Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT DIVINITA

(David Ruskandi)

Penulis mencoba membangun suatu pandangan bahwa theologi sebenarnya tidak


dapat dipisahkan dari filsafat dengan mengacu kepada theologi sebagai bentuk dari filsafat
keilahian seperti terdapat didalam tulisan theologis Dionysius dari Areopagus atau lebih
tepatnya Pseudo-Dionysius Areopagus yang telah menulis sebuah traktat yang walaupun
dapat dikategorikan sebagai tulisan theologis tetapi sekaligus juga suatu karya filsafat karena
memiliki fondasinya dari paham filsafat Neoplatonisme sehinnga tidak salah kalau dinilai
sebagai suatu karya tulis filosofis kristiani yang telah mendemostrasikan adanya keterkaitan
antara kedua cabang keilmuan yaitu theologi dan ilmu filsafat.
Didalam tulisan tersebut menunjukkan bahwa ilmu filsafat dapat membantu kita
memahami konsep-konsep sulit didalam theologi. Tetapi bagi salah seorang bapa Gereja
ternama yaitu Tertulianus, ilmu teologi sudah cukup dan dapat berdiri sendiri tanpa perlu
dukungan dari cabang ilmu filsafat. Pandangan ini berseberangan dengan theolog-theolog
lainya seperti Ambrosius, Agustinus, Origenes, Basilius Agung, Gregorius Nisa, Yohanes
Krisostomus, dan bapa-bapa gereja lainya yang memandang bahwa filsafat yunani atau
filsafat helenisme itu sebenarnya dapat diintegrasikan kedalam ilmu theologi.
Mengapa Tertulianus berpandangan bahwa filsafat yunani tidak diperlukan bagi ilmu
theologi karena baginya filsafat itu hanyalah hasil kebudayaan pemikiran manusia belaka
yang tidak ada hubunganya dengan keselamatan sehingga tidak bermanfaat untuk
mengintegrasikan kedua cabang ilmu tersebut.
Saya setuju pendapat Agustinus yang bukan hanya seorang theolog besar gereja abad
ke-5 tetapi juga sekaligus sebagai seorang filsuf pada masanya. Ia dengan tepat menyatakan
adanya keterikatan yang tidak terhindarkan bahkan jelas antara theologi dengan filsafat ketika
mengatakan bahwa iman itu mencari pengertian. Fides quaerens intellectum, artinya beriman
itu tidak boleh membabi buta atau asal percaya secara ngawur. Orang yang beriman itu
mencari dan berkelana mengejar pengertian yang benar. Itu berarti ketika seseorang sedang
beriman kepada Tuhan maka ia akan terus mencari pengertian tentang Tuhanya. Tokoh gereja
lain di abad pertengahan seperti Thomas Aquinas adalah salah satu contoh figur gereja yang
berhasil mengawinkan keduanya antara theologi dan filsafat secara sistematis dan integratif.
Di era Renaisan terjadi pergeseran pandangan mengenai ilmu pengetahuan yang dulu
lebih menitik beratkan kepada rangkaian argumentasi logis tetapi lebih bersifat spekulasi
belaka hasilnya, kini ilmu pengetahuan berkembang dan berorientasi kepada hasil
pembuktian eksperimen dan perhitungan matematis yang lebih dapat diverifikasi hasilnya
menjadi sebuah metode pendekatan baru yang digunakan dari pada argumentasi hasil
penalaran yang lebh bersifat spekulatif.
Sesudah Renaisan muncul gelombang baru pemikiran yaitu Filsafat Modern yang
diprakarsai oleh Rene Descartes melalui Cogito Ergo Sum-nya yang membalik gaya berpikir
Aristotelian yang banyak menekanya pada metodelogi reflektif apofatis yang aktual pada
masa itu, yaitu karena saya berpikir maka saya ada, yang merevolusi pemikiran manusia
terhadap suatu obyek tidaklah dapat murni obyektif melainkan subyektif. Filsafat telah
mengalami revolusi metodologis (beranjak dari subyek, bukan dari obyeknya) dan ia tidak
lagi bertolak dari esse (ada), melainkan conscientia atau kesadaran. Diperiode ini
rasionalisme filasafat banyak mengalami perkembangan pemikiran hingga puncaknya oleh
kehadiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kesadaran manusia itu tertutup sama
sekali dari realitas obyektif didalam dirinya sendiri dan pengetahuan sejati manusia itu
hanyalah sekedar apriori.
