Anda di halaman 1dari 10

Bahan Ajar

HERMENEUTIKA
Vera Theologia est Grammatica
(Theologia Sejati adalah Tata Bahasa)

Program Studi: Pastoral Konseling

Dosen Pengampu

Pdt. Yupiter Mendrofa, M.Th


NIDN: 23198068302

Sekolah Tinggi Teologi


Bina Muda Wirawan Medan
1

BAB I
PENDAHULUAN

Pada Bab I, menjelaskan bahwa Hermeneutik adalah salah satu bagian dari teologi
yang mempelajari teori-teori, prinsip-prinsip dan metode-metode penafsiran Alkitab. Dalam
hal ini melibatkan diri penafsir sepenuhnya, dengan tujuan mencari maksud yang ingin
disampaikan oleh penulis Alkitab. Penulis menyatakan bahwa Hermeneutik bukan hanya
merupakan ilmu, namun juga merupakan suatu seni, di mana seorang penafsir perlu memiliki
rasa seni yang sanggup menyelami perasaan penulis, melihat keindahan bahasa penulis dan
mengubah karya penafsirannya jadi sesuatu yang indah dibaca dan didengar. Pembaca setuju
dengan pernyataan penulis, karena dalam hermeneutik tidak hanya dibutuhkan skill untuk
menafsir saja, namun juga dibutuhkan juga kemampuan seni untuk menghasilkan suatu
penafsiran yang dapat dinikmati oleh orang lain. Penulis juga berusaha menjelaskan
hubungan antara hermeneutik dengan exegesis atau penafsiran (membaca ”keluar” arti dari
suatu dokumen). Jadi mempelajari hermeneutik diperlukan untuk menghindari pemborosan
tenaga, waktu dan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu dalam penafsiran Alkitab.

Pengertian Literal
Hermeneutik secara etimologi dipakai sebagai adjektiva (kata sifat) ketika
mendefinisikan kata benda, yaitu sebagai ucapan yang utuh dan padu yang memaksudkan
(meaning) apa yang diatributkan kepada sesuatu hal yang eksis dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan substansi hal tersebut.  Dari penelusuran ini terlihat jelas
bahwa hermeneutik berarti “yang memaksudkan sesuatu” atau “yang menunjuk sesuatu.”
Dalam pemahaman semantic dengan kata hermeneia memiliki pengertian sebagai
pemindahan atau penerjemahan pikiran ke dalam bahasa; juga berkaitan dengan
kata techne yang berarti kemampuan atau seni tertentu.  Penelusuran ini menghasilkan
pemahaman bahwa hermeneutik muncul juga dalam pengertian sebagai seni divinasi atau
ramalan (mantike).1
Lamb, menerjemahkan hermenutik dengan “interpretasi”, yang dimaksud disini
adalah “interpretasi wangsit.”  Dengan perkataan lain, Lamb lebih melihat
tugas hermeneutik dalam batasan menerjemahkan sabda-sabda dewa.  Artinya ia
melihat hermeneutik sebagai wujud kemampuan meramal (mantike) dari dalam agama
Yunani.2  Hal ini beriringan dengan sikap para pendeta-pendeta Yunani dalam meramalkan
masa depan sambil menjadi abdi bicara sang dewa.  Tentu saja kekhususan ini membawa
dampak pada pembatasan kerja hermeneutik hanya dalam bidang keagamaan,
padahal hermeneutik seharusnya dapat dipakai secara luas sebagai ilmu tafsir terhadap
disiplin ilmu lainnya. Hermeneutik dalam kaitannya dengan fungsi, berguna untuk
mempertunjukan (show), menjelaskan (make clear), dan menerangkan (the meaning of).3
Dengan demikian, tugas dari hermeneutik adalah mempertunjukan, menjelaskan dan
menerangkan makna kata tulis yang tersembunyi dari suatu sumber tulisan guna
menemukan arti sebenarnya yang dimaksud oleh sumber.  Secara
sederhana hermeneutik berarti seni atau ketrampilan menemukan arti kata ucap dibalik makna
kata tulis, baik yang bersumber dari manusia ataupun dewa, dalam konteks masa lalu, kini
maupun ramalan.

