Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN ANTARA ILMU TEOLOGI DAN ILMU RELIGI

Perbedaan dan hubungan antara ilmu teologi dan ilmu agama yang
melakukan studi agama- agama secara umum.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istilah religi. Maka Religi
dapat didefenisikan sebagai sikap yang serius dan sosial dari individu- individu/
komunitas- komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka anggap
memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasip mereka.

Ilmu Religi mempelajari agama- agama secara umum berarti


memperhatikan banyak aspek sebagai berikut:
a. Aspek ajaran (doktrin): setiap agama mengajarkan kebenaran tertentu.
b. Hikayat yang dasariah(cerita): agama- agama mengenal cerita dengan
makna yang luar biasa.
c. Aspek etika :setiap agama memberiakan petunjuk – petunjuk mengenai
perilaku yang dianggap tepat.
d. Upacara  setiap agama memiliki ritual-ritual yang dilakukan secara
kolektif/pribadi. Contoh: perayaan tertentu
e. Aspek pengalaman agama mengenal pengalaman (supranatural).
Contoh: kontak langsung dengan kekuasaan tertinggi
f. Aspek lembaga agama-agama biasanya mempunyai bentuk organisasi
tertentu

Ilmu religi disebut ilmu deskriptiif karena hanya menjelaskan keberadaan agama-
agama. Sedangkan ilmu yang mempelajari makna agama tertentu secara internal
(ilmu teologi, dll)

VI. Ilmu Teologi dan Spiritualitas

Kata benda bahasa latin spiritus yang berarti “roh”, jiwa, sikap batin. Pengertian
spiritualitas yang dipakai adalah sikap batin/ arah utama hidup dari seseorang/
kelompok. Dalam penghayatan spirit yang sesunggunya stiap orang mencari
keutuhan kepribadiannya. Spirit Kristen mengarahkan pengikut kristus untuk hidup
lahir batin dalam kehadiran Allah, terarah pada damai sejahtera di tengah
pergumulan Pengaharapan, dan penderitaan dunia ini

Dalam pembentukan spirit Kristen ada 3 unsur pokok Yaitu:

1. Pergaulan yang teratur dengan Alkitab


2. Pergumulan penuh kasih dengan dunia
3. Doa yang jujur kepada Allah
Untuk menghayati ketiga unsur itu

1. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihayati secara pribadi dan dalam


persekutuan
2. Untuk kedua pola pembentukan spiritualitas (pribadi dan persekutuan
keberadaan suatu tempat yang tenang akan sangat menolong
3. a).Terdapat kemajemukan dalam manifestasi spiritualitas Kriste. b). Apa yang
dimaksud dengan teologi implisit dan eksplisit. c). Uraikan apa yang dimaksud
dengan:
SEJARAH GEREJA ASIA

DI SUSUN OLEH
NAMA : SALOMI YEMPORMASSE
NIM : 152801237
KELAS :F
SEMESTER : VII

SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN PROTESTAN NEGERI


STAKPN
AMBON
2011
BERTEOLOGI DI DALAM KONTEKS TEOLOGIA NARASI

Thomy J. Matakupan

Pendahuluan : Keunikan Pendekatan Narasi

Cerita-cerita kerap dianggap sebagai kekayaan budi dan daya manusia untuk merumuskan
pengalaman batin yang amat mendalam. Di sini berarti cerita menjadi semacam refleksi
pengalaman manusia. Cerita juga dilihat sebagai pengantara manusia dan kebenaran, antara
pengalaman dan pemahaman, antara kenyataan dan hidup manusia. Sebuah cerita dapat
menjelajahi bagian wilayah lain dan memberikan wawasan yang berbeda dari yang sebelumnya.

Anthony J. Mello misalnya. Di dalam bukunya, Sejenak Bijak mengatakan bahwa cerita yang
disampaikan dengan baik akan menjadikan seseorang dapat menerima dengan terbuka tanpa harus
merasa harus diajar. Mereka ditantang untuk memahami, membuka cakrawala hati. Perubahan yang
dialami oleh seseorang oleh karena ia terbangun menghadapi sebuah peristiwa yang bukan sekedar
kata-kata. Orang akan ditantang untuk memperkembangkan dirinya sendiri. [1] Dengan kata lain, inti
cerita harus dikenakan pada diri sendiri. Setiap tokoh yang ada di dalam sebuah cerita tertentu
pada akhirnya akan terlibat secara nyata di dalam diri setiap pembaca. Di sinilah seseorang mulai
masuk ke dalam proses berteologi. Arti berteologi di sini adalah proses mengembangkan seni
menuturkan yang Ilahi dan mendengarkan firman dan kehendakNya.

