Anda di halaman 1dari 7

Nama : Floren D Sihombing

NIM : 16.3116
M.Kuliah : Agama dan Masyarakat (IV C)
Dosen : Pdt.Dr. Sanggam M.L Siahaan,MTh

Notulensi Seminar Terbuka Dalam Rangka Dies Natalis STT HKBP Pematangsiantar
ke-40 (Pematangsiantar, 11 April 2018)
Pluralitas Kepentingan dan Negosiasi Makna
Sebuah Contoh dari Kidung Agung dalam Beberapa Diskusi Kontemporer
Narasumber : Anwar Tjen
“The days of the hegemony of one school – German historical criticism during much of the
nineteenth and early twentieth centuries are gone. They are in danger of being followed by a
period of balkanization of scholarly approaches” (Jan Joosten, editor-in-chief, Vetus
Testamentum)

Kidung Agung adalah nats yang jarang dipakai. Apa kepentingan yang menggerakkan
interpretasi suatu teks? Apa tujuan para penafsir dibalik upaya memahami suatu teks? Dimana
terletak makna suatu teks jika ada jarak antara pembaca dan penulis? Pertanyaan ini
menghadirkan “gerhana rangkap”. Seperti penegasan dari filsuf Paul Ricoeur : “ pembaca tidak
hadir dalam peristiwa penulisan, penulis tidak hadir dalam peristiwa pembacaan”. Kidung Agung
sebuah kompleksitas dibalik diskusi kontemporer. Dalam Kidung Agung ada seorang perempuan
yang mengalami situasi yang memaksa mereka terpisah dari kekasih mereka karena tuntutan
rohani. Mendukung teori “dramatis” yang mendorong pendapat bahwa Kidung Agung ditulis
oleh seorang perempuan. Ada beberapa fakta sekitar sampai pada kesimpulan seperti itu.
Ternyata Kidung Agung cerita yang sudah lama. Kidung Agung dimaksudkan sebagai alegori
mengenai kerinduan umat Israel ataupun jiwa manusia akan Allah. Didalam itu ada ide dan puisi
itu ada seperti di dalam Kidung Agung.Memang kita harus akui bahasanya agak mirip. Kidung
Agung sering menggunakan simbol alam untuk kasmaran. Ia merekonstruksi peristiwa lain
meninggalkan kekasihnya. Kesejajaran seperti itu pada kesimpulan syair-syair Tamil. Ternyata
ini menunjukkan hubungan Tuhan dengan umatNya. Tafsiran kedua melihat asal-usul kitab
Kidung Agung dan hubungannya dengan India. Ternyata cinta dalam Kitab Kidung Agung berisi
tentang raja-raja (ikatan politis). Jadi, kekasih yang saling bersama itu saling terpisah. Satu
merasa dirinya diatas, satu merasa dibawah. Ada hubungan di antara dua kekasih. Jadi, karena ini
di Alkitab banyak tidak yakin ini tenang seks. Ada kegelisahan kalau teks ini berbicara mengenai

1
seks saja. Soal Sorga itu bisa dilihat dalam cinta seksual.Model terakhir dari interpretasi soal
biblika. Satu teks dalam Alkitba dibaca dalam kepelbagaian teks. Perbedaan pendapat itu
eksterem dan perbedaan itu sangat terlihat. Ada samacam kerancuan dari teks. Apakah kita akan
membuat teks simbolis itu menekan teks, atau memilah-milah teks itu menjadi beragam suara. Ia
mempertanyakan tafsiran alegoris, dari Kidung Agung.

Poin penting (Moderator)

Sebenarnya, pendekatan yang paling dekat untuk Kitab Kidung Agung adalah
pendekatan kanonik dari Child sesuai dengan gereja Reform. Pendapat para ahli Recour, dengan
para pembaca. Bagaimana menurut Recour, seolah-olah melihat teks seperti sejarah. Bisa saja
negoisasi makna terjadi dalam diri penafsir. Tanpa melepaskan konteks. Pendekatan kritik
historis oleh psikiater (penafsiran simbolik). Kesimpulan, hipotesa Pusin kitab Kidung Agung
ditulis oleh seorang perempuan. Penulisan Kidung Agung dari puisi Tamil kuno dengan makna
yang baru, melalui kritik sumber dan kritik makna. Masih pendapat Rabin, rekonstruksi dengan
pendekatan alegori atau simbolik. Stadelman dengan pendekatan simbolik atau sastra.
Pendekatan kritik historis dengan kanonik. Mana yang lebih tepat, kita minati untuk sesuai
dengan kehidupan? Tidak bisa ditafsirkan Kidung Agung lepas dari kritik historisnya. Pendapat
Child, memberikan yang terakhir. Apakah ini karena lebih tepat, saya kurang tahu. Mengapa
Kidung Agung tidak pernah disampaikan dalam teks-teks. Gereja Katolik, HKBP, GKPI belum
pernah.

