Teologi Kontekstual-2
Teologi Kontekstual-2
BAB I : Pendahuluan
Dewasa ini, Teologi Kontekstual semakin banyak mendapatkan perhatian khusus. Hal
ini dikarenakan oleh berkembangnya teologi-teologi lokal dan kesadaran bahwa berteologi
tidak selalu harus diimpor dari barat. Nama-nama teolog kontemporer Barat juga sudah mulai
perlahan-lahan tergantikan (meskipun sama sekali tidak diabaikan) dengan teolog-teolog dari
benua Afrika dan Asia. Negara-negara dunia ketiga yang masih berkembang di benua Afrika
dan Asia ini juga mulai bergerak di dalam kemandiriannya untuk berteologi. Sudah tidak lagi
mereka mengikuti perspektif misionaris Barat terdahulu yang sering memandang kebudayaan
setempat sebagai suatu kekafiran. Melainkan, para teolog-teolog lokal ini hadir untuk
membawakan warna kebudayaan yang mereka punya untuk kemudian dihubungkan dengan
teologi, di dalam nuansa yang kontekstual. Konteks budaya sudah tidak lagi diabaikan di
dalam teologi yang kaku dan opresif. Melainkan, kebudayaan justru hadir bersama-sama
dengan teologi itu. Di dalam teologi yang kontekstual ini, kebudayaan dapat bekerjasama di
dalam kolaborasi yang utuh. Teologi kontekstual melihat bahwa ilmu teologi justru dapat
dilahirkan dari kebudayaan.
Di dalam pemahaman dan perspektif teologi kontekstual, tulisan ini akan berupaya
untuk menggali bagaimana kebudayaan sebagai suatu konteks dapat berjumpa dengan iman
Kristen. Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa kebudayaan ini bukanlah untuk menciptakan
suatu iman Kristen yang baru di dalam sebuah sinkretisme. Melainkan, teologi kontekstual
yang dimaksud adalah bagaimana teologi itu dapat dipandang sesuai dengan konteksnya, dan
konteks di dalam tulisan ini adalah konteks kebudayaan. Tulisan ini juga berusaha untuk
menjelaskan bagaimana iman Kristen dapat saling bertumbuh bersama dengan kebudayaan
lokal. Adapun kebudayaan yang akan diangkat di dalam tulisan ini dapat dikatakan
bervariatif, sebab penulis hendak melihat kebudayaan yang berbeda-beda dan bagaimana
kebudayaan yang berbeda itu dapat dihadapkan kepada Iman Kristen yang sama. Selain itu,
tulisan ini juga bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebudayaan dan Iman Kristen tidak
selalu harus saling bertentangan. Melainkan sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya,
Iman Kristen dan kebudayaan justru dianggap memiliki kemampuan untuk tumbuh bersama-
sama. Inilah yang akan dikaji di dalam tulisan ini.
1
BAB II : Landasan Teori
Contoh kontekstualisasi di Alkitab dapat dilihat pada teks 1 Korintus 9:12. Dalam
suratnya ini, Paulus menekankan bahwa segala halangan atau tantangan dalam menyebarkan
Injil harus dihadapi. Artinya, Paulus ingin supaya Injil sedapat mungkin disebarkan oleh
sebanyak mungkin orang. Paulus dapat dianggap siap untuk menghadapi segala kesulitan
yang akan terjadi di dalam usahanya untuk menyebarkan Injil Kristus ini. Hal ini dibuktikan
oleh Paulus dalam karyanya. Paulus yang meskipun adalah seorang Yahudi yang taat, mau
mengkontekstualisasikan Injil Kristus kepada orang yang non-Yahudi sekalipun (1 Kor. 9:20-
21). Hal ini berarti, Injil tidak boleh dihalangi oleh latar belakang seseorang maupun
1
Derek Brotherson, Contextualization or Syncretism?, (Eugene, Wipf & Stock Publishing, 2021), 33-34.
2
Andrew J. Prince, Contextualization of the Gospel, (Eugene, Wipf & Stock Publishing, 2017), 43-44.