Lebih lanjut Mello menyatakan bahwa yang perlu diperhatikan di sini adalah cara bagaimana
membaca cerita itu. Pembacaan cerita harus dilakukan paling tidak dua kali untuk mendapatkan
pengertian yang utuh dari inti cerita. Setelah itu melakukan refleksi dengan tujuan menerapkan inti
tersebut ke dalam kehidupan pembaca.[2] Proses berteologi itu sendiri muncul pada penerapan
model pembacaan seperti ini. Di dalam keheningan yang ada, biarkan cerita itu menyampaikan
makna dan artinya.

Jikalau dengan model pendekatan semacam ini, kemudian perhatian dialihkan kepada Alkitab,
maka akan dijumpai di satu sisi bahwa Alkitab memang sarat dengan berbagai cerita di dalamnya
dan disajikan di dalam berbagai bentuk sastra. Setiap cerita yang ada itu merupakan catatan
pengalaman bangsa Israel dengan Allah. Para penulis Alkitab mencatat setiap pengalaman bangsa
ini dengan berbagai macam model gaya penulisan mereka. Cerita-cerita itu dipakai untuk
menantang orang membuat sebuah keputusan tertentu yang bersifat pribadi. Pengalaman ini
disebut juga sebagai cetusan iman pribadi, sebuah pengalaman rohani yang bersifat eksistensial
yang amat mendalam, bukan saja antara manusia dengan manusia, melainkan juga antara manusia
dengan Penciptanya.
Dalam sebuah cerita, Alkitab hendak membangun pemahaman dan keakraban terhadap pengalaman
hidup beriman yang sudah direnungkan dalam sejarah kehidupan bangsa. Pemahaman dan
keakraban ini kerap kali diulang-ulang bahkan sulit sekali diubah, seperti anak kecil kerap kali
menuntut cerita seperti kemarin dan mati-matian menuntut pengulangan karena di dalamnya
pengalaman dan pesan yang mengesan dan menyapa pemahaman itu.[3]

Pengalaman bangsa Israel pada waktu itu menjadi dasar yang membangun hubungan, pertemuan,
pengembangan dan komunikasi yang dinamis dengan pengalaman orang percaya pada masa kini.

Berteologi atas Dasar Cerita

Pertanyaan yang kemudian diajukan di sini adalah, jika metode menganalisa sebuah cerita dipakai
untuk mengerti relasi antara orang percaya dengan Tuhan secara pribadi, bagaimana sebenarnya
seseorang mempelajari Alkitab? Pendekatan narasi memang memberikan sebuah proposal bahwa
pemahaman teologi dapat dibangun berdasarkan pemahaman dan penghayatan sebuah cerita di
dalam sebuah konteks budaya tertentu. Jika seseorang membaca sebuah cerita, maka ada
kemungkinan inti berita yang ada di dalamnya tidak dipahami, namun cerita tersebut tetap akan
memberikan pengalaman khusus yang tidak sama dengan orang lain ketika membaca cerita yang
sama. Kondisi semacam ini sebenarnya sangat berharga baginya karena makna cerita itu
mengakibatkan perubahan hidup dan membawanya kepada cakrawala hidup yang lebih terbuka.
Dengan kata lain, cerita dapat digunakan sebagai sarana penyampaian iman.

George Lindbeck mengatakan bahwa pengaruh metode narasi semacam ini terhadap pemahaman
teologi akan lebih membumi oleh karena semua pembaca di bawa masuk ke dalam dunia cerita
[4]
(baca: “scriptural world”); bahwa tidak ada dunia yang lebih nyata daripada ini.

