Disusun oleh
Yonesha Rahmania Prasetya
00000022450
Dibimbing oleh
dr. Nana Novia Jayadi, Sp. KK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
NOVEMBER 2018
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Disusun oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
November 2018
iii
ABSTRAK
Latar Belakang
Konsumsi makanan tertentu dianggap dapat memicu munculnya akne vulgaris.
Makanan yang seringkali dihubungkan dengan kejadian akne vulgaris adalah susu
dan produk olahannya. Susu dan produk olahan susu memiliki kandungan-
kandungan yang dapat meningkatkan kadar IGF-1, penurunan kadar IGFBP-3 dan
SHBG yang akan meningkatkan kadar androgen. Androgen dapat meningkatkan
produksi sebum dan proliferasi sel keratinosit folikel yang akan memicu munculnya
akne vulgaris. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya tentang hubungan
konsumsi susu dan produk olahan susu masih menyatakan hasil yang bervariasi.
Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara konsumsi susu dan produk olahan susu dengan
derajat keparahan akne vulgaris pada mahasiswa/i FK UPH 2016-2018?
Tujuan Penelitian
Mengetahui hubungan antara konsumsi susu dan produk olahan susu dengan derajat
keparahan akne pada mahasiwa/i FK UPH angkatan 2016-2018
Metode
Desain penelitian ini adalah potong lintang dan dilaksanakan di Fakultas
Kedokteran UPH. Sampel pada penelitian ini berjumlah 45 mahasiswa/i FK UPH
Pengambilan data akan diambil menggunakan kuesioner konsumsi susu dan produk
olahan susu.
Kata Kunci: akne vulgaris, susu, produk olahan susu, pola makan, derajat
keparahan akne
iv
ABSTRACT
Background
Certain foods consumption is considered to precipitate acne vulgaris. Foods which
are commonly suspected in precipitating acne vulgaris are milk and dairy products.
Milk and dairy products have substances that can elevate IGF-1 level, decrease
IGFBP-3 and SHBG level which can lead to elevation of androgen level. Androgen
may elevate sebum production and follicle keratinocytes and cause acne vulgaris.
Studies about the correlation of milk and dairy products consumption with acne
vulgaris still remain variable.
Research Questions
Is there relationship between milk and dairy products consumption with acne
severity in FK UPH students batch 2016–2018?
Aim of Study
this study aims to investigate the relationship between milk and dairy products
consumption with acne severity in FK UPH students batch 2016 - 2018
Methods
The design of this study is cross sectional and will be done at Faculty of Medicine
UPH. This study involves 45 FK UPH students. The data will be taken by milk and
dairy products consumption questionnaire.
Key Words: acne vulgaris, milk, dairy products, diet, acne severity
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………….. iv
ABSTRACT ………………………………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………………vi
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………… ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… x
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………….. xi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 3
1.3 Pertanyaan Penelitian ………………………………………………………….. 3
1.4 Tujuan………………………………………………………………………………….. 3
1.4.1 Tujuan Umum ………………………………………...3
1.4.2 Tujuan Khusus………………………………………...4
1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………….4
1.5.1 Manfaat Akademik……………………………………4
1.5.2 Manfaat Praktis.……………………………………….4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………5
2.1 Akne Vulgaris…………………………………………………5
2.1.1 Definisi Akne Vulgaris………………………………...5
2.1.2 Epidemiologi…………………………………………...5
2.1.3 Etiologi dan Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Akne 6
2.1.4 Patogenesis Akne Vulgaris ……………………………...7
2.1.5 Diagnosis Akne Vulgaris………………………………...9
2.1.6 Diagnosis Banding Akne Vulgaris………………………9
2.1.7 Komplikasi Akne Vulgaris……………………………..10
2.1.8 Terapi Akne Vulgaris…………………………………..11
2.2 Susu dan Produk Olahan Susu ………………………………..13
vi
2.3 Hubungan Antara Susu dan Produk Olahan Susu dan Akne
Vulgaris………………………………………………………..13
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN………………………………….16
3.1 Kerangka Teori………………………………………………...16
3.2 Kerangka Konsep……………………………………………...16
3.3 Hipotesis Penelitian…………………………………………....17
3.4 Variabel………………………………………………………..17
3.5 Definisi Operasional…………………………………………..17
BAB 5 METODOLOGI PENELITIAN………………………………20
4.1 Desain Penelitian……………………………………………...20
4.2 Lokasi dan Waktu……………………………………………..20
4.3 Bahan dan Cara Penelitian…………………………………….20
4.3.1 Bahan Penelitian………………………………………...20
4.3.2 Cara Penelitian…………………………………………..20
4.4 Populasi dan Sampel Penelitian……………………………….21
4.4.1 Populasi Target………………………………………...21
4.4.2 Populasi Terjangkau…………………………………...21
4.4.3 Sampel Penelitian……………………………………...21