1
Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik: Dari Plato sampai Gadamer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2008), 50.
2
Ibid, 51.
3
A.S Hornby, “Interpret” dalam Oxford Advanced Learns Dictionary of Current English (Oxford:
Oxford University Press, 1987), 446
2

Pembaca setuju bahwa dengan hermeneutik akan sangat menolong kita untuk efisiensi
waktu dan tenaga dalam penafsiran. Sementara eksposisi berhubungan dengan penafsiran, di
mana eksposisi lebih memperhatikan aplikasi dan hubungan dari bagian Alkitab tersebut
dengan konteks si penafsir. Pembaca setuju dengan ide penulis karena dalam menafsirkan
Alkitab memang dibutuhkan kemampuan untuk menyelidiki maksud yang dikandung oleh
penulis Alkitab tersebut. Dan dalam menafsirkan tersebut tentu penafsir memiliki pendekatan
tersendiri dalam mencari makna yang terkandung dalam Alkitab. Hal ini sangat penting
karena tanpa memahami arti yang dimaksud oleh penulis, seorang penafsir akan mudah
terjebak dalam penafsiran subyektif tanpa memperhatikan konteks yang ada.
Dalam bab ini juga dijelaskan sejarah singkat berbagai aliran penafsiran. Hal ini
diberikan untuk menyadarkan kita akan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dalam
penafsiran Firman Tuhan, sehingga membantu penafsir modern memilih jalan yang lebih baik
untuk menghindari kesalahan yang sama. Menurut pembaca, kita memang perlu belajar dari
tokoh-tokoh penafsir yang telah ada tentang bagaimana cara-cara penafsiran mereka,
memperhatikan kelebihan dan kekurangan mereka dalam menafsir. Karena masing-masing
tokoh punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tugas kita adalah mencari mana
yang baik dan kelebihan masing-masing serta memadukannya dalam bentuk penafsiran yang
lebih mendekati apa yang dimaksud oleh penulis Alkitab. Dalam cara penafsiran bapa-bapa
Gereja terdapat Augustinus percaya bahwa Alkitab memiliki 4 lapis pengertian, yaitu:
Pengertian harfiah memberitahu apa yang terjadi; pengertian alegoris menyangkut iman
kepercayaan; pengertian moral berhubungan dengan hal tindak-tanduk; pengertian anagogis
menunjuk ke mana kita pergi (sorga, langit).
Pembaca setuju dengan pendapat Augustinus, karena hal ini merupakan sesuatu yang
amat prinsip dalam penafsiran, kita tidak bisa secara sembarang menafsir apa yang tertulis
dalam Alkitab, tetapi perlu persiapan, perlu pimpinan Roh Kudus dan memahami latar
belakang sejarah penulisan kitab yang hendak ditafsirkan. Pada masa Medieval (masa yang
dimulai dari Gregory Agung, Bapa Gereja terakhir dan paus pertama, hingga reformasi)
aliran Skolastisisme membagi arti Alkitab dalam dua bagian besar, yakni arti rohani, arti
yang lebih penting dan arti harfiah. Keadaan pada masa ini cukup memprihatinkan karena apa
yang sudah ditafsir dengan resmi oleh gereja Roma Katolik harus diterima para penafsir;
mereka juga percaya bahwa terdapat wahyu yang tidak tertulis, Alkitab dan wahyu lisan:
tradisi, keduanya saling melengkapi; mereka juga sangat menghormati tulisan Bapa-bapa
gereja, sehingga banyak penafsiran waktu itu bukan menafsir Alkitab, tetapi menafsir tulisan
Bapa-bapa gereja. Menurut pembaca hal ini menunjukkan bahwa otoritas dan kewibawaan
Alkitab sudah bergeser. Mereka umumnya lebih mengutamakan tradisi gereja dan tulisan
Bapa-bapa gereja dan menempatkannya sejajar dengan Alkitab. Pikiran para reformator
ditandai dengan penghormatan yang tinggi terhadap Alkitab (Sola Scriptura). Bagi mereka
Alkitab sendiri adalah penafsir Alkitab dan bahwa segala pengertian dan penjelasan Alkitab
harus dicocokkan dengan analogi iman, yakni pengajaran yang seragam dari Alkitab. Tokoh-
tokoh penafsir zaman ini, antara lain: Martin Luther (1483-1516) yang berpendapat bahwa
untuk penafsiran yang lebih tepat, Alkitab harus dibaca dalam bahasa aslinya; John Calvin
(1509-1564) yang berpendapat bahwa tugas utama seorang penafsir adalah membiarkan
penulis Alkitab berbicara apa yang ingin disampaikan, bukan apa yang kita kira seharusnya
disampaikan.
Masa Setelah Reformasi (Abad ke 17 – 18) ditandai dengan pelbagai perpecahan dan
timbulnya bermacam bidat serta pelbagai usaha untuk mencari manuskrip yang lebih bernilai.
Perhatian terhadap latar belakang sejarah makin bertambah dan analisa sastra Alkitabpun
diperhatikan. Beberapa pendapat penafsiran pada masa itu:
a. Gereja Roma Katolik mencoba menguatkan posisinya dengan mendirikan beberapa ordo,
seperti ”Society of Jesus” (1540) oleh Ignatius Loyola (1491-1556); mengadakan Konsili
3