Pertanyaan sesi I :

1. Pdt. Leo Dunan Sibarani, M.Th


STT HKBP sangat kuat Biblikanya terutama historis kritis. Kalau disinggung dengan kritik
historis. Di STT HKBP sudah dikembangkan historis kritis meskipun untuk metode lain tidak
menutup mata. Apakah metode lain ditawarkan setelah metode historis kritis. Tertarik dengan
judul “Pluralitas….” Judul ini terinspirasi melihat STT masa kini. Kalau kita subjek membaca,
subjektivitas tidak dapat dihindarkan. Kidung Agung, kepentingan mahasiswa dengan
“memaknai cinta secara benar”. Apakah itu kepentingan kita, saya tidak tahu. Cinta itu adalah
anugerah. Cinta Kitab Agunng itu sangat relevan di STT.
2. Pdt. Dr. Pahala Simanjuntak
Paling tidak menjawab dua persoalan yang sudah saya amati di dua PT Teologi. Pertama,
pendeta dan perguruan teologi, teologi hanya sebagai referensi kotbah. Belum ada penggunaan
teks pada masa sekarang. Persoalan kedua, sedikitnya minat mahasiswa teologi dibandingkan

2
dengan dosen kita masa dulu, “SM Siahaan, Achenbah dan … Di Sekolah ini, 9 mata kuliah
Biblika. Kita tidak tahu membedakan mata kuliah ini. Ini perlu kita perbaharui. Supaya kita
keluar dari pemahaman lama. Setelah itu, kita akan memahami penelitian Alkitab. Mungkin
bukan hanya di STT namun juga di perguruan lain. Ini juga fondasi, mungkin para ahli biblika
apa yang terjadi kontekstual. Terakhir ini hanya masukan, apa persoalan sehingga teks ini ada?
Ini dalam sudut apa? Sebagai masukan juga? Kedua, pada umumnya, jarang sekali sosialisasi
dalam membaca kitab ini. Sebagai pelayan LAI, hal-hal apa yang bisa kita coba
mensosialisasikan kitab ini di universitas maupun lembaga teologi. Siapa tahu ada romantis dan
bersahabat antara satu sama lain.
3. Benny Sidabutar
Kitab Kidung Agung, saya semakin bingung dalam Alkitab yang begitu kudusnya mengapa ada
sudut pandang porno? Karena Alkitab kita ditulis pada orang tertentu pada sudut pandang
masing-masing. Mengapa kitab kidung ini boleh masuk dalam kitab Perjanjian Lama. Masih ada
pertanyaan besar dalam kitab Kidung Agung ini apakah memang firman Tuhan?
4. Pdt. Saut Sirait, M.Th

Subversif itu, versi bawah dan saya sangat tertarik dengan persoalan itu. Versi bawah. Kalau
dalam tradisi-tradisi pergerakan untuk mengubah tataran sosial memang ada bentuk pelarian
sehingga pemaknaan dari versi bawah terhadap keagungan Tuhannya juga memang hidup dalam
tradisi rakyat. Setiap namanya penafsir tidak henti-hentinya memasuki original konten dan inten.
Original konten ini, memang ada jarak waktu dan juga tentang kanonisasi. Ini ada author dan ada
juga penyusun. Disini tingkat-tingkat kesulitan kita dalam proses interpretasi yang lebih penting
dari situ adalah bagaimana proses-proses biblika untuk mencoba menikmati dengan ungkapan
pluralitas. Semua pasti serba cair dan tidak ada lagi makna tunggal dari pemaknaan itu. Yang
terpenting, saya mau mempelajari ini. Problematik di kampus ini, bukan pembacaan kitab ini
kawan-kawan. Ada suatu proses untuk menikmati Alkitab. Dari judulnya menarik bagaimana
menghargai pluralitas. Catatan kedua, diusulkan Sigmun Feud:Id,ego dan superego. Bagaimana
hal ini berkesinambungan terhadap pluralitas sehingga ini terkait dengan perjumpaan yang
simbolik yang dipakai penulisnya untuk membuat kita semakin mendalami hal ini.

