Anda di halaman 1dari 8

LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN STUDI KATA

DI

OLEH

NATALENA WARUWU

TINGKAT: I (SATU)

M.KULIAH: HERMENEUTIKA

DOSEN PENGAMPU: YUPITER MENDROFA M.Th

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BINA MUDA WIRAWAN MEDAN

T.A 2022-2023

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menafsir adalah hal yang tidak terhindarkan bagi manusia. Kita menafsirkan bukan
hanya teks Alkitab tetapi juga segala sesuatu yang kita lihat dan kita tangkap melalui panca-
indra kita. Misalnya saja, kita merasakan adanya angin yang cukup kuat, kita menduga
(menafsir) bahwa hujan akan turun. Saat kita melihat seseorang berbicara keras, kita
menganggap orang tersebut sedang marah.

Menafsirkan sesuatu merupakan sebuah Menafsirkan sesuatu merupakan sebuah seni


yang perlu dipelajari. Hermeneutik pada dasarnya ilmu menafsir. Saat ini, hermeneutik
dipandang bukan hanya digunakan untuk membaca teks kitab suci tetapi dipandang sebagai
ilmu untuk memahami sesuatu.

Walaupun menafsir adalah bagian dari sifat kemanusiaan tetapi hal ini tidak berarti
sebuah penafsiran adalah selalu benar. Inilah yang membuat disiplin ilmu Hermeneutik
menjadi penting sebab seseorang akan belajar mengenai prinsip-prinsip memahami dalam
studi tersebut. Ada penafsiran yang dipandang wajar karena sesuai dengan kaidah penafsiran
tetapi ada juga penafsiran yang dapat dipandang tendensius karena melibatkan persepsi atau
tujuan tertentu yang memperngaruhi seseorang dalam membaca sebuah teks atau satu situasi
tertentu. Seseorang tidak dapat melepaskan diri dari asumsi yang dimilikinya tetapi harus
menjaga supaya asumsi tersebut tidak membuatnya salah dalam memahami sesuatu.

Karena manusia tidak bisa melepaskan diri dari penafisran, maka kita harus belajar
menafsir dengan benar supaya kita tidak salah memahami apa yang kita baca, termasuk di
dalamnya membaca kitab suci. Di sisi yang lain, belajar menafsir dengan benar juga akan
menolong seseorang untuk memahami orang lain dengan lebih baik sehingga ia tidak mudah
menghakimi orang lain atau berprasangka buruk terhadap orang lain, dan dampaknya adalah
komunikasi antarmanusia juga semakin baik dan relasi antarmanusia juga bertumbuh dengan
baik.
BAB II

LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN STUDI KATA

A. HERMENEUTIK: EXEGESIS DAN EISEGESE


Gordon Fee, dalam bukunya New Testament Exegesis, menjelaskan bahwa Eksegesis
refer to the historical investigation into the meaning of biblical text “exegesis menunjuk
pada penelitian yang bersifat historis ke dalam arti sebuah teks Alkitab.” Apakah maksud
dari historical investigation “penelitian historis” disini? Yang dimaksudkan Fee adalah
upaya kita untuk melakukan penyelidikan di masa lalu. Jadi, dalam eksegese, kita
membawa pikiran kita kembali ke masa lalu, masa di mana perkataan-perkataan dalam
Alkitab pertama kali disampaikan kepada pembacanya. Dengan demikian, eksegese
berhubungan dengan maksud atau arti semula dari penulis Alkitab.
Terminologi eksegese berarti ditarik keluar. Jadi, dalam eksegese, kita mencoba
untuk menggali bukan memasukan pikiran kita ke dalam teks. Persoalannya adalah
mungkinkah kita benar-benar dapat menggali teks Alkitab tanpa membawa pikiran kita
masuk kedalamnya, dengan kata lain, mungkinkah kita membaca teks Alkitab tanpa pre-
understanding.
Nampaknya kita tidak mungkin melepaskan segala asumsi kita terlebih dahulu
saat menafsir teks, mau tidak mau Pada waktu kita membaca Alkitab, asumsi-asumsi kita
terlibat di dalamnya. Lalu apakah dengan demikian sebenarnya tidak ada proses
penafsiran yang benar-benar eksegesis? Tidak juga demikian sebab, walaupun asumsi-
asumsi tersebut ada dan kita bawa dalam proses eksegese, tetapi kita dapat
meminimalkan dan terus menguji asumsi tersebut dengan penelaahan teks yang kita
lakukan. Proses interpretasi seperti inilah yang disebut oleh Grant R. Osborne dengan
hermeneutik spiral. Ada dua hal yang harus dicari dalam eksegese yakni: 1) faktor luar
yang memengaruhi mengapa teks/penulis berbicara demikian (hal ini disebut sebagai
konteks). 2) faktor dari dalam teks sendiri, apa maksud kata/kalimat ini. Selain exegese,
dalam proses menafsir kitab suci, seseorang dapat jatuh dalam sebuah kesalahan yang
disebut eisegese. Eisegese secara etimologi berarti dimasukan ke dalam, maksudnya
adalah pikiran pembaca dimasukan ke dalam teks, Alkitab dibaca dengan kaca mata
pembaca zaman sekarang bukan dengan kaca mata atau konteks dari penulis atau
pembacanya semula. Model penafsiran yang seperti ini akan cenderung menjadikan teks
Alkitab sebagai alat legitimasi/pembenaran bagi pemikiran atau teologi seseorang. Kita
pada akhirnya menjadikan atau memperlakukan firman Tuhan sebagai ‘proof text. Pola
pembacaan Alkitab secara eisegese adalah tidak tepat, sebab setiap teks dalam Alkitab: 1)
tidak berdiri sendirisendiri; 2) mereka terikat dengan konteksnya; 3) bila dipahami
terpisah dari konteksnya, arti atau makna dari teks bisa berbeda dari maksudnya semula.
Meskipun demikian, menurut David S. Dokery, model penafsiran yang mencoba mencari
makna teks yang lebih dalam dari apa yang tertera ternyata dilakukan atau dikembangkan
oleh gereja purba hingga abad ke 18. Istilah ketiga yang kita perlu pahami adalah
terminologi Hermeneutik. Menurut Klein, Heurmeneutik is the task of explaining the
meaning of the scriptures “hermeneutik adalah sebuah tugas untuk menjelaskan arti dari
kitab suci.” Osborne mendefinisikan pengertian umum hermeneutik sebagai “ilmu yang
mempelajari prinsip-prinsip atau metode dalam memahami maksud seorang penulis.
Istilah “hermeneutik” dalam kata kerjanya muncul dalam Lukas 24:27; 1 Korintus 12:10.
Dari penggunaannya di Alkitab, istilah hermeneutik digunakan dalam pengertian
tindakan untuk menafsirkan atau menjelaskan sesuatu. Dalam konteks penafsiran,
menurut Gordon Fee, memfokuskan terutama pada arti sebagai “sebuah realitas yang ada
[dalam sejarah berdasarkan] pada apa yang teks kuno tersebut jelaskan pada kita.”
