modern.
Organisasi-organisasi yang terbentuk untuk menghadapi kedua hal ini pada umumnya
juga punya corak dan latar belakang Pietisme.
Kemunculan dan perkembangan gerakan Injili di Eropa mendapat dorongan baru dan
suntikan darah segar ketika Billy Graham menyelenggarakan serangkaian crusades
(kebangunan rohani) di berbagai tempat pada tahun 1954-1960, antara lain di Inggris9
1954 dan 1955, di Swiss pada tahun-tahun yang sama, dan di Berlin 1960. Dampak
peranan Billy Graham di sana semakin bermakna ketika ia mensponsori penyelenggaraan
International Congress on World Evangelization (Kongres Internasional Penginjilan
Dunia) di Lausanne 1974, melanjutkan partisipasinya dalam World Congress on Evangel-
ism (Kongres se-Dunia tentang Penginjilan) di Berlin 1966, yang disponsori oleh majalah
Christianity Today tersebut di atas. Kedua kongres ini sering dipandang sebagai pemberi
dorongan kuat untuk mengorganisasi dan mempertegas kehadiran gerakan Injili di
negara-negara berbahasa Jerman maupun di Skandinavia. Salah satu organisasi penting
yang merupakan produk dan tindak lanjut kongres itu adalah Lausanne Committee for
World Evangelization (LCWE; Panitia Lausanne untuk Penginjilan Dunia), yang
mendapat dukungan kalangan teologi konservatif (yang juga berlatar belakang Pietisme)
dari berbagai negara dan bangsa di Eropa.
Pengaruh gerakan Injili atau paham Evangelikalisme Amerika di Eropa maupun di Dunia
Ketiga semakin kuat lewat kehadiran organisasi-organisasi parachurch yang berskala
internasional seperti
Campus Crusades for Christ, The Navigators dan Inter-Varsity Christian Fellowship. Lalu
semua itu diperkuat lagi lewat kehadiran sejumlah besar misionaris dari berbagai gereja
di Amerika yang berciri Injili (antara lain dari kalangan Baptis, Lutheran [khususnya LC-
MS], Pentakostal dan Kharismatik).
Tetapi dampak gerakan Injili ini di Eropa dan Dunia Ketiga dalam kehidupan gerejawi
maupun sosial[-politik] tidak sebesar yang dihasilkan gerakan ini di AS. Hal ini, antara
lain terjadi karena di Eropa dan Dunia Ketiga gerakan ini lebih banyak'menduduki''
gerejagereja bebas (bukan arus utama). Kalaupun ia berhasil memasuki gereja-gereja arus
utama, para pemimpin dan teolog gereja itu tidak memberi dukungan dan simpati seperti
yang diperolehnya di AS, sehingga mereka malah sering menjadi sasaran cemooh.
Faktor lain yang ikut membuat gerakan ini di sebagian besar negara Dunia Ketiga tidak
kelewat spektakuler dan semakin sulit berperan adalah: (1) Di sana kekristenan pada
umumnya hanya merupakan minoritas, sehingga gereja tidak punya peluang besar untuk
memainkan peranan penting. Mungkin Brazilia merupakan kekecualian, karena di sana
gereja-gereja Pentakostal yang mengaku Injili masuk jajaran gereja arus utama dan punya
pengaruh kuat dalam kehidupan sosial-politik. (2) Pada umumnya pengorganisasian
maupun kesadaran akan jati diri kaum Injili di kawasan ini - setidak-tidaknya di mata
kaum Injili di AS - tidak sebaik rekan-rekan mereka di AS.
Perlu pula dicatat, berdasarkan alasan sosial-budaya gerakan Injili di Eropa dan Dunia
Ketiga tidak selalu suka diidentikkan dengan gerakan Injili di Amerika. Di kalangan
banyak bangsa di sana ada perasaan bahwa AS sebagai negara adi-kuasa suka
mendiktekan ke
mauannya di segala bidang, termasuk di bidang agama atau kegerejaan, dan karena itu
mengundang antipati. Kaum Injili di sana pun - sekurang-kurangnya sebagian - punya
perasaan yang sama; paling tidak mereka tidak mau disebut sebagai kaki-tangan
imperialisme rohani dari Amerika. Ini penting bagi kredibilitas teologis mereka sendiri,
dan karena itu mereka mau membangun citra gerakan Injili yang berterima di dalam
konteks sosial-budaya masing-masing. Perasaan kurang suka terhadap muatan sosio-
kultural-religius Amerika ini semakin kuat ketika mereka, misalnya kaum Injili di
Amerika Latin, melihat bahwa kehadiran para misionaris dari kalangan Injili Amerika
telah membawa pengkutuban dan perpecahan di lingkungan gereja mereka.
Oleh karena itu dalam rumusan pandangan ataupun pernyataan yang dikeluarkan kaum
Injili di luar Amerika sering terlihat isi yang berbeda dari rumusan yang biasa dibuat di
Amerika. Mereka misalnya tidak menyukai cara dan ciri fundamentalisme dalam meman-
dang Alkitab. Ini misalnya terlihat pada pernyataan para teolog Injili dari Dunia Ketiga,
The Seoul Declaration (1982). Dokumen ini berbicara tentang ketidakkeliruan Firman
Allah, bukan tentang ketidakkeliruan Alkitab (jadi dengan sadar Firman Allah tidak
secara harfiah diidentikkan dengan Alkitab). Rumusan senada dapat ditemukan dalam
berbagai dokumen yang dikeluarkan berbagai konferensi dan organisasi Injili di Eropa.
Tentu di kalangan Injili atau Conservative-Evangelical di luar AS konsep ketidakkeliruan
Alkitab tidak sepenuhnya ditolak, melainkan hanya dikurangi penekanannya. Yang lebih
menonjol dalam rumusan mereka justru warna dan pengaruh Pietisme klasik, yang
memang tidak pernah memberi perhatian istimewa terhadap teori pengilhaman dan
konsep ketidakkeliruan Alkitab. Kendati demikian, soal ini tidak sampai menimbulkan
pertikaian ataupun perpecahan di antara kaum Injili di AS dengan yang di luarnya;
mereka melakukan banyak percakapan tentang ini, seperti misalnya yang dilakukan oleh
World lsvangelical Fellowship (WEF, terbentuk 1951 dan bermarkas di AS) dan LCWE
yang sudah disebut di atas.
Kita tidak punya waktu dan ruangan yang cukup untuk membahas lebih jauh akar-akar
teologis gerakan Injili di luar Amerika, khususnya di Eropa, yang memang sangat
panjang (mulai dari Reformasi Luther dan Calvin, Reformasi Radikal alias Anabaptis,
Puritanisme,
Iietisme, Metodisme, Neo-Pietisme, Gerakan Kesucian, Neo-Luthermnisme, Neo-
Ortodoksi dan sebagainya), demikian juga sejumlah ge-
rakan Injili yang muncul dan tokoh-tokoh yang tampil pada panggung sejarah di negeri
masing-masing (uraian tentang ini lihat pada Ellingsen 1988:116-122).10 Yang dapat kita
simpulkan adalah bahwa di dalam gerakan Injili di Eropa [dan Dunia Ketiga] bergabung
pengaruh dan sumbangan gerakan Injili dari AS maupun warisan teologi dan kerohanian
yang bersifat konservatif-Injili dari berbagai aliran di Eropa; berarti semua aliran yang
sudah kita bicarakan pada pasal-pasal terdahulu. Dengan begitu ia bisa hadir dan
merembesi hampir semua gereja [Protestan] yang ada, mulai dari kategori arus utama
(tanpa harus menjadi dominan) hingga kategori gereja bebas dan independen, sambil juga
bergerak melalui berbagai wadah di
samping gereja (parachurch).