4.5 Cara Pengambilan Sampel…………………………………….21
4.6 Besar Sampel………………………………………………….21
4.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian………………………22
4.7.1 Kriteria Inklusi ………………………………………...22
4.7.2 Kriteria Eksklusi……………………………………….23
4.8 Alur Penelitian ………………………………………………..23
4.9 Pengolahan Data………………………………………………24
4.10 Uji Statistik …………………………………………………...24
BAB 5 BIAYA PENELITIAN………………………………………..25
BAB 6 JADWAL PENELITIAN……………………………………..26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...27
LAMPIRAN…………………………………………………………..31
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
DAFTAR SINGKATAN
xi
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
dapat mempengaruhi kejadian akne vulgaris serta menstimulasi pertumbuhan
folikel epitel dan terjadinya keratinisasi.4
Penelitian dari Clement A. Adebamowo dengan judul High School Dietary
Dairy Intake and Teenage Acne, melibatkan 47.355 responden wanita yang telah
menyelesaikan kuesioner tentang high school diet pada tahun 1998 dan remaja yang
telah didiagnosis dengan akne derajat berat pada tahun 1989 di Boston, menyatakan
adanya hubungan positif antara akne dan konsumsi susu. 5 Penelitian lain dari
Adebamowo CA dengan judul Milk Consumption and Acne in Adolescent Girls di
Boston, melibatkan responden sebanyak 6.094 anak perempuan berumur 9-15 tahun
pada tahun 1996, dilakukan dengan metode pengisian food frequency questionnaire
sebanyak 3 kali dari tahun 1996 hingga 1998, kembali menyatakan bahwa adanya
hubungan positif antara konsumsi susu dan munculnya akne.6
Berbeda halnya dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Wu dkk. dengan
judul Prevalence and Risk Factors of Facial Acne Vulgaris Among Chinese
Adolescent di China yang dilakukan pada tahun 2007 melibatkan 3.163 anak dan
remaja umur 10-18 tahun dan 1.691 partisipan dengan akne menunjukkan bahwa
tidak adanya hubungan antara konsumsi makanan dengan kejadian akne. 7 Pada
tahun 1971, penelitian yang dilakukan oleh Anderson PC yaitu Foods as the Cause
of Acne 27 partisipan, kembali menunjukkan tidak adanya peningkatan jumlah lesi
akne.8
Di Indonesia, sudah pernah dilaksanakan penelitian antara hubungan diet
atau makanan tertentu dengan kejadian akne vulgaris. Pada tahun 2013, penelitian
yang dilakukan oleh Margaretha Charolina dan dilaksanakan di Medan menyatakan
tidak adanya hubungan antara konsumsi produk olahan susu dengan kejadian akne
vulgaris dengan jumlah sampel 98 orang dimana dibagi atas 2 kelompok, yaitu 49
orang mahasiswa untuk kasus dan 49 mahasiswa untuk kontrol. 9 Selain itu,
penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2014 di Medan oleh Regina Tambunan
dengan total sampel 90 orang menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara
kebiasaan mengkonsumsi susu dengan kejadian akne vulgaris.10
Penelitian–penelitian mengenai hubungan konsumsi susu dan produk
olahan susu dengan derajat keparahan akne masih menunjukkan hasil yang
bervariasi. Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai hubungan keduanya masih
2
sedikit dan sulit untuk ditemui. Hasil penelitian yang bervariasi dianggap
berhubungan dengan pola kebiasaan konsumsi susu dan produk olahan susu yang
berbeda-beda di berbagai negara. Pola konsumsi susu dan produk olahan susu di
Indonesia cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain,
seperti Finlandia, Swedia, Swiss, Belanda, dan Yunani dimana ke-5 negara ini
merupakan negara dengan konsumsi susu dan produk olahan susu tertinggi di dunia.
Akne vulgaris merupakan suatu kondisi yang sering kita temui dalam
kehidupan sehari-hari dan dapat terjadi pada diri kita sendiri ataupun orang-orang
di sekitar kita. Akne vulgaris dipicu oleh berbagai faktor dan seringkali menjadi
masalah, khususnya pada usia remaja. Akne merupakan self-limiting disease,
namun akne dapat meninggalkan scarring yang juga merupakan tantangan dalam
proses penyembuhan akne vulgaris. Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, peneliti
tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara konsumsi susu dan produk olahan
susu dengan derajat keparahan akne vulgaris.
3
Mengetahui adanya hubungan antara konsumsi susu dan produk olahan susu
dengan derajat keparahan akne di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
angkatan 2016-2018.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Kejadian akne merupakan hal yang sangat sering dan seringkali dianggap
sebagai bagian dari proses fisiologis. Derajat ringan dari akne vulgaris seringkali
terjadi setelah kelahiran, hal ini terjadi dikarenakan adanya stimulasi androgen pada
kelenjar adrenal. Manifestasi dari keparahan akne vulgaris tidak terlihat signifikan
hingga pada saat masa pubertas dengan lesi dominanya yaitu dalam bentuk komedo.