Pemikiran filsafat rasionalisme banyak mempengaruhi berbagai bidang kehidupan
dari ilmu pengetahuan seperti epistemologi hingga diterapkan untuk menjawab dinamika
hubungan-hubungan sosial di masyarakat seperti moral, etis, eksistensialis, sosiologi, hingga
psikologi. Pemikiran ini merambah juga kosmologis dan fenomenologis. Penerapan filsafat
didalam dunia ekonomi dan politik mencetuskan aneka system ideologi dari kapitalisme
hingga marxisme. Filsafat juga mempengarui dunia theologi terutama konstruksi
rasionalisme.
Pemikiran rasionalisme didalam dunia filsafat menjadi dominan hingga puncaknya
pada abad pencerahan dan mulai digeser oleh arus baru dari idealisme Hegel. Filsafat
Hegelian konon disebut sebagai sistem dari filsafat itu sendiri. Idealisme Hegel itu
menggunakan sistem disebut dengan “Dialektika Roh” yang bagi Habermas disebutnya
sebagai representasi yang absolut akan konstruksi sistem filsafat rasionalisme abad
pencerahan yang nantinya dibumikan oleh Karl Marx pada tarafan materialis ekonomis. Arus
pemikiran baru ini memiliki kaitan dengan theologi melalui sebuah refleksi iman dari sayap
kanan Hegelian, mereka mencoba mengawinkan theologi dengan filsafat hingga lahirlah
pemikiran filosofis mengenai refleksi iman yang disistematiskan. Theologi mulai disusun
dalam skema dialektika Hegelian yaitu dialektika sebagai metode yang memungkinkan
pencapaian pengetahuan akan Yang Absolut dalam arti Hegelian yaitu diambil untuk
pencapaian pengetahuan akan Tuhan dalam iman. Cara pandang Hegelian ini mendapatkan
tantangan dari Soren Kierkeggaard sebagai sesuatu yang tidak memungkinkan karena
baginya refleksi tentang Tuhan hanya dapat dimungkinkan melalui pengalaman pergumulan
hidup manusia sebagai satu eksistensi unik dalam penderitaan, kecemasan, ketakutan, dan
pergumalan akan pengharapan. Bagi Kierkeggard, pemikiran Hegelian itu sebagai pemikiran
mentalisme kaum intelek Kristen yang bernostalgia di abad pertengahan yang sudah tidak
memadai lagi bagi perkembangan peradaban rasionalis. Melalui arus-arus pemikiran filsafat
ini didalam hermeneutika yang banyak mempengaruhi cara berteologi yang baru dan
melepaskan diri dari skema tradisional yang pernah ada menjadi integrasi antara filsafat
dengan theologi hingga memasuki zaman baru Postmodern.