FAKTOR-FAKTOR PENGIKAT DAN PEMERSATU GERAKAN INJILI

Dari uraian di atas kita telah melihat bahwa sebenarnya gerakan Injili ini bukanlah
gerakan yang homogen. Seperti juga masih akan kita lihat lebih jauh nanti, di dalam
gerakan ini ada banyak varian. Lalu ada pula berbagai pendapat tentang kapan gerakan
ini muncul, serta gerakan, paham atau aliran teologi atau kerohanian apa saja yang
melatarbelakangi dan memberi sumbangan ke dalamnya serta berkoalisi membentuknya.
Karena itu tidak mungkin menyajikan satu gambaran tentang gerakan ini, yang mencakup
dan menampung semua varian yang ada. Kalau demikian, kenapa toh ada kesadaran dan
pengakuan di lingkungan gereja dan teologi bahwa ada sebuah gerakan [baru] yang
bernama gerakan Injili (Evangelical)? Faktorfaktor apa yang mengikat dan
mempersatukan berbagai varian dalam
gerakan Injili ini?
Telah kita catat bahwa koalisi berbagai aliran yang membentuk gerakan Injili ini tidaklah
bersifat kebetulan. Aliran-aliran ini dipersatukan oleh'musuh bersama', yaitu teologi
Liberal, dan pemahaman bersama tentang kekacauan budaya sebagai dampak pola-pikir
dan
pola-tindak yang dilahirkan arus Pencerahan. Tetapi di samping itu mereka juga
dipersatukan oleh suatu pemahaman teologis bersama: masing-masing aliran muncul di
tengah situasi masyarakat yang membutuhkan pegangan dan tata-tertib dalam
menghadapi kebobrokan sosial-budaya. Sebagai respons terhadap situasi itu, masing-
masing aliran ini cenderung menekankan pertobatan dan gaya hidup lahirbaru (dengan
kata lain: pengudusan dan kesucian yang diungkapkan lewat gaya hidup saleh), kendati
masing-masing punya penafsiran sendiri.atas makna dan bentuk-bentuk penerapan kedua
perkara itu. Ini sekaligus menjelaskan kenapa kaum Injili di satu gereja bisa lebih erat
bersekutu dengan sesamanya kaum Injili di gereja lain, ketimbang dengan anggota gereja
yang sama tetapi bukan penganut gerakan ini. Lebih luas lagi: kenapa gereja yang merasa
diri bagian dari gerakan Injili merasa lebih dekat dengan gereja lain sesama Injili,
ketimbang dengan gereja serumpun yang dianggap tidak Injili.II
Kendati gerakan Injili tidak identik dengan fundamentalisme, namun ada warisan tertentu
(jadi tidak semua warisan) dari fundamentalisme yang ikut mempersatukan mereka,
terutama kelima butir dasar-dasar iman yang sudah disebut di atas. Terhadap kelima butir
ini memang ada perbedaan penafsiran, tetapi hal-hal yang paling hakiki dari setiap butir
diterima oleh setiap 'fraksi' dalam gerakan ini.
Lalu, khusus di Amerika, ada satu faktor lain yang sangat kuat, katakanlah faktor sosial-
budaya yang bercampur dengan faktor religius, yang secara populer diungkapkan dengan
istilah 'gaya hidup Amerika'. Kita tahu bahwa motivasi utama yang mendorong banyak
orang dari berbagai bangsa di Eropa pada khususnya untuk bermigrasi ke Amerika, antara
lain adalah kebebasan pribadi dalam hal berpikir, bertindak dan beragama, lepas dari
kungkungan kuasa-kuasa dan lembaga-lembaga otoriter (termasuk lembaga keagamaan),
dan juga peluang untuk memperoleh kekayaan material. Sebagian cukup besar dari
mereka berhasil memperolehnya. Masyarakat Amerika sangat menekankan dan
menghargai kebebasan pribadi, kesederajatan hak, demokrasi dan kemakmuran material.
Semua itu ditampung serta diungkapkan juga dalam kehidupan religiusnya. Banyak yang
memahami apa yang sudah dicapai masyarakat Amerika, atau
paling tidak apa yang mereka cita-citakan, serasi dengan wawasan Kerajaan Allah dan
sesuai dengan amanat Alkitab atau Injil. Semua ini mendapat tempatnya di dalam gerakan
Injili di AS, terutama yang berkembang sejak 1960-an, yang sering disebut dengan nama
Establishment Evangelism. Gerakan Injili (atau Evangelicalisme) telah menjadi bagian
dari budaya Amerika (tentang ini lihat antara lain Quebedeaux 1974 dan 1978, Marsden
1980, dan Jorstad 1993). Bahwa kemudian di kalangan Injili sendiri ada kegelisahan
karena hal ini, itu adalah soal lain, yang akan kita lihat nanti.
BEBERAPA POKOK KEYAKINAN DAN AJARANNYA
Di sepanjang uraian di atas kita sudah melihat sejumlah rumusan ataupun pemahaman
teologis yang mengungkapkan keyakinan umum di dalam gerakan ini. Tetapi kita
sekaligus telah melihat pula adanya kemajemukan serta berbagai perbedaan dan varian di
dalamnya, antara lain karena gerakan ini hadir di dalam berbagai gereja yang mempunyai
ajaran masing-masing dan tidak selalu cocok dengan ajaran gereja lain. Lagi pula para
pembentuk dan pengambil-bagian dalam gerakan ini tidak pernah secara bersama dan
menyeluruh berhimpun untuk merumuskan keyakinan dan ajaran yang lengkap dan
sistematis. Karena itu tidak mungkin menyajikan seperangkat rumusan keyakinan dan
ajaran yang berlaku bagi semua pihak yang mengaku dan menyebut diri Injili.
Untuk mewakili dan sekadar memberi gambaran tentang keyakinan dan ajaran gerakan
ini, baiklah kita mengacu pada salah satu dokumen yang diklaim sebagai keyakinan kaum
Injili, yaitu Pernyataan Iman Seminari Fuller yang terdiri dari 10 butir12 (dimuat dan
diuraikan di dalam D.A Hubbard 1979, diterjemahkan oleh penulis):
1. [Allah yang kita sembah:] Allah telah mewahyukan diri-Nya sebagai Allah yang hidup
dan benar, sempuma di dalam kasih dan benar dalam semua jalanNya; esa dalam hakikat,
berada secara kekal di dalam tiga pribadi Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus.
2. [Allah yang kita seru Juruselamat:l Allah, yang menyingkapkan diri-Nya kepada umat
manusia melalui ciptaan-Nya, dalam rangka menyelamatkan telah berfirman dalam
bentuk kata-kata maupun peristiwa-peristiwa sejarah
yang bermakna penebusan.
3. [Kitab Sue, yang kita taatia Kitab Suci adalah bagian hakiki dan rekaman yang patut
dipercaya tentang penyingkapan-diri yang ilahi ini. Semua kitab di dalam Perjanjian
Lama dan Baru, yang diberikan oleh pengilhaman ilahi, adalah firman Allah yang tertulis,
satu-satunya aturan yang mutlak bagi iman dan kelakuan. Kitab-kitab itu harus
ditafsirkan sesuai dengan konteks dan maksudnya, dan di dalam ketaatan yang penuh
hormat kepada Tuhan yang berbicara melaluinya di dalam kuasa yang hidup.
4. [Manusia yang menjadi alamat iman] Allah, oleh firman-Nya dan bagi kemuliaan-Nya,
secara bebas menciptakan dunia dari yang tiada. la membuat manusia menurut citra-Nya,
sebagai mahkota ciptaan, agar manusia boleh memiliki persekutuan dengan Dia. Dicobai
oleh Iblis, manusia memberontak terhadap Allah. Diasingkan dari Pembuat-Nya, namun
bertanggung jawab kepadaNya, ia harus terkena murka ilahi, bejat secara batiniah dan -
terpisah dari kasih karunia - tak mampu kembali kepada Allah.
5. [Kristus yang kita percayai:] Perantara satu-satunya antara Allah dan manusia adalah
Kristus Yesus Tuhan kita, Putera Allah yang kekal, yang - dikandung dari Roh Kudus dan
lahir dari Perawan Maria - sepenuhnya ambil bagian dan memenuhi kemanusiaan kita di
dalam hidup yang taat sempurna. Di dalam kematian-Nya sebagai ganti kita, la
mengungkapkan kasih ilahi dan menegakkan keadilan ilahi, menghapus kesalahan kita
dan memperdamaikan kita kepada Allah. Setelah menebus kita dari dosa, pada hari ketiga
la bangkit secara jasmani dari kubur, menang atas maut dan kuasa-kuasa kegelapan. la
naik ke sorga, di sebelah kanan Allah, di mana is menjadi Jurusyafaat bagi umatNya dan
memerintah sebagai Tuhan atas semuanya.
6. [Roh yang bekerja di dalam kita:] Roh Kudus, melalui proklamasi Injil, membarui hati
kits, membujuk kita agar bertobat dari dosa-dosa kita dan mengaku Yesus sebagai Tuhan.
Oleh Roh yang sama kita dipimpin untuk percaya pada belas-kasihan ilahi, yang olehnya
kita diampuni dari semua dosa kita, dibenarkan oleh iman semata melalui jasa Kristus
Juruselamat kita, dan terjamin mendapat anugerah cuma-cuma berupa kehidupan kekal.
7. [Kehidupan yang harus kita hidupi:] Allah dengan penuh kasih-karunia mengangkat
kita ke dalam keluarga-Nya dan memampukan kita memanggil Dia Bapa. Karena kita
dipimpin oleh Roh Kudus, kita bertumbuh di dalam pengetahuan akan Tuhan, secara
bebas memelihara perintah-perintah-Nya dan berupaya memberlakukannya dalam hidup
kita di dunia ini, agar orang-orang melihat perbuatan baik kits dan memuliakan Bapa kita
yang ada di sorga.
8. [Gereja di mana kita kita terhisab:] Allah, yang oleh firman dan Roh-Nya menciptakan
satu gereja yang kudus, am dan rasuli, memanggil orang-orang berdosa dari segala
bangsa ke dalam persekutuan tubuh Kristus. Dengan firman dan Roh yang sama la
menuntun dan memelihara sampai pads kekekalan, di mana kemanusiaan baru yang
sudah ditebus, yang - kendati terbentuk di dalam setiap budaya - secara rohani adalah
satu dengan umat Allah di segala
zaman.
9. [Gereja yang di dalamnya kits melayani:] Gereja diundang oleh Kristus untuk
mempersembahkan ibadah yang berkenan kepada Allah dan melayani Dia dengan
memberitakan Injil dan menjadikan segala bangsa murid-Nya, dengan menggembalakan
kawanan domba itu melalui pelayanan Firman dan Sakramen serta perawatan pastoral
sehari-hari, dengan memperjuangkan keadilan sosial dan menyembuhkan duka dan derita
manusia.
10. [Pengharapan di masa depan:] Rencana-penebusan Allah akan digenapkan oleh
kedatangan-kembali Kristus membangkitkan orang mati, menghakimi
semua orang sesuai dengan perbuatannya, dan menegakkan Kerajaan-Nya yang mulia.
Orang-orang jahat akan dipisahkan dari hadapan Allah, tetapi yang benar, di dalam tubuh
yang mulia, akan hidup dan memerintah bersama Dia selama-lamanya. Maka
terpenuhilah apa yang sangat dirindukan oleh seluruh ciptaan dan seluruh bumi akan
mempermaklumkan kemuliaan Allah yang
menjadikan segalanya baru.
Membaca rumusan ini kita bisa dengan segera mendapat kesan bahwa pada umumnya
tidak ada perbedaan prinsipil antara keyakinan yang dimiliki dan diajarkan gerakan Injili
dengan yang dianut oleh gereja-gereja arus utama. Memang begitulah halnya, dan justru
karena itulah gerakan Injili bisa masuk dan merembes ke mana-mana karena tak ada satu
gereja pun yang bisa berkata bahwa apa yang diyakini dan diajarkan gerakan ini berbeda
dari gereja yang berpegang pada Alkitab dan ajaran para reformator (yang biasa disebut
'ajaran yang ortodoks', atau 'ortodoksi'). Yang sering berbeda adalah gaya
penyampaiannya, ataupun penekanan dan penafsiran atas beberapa pokok, misalnya
tentang kemutlakan Alkitab, tentang arti keselamatan (apakah hanya jiwa atau seluruh
keberadaan manusia, apakah baru terwujud nanti di sorga atau sudah mulai terwujud di
dunia ini, apakah bersifat pribadi atau kolektif dan mencakup seluruh ciptaan), tentang
makna dan tujuan penginjilan (apakah sama dengan mengkristenkan dan menumbuhkan
gereja, atau memberlakukan damai sejahtera yang dari Allah dalam setiap bidang
kehidupan) dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan ini tentu bisa dipertajam bila masing-masing pihak menganggap
penafsirannya yang paling benar seraya menyerang dan mempersalahkan penafsiran
pihak lain. Ini misalnya kita lihat dalam pertentangan antara kubu Ekumenikal (Oikume-
nikal) yang antara lain diwakili oleh WCC/DGD, LWF dan WARC versus kubu Injili
yang antara lain diwakili oleh NAE, WEF dan LCWE, yang berkobar terutama sejak
akhir 1960-an, kendati sejak 1980-an ada upaya memperdamaikannya.13
Khusus di Indonesia, cukup banyak yang berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan itu
tidak begitu tampak, atau minimal: tidak perlu dipertajam, sebab gereja-gereja yang
tergabung dalam PGI [minimal sebagian besarl juga mengaku Injili, sedangkan yang
berlabel
Injili (dan berhimpun dalam PII) juga mengaku berjiwa oikumenis. Ini lebih cocok
dengan mentalitas dan spiritualitas Asia yang inklusif (bersifat merangkul dan cinta-
damai) ketimbang eksklusif.14 Apakah benar bahwa di Indonesia di antara keduanya
tidak terdapat perbedaan (dan pertikaian) yang tajam, baiklah masing-masing gereja
menjawabnya.
Lalu juga patut pula dipertanyakan, apakah segenap pihak di kalangan Injili setia pada
semua rumusan tersebut di atas. Seperti akan segera kita lihat, di kalangan Injili pun ada
banyak perbedaan pemahaman dan penerapan mengenai pokok-pokok keyakinan ini.