For those who are stepped in them [i.e. in religious texts], no world is more real that ones
they create. A Scriptural world is thus able to absorb the universe. It supplies the interpretive
framework within which the believers seek to live their lives and understand reality. [5]

Metode yang dikenal sebagai Metode Analisa Struktur ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa
metode pendahulunya.[6] Di dalam perkembangannya kemudian, metode ini lebih condong
mengikuti perkembangan dalam ilmu sastra. Anggapan dasar yang menjadi titik tolaknya adalah
bagaimanapun sejarah kejadian sebuah teks bukanlah merupakan suatu masalah karena yang
penting adalah bagaimana melihat dan memahami hasil akhir dari teks tersebut. Sebuah teks harus
didekati dan dipahami sebagai sebuah kesatuan dan bukan sebagai suatu kumpulan tradisi. Petunjuk
atau kata-kata kunci menafsirkan teks sebenarnya sudah di “sembunyikan” oleh penulis di dalam
tulisannya. Itulah sebabnya tidak perlu menggunakan sarana pembantu dari luar untuk
menafsirkannya, melainkan kembali ke dalam teks dan menemukannya di sana. Yang perlu
dilakukan di sini adalah mencari dan menemukan relasi internalnya.

Dengan memperhatikan peran dari bahasa, pembaca akan dapat melihat realita dan pengalaman
hidup iman dengan lebih tajam. Sehingga banyak hal di dalam Alkitab akan terpahami secara lebih
nyata dibandingkan dengan sekumpulan dogma yang sulit dipahami dan sulit teraplikasi sebagai
produk metode berteologia sebelumnya.

Struktur literatur teks dapat diuraikan dengan cara mengajukan berbagai macam pertanyaan
pembantu, misalnya apakah jenis teks ini? Siapakah yang menjadi tokoh utama dan berperan?
Adakah perubahan tokoh, tempat dan waktu? Adakah pertentangan yang timbul? Adakah kata kunci
yang berulang kali dipakai? Adakah peralihan yang logis atau perpecahan? Adakah hubungan internal
di dalam teks? Adakah petunjuk khusus dari penulis sendiri? Dsb.[7]

Metode Narasi: Penyeimbang Konsep Berteologi

Problema bagaimana menghadirkan Firman Allah di dalam konteks kehidupan di dalam masa dan
kondisi yang berbeda dapat dikatakan menjadi inti pergumulan berteologia. Secara sederhana
istilah “teologia” berarti studi tentang Allah. Cakupan yang ada di dalamnya melihat Allah sebagai
Pribadi yang aktif di dalam pekerjaan dan relasiNya dengan manusia. Dengan cara yang lain, di
dalam teologi memikirkan segala sesuatu yang dapat manusia pahami tentang Allah, tentang dirinya
sendiri, lalu bagaimana memahami relasi keduanya. Bahwa Allah memang adalah Allah yang ada di
seberang sana, yang terpisah dan tidak akan terkait sama sekali dengan dunia yang diciptakannya
(transendensi). Namun pada saat yang sama, Allah adalah juga Allah yang turut serta berada di
dalam dunia ciptaan, bahkan tinggal di sana (imanensi). Pergumulan memahami realita ini di dalam
prakteknya tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Tidak mengherankan jika usaha ini kemudian
lebih menitik-beratkan pada salah satu aspek tertentu dan ini akan menimbulkan problema serius di
dalam hal bagaimana seseorang berteologi.

Jika aspek transendental Allah mendapatkan penekanan lebih akan menjadikan teologi yang
dihasilkannya kurang (bahkan tidak) relevan dengan konteks budaya dan konteks kehidupan.
Sementara jika penekanan diberikan kepada aspek imanensi Allah, maka teologi yang muncul akan
lebih bersifat spesifik terhadap konteks budaya dan kehidupan tertentu saja.

Teologia Narasi yang muncul pada dekade 70-an ini memang berusaha mencari jalan keluar
mengatasi problema teologi masa-masa sebelumnya yang dirasakan terlalu memberikan tempat
yang lebih terhadap aspek transendensi Allah. Grenz mengatakan bahwa pendekatan berteologi
mulai pada masa ini berusaha menemukan keunikan dan kepentingan dari sebuah cerita bagi
kekayaan pemahaman manusia akan keberadaan dirinya di hadapan Allah [8] ; Bahwa Allah turut
serta di dalam realitas hidup yang dinamis. Ia berada bersama umatNya di dalam setiap pergumulan
kehidupan mereka yang nyata.

Kehadiran Allah tidak dilihat terpisah, “ada di atas” atau “ada di depan”, namun hadir secara nyata
dan pribadi sama seperti kehadiranNya di dalam setiap cerita yang dikisahkan di dalam Alkitab.
Cerita ini pada akhirnya menolong setiap orang percaya membangun ceritanya masing-masing.
(baca: “berteologi”).