2
kebudayaan yang dimilikinya.3 Contoh lainnya dalam melihat basis teks Alkitab sebagai
bukti bahwa Alkitab itu memiliki nilai kontekstualisasi, dapat dilihat pada kisah Yusuf di
kitab Kejadian. Dalam Kejadian 39:23 hingga 41:16-45, Yusuf yang meskipun bukan orang
Mesir, banyak mengadopsi kebudayaan Mesir. Ia juga berpenampilan sama seperti orang
Mesir, hingga bahkan saudara-saudaranya sendiri pun tidak lagi mengenalinya. Meskipun
demikian, Allah tetap mau untuk membantu Yusuf di dalam menafsirkan mimpinya kepada
Firaun. Dari teks ini, dapat dilihat bahwa Yusuf mengkontekstualisasikan dirinya sesuai
dengan kebudayaan Mesir, namun tanpa mengorbankan identitas aslinya.4
3
Bruce J. Nicholls, Contextualization : A Theology of Gospel and Culture, (Vancouver, Regent College
Publishing, 2003), 24-25.
4
Will Brooks, Interpreting Scripture Across Cultures, (Eugene, Wipf & Stock Publishing, 2022), 78.
5
Sigurd Bergmann, God in Context : A Survey of Contextual Theology, (New York: Routledge, 2003), 12.
6
Ch. de Jonge, Gereja Mencari Jawab : Kapita Selekta Sejarah Gereja, (Jakarta, BPK GM, 2003), 107.
7
Angie Pears, Doing Contextual Theology, (New York: Routledge, 2009), 45.
8
Victor I. Ezigbo, The Art of Contextual Theology : Doing Theology in the Era of World Christianity, (Eugene:
Cascade Books, 2021), 30.
3
2.3 Kajian Teologi Praktika
Sebelumnya, telah dijelaskan mengenai prinsip dan teori yang dimiliki oleh teologi
kontekstual, baik dogmatis maupun praktis. Namun perlu juga dijelaskan mengenai
bagaimana teologi kontekstual itu dapat dilaksanakan atau dipraktikkan. Mengenai hal ini
Steve Bevans menuliskan bahwa teologi kontekstual dapat dilakukan dengan cara
memperhatikan pengalaman di masa lampau (sebagaimana yang tertulis di dalam Alkitab dan
tradisi Kristen) dan kemudian memperhadapkannya dengan pengalaman pada masa kini.
Pengalaman masa kini inilah yang disebutkan sebagai “konteks” yang dihadapi oleh orang-
orang Kristen pada masa kini. Teologi kontekstual haruslah dilakukan dengan
memperhatikan kedua hal ini, di dalam suatu kolaborasi. 9 Bevans juga menuliskan bahwa
teologi kontekstual dapat dilakukan dengan menciptakan suatu diskusi antara konteks yang
ada dengan teologi. Di dalam pembahasannya, Bevans menuliskan bahwa teologi selain
diperhadapkan dengan konteks, teologi juga harus hadir dan mendengarkan konteks yang ada
tersebut. Teologi kontekstual ini juga dilakukan dengan menciptakan suatu pemahaman
teologis yang berakar dan berasal dari kebudayaan setempat, sehingga penerimaannya dapat
dijalankan secara universal.10 Teologi dan kontekstualisasinya adalah hal yang senantiasa
berkembang. Sehingga, teologi akan perlu untuk selalu dikontekstualisasikan sesuai dengan
isu yang dihadapi. Pada bagian berikut ini, akan dilihat bagaimana kebudayaan dapat hadir
sebagai konteks yang perlu untuk dijadikan bahan di dalam berteologi, tentunya dengan
berdasarkan teologi kontekstual itu sendiri dan dilandaskan oleh penggunaannya.
4
begitu saja. Sedari awal, teologi seharusnya menjadi perhatian penting bagi para teolog.