BEBERAPA ISU DAN PERKEMBANGAN TERAKHIR, TERUTAMA DI AMERIKA


The Gallup Poll, sebuah lembaga pengumpulan pendapat yang sangat handal di AS,
menyebut tahun 1976 sebagai "tahun kaum Injili" (the year of the Evangelical). Dengan
kata lain, pada tahun itu gerakan Injili mencapai puncak kejayaannya di negeri itu. Ada
beberapa indikator dan kriteria yang digunakan lembaga itu untuk sampai pada
kesimpulan itu, antara lain tingginya persentase masyarakat Kristen (Protestan maupun
Katolik) yang (1) mengaku sudah mengalami 'lahir-baru', (2) mengaku dan memahami
Alkitab kataper-kata sebagai firman Allah, dan (3) mengaku telah menyaksikan
imannya pada orang lain. Bukti kejayaan kaum Injili ini semakin nyata ketika pada tahun
itu Jimmy Carter, yang sering dijuluki "Mr. Evangelical", terpilih menjadi presiden AS.
Pada waktu itu orang bangga mengaku dan disebut Injili. Istilah ini tidak lagi digunakan
sebagai cemooh, seperti sering terjadi pada masa sebelumnya.
Masa kejayaan gerakan Injili ini berlangsung bersamaan dengan Imngkitnya secara
mencolok minat masyarakat kepada agama, terul.ama yang menekankan penghayatan dan
pengalaman pribadi, termasuk kepada agama-agama dan kebatinan Timur. Dalam hal ini
Kerakan Injili dilihat sebagai sejenis agama yang sangat memberi pertintian pada
pengalaman pribadi. Dalam kesimpulan survei dan pengumpulan pendapat itu The Gallup
Poll mengemukakan beberapa fnktor yang menyebabkan orang semakin menggandrungi
'agama
pengalaman pribadi', antara lain kebosanan dan rasa tertekan banyak orang dalam
kehidupan sehari-hari yang didominasi teknologi modem yang tidak menghargai manusia
sebagai pribadi dan yang memiliki dimensi spiritual. Gerakan Injili dilihat sebagai
pemberi jawaban atas kebutuhan dan kehausan rohani itu.
Toh segera muncul pertanyaan, apakah besarnya minat masyarakat menjadi penganut
gerakan Injili, dan apakah keberhasilan gerakan itu mencapai puncak popularitasnya,
sejajar dengan meningkatnya kualitas keberagamaan dan kerohanian masyarakat? Apakah
banyaknya orang mengaku Injili sejajar dengan kesetiaan memelihara dan
memberlakukan amanat Injil serta berpegang pada ajaran yang benar? Pertanyaan ini
tentu tidak mudah dijawab, dan bisa mengundang perdebatan yang tak putus-putusnya.
Yang jelas, para pengamat gerakan Injili, termasuk 'orang dalam' (seperti misalnya
Quebedeaux yang sudah sering diacu) melihat bahwa di kalangan Injili telah terjadi
pergeseran, seiring dengan berkembangnya gerakan dan paham Injili menjadi
semacam'agama populer' atau'agama rakyat'.
Menurut Quebedeaux (1974 dan 1978), gerakan Injili yang mulamula sangat menekankan
dan memperlihatkan kesetiaan pada kelima butir fundamental yang sudah disebut di atas,
tanpa jatuh pada fundamentalisme. Gerakan ini juga sangat menekankan ketaatan pada
perintah Allah dan keketatan memelihara kesucian hidup (bnd. butir 7 Pernyataan Iman
Seminari Fuller di atas). Tetapi belakangan gerakan ini, termasuk tokoh-tokohnya, sudah
menjadi mapan, menjadi "Establishment Evangelicalism". Ungkapan-ungkapannya sudah
semakin klise dan sekadar sebagai bahasa kesalehan, dan tidak terbukti lewat perbuatan
nyata. Kaum Injili yang demikian tidak bisa lagi dibedakan dari yang bukan Injili.
Mereka, termasuk para pemimpin dan pendetanya, juga menikmati segala'kesenangan
duniawi'' (rokok, minum beralkohol, pesta pora, musik rock, rumah dan mobil mewah,
dan sebagainya). Tidak sedikit pula di antara mereka yang bercerai, kumpul kebo,
berhubungan seksual sebelum atau di luar pernikahan,
menikmati pornografi dan sebagainya, seiring dengan perkembangan
pola hidup masyarakat yang semakin permisif Pendek kata menye
suaikan diri - atau merupakan bagian dari - budaya modem. Hal ini
teijadi, antara lain karena banyak kaum Injili mengalami mobilitas
dan peningkatan jenjang sosial-ekonomi. Kalau dulu kaum Funda
mentalis lebih berciri kelas menengah ke bawah (kelas petani dan
pekerja, sebagian cukup besar kulit hitam), kini kaum Injili sebagian
besar dari kalangan kulit putih kelas menengah ke atas, bahkan tak
sedikit pejabat tinggi, bintang film dan musik; pendek kata kalangan
celebrity.
Di bidang intelektual, semakin banyak kalangan Injili berasal
dari kalangan berpendidikan tinggi, karena itu semakin terbuka pada
perkembangan ilmu pengetahuan. Teori Evolusi Darwin tidak lagi di
anggap haram; kritik ilmiah dalam studi Alkitab, yang selama ini
dikecam sebagai produk teologi Liberal, juga sudah semakin banyak
digunakan di seminari-seminari. Pemahaman akan keselamatan juga semakin mirip
dengan pemahaman kaum Oikumenikal, yakni kesela
matan bersifat universal, bukan hanya untuk orang Kristen saja, sehingga semangat
menginjili (dalam arti mengkristenkan) semakin kendor. Pada sebagian kalangan Injili,
perhatian kepada masalah sosial-politik pun sudah semakin menggeser penekanan pada
keselamatan jiwa dan pribadi. Kaum Injili yang demikian disebut Quebedeaux sebagai
Injili-kiri. (Injili-kanan menurutnya adalah yang berkecenderungan fundamentalistis,
sedangkan Injili-tengah (Evangelical center) adalah yang berpegang pada ortodoksi.)
Berdasarkan pengamatan di atas, Quebedeaux berkesimpulan bahwa sebagian cukup
besar kaum Injili sudah semakin jauh dari ortodoksi dan kemurnian Injil, justru pada
waktu gerakan ini mencapai puncak kejayaan. Namun di lain pihak ia melihat bahwa juga
sejak pertengahan 1970-an bangkit satu kekuatan atau sayap baru, yang ia sebut New
Evangelical atau Young Evangelical (karena sebagian besar aktivisnya adalah kawula
muda), yang hendak membawa gerakan Injili kepada ortodoksi dan kemurnian semangat
semula. Tetapi justru di situ muncul soal bagi kaum Injili: ke-Injili-an yang bagaimana
yang disebut ortodoks dan murni?
Suatu kelompok Injili di Chicago, misalnya, mengeluarkan serangkaian pernyataan dan
seruan yang mengajak gerakan Injili kembali kepada ortodoksi. Yang pertama (1973)
menyesalkan bahwa gerakan Injili kelewat menekankan keselamatan yang bersifat
pribadi, dan karena itu sangat berciri individualistik, lalu menyerukan agar kaum Injili
juga memberi perhatian pada masalah-masalah sosial, karena Injil juga punya dimensi
dan amanat sosial yang jelas. Yang kedua (1977) menyesalkan bahwa gerakan Injili
semakin tercabut dan lepas dari akar historis maupun landasan alkitabiahnya, karena
terlalu asyik dengan penafsiran pribadi dan terpaku pada pesona tokoh-tokoh tertentu.
Lalu disampaikan seruan agar: (1) berpegang kembali pada tradisi dan akar sejarah
kristiani; (2) mempertahankan kesetiaan pada Alkitab; (3) berpedoman pada Pengakuan-
pengakuan
Iman gereja segala abad; (4) memahami keselamatan secara holistik (menyeluruh) dan
mencakup tegaknya keadilan sosial; (5) melayankan sakramen secara utuh menurut
maknanya yang sesungguhnya; (6) mempraktikkan dan mengembangkan spiritualitas; (7)
menerima otoritas gereja; dan (8) mendambakan dan mengupayakan keesaan gereja
(selengkapnya lihat Webber dan Bloesch [eds.]: 1978).
Pernyataan dan seruan ini mendapat sambutan sangat hangat dan positif dari kalangan
Oikumenikal maupun dari kalangan Gereja Katolik Roma, dan membuka lebar-lebar
pintu ke arah dialog dan kerjasama, seraya menghentikan pertikaian. Tetapi di mata para
pengamat tertentu (misalnya Quebedeaux dan Ellingsen) para penganjurnya itu justru
dikategorikan Injili-kiri yang dekat dengan aliran new left. Di sini kita sekali lagi melihat,
bahwa di kalangan Injili sendiri terdapat perbedaan pemahaman tentang makna dan
hakikat ortodoksi Injili itu. Karena itu tidak heran kalau di antara mereka semakin terlihat
kemajemukan, bahkan terkadang juga pertikaian dan perpecahan, seperti yang juga tak
jarang kita temukan di Indonesia. Bagaimana soal ini harus diselesaikan, baiklah kita
serahkan pada kaum Injili sendiri.
BALA KESELAMATAN
Gereja Bala Keselamatan menggunakan lambang yang terurai sebagai berikut:
a bulatan yang bersinar, melambangkan Matahari Kebenaran dan terang Api Roh Kudus,
di dalamnya terdapat tulisan Darah
dan Api;
b. salib yang di tengah-tengah itu melambangkan salib Tuhan
Yesus Kristus;
c. huruf "S", singkatan dart "Selamat , selamat dari hukuman
dosa;
d. dua pedang yang bersilangan melambangkan peperangan ro
hani demi keselamatan;
e. tujuh peluru di bagian bahwh melambangkan Kebenaran Inji!,
f mahkota di alas bundaran melambangkan Mahkota Kemenangan rohani, yang Allah
hendak berikan kepada prajuritnya yang setia pada iman Kristiani sampai akhir hayatnya
(Pasal 3 Anggaran Dasar Gereja Bala Keselamatan di Indonesia; dimuat dalam Tambahan
Berita-Negara R.I. tanggal 1716-1988 No. 49)
Sebagian besar umat kristiani di Indonesia' pasti mengenal Bala Keselamatan (disingkat
BK; teijemahan dari. Salvation Army, dising. kat SA). Bahkan di seluruh dunia mereka
dengan mudah dikenali melalui uniform (pakaian seragam) lengkap dengan tanda
pangkala dan badge dengan logo SA-nya, atau juga dengan bendera merah ber.
bingkai biru, yang di tengahnya tertera gambar bintang berpucuk delapan, bertuliskan
"Darah dan Api". Terkadang mereka tampil dengan seperangkat alat musik, terutama
musik tiup, dengan lagu-lagu rohani yang penuh semangat, layaknya hendak maju
berperang (sesuai dengan namanya).
Memang, mereka menyebut diri sebagai bala tentara Allah yang setiap hari maju
berperang-rohani melawan Iblis dan dosa yang menyebabkan penderitaan manusia, dan
mengalahkan segala bentuk kejahatan dalam kehidupan masyarakat, sekaligus
memenangkan bagi Kristus jiwa jiwa manusia - yang paling jahat sekali pun. Karena itu
pakaian seragam dan perangkat musik mereka merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari pengabdian mereka memberitakan serta memberlakukan Injil dan kasih Kristus
melalui pelayanan kemanusiaan yang cakupannya sangat luas, terutama bagi lapisan ma-
syarakat terbawah di kota-kota besar maupun di pedesaan. Tetapi sejak awal harus
ditegaskan bahwa hakikat keberadaan BK tidaklah terletak pada hal-hal yang tampak
secara lahiriah tadi, termasuk berhagai kegiatan dan lembaga pelayanan sosialnya. Pada
hakikatnya ia adalah gerakan dan lembaga penginjilan yang lebih mengutamakan hal-hal
rohani yang tak kelihatan, yang tampil berbeda dari gereja ataupun lembaga penginjilan
lain pada umumnya.
Pekerjaan besar itu dimulai di Inggris sejak 1865 oleh pemimpin (Ian jenderalnya yang
pertama, William Booth (1829-1912), didamping oleh istrinya, Catherine Mumford-
Booth (1829-1890), yang juga dikenal dengan julukan Army Mother. Dari sana BK
menerobos dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia (lihat bagian khuNus
di bawah). BK tidak muncul tanpa sebab di ruang hampa atau suri-hama, tetapi di dalam
situasi dan konteks kehidupan sosial-politikvkonomi-budaya dan keagamaan yang
kompleks. Karena itu, sebelum kila melihat lebih jauh seluk-beluk gerakan pelayanan
sekaligus perNekutuan keagamaan yang khas ini, baiklah kita lebih dulu melihat horbagai
kenyataan dan perkembangan di Inggris yang menjadi konlPks dan latar belakang
kemunculannya, dengan terutama mengacu trida tulisan (disertasi yang sudah
disempurnakan) dari Rightmire WOO).
0).
Sebelum itu, perlu dijelaskan bahwa pasal ini ditempatkan setelaih pasal-pasal tentang
Metodis, Pentakostal, Kharismatik dan Injili, knrena pada satu pihak BK lahir dari
lingkungan Gereja Anglican Ian Metodis di Inggris serta mewarisi semangat gerakan
Kesucian (y,ingjuga melatarbelakangi gerakan Pentakostal dan Kharismatik),
pada lain pihak ia juga menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan Injili.
KONTEKS DAN LATAR BELAKANGNYA
Pada pasal 7 kita telah meninjau konteks, latar belakang dan kemunculan Wesley
bersaudara dan Metodisme. Semua itu ikut melatarbelakangi kehadiran Booth dan BK.
Namun perlu ditambah sejum
lah catatan lagi.
Konteks dan Latar Belakang Sosial, Ekonomi dan Ideologi
William Booth dengan Bala Keselamatan-nya muncul di Inggriss pada masa yang lazim
dikenal dengan nama zaman Victoria. Ketika ratu Victoria memulai pemerintahannya
pada tahun 1837, sebagian besar penduduk Inggris (England) bermukim di pedesaan;
tetapi ketika beliau wafat 1901, kebanyakan mereka tinggal di kota-kota. Transformasi
besar di bidang sosial-ekonomi yang dialami Inggris pada masa ini merupakan dampak
langsung dari industrialisasi di perkotaan. Menjelang akhir abad ke-19 tatanan
masyarakat industrial dan demokratis telah menggantikan tata kehidupan agraris dan
feodalistik (bandingkan dengan keadaan di Indonesia pada awal era Pembangunan 1970-
an dan seterusnya).
Lebih dari sekadar era demokrasi, industri, iptek dan optimismo, era Victoria merupakan
masa transisi besar. Hal mendasar yang penting diperhatikan untuk memahami zaman
Victoria ini adalah berlanjutnya pengaruh arus Pencerahan abad ke-18 atas pola
pemikiran yang berkembang pada zaman ini. Pencerahan sangat dicirikan oleli
optimisme. akan kemampuan dan masa depan umat manusia, dan sangat menjunjung
tinggi nilai manusia sebagai individu.
Contoh yang sangat gamblang mencerminkan pola-pikir dan sistem nilai Pencerahan ini
adalah wawasan Adam Smith, seorang mo. ralis dan ekonom-politikus Skotland, yang
juga dikenal sebagai Bapii Sistem Ekonomi Modern. Wawasannya tentang kompetisi
bebas dan pasar terbuka (sering diungkapkan lewat istilah Perancis: laissez faire, harfiah:
lepaskan/bebaskan saja!) merupakan produk dari pan. dangan tentang manusia yang
menegaskan hasrat-diri (self-interest) seseorang sebagai basis bagi hasrat-diri dari
bangsa.
Wawasan ini selanjutnya melahirkan paham utilitarianismo (penghargaan atas sesuatu
berdasarkan manfaatnya) dan pragma
tisme (penghargaan atas kerja dan hal-hal yang bersifat praktis), yang pada gilirannya
memacu setiap orang untuk berlomba mengejar kebahagiaan dan menghindari
penderitaan (kalau perlu sambil mengorbankan kebahagiaan orang lain atau membuatnya
menderita). Paham pasar bebas dan utilitarianisme ini, digabung dengan pandangan-dunia
dari Isaac Newton yang mengagungkan ilmu pengetahuan, mendorong lahirnya Revolusi
Industri.
Sebagai negeri industri yang pertama (dan satu-satunya pada waktu itu), Inggris
menikmati manfaat dari perubahan radikal ini, tetapi juga menjadi negeri pertama yang
menghadapi masalah sosialekonomi yang ditimbulkan perubahan itu atas kehidupan
masyarakat. Di satu pihak gagasan "pemuliaan individu" serta wawasan "persaingan
pasar-bebas" dan "kebebasan berusaha" menolong Inggris menguak dimensi barn dari
sejarah sosial-ekonomi. Tetapi di lain pihak penggeseren tata kehidupan agraris-
feodalistik oleh tatanan masyarakat yang industrial dan demokratis menimbulkan
berbagai masalah baru. Terjadilah misalnya ketegangan hubungan dan kepentingan antara
individu dan masyarakat.