Narrative thinkers agree … that God is a dynamic reality who participates with us on the
journey of life. But the focus of the divine participation is story, they argue. God calls us to
join our story -- our history – with the broader story of the divine activity in history.[9]

Perhatian terhadap relasi antara narasi dan penyataan Diri Allah di dalam imanensiNya dilihat cara
baru menetapkan bangunan teologi Kristen, dalam arti merefleksikan kepentingan narasi di dalam
ekspresi pengalaman manusia secara umum dan iman Kristen secara khusus.

Pemikiran Ulang :

Cara ini kemudian menghasilkan kontroversi sendiri di kalangan para pemikir teologia narasi. Tidak
semua teolog Kristen setuju bahwa cara ini dapat dilakukan dan menjadi cara baru memahami
realita iman Kristen.[10] Mereka lebih cenderung memberikan “tanda awas” karena lebih melihatnya
sebagai sebuah proses dekonstruksi di dalam berteologia.[11] Beberapa hal yang nampaknya perlu
mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :

Teks, Cerita & Konsep Pewahyuan

Hans Frei, seperti yang dikutip oleh Clark mengatakan bahwa setiap narasi di dalam Alkitab dilihat
sebagai yang dapat berbicara kepada kita secara langsung dan membawa kehidupan kita di tempat
seharusnya berada serta sekaligus memberikan arti pada kehidupan itu sendiri. [12] Bacalah setiap
kisah sebagai kisah dan setiap arti dari kisah itu dapat ditemukan di dalam kisah itu sendiri. Dunia
Alkitab dapat memberikan penuntun bagaimana seorang percaya melihat dan memahami realita
kehidupannya tanpa harus direpotkan dengan usaha menterjemahkannya ke dalam konteks dan
situasi tertentu. Yang perlu dilakukan adalah memberikan perhatian, bukan kepada cerita itu
sendiri, tetapi kepada sesuatu yang ingin disampaikan oleh teks.

Bagi Frei, arti dari Alkitab bagi kehidupan Kristen terletak pada cerita yang disampaikannya dan
bukan pada sesuatu yang ada di luar seperti catatan sejarah, pengalaman pribadi setiap orang yang
ada di dalam cerita itu. Teks tidaklah menjadi pelayan kepada semua yang berada di luar teks. Arti
penting terletak pada cerita.[13] Jadi, yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah masuk ke dalam
“dunia cerita” tersebut dan mendapatkan semua pengertian itu di dalamnya. Dengan demikian
pemahaman teologi yang dibangun atas dasar prinsip ini menemukan isinya di dalam setiap teks
Alkitab.
Model semacam ini jelas telah mengabaikan prinsip pewahyuan oleh karena teks di sini dilihat
sebagai yang bersifat otonom pada dirinya sendiri atau menjadi sistim tertutup. Hal-hal yang
berkaitan dengan historisitas, referensi, ontologi dianggap tidak sesuai dengan sifat narasi dan tidak
mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual.[14]

Ronald Thiemann di dalam kritiknya mengatakan bahwa metode narasi telah memberikan perhatian
secara berlebihan terhadap teks dan sangat kurang berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan
hampir tidak berbicara tentang Allah. Dengan kata lain, berusaha memberikan penekanan kepada
aspek imanensi Allah, pengalaman yang nyata bersama Dia, namun demikian fokus kehadiran
bersama Allah ini terletak pada cerita.[15] Pembicaraan tentang teks mendapatkan perhatian lebih
dan menggantikan wacana tentang Allah. Teks telah mengambil tempat Allah.[16]

Kebenaran dan makna teks terletak pada komunitas tertentu dan tidak pada penerimaan bahwa
teks itu adalah wahyu Ilahi. Kategori wahyu yang bersifat ontologis-teologis telah diubah menjadi
teks yang bersifat otonom pada diri sendiri. Pemahaman dan pengalaman iman di dalam
kekristenan memang melihat dan menerima Alkitab sebagai teks kanonikal yang diwahyukan Allah
namun – seharusnya – sekaligus memandang melalui teks tersebut kepada objek referensinya dan
menemukan Allah yang telah memberikan wahyuNya tersebut.

