(David Ruskandi)
Didalam artikel iman Kristen dan akal budi ini, penulis mencoba menyusun tesisnya
bahwa terdapat relasi antara kepercayaan dengan logika atau nalar karena sudah menjadi
perdebatan banyak orang khususnya dikalangan akademisi dunia modern yang telah maju
secara peradaban dengan perkembangan pemikiranya mengenai kepercayaan kristen dengan
akal atau penalaran. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu filsafat
maka pertanyaan-pertanyaan teologis dalam kajian ilmu filsafat menjadi tidak dapat lagi
terhindarkan. Karena manusia telah memiliki kapasitas untuk dapat berpikir secara kritis
didalam mempertanyakan segala sesuatunya dan coba merenungkanya didalam usaha untuk
dapat memahaminya termasuk didalamnya adalah agama dan iman Kristen. Hal itu bukan
lagi terbatas hanya menjadi ranah teolog saja tetapi telah menjadi kajian dari dunia filsafat
sehingga segala sesuatunya menjadi obyek pemikiran termasuk mengenai Allah. Inilah
gagasan pada era Rasionalisme.
Menghadapi tantangan perkembangan zaman tersebut, Iman dan akal sebenarnya dua
aspek yang tidak bertentangan sehingga tidak perlu dipertentangkan satu sama lainya.
Seorang yang memiliki keyakinan iman Kristen sesungguhnya tidak perlu membuang
rasionya demikian disampaikan artikel tersebut. Tetapi tidak dapat terhindarkan bahwa sering
dijumpai perdebatan antara rasio dengan iman atau iman dan kepercayaan yang dianggap
bertentangan dengan akal. Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya muncul dari pandangan
ekstrim yang telah mengedepankan untuk berpikir secara kritis dan rasional terhadap segala
sesuatunya termasuk ketika memandang orang Kristen yang dianggap hanya menggunakan
iman saja sebagai landasanya lalu mengabaikan akal budi mereka.
Menurut penulis banyak pemikir dan ahli filsafat setelah abad pencerahan seperti
Imanuel Kant, Frederich Nitezche, dan Karl Marx harus meninggalkan iman kristenya setelah
pergumulan dengan pertanyaan-pertanyaan iman Kristen. Mereka mengharapkan iman
kristen yang dapat dipahami dan diterima oleh akal mereka. Ironisnya mereka memiliki latar
belakang agama yang kuat seperti ada yang dari latar belakang anak seorang hamba Tuhan
dan bahkan ada yang pernah belajar teologi sebelum akhirnya kemudian meninggalkan iman
Kristen tersebut.
Sebelum abad pencerahan, dogma-dogma Kristen pada umumnya tidak dipertanyakan
oleh penganutnya. Hingga abad ke-18 dengan kemunculan suatu gerakan yang disebut
“Deisme” dengan anjuranya untuk memurnikan agama dengan berdasarkan akal sebagai
bentuk serangan yang mendobrak pintu-pintu gereja yang selama ini tertutup oleh teolog.
Dalam keadaan demikian Friedrich Schleiermacher membawa kekristenan dari serangan
rasionalisme kepada wilayah perasaan, oleh karena kekristenan pada saat itu mendapat
serangan dari kaum rasionalis yang menyerang Allah dan agama.
Para pemimpin gereja hendaknya memahami kenyataan bahwa serangan-serangan
terhadap iman mereka kebanyakan menggunakan akal yang coba dibenturkan dengan
keyakinan suatu agama atau dogma apakah rasional ataukah tidak. Akal budi dan hikmah
manusia coba dijadikan ujian dan penguji ajaran-ajaran didalam iman Kristen. Tidak
mengherankan kaum Kristen bahyak menghadapi pertanyaan dan serangan baik dari luar
maupun dari dalam melalui arus liberalisme seputar dogma gereja baik yang menjadi inti
iman Kristen seperti doktrin Trinitas, dwi natur Yesus, kebangkitan sampai kepada yang
bukan menjadi inti iman Kristen seperti mujizat Yesus berjalan diatas air, yunus hidup
didalam perut ikan, matahari yang mundur kebelakang semua ini mendapat tantangan
tersendiri didalam pemikiran manusia yang coba measionalisasikan peristiwa-peristiwa ajaib
tersebut.
Sehingga para pemimpin gereja dalam bahasa dari penulis, perlunya untuk
mensinkronisasi imanya dengan akalnya menjadi bagian dari kewajiban dan tanggung jawab
sebagai seorang Kristen dalam menjawab tantangan perubahan zaman dan kehadiran arus
pemikiran modern. Saya setuju bahwa kita perlu menjawab tantangan ini dan tidak
mengabaikan sebagian besar pertanyaan-pertanyaan mereka. Iman Kristen harus sanggup
berdiri dengan kokoh dan tidak dapat ditaklukkan oleh penyelidikan yang secermat apapun
karena kebenaran yang sejati tetaplah sesuai dengan hakekatnya tetap akan menjadi
kebenaran melewati berbagai pertanyaan dan serangan pemikiran tajam manusia.