Konteks dan Latar Belakang Keagamaan dan Kegerejaan


Zaman Victoria, kendati dicirikan oleh semangat pengharapan dan kemajuan, juga
ditandai oleh sejumlah kekuatiran. Hingga tahun 1850, ketakutan akan revolusi sosial
menghantui para pemegang kekuasaan dan kalangan masyarakat yang mapan.
Merosotnya kekristenan di kalangan kelas pekerja dan semakin terlihatnya kecende-
rungan ke arah keboborokan moral dan bangkitnya ateisme, semakin menguatkan
kekuatiran itu. Diabaikannya penghuni baru di perkotaan oleh Gereja Anglican, juga oleh
sebagian kalangan Metodis, antara lain karena mereka lebih asyik berdebat dan bertikai
mengenai soal-soal dogmatis, ikut berperan dalam menciptakan lingkungan yang'ateistis'
itu.
Masyarakat luas, terutama para pekei ja dan penghuni-kota yang baru, menaruh curiga
terhadap motivasi dan kiprah gereja, sebab para rohaniwan lebih gandrung menganut
prinsip dan gaya hidup bangsawan. Penderitaan yang dialami kelas pekerja tampaknya
tidak klop (kompatibel) dengan keberadaan dan sifat-sifat Allah yang adil dan lienuh
rahmat sebagaimana dikhotbahkan gereja. Maka tampaklyh kemunduran iman dan
skeptisisme di kalangan masyarakat luas, yang di kalangan penguasa dan masyarakat
mapan pada gilirannya memacu ketakutan akan meletusnya revolusi sosial.
- tidak siap mengantisipasinya dan sedang bingung-bingung menyesuaikan diri terhadap
perkembangan baru yang rada mendadak ini. Basis struktur kelembagaan gereja-gereja di
Inggris pada umumnya bersifat rural, berorientasi pedesaan, sehingga dibutuhkan
berbagai langkah pembaruan dan penyesuaian struktural untuk menghadapi keadaan baru
itu.
Akan tetapi bukan hanya gereja saja yang tidak siap; pemerintah kota dan berbagai
lembaga pelayanan sosial juga belum siap menyediakan fasilitas dan menciptakan kondisi
kehidupan yang aman, sehat dan modern. Karena itu tak heran bila dalam waktu singkat
di hampir seluruh pojok kota besar dan kawasan industri bertebaran kompleks tempat
tinggal yang sangat kumuh, yang dihuni oleh orangorang miskin, yaitu buruh-buruh
pabrik beserta keluarganya maupun yang 'teramat-sangat miskin' (yaitu yang tuna-karya).
William Booth pada bukunya In the Darkest England, 1890, memperkirakan jumlah
mereka sekitar 3 juta, kira-kira 10% dari seluruh penduduk England dan Wales waktu itu.
Kondisi seperti ini merupakan sarang yang sangat potensial bagi wabah penyakit,
termasuk penyakit kelamin karena banyaknya WTS murahan, kejahatan dan juga revolusi
sosial (ingat karya Charles Dickens yang sangat tersohor: Oliver Twist).

Kiprah Sosial Gereja


Keadaan ini mendorong segelintir kaum Victorian yang prihatin untuk membarui undang-
undang yang bersangkut-paut dengan pemecahan masalah kemiskinan, sambil juga
mengembangkan lembagalembaga sosial dan keagamaan untuk menanggulangi
kebutuhan kaum yang sangat melarat itu. Banyak di antara lembaga-lembaga itu yang
bekerja sungguh-sungguh, terjun dan melibatkan diri di tengah kondisi dan lingkungan
yang rawan itu, namun kemampuan mereka jauh lebih kecil dari luasnya medan
permasalahan yang dihadapi.
Gereja Anglican sebenarnya punya dana subsidi dari pemerintah untuk ikut
menanggulangi masalah sosial ini. Dana itu, antara lain digunakan mendirikan gedung-
gedung gereja di lingkungan kumuh itu. Gereja-gereja sempalan mendirikan banyak
kapel dan menempatkan banyak sukarelawan di tengah-tengah lingkungan kumuh itu.
Tetapi mereka semua gagal membentuk persekutuan-persekutuan yang independen di
sana, yakni yang dikelola sendiri oleh penghuni kawasan kumuh itu. Padahal masyarakat
pekerja dan kaum penganggur di sana tidak menyukai gereja atau wadah keagamaan yang
terorganisasi dan resmi. Di kalangan mereka sikap anti-klerikalisme
tumbuh dan semakin kuat, karena mereka merasa diri dikucilkan
dan diabaikan, antara lain karena mereka tidak melihat adanya upa
ya sungguh-sungguh dari lembaga-lembaga keagamaan resmi untuk
mempeijuangkan perbaikan nasib mereka.
Melihat kenyataan ini, para pendeta di lingkungan kt:muh itu
menjadi sadar bahwa langkah pertama ke arah perbaikan spiritual
dan moral adalah dengan memperbaiki kondisi fisik dan sosial kaum
miskin. Juga semakin disadari bahwa yang dibutuhkan di kalangan
kaum pekerja bukan hanya orang atau organisasi kristiani yang mampu mengenali
kemalangan orang miskin, melaikan juga menyediakan sarana dan metode yang dapat
memperlengkapi dan memampukan kaum miskin untuk mengorganisasi diri dan
mengatasi masalahnya. Sayangnya kesadaran itu tidak segera ditindaklanjuti dengan aksi
nyata.
Pada tahun 1851, Lord John Russell, seorang bangsawan yang prihatin atas masalah ini,
memprakarsai sensus khusus yang berciri agamawi, dengan menugaskan Horace Mann,
seorang yang ahli untuk itu. Salah satu kesimpulan Mann adalah bahwa sikap bermusuh-
an kaum miskin, atau ketak-pedulian mereka terhadap gereja, berakar pada "kurangnya
simpati umat kristiani terhadap bebanbeban sosial kaum miskin, mencoloknya
identifikasi gereja kepada kelas atas, dan adanya kecurigaan bahwa para pelayan kristiani
itu adalah orang-orang sekular dan mementingkan diri sendiri, di samping fakta
kemiskinan itu sendiri" (dikutip pada Rightmire 1990:8).
Betapa pun banyaknya kritik terhadap kelambanan gereja, toh harus diakui bahwa hingga
akhir zaman Victoria yang paling banyak melibatkan dan mengabdikan diri dalam upaya
mengatasi masalah kemiskinan ini adalah orang-orang atau lembaga-lembaga kristiani
yang sebagian cukup besar melakukannya atas nama gereja (salah satu di antaranya nanti
adalah BK!). Gereja-gereja pun secara berangsur mengambil langkah-langkah
pembaruan. Konsep-diri sebagai gereja dikembangkan dan diubah sejalan dengan upaya
masing-masing gereja membuat kehadiran dan pelayanannya relevan bagi konIeksnya.
Persaingan di antara gereja-gereja untuk merebut simpati masyarakat - dalam hal ini
kaum miskin - justru membawa banyak manfaat: masing-masing berupaya agar kreatif
dalam menyusun beranekaragam program, sesuai dengan kebutuhan masing-masing
bipisan dalam masyarakat.
Pelayanan Sosial Digabung dengan Penginjilan