Prevalensi akne mencapai puncaknya saat masa menengah-akhir remaja dengan
angka kejadian lebih dari 85% dari remaja dangan akne. Sebuah studi meneliti
prevalensi akne pada wanita berusia 26 hingga 44 tahun mencapai 14%. Derajat
keparahan akne dipengaruhi faktor keluarga, dimana prevalensi kejadian akne
sedang-parah pada remaja sekolah menegah atas menyimpulkan 19.9% pada remaja
dengan riwayat keluarga dan 9.8% pada remaja yang tidak memiliki riwayat
keluarga.1 Insidensi tertinggi akne ditemukan pada perempuan dengan umur 14
hingga 17 tahun dan pada laki – laki dengan umur 16 hingga 19 tahun, pada periode
ini, lesi predominan akne adalah komedo dan papul yang biasanya tidak disertai
oleh peradangan.16 Akne dengan derajat sedang hingga berat ditemukan pada
sekitar 20% dari remaja dan derajat keparahan berhubungan dengan masa pubertas.
Adanya pengaruh keturunan dalam keluarga dengan kejadian akne adalah hampir
5
80%, akne tumbuh lebih cepat dan dengan derajat berat pada individu dengan
riwayat keluarga.11
b. Faktor Makanan :
Pada makanan yang banyak mengandung lemak, mempermudah timbulnya
akne. Hal ini dapat dianggap masuk akal mengingat patogenesis untuk terjadinya
akne merupakan produksi sebum yang berlebihan, dimana salah satu komponen
dari sebum sendiri merupakan trigliserida.1
e. Faktor Keturunan
Faktor keturunan berpengaruh dengan bentuk klinis akne.
6
f. Infeksi
Infeksi dari Propionibacterium acnes berperan dalam iritasi epitel folikel dan
mempermudah terjadinya akne.
g. Hormonal
Faktor hormonal yang mempengaruhi kejadian akne adalah androgen. Hormon
androgen dapat mempengaruhi tingkat proliferasi dari keratinosit.
h. Kosmetik
Pemakaian kosmetik dan produk kecantikan yang dalam hal ini bersifat
komedogenik, dapat meningkatkan risiko untuk munculnya akne pada seseorang.
i. Kejiwaan/Kelelahan
Faktor berikutnya berhubungan dengan kejiwaan dan kelelahan, dapat
dijelaskan jika seseorang tampak susah tidur dan menghadapi pekerjaan yang
memerlukan fokus lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi kejiwaan dan tingkat
stres maka risiko terjadinya serta risiko untuk derajat keparahan akne akan
meningkat.
7
menyebabkan pelebaran pada folikel rambut bagian atas dan produksi
mikrokomedo. Stimulus dari hiperproliferasi keratinosit masih belum diketahui.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hiperproliferasi keratinosit antara lain
stimulus androgen, berkurangnya asam linoleic, aktivitas dari IL-1 dan P.acnes.
Dihydrotestosterone (DHT) adalah tipe androgen yang sangat kuat dan
memiliki peran dalam kejadian akne. Dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS)
dikonversi menjadi androgen DHT dengan bantuan 17-beta-hydroxysteroid
dehydrogenase (HSD) dan 5-alpha reductase. Folikular keratinosit menyebabakan
peningkatan pada 17-beta-hydroxysteroid dehydrogenase (HSD) dan 5-alpha
reductase dan tentunya produksi dari DHT. DHT memiliki peran dalam stimulasi
proliferasi keratonisit folikular. Kadar asam linoleic juga mempengaruhi keratinosit
folikel dan menyebabakan stimulasi dari proinflamasi sitokin. Kadar data
dikembalikan normal dengan bantuan isotretinoin. Interleukin-1 juga dapat
menyebabkan hiperproliferasi keratinosit. Fibroblast growth factor receptor
(FGFR)-2 mengatur terjadinya hiperkeratinisasi. Mutasi pada gen FGFR2 dapat
menyebabkan akne dengan meningkatkan produksi IL-1 alpha dan 5-alpha
reductase.
Meningkatnya produksi sebum menjadi salah satu faktor terjadinya akne.
Komponen dari sebum adalah trigliserida dan lipoperoksida. Trigliserida akan
dipecah menjadi asam amino oleh normal flora, yaitu P.acnes. Asam amino bebas
akan menstimulasi terjadinya kolonisasi P.acnes dan bakteri, menyebabkan
inflamasi dan kemungkinan untuk menjadi komedogenik. Lipoperoksida juga
memproduksi pro-inflamatori sitokin yang akan menyebabkan meningkatnya
produksi sebum. Mikrokomedo akan memadat dengan adanya kandungan keratin,
sebum dan bakteria. Pada akhirnya dinding folikel akan pecah dan menyebabkan
inflamasi.
P.acnes merupakan gram positif, anaerobik, dan mikroaerobik bakteria
yang terdapat pada kelenjar sebasea. Dinding sel dari P.acnes mengandung
karbohidrat antigen dan menstimulasi antibodi dengan begitu sistem imunitas.
P.acnes memfasilitasi inflamasi dengan mengatur hipersensitivitas tipe 4 dan
dengan memproduksi enzim lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaksis.
8
2.1.5 Diagnosis Akne Vulgaris
Diagnosis akne vulgaris dapat dilakukan dan ditegakkan melalui anamnesis.