Pergeseran Fokus Pencarian Kebenaran

Di dalam bukunya, The Art of Biblical Narrative, Robert Alter memang berhasil membawa hasil
studi kritik sastra terhadap Alkitab dengan menarik dan meyakinkan. Itulah sebabnya amatlah perlu
seorang pembaca Alkitab memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa dan sastra
yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan ceritaNya. Keperluan itupun dapat mendorong kita
sekarang ini mempelajari unsur-unsur baru yang datang melalui studi kritik literer modern.

Memang bukanlah merupakan sebuah kesalahan – dan bahkan seharusnya demikian – seorang teolog
memahami dan menguasai semua bentuk sastra yang menjadi bagian pembentukkan cerita di dalam
Alkitab. Pekerjaan hermeneutika di sini akan menjadi lebih bertanggung jawab. Namun pola
hermeneutika yang dikembangkan oleh metode narasi semacam ini secara perlahan menggeser
fokus teologis kepada hermeneutika formalistik oleh karena banyak unsur di dalam disiplin
hermeneutika yang seharusnya mendapatkan perhatian terabaikan. Akibatnya, apabila diterapkan
pada suatu keinginan untuk dapat mengerti kebenaran dan hidup, maka akan dijumpai pula
pergeseran yang sangat hakiki, kehidupan (Kristen) akan cenderung berpola pragmatis.

Selanjutnya jika diamati, pembacaan Alkitab yang menekankan teks sebagai pusat perhatian
rupanya juga tidak serta-merta menjadikan teks sebagai sebuah entitas objektif, melainkan teks itu
sendiri direlatifkan oleh komunitas pembaca. Kebenaran lokal dan otoritas pembaca ternyata
memiliki peran yang sangat dominan sekali di dalam penentuan makna. Tidak mengherankan jika
definisi kebenaran dapat dilihat sebagai kebenaran relatif oleh karena ketergantungan ini.
Kebenaran tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bersifat substantif dan ontologis, tetapi lebih
kepada pengertian pragmatis dan kategorial.

Perangkap Pengalaman Rohani

Demi mendapatkan pengalaman rohani yang sesuai dengan Alkitab, suatu kehidupan yang lebih
konkrit di dalam pengalaman iman seperti yang menjadi promosi di balik penerapan pola
hermeneutik narasi, nampaknya terkesan menghalalkan segala cara oleh karena titik perhatian
akhir hanya kepada teks dan semua bentuk sastra yang dipakainya. Cara ini berusaha membebaskan
diri dari kutub yang satu yang diwarnai dengan kekurang pedulian akan makna aplikatif pembacaan
Alkitab dan terjebak pada kutub yang lain, yang sangat menekankan point aplikatif dan kurang –
atau bahkan – tidak terlalu peduli untuk memahami Alkitab dalam konteks budaya dan sejarahnya.
Dengan kata lain, cara ini berusaha menjembatani kesenjangan yang terjadi antara setiap teks
Alkitab dengan aplikasi kehidupan kekristenan di sepanjang abad dan tempat.

Usaha mencari pengalaman rohani ini nampaknya memiliki kemiripan isi meski lain bentuk dengan
teologia Neo-Orthodoks. Memang tetap ada perbedaan yang hakiki pula di antara keduanya. [17]
Menurut Karl Barth, Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah berbicara melaluinya. Alkitab dengan
demikian menjadi Firman Allah di dalam peristiwa ini. Sebelum Alkitab berbicara secara pribadi,
sebelum nyata dan terpancar di dalam kehidupan, maka Alkitab bukanlah firman Allah, melainkan
sebuah catatan penyataan Allah pada masa lalu sekaligus menjadi janji untuk penyataan masa
mendatang. Semua ini akan terjadi jika seseorang (jemaat) membebaskan diri dari text dan
mencari meaning melalui pengalaman encountering dengan Roh Allah.[18]

Harvie Conn mengatakan bahwa pemikiran Barth ini akan membawa manusia kepada pengalaman
subjektif sebagai kriteria kebenaran. Penyataan Allah dikatakan sebagai perjumpaan, konfrontasi,
dialog. Alkitab bukanlah penyataan sampai Alkitab menjadi penyataan kepada kita. Definisi ini
menghancurkan konsep penyataan itu sendiri.[19]

Penekankan metode narasi terhadap aspek subjektif di dalam pengalaman iman telah membawanya
masuk ke dalam pengalaman mencari arti ke dalam teks dan bersiap menerima “kebenaran baru”
yang mungkin sekali tidak pernah ada di dalam pengakuan iman gereja selama ini.