Gelombang arus pemikiran postmodern mendobrak kebekuan pemikiran skolastik dan
mengguncang abad pencerahan melalui diperkenalkanya metode-metode ilmiah baru yang
kritis sebagai perkembangan pemikiran manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dampak besar juga melanda gereja-gereja terutama di belahan eropa. Postmodern pertama-
tama diinspirasikan oleh Nietzche yang kritis terhadap rasionalitas modern dan memandang
bahwa rasio yang didewakan di abad pencerahan hanyalah bersifat pelengkap belaka dan
bukan menjadi intinya. Filsfat postmodern adalah filsafat tidak. Ia berkata tidak kepada
pengetahuan yang dihadirkan secara tiba-tiba dan kepada asalnya. Ia berkata tidak juga bagi
sumber dan wacana kesatuan. Rincian ide-ide yang disangkal ini mendominasi diskusi
pemikiran filsafat postmodern. Baginya apa yang disebut realitas itu hanyalah sekedar
perwakilan dan simbol-simbol yang mewakili reaitas yang sesungguhnya. Postmodern
kemudian berhadapan dengan fenomenologi. Fenomenologi mencermati fenomena sebagai
pengetahuan itu sendiri. Kant mengatakan bahwa kita tidak akan sanggup mengetahui realitas
itu sendiri dan yang bisa kita ketahui hanyalah penampakan-penampakanya (fenomena). Apa
yang disebut dengan pengetahuan adalah apa yang diketahui, dikenali, dicermati pada waktu
itu. Postmodern menolak transendensi norma-noma seperti kebenaran, kebaikan, kecantikan,
dan kesatuan. Realitas masyarakat kita adalah peradaban yang dibangun dengan
mengekslusifkan yang lainya. Era postmodern adalah era keterbukaan yang mempengaruhi
lingkungan gereja didalam formasi theologi.
Dalam gereja Katolik misalnya , pendidikan teologi bergandengan tangan dengan
filsafat. Bukankah para rasulpun berfilsafat. Teologi dan filsafat tidak dapat dipisahkan.
Bahkan menjadi salah satu moment kritis didalam sejarah teologi ketika pemikiran filsafat
Kantian merajai diskusi dan pergulatan intelektuan manusia. Terjadi krisis yang medalam
didalam teologi Kristen ketika epistemologi Kantian dengan konsep rasio murninya manusia
mencoba untuk memahami obyek atau teks didalam kitab suci. Dari hasll refelksi paparan ini
didapatkan kesimpulan penulis bahwa ilmu filsafat terutama filsafat analitis dapat membantu
kita untuk memahamai banyak hal didalam teks-teks kitab suci sehingga teologi kita menjadi
kaya makna tetapi dalam batasan ilmu filsafat dan penalaran rasio hanya bersifat sebagai
pendukung dari ilmu theologi. Keduanya dapat diintegrasikan dengan tetap menghargai
wilayah iman yang tidak bisa dilakukan percobaan dengan parameter ilmiah baku yang
terukur seperti mujizat dan kuasa adikodrati lainya yang berada diluar penalaran filsafat
manusia. Kelebihan dari mengintegrasikan ilmu filsafat dengan teologi menghasilkan kajian-
kajian filsafat agama sangat berguna bagi pembelaan iman Kristen dan membantu untuk
merasionalisasikan wahyu Allah tetapi disisi lain kelemahan dari pendekatan atau metode
berteologi dengan menggunakan filsafat adalah munculnya kecenderungan untuk mencoba
merasionalisasikan tema-tema supranatural menjadi natural teologi yang tidak pernah
dimaksudkan oleh penulis sesungguhnya. Batasan ini yang cenderung sulit ditetapkan secara
obyektif didalam bias subyektif sang teolog sekaligus sebagai seorang filsuf. Ilmu filsafat
dengan penalaran rasionya kiranya dapat menjadi pelayan bagi ilmu teologi.
IMAN KRISTEN DAN AKAL BUDI

Didalam artikel iman Kristen dan akal budi ini, penulis mencoba menyusun tesisnya
bahwa terdapat relasi antara kepercayaan dengan logika atau nalar karena sudah menjadi
perdebatan banyak orang khususnya dikalangan akademisi dunia modern yang telah maju
secara peradaban dengan perkembangan pemikiranya mengenai kepercayaan kristen dengan
akal atau penalaran. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu filsafat
maka pertanyaan-pertanyaan teologis dalam kajian ilmu filsafat menjadi tidak dapat lagi
terhindarkan. Karena manusia telah memiliki kapasitas untuk dapat berpikir secara kritis
didalam mempertanyakan segala sesuatunya dan coba merenungkanya didalam usaha untuk
dapat memahaminya termasuk didalamnya adalah agama dan iman Kristen. Hal itu bukan
lagi terbatas hanya menjadi ranah teolog saja tetapi telah menjadi kajian dari dunia filsafat
sehingga segala sesuatunya menjadi obyek pemikiran termasuk mengenai Allah. Inilah
gagasan pada era Rasionalisme.