Trent (1545-1563) yang menetapkan otoritas tradisi sejajar dengan Alkitab, hanya gereja
yang berhak menafsir tradisi ini; mengakui apokrifa PL; meneguhkan wibawa Paus.
b. Golongan Anabaptis yang berpendapat bahwa setiap orang yang percaya berhak menafsir
Alkitab, sehingga tidak mudah membuat kesimpulan tentang  pandangan mereka.
c. Golongan Pietis yang berpendapat bahwa penafsiran Alkitab harus berdasarkan tata
bahasa dan sejarah. Pengetahuan dalam bahasa asli perlu diperhatikan. Kelemahan
golongan ini adalah cara penafsiran mereka kadang-kadang lebih condong ke meditasi
dari pada menafsir Alkitab. Penafsiran mereka kurang dalam penyelidikan doktrin dan
mudah jatuh dalam perangkap alegori.
d. Golongan Rasionalis yang menekankan kesanggupan pemikiran manusia. Bagi mereka,
manusia sanggup menentukan apa yang betul dan salah tanpa wahyu Allah. Alkitab benar
jika sesuai dengan pikiran manusia. Sikap demikian erat hubungannya dengan deisme,
humanisme dan empirisisme.
Beberapa ciri dari penafsiran abad ke-18. Para tokoh rasionalis bersatu dalam penolakan
ilham lisan dan dan sifat ketidaksalahan dari Alkitab.
Penafsiran pada abad ke-19 banyak dipengaruhi oleh aliran rasionalisme, sehingga
Alkitab tidak lagi dipandang sebagai Kitab yang berotoritas. Dengan mengandalkan rasio
manusia, para tokoh rasionalis mencoba mengeritik Alkitab. Tokoh yang menonjol pada
masa ini adalah Von Hofmann yang percaya bahwa Alkitab adalah gabungan antara sejarah
dan wahyu Allah. Pembaca setuju dengan pendapat ini karena isi Alkitab mengandung unsur
sejarah yang dapat dibuktikan pada masa lampau dan juga banyak mengandung wahyu Illahi.
Bagi Hofmann, seorang penafsir yang baik adalah penafsir yang bergerak sensitif dan taat
pada pimpinan Roh Kudus. Dia sangat mementingkan latar belakang Alkitab dan tidak setuju
dengan penafsiran subyektif yang mencocok-cocokkan Alkitab dengan doktrin. Pembaca
setuju dengan pemikiran Hofmann ini bahwa dalam menafsir Alkitab tidak boleh bersifat
subyektif dan menurut keinginan penafsir untuk mendukung pendapatnya, tetapi harus
mencari latar belakang penulisan kitab tersebut dan menyelidiki arti yang dimaksud penulis
dan kemudian disampaikan dalam konteks masa kini supaya dapat diterima oleh para
pendengar/pembaca masa kini.
Cara-cara penafsiran abad ke-20 muncul kesadaran akan pentingnya Firman Allah dan
perlunya menjalankan Firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penafsiran pada
abad ini, antara lain:
1. Neo Ortodoks yang dipelopori oleh Karl Barth (1886-1968). Barth sering membaca
masuk arti dirinya ke dalam Alkitab. Ia mestinya menggali keluar arti yang dimaksud
oleh penulis kitab. Menurut pembaca, gaya penafsiran kelompok ini lebih banyak bersifat
subyektif dan seharusnya mereka belajar menerapkan prinsip-prinsip hermeneutik yang
benar, yaitu mencari arti yang dimaksud oleh penulis dan berusaha diseberangkan dengan
konteks masa kini.
2. Rudolf Bultmann seorang yang sangat menekankan rasio manusia dan telah menjadi
prinsip dasar penafsirannya, sehingga catatan tentang mujizat-mujizat dalam Alkitab tidak
dapat diterima olehnya. Hal ini jelas menurunkan standar kebenaran Alkitab sebagai
Firman Allah karena tidak menerima mujizat-mujizat yang dikerjakan Allah dalam
Firman-Nya. Hal ini juga telah ditanggapi oleh golongan Injili. Bahaya lain dari golongan
ini adalah bahwa mereka mensejajarkan Alkitab dengan bahan-bahan di luar Alkitab yang
kadang-kadang membengkokkan kebenaran Alkitab.
3. Penafsiran Hermeneutik Baru. Pada dasarnya aliran  ini melihat Hermeneutik sebagai
suatu usaha mencari makna dari Alkitab dan bertemu dengannya secara eksistensial.
Mereka masih tetap memakai metode liberalisme yang menolak nubuat dan makna PL
bagi kekristenan. Bahaya dari kelompok ini adalah dari cara penafsiran mereka maka
4