Narasi Alkitab & Aplikasi Kebenaran Kristen


Kepedulian yang ada di belakang metode narasi dapat dikatakan tidak salah, hanya metode yang
dipakainya perlu dikaji ulang. Metode ini dan cara pendekatan yang digunakan berusaha membawa
pembaca menyesuaikan diri dengan dunia simbolik di dalam cerita. Pembaca di dalam hal ini
dibawa masuk ke dalam “dunia cerita” untuk dapat memperoleh pengalaman penghayatan yang
lebih dari sekedar sebuah pengertian akali saja. Suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang
diciptakan narasi-narasi Alkitab itu yang pada gilirannya menjadi semacam kerangka interpretif
untuk melihat dunia inderawi. Narasi Alkitab dipandang sebagai yang mampu menyusun ulang
kehidupan di dalam dunia Kristen.

Langkah ini harus diambil oleh karena pola hermeneutika selama ini dipakai menganggap dunia
sekarang adalah realitas utama dan dunia Alkitab harus menyesuaikan diri kepadanya, sementara
dunia sekarang pasti mempunyai kisah dan sejarahnya tersendiri.

Dasar asumsi ini justru menimbulkan penghargaan terhadap esensi keberadaan Alkitab menjadi
kurang oleh karena Alkitab hanya akan dipandang dan diterima sebagai sumber yang membawa
konsep idealistik di dalam wilayah moral dan berbagai lambang pengalaman rohani saja.[20] Narasi
yang bersifat sejarah perlu dipertanyakan apakah layak masuk ke dalam pertimbangan oleh karena
hal semacam ini bukanlah sesuatu yang harus menempati tempat utama di dalam proses
pemahaman dan aplikasi kebenaran Kristiani.

Kesimpulan

Berteologia di dalam konteks teologia narasi memiliki keunikan tersendiri. Dengan berbagai
pendekatan yang dibuat telah menyajikan dan menjanjikan suatu pengalaman hidup kekristenan
yang lebih riil, sebuah pengalaman hidup iman yang konkrit. Usaha ini memang patut mendapatkan
penghargaan.

Meski demikian pendekatan yang dikembangkannya ini perlu dipertanyakan ulang oleh karena di
dalam banyak aspek justru mengorbankan disiplin ilmu hermeneutika yang selama ini dipakai.
Problem yang terjadi terjadi pada dasar anggapan yang ada di belakangnya, bahwa cara mendekati
Alkitab selama ini yang dipakai (oleh gereja Tuhan) ternyata hanya menghasilkan gap antara
kehidupan Kristen itu sendiri dengan kehidupan orang percaya yang ada di dalam cerita Alkitab.
Setiap khotbah yang dikonsumsi jemaat tidak ditemukan area aplikasinya. Bahwa kehidupan setiap
tokoh di dalam cerita Alkitab adalah kehidupan yang memiliki rohani “sempurna” dan hal itu tidak
mungkin dialami oleh kehidupan masa kini. Kalaupun dialami berada di level bawah.

Pendekatan narasi membuka pintu terlalu lebar akan kemungkinan penetapan kebenaran Alkitab
secara relatif dan subjektif. Kebenaran pada teks akan sangat ditentukan pada peran komunitas
pemberi makna. Kebenaran mendapatkan kekuatannya dari pengalaman realitas si penerima.
Bangunan teologi iman Kristen justru sangat percaya sifat objektivitas dari Alkitab yang menyatakan
kebenaran Allah tanpa harus ditentukan kebenarannya dari pihak luar. Untuk mendapatkan semua
ini tentunya menggunakan jalur bagaimana sikap dan cara mendekati, mempelajari dan menarik
kebenaran Alkitab itu keluar (hermeneutika). Prinsip, metode dan cara yang salah pasti akan
menghasilkan kesimpulan prinsip, metode dan cara aplikasi di dalam kehidupan yang salah pula.