Tujuannya adalah supaya iman yang dipahami melalui kebudayaan tersebut dapat saling
tumbuh bersama-sama.12 Mengenai pelaksanaannya, kebudayaan dapat juga dipahami
berdasarkan model-model kontekstualisasi yang berbeda. Salah satu dari model
kontekstualisasi yang ditawarkan oleh Steve B. Bevans ini adalah model translasi. Artinya
adalah, teologi dapat diterjemahkan atau ditranslasikan ke dalam pemahaman budaya yang
sudah mengakar sebelumnya. Bevans menggunakan Kisah Para Rasul 17:16-32 sebagai
contoh hal ini di dalam Kitab Perjanjian Baru. Menurut Bevans, Paulus pada ayat ini
berusaha untuk mengkomunikasikan realita Ibrani dengan bahasa yang dimengerti secara
helenistik atau kebudayaan Yunani. Metode atau model kontekstualisasi ini diketahui banyak
berkembang di awal abad ke-20 khususnya di gereja Protestan, dimana para misionaris
banyak berusaha untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa lokal. Model seperti ini
memiliki kelebihan khusus dimana ia dekat dengan konteks kebudayaan lokal, sehingga
teologi dapat dipahami dengan lebih mudah dan juga lebih cepat diterima dan diserap dengan
melalui kebudayaan tersebut.13
11
Paul F. Knitter, Jesus and Other Names : Christian Mission and Global Responsibility, (New York, Orbis
Books, 1996), 47.
12
Paul D. Matheny, Contextual Theology : The Drama of Our Times, (Cambride, James Clark, 2012), 36.
13
Steve B. Bevans, Models of Contextual Theology, (New York, Orbis Books, 1996), 40-42.
14
Eka Darmaputera, Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1991), 9-10.
15
Y. Tomatala, Teologi Kontekstualisasi : Suatu Pengantar, (Malang, Gandum Mas, 2018), 3.
5
spiritualitas dan iman Kristen tetap dapat dikembangkan. Adams memberikan contoh bahwa
dengan berteologi secara kontekstual di daerah Asia, teologi justru dapat bertumbuh dan juga
berkembang dengan baik.16 Selanjutnya, akan dilihat lebih lanjut bagaimana teologi dapat
didukung oleh kebudayaan, secara khusus kebudayaan lokal.
Di dalam rancang bangun teologi lokal yang dituliskan oleh Robert J. Schreiter,
terdapat pengertian bahwa teologi dapat disusun dengan terlebih dahulu melakukan studi
mengenai budaya. Sederhananya menurut Schreiter, budaya perlu untuk dipelajari terlebih
dahulu sebelum melaksanakan teologi. Proses ini menurutnya perlu dilakukan di dalam
penyusunan teologi lokal, dengan tujuan utama untuk menjadikan teologi berakar di dalam
kebudayaan lokal tersebut. Di dalam pertimbangan teologisnya, Schreiter juga mengusulkan
adanya keterpekaan terhadap situasi atau konteks lokal. Teologi tidak hanya harus dibentuk
dari kebudayaan, ia juga harus mendengarkan kebudayaan tersebut. Teologi juga perlu untuk
menegaskan posisinya yang bukan untuk mendominasi ataupun didominasi oleh kebudayaan,
melainkan untuk membentuk suatu sinergi dengan kebudayaan tersebut. Schreiter juga
menghadirkan kebudayaan dan teologi di suatu tempat yang sama, dimana kedua-duanya
dapat saling memberi dampak positif terhadap satu sama lain. 17 Teologi Kontekstualisasi
pada dasarnya juga melihat kepada dua sisi yang berbeda dalam menghadapi kebudayaan. Di
satu sisi, orang Kristen haruslah tetap beriman di dalam pengalaman kontemporer atau
pengalaman masa kini. Namun di sisi yang lain, ia juga harus tetap mempertahankan Injil dan
tradisi dari kehidupan Kristen yang sudah ia terima. Dengan kata lain, konfesi atau
pengakuan terhadap Kristus di dalam Iman Kristen dapat juga dilakukan sesuai dengan
konteksnya, yang dimana konteks ini adalah konteks kebudayaan.18
16
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), xiii.
17
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2011), 64-65.
18
Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding : An Introduction to Christian Theology, (Michigan,
Eerdmans Publishing, 2004), 199.
6
menawarkan 5 model atau bentuk perjumpaan antara Iman Kristen dengan kebudayaan.