kesatuan Alkitab sebagai Firman Allah mulai diragukan, karena penolakkan mereka
terhadap PL.
Di halaman 103-106 dijelaskan tentang beberapa analisa yang muncul pada abad ke-
20 sebagai penerus abad ke-19, seperti: Analisa teks (textual Criticism) atau juga disebut
analisa rendah (Lower Criticism) yang bertujuan mencari naskah Alkitab yang paling baik
atau pembacaan yang paling tepat/dekat dengan naskah asli; Analisa sumber(Source
Criticism) yang biasanya berusaha menganalisa ciri khas suatu kitab, atau sebagian kitab
untuk mencari data tentang pengarang, tanggal penulisan dan keadaan sejarah sekitar kitab
tersebut; Analisa sastra (Literary Criticism) yang mencoba melihat suatu atau sebagian kitab
sebagai sesuatu yang utuh; Analisa tradisi (Tradition Criticism) yang berusaha menyelidiki
tahap-tahap pertumbuhan tradisi Alkitab hingga jadi bentuk terakhir; Analisa bentuk (Form
Criticism) yang mencoba menentukan ”situasi kehidupan” (Sitz im Leben) yang melahirkan,
membentuk dan mempergunakan unit-unit dalam Alkitab; Analisa redaksi (Redaction
Criticism) yang mencoba untuk memperhatikan motivasi dan tujuan penulis-penulis Alkitab
yang terbaca dari cara mereka mengumpulkan, mengatur dan merubah ”unit tradisi.” Menurut
pembaca, semua bentuk analisa ini sesuai dengan perkembangan pemikiran para teolog yang
ada dan munculnya kerinduan untuk dapat memahami maksud asli dari penulisan Alkitab.
Pembaca setuju bahwa semua bentuk analisa ini bila digunakan dengan benar akan dapat
menemukan arti yang dimaksud. Di akhir bab I ini, penulis membahas mengenai beberapa
kesalahan/kelalaian yang sering ditemukan dalam penafsiran. Hal yang menarik bahwa di
antara sekian banyak kesalahan yang ada adalah melalaikan bahasa asli dan melalaikan
konteks dan latar belakang suatu kitab. Kedua hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya
kemampuan penafsir di dalam menyelidiki bahasa asli dan menyelidiki konteks serta latar
belakang kitab yang sedang dibahas. Itu sebabnya menurut pembaca, setiap penafsir perlu
setidaknya mempelajari bahasa asli dan melakukan penelitian baik terhadap konteks maupun
latar belakang penulisan kitab tersebut. Kesalahan yang lain, adanya penafsir yang memakai
Alkitab untuk mencapai tujuannya karena mereka gunakan prinsip eisegesa, di mana mereka
sudah punya presuposisi sendiri baru cari ayat pendukung untuk mendukung doktrin dan
membuktikan sesuatu yang dianggapnya benar.
5

