Anda di halaman 1dari 4

dialog antara teologi dan filsafat perspektif teologi sistematik

2 aspek dalam berteologi

1. Dua aspek yang dibahas yakni filsafat dan teologi, yang pertama teologi positive yang
berarti meletakan, menjelaskan wahyu Allah yang merupakan dasar iman, disini kitab suci
berhadapan dengan sumber – sumber teks baik tulisan maupun lisan dari tradisi turun – temurun.
Peran aspek filsafat dalam berteologi dapat dilihat dari paham filosofi ( filsafat bahasa ) dalam
menafsirkan teks. Aspek kedua berkaitan dengan alasan misteri atau hl – hal yang diwahyukan.
Selain itu teolog juga bertanggung jawab menjelaskan kekhasan teologi Kristen dengan bidang
ilmu lain serta relevansinya.

Dialog dengan filsafat dan metode teologi

Dialog dengan filsafat tertentu dapat memberi hal baru bagi teologi dalam mengembangkan
metode. Hal ini dapat dilihat dari teologi transendental Karl Rahner yang menanyakan
keniscayaan persyaratan kemungkinan manusia dalam memahami wahyu. Hal ini mirip dengan
filsafat transcendental Imanuel Kant yang menanyakan prasyarat – prasyarat yang
memungkinkan suatu pengetahuan.

Dialog dengan filsafat dan pandangan tentang tradisi

Tradisi memiliki otoritas karena berlandaskan pada sesuatu yang benar, otoritas itu
berlandasakan pada pengetahuan. Menurut Habermas, hermeunetika yang benar harus
memikirkan kemungkinan – kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Hermeunetika harus kristis
terhadap segala sesuatu dan mengantisipasi kemungkinan terjadi kesalahan pada tradisi yang
dipercaya. Perdebatan antara Habermas dan gadamer sampai pada kesimpulan yang dibuat oleh
Schilleebeckx yang mengaakan bahwa sebuah teologi yang murni hermeunetis – kritis sering
mengalami kekeliruan dalam proses pengaktulian iman.

Teologi dan cara berpikir ( filsafat ) yang sepadan dengan peristiwa wahyu dan sekaligus relefan
bagi orang sejaman

Filsafat dapat membuat teologi menemukan metode baru dalam berteologi. Contoh, Upaya
teologi dalam merumuskan iman akan Allah Tritunggal. Dialog kritis para teolog patristik
dengan filsafat yunani menghantar para teolog patristik untuk sampai pada pembedaan antara
ousia (hakekat) dan hypostase/prosopon (khususnya ini merupakan jasa dari antara lain ketiga
bapa/teolog kapadokia). Kedua istilah itu tidak kita temukan dalam Kitab Suci tetapi pada masa
(kritis) itu dipandang memadai untuk merumuskan serta menunjukkan kekhasan paham kristiani
tentang Allah Tritunggal yang berbeda dari monoteisme yahudi tetapi sekaligus tidak jatuh pada
paham triteisme. Dialog kritis serupa kita temukan dalam teologi modern. Karl Rahner menolak
memakai istilah ‘person’ untuk Bapa, Putra dan Roh Kudus, karena dalam pemahaman modern –
menurut Rahner – konsep person terlalu bernuansa individualistis. Kalau dimengerti secara
demikian, kita akan jatuh pada paham triteisme. Bapa, Putra dan Roh Kudus dimengerti sebagai
individu yang mula-mula mandiri dan baru kemudian menjalin relasi. Sebaliknya Walter Kasper
menyarankan untuk tetap memakai istilah ‘person’ sambil menegaskan, bahwa konsep itu tidak
harus dan tidak selalu dimengerti secara individualistis. dengan menegaskan bahwa realitas
terakhir/tertinggi berciri triniter maka agama kristiani menunjukkan bahwa ia memiliki paham
tertentu tentang realitas maupun tentang manusia yang mengacu pada realitas tertinggi. Dalam
paham ini konsep “relasi” tidak sekedar bersifat aksiden melainkan merupakan sesuatu yang
hakiki/substansial. konsep person, teologi sendiri perlu menegaskan, bahwa relasi merupakan
unsur hakiki. Person sudah selalu ada dalam relasi dan hanya akan mewujudkan diri dalam relasi
dengan yang lain.