Jawaban : Anwar Tjen

1. Saya memahami teks2 seperti ini sebuah contoh pergulatan, kegelisahan menyangkut
teks yang paling sakral menyangkut firman Tuhan. Saya mulai dari pertanyaan Benni
Sidabutar, tegasnya kebingungannya yang patut dihargai. Sebab kalau kita belajar
sampai bingung berarti kita ingin benar-benar belajar. Apa yang kita kerjakan ini

3
sudah jelas background filosofisnya. Apa sebenarnya teori, alam berpikirnya.
Pandangan deventarilisme. Pandangan seasli mungkin, diteliti dan dikritisi dari
pandangan kajian sosial dari rekonstruksi biblika. Setiap pertanyaan menjadi
pergulatan kita. Yang saya hargai dari semua guru saya, orang hanya tahu sebatas
“know” tapi kita dapat lihat dari akarnya “apa”? Itulah sebuah kritik juga dari banyak
ahli-ahli hermeneutik sekarang. Setiap pemahaman melibatkan diri kita. Setiap
pemahaman berdasarkan ada makna tunggal di dalam teks. Sebab, pencarian kita
adalah pencarian yang semu. Teks adalah entitas yang menyembunyikan sesuatu dan
kita harus mampu menafsirkannya. Dalam bahasa Inggris, kita jadikan teks itu
sebagai pre-teks. Apakah kita gelisah ketika agama lain punya keyakinan yang kokoh
tentang kitab sucinya? Lebih mudah kita melihat Alkitab sebagai firman tetapi lebih
sulit melihat Alkitab dari sisi manusianya. Tidak ada firman Tuhan sekaligus
kesaksian manusia. Cinta manusiawi tempat terhormat didalam Kitab Suci.
Bagaimana cinta manusia itu mendapat tempat istimewa. Tidak ada hal yang paling
suci ketika kidung agung berada di dalam Kitab Suci. Tidak perlu kita pahami dari
setiap agama, sebab setiap agama punya bingkai sendiri dalam Kitab Suci.
2. Melihatnya sebagai anugerah, sebagai bahasa dari hidup persekutuan dalam kampus.
Bermula dari kita sendiri. Ternyata cinta itu juga sebuah bahasa politis dan melandasi
hubungan kita satu sama lain. Bagaimana kita menunjukkan keunggulan yang kita
miliki untuk membesarkan sekolah ini. Saya sangat bersyukur ada Pusat Studi
Biblika. Kampus ini, tidak ada bedanya dengan kampus lain. Di kampus ini ada
bahasa asli yakni Ibrani (4 Semester) dan Yunani (4 Semester). STT Jakarta, 1
semester, sok tahu. Kita ingin berpijak dimana harus kita sadari. Seorang teolog
mencoba sedalam-dalamnya menjadi teolog terus perlu lintas ilmu. (LDS)
3. Saut Sirait: Catatan seperti ini subversifnya: hanya seperti paradigma historis yang
hanya mencari tahu kebelakang. Mencoba mencari realita dibalik jendela. Ternyata,
berbagai teori yang sangat sahih hanya berbentuk konekium dan berbentuk duni.
Sesuatu yang berasal dari satu daerah, direkonstruksi dari daerah lain. Apa yang kita
kerjakan ini tidak hanya membahas makna asali di masa lampau tetapi melihat teks
dari cermin. Saya rasa dari beberapa pembacaan, sebagai SABS (masyarakat Biblika
Asia) kita bisa mulai dari studi klasiknya (eksegese) dari teori klasik, sumber-sumber,
tetapi kita tidak cukup berhenti disitu. Masyarakat studi Asia, bagaimana kita berpijak
pada konteks Asia. Dengan menyadari distans, sehingga dalam bentuknya satu
langkah lebih maju tadi, dia membaca teks Alkitab bersama dengan teks

4
Confucianisme utuk melihat dialog dalam kitab Suci. Ini sudah dieksplorasi dari
orang yang di Amerika Latin, mereka berani mengintegrasikan teks dengan tetap
menghormati suara otoritatif Alkitab.
4. Catatan : Baca Alkitab satu hari (misalnya 5 pasal) dan buat ringkasannya. Tradisi ini
hidupkan kembali.

Pertanyaan sesi II

1. Magelhaens Sianipar
Setelah masuk di STT, saya meragukan kitab Kidung Agung seperti Ester. Tidak ada kata
Allah. Opini bapak, mengapa tidak ada kata Allah disana? PL dekat dengan budaya
Amerika. Disinilah ada pewahyuan Roh Kudus. Saya menilai ada kegagalan teolog yang
menteologisasi kitab ini. Saya merasa keraguan itu baik dan saya menanya opini bapak.
Kitab Kidung Agung dibuat sebagai sebuah perayaan. Ini sebabnya tidak dipakai di
gereja. Pemakaian kata erotis tidak ada dan pemakaian nama Allah juga tidak ada. Revisi
penerjemahan sehingga bisa dipakai di gereja.
2. Albert Sihotang
1. Apakah seluruh isi Alkitab harus dibaca supaya dapat dimengerti?
2. Otoritas Alkitab, bagaimana tentang otoritas apakah dikonteks penulis, pembaca dan
lain sebagainya? Mengapa kitab Clemens tidak masuk dalam kanon? Seperti 2 Tim
3:16? Subjektivitas itu penting yang dapat membuat kita bergerak. Membaca dan
membuat kita memahami. Subjektivitas bukan karena kita membela dogmanya.