Dengan demikian, hermeneutik tidak sekedar menggali tetapi juga
mengkontekstualisasikan dan mengaplikasikan makna teks dalam kehidupan masa kini.
Walaupun ada perbedaan antara pengertian eksegese dan hermeneutik, sebagian ahli
dalam penafsiran Alkitab sering tidak membedakan keduanya dan kedua istilah tersebut
digunakan secara bergantian.
B. HERMENEUTIK: STUDI DESCRIPTIVE AND PRESCRIPTIVE
Hermeneutik adalah sebuah studi yang bersifat baik descriptive maupun prescriptive.
Penafsiran bersifat descriptive sebab dalam penafsiran kita berupaya untuk
mendengarkan dan memahami dari arti teks. Saat seseorang membaca sebuah teks, ia
haruslah dengan penuh perhatian mendengarkan apa yang disampaikan teks. Di sisi yang
lainnya, hermeneutik bersifat prescriptive sebab dalam penafsiran, kita tidak bersikap
pasif dalam mendengarkan tetapi aktif dalam merekonstruksi arti dari teks yang dibaca
atau didengarkan. Dalam proses penafsiran pembaca turut menentukan arti dari teks yang
dia baca atau dengarkan. Itulah sebabnya dalam hermeneutik kontemporer, peran dari
pembaca dipandang tidak kalah penting dari penulis atau teks itu sendiri.
C. HERMENEUTIK ART “SENI DAN SCIENCE”
Sisi science “ilmu” terletak pada penggunaan metodologi ilmiah dalam proses penemuan
kebenarannya. Dalam mentafsirkan Alkitab, kita menggunakan berbagai metodologi yang
bersifat logis dan ilmiah. Misalnya saja, kita menggunakan metodologi penelitian
gramatika atau syntax. Dalam gramatika Yunani, Ibrani dan Aram ada hukum-hukum tata
bahasa yang harus ditaati dan tidak bisa dilanggar tanpa memberikan penjelasan yang
kuat dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Sisi art “seni” terletak pada tidak adanya
aturan baku tentang bagaimana seorang seharusnya menerapkan berbagai aturan
(hukumhukum penafsiran) pada studi Alkitab. Selain itu, dalam proses menafsir,
seseorang membutuhkan sebuah imajinasi, walaupun hal tersebut harus terkontrol. Itulah
sebabnya, kita menemukan bahwa tiap-tiap penafsir punya caranya sendiri. Ia seperti
koki yang memasak, seperti pelukis yang melukis. Dalam proses menafsir teks Alkitab,
seorang ahli terkadang menggunakan disiplin ilmu di luar teologi, misalnya saja
sosiologi, linguistik, dan sastra.
D. TUJUAN MELAKUKAN STUDI KATA (PENAFSIRAN)
Tujuan penafsiran, tentu juga memiliki kaitan dengan realitas manusia sebagai makhluk
yang selalu aktif dalam menafsir segala sesuatu yang diterimanya. Dalam konteks
interpretasi Alkitab, ada beberapa tujuan yang perlu kita perhatikan saat kita menafsir
kitab suci.
 MEMAHAMI PESAN ALLAH
2 Timotius 3:16 menegaskan bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Apakah
maksud dari istilah “adalah”? Apakah ”adalah” di sini berarti “sama dengan”?
Setiap perkataan ataupun tulisan di dalamnya, itulah yang firman Allah. Firman
Allah itu disampaikan kepada manusia di zaman dan di waktu tertentu dengan
pergumulan tertentu. Ini berarti firman itu terkait, terbungkus dengan konteks
pergumulannya. Karena firman Tuhan itu terbungkus konteks pergumulan maka
kita tidak bisa menerapkan firman itu mentah-mentah atau secara langsung
dengan kehidupan kita masa kini yang berbeda dengan kehidupan orang-orang
yang hidup di masa lalu. Di dalam penafsiran Alkitab, seseorang mencoba masuk
ke alam berpikir dan pergumulan dari penulis Alkitab atau ke dalam pemikiran
komunitas penerima firman tersebut. Diharapkan: 1) kita bisa mengerti mengapa
firman itu berbunyi demikian; 2) kita mengerti apa artinya perkataan itu di waktu
sekarang; 3) kita dapat menyimpulkan prinsip apa yang hendak ditekankan atau
diajarkan oleh firman itu.
Jadi prinsip firman hanya bisa diambil secara bertanggung jawab setelah