BAB II
PRINSIP DAN METODE PENAFSIRAN ALKITAB SECARA UMUM

       Dalam bab II ini, menjelaskan beberapa metode dan prinsip yang digunakan dalam
penafsiran secara umum, di antaranya:
A. Analisa Teks
Secara sederhana definisi penelitian teks adalah praktik membandingkan berbagai
salinan dari sebuah karya guna menentukan sedapat mungkin susunan kata yang pasti dari
sebuah teks asli, baik yang tidak ditemukan maupun yang sudah tidak ada lagi. 4 Seorang
penafsir harus terlebih dahulu yakin bahwa teks yang ada padanya adalah yang paling
dekat dengan naskah asli, karena penyalinan naskah-naskah PL dan PB dilakukan dengan
sikap yang sangat teliti. Di bagian ini dijelaskan tentang sejarah singkat pembentukan PL
dan PB sebagai kanon, pembaca juga dibawa untuk mengenal salinan-salinan dan
terjemahan-terjemahan kuno yang penting, juga dijelaskan mengenai codex yang
merupakan bentuk penjilidan buku yang mirip dengan buku modern. Menurut pembaca
apa yang disampaikan penulis dalam buku ini sangat jelas bahwa sebelum penafsir
mencari arti yang dimaksud dalam Alkitab, maka dia harus lebih dahulu yakin bahwa
Alkitab itu adalah Firman Allah, terlebih setelah mempelajari bagaimana proses
kanonisasi Alkitab, yaitu berdasarkan pengujian yang ketat, sungguh-sungguh, lama dan
universal.

B. Analisa Isi Kitab/Introduksi


Dalam bukunya ini, Hasan Sutanto menyatakan bahwa seorang baru akan dapat
menafsir dengan tepat jika sudah mempersiapkan diri membaca Alkitab dengan teratur
dan terencana. Setelah membaca Alkitab dengan cepat beberapa kali, kemudian disusul
dengan pembacaan yang agak pelan disertai dengan observasi yang lebih cermat. Menurut
pembaca, hal ini sangat tepat karena untuk dapat menafsir dengan baik, penafsir harus
benar-benar mengenal isi kitab yang hendak ditafsirkannya. Dalam menganalisa ini hal
yang perlu diperhatikan adalah latar belakang penulisan kitab, tanggal penulisan kitab
yang biasanya ditentukan juga oleh gaya bahasa dan ajaran utama suatu kitab, dan
pembaca kitab (harus memperhatikan tempat tinggal pembaca dan data-data tentang diri
pembaca) karena hal ini akan sangat menentukan dalam penafsiran maksud penulis dalam
menulis kitabnya.

C. Analisa Sejarah dan Latar Belakang


Dengan mengetahui sejarah dan latar belakang situasi zaman itu diharapkan
penafsir modern dapat mengerti maksud sesungguhnya dari penulis Alkitab. Menurut
pembaca hal ini sangat penting agar penafsir tidak membawa masuk maksudnya ke dalam
Alkitab karena bisa saja suatu kebiasaan pada zaman itu berbeda maknanya dengan
zaman sekarang. Demikian juga dalam menyelidiki latar belakang harus memperhatikan
unsur geografis, unsur waktu, unsur agama, unsur politik dan ekonomi, unsur kebudayaan
dan kebiasaan. Dengan menyelidiki hal-hal tersebut kita akan dapat memahami tujuan
dan maksud penulis dalam penulisan kitabnya.

D. Analisa Sastra
Dalam arti luas analisa ini mencakup sejarah, pengarang,sumber, bentuk, konteks
dan lain-lain. Sedang alam arti sempit analisa ini berfokus pada tujuan, struktur, bentuk
4
Blomberg, Craig L., dan Jennifer Foutz Markley., A Handbook of New Testament Eksegesis,
(Penerbit: Gandum Mas, 2016) hal. 18
6

penulisan, nada/modus suatu kitab/bagian yang ingin ditafsir. Pembaca setuju dengan
penulis, karena dengan analisa sastra yang cermat, maka seorang penafsir dapat mengenal
isi kitab dengan menyeluruh dan teratur serta menentukan bagian yang ingin ditafsir
dalam kitab itu dan memakai cara penafsiran yang tepat atas gaya penulisan tertentu.
Analisa sastra memperhatikan juga gaya sastra sebuah kitab atau sebagian kitab tersebut.

