Anda di halaman 1dari 7

Herm

eneutik
a
Sebagai
Dosen : Dr. Noh Ibrahim Boiliu
Metode
Pendek
atan
dalam
Teologi

Nama :
Michael
NIM :
Wilmar
21188025
Loppies
Pengertian Hermeneutik
Kata hermeneutik atau dalam bahasa Inggris-hermeneutics dapat diasalkan dari kata
Yunaia hermeneuein yang berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”. Di
dalam kegiatan menerjemahkan sebuah teks berbahasa asing ke dalam bahasa kita sendiri,
kita harus memahami lebih dahulu dan kemudia mencoba mengartikulasikan lewat
pemahaman kita.
Menerjemahkan bukanlah sekedar menukar kata-kata asing dengan kata-kata dalam
bahasa kita, melainkan juga memberi penafsiran, maka kata hermeneuein itu memiliki arti
yang cukup mendasar untuk menjelaskan kegiatan yang disebut hermeneutik.
Hermeneutik lalu diartikan sebagai sebuah kegiatan atau kesibukan untuk
menyingkap makna sebuah teks, sementara teks dapat dimengerti sebagai jejaring makna atau
struktur simbol-simbol, entah tertuang sebagai tulisan ataupun bentuk-bentuk lain. Jika teks
dimengerti secara luas sebagai jejaring makna atau struktur simbol-simbol, segala sesuatu
yang mengandung jejaring makna atau struktur simbol-simbol adalah teks. Perilaku,
tindakan, norma, mimik, tata nilai, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan, obyek-
obyek sejarah, dst adalah teks.
Karena semua hal yang berhubungan dengan manusia dimaknai olehnya, yaitu
kebudayaan, agama, masyarakat, negara, dan bahkan seluruh alam semesta, semuanya adalah
teks. Jika demikian hermeneutik diperlukan untuk memahami semua itu.

Enam definisi Hermeneutik


Untuk memberi gambaran umum upaya Richard E. Palmer memberikan enam definisi
hermeneutik.4
Pertama, hermeneutik sebagi teori eksegesis Alkitab. Pengertian ini adalah yang paling tua,
muncul pasca Reformasi Protestan, dan masih bertahan sampai hari ini.
Kedua, hermeneutik sebagai metodologi filologis. Definisi ini muncul lewat perkembangan
rasionalisme di Eropa yang mencoba menafsirkan berbagai teks, termasuk Alkitab, dalam
terang nalar.
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik. Definisi ini dapat kita temukan
dalam pemikiran Schleiermacher yang mencoba menggariskan “seni memahami” sebagai
sebuah metode seperti yang terdapat dalam ilmu-ilmu modern.
Keempat, hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. Definisi ini
dirintis oleh Dilthey yang mencoba mendasarkan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan dengan
metode interpretatif.
Kelima, hermeneutik sebagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Definisi ini
berasal dari Heidegger, sebuah pendalaman konsep hermeneutik yang tidak hanya mencakup
pemahaman teks, melainkan menjangkau dasar-dasar eksistensial manusia.
4 Richard E. Palmer, Hermeneutics. Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University
Press, Evanston, 1969, hlm. 44.
Keenam, hermeneutik sebagai sistem interpretasi. Definisi yang berasal dari Ricoeur ini
mengacu pada teori tentang aturan-aturan eksegesis dan mencakup dua macam sistem, yakni
pertama, pemulihan makna sebagaimana dipraktikan dalam demitologisasi bultman, dan
kedua ikonoklasme atau demitifikasi sebagaimana dipraktikan oleh Marx, Nietzsche, dan
Freud.