Dimanakah peranan dari iman kalau demikian? Itu yang dibahas oleh penulis didalam
artikelanya dengan mengutip metode dari filsuf abad ke-18 Imanuel Kant dengan membagi
rasio kedalam tiga bagianya yaitu akal murni, akal praktik, dan akal kritis. Pembagian ini
lberdasarkan fungsi analisa dimana akal murni untuk menyelidiki pertanyaan seputar materi
dan segala sesuatu yang nyata secara fisik dan masuk diakal. Sedangkan akal praktis
menyangkut persoalan-persoalan etika yang tidak dapat diuraikan oleh akal seperti
pertanyaan bagaimana seseorang harus bermoral dan berkehendak, sedangkan akal kritis
mempertanyakan segala sesuatu yang ada diluar diri manusia . Inilah jenjang pemikiran yang
diusulkan oleh Kant dalam menganalisis segala sesuatunya dimana tingkatan pertama dan
terendah adalah akal murni lalu yang tertinggi adalah akal kritis yang berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang transenden dan diluar diri manusia seperti pertanyaan mengenai
Allah.
Lalu dimanakah peranan akal? Disini seperti halnya dibagian pertama pembahasan
mengenai iman, penulis berangkat dari definisi terlebih dahulu sebagai batasanya. Apa itu
iman dan apa itu akal. Dia mengambil definisi akal sebagai salah satu substansi dari diri
manusia karena itu manusia memiliki perasaan, kehendak, dan kapasitas untuk berpikir.
Aspek rasio ini adalah pemberian dari Tuhan yang luar biasa bagi semua manusia, sebagai
suatu anugerah untuk kemuliaan Tuhan semata.
Tentu saja perlunya kita menyadari bahwa rasio memiliki keterbatasan seperti yang
diuraikan oleh penulis yaitu rasio hanya dapat menerima hal-hal yang bisa dilogikakan,
sehingga diluar akal maka tidak bisa lagi diterima oleh karena tidak masuk diakal. Dengan
cukup cermat penuls kemudian mencoba untuk memberikan batasan didalam pendekatanya
akan akal yaitu penjelasan keterbatasan akan rasio dari akal manusia ini yang kemudian
dijabarkan oleh penulis didalam ulasanya walaupun masih ada yang belum sempat digali
seputar batasan akal didalam mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar persoalan
teologis tetapi itu semua karena tentu saja batasan penelitian dan makalah yang coba
dihadirkan sang penulis sehingga tidak cukup luas dan dalam menguraikan batasan-batasan
akal tersebut didalam menjawab persoalan-persoalan teologis karena inti dari pembahasanya
adalah untuk membuka pemikiran teolog terhadap pendekatan filsafat itu sendiri.
Penulis mengingatkan akan tiga bidang yang penting didalam filsafat yaitu :
Peran dan kegunaan dari ilmu filsafat dalam berteologi digambarkan seperti
mengubah air menjadi anggur oleh Thomas Aquinas. Melalui gambaran metafora ini hendak
disampaikan oleh Kalvin. S. Budiman akan manfaat kajian-kajian ilmu filsafat bagi
kepentingan iman Kristen yaitu dalam menunjang pemahaman teologis. Dalam sejarahnya
ilmu filsafat sejak awal telah digunakan dalam berteologi oleh para teolog gereja seperti
contohnya Thomas Aquinas pada abad pertengahan dalam summa theologianya telah
menggunakan filsafat dari Aristoteles. Walaupun pendekatan berteologi filsafat ini sering
dicurigai khususnya dikalangan injili sebagai pencemaran terhadap kemurniaan injil dalam
bentuk memasukan racun pemikiran manusia yang asing bagi injil.
Jauh sebelum Aquinas, penggunaan filsafat dalam berteologi sudah banyak
dipraktekkan oleh bapa-bapa gereja seperti pada abad kedua masehi seorang filsuf dan
apologet kristen bernama Justin Martir tetap menggunakan filsafat dalam menyebarkan
teologi Kristen. Bahkan bagi Clement dari Alexandria yang hidup di abad ketiga masehi, ia
memandang teologi adalah salah satu bentuk dari filsafat itu sendiri dan menyebutnya sebagai
“the true philosophy”. Kemudian pada abad keempat hingga kelima masehi dapat dijumpai
tokoh-tokoh seperti Agustinus yang telah memilih jalur filsafat didalam mengembangkan
teologi Kristen. Saya setuju dengan pemaparan Kalvin karena pengaruh besar Agustinus
dapat terlihat dalam teologi skolastika yang diterima dan digunakan oleh gereja barat.