E. Analisa Konteks
Konteks yang dimaksud untuk menunjukkan hubungan yang menyatukan bagian
Alkitab yang ingin ditafsir dengan sebagian atau seluruh Alkitab dan biasanya dibagi
dalam: analisa konteks dalam pengertian sempit/dekat yang menunjuk ayat atau ayat-ayat
yang berkisar sebelum dan sesudah ayat-ayat yang ingin ditafsir dan analisa konteks
dalam pengertian luas/jauh yang dapat dilihat dalam konteks dalam kitab-kitab lain,
konteks dalam kitab-kitab yang ditulis oleh pengarang yang sama dan konteks dalam
kitab itu sendiri. Pembaca sangat setuju dengan ide penulis, karena analisa konteks ini
sangat menolong dalam mencari maksud dari ayat yang hendak ditafsir. Karena seringkali
ayat yang hendak ditafsir tidak dapat berdiri sendiri, tatapi berhubungan dengan ayat
sebelum dan sesudahnya atau bahkan dengan kitab lain.

F. Analisa Kata (Semantik, Lexicologi)


Tanpa menguasai arti suatu kata, penafsir tidak mengerti maksud dari suatu
kalimat, apalagi menafsirnya. Untuk penyelidikan kata mencakup 3 bidang, yaitu:
Fonologi (ilmu suara kata), Morfologi (ilmu bentuk kata) dan Semantik (ilmu arti kata)
yang berfokus pada penyelidikan arti kata. Harus diperhatikan bahwa dalam Alkitab
sering terdapat kata-kata yang sama, tetapi mengandung pengertian yang berlainan dan
arti suatu kata terus berkembang, sehingga tidak tepat jika penafsir menjelaskan suatu
kata dengan konotasi modern. Penafsir juga harus terbuka akan adanya ungkapan khusus.
Pada prinsipnya menurut pembaca apa yang disajikan oleh penulis sangat tepat karena hal
ini merupakan hal yang paling esensi dalam suatu penafsiran. Karena itu penafsir harus
hati-hati dalam melakukan penyelidikan analisa kata ini.

G. Analisa Tata Bahasa


Analisa ini penting karena suatu kalimat, biasanya ditulis menurut hukum tata
bahasa dan struktur tertentu. Sebenarnya analisa tata bahasa berhubungan sangat  erat
dengan analisa kata. Sebab suatu kata Ibrani atau Yunani dapat diterjemahkan menjadi
suatu kalimat, yang jelas bersangkut paut dengan hukum tata bahasa. Berdasarkan apa
yang disampaikan penulis, menurut pembaca sebenarnya analisa tata bahasa ini sangat
berhubungan erat dengan analisa-analisa yang sebelumnya. Karena untuk menghasilkan
penafsiran yang baik memang dibutuhkan analisa yang menyeluruh dari kitab yang
hendak ditafsirkan.

H. Integrasi
Setelah penyelidikan terhadap pelbagai aspek dan bagian Alkitab yang hendak
ditafsir telah dilakukan, tiba saatnya penafsir mengintegrasikan semua data itu menjadi
suatu tafsiran yang utuh, indah,jelas dan mudah dimengerti.

Usaha mengintegrasikan data-data analisa menjadi suatu tafsiran yang baik adalah
suatu usaha yang lebih bersifat seni dari pada ilmiah. Itu sebabnya di bagian awal penulis
telah menyatakan bahwa Hermeneutik bukan sekedar ilmu, tetapi juga mengandung unsur
seni karena ini sangat dibutuhkan ketika penafsir mengintegrasikan hasil analisa yang telah
dilakukan dalam mencari arti yang dimaksud penulis.
7