Bersama aliran filsafat tertentu memberi pandangan kritis atas pandangan aktual tertentu

Dialog dengan filsafat dapat juga berujung pada pembentukan sikap kritis bersama dalam
menanggapi pandangan yang sedang menjadi trend dalam masyarakat. Hal itu dapat kita lihat
misalnya dalam dialog antara J. Ratzinger dengan J. Habermas serta dialog antara J.B. Metz
dengan W. Benjamin.

dalam dialog dengan cara berpikir (filsafat) tertentu dapat menunjukkan relevansi iman pada
masyarakat kontemporer dan mengambil sikap/posisi tertentu terhadap perkembangan aktual
yang sedang terjadi. Berdasarkan kekayaan iman, Ratzinger/Benediktus XVI – seperti juga
Habermas – mengambil sikap kritis tetapi sekaligus prihatin terhadap perkembangan masyarakat
modern serta paham akal budi yang menyertainya.Tentu saja tidak boleh dilupakan, bahwa
keduanya mengajukan jalan keluar yang berbeda. Benediktus XVI melihat pemecahannya dalam
model sintesa iman dan akal budi dalam pemikiran Agustinus dan Thomas Aquinas
- Kedua bacaan menggunakan dua domain yakni filsafat barat dan teologi. Dimana
keduanya bacaan tersebut melihat persinggungan diantara keduanya. Hal ini menunjukkan
mereka telah menggali dua domain ini untuk kemudian diperbandingkan. Kedua bacaan
kemudian sama – sama mengambil pemahaman – pemaham dalam dua domain tersebut yang
mendukung pendapat mereka.

- Konteks sejarah dari apa yang sedang dibicarakan oleh kedua bacaan adalah konteks
dunia barat. Bacaan II sempat membahas konteks Indonesia, tapi baginya, topik yang sedang ia
bahasa bukan suatu masalah penting yang harus segera diselesaikan bilah dilihat menurut
konteks Indonesia. Di Indonesia, proses sekularisasi tidak terjadi secara signifikan, sedangkan di
bumi bagian barat, khususnya negara – negara yang sudah terlebih dahulu mengalami kemajuan,
proses ini terjadi begitu hebat. Baginya, topik ini dibahas karena pelan tapi pasti, pengaruh
pemikiran barat akan sampai dan meluas di Indonesia
- Masing – masing teks memiliki topik yang berbeda dan cederung bertolak belakang.
Bacaan I dengan lugas dan total menggunakan kacamata teologi (sistemati) untuk menjelaskan
dialog antara filsafat dan Teologi yang melahirkan perkembangan bagi teologi. Dengan sudut
pandang ini, bacaan I memaparkan pemikiran – pemikiran para filsuf yang berdampak baik
bahkan dapat menjadi rekan bagi teologi meskipun ketika berhadapan dengan masalah yang
sama, keduanya dapat memberikan solusi yang berbeda. Bacaan II lebih fokus melihat
fenomena terkait filsafat dan teologi menurut sejarah. Ini lah mengapa ia membahas tahap
perkembangan masyarakat dan menguraikan bagaimana kontak antara filsafat dan teologi yang
berimbas pada sekularisasi. Perbedaan pada topik ini terlihat pada perbedaan tanggapan kedua
bacaan, dimana bacaan I melihat teologi sebagai alat untuk meninjau secara kritis trend yang ada
dalam masyarakat, sedangkan bacaan II melihat bagaimana posisi teologi yang mulai tersisihkan
ketika masyarakat mulai bertumbuh menuju modernisitas.

- Dengan adanya perbedaan antara kedua bacaan yang dijelaskan sebelumnya, muncul
perbedaan yang cukup penting untuk diperhatikan. Bacaan I tidak terlalu memperhatikan konteks
sejarah manusia dalam hidup bermasyarakat. Akhirnya, ia seakan tutup mata dengan realitas
bahwa manusia (secara personal) adalah bagian dari masyarakat yang berkembang menuju
modern bahkan postmodern. Sedangkan, bacaan II (walaupun tidak secara lengkap) menjelaskan
secara bertahap bagaimana masyarakat berkembang dan bagaimana pandangan mereka tentang
teologi pada setiap tahap perkembangan.

Anda mungkin juga menyukai