Pemeriksaan fisik berupa gambaran klinis seperti komedo terbuka (black head),
komedo tertutup (white head), papul, pustul, nodul atau kista dan dicocokkan
dengan tempat predileksi untuk terjadinya akne seperti pada daerah muka, leher,
dada dan punggung yang dalam hal ini memiliki banyak kelenjar lemak. 13
Pemeriksaan penunjang untuk laboratorium dapat juga dilakukan dengan analisis
komposisi asam lemak di kulit dan pemeriksaan terhadap mikroorganisme
Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale.12
Pemeriksaan ekskohleasi sebum juga dapat dilakukan yaitu dengan cara
mengeluarkan sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok unna). Sebum
yang menyumbat folikel dapat keluar dan terlihat seperti massa padat meneyrupai
lilin atau massa dengan konsistensi lebih lunak seperti nasi dan terkadang berwarna
kehitaman pada bagian ujungnya.16
Klasifikasi derajat akne vulgaris yang dilakukan di Indonesia adalah
klasifikasi menurut Lehmann dkk. Klasifikasi ini diadopsi dari 2nd Acne Round
Table Meeting (South East Asia), Regional Consensus on Acne Management, 13
januari 2003.14
9
akne juga memiliki hubungan dengan kelainan endokrinologi. Pasien dengan
hiperandrogenism memiliki risiko tinggi untuk memiliki akne. Hal ini memiliki
hubungan dengan kadar androgen.1
a. Folikulitis
Inflamasi yang menyerang folikel rambut, penyebabnya adalah infeksi, iritasi
zat kimia, atau trauma. Inflamasi dapat terjadi secara superfisial maupun
menyerang lapisan lebih dalam pada folikel rambut. Folikulitis superfisial
merupakan inflamasi pada folikel rambut bagian atas ditandai adanya pustula
dengan atau tanpa rasa nyeri dan pada akhirnya akan semuh tanpa meninggalkan
bekas. Inflamasi pada seluruh bagian folikel rambut/deep akan ditandai dengan
pembengkakkan, bintil merah dan merupakan pustula yang berukuran lebih besar.15
b. Rosasea
Kondisi peradangan kronis pada daerah muka ditandai dengan eritema, pustula,
telengiektasi, nodul, kista, tanpa komedo. Dapat disertai dengan adanya hipertrofi
kelenjar sebasea16 Predileksi dari akne rosasea terdapat pada daerah hidung dan
pipi.12
c. Dermatitis perioral
Seringkali terjadi pada wanita ditandai dengan gejala klinis yaitu polimorifk
eritema, papula, pustula dan rasa gatal disekitar mulut.12
d. Erupsi akneformis
Biasanya berupa papula, vesikel berkelompok dan lokasi pada seluruh tubuh.12
10
ada dan biasanya terjadi sebagai komplikasi dari akne tipe kistik. Pitted scars dan
keloid biasanya terlihat pada bagian rahang dan dada adalah tipe scarring yang
paling sering ditemukan. Komplikasi lainnya adalah terbentuknya pyogenic
granuloma yang lebih sering ditemukan pada akne fulminan dan pada pasien yang
diterapi dengan isotretinoin dosis tinggi.2
1. Pengobatan topikal
Dilakukan dengan tujuan mencegah pembentukan komedo, mengurangi
peradangan dan mempercepat proses penyembuhan lesi.
a. Bahan iritan yang mengelupaskan kulit, meliputi sulfur, benzoil peroksida,
retinoid dan lain–lain.
b. Antibiotik topikal untuk mengurangi jumlah mikroba dalam folikel, yaitu
oksitetrasiklin, eritromisin dan klindamisin fosfat
c. Anti-radang topikal, salap atau krim kortikosteroid dosis ringan atau sedang
(hidrokortison 1-2,5%)
11
2. Pengobatan sistemik
Mekanisme kerja obat menekan aktivitas jasad renik, mengurangi reaksi
peradangan, mengurangi produksi sebum dan mempengaruhi keseimbangan
hormonal dalam tubuh.
a. Anti-mikrobial sistemik (tetrasiklin, azitromisin, klindamisin, dan lain –
lain)
b. Obat hormonal yang ditujukan untuk menekan produksi androgen dan
mempengaruhi reseptor organ target pada kelenjar sebasea, misalnya
estrogen atau anti-androgen siproteron asetat. Kortikosteroid sistemik
diberikan untuk menekan peradangan dan mengurangi sekresi androgen
dari kelenjar adrenal, contohnya adalah prednison atau deksametason.