BAB III
PRINSIP DAN METODE PENAFSIRAN ALKITAB SECARA KHUSUS

Karena dalam Alkitab terdapat bermacam-macam gaya sastra dan cara komunikasi,
maka penulis merasa perlu untuk mengajak pembaca untuk memperhatikan cara-cara dan
prinsip-prinsip yang berhubungan dengan gaya sastra dan cara komunikasi tertentu, sehingga
diharapkan penafsir modern bukan saja terhindar dari bahaya salah menafsir, bahkan maju
satu langkah dapat menafsir dengan jelas dan tepat. Pembaca setuju dengan pendapat ini
karena memang kalau kita selidiki, maka beberapa penulis Alkitab menggunakan gaya bahasa
yang khas seperti Mazmur, Amsal, Ayub yang berbentuk syair dan lain-lain. Dalam bab ini
dibahas mengenai:

A. Bahasa Kiasan yang Pendek


Yaitu suatu  cara komunikasi (lisan atau tertulis) yang menyampaikan suatu berita
dengan cara memperbandingkan, atau mengasosiasikan dengan hal lain. Bahasa kiasan
adalah suatu alat komunikasi yang dapat memberi penjelasan, gambaran yang lebih
hidup, jelas dan mudah diingat. Di sini dijelaskan pula beberapa jenis bahasa kiasan
pendek dan juga beberapa pegangan untuk penafsiran bahasa kiasan pendek.

B. Perumpamaan
Perumpamaan di Alkitab adalah cerita-cerita yang dipakai untuk menjelaskan
suatu ajaran moral atau kebenaran rohani, karena cerita ini memiliki beberapa persamaan
dengan ajaran atau kebenaran tersebut. Yang perlu diperhatikan di sini adalah sumber
perumpamaan, tujuan perumpamaan, struktur perumpamaan, isi dan teologi dalam
perumpamaan-perumpamaan PB. Pembaca setuju bahwa sebagai seorang penafsir perlu
memperhatikan metode penafsiran perumpamaan, karena permpamaan banyak dipakai
dalam PB. Bahkan menurut perkiraan, sepertiga dari pengajaran Yesus disampaikan
dalam bentuk perumpamaan.

C. Allegori
Allegori adalah suatu cerita yang mencoba mengadakan beberapa perbandingan.
Allegori adalah perumpamaan yang jauh lebih rumit dan lain dengan perumpamaan,
allegori tidak begitu memperhatikan nasehat moral, tetapi kebenaran yang bersifat
teoritis. Dijelaskan juga oleh penulis beberapa prinsip penafsiran allegoris. Menurut
pembaca hal ini sangat penting karena ternyata  pemakaian allegori dalam Alkitab sudah
berbeda dengan metode penafsiran allegori sekarang ini, sehingga penafsir sering
mengabaikan maksud dari penulis Alkitab dan memaksakan maksud dirinya sendiri ke
dalam bagian Alkitab yang hendak ditafsir, hingga artinya bergeser dari arti yang
dimaksud penulis.

D. Simbol
Simbol di sini adalah suatu hal yang dipakai untuk menyampaikan suatu
pengertian yang melebihi pengertian umum/biasa dari hal yang dipakai tersebut. Dalam
Alkitab terdapat cukup banyak simbol, yang dapat dibagi menurut jenisnya, yaitu benda,
peraturan/upacara, tindakan yang bermakna simbolik, angka, warna, nama, penglihatan,
dan mujizat. Penulis juga memberikan beberapa prinsip/metode dalam menyelidiki
8

simbol ini. Pembaca setuju dengan maksud penulis, karena dalam Alkitab terdapat
banyak simbol yang digunakan dan masing-masing memiliki pesan khusus yang harus
ditafsirkan secara benar. Itu sebabnya kita perlu belajar prinsip penafsirannya.

E. Tipe (Tipologi)
Tipologi adalah suatu korespondensi dalam satu, atau beberapa aspek tokoh,
peristiwa, benda dan lain-lain di PL dengan tokoh, peristiwa, benda dan lain-lain yang
lebih dekat atau sezaman dengan penulis PB. Atau suatu bayangan dari suatu kebenaran
yang terdapat dalam PL, sedang perwujudannya terdapat dalam PB. Prinsip yang
diberikan penulis dalam menyelidiki tipologi menurut pembaca akan sangat membantu di
dalam penafsiran karena tipologi ini berbeda dengan allegori, namun kebanyakan penafsir
menyamakannya sehingga artinya menjadi bias. Dari prinsip yang disampaikan penulis
yang perlu diperhatikan adalah penjelasan bahwa tipologi jelas berorientasi ke sejarah,
sedang allegori mencoba mencari makna yang tersembunyi di belakang pengertian
harfiah.