Menghadapi tantangan perkembangan zaman tersebut, Iman dan akal sebenarnya dua
aspek yang tidak bertentangan sehingga tidak perlu dipertentangkan satu sama lainya.
Seorang yang memiliki keyakinan iman Kristen sesungguhnya tidak perlu membuang
rasionya demikian disampaikan artikel tersebut. Tetapi tidak dapat terhindarkan bahwa sering
dijumpai perdebatan antara rasio dengan iman atau iman dan kepercayaan yang dianggap
bertentangan dengan akal. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya muncul dari pandangan
ekstrim yang telah mengedepankan untuk berpikir secara kritis dan rasional terhadap segala
sesuatunya termasuk ketika memandang orang Kristen yang dianggap hanya menggunakan
iman saja sebagai landasanya lalu mengabaikan akal budi mereka.
Menurut penulis banyak pemikir dan ahli filsafat setelah abad pencerahan seperti
Imanuel Kant, Frederich Nitezche, dan Karl Marx harus meninggalkan iman kristenya setelah
pergumulan dengan pertanyaan-pertanyaan iman Kristen. Mereka mengharapkan iman
kristen yang dapat dipahami dan diterima oleh akal mereka. Ironisnya mereka memiliki latar
belakang agama yang kuat seperti ada yang dari latar belakang anak seorang hamba Tuhan
dan bahkan ada yang pernah belajar teologi sebelum akhirnya kemudian meninggalkan iman
Kristen tersebut.
Sebelum abad pencerahan, dogma-dogma Kristen pada umumnya tidak dipertanyakan
oleh penganutnya. Hingga abad ke-18 dengan kemunculan suatu gerakan yang disebut
“Deisme” dengan anjuranya untuk memurnikan agama dengan berdasarkan akal sebagai
bentuk serangan yang mendobrak pintu-pintu gereja yang selama ini tertutup oleh teolog.
Dalam keadaan demikian Friedrich Schleiermacher membawa kekristenan dari serangan
rasionalisme kepada wilayah perasaan, oleh karena kekristenan pada saat itu mendapat
serangan dari kaum rasionalis yang menyerang Allah dan agama.
Para pemimpin gereja hendaknya memahami kenyataan bahwa serangan-serangan
terhadap iman mereka kebanyakan menggunakan akal yang coba dibenturkan dengan
keyakinan suatu agama atau dogma apakah rasional ataukah tidak. Akal budi dan hikmah
manusia coba dijadikan ujian dan penguji ajaran-ajaran didalam iman Kristen. Tidak
mengherankan kaum Kristen bahyak menghadapi pertanyaan dan serangan baik dari luar
maupun dari dalam melalui arus liberalisme seputar dogma gereja baik yang menjadi inti
iman Kristen seperti doktrin Trinitas, dwi natur Yesus, kebangkitan sampai kepada yang
bukan menjadi inti iman Kristen seperti mujizat Yesus berjalan diatas air, yunus hidup
didalam perut ikan, matahari yang mundur kebelakang semua ini mendapat tantangan
tersendiri didalam pemikiran manusia yang coba measionalisasikan peristiwa-peristiwa ajaib
tersebut.
Sehingga para pemimpin gereja dalam bahasa dari penulis, perlunya untuk
mensinkronisasi imanya dengan akalnya menjadi bagian dari kewajiban dan tanggung jawab
sebagai seorang Kristen dalam menjawab tantangan perubahan zaman dan kehadiran arus
pemikiran modern. Saya setuju bahwa kita perlu menjawab tantangan ini dan tidak
mengabaikan sebagian besar pertanyaan-pertanyaan mereka. Iman Kristen harus sanggup
berdiri dengan kokoh dan tidak dapat ditaklukkan oleh penyelidikan yang secermat apapun
karena kebenaran yang sejati tetaplah sesuai dengan hakekatnya tetap akan menjadi
kebenaran melewati berbagai pertanyaan dan serangan pemikiran tajam manusia.