Kepustakaan

Barth, Karl. (Trans) G.T. Thomson. Church Dogmatics. Edinburgh: T & T Clark, 1977
Boadt, Lawrence. Reading the Old Testament, An Introduction. New York: Paulist Press, 1984.
Theo Witkamp. “Tentang Metode-metode Penelitian Teologi (terutama dalam Ilmu Alkitab)”, Gema
Duta Wacana. No.42/1992.
Clark, David K. “Narrative Theology and Apologetics.” JETS 36/4 December 1993.
Conn, Harvie M. Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1988.
Darmawijaya, ST. Membangun Jembatan antara Teologia Cerita Rakyat dengan Teologia Cerita
Alkitab. Gema Duta Wacana. No. 41/1991.
Frei, Hans. “Response to Narrative Theology: An Evangelical Appraisal,” Trinity Journal 8:1
September 1987
_________. The Eclipse of Biblical Narrative: A Study in Eighteenth and Nineteenth Century
Hermeneutics. New Haven: Yale University, 1974.
Goldberg, Michael. Theology and Narrative. Nashville: Abingdon, 1982.
Grenz, Stanley. “Twentieth-Century Theology, The Quest for Balance in Transitional Age.”
Perspectives June 93.
Grenz, Stanley Roger E. Olson. 20th Century Theology, God & the World in a Transitional Age.
Downers Grove: InterVarsity Press, Illinois, 1992.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1979.
_________. Peristiwa Yesus. Ende: Nusa Indah/Kanisius, 1979.
Hadiwijono, Harun. Theologia Reformatoris Abad 20. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985.
Andreas Himawan, “Tekstualitas dan Intratekstualitas,” Veritas 1/2 (Oktober 2000).
Lindbeck, George. The Nature of Doctrine: Religion and Theology in Postliberal Age. Philadelphia:
Westminster, 1984.
Mello, Anthony J. Sejenak Bijak. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
_____________ . Burung-burung Berkicau Edisi 2. Cipta Loka Caraka, 1985.
Stroup, George W. The Promise of Narrative Theology. Atlanta: John Knox, 1981.
Thiemann, Ronald. “Response to George Lindbeck,” Theology Today 48:3, October 1986.