Pengertian yang sangat luas dari hermeneutik itu merupakan isi kesibukan filsafat,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran tokoh-tokoh hermeneutik. Sebelum sampai pada
pengertian filosofis itu, hermeneutik merupakan sebuah kegiatan yang sangat khusus, yaitu:
menafsirkan teks-teks sakral. Hal ini menjelaskan mengapa istilah hermeneutik lebih dikenal
di dalam disiplin-disiplin religius seperti studi Kitab Suci dan Teologi.
Para ahli Taurat, para ekseget Alkitab, dan para ahli tafsi Qur’an melakukan
hermeneutik. Teks-teks sakral itu diimani sebagai wahyu ilahi yang berciri otoritatif bagi
kehidupan umast yang percaya. Oleh sebab itu hermeneutik memiliki peran yang sangat
penting untuk membantu umat yang percaya memahami wahyu ilahi itu.
Lewat hermeneutik ajaran-ajaran, asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma religius
yang mengikat ditafsirkan dengan cara-cara tertentu, dan karena cara-cara tafsir itu bisa
berbeda-beda, hermeneutik juga menjadi locus kelahiran aliran-aliran pemahaman teks-teks
sakral itu. Lewat waktu yang panjang terbangunlah tradisi hermeneutik dalam kalangan-
kalangan religius ini.
Hermeneutik dalam sejarah Kekristenan Barat
Awal-awal perkembangan Kekristenan ditandai dengan “masalah hermeneutis”.
Dalam abad-abad pertama Kekristenan, jemaat Kristiani di kota Alexandria memiliki cara
memahami Alkitab yang berbeda dari jemaat di kota Antiokhia, maka terjadi kontroversi
interpretasi. Mazhab Antiokhia cenderung pada tafsir harfiah atau literalisme atas Alkitab,
sedangkan mazhab Alexandria mengambil strategi tafsir alegoris atau simbolis.
Interpretasi lalu menjadi iklim teologis di dalam Kekristenan Abad Pertengahan.
Perpecahan Kekristenan Barat antara Gereja Katolik Roma dan para reformis Protestan di
zaman Reformasi merupakan contoh yang kuat untuk masalah hermeneutis. “Melawan
desakan pihak Katolik untuk tunduk pada otoritas gereja dan tradisi dalam soal-soal
memahami dan menafsir Kitab Suci yang ditegaskan kembali pada Konsili Trente di tahun
1546,” demikian Mueller-Vollmer, “para reformis Protestan mengajukan asas-asas kejelasa
internal-perspicuitas-dan asas-asas kecukupan diri Kitab Suci.”5
Para reformis Protestan memegang asas sola scriptura dengan pengandaian dasar
bahwa alkitab tidak memerlukan “interpretasi eksternal” agar dapat dipahami, karena telah
mengandung koherensi internal. Scriptura sancta est sui ipsius interpres (Kitab Suci adalah
penafsirnya sendiri) adalah asas yang dipegang dikalangan reformis Protestan awal, dan asas
itu dapat dikembalikan pada asas interpretasi St. Agustinus di awal Abad Pertengahan 6. Jika
Alkitab tidak dapat dipahami secara memadai, hal itu terjadi karena pemba kurang persiapan
dan kurang pengetahuan.
5 Mueller-Vollmer, (ed.), op.cit., hlm. 2

6 Lih. T. M Seebohm, hermeneutics, methodadn methodology, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 2004, hlm. 35
Matthias Flacius Illyricus. Lewa bukunya Clavis Scripturae Sacrae (1567), adalah
orang pertama yang meletakkan dasar bagi hermeneutik Protestan . Menurutnya persiapan
untuk memahami alkitab dapat dilakukan dengan studi linguistik dan hermeneutik.7 Berbeda
dari para reformis Protestan, gereja Katolik menafsirkan Alkitab di dalam terang tradisi,
maka konsili-konsili di dalam gereja Katolik memainkan peran kunci di dalam hermeneutik
Alkitab.8
Di dalam Konsili Trente (1545-1563) gereja Katolik memberi respons terhadap
penolakan Protestan atas tradisi., Di samping melengkapi sola scriptura yang diajukan pihak
Protestan dan menegaskan tradisi sebagai sumber yang setara untuk wahyu.9 Lewat Kardinal
Robertus Berlarminus, seorang Yesuit ditegaskan bahwa Kitab Suci tidak dapat dipahami
tanpa mediasi tradisi dan otoritas gereja sebagai wasit terakhir dalam interpretasi Alkitab,
karena Roh Kudus bekerja lewat komunitas umat beriman.10
Tokoh-tokoh Hermeneutik

Urutan hermeneutik yang muncul tidak hanya berciri historis dan kronologis, melainkan juga
logis, mengingat dalam hermeneutik modern terjadi perkembangan dalam melampaui
literalisme dan fundamentalisme tekstual. Mulai dari awal hermenautik modern di zaman
Romantik, yaitu:
1. Schleiermacher. Literalisme diatasi dengan menempatkan teks di dalam konteks. Teks
atau obyek pemahaman di sini adalah teks-teks kuno, termasuk kitab-kitab suci.

2. Dilthey. Positivisme ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan, juga semacam literalisme


epistemologis yang diatasi lewat hermeneutik Dilthey sebagai suatu metode ilmiah. Obyek
pemahaman bagi Dilthey adalah fakta historis-kultural.

3. Heidegger. Hermeneutik Heidegger membahas, memahami bukanlah sekadar persoalan


metodologi ataupun epistemologi, melainkan suatu cara manusia berada di dalam dunia
ini. Jelas bahwa Heidegger tidak mengambil teks, melainkan eksistensi manusia sebagai
target pemahaman.

4. Bultmann. Bultmann bicara tentang eksegesis Alkitab lewat interpretasi demitologisasi


yang tentu mengatasi literalisme tidak sekadar dengan memperhitungkan konteks,
melainkan juga dengan membiarkan teks itu berbicara secara eksistensial kepada ekseget.

5. Gaddamer. Mengambil inspirasi ontologis Heidegger untuk mengembalikan hermeneutik


pada teks tanpa kehilangan tautan ontologis itu.