c. Vitamin A dan retinoid oral sebagai anti-keratinisasi
d. Anti-inflamasi dengan golongan non-steroid, misalnya ibuprofen dan
lain-lain
4. Terapi spironolakton
Tujuannya adalah menambah efikasi terapi kombinasi hormonal menggunakan
estrogen dan anti-androgen terhadap akne
12
2.2 Susu dan Produk Olahan Susu
Susu adalah cairan putih yang dihasilkan oleh mamalia dan diproduksi oleh
kelenjar mammae. Colostrum adalah sebutan untuk susu yang dikeluarkan pada
hari-hari pertama setelah proses melahirkan. 17 Susu adalah cairan bergizi yang
dihasilkan oleh kelenjar susu pada mamalia betina dan dapat diolah menjadi
berbagai produk yang dikenal sebagai dairy product, seperti mentega, yoghurt, es
krim, keju, susu kental manis, susu bubuk yang dapat dikonsumsi dan mengandung
komponen-komponen gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.18
Susu mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, energi, gula yang dalam hal ini
adalah dalam bentuk laktosa, kolesterol, kalsium, asam lemak jenuh, asam lemak
monounsaturated dan asam lemak polyunsaturated dan yodium.19
Susu dan produk olahan susu menunjang sekitar 19% dari kebutuhan protein
sehari–hari dan sekitar 8,5% dari kebutuhan lemak sehari-hari. Susu dan produk
olahan susu mengandung 50% kebutuhan total kalsium untuk tubuh bersamaan
dengan nutrisi penting lainnya, termasuk kebutuhan fosfor, magnesium dan zinc,
dimana semuanya mempengaruhi kesehatan tulang. 20 Dietary guidelines for
americans (DGA) 2015-2020 merekomendasikan produk olahan susu tanpa lemak
atau rendah lemak, meliputi susu, yoghurt dan keju sebagai faktor penting dalam
21
pola makan yang baik. Dietary guidelines for chinese residents 2016
menyarankan untuk mengonsumsi produk olahan susu sebanyak 300-500 gram
dalam sehari. 22 Susu diproduksi oleh sapi yang hamil dan sudah melahirkan,
mengandung sejumlah substansi steroid dan prekursor hormon androgen dan
mengandung kurang lebih 60 faktor yang terlibat dalam pembentukan akne. Susu
mengandung estrogen, progesteron dan prekursor hormon androgen
(dehydroandrosterone sulfate dan androsteredione), 5alpha-reductase steroids
(dihydrotestosterone, 5alpha-pregnanedione dan 5alpha-androstanedione) dan
molekul bioaktif (glukokortikoid dan IGF-1).23
2.3 Hubungan Antara Susu dan Produk Olahan Susu dan Akne Vulgaris
Nutrisi, hormon, dan growth factors yang terdapat dalam produk olahan
susu dapat menstimulasi produksi hormon pertumbuhan, insulin-like growth factor
(IGF-1) dan kenaikan rasio IGF-1 terhadap protein pengikatnya yaitu IGFBP-3.3
13
tingginya tingkat konsumsi skimmed-milk dinilai memiliki pengaruh dalam
produksi IGF-1 jika dibandingkan dengan konsumsi makanan tinggi protein seperti
24
daging. Pola diet dengan kadar glikemik rendah diketahui menghasilkan
perubahan signifikan terhadap kadar IGFBP-3. Kadar IGFBP-3 dinilai lebih tinggi
pada diet rendah glikemik dibandingkan diet tinggi glikemik.25
Penelitian oleh Cappell M dkk. yang dilakukan secara case-control pada
studi kohort dengan 34 subjek penelitian (8 wanita dan laki – laki dengan akne, 10
wanita dan 8 laki laki tanpa akne) pada tahun 2005, menilai bahwa IGF-1
berhubungan dengan DHEAS dan androsteredione. 26 Dehydroepiandrosterone
(DHEAS) yang merupakan sebuah prekursor dari pembentukan androgen yang
berasal dari kelenjar adrenal berperan sebagai salah satu faktor penting dalam
inisiasi untuk produksi sebum. 27 Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1), IGF-1
dianggap dapat menstimulasi 5-alpha-reductase, meningkatkan sintesis dari
adrenal dan gonadal androgen, sinyal transduksi dari reseptor androgen,
meningkatkan produksi sebosit dan lipogenesis. Konsumsi makanan yang
mengandung kadar glikemik tinggi, dimana insulin dapat menginduksi hati untuk
memproduksi IGF-1.28
Kadar IGF-1 juga diketahui sebagai salah satu faktor tambahan untuk
meregulasi kadar SHBG. Sex hormon binding protein (SHBG) adalah protein
pengikat dengan affinitas tinggi untuk androgen dan estrogen. SHBG memodulasi
bioaktivitas dari seks steroid dengan cara meregulasi difusi seks steroid pada
target.29 Penurunan kadar SHBG dapat meningkatkan kadar androgen bebas dan
testosterone bebas, dimana testosterone dapat diubah menjadi DHT oleh enzim
5alpha-reductase. DHT memiliki peran dalam menstimulasi proliferasi dari
keratinosit folikel.
Kenaikan atau penurunan kadar IGF-1 tidak hanya terjadi karena konsumsi
makanan tertentu, namun kondisi lain yang juga mempengaruhi kadar IGF-1
ditemukan pada individu dengan gangguan fungsi hati dan penyakit diabetes
mellitus. IGF-1 diproduksi dan diregulasi oleh liver, dengan begitu gangguan pada
fungsi hati dapat mempengaruhi kadar dan regulasi dari IGF-1.30 Penelitian oleh
Grit Wallek dkk. pada tahun 2012 di Jerman, menyatakan bahwa kadar IGF-1 dan
IGFBP-3 menurun secara signifikan pada individu dengan gangguan hati.31 Kadar
14
IGF-1 yang rendah juga berhubungan dengan penyakit diabetes.32 Kadar androgen
juga dapat meningkat pada kondisi tertentu. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
yang merupakan gangguan sistem endokrin yang memiliki salah satu kriteria
diagnosis yaitu hiperandrogenisme. PCOS juga dapat mengganggu regulasi insulin
dimana terjadi resistansi insulin akibat dari adanya hiperinsulinemia.33 Pada kondisi
Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) dapat meningkatkan kadar androgen dan
memicu munculnya akne. Pada perempuan, gangguan androgen diikuti dengan
kondisi hirsutisme atau gangguan menstruasi, sedangkan pada laki-laki, munculnya
akne dapat menjadi satu-satunya gejala yang menonjol.34
15
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
16
3.3 HIPOTESIS PENELITIAN
Terdapat hubungan antara konsumsi susu dan produk olahan susu dengan
derajat keparahan akne vulgaris pada mahasiswa/I FK UPH angkatan 2016-2018.