Dimanakah peranan dari iman kalau demikian? Itu yang dibahas oleh penulis didalam
artikelanya dengan mengutip metode dari filsuf abad ke-18 Imanuel Kant dengan membagi
rasio kedalam tiga bagianya yaitu akal murni, akal praktik, dan akal kritis. Pembagian ini
lberdasarkan fungsi analisa dimana akal murni untuk menyelidiki pertanyaan seputar materi
dan segala sesuatu yang nyata secara fisik dan masuk diakal. Sedangkan akal praktis
menyangkut persoalan-persoalan etika yang tidak dapat diuraikan oleh akal seperti
pertanyaan bagaimana seseorang harus bermoral dan berkehendak, sedangkan akal kritis
mempertanyakan segala sesuatu yang ada diluar diri manusia . Inilah jenjang pemikiran yang
diusulkan oleh Kant dalam menganalisis segala sesuatunya dimana tingkatan pertama dan
terendah adalah akal murni lalu yang tertinggi adalah akal kritis yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang transenden dan diluar diri manusia seperti pertanyaan mengenai
Allah.
Lalu dimanakah peranan akal? Disini seperti halnya dibagian pertama pembahasan
mengenai iman, penulis berangkat dari definisi terlebih dahulu sebagai batasanya. Apa itu
iman dan apa itu akal. Dia mengambil definisi akal sebagai salah satu substansi dari diri
manusia karena itu manusia memiliki perasaan, kehendak, dan kapasitas untuk berpikir.
Aspek rasio ini adalah pemberian dari Tuhan yang luar biasa bagi semua manusia, sebagai
suatu anugerah untuk kemuliaan Tuhan semata.
Tentu saja perlunya kita menyadari bahwa rasio memiliki keterbatasan seperti yang
diuraikan oleh penulis yaitu rasio hanya dapat menerima hal-hal yang bisa dilogikakan,
sehingga diluar akal maka tidak bisa lagi diterima oleh karena tidak masuk diakal. Dengan
cukup cermat penuls kemudian mencoba untuk memberikan batasan didalam pendekatanya
akan akal yaitu penjelasan keterbatasan akan rasio dari akal manusia ini yang kemudian
dijabarkan oleh penulis didalam ulasanya walaupun masih ada yang belum sempat digali
seputar batasan akal didalam mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar persoalan
teologis tetapi itu semua karena tentu saja batasan penelitian dan makalah yang coba
dihadirkan sang penulis sehingga tidak cukup luas dan dalam menguraikan batasan-batasan
akal tersebut didalam menjawab persoalan-persoalan teologis karena inti dari pembahasanya
adalah untuk membuka pemikiran teolog terhadap pendekatan filsafat itu sendiri.
Penulis mengingatkan akan tiga bidang yang penting didalam filsafat yaitu :

1. Epistemologi,yaitu tentang ilmu pengetahuan yang menggumuli batasan-batasan


ilmu pengetahuan dan metode-metodenya.
2. Etika yaitu bidang filsafat yang menggumuli tentang moral.
3. Metafisik, yang mengkhususkan dirinya untuk menggumuli tentang segala sesuatu
yang bersifat non fisik seperti pertanyaan-pertanyaan seputar keberadaan Allah.

Dengan cermat penulis mengingatkan batasan dari metode-metode filsafat apapun


yaitu kebenaran yang akan dirumuskan atau dihasilkan oleh kajian ilmu filsafat tidak akan
pernah menjadi lebih tinggi dari kebenaran Allah yaitu kebenaran-Nya didalam Alkitab.