Kelima bentuk itu adalah sebagai berikut :
Melihat kelima bentuk ini, pusat perhatian akan diberikan hanya kepada bentuk keempat,
yaitu Christ and Culture, yaitu perjumpaan antara Iman kepada Kristus dengan kebudayaan
setempat. Dalam tulisannya, Nieburh menggabungkan perspektif Misi dengan teologi
Kontekstual. Nieburh melihat bahwa pada dasarnya, Injil harus dibawakan kepada semua
orang tanpa memandang latar belakangnya. Sehingga, Injil itu haruslah dipahami oleh orang-
orang dengan latar belakang yang berbeda. Salah satu cara yang memungkinkan Injil ini
untuk dapat dipahami dengan lebih baik, tentunya, adalah melalui kebudayaan. Perjumpaan
Iman Kristen dengan kebudayaan menurut Niebuhr adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari
maupun dicegah.20 Selain itu menurut C. H. Kraft, kebudayaan tidak hanya dapat dipandang
sebagai suatu pertemuan saja dengan Iman Kristen. Kraft melihat juga bahwa kebudayaan
dapat juga dipandang secara teologis sebagai suatu ciptaan Allah. Artinya, Allah juga
dipandang sebagai pencipta dari kebudayaan itu, dan Allah juga dianggap berpartisipasi di
dalam kebudayaan manusia. Satu hal yang membedakan Iman Kristen dengan Iman
keyahudian adalah kebudayaan. Kraft menuliskan bahwa orang-orang yang menganut ajaran
Yudaisme menganggap bahwa Allah hanya mendukung budaya, namun hanya satu budaya
tertentu dan tidak ada budaya yang Ia dukung selain itu. Kebudayaan yang dimaksud
tentunya tidak lain adalah kebudayaan Yahudi. Berbeda dengan pemahaman ini, orang
Kristen menganggap bahwa Allah tidak berpihak hanya kepada satu budaya tertentu.
Melainkan, Ia adalah pencipta dari budaya manusia yang sangatlah bervariasi. 21 Kebudayaan
di dalam Iman Kristen pada awalnya dianggap sebagai suatu hambatan bagi mereka yang
19
H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (New York, Harper Torchbook Publishers, 1956), 45-218.
20
Richard Niebuhr, Christ and Culture, 168.
21
Charles H. Kraft, Christianity in Culture : A Study in Biblical Theologizing in Cross-Cultural Perspective,
(New York, Orbis Books Publishers, 2005), 164-165.
7
menganggap bahwa kebudayaan itu berlawanan dengan Iman Kristen. Namun, perjumpaan
antara kebudayaan dan Iman Kristen justru membuktikan hal yang sebaliknya.
Di dalam menjalankan Iman Kristen, identitas budaya yang telah dimiliki tidak perlu
ditinggalkan. Untuk itu, perlu juga melihat bagaimana identitas budaya dapat saling
berkesinambungan dengan identitas yang dimiliki oleh iman Kristen. Mengenai hal ini G. G.
Ward menuliskan bahwa “perhatian terutama di dalam Kekristenan dalam menghadapi
kebudayaan, adalah bagaimana ia dapat menetapkan identitas Kristus yang sepenuhnya di
dalam kebudayaan setempat”. Bagi Ward, identitas kebudayaan dan identitas Kristus
bukanlah suatu hal yang berlawanan. Akan tetapi, tantangannya terletak dari bagaimana
Kristologi itu dapat dipahami berdasarkan konteks kebudayaan yang berbeda-beda.
Singkatnya, identitas kebudayaan tetap harus dijalankan tanpa melupakan identitas Iman
Kristen dan begitu pula sebaliknya.25 Hal yang sama mengenai identitas kebudayaan juga
disampaikan oleh John R. Davis. Akan tetapi, dalam tulisannya Davis lebih banyak
memperingatkan akan bahaya dari sinkretisme di dalam usaha untuk menkontekstualisasikan
Iman Kristen sesuai dengan kebudayaan setempat. Tujuan dari kontekstualisasi adalah baik,
22
Dale T. Irvin & Peter C. Phan, Christian Mission, Contextual Theology, Prophetic Dialogue : Essays in
Honor of Stephen B. Bevans, (New York, Orbis Books Publishers, 2018), 78.