3.4 VARIABEL
Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi :
- Variabel terikat/dependen
Variabel terikat atau dependen pada penelitian ini adalah derajat keparahan akne
vulgaris
- Variabel bebas/independen
Variabel bebas atau independen pada penelitian ini adalah konsumsi susu dan
produk olahan susu
Akne Ringan :
Komedo <20 atau
lesi inflamasi
Derajat
Tingkat keparahan dari <15, atau total
2 Keparahan Ordinal KBBI
akne vulgaris lesi <30
Akne Vulgaris
Akne Sedang :
Komedo 20-100
atau lesi
17
inflamasi 15-50
atau total lesi 30-
125
Akne Berat :
kista >5 atau
komedo <100,
atau lesi
inflamasi >50
atau total lesi
>125
18
Makanan yang Selalu : ≥ 7
kali/minggu
mengandung susu sebagai
Putra S.R.
Produk salah satu bahan utamanya Kadang-kadang
4 : 1-6 kali/minggu Ordinal Pengantar Ilmu
Olahan Susu dan sekarang telah banyak
Gizi dan Diet
dikonsumsi oleh Tidak Pernah :
masyarakat. <1 kali/minggu
19
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
20
c. Memberikan lembar informed consent sebagai tanda ketersediaan dalam
bergabung sebagai subjek penelitian
d. Pengambilan foto subjek penelitian
e. Pengisian kuesioner riwayat konsumsi susu dan produk olahan susu
f. Data yang didapatkan kemudian akan diolah oleh peneliti
21
Keterangan:
n : Jumlah sampel
Za : Kesalahan tipe 1 = 1,64
Zb : Standar deviasi pada kesalahan tipe II, kesalahan tipe 2 = 0,84
P1 : Proporsi yang didapatkan dari kelompok terpapar = 0,815
P2 : Proporsi pada kelompok yang tidak terpapar = 0,952
P : proporsi variable yang diteliti 0,884
Q1 : 0,185
Q2 : 0.048
Q : 0,117
22
4.7.2. Kriteria Eksklusi
1. Mendapatkan pengobatan akne dalam hal ini konsumsi isotretinoin dan
penggunaan krim antibiotik topikal atau oral atau berhenti pengobatan
kurang dari 1 bulan sebelum penelitian dilakukan
2. Menggunakan alat atau mengonsumsi obat kontrasepsi
3. Penderita Diabetes Mellitus, CAH, PCOS dan gangguan fungsi hati
4. Mengonsumsi obat – obatan yang memiliki pengaruh dalam proses
eksaserbasi akne vulgaris antara lain kortikosteroid, anti-konvulsan
(deifenilhidantoin, fenobarbital dan trimetandion), anti-depresan, INH,
antineoplastik, antiviral, tetrasiklin, vitamin B12, antipsikosis dan iodide
kurang dari 2 bulan sebelum penelitian dilakukan
23
4.9 Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
software Microsoft Excel dan diolah menggunakan soft`ware SPSS 21.0
24
BAB V
BIAYA PENELITIAN
Alat Tulis
25
BAB VI
JADWAL PENELITIAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaenglein AL, Graber E, Thiboutot DM, Staruss JS. Acne Vulgaris and
Acneiform Eruption. In: Freedberg IM., et al. (eds). Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th Ed. New York : McGraw-Hill
Education; 2012. p. 897-53.
2. William James, Dirk M. Elston, Timothy G. Berger, Isaac Neuhaus.
Andrew’s Disease of the Skin : Clinical Dermatology. 12th Ed.
Philadelphia, PA : Elsevier; 2015. p. 228-34.
3. Rich-Edwards J, Ganmaa D, Pollak M, Nakamoto E, Kleinman K,
Tserendolgor U et al. Milk consumption and the prepubertal somatotropic
axis. Nutrition Journal. 2007;6(1):28.
4. Rahaman S, De D, Handa S, Pal A, Sachdeva N, Ghosh T et al. Association
of insulin-like growth factor (IGF)-1 gene polymorphisms with plasma
levels of IGF-1 and acne severity. J Am Acad Dermatol. 2016;75(4):768-
73.
5. Adebamowo C, Spiegelman D, Danby F, Frazier A, Willett W, Holmes M.
High school dietary dairy intake and teenage acne. J American Acad
Dermatol. 2005;52(2):207-14.
6. Abendamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, Rockett HH, Willett WC,
Holmes MD, et al. Milk Consumption and acne in adolescent girls.
Dermatol Online J. 2006;12(4):1.