[1]
Anthony J. Mello, Sejenak Bijak, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal.7. top
[2]
Ada tiga usulan cara pembacaan yang diusulkannya, yaitu (1). Membaca cerita sebagai sebuah
hiburan. Di sini, cerita hanya dibaca satu kali saja. (2). Membaca sebuah cerita dua kali dan
melakukan refleksi. Inti cerita itu diterapkan di dalam kehidupan pembaca. (3). Cerita yang
sama dibaca tiga kali lalu ciptakan sebuah keheningan di dalam hati setelah melakukan refleksi.
Anthony J. Mello, Burung-burung Berkicau Edisi 2, (Cipta Loka Caraka, 1985) hal. 11. top
[3]
ST. Darmawijaya, “Membangun Jembatan antara Teologia Cerita Rakyat dengan Teologia
Cerita Alkitab, Gema Duta Wacana, 41/91 hal. 54. Lihat juga: C. Groenen, Pengantar ke dalam
Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1979), C. Groenen, Peristiwa Yesus (Ende: Nusa
Indah/Kanisius, 1979). Lawrence Boadt, Reading the Old Testament, An Introduction (New York:
Paulist Press, 1984), hal 69-88. top
[4]
Pendekatan Teologia Narasi ini telah masuk dan mempengaruhi berbagai aspek di dalam disiplin
ilmu teologia seperti Sistimatika, Hermeneutika, Etika, Homiletika, Pelayanan Pastoral, dsb.
Beberapa tokoh yang disebut sebagai “pure narrativists” seperti Hans Frei (Hermeneutika),
George Lindbeck (Theology) dan Stanley Hauerwas (Etika). Mereka pada prinsipnya menyatakan
bahwa Narasi memiliki keunikan status sebagai sebuah genre yang secara khusus cocok untuk
menyatakan iman Kristen. Lihat: David K. Clark, “Narrative Theology and Apologetics,” JETS
36/4 (December 1993), hal. 4990-500. top
[5]
George Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religion and Theology in Postliberal Age
(Philadelphia: Westminster, 1984), hal. 117. top
[6]
Metode Historis Kritis, Metode Kritik Teks, Kritik Literatur, Penelitian Sejarah Agama, Metode
Kritik Bentuk, Kritik Redaksi. Paper ini tidak akan membahas sejarah perkembangan dan ciri
khas masing-masing metode berteologi ini, namun akan lebih mengkhususkan diri kepada
Metode Analisa Struktur. top
[7]
Sebetulnya ada aliran yang bermacam-macam di antara para penganut analisis struktur. Ada
yang berpendapat bahwa hubungan antara teks dan dunia yang berada di luar teks itu,
umpamanya sejarah abad pertama tidak relevan. Mereka ingin bekerja secara imanen, dalam
arti hanya memfokuskan diri hanya kepada teks saja. Sementara yang lain berpendapat bahwa
tindakan semacam itu tidak dapat diterima dan hampir tidak dapat selalu dipegang. Di dalam
teks Alkitab termuat begitu banyak referensi kepada dunia dan peristiwa di luar teks sendiri,
misalnya penyebutan nama Kaisar Agustus (Luk 2:1), atau penyaliban Tuhan Yesus. Oleh karena
itu banyak penyelidik Alkitab menggunakan metode analisis struktur tidak sebagai satu-satunya
metode, tetapi sebagai peralatan ekstra bagi seluruh peralatannya. Selain itu dapat
ditambahkan bahwa perkembangan dalam ilmu sastra sendiri juga telah banyak mengalami
kemajuan sehingga metode analisis sebuah karya sastra dipandang sebagai metode yang penting
tetapi dapat juga sebagai fase tertentu saja dalam proses analisis. Lihat : Theo Witkamp,
“Tentang Metode-metode Penelitian Teologi (terutama dalam Ilmu Alkitab),” Gema Duta
Wacana No.42/1992, hal. 55-56. top
[8]
Stanley Grenz, Roger E. Olson, 20th Century Theology, God & the World in a Transitional Age
(Downers Grove: InterVarsity Press, Illinois, 1992), hal. 271. top
[9]
Stanley Grenz, “Twentieth-Century Theology, The Quest for Balance in Transitional Age,” hal.
11. top
[10]
George W. Stroup, The Promise of Narrative Theology (Atlanta: John Knox, 1981), hal. 84 top
[11]
Michael Goldberg misalnya. Ia mengajukan beberapa keberatan dengan cara mempertanyakan
relasi antara cerita dan pengalaman – tentang kebenaran, problema hermeneutika untuk
memahami cerita dengan tepat – tentang arti dan problema relativisme moral – pertanyaan
tentang rasionalisasi. Michael Goldberg, Theology and Narrative (Nashville: Abingdon, 1982),
hal. 192. top
[12]
David K. Clark, “Narrative Theology and Apologetics” JETS 36/4 (December 1993), hal. 500.
top
[13]
Hans Frei, The Eclipse of Biblical Narrative: A Study in Eighteenth and Nineteenth Century
Hermeneutics (New Haven: Yale University, 1974) top
[14]
Andreas Himawan, “Tekstualitas dan Intratekstualitas,” Veritas 1 / 2 (Oktober 2000), hal. 153.
top
[15]
Stanley Grenz, “Twentieth-Century Theology, The Quest for Balance in Transitional Age,”
Perspectives June 93, hal. 11 top
[16]
Ronald Thiemann, “Response to George Lindbeck,” Theology Today 48:3 (October 1986), hal
378. top
[17]
Perbedaan mendasar terletak pada usaha kembali kepada teks dan membebaskan diri dari teks.
Hal yang pertama merupakan semangat yang diserukan metode narasi. Bahasa yang di pakai
adalah “masuk ke dalam dunia cerita) sementara Barth justru menganjurkan jemaat
membebaskan diri dari teks untuk mendapatkan pengalaman rohani bersama Allah sama seperti
yang dialami para penerima pertama cerita itu. top
[18]
Karl Barth, (Trans). G.T. Thomson, Church Dogmatics (Edinburgh: T & T Clark, 1977), I,1, hal.
123 dst. top
[19]
Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer (Malang: SAAT, 1988), hal 36. top
[20]
Frei di dalam masalah ini menegaskan apapun idealismenya, apakah mencari kebenaran historis
atau kebenaran moralistik, dengan mengabaikan karakter naratif Alkitab, hermeneutika modern
telah melakukan pekerjaan reinterpretasi maupun revisi yang jsutru merusak makna Alkitab.
Lihat: Hans Frei, “Response to Narrative Theology: An Evangelical Appraisal,” hal. 21. top

Anda mungkin juga menyukai