MATA KULIAH :
PENGANTAR HERMENEUTIKA BIBLIKA
DOSEN PENGAJAR :
Dr. RIVAY PALEMPUNG, M.TH
DISUSUN OLEH :
GIVELORD RUMENGAN (202341335)
JOVITHA PELEALU(202341583)
SOVIOS WAHANI (202341452)
GRATIA MANGALEHE (202341364)
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus
Kristus yang selalu memberikan hikmat dan kekuatan serta anugerah kepada kami
sehingga, oleh karena berkat dan tuntunan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas
ini mengenai Narasi , Puisi , Hikmat , Nubuat dalam memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Hermeneutika Biblika oleh Dosen Mata Kuliah Pdt. Dr Rivay
Palempung,M.Th
Kami sangat mengucap syukur kepada Tuhan Yesus karena, tugas ini
dapat dibuat dengan tepat waktu. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan baik dalam pengetikan dan tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami menerima setiap masukan, kritikan dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan wawasan dan pengetahuan yang baru kepada pembaca. Tuhan Yesus
Memberkati.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN MASALAH
BAB II
ISI
2.1. NARASI
2.2. PUISI
2.3. HIKMAT
2.4. NUBUAT
BAB III
3.1. KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan menggali Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat ini secara lebih
mendalam, kita dapat memperluas pandangan kita tentang spiritualitas dan
keagamaan, serta memperkaya diskusi tentang pluralisme agama, dialog
antaragama, dan tantangan etis dan moral kontemporer. Melalui pembahasan yang
mendalam tentang Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat, kita diharapkan dapat
memperdalam proses penafsiran Alkitab, guna lebih mengerti makna dan
tujuannya.
2.1. NARASI
Premis utama dari kritik narasi adalah bahwa narasi Alkitab merupakan
"seni" atau “puisi," dan karena itu berpusat pada seni sastra dari seorang penulis.
Pada