7. Wu TQ, Mei SQ, Zhang JX, Wu FJ, Diao JX, Gong LF, et al. Prevalence
and risk factors of facial acne vulgaris among chinese adolescents. Int J
Adolesc Med Health. 2007;19(4):407-12.
8. Anderson PC. Foods as the cause of acne. Am Fam Physician.
1971;3(3):102-3.
9. Margaretha C. Hubungan konsumsi produk olahan susu dengan kejadian
akne vulgaris pada mahasiswa FK USU angkatan 2010. [Skripsi]. Medan:
Fakultas Kedokteran USU; 2013 [cited 16 November 2018];.Available
from:
27
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40056/Appendix.p
df?sequence=1&isAllowed=y
10. Tambunan R. Hubungan konsumsi susu terhadap kejadian akne vulgaris
pada mahasiswa FK USU 2011-2013. [Skripsi]. Medan: Fakultas
Kedokteran USU; 2014 [cited 10 November 2018];.Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/61968
11. Bhate K, Williams HC. Epidemiology of acne vulgaris. Br J Dermatol.
2013;168(3):474-85. doi: 10.1111/bjd. 12149.
12. Siregar R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2005. h.178-79
13. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, K.R. Ellen. Disorders of sebaceous
and apocrine glands. In: Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas And
Synopsis Of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
14. J. Karciauskiene, S. Valiukeviciene, H. Gollnick, A. Stang. The prevalence
and risk factors of adolescent acne among schoolchildren in Lithuania.
JEADV. 2013; 28(6):733-40.
15. Thomas P. Habif. Acne, Rosacea and Related Disorders. Clinical
Dermatology : A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 6th
Ed.Philadelphia PA: Elsevier;2015. p.218-50.
16. Sitohang Irma, Wasitatmadja Sjarif. Akne Vulgaris. Dalam : Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. hal.288-91.
17. Guetouache M, Guessas B. Composition and nutritional value of raw milk.
Biology Science Pharmacology Research Vol.2(10), 2014. p. 115-22
18. Putra SR. Pengantar ilmu gizi dan diet. Jogjakarta: D-Medika; 2013. h.176-
79.
19. O’Brien B, Gleeson D, Jordan K. Iodine concentrations in milk. IAFJR.
2013;52: 209-16
20. Susan A. New, BA, MSc. PhD. Dairy and bone health. Medscape.
2003;Sept;8(2)
28
21. 2015-2020 Dietary Guidelines for Americans, 8th Edition. Accessed online
: 3 November 2018. Available online :
https://health.gov/dietaryguidelines/2015/guidelines/
22. Chinese Nutrition Association. Dietary guidelines for chinese residents
2016. People’s Medicine publishing house; Beijing, China; 2016.
23. Glatici VG., Georgescu Olivia, Draganita Ana. Fica Simona. Milk and
Insulin Growth Factor-1 (IGF1) – Implication in Acne and General Health.
Romanian Biotechnological Letter, Vol.20, No.1, 2015.
24. Hoppe C, Molgaard C, Juul A, Michaelsen KF. High intakes of skimmed
milk, but not meat, increase serum IGF-1 and IGFBP-3 in eight-year-old
boys. Eur J Clin Nutr. 2004;58(9):1211-6.
25. Brand-Miller JC, Liu V, Petocz P, Baxter RC. The glycemic index of foods
influences postpandrial insulin-like growth factor binding protein responses
in lean young subjects. Am J Clin Nutr. 2005;82(2):350-4.
26. Cappel M, Mauger D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of
insulin-like growth factor 1, dehydroepiandrosterone sulfate, and
dihydrotestosterone and acne lesion counts in adult women. Arch Dermatol.
2005;141(3):338-8.
27. Stewart ME, Downing DT, Cook JS, Hansen JR, Strauss JS. Sebaceous
gland activity and serum dehydroepiandrosterone sulfate levels in boys and
girls. Arch Dermatol. 1992;128:1345-348.
28. Melnik BC, Schmitz G. Role of insulin, insulin-like growth factor-1,
hyperglycemic food and milk consumption in the pathogenesis of acne
vulgaris. Exp Dermatol. 2009;18(10):833-41.
29. Singh A, Hamilton-Fairley D, Koistinen R, Seppala M, James VH, Franks
S, Reed MJ. Effect of insulin-like growth factor type 1 (IGF-1) and insulin
on the secretion of sex hormone binding globulin (SHBG) and IGF-1
Binding protein (IBP-I) by human hepatoma cells. J Endocrinol.
1990;124(2):R1-3.
30. Michael R, Geoffrey Hammond, Frank C. Sex hormone-binding globulin
regulation of androgen bioactivity in vivo: validation of the free hormone
hypothesis. Sci Rep. 2016;6:35539.
29
31. Agnieszka Adamek, Aldona. Insulin-like growth factor (IGF) system in
liver diseases. Int J Mol Sci. 2018; 19(5): 1308.
32. Wallek G., Nele F, Till Ittermann, Julia Mayerle, Matthias Nauck, Christin
Spielhagen. IGF-1 and IGFBP-3 in patients with liver disease. 2013; p.13-
20. DOI: https://doi.org/10.1515/labmed-2012-0032.
33. Srinivas Teppala, Anoop Shankar. Association between serum IGF-1 and
diabetes among US adults. Diabetes Care. 2010; 33(10): 2257-2259.