Tetapi penulis disini tidak menjelaskan hubungan berdasarkan model lain dalam memandang
hasil dari kajian filsafat karena didalam model pewahyuan umum dimana akal adalah bagian
dari memahami pewahyuan Allah itu sendiri yaitu wahyu umum atau termasuk dari
pernyataan Allah juga dan tidak diluar darinya atau setidaknya tidak perlu dibuatkan suatu
pengasingan rasio untuk mengenal diriNya walaupun tetap dibutuhkan wahyu khusus yaitu
firman Allah didalam Alkitab untuk dapat lebih sempurna didalam memahami akan Allah.
AIR FILSAFAT

Peran dan kegunaan dari ilmu filsafat dalam berteologi digambarkan seperti
mengubah air menjadi anggur oleh Thomas Aquinas. Melalui gambaran metafora ini hendak
disampaikan oleh Kalvin. S. Budiman akan manfaat kajian-kajian ilmu filsafat bagi
kepentingan iman Kristen yaitu dalam menunjang pemahaman teologis. Dalam sejarahnya
ilmu filsafat sejak awal telah digunakan dalam berteologi oleh para teolog gereja seperti
contohnya Thomas Aquinas pada abad pertengahan dalam summa theologianya telah
menggunakan filsafat dari Aristoteles. Walaupun pendekatan berteologi filsafat ini sering
dicurigai khususnya dikalangan injili sebagai pencemaran terhadap kemurniaan injil dalam
bentuk memasukan racun pemikiran manusia yang asing bagi injil.
Jauh sebelum Aquinas, penggunaan filsafat dalam berteologi sudah banyak
dipraktekkan oleh bapa-bapa gereja seperti pada abad kedua masehi seorang filsuf dan
apologet kristen bernama Justin Martir tetap menggunakan filsafat dalam menyebarkan
teologi Kristen. Bahkan bagi Clement dari Alexandria yang hidup di abad ketiga masehi, ia
memandang teologi adalah salah satu bentuk dari filsafat itu sendiri dan menyebutnya sebagai
“the true philosophy”. Kemudian pada abad keempat hingga kelima masehi dapat dijumpai
tokoh-tokoh seperti Agustinus yang telah memilih jalur filsafat didalam mengembangkan
teologi Kristen. Saya setuju dengan pemaparan Kalvin karena pengaruh besar Agustinus
dapat terlihat dalam teologi skolastika yang diterima dan digunakan oleh gereja barat.
Dalam tulisanya ini kita bisa melihat diskusi didalam perdebatan penggunaan filsafat
dalam teologi seperti rujukan akan tulisan salah seorang bapa gereja abad kedua, Tertulianus
yang mempertanyakan penggunaan filsafat dalam berteologi dengan mengatakan: “Apa
hubunganya antara Yerusalem dengan Athena?”. Melalui sebuah pertanyaan retorika ini ia
hendak menyampaikan keberatanya terhadap penggunaan filsafat dalam teologi dengan
mempertanyakan apa urusanya filsafat dengan teologi atau apa urusanya pemikiran manusia
dengan wahyu Allah? Sentimen ini juga dapat kita jumpai didalam tulisan tokoh besar
reformator Martin Luther didalam pernyataanya bahwa: “salah besar jikalau tanpa Aristoteles
tidak mungkin untuk dapat menjadi seorang teolog. Justru sebaliknya seseorang hanya akan
menjadi seorang teolog apabila ia mengabaikan tulisan-tulisan Aristoteles”. Menariknya
walau bagi kedua tokoh ini filsafat tidak cocok untuk digunakan dalam teologi tetapi
keduanya justru tidak dapat lepas dari penggunaan filsafat didalam tulisan-tulisan teologis
mereka sendiri seperti contohnya didalam pembentukan doktrin kristologi dan Allah
Tritunggal menggunakan konsep persona dan substansia yang merupakan bentuk dari
pemikiran filsafat. Demikian juga Luther didalam memakai teori kausalitas dari filsafat
Aristoteles dalam teologinya.