Di antara gereja yang berkompetisi menanggulangi kemiskinan ini adalah The Wesleyan
Methodist Connection, yaitu salah satu gereja Metodis dari kelompok radikal2, yang
sebagian besar warganya adalah masyarakat kelas menengah-bawah dan golongan artisan
(pekerja tangan yang terampil). Pada dasawarsa 1840-an dan 1850-an gereja ini kembali
mengalami perpecahan. Salah satu sempalannya yang terbesar adalah The Primitive
Methodist. Gereja ini menjadi terkenal dengan pelayanannya yang sangat rajin di
kalangan masyarakat lapisan terbawah dan ditandai oleh semangat kebangunan rohani
yang lebih besar ketin bang gereja Metodis lainnya. Mereka tak segan bernyanyi-nyanyi
dan menyelenggarakan acara penginjilan dan kebangunan rohani di jalanan, kendati
karena itu sexing mengalami penghambatan dari pemerintah karena dianggap melanggar
ketertiban umum. Tetapi di kalangan kaum miskin gereja ini menjadi sangat populer.
Karena William Booth sempat melayani di lingkungan gereja ini, maka tak heran kalau
nanti kegiatan BK, termasuk di Indonesia, banyak yang mirip dengan gereja ini.
Bukan hanya kalangan gereja bebas atau sempalan saja yang semakin memberi perhatian
kepada kaum miskin sambil menggandengkannya dengan penginjilan dan kebangunan
rohani. Di lingkungan Gereja Anglican pun, terutama pada sayap Low Church (lihat pasal
4) sejak 1850-an semangat dan gerakan Injili tumbuh dengan cukup subur (bnd. pasal
10). Dan kaum Injili ini semakin menyadari adanya kesenjangan yang sangat lebar antara
katedral dan pemu• kiman kumuh. Untuk menjembatani kesenjangan antara gereja dan
kaum tak-bergereja,. sejak akhir dasawarsa 1850-an mereka meng• upayakan strategi
penginjilan baru, sekaligus mempei juangkan pencabutan peraturan yang melarang lebih
dari 20 orang berkumpul un. tuk beribadah di luar gedung gereja, agar dengan demikian
kegiatan kebangunan rohani dapat diselenggarakan di tempat-tempat umum dan terbuka.
Pada tahun 1865 gereja ini membentuk asosiasi 'peno. long awam' yang bertindak sebagai
misionaris di lingkungan urban.
William Booth dan BK nanti banyak berhubungan dengan perangkat pelayanan sosial
gereja Anglican ini, terutama ketika BK masih menyatakan sikap dan status bukan
sebagai gereja, melainkan organisasi penginjilan dan pelayanan di samping - dan
membantu - gereja.
Di samping gereja dan lembaga-lembaga gerejawi ya'.ig terorganisasi dengan teratur, ada
pula sejumlah penginjil dan kaum filanI,ropis (pencinta kemanusiaan) independen yang
ikut terjun menginjili (Ian melayani di lingkungan-lingkungan kumuh, terutama di kota
London. Untuk mengkoordinasi para penginjil dan filantropis independen ini, di beberapa
tempat dibentuk semacam panitia koordinasi Misalnya di London Timur ada The Fast
London Special Service Committee. Nanti, setelah meninggalkan the Methodist New
Connection pa(1a tahun 1862, William Booth bergabung dengan para penginjil inde-
penden di London Timur ini. Mereka malah mengangkat Booth sebagai pemimpin. Dan
karena ada kebutuhan pengorganisasian yang Icbih mantap, sesuai dengan tuntutan
pelayanan di tengah lingkungan urban yang modern, panitia tersebut sejak 1865
melembaga menladi Christian Revival Association" di bawah pimpinan Booth, dan itu
Iah yang menjadi cikal-bakal BK.
ItIWAYAT WILLIAM BOOTH DAN BALA KESELAMATAN
Berbicara tentang BK berarti harus berbicara tentang pendiri dan : nderalnya yang
pertama: William Booth. Sekaligus hams dibicarakan juga istrinya, Catherine Mumford-
Booth, karena - seperti akan kila lihat nanti - pengaruh sang Army Mother ini nanti sangat
kuat was Booth dan BK, termasuk dalam hal-hal yang bersifat teologis. I tugi yang
berminat membaca riwayat hidup mereka secara lebih rini i, silakan membaca buku
tentang itu yang disebut pada Kepustaka
nn Khusus di bawah.
Masa muda William Booth

William Booth lahir di kota Nottingham, Inggris, pada tanggal 10 April 1829. Ayahnya,
Samuel Booth, bersama ibunya Mary Moss yang berdarah Yahudi, termasuk di antara
sekian banyak urbanis dari pedesaan. Samuel bukanlah anggota gereja yang rajin dan
taat, sedangkan Mary adalah seorang wanita Kristen yang cukup saleh, yang memberi
pendidikan agama ala kadarnya dan menanamkan kerajinan bergereja pada anak-
anaknya. William merupakan anak laki-laki satu-satunya dari perkawinan Samuel dengan
Mary (yang bagi Samuel merupakan perkawinan kedua), di samping dua anak perempu-
an. Sebagai makelar tanah dan pembangun bedeng-bedeng di daerah kumuh, Samuel tak
punya penghasilan tetap, sehingga tidak dapat membiayai pendidikan William. Pada usia
14 tahun, ketika baru saja masuk di sebuah akademi yang cukup bergengsi di
Nottingham, William terpaksa berhenti dan harus mulai bekerja, tepatnya: magang, di
sebuah pawnshop (toko barang bekas merangkap rumah gadai) untuk menunjang
ekonomi keluarga. Tidak lama kemudian Samuel meninggal, dan Mary bersama ketiga
anaknya harus pindah ke kawasan yang sangat miskin di Nottingham, di langit-langit
sebuah toko barang rombengan, tempat Mary bekerja. William sendiri meneruskan
magangnya, enam hari seminggu, dari pagi hingga jam 8 malam.
Masih pada usia belasan tahun, pada akhir 1840-an, William ter•
tank pada sebuah partai politik, the Chartist. Partai ini tampaknya
hendak mempeijuangkan pembaruan sosial, antara lain lewat upayx
menyusun undang-undang persamaan hak pria dan wanita dan per.
baikan kondisi hidup kaum miskin. Tetapi segera William menyadari
bahwa partai ini merupakan kaum revolusioner yang berbahayo
Menurut penglihatannya partai ini mau menciptakan pemerintahan
baru yang dipegang kelas pekerja, dengan menjatuhkan kekuasaan
kelas atas dan menengah. Sebelum partai ini bubar, William sudah
menarik diri, dan sejak itu tidak lagi berminat di bidang politik.
Sementara itu sejak 1846 William sudah memperlihatkan bakat•
nya sebagai seorang pengkhotbah; bukan berbekal pendidikan teokogs
formal, melainkan berdasarkan penghayatan pribadi atas iman
Kristen. Pada usia 17 tahun itu, sehabis jam kerja di pawnshop, in
menyampaikan khotbahnya yang pertama pada malam pertemuan
ibadah di sebuah gubuk, yang pesertanya sebagian besar wanita tun,
Dalam khotbah pertamanya itu ia sudah memperlihatkan keprihx•
tinannya atas banyak orang Kristen yang hidup dalam dosa; menu
rutnya mereka itu tak boleh dipersalahkan atau dihukum, melainkan harus ditolong dan
diberi semangat dan harapan, ibarat seorang anak yang jatuh ketika baru mulai belajar
berjalan. Apa yang dikemukakan pada khotbah pertama itu mewarnai penginjilan dan
pelayanannya pada masa selanjutnya.
Kendati rajin mengunjungi kebaktian, terutama di lingkungan gereja Metndis, sejak usia
remaja itu William sudah yakin bahwa tempat gereja berjuang bukanlah di ruang ibadah,
melainkan di luarnya, di tengah pergulatan hidup manusia yang nyata. Keyakinan ini
semakin kuat ketika ia menyaksikan penderitaan begitu banyak kaum pekerja kasar dan
pengangguran di kota, sementara sebagian besar gereja Iebih suka mengkhotbahkan Injil
di gedung-gedung gereja yang jauh dari kenyataan penderitaan yang konkret.
Pada usia 19 tahun ia menganggap masa magang di pawnshop itu sudah cukup. la
meminta bayaran sebagai pekerja penuh, tetapi akibatnya ia malah dipecat. Karena tidak
mendapat pekerjaan lain di Nottingham, bagaikan nabi yang tidak dihargai di tempat
kelahirannya ia meninggalkan Nottingham, mengadu nasib ke London. Untuk sementara
ia menumpang di rumah saudaranya perempuan, Ann, yang sudah menikah dengan
Francis Brown, seorang pemabuk yang juga menularkan kebiasaan itu kepada istrinya.
Seringnya suami istri ini mabuk sambil berkelahi, ditambah dengan pengamatan sebelum
dan sesudahnya tentang banyaknya warga masyarakat yang dirusak oleh minuman keras,
semakin memantapkan tekad William untuk memerangi dan memberantas 'barang haram'
ini. Apalagi kelak istrinya juga menganut sikap antipati yang sangat keras terhadap alko-
hol. Kelak salah satu peraturan di lingkungan BK adalah larangan minum minuman
keras, dan salah satu bidang pelayanan BK yang paling tersohor adalah rehabilitasi para
alcoholic-addict ini.4
Di London ia kembali mendapat pekerjaan di sebuah pawnshop, milik seorang anggota
Gereja Anglican, yang menurut William sama sekali tidak menampakkan watak kristiani,
dan tujuan hidupnya semata-mata to make money. la dipaksa bekerja keras bagaikan
budak dari pagi hingga larut malam, kecuali pada hari Minggu. Sementara pada hari
Minggu ia harus berkhotbah ke mana-mana, sering kali jauh dari London.
Di tengah situasi itu, Desember 1849, menjelang tahun baru, William menyusun enam
butir pernyataan, berupa 'resolusi terhadap dirinya sendiri sekaligus ikrarnya di hadapan
Tuhan:
(1) Aku akan bangun cukup pagi setiap hari, memulai serangkaian kegiatan, terutama doa
pribadi, minimal lima menit;
(2) Aku akan sebanyak mungkin menghindari obrolan omong-kosong yang belakangan
ini sering membuat aku berdosa;
(3) Aku akan berupaya di dalam setiap tingkah-langkahku memperlihatkan di hadapan
dunia dan sesama pelayan bahwa aku adalah pengikut yang bersahaja, penurut, namun
bersemangat, dari sang '1mak Domba yang berdarah', serta berupaya mengarahkan
mereka melalui percakapan dan peringatan yang serius, agar memikirkan kekekalan jiwa
mereka;
(4) Aku akan membaca tak kurang dari empat pasal Alkitab setiap hari;
(5) Aku mau berjuang agar hidup lebih dekat pada Allah, dan mengupayakan kesucian
hati, sambil mempercayakan pemeliharaan atas hidupku kepada Allah; dan
(6) Aku akan membaca pernyataan ini setiap hari, atau minimal dua kali se
minggu.
Kelak keenam butir pernyataan ini ditampung dalam Perintah dan Aturan bagi Prajurit
Bala Keselamatan, yang isinya tentu jauh lebih luas dan rumit.
Di London William juga melibatkan diri dalam kegiatan penginjilan yang
diselenggarakan gereja Metodis. Tetapi sementara itu - seperti telah dikemukakan di atas
- gereja ini pada masa itu mengalami 'perang saudara'. William sendiri pernah diusir dari
salah satu kapel Metodis karena dicurigai menyebarkan ajaran sesat. Itu terjadi justru
ketika ia sedang mempersiapkan diri dan berupaya diterima ke dalam pelayanan Metodis
secara penuh waktu. Karena kecewa, ia sempat berencana merantau ke Australia. Tetapi
sebelum rencana ini terwujud, E.H. Rabbits, seorang pengkhotbah-awam dari kelompok
The Reformers, salah satu kelompok sempalan Metodis, mengajak William bergabung ke
kelompoknya, sambil menawarkan jabatan manajer di toko sepatu boot miliknya.
Melihat peluang yang lebih luas untuk menginjili, William menerima tawaran itu,
sekaligus berhenti bekerja di pawnshop yang dianggapnya sangat membatasi kegiatan
keagamaannya. Pemilik pawnshop itu sempat membujuk William dengan gaji yang jauh
lebih besar, tetapi William menolak dengan berkata, "Ini bukan masalah uang; yang
kudambakan adalah kesempatan membaktikan hidup dan tenagaku memberitakan sang
Juruselamat kepada dunia yang sesat." Jawaban ini kelak menjadi salah satu prinsip dan
semboyan BK
Menikah dan bahu-membahu dengan Catherine Mumford