6. Habermas. Mengangkat teks abnormal atau ideologi sebagai problem hermeneutis

7 Lih, Ibid., hlm.2

8 Lih. Ricardo Antoncich, op.cit., hlm.36

9 Lih. Carter Linberg, A Brief History of Christianity, Blackwell Publishing, Victoria, 2006, hlm 122
10 Lih. T.M seebohm. Op.cit., hlm.38

7. Ricoeur. Ricoeur bersikap kritis terhadap Gadamer, berurusan dengan makna dalam teks-
teks sakral seperti Alkitab dan mitos-mitos

8. Derrida. Menunjukkan bagaimana interpretasi dekonstruktif menangguhkan suatu


pemaknaan tekstual , khususnya dalam teks-tkes hukum dan politik.

Hermeutik modern sejak Schleiermacher telah membidik literalisme sebagai tantangan


untuk memahami teks. Perjuangan untuk mengatasi literalisme itulah yang menyatukan
kedelapan tokoh di atas. Literalisme adalah sebuah pemahaman yang diperoleh lewat cara
baca atas teks tanpa melihat konteks, melainkan berdasarkan makna harfiahnya. Seorang
pembaca literal tidak membaca makna diantara baris-baris kata dan kalimat itu. Pembacaan
literal menjadi literalisme, kalau akhirnya berubah menjadi keyakinan bahwa makna harfiah
adalah makna final yang dimaksud oleh penulisnya.
Jadi tidak ada upaya untuk menerangi makna teks dengan hal-hal lain diluar teks itu,
seperti misalnya: teks-teks lain, kondisi historis, politis, sosial dan kultural yang
memengaruhi produksi teks itu, dan seterusnya. Bagi seorang literalis makna teks dapat
diturunkan dari ungkapan teks itu sendiri karena demikian keyakinannya teks itu memang
bermaksud menyatakan apa yang tertulis di sana, tidak lebih dan tidak kurang.
Hermeneutik dan Mobilisasi Kekuatan Konteks
Kekuatan konteks itulah yang dimobilisasi dan dieksplisitkan oleh hermeneutik
modern sejak Schleiermacher untuk menghancurkan literalisme. Bersamaan dengan
ituhermeneutik modern juga secara bertahap membebaskan teks dari bayangan kehadiran
penulis sehingga teks menjadi otonom. Kedua strategi itu -- mobilisasi konteks dan
otonomisasi teks – menghancurkan literalisme.
Pertama teks juga Kitab Suci, tidak boleh dipahami lepas dari berbagai konteks yang
melingkunginya, sehingga memahami makna teks tidak cukup bersandar pada makna
harfiahnya. Kedua, pembaca masa kini dapat menangkap makna untuk kehidupannya dan
tidak mengklaim keberhasilan untuk menyalin intensi orisinal penulis, entah yang dimaksud
dengan “penulis” di sini manusia atau bukan.
Jadi setiap orang yang membacanya memahami kebenaran-kebenaran relatif dalam
teks otoritatif dengan asas intertekstualitas, sehingga teks tidak berbicara dari dirinya sendiri,
melainkan maknanya diperoleh dengan menghubungkan teks dengan keyakinan-keyakinan
periferi, yaitu dengan mempelajari sumber-sumber pengetahuan lain sebagai konteksnya,
seperti sejarah, kebudayaan, sains dst.11

11 Lih. Ralph W Hood Jr. Et. Al., op.cit., hlm27


Keyakinan
Periferal

Teks Kebenaran
Sakral Relatif

Asas
Intertekstualitas
Keyakinan
Periferal

Hermeneutik dan Iman


Kita tidak memotong hermeneutik modern dan mengisolasinya dari perkembangan
sejarah metode interpretasi di dalam agama. Di dalam hal ini ada dua pokok yang perlu
ditimbang. Pertama, hermeneutik modern berhutang budi terhadap tradisi-tradisi Yahudi-
Kristiani yang sejak sangat dini sudah mengembangkan metode-metode interpretasi Alkitab
yang mengatasi literalisme. Meskipun kemudian meraih otonomi, hermeneutik modern tetap
membuka diri terhadap makna-makna transendental dalam kitab suci sebagai wahyu ilahi.
Dikatakan secara lain, hermeneutik tidak memberikan ajaran tentang wahyu ilahi, karena ia
bukan teologi, melainkan cara untuk membaca wahyu ilahi itu.
Kedua, fakta perkembangan interpretasi Alkitab dengan metode eksegesis modern,
sekurangnya di dalam Kekristenan entah dikalangan Katolik maupun Protestan yang telah
dilakukan selama lebih dari dua abad, membuktikan bahwa orang tidak perlu memiliki
wawasan dunia sekulatistis untuk dapat menjalankan hermeneutik. Orang percaya dengan
tetap dalam imannya dapat menjalankan hermeneutik untuk mengatasi literalisme,
sebagaimana sangat indah dinyatakan oleh Ricoeur bahwa kita percaya untuk memahami, dan
memahami untuk percaya.

Anda mungkin juga menyukai