Dalam tulisanya ini kita bisa melihat diskusi didalam perdebatan penggunaan filsafat
dalam teologi seperti rujukan akan tulisan salah seorang bapa gereja abad kedua, Tertulianus
yang mempertanyakan penggunaan filsafat dalam berteologi dengan mengatakan: “Apa
hubunganya antara Yerusalem dengan Athena?”. Melalui sebuah pertanyaan retorika ini ia
hendak menyampaikan keberatanya terhadap penggunaan filsafat dalam teologi dengan
mempertanyakan apa urusanya filsafat dengan teologi atau apa urusanya pemikiran manusia
dengan wahyu Allah? Sentimen ini juga dapat kita jumpai didalam tulisan tokoh besar
reformator Martin Luther didalam pernyataanya bahwa: “salah besar jikalau tanpa Aristoteles
tidak mungkin untuk dapat menjadi seorang teolog. Justru sebaliknya seseorang hanya akan
menjadi seorang teolog apabila ia mengabaikan tulisan-tulisan Aristoteles”. Menariknya
walau bagi kedua tokoh ini filsafat tidak cocok untuk digunakan dalam teologi tetapi
keduanya justru tidak dapat lepas dari penggunaan filsafat didalam tulisan-tulisan teologis
mereka sendiri seperti contohnya didalam pembentukan doktrin kristologi dan Allah
Tritunggal menggunakan konsep persona dan substansia yang merupakan bentuk dari
pemikiran filsafat. Demikian juga Luther didalam memakai teori kausalitas dari filsafat
Aristoteles dalam teologinya.
Melalui tulisan ini kita bisa melihat kedekatan yang tidak dapat terhindarkan kalau
tidak mau dikatakan tidak terpisahkanya antara filsafat dengan teologi baik disadari maupun
tidak disadari dan baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Rasul Paulus sendiri yang
pernah hidup didalam kebudayaan yunani yang kuat dengan filsafatnya seperti kaum Stoa
telah memberikan peringatkan agar kita tidak tertawan kedalam filsafat yang kosong. Ini
sebenarnya tidak perlu dimaknai sebagai bentuk penolakan total rasul Paulus terhadap
keseluruhan bentuk filsafat tetapi peringatanya terhadap filsafat yang hanya dari hasil
pemikiran manusia belaka yang tidak berdasarkan ataupun mendapat dukungan kitab suci
apalagi bertentangan dengan Kristus maupun iman Kristen.
Para teolog Kristen yang menggunakan filsafat dalam berteologi seperti Aquinas dan
Calvin menyadari akan pentingnya kehati-hatian penggunaan filsafat secara bijaksana dan
terukur, artinya harus dengan memahami akan batasan-batasan penggunaanya didalam
teologi Kristen agar tidak menyalahgunakan filsafat. Secara tegas mereka menolak segala
bentuk pemikiran manusia yang semata-mata lahir dair tradisi-tradisi dan hasil pemikiran
manusia yang tidak sejalan dengan Kristus. Calvin menambahkan bahwa filsafat hanyalah
sebagai “persuasive speech” yang dapat menarik perhatian pemikiran manusia melalui
argumentasi yang rasional atau masuk akal dan cantik atau elegan. Jadi ini adalah bentuk
disiplin ilmu yang netral tergantung batasan penggunaanya.
Demikian juga dengan Thomas Aquinas dalam membangun teologinya dengan
menghindari dua kubu ekstrim yaitu penolakan filsafat secara keseluruhan karena hasil
kesimpulan dari filsafat dapat bertentangan dengan hasil kesimpulan dari teologi sehingga
keduanya tidak mungkin sejalan maupun sebaliknya karena baginya seluruh kebenaran
berasal dari satu sumber yaitu Allah sendiri. Maka kebenaran dalam filsafat seharusnya tidak
dapat bertentangan dengan kebenaran dalam teologi, jika bertentangan maka filsafat harus
ditundukkan kebawah terang teologi sehingga filsafat harus tunduk dibawah terang dari iman.
Menyadari akan bahaya-bahaya untuk jatuh kedalam sisi gelap ekstrim dari filsafat ini
maka Aquinas tanpa membuang filsafat begitu saja tetapi membedakan berdasarkan hakekat
dan ruang lingkup penggunaanya karena filsafat dan teologi itu seperti halnya akal dan
wahyu keduanya tidak bertentangan kalau masing-masing hekekatnya dapat dimengerti
dengan tepat. Ia dapat menerima bahwa sumber kebenaran hanya satu, tetapi cara untuk
manusia mencapai kebenaran pengetahuan melalui bentuk yang bermacam-macam dimana
salah satunya melaui proses berpikir (filsafat) dan juga yang terutama melalui tuntutan wahyu
(teologi). Sejauh akal budi dapat ditempatkan sesuai dengan tempat dan kapasitasnya baik itu
filsafat maupun ilmu pengetahuan lainya dapat dimanfaatkan kedalam teologi.
Saya setuju dengan kesimpulan penulis bahwa masing-masing disiplin ilmu itu
sesungguhnya dapat memberikan sumbangsih tersendiri dalam batasan tertentu terhadap
teologi, tetapi tentunya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada batasanya seperti
didalam penggunaan filsafat dalam teologi untuk memahami keberadaan Allah yang diluar
jangkauan filsafat dan daya nalar manusia. Kita menerima Allah Tritunggal sesuai
keterbatasan kapasitas akal kita, tetapi kita tidak mendasarkan pemahaman kita tentang Allah
Tritunggal pada akal budi kita semata melainkan pada wahyu Allah.