Jawaban :

1. Soal keragu-raguan, apakah kitab yang tidak mengandung unsur ilahi sebuah keragu-
raguan? Apakah keragu-raguan itu selalu tentang nama. Bisakah kita hadir bermakna
tanpa selalu bermakna. Bisakah karya sejalan yang menunjukkan adanya pembebasan
dan itu dilihat lepas sebagai kebutuhan bersama. Itu sebagai umat Jahudi kita tahu tentang
kamu. Saya rasa kehadiran seperti ini sangat bisa menginspirasi kita. OKI, saya
mengagungi seorang yang ateis. Tetapi, saya perhatian tentang lingkungan. Dalam diri
ateis, saya sangat menghargai ketidakbernamaan itu. Catatan erotis, Kidung Agung,
dibaca orang Yahudi dan keintiman soal itu. Teks ini amat dekat bagi orang yang
menghayati keintiman dengan Tuhan. Boleh dikatakan tradisi panjang mistisisme dengan
merayakan cinta seintens-intensnya. Disitulah kita melihat ternyata Kidung Agung
sebagai teks yang hidup. Sebenarnya prasangka-prasangka kita sebagai prapaham yang

5
mucul. Kidung Agung menghantam teks dan menyadarkan kita tentang asumsi yang
hampir tidak kita sadari. Merayakan jarak, mendekati sebuah teks sebagai praduga.
Contohnya : di luar Kidung Agung. … Ada teks yang mau dimunculkan “Samudera
Raya” diganti dengan Samudera Semesta. Setidak-tidaknya mengurangi akronimisme.
Ruakh elohim (Kej. 1) sangat mungkin, “tidak ada yang pasti” dalam sejarah. Ruakh itu
angina, elohim bisa Allah atau makna.. sporatif, angina yang dahsyat. Pembacaan historis
seperti ini tidak serta merta dimasukkan dalam teks Alkitab. Edisi 3 tahun lagi ada revisi.
Betul-betul mempertanggungjawabkan hal itu.
2. Subjektivitas, ya gerakan-gerakan pembebasan untuk apa yang disebut observeuseful
untuk kaum yang terpinggirkan. Kalau kita mau membaca kitab Pengkotbah, kita bisa
mencurigai teks ini sebagai suara yang menggeliat dibawah. Kita perlu membaca dalam
konstelasi kitab lain. Bukan hanya kit abaca teks tetapi yang membaca kita dan membuat
kita gelisah. Saya kurang mendukung ayat emas. Ayat emas (berbentuk subjektivisme)
yang mengandung damai sejahtera sampai dengan kekerasan. Bagi saya Alkitab sangat
memikat. Dia sangat berbeda dengan kitab suci yang lain yang berbicara mengenai
kayangan. Sejarah inilah panggung dimana kita berbicara tentang Tuhan. Teks Kidung
Agung sah mendapat tempatnya. Kidung Agung, perjumpaan sacral itu. Itu sebabnya
pertanyaan ini mendasar. Tidak ada pemahaman lain mengenai Alkitab selain dengan
terjemahan. Semuanya adalah hasil tafsir. Mensyukuri teks yang sangat manusiawi ini.

Kesimpulan
1. Pendekatan-pendekatan harus dilakukan pada teks-teks Kidung Agung.
2. Kita tidak perlu alergi terhadap pendekatan-pendekatan itu untuk memahami teks-
teks Kidung Agung terutama historis, gaya bahasa.
3. Pendekatan untuk meletakkan dalam kotbah dari kitab ini berupa pendekatan feminis,
structural, sosiologi criticism, kanonik.
4. Mahasiswa teologi perlu memahami proses kanonisasi. Mari kita memperbanyak
pengetahuan tentang kanonisasi dalam Kitab PL. Mengapa tidak ada lebel nama.
5. Negosiasi makna dan ingat konteks historis teks dan tidak melupakan konteks sejarah
teks.
6. Kalimat sejarah tanpa sebutan Yahwe diterima dalam kanonisasi Alkitab berkaitan
dengan profetisasi.

6
7. Pemaknaan kalimat erotis bisa dimaknai dengan cinta, kekasih, berahiku perlu
dimanfaatkan dengan hermeneutik yang benar. Bacalah teks Kidung Agung dengan
metode yang benar.
8. Dalam beberapa pendekatan teks Kidung Agung dan kita dapat bereksegese bukan
eisegese.
9. Alkitab dihargai karena sangat mengikat hati orang percaya karena sangat serius
tentang sejarah. Karena dalam sejarah terjadi pertemuan dengan Allah. Digambarkan
penuh keromantisan walaupun dengan wujud vulgar.

Anda mungkin juga menyukai