23
Robert J. Schreiter, Theology Between the Global and the Local, (New York, Orbis Books, 1999), 10.
24
David J. Hesselgrave, Communicating Christ Cross-Culturally, (Michigan, Zondervan Publishing, 1991),
25
Graham G. Ward, Christ and Culture : Challenges in Contemporary Theology, (Oxford, Blackwell
Publishing, 2005), 3-4.
8
karena ia berusaha untuk menjadikan teologi sebagai sesuatu yang tidak asing dan
menjadikannya familiar sesuai dengan kebudayaan setempat. Namun, Davis menuliskan
bahwa terdapat bahaya apabila tidak dilakukan secara hati-hati, kebudayaan justru dapat
membawa kepada sinkretisme yang tentunya tidak diinginkan.26
Sebastian C. H. Kim juga menyerukan hal yang serupa. Ia mendukung suatu usaha
kontekstualisasi teologi yang Christ-centered (terpusat kepada Kristus). Artinya, kebudayaan
haruslah dipandang secara positif, namun dia harus tetap diperhadapkan dengan Kristus
sebagai pusat dari segala kebudayaan itu. Kim melihat bahwa Iman Kristen kepada Yesus dan
kebudayaan pada hakikatnya tidak pernah bertentangan. Sehingga, untuk menghindari adanya
sinkretisme yang menjauhkan Iman Kristen kepada Kristus, kebudayaan haruslah dipandang
dengan berpusat kepada-Nya.27 Selain itu, sinkretisme juga harus dicegah di dalam usaha
untuk memperhadapkan kebudayaan dengan iman Kristen. Hal ini karena sinkretisme
memiliki kemungkinan untuk melegitimasi atau membenarkan ibadah-ibadah paganisme
ataupun ibadah yang justru berlawanan dengan iman Kristen itu sendiri. Kebudayaan itu
perlu untuk dikontekstualisasikan. Akan tetapi, ia tidak boleh dijadikan sebagai perhatian
satu-satunya di dalam berteologi. Tindakan yang demikian justru akan membuat sinkretisme
tersebut menjadi tumbuh subur.28 Hal ini tentunya haruslah dihindari.
26
John R. Davis, Contextualizing the Gospel in Asia, (Bangalore, Theological Book Trust, 1998), 10-12.
27
Sebastian C. H. Kim, Christian Theology in Asia, (Cambridge, Cambridge University Press, 2008), 54.
28
J. Paratt, An Introduction to Third World Theologies, (Cambridge, Cambridge University Press, 2004), 21.
9
kebudayaan tersebut asalkan kebudayaan itu tidak berlawanan dengan imannya. 29 Menurut
Bevans, identitas budaya yang dimiliki oleh manusia tidak boleh diabaikan. Justru
sebaliknya, ia perlu untuk dirawat dan dipelihara. Dengan memelihara kebudayaan, teologi
juga dapat memelihara dirinya sendiri.30
29
Identitas kebudayaan dan juga identitas Iman Kristen dipandang sebagai satu kesatuan yang saling
melengkapi. Lih. Sigurd Bergmann & Mika Vahakangas, Contextual Theology : Skills and Practices of
Liberating Faith, (New York, Routledge Publishing, 2021), 11.
30
Dalam tulisannya ini, Bevans menjelaskan bahwa identitas kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan
di dalam diri seseorang. Bisa juga dikatakan bahwa kebudayaan adalah jati diri dari seseorang itu. Sehingga,
menghilangkan kebudayaan dari dalam diri seseorang juga berarti menghapus atau menghilangkan jati dirin
yang dimilikinya. Hal ini tentunya haruslah dihindari apabila seseorang ingin melakukan teologi secara
kontekstua. Lih. Stephen B. Bevans, Constant in Context : A Theology of Mission for Today, (New York, Orbis
Books, 2004), 298.