34. Catherine G. Baptiste, Marie-claude Battista, Andreanne, Jean-Patrice.
Insulin and hyperandrogenism in women with polycystic ovary syndrome.
J Steroid Biochem Mol Biol. 2010; 122(1-3): 42-52.
35. Degitz K, Placzek M, Arnold B, Schmidt H, Plewig G. Congenital adrenal
hyperplasia and acne in male patients. Br J Dermatol. 2003;148(6): 1263-6.
30
LAMPIRAN
31
Telepon : +6282299009941
Line : yonessha.
E-mail : yonessharachmania@yahoo.co.id
Atas perhatian dan ketersediaannya dalam mengikuti penelitian ini, saya ucapkan
terima kasih.
32
Lampiran 2: Lembar Pernyataan Persetujuan Partisipasi
Tangerang, ____________2019
Peneliti Responden
Saksi
33
Lampiran 3: Lembar Kuesioner
Lembar Kuesioner I
34
Lembar Kuesioner II
35
36
Lampiran 4 : Dummy Table
Nama
Usia
Jenis Kelamin L/P L/P L/P
Frekuensi Kadang- Tidak Pernah :
Selalu : ≥ 7
Konsumsi Susu dan kadang : 1-6 <1 kali/minggu
kali/minggu
Produk Olahan kali/minggu
Susu
37
1
Lowell A. Goldsmith, Stephen I. Katz, Barbara Gilchrest, Amy Paller, David J.
Leffell, Klaus Wolff. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th Edition.
McGraw-Hill Education.
2
William James, Dirk M. Elston, Timothy G. Berger, Isaac Neuhaus. 2015.
Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 12th Edition.
18
3
Rich-Edwards J.W., Ganmaa D., Pollak M.N., Nakamoto E.K., Kleinman K.,
Tserendolgor U., Willett W.C., Frazier A.L. Milk consumption and the prepubertal
somatotropic axis. Nutr. J. 2007;6:28
4
Rahaman S.M.A., De D., Handa S., Pal A., Sachdeva N., Ghosh T., Kamboj P.
Association of insulin-like growth factor (IGF)-1 gene polymorphisms with
plasma levels of IGF-1 and acne severity. J. Am. Acad. Dermatol. 2016;75:768–
773
5 Abendamowo CA, Spiegelman D, Danby FW, Frazier AL, Willet WC, Holmes MD. High
School Dietary Dairy Intake and teenage acne. J Am Acad Dermatol.2005;52(2):207-214.
6 Abendamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, et al. Milk Consumption and acne in adolescent
38
Wolff K, Johnson RA. 2009. Disorders of sebaceous and apoccrine glands. 6th Edition. New
13
York: McGraw-Hill.
2nd Acne Round Table Meeting (South East Asia), Regional Consensus on Acne
14
Managemen
15
Thomas P. Habif. Clinical Dermatology : A Color Guide to Diagnosis and
Therapy. 6th Edition
16
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
17 Guetouache M, Guessas B. 2014. Composition and nutritional value of raw milk. Biology
science pharmacology research.
18 Putra SR. 2013. Pengantar ilmu gizi dan diet. Jogjakarta: D-Medika
19 O’Brien B, Gleeson D, Jordan K. 2013. Iodine concentrartions in milk. Irish Journal Agriculture
Food Research.
20 Susan A. New, BA, MSc. PhD. Dairy and bone health. Medscape. 2003 Sept;8(2)
21 2015-2020 Dietary Guidelines for Americans, 8th Edition. Accessed online : 3 November 2018.
24 Hoppe C, Molgaard C, Juul A, Michaelsen KF. High intakes of skimmed milk, but not meat,
increase serum IGF-1 and IGFBP-3 in eight-year-old boys. Eur J Clin Nutr. 2004 Sep;58(9):1211-
6.
25 Brand-Miller JC, Liu V, Petocz P, Baxter RC. The glycemic index of foods influences
postpandrial insulin-like growth factor binding protein responses in lean young subjects. Am J
Clin Nutr. 2005 Aug;82(2):350-4.
26 Cappel M, Mauger D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of insulin-like growth
factor 1, dehydroepiandrosterone sulfate, and dihydrotestosterone and acne lesion counts in adult
women. Arch Dermatol. 2005 Mar;141(3):338-8.
27 Stewart ME, Downing DT, Cook JS, Hansen JR, Strauss JS. Sebaceous gland activity and serum
bioactivity in vivo: validation of the free hormone hypothesis. Sci Rep. 2016 Oct;6:35539.
30 Agnieszka Adamek, Aldona. Insulin-like growth factor (IGF) system in liver diseases. Int J Mol
hyperandrogenism in women with polycystic ovary syndrome. J Steroid Biochem Mol Biol. 2010
Oct; 122(1-3): 42-52.
39
34 Degitz K, Placzek M, Arnold B, Schmidt H, Plewig G. Congenital adrenal hyperplasia and acne
in male patients. Br J Dermatol. 2003 Jun;148(6): 1263-6.
40