kita menggalinya dalam konteks pergumulan dari teks itu sendiri. Kesimpulan
yang kita ambil tanpa mengerti pergumulannya akan membuat kita salah dalam
mengambil kesimpulan. Pentafsiran Alkitab bertujuan membawa kita kembali ke
alam berpikir dan pergumulan dari komunitas penerima ‘teks.’ Sehingga kita bisa
menyimpulkan atau mendapatkan prinsip kebenaran di dalamnya.
 MENGHINDARI KESIMPULAN YANG SALAH
Dalam membaca bagian-bagian kitab suci, seseorang dapat menyimpulkan
hal yang salah atau hal yang tidak dibicarakan dalam teks. Hal tersebut terjadi
karena asumsi seseorang memengaruhi cara seseorang dalam membaca teks
Alkitab dan berdampak pada kesimpulan yang dipahaminya. Walaupun pembaca
teks tanpa asumsi adalah tidak mungkin, tetapi pembaca Alkitab perlu mengontrol
hal tersebut. Itulah sebabnya, seorang pembaca Alkitab perlu menyadari dan
mewaspadai asumsi-asumsi yang dimilikinya saat membaca Alkitab.
Dalam Matius 19:1-12, Tuhan Yesus bercakap-cakap dengan orang Farisi
yang bertanya apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan
apa saja? Pertanyaan dari orang Farisi ini adalah pertanyaan dari kelompok Hillel
yang menginterpretasi bahwa perceraian itu bisa dilakukan dengan banyak alasan.
Lalu Tuhan Yesus menjelaskan mengenai laki-laki dan perempuan yang
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan. Orang Farisi bertanya: “jika demikian
mengapakah Musa sampai memberikan surat cerai?” Yesus menjawab, kecuali
karena perzinahan, seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya. Bila tidak
berhati-hati, kita akan menganggap bahwa Yesus mengijinkan perceraian.
Padahal, Yesus sedang mengutip penafsiran dari aliran Sammai mengenai
perceraian karena perzinahan. Tuhan Yesus bisa menerima tafsiran mereka tetapi
posisi-Nya sebenarnya adalah tidak mengijinkan perceraian.
Demikian juga, misalnya, dalam Lukas 18:1-8, banyak orang
menyimpulkan bahwa bahwa doa yang tekun dapat mengalahkan kehendak Allah,
sama seperti sang janda yang membuat ‘pusing’ si hakim akhirnya ia berhasil
demikian juga bila seseorang berdoa dengan tekun kepada Allah dan membuat-
Nya sampai ‘pusing,’ doanya pasti akan dijawab.
Kesimpulan yang salah terhadap Lukas 18:1-8 disebabkan banyak orang
menafsirkan bagian ini secara alegori. Mereka menyejajarkan Allah dengan hakim
dalam perumpamaan tersebut. Perumpamaan ini sebenarnya adalah sebuah
exemplum (cerita yang dibuat untuk memberikan satu contoh tertentu). Kisah ini
bukan menyoroti Tuhan yang bisa dikalahkan oleh ketekunan tetapi keharusan
untuk mempunyai iman dalam wujud ketekunan.
BAB III
KESIMPULAN
Hermeneutik pada dasarnya adalah sebuah seni untuk memahami. Dalam
proses memahami sesuatu, penafsir haruslah mencoba untuk mengerti dengan
baik sekaligus mencoba untuk mengklarifikasi apa yang dia baca dan dengarkan.
Karena hermeneutik adalah sebuah seni, membaca sebuah teks terkadang haruslah
bersifat electic, artinya disesuaikan dengan teks yang dibaca. Sebuah teks ada
kalanya dapat dipahami dengan pendekatan yang bersifat historical “sejarah”;
contohnya saja kitabkitab seperti Injil Sinoptik pastilah dapat dipahami dengan
pendekatan latar belakang sejarah sebab bentuk (jenis) sastra dari tulisan-tulisan
itu adalah biografi kuno tentang kehidupan Yesus. Meskipun demikian, teks yang
lain akan lebih tepat didekati dengan pendekatan sastra, misalnya saja, teks-teks
dengan gaya sastra narasi, seperti perumpamaan Yesus. Tujuan akhir dari
hermeneutik adalah pembaca dapat memahami teks dengan lebih baik. Saat
seseorang pertama kali membaca teks, ia membawa berbagai asumsi dalam
pemikirannya, dan saat ia menyelesaikan pembacaannya, maka orang tersebut
seharusnya mengalami pembaruan pengertian dari apa yang sebelumnya dia
pahami.

Anda mungkin juga menyukai