Melalui tulisan ini kita bisa melihat kedekatan yang tidak dapat terhindarkan kalau
tidak mau dikatakan tidak terpisahkanya antara filsafat dengan teologi baik disadari maupun
tidak disadari dan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Rasul Paulus sendiri yang
pernah hidup didalam kebudayaan yunani yang kuat dengan filsafatnya seperti kaum Stoa
telah memberikan peringatkan agar kita tidak tertawan kedalam filsafat yang kosong. Ini
sebenarnya tidak perlu dimaknai sebagai bentuk penolakan total rasul Paulus terhadap
keseluruhan bentuk filsafat tetapi peringatanya terhadap filsafat yang hanya dari hasil
pemikiran manusia belaka yang tidak berdasarkan ataupun mendapat dukungan kitab suci
apalagi bertentangan dengan Kristus maupun iman Kristen.
Para teolog Kristen yang menggunakan filsafat dalam berteologi seperti Aquinas dan
Calvin menyadari akan pentingnya kehati-hatian penggunaan filsafat secara bijaksana dan
terukur, artinya harus dengan memahami akan batasan-batasan penggunaanya didalam
teologi Kristen agar tidak menyalahgunakan filsafat. Secara tegas mereka menolak segala
bentuk pemikiran manusia yang semata-mata lahir dair tradisi-tradisi dan hasil pemikiran
manusia yang tidak sejalan dengan Kristus. Calvin menambahkan bahwa filsafat hanyalah
sebagai “persuasive speech” yang dapat menarik perhatian pemikiran manusia melalui
argumentasi yang rasional atau masuk akal dan cantik atau elegan. Jadi ini adalah bentuk
disiplin ilmu yang netral tergantung batasan penggunaanya.
Demikian juga dengan Thomas Aquinas dalam membangun teologinya dengan
menghindari dua kubu ekstrim yaitu penolakan filsafat secara keseluruhan karena hasil
kesimpulan dari filsafat dapat bertentangan dengan hasil kesimpulan dari teologi sehingga
keduanya tidak mungkin sejalan maupun sebaliknya karena baginya seluruh kebenaran
berasal dari satu sumber yaitu Allah sendiri. Maka kebenaran dalam filsafat seharusnya tidak
dapat bertentangan dengan kebenaran dalam teologi, jika bertentangan maka filsafat harus
ditundukkan kebawah terang teologi sehingga filsafat harus tunduk dibawah terang dari iman.
Menyadari akan bahaya-bahaya untuk jatuh kedalam sisi gelap ekstrim dari filsafat ini
maka Aquinas tanpa membuang filsafat begitu saja tetapi membedakan berdasarkan hakekat
dan ruang lingkup penggunaanya karena filsafat dan teologi itu seperti halnya akal dan
wahyu keduanya tidak bertentangan kalau masing-masing hekekatnya dapat dimengerti
dengan tepat. Ia dapat menerima bahwa sumber kebenaran hanya satu, tetapi cara untuk
manusia mencapai kebenaran pengetahuan melalui bentuk yang bermacam-macam dimana
salah satunya melaui proses berpikir (filsafat) dan juga yang terutama melalui tuntutan wahyu
(teologi). Sejauh akal budi dapat ditempatkan sesuai dengan tempat dan kapasitasnya baik itu
filsafat maupun ilmu pengetahuan lainya dapat dimanfaatkan kedalam teologi.
Saya setuju dengan kesimpulan penulis bahwa masing-masing disiplin ilmu itu
sesungguhnya dapat memberikan sumbangsih tersendiri dalam batasan tertentu terhadap
teologi, tetapi tentunya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada batasanya seperti
didalam penggunaan filsafat dalam teologi untuk memahami keberadaan Allah yang diluar
jangkauan filsafat dan daya nalar manusia. Kita menerima Allah Tritunggal sesuai
keterbatasan kapasitas akal kita, tetapi kita tidak mendasarkan pemahaman kita tentang Allah
Tritunggal pada akal budi kita semata melainkan pada wahyu Allah.

Anda mungkin juga menyukai