31
Moreau juga menuliskan bahwa Iman Kristen dapat juga dipelihara di dalam kebudayaan. A. Scott Moreau,
Contextualizing the Faith : A Holistic Approach, (Michigan, Baker Publishing, 2010), 25.
32
Sigurd Bergmann & Mika Vahakangas, Contextual Theology : Skills and Practices of Liberating Faith, 2.
10
unik. Dalam pemahamannya ini, Nicholls juga mendukung bahwa manusia dapat berbudaya
karena manusia juga digerakkan oleh Allah untuk menjalankan budaya itu. Sehingga,
menolak kebudayaan di dalam berteologi menurut Nicholls adalah suatu hal yang keliru
untuk dilakukan.33
James W. Thompson dalam tulisannya juga hadir dan memberikan bukti bahwa melalukan
pendekatan terhadap Iman Kristen melalui budaya adalah suatu hal yang Alkitabiah.
Thompson menuliskan bahwa di dalam Surat Galatia, Paulus sendiri telah banyak melakukan
kontekstualisasi baik di dalam tulisan suratnya maupun di dalam pemahaman teologinya.
Bagi Rasul Paulus, identitas seseorang itu memang ada, namun identitas kebudayaan itu tidak
akan pernah melebihi Iman kepada Kristus (Gal. 3:28). Meskipun Paulus tahu bahwa ia dan
jemaat-jemaat Kristen mula-mula itu sedang berada di bawah pemerintahan Romawi (yang
menganut ajaran Paganisme), Paulus meyakini bahwa identitas manusia yang sesungguhnya
adalah di Surga. Paulus di dalam suratnya sama sekali tidak pernah meminta pembacanya
untuk meninggalkan keseluruhan identitas budaya yang mereka miliki. Bahkan Paulus sendiri
meskipun beriman kepada Kristus, Paulus tidak meninggalkan identitasnya sebagai seorang
Yahudi. Ia bahkan tidak malu atau menutup-nutupi identitas keyahudian yang ia miliki (Kis.
22:3).34 Sehingga, dapat disimpulkan berdasarkan penjelasan ini bahwa identitas kebudayaan
tidak perlu ditinggalkan atau bahkan dihapuskan. Kebudayaan justru tetap harus dipelihara
dengan baik. Sebab, iman Kristen tetap dapat dipelihara bersama dengan kebudayaan yang
dimiliki. Menurut Paul Tillich, kebudayaan akan selalu hadir di tengah-tengah manusia.
Sehingga, untuk meraih Iman Kristen secara kontekstual, kebudayaan perlu digali sebagai
konteks yang penting. Realita ini menurut Tillich dalam pemahaman teologi sistematikanya
adalah suatu hal yang memang sejalan dengan perkembangan teologi dewasa ini. Pada
dasarnya, teologi Kristen masih memandang Kristus sebagai tokoh sentralnya. Untuk
menghadirkan Kristus ini, Tillich melihat bahwa cara untuk melakukannya adalah dengan
meraih kebudayaan manusia itu terlebih dahulu. Hal inilah yang dijelaskan olehnya,
berdasarkan analisis kebudayaan sebagai aspek beragama yang ia lakukan. 35 D. A. Carson
juga menuliskan bahwa Christ and culture pada dasarnya mengacu kepada bagaimana Iman
Kristen dapat berhubungan secara langsung dengan lingkungan kebudayaan yang ada did
sekitarnya. Carson melihat bahwa Iman Kristen akan semakin dekat dan meluas, apabila ia
33
Bruce J. Nicholls, Contextualization : A Theology of Gospel and Culture, (Vancouver, Regent College
Publishing, 2003), 12-14.
34
James W. Thompson, Christ and Culture in the New Testament, (Eugene, Wipf and Stock Publisher, 2023),
102-103.
35
Paul Tillich, Theology of Culture, (Oxford, Oxford University Press, 1964), 40.
11
dikaji bukan sebagai suatu hal yang asing. Melainkan ini terjadi apabila Iman Kristen
diterima secara sukarela melalui kebudayaan yang sudah berakar.36
BAB IV : Kesimpulan
36
D. A. Carson, Christ and Culture Revisited, (Michigan, Eerdmans Publishing, 2008), 91.
12