F. Syair
Syair yang dimaksud di sini terbatas hanya syair PL karena luasnya bahasan
dalam Alkitab sangat luas. Hal-hal yang dibahas oleh penulis antara lain: sifat syair PL,
fungsi/jenis syair PL, beberapa ciri khas dari syair PL, beberapa hal tentang kitab
Mazmur, dan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran syair Alkitab.
Menurut pembaca kita perlu mempelajari prinsip/metode penafsiran bentuk syair, karena
sepertiga bagian dari PL saja ditulis dalam bentuk syair. Pembaca setuju dengan penulis
bahwa dalam penafsiran syair Alkitab kita harus memperhatikan konteks, latar belakang
dan tujuan utama penulisan syair supaya tidak salah dalam memahami arti yang dimaksud
penulis kitab tersebut.

G. Nubuat
Di bagian ini, penulis memberi penjelasan tentang fungsi nabi, beberapa aspek isi
berita nubuat, beberapa ciri nubuat secara umum, beberapa persoalan dalam penafsiran
nubuat dan beberapa pegangan dalam penafsiran nubuat. Menurut pembaca, memang
perlu mempelajari prinsip penafsiran nubuat bukan saja karena jumlah ayat-ayat yang
bersifat nubuat sangat banyak, tetapi juga karena ayat-ayat demikian sulit ditafsir dan
sering menimbulkan perdebatan yang sengit.

H. Apokaliptik
Dalam pengertian umum, istilah ini menunjuk sekelompok literatur beserta
konsep-konsep dasarnya, yang bertumbuh subur di daerah Alkitab, yang banyak terdapat
di sekitar abad ke-2 sM sampai abad pertama. Dalam bagian ini penulis membahas
mengenai ciri-ciri literatur apokaliptik umum, sebab timbulnya dan asal-usul literatur
apokaliptik umum, perbedaan antara literatur apokaliptik umum dan Alkitabiah, dan
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penafsiran Apokaliptik. Menurut pembaca,
setiap penafsir perlu mempelajari metode penafsiran apokaliptik, karena hal ini
menubuatkan hal-hal yang akan datang, hampir mirip dengan nubuat. Apokaliptik sangat
menonjol dalam hal eskatologi.

I. Surat
Penulis  mengutip pendapat dari Adolf Deismann, yang pada awal abad ke-20
menyelidiki surat-surat kuno yang ditulis dalam papirus dapat dibagi dalam 2 golongan,
yaitu Surat Umum dan Surat Pribadi. Surat ini banyak kita jumpai dalam PB, dalam PL
9

hanya terdapat beberapa surat saja. Pembaca setuju dengan penulis bahwa kita perlu
mempelajari metode penafsiran surat, karena dalam PB saja terdapat 23 surat. Pembaca
juga setuju bahwa untuk mengerti suatu surat, kita perlu membaca keseluruhannya
dengan cermat dan mengerti latar belakangnya sehingga dapat mengerti maksud si
penulis surat tersebut.

J. Kutipan-kutipan PL dalam PB
Hubungan antara PL dan PB begitu erat dan tak terpisahkan, ini didasarkan atas
kesaksian penulis-penulis PB dan bahkan Tuhan Yesus sendiri. Dalam bagian ini penulis
memberikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal kutipan PL dalam PB, yaitu:
batas suatu kutipan, naskah/terjemahan Alkitab yang dipakai oleh penulis-penulis PB,
cara penafsiran yang dipakai oleh penulis-penulis PB dan fungsi kutipan PL adalah
konteks PB. Pembaca setuju dengan pendapat penulis, karena dalam PB terdapat cukup
banyak kutipan dari PL dan cara penafsiran penulis PB cukup kaya. Pelbagai
penafsiran/penjelasan ini menolong kita lebih mengerti Firman Allah baik di PL maupun
di PB. Sebab penulis-penulis PB adalah hamba-hamba Tuhan yang diberi ilham oleh
Allah untuk melihat makna yang lebih lengkap, pengertian yang lebih dalam, dan
penggenapan yang lebih jelas yang belum diketahui oleh penulis PL.

Anda mungkin juga menyukai