Sementara menjadi pengkhotbah dan penginjil kebangunan rohani 'untuk masa percobaan
tiga bulan' pada tahun 1852, William berkenalan di sebuah kapel dengan Catherine
Mumford, seorang gadis seusia dengannya, pemimpin kelompok penelaahan Alkitab di
kapel itu. Kendati Rabbits berjasa mempertemukan dan mempererat hubungan William
dan Catherine, namun pada akhir kontrak tiga bulan itu William justru memisahkan diri
dari kelompok the Reformers yang dipimpin Rabbits, karena merasa terlalu diperas
sebagai'pengkhotbah bayaran'. Di kemudian hari William dan Catherine mengemukakan
alasan yang lebih kuat: kelompok itu sangat didominasi oleh teologi Reformed (Calvinis)
yang sangat menekankan predestinasi (lihat pasal 3), yang dinilai William dan Catherine
tidak fair dan tidak benar, karena menyangkali belas-kasihan dan kemurahan Allah bagi
sebanyak mungkin orang.
Berkat dorongan Catherine, William mempersiapkan diri menjadi pelayan gereja penuh,
bukan sekadar pengkhotbah-awam. Untuk itu William [kembali] memasuki gereja the
Methodist New Connection sembari mengikuti pendidikan teologi di bawah asuhan
pendeta Dr. William Cooke. Kendati menurut Cooke gaya berkhotbah William rada aneh
dan tidak ilmiah, tetapi ia tidak memaksa William meninggalkan gaya itu, karena
hasilnya toh mengesankan.
Selanjutnya pada tahun 1854 Dr. Cooke mengupayakan penempatan William sebagai
superintendent gereja tersebut di London. Kendati belum segera ditahbiskan, menunggu
selesai masa percobaan 4 tahun sesuai dengan peraturan gereja itu, namun konferensi
gereja Metodis itu memberi dispensasi kepada William dan Catherine untuk menikah,
mengingat kematangan pengalaman dan usia mereka. Perkawinan mereka tentu belum
dilangsungkan menurut Perintah dan Aturan bagi Prajurit BK. Namun perkawinan itu
memberi inspirasi kepada keduanya untuk menyusun tata-tertib tersebut, antara lain agar
setiap prajurit BK menikah dengan sesama prajurit, agar keduanya bekerja secara penuh
waktu bagi BK, sama seperti William dan Catherine.
Bulan madu mereka, demikian juga tahun-tahun selanjutnya, diisi dengan penginjilan di
luar gedung gereja, kepada 'manusia-manusia yang paling buruk', yang biasanya justru
diabaikan gereja. Gaya penginjilan pasangan suami-istri ini senng membuat mereka
bentrokan dengan sesama pelayan di gereja Metodis tersebut karena
menurut rekan-rekan mereka itu apa yang dilakukan William dan Catherine tidak lazim,
sedangkan pasangan itu menilai gereja tersebut terlalu membatasi ruang-gerak pelayanan
mereka.
Pada tanggal 8 Maret 1856 mereka dikaruniai putra pertama, dan diberi nama William
Bramwell (selanjutnya lebih sering disebut Bramwell saja). Kelak anak ini juga menjadi
jenderal BK, melanjutkan jabatan ayahnya, sang pendiri dan Jenderal (pemimpin
tertinggi) pertama BK itu. Setelah Bramwell, menyusul lahir tujuh putra-putri lagi. Tujuh
dari mereka lahir dengan jarak waktu yang cukup rapat, pada masa Catherine sangat aktif
mendampingi William sebagai pengkhotbah dan penginjil yang harus sering berpindah-
pindah, sebelum William (bersama keluarga) menetap di London, membentuk dan
memimpin the Christian Mission (cikal-bakal BK) sejak 1865. Kedelapan anak ini
dididik dengan disiplin yang sangat tinggi. Kepada merekalah William dan Catherine
pertama-tama menerapkan disiplin gaya militer, tanpa mengabaikan dimensi kasih dan
pengampunan, yang nanti diberlakukan di kalangan BK. Sebagian besar dari mereka
kelak menjadi tokoh-tokoh BK (selain Bramwell, adiknya perempuan nomor 4,
Evangeline, juga menjadi Jenderal yang keempat dalam urutan jenderal BK, setelah
sebelumnya menjadi National Commander BK di Amerika). Tetapi ada juga yang
belakangan meninggalkan BK, atau membentuk organisasi sejenis BK, antara lain karena
perbedaan pemahaman teologis tertentu dengan ayah atau saudara mereka (lihat di
bawah).
Pada tahun 1862, setelah berbeda pendapat dengan pimpinan dan rekan-rekannya pada
konferensi Methodist New Connection tahun 1861, antara lain karena keeksentrikan gaya
pelayanan William, dan sesudah menjalankan.tugasnya beberapa bulan di Newcastle,
William mengundurkan diri dari gereja itu. (Kelak keeksentrikan dihargai di lingkungan
BK sebagai karunia Allah juga, dan Bramwell juga dikenal sebagai tokoh yang eksentrik,
antara lain dalam caranya berdoa dan bermeditasi; lihat di bawah.) Catherine kemudian
mengajak William dan anak-anak kembali ke London, karena di sana ia dahulu telah
sempat memulai - dan akan melanjutkan - pelayanan khusus bagi kaum wanita, termasuk
para WTS, sekaligus memperjuangkan peningkatan hak-hak dan kesempatan kerja bagi
kaum wanita pada umumnya. Kelak kesederajatan pria dan wanita serta kesempatan
bekerja dan berkarier bagi para wanita sangat ditekankan oleh BK.
Christian Mission: Persekutuan bagi Kaum Miskin

Dalam keadaan tanpa pekerjaan dan jabatan yang pasti, pada suatu hari di tahun 1865
William menghadiri acara penginjilan di tempat terbuka di bawah tenda (sehingga disebut
juga Tent Mission; ingat gaya penginjilan John Wesley dan kaum Metodis), yang dise-
lenggarakan oleh the Fast London Special Service Committee di kawasan timur kota
London. Segera ia diangkat menjadi pemimpin perkumpulan ini, dan pada tanggal 15 Juli
1865 namanya pun diubah menjadi Christian Revival Association (lalu kemudian lebih
dikenal dengan nama the Christian Mission).
Asosiasi ini dipandang sebagai cikal-bakal BK dan tanggal 15 Juli 1865 itu nanti
dipandang sebagai hari lahir BK, kendati secara resmi nama BK baru digunakan sejak
1878. William pun segera menunjukkan kecakapan dan wibawanya sebagai pemimpin
dan organisator. Organisasi ini segera diberi tujuan dan ciri khas sebagai persekutuan
keagamaan bagi kaum miskin, di mana mereka bisa beribadah sambil bersama-sama
mengupayakan perbaikan kondisi sosial-ekonomi. Dalam waktu singkat organisasi ini
mempunyai puluhan pos penginjilan dan pelayanan, tersebar di kota London.
Untuk mendapat dukungan dana bagi program dan proyek penginjilan dan pelayanan
kemanusiaan, berbekal pengalaman sebagai salesman di pawnshop, sejak 1868 William
mengkampanyekan program itu lewat publikasi majalah The East London Evangelist
yang disebarluaskan kepada banyak orang. Tetapi ia tidak mau kalau bantuan itu
mengikat, dan ia menghendaki agar dana yang dipercayakan padanya dikelola menurut
gayanya sendiri. (Sementara itu sejak 1870 majalah tersebut berubah nama menjadi The
Christian Mission Magazine, lalu tahun 1879 menjadi The Salvationist, dan terakhir -
sampai sekarang - menggunakan nama THE WAR CRY)
Sejalan dengan upaya perluasan jaringan pelayanan dan penggalangan dana, dipikirkan
pula pemantapan organisasi. Untuk itu pada tahun 1870 William menyusun peraturan
dengan mempedomani pola organisasi gereja Metodis, di mana Konferensi merupakan
pemegang wewenang tertinggi. Tetapi berbeda dari peraturan gereja Metodis, di situ
ditetapkan bahwa jabatan General Superintendent dipangku seumur hidup, kecuali kalau
Konferensi membuat keputusan lain. (Kelak sebutan General Superintendent untuk
pemimpin atau pejabat tertinggi di lingkungan BK diganti menjadi General atau Jenderal,
dan setelah William dan Bramwell Booth jabatan itu tidak lagi berla-
ku seumur hidup.) Juga ditetapkan di situ bahwa wanita punya peluang yang sama
dengan pria untuk menduduki semua jabatan. Lalu ditetapkan juga bahwa setiap pejabat
harus samasekali bebas-alkohol. (Peraturan ini kemudian dibarengi dengan Doktrin Bala
Keselamatan yang akan kita lihat nanti.) Dalam kenyataannya Konferensi kurang
berfungsi, apalagi pada saat ada hal-hal mendesak yang harus diputuskan. Karena itu
dalam waktu yang tidak terlalu lama segera terlihat bahwa wewenang (kekuasaan)
berpusat pada satu orang, yaitu pada General Superintendent, dalam hal ini William
Booth.
Penggunaan nama Bala Keselamatan

Dalam pada itu sejak awal 1870-an di lingkungan organisasi itu mulai digunakan
peristilahan dan simbol-simbol militer (hal yang memang tidak samasekali aneh pada
masa itu; lihat di atas). Kebiasaan ini terutama diprakarsai oleh Elijah Cadman, salah
seorang staf William. Pada gilirannya penggunaan metafora militer itu juga dikenakan
pada nama organisasi itu. Alasannya, antara lain adalah: "Kami sedang melancarkan
serangan sepenuh tenaga terhadap kerajaan Iblis. Raja Yesus adalah Komandan Tertinggi
kami ... Kami memiliki Bala Tentara yang akan menghadapi dunia, [sifat-sifat] daging,
dan iblis" (dikutip dalam Bishop 1964:66).
Pernyataan yang lebih tegas lagi dikemukakan pada Konferensi The Christian Mission
1878 (yang juga disebut Kongres Perang dan yang menetapkan penggunaan nama 77w
Salvation Army):
The Christian Mission berhimpun di dalam Kongres untuk melancarkan perang. Ia
memuliakan Allah atas penaklukan yang dilakukannya pada tahun 1877-8. la telah
mengorganisasi Bala Keselamatan untuk membawa darah Kristus dan api Roh Kudus ke
segala penjuru dunia.
(dikutip dalam Bishop 1964:67 dan Rightmire 1990:20)
Sejak konferensi 1878 itu BK dilengkapi dengan Perintah dan Aturan yang meniru
peraturan disiplin militer dan penuh dengan metafora kemiliteran, termasuk jenjang
kepangkatannya5, dan juga dengan pakaian seragam dan perlengkapan lainnya. Kendati
BK bukan satu-satunya di lingkungan gerakan penginjilan pada masa itu
yang menggunakan metafora dan perlengkapan kemiliteran, namun tampaknya BK-lah
yang paling serius, seperti tercermin dalam langkah William Booth mendaftarkan Akta
Pendirian Bala Keselamatan pada Mahkamah Agung Inggris pada tanggal 13 Agustus
1878.
Kalaupun hal ini dianggap aneh dan eksentrik oleh banyak orang pada masa itu, kalangan
BK bangga akan keeksentrikan itu, seperti misalnya terungkap melalui tulisan Bramwell
Booth:
Kami di dalam Bala [Keselamatan] telah belajar bersyukur pada Allah atas ke
eksentrikan dan keberlebih-lebihan (extravagance) kami, dan mempersembah
ken semua itu bagi pelayanan-Nya.... Kebebasan menyerang telah membuat
kaYni mampu menjangkau orang-orang yang memang sangat kami maksudkan.
(dikutip "am Rightmire 1990:23)
Yang dimaksud BK dengan "orang-orang yang sangat kami maksudkan" adalah mereka
yang menurut pemahaman BK hidup dalam dosa dan jauh dari jalan keselamatan. BK
memaklumkan perang dan melancarkan serangan kepada Iblis dan dosa beserta segala
yang diakibatkannya, termasuk kemiskinan dan berbagai penderitaan jasmani. Karena itu
kalaupun BK menjalankan berbagai pelayanan sosial yang terkesan mengupayakan
'keselamatan jasmani'', yang menjadi tujuan utama adalah keselamatan jiwa mereka.
Dengan kata lain, menurut kalangan BK, BK bukan sekadar lembaga pelayanan sosial,
melainkan lembaga penginjilan dan pelayanan rohani, bahkan bala tentara Allah, yang
berpegang pada ajaran yang jelas. Dalam hubungan itulah pada tahun 1878 itu juga BK
menyempurnakan rumusan Doktrin Bala Keselamatan, yang rumusan awalnya sebenar-
nya sudah disusun sejak 1870. Rumusan doktrin ini, yang hingga kini masih tetap
berlaku, sangat mencerminkan pengaruh rumusan ajaran gereja Metodis (yakni Dua
Puluh Lima Pokok Kepercayaan; lihat pasal 7), sekaligus merupakan ringkasannya.
Isinya kemudian dijelaskan dalam buku The Salvation Army Handbook of Doctrine (ter-
jemahan Indonesia: Buku Pengajaran Agama- Doktrin Bala Keselamatan).6
Keeksentrikan gaya penampilan BK ini, demikian juga berbagai bentuk kegiatan dan
pelayanan yang dijalankannya, sering mengundang reaksi negatif dari masyarakat luas
hingga penguasa, mulai dari cemoohan hingga penghambatan. Karena itu tak heran kalau
pada tahun-tahun pertama BK mengalami banyak kesukaran dan penderi-
taan. Beberapa perwiranya ditangkap dan dipenjarakan karena dituduh mengganggu
ketertiban umum. Lalu penumpukan kuasa dan wewenang pada diri sang Jenderal,
digabung dengan gaya diktator militer yang diterapkan William Booth, juga
menimbulkan keluhan dan rasa tidak betah pada sejumlah orang di lingkungan BK,
termasuk pada beberapa anak William sendiri.
Tetapi bagi sebagian lain penampilan dengan gaya militer itu dan semboyan-semboyan
pernyataan perang terhadap segala bentuk kejahatan dan kebobrokan dalam masyarakat,
justru memiliki daya tarik besar serta mengundang simpati dan partisipasi. Apalagi
mereka sangat rajin memperjuangkan pengadaan atau perbaikan undang-undang yang
mendukung perbaikan mutu kehidupan, misalnya undang-undang perlindungan bagi para
wanita (agar ada larangan terhadap perdagangan wanita ataupun kawin paksa pada usia
muda, demi membatasi pelacuran). Karena itu tidak heran kalau dalam waktu relatif
singkat BK mendapat dukungan di mana-mana dan dapat meluaskan jaringannya ke
seluruh dunia (termasuk ke Indonesia). Dengan kata lain, kendati pada hakikatnya BK
merupakan badan penginjilan yang memprioritaskan keselamatan jiwa, namun karena
pesan-pesan religius itu dikemas dan ditenun dalam kiprah sosial yang penuh dedikasi,
maka wajar kalau di banyak tempat BK menjelma menjadi semacam gerakan dan bala
tentara rakyat (people's army).
Pada tanggal 4 Oktober 1890 Catherine Mumford-Booth, Ibu Bala Keselamatan itu,
meninggal setelah menderita penyakit kanker selama beberapa tahun. Beliau
dimakamkan dengan upacara yang megah, dihadiri puluhan ribu orang. la dikenang dan
dihormati di samping William Booth sebagai pendamping peletak dasar dan perancang
strategi pengembangan BK serta pejuang kemanusiaan, terutama untuk kaum wanita
(selengkapnya lihat antara lain Metcalf 21982).
Tidak lama setelah Catherine dimakamkan, William meluncurkan tulisannya, In the
Darkest England and the Way Out. Di situ la membentangkan kebobrokan situasi dan
kondisi masyarakat di kotakota besar Inggris, terutama London, sambil juga menawarkan
beberapa jalan keluar dan pemecahan masalah. Buku ini segera menjadi best-seller,
mengundang kontroversi, pujian maupun keeaman. Kritik antara lain dilontarkan oleh
seorang ahli ilmu sosial, yang kebetulan namanya hampir sama, Charles Booth, yang
pada waktu yang kirakira sama menerbitkan 17 jilid tulisannya, Life and Labour of the
People in London.
Diukur dengan kriteria ilmu sosial modern memang buku William Booth mengandung
beberapa kelemahan, misalnya akurasi data. Tetapi tujuan William memang bukanlah
menyajikan uraian ilmiah, melainkan menggugah perhatian pemerintah dan masyarakat
luas akan kemalangan jasmani dan rohani jutaan manusia miskin dan hergelimang dosa di
negeri itu. "Harapanku satu-satunya dalam mengupayakan pembebasan umat manusia
secara permanen dari kemalangan mereka adalah kelahiran baru atau penciptaan
manusiaharu oleh kuasa Roh Kudus melalui Yesus Kristus" (dikutip dalam Bishop
1964:91).
Sepeninggal Catherine, William Booth lebih banyak menggunakan waktunya mengulangi
kebiasaan lama, yakni melakukan banyak perjalanan penginjilan, inspeksi dan
pembukaan jaringan pelayanan BK yang barn. Sekarang tidak hanya di Inggris,
melainkan ke hampir Neluruh pelosok dunia, termasuk ke Jepang, di mana ia diterima
(lengan hormat oleh kaisar. Pada tahun 1907 Universitas Oxford menganugerahinya gelar
Doktor honoris causa di bidang Hukum Sipil. Menjelang akhir hidupnya ia masih
memimpikan dan merencanakan 1)embukaan proyek pemukiman baru bagi mantan
penghuni kawasan kumuh di Rhodesia, Afrika. Sayang, impiannya tidak menjadi
kenyataan, karena kurang mendapat dukungan dari pemerintah kolonial setempat. Ia
meninggal dunia tanggal 20 Agustus 1912 dan iimakamkan dengan upacara kebesaran.
Kematiannya dipahami Mebagai'promosi (naik) ke kemuliaan sorgawi'.
Sepeninggal William Booth BK terus berkembang. BK hadir di Hekitar 105 negara
dengan ratusan ribu perwira dan prajurit, menyeIvnggarakan ribuan saranaa pelayanan
sosial, sebagai wahana pembentaan Injil.' Terkadang terjadi pertikaian dan perpecahan,
termasuk dalam hal ajaran, yang nanti kita bicarakan.

Kehadiran dan Perkembangannya di Indonesia

Pada tahun 1994 BK di Indonesia merayakan satu abad kehadirunnya di negeri ini. BK
hadir sejak tahun• 1894 melalui dua perwira BK asal Belanda, yaitu Staf Kapten J.G.
Brouwer dan Ensign (Letnan
Muda) A van Emmerik. Semula pemerintah Hindia-Belanda berkeberatan atas kehadiran
BK di negeri ini, karena kuatir bahwa BK akan menimbulkan gangguan. Tetapi setelah
pemimpin BK di Belanda memberi penjelasan kepada Menteri Daerah Jajahan, diberilah
izin kerja kepada kedua opsir itu.
Sesuai dengan petunjuk Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, mereka memulai pekerjaan
(pelayanan kemanusiaan) di PurworejoJateng. Dari sana kemudian meluas berbagai
lokasi. Pusat kegiatan dan latihan mereka semula (1903) berada di Kedung Pani,
Semarang. Pada tahun 1913 kantor pusatnya dipindahkan ke Bandung, dengan nama
Kantor Pusat Teritorial Bala Keselamatan di Indonesia, sedangkan pusat latihannya sejak
1950 dipindahkan ke Jakarta.
Dalam hal pengaturan organisasi dan wilayah kerja, semula Indonesia masuk teritorial
Australia, tetapi sejak 1905 menjadi teritorial tersendiri (mula-mula teritorial Jawa,
kemudian teritorial Indonesia). Perluasan pekerjaan dari Jawa ke daerah lain, terutama ke
Sulawesi, berhubungan dari bencana banjir dan kelaparan yang terjadi di Jawa Tengah
pada tahun 1902. Di Salatiga BK membentuk "Koloni Salib Putih" untuk menolong
korban bencana itu, lalu pimpinan koloni itu merencanakan transmigrasi ke Sulawesi
Tengah, yang direalisasi sejak 1913. Koloni di lembah Palu itu kemudian berkembang
menjadi pangkalan pekabaran Injil dan pelayanan sosial (termasuk persekolahan dan
rumah sakit) yang berkembang pesat di propinsi itu. Para perwira dan prajurit BK dari
luar negeri berhasil mengambil hati masyarakat di Sulawesi Tengah karena kesediaan
serta kemampuan mereka beradaptasi dan berintegrasi dengan kehidupan dan budaya
masyarakat, tanpa mengorbankan identitasnya. Di antara mereka yang sangat dihormati
masyarakat adalah Leonard Woodward dan istri, yang diberi masyarakat gelar Tua Janggo
(riwayat hidup mere. ka lihat dalam Kenyon 1976).
Setelah Sulawesi Tengah, menyusullah beberapa daerah lain. Perluasan ke Sumatera
Timur, misalnya, dimulai tahun 1914 atas permintaan tuan kebun di sana untuk menolong
mereka mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit kusta. Pelayanan kesehatan itu
dikombinasikan BK dengan penginjilan dan pelayanan rohani.
Kini kita bisa menemukan kehadiran BK di Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku, NTT dan
Sumatera dalam berbagai wadah pelayanan sosial: panti asuhan anak-anak, panti karya,
panti werdha (jompo), rumah sakit umum, poliklinik, perumahan ibu dan bayi dan
sebagainya. Selain itu juga kita menemukan banyak gedung gereja, di mana setiap
hari Minggu diadakan dua jenis kebaktian: kebaktian kesucian untuk menghantar umat
Allah (yang sudah Kristen atau warga BK) kepada kesucian, dan kebaktian tebusan untuk
mengajak orang-orang yang belum bertobat untuk menerima penebusan Kristus. Juga
bisa kita temukan berbagai kegiatan penginjilan, termasuk "kebaktian luar?", yaitu
penginjilan di tempat terbuka, yang acap kali diiringi musik. Semua itu ditunjang oleh
majalah Berita Keselamatan (dulu hernama Berita Selamat) maupun berbagai publikasi
lainnya.
Sebagaimana diulas lebih lanjut nanti, sejalan dengan sikap dan pandangan William dan
Catherine Booth (terutama sejak 1880-an), 13K di Indonesia mewujudkan dan
menyebutkan diri sebagai gereja (lihat Anggaran Dasar Bala Keselamatan di Indonesia
yang menyebut (firinya sebagai gereja; bnd. juga SK Dirjen Bimas Kristen Protestan
Depag RI no 117 tahun 1988 yang menyebut dan mendaftarkan Bala keselamatan sebagai
"Lembaga Keagamaan Kristen Protestan yang hersifat Gereja"). Kalau di tingkat dunia
BK menjadi anggota DGD, maka di Indonesia BK menjadi salah satu dari "badan-badan
[yang be]kerja sama" dengan DGI/PGI.
BEBERAPA POKOK AJARANNYA
Di atas telah disinggung bahwa sejak 1870 William Booth telah mulai merumuskan
pedoman ajaran bagi persekutuan penginjilan yang dipimpinnya itu dan bahwa pada
tahun 1878 rumusan itu disempurnakan bersamaan dengan penggunaan nama Bala
Keselamatan secara resmi. Berikut ini disajikan kesebelas butir ajaran itu:
1. KAMI percaya, bahwa Alkitab, yang terdiri dari Perjanjian Lama dan Baru ditulis
dengan ilham Allah; dan bahwa kedua-duanya itu sajalah yang merupakan peraturan ilahi
mengenai iman dan praktek kehidupan Kristen.
2. KAMI percaya, bahwa Allah, itu esa dan mahasempurna - Pencipta, Pemelihara dan
Pemerintah alam semesta - dan hanya kepada Dia sajalah patut manusia berbakti.
3. KAMI percaya, bahwa ada tiga Pribadi dalam Allah, yakni: ALLAH BAPA, ANAK
dan ROH SUCI - yang tak terpisahkan dalam intinya, dan yang sama kuasa dan
kemuliaan-Nya.
4. NAME percaya, bahwa di dalam pribadi Yesus Kristus sifat-sifat ilahi dan manusia
dipersatukan; dengan demikian la sesungguhnya Allah, dan juga sesungguhnya manusia
adanya.
5. KAMI percaya, bahwa nenek moyang kita yang pertama diciptakan Allah dalam
keadaan tidak berdosa, tetapi karena melanggar perintah Allah, mereka kehilangan
kesucian dan kebahagiaan mereka, dan bahwa kejatuhan mereka
menyebabkan semua manusia jugs jadi berdosa, rusak sama sekali batinnya dan oleh
karena itu patut kena murka Allah.
6. KAMI percaya, bahwa Tuhan Yesus Kristus, oleh sengsara dan kematianNya, sudah
mengadakan pendamaian bagi segenap dunia, sehingga barangsiapa mau dapat
diselamatkan.
7. KAMI percaya, bahwa penyesalan di hadapan Allah, kepercayaan kepada Tuhan kami
Yesus Kristus, dan hal dilahirkan kembali oleh Roh Kudus adalah perlu guna
memperoleh keselamatan.
8. KAMI percaya bahwa kami dibenarkan oleh kasih-karunia' Allah melalui iman kepada
Tuhan kami Yesus Kristus; dan bahwa setiap orang yang percaya memiliki kesaksian
tentang hal itu di dalam dirinya.
9. KANII percaya bahwa keberlangsungan keadaan diselamatkan tergantung pada
ketetap-taatan iman kepada Kristus.
10. KAMI percaya bahwa semua orang yang beriman diberi hak istimewa untuk
dikuduskan secara keseluruhan dan bahwa segenap roh dan jiwa dan tubuh dapat
terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kami (1
Tesalonika 5:23).
11. KAMI percaya akan kekekalan jiwa manusia; kebangkitan tubuh; hari pengadilan
pada akhir zaman; kebahagiaan kekal bagi orang saleh; dan hukuman kekal bagi orang
durjana.
(Buku Pengajaran Agama - Doktrin Bala Keselamatan, hhn. 3-4)

Kita tidak sempat membahas isi Buku Pengajaran Agama yang menguraikan kesebelas
butir doktrin ini, sekaligus membicarakan pokok-pokok lain yang dipandang mendukung
ataupun berhubungan dengannya. Namun dengan membaca rumusan ajaran ini, sepintas
lalu kita mendapat kesan bahwa apa yang dianut dan diajarkan BK, dan yang
dipraktekkannya berdasarkan ajaran itu, lebih-kurang sama dengan gereja-gereja
Protestan pada umumnya, sekurangkurangnya dengan gereja Metodis dan gereja-gereja
penganut paham Kesucian lainnya. Tetapi bila-kita perhatikan, paling tidak ada dua hal
pokok yang tidak disebut-sebut di dalamnya, yaitu Sakramen dan Gereja. Ini sering
menimbulkan pertanyaan: apakah BK melayankan sakramen (Baptisan dan Perjamuan
Kudus), dan apakah BK merupakan gereja, atau tidak?
J. Verkuyl dalam bukunya, Geredja dan Bidat2 (21966:190-198),
di satu sisi memuji banyak hal yang baik yang telah dilakukan BK, dan mengakui bahwa
"BK ini, lebih daripada gerakan-gerakan yang lain, timbul untuk melunaskan 'hutang
Gereja yang belum berba
yar'." Tetapi di sisi lain ia menilai bahwa BK "sebenarnya berdiri di
perbatasan Gereja dan bidat; di dalamnya terdapat faktor-faktor yang menghubungkannya
dengan bidat, tetapi juga faktor-faktor yang menghubungkannya dengan Gereja." Di
antara faktor-faktor yang
dimaksudkan Verkuyl menghubungkan BK dengan bidat adalah ajaran dan praktek BK
menyangkut kedua pokok tersebut di atas:
1. Bala Keselamatan telah meninggalkan jalan sakramen-sakramen, yang sudah untuk
segala abad ditunjuk Tuhan Yesus supaya kita turut. 2. Bala Keselamatan jugs telah
meninggalkan jalan jabatan gerejani, ... dan
memisahkan diri dari Gereja di masa yang lampau, yang masih berlaku hingga kini ... BK
telah menjadi suatu organisasi di samping Gereja-gereja.
Ada baiknya kita tidak buru-buru setuju dengan pendapat dan penilaian Verkuyl ini. Oleh
sebab itu kita akan meninjau sejenak pemahaman BK tentang kedua pokok penting yang
saling berkait ini, terutama dengan mengacu pada kumpulan tulisan para pemuka BK
(dalam J.D. Waldron [ed.] 1986) dan kajian seorang sarjana Metodis (Rightmire 1990).
(1) Sakramen
Pertama-tama harus dicatat bahwa William Booth (bersama istrinya Catherine), sebagai
[mantan] pendeta di gereja Metodis pada mulanya mengakui dan melayankan kedua
sakramen itu. Anak-anak mereka semua dibaptis. Para pengikutnya pun pada mulanya,
dan di tempat-tempat tertentu bahkan sampai sekarang, tidak dilarang menerima kedua
sakramen. Apalagi warga BK, setidak-tidaknya pada awalnya, adalah juga warga dari
gereja tertentu, sehingga wajar kalau di gereja masing-masing mereka mengikuti atau
menerima pelayanan kedua sakramen itu. Namun sejak 1880-an, terutama sejak
keputusan William Booth tanggal 2 Januari 1883, BK tidak lagi melayankan ataupun
mengakui kedua sakramen itu, berdasarkan sejumlah alasan praktis maupun teologis.
Alasan praktis yang paling sering dikemukakan, antara lain adalah:
a. Sakramen, terutama Perjamuan Kudus, yang dilayankan di gereja-gereja mapan
(termasuk Metodis) sudah semakin mengarah pada formalisme. Ini sejalan dengan
kehidupan beragama pada zaman Victoria yang sangat bercorak ornamental: penuh
dengan bungabunga dan hiasan, baik gedung gerejanya maupun upacara-upacaranya.
William Booth dan kalangan BK yang lebih mengutamakan kesederhanaan dalam ibadah
dan penghayatan iman, tidak menyukai formalisme dan ritualisme yang didramatisasi dan
diromantisasi seperti itu.
b. Pada masa itu - bahkan sejak abad-abad sebelumnya - gerejagereja berbeda pendapat
dan bertikai mengenai makna sakramen,

Anda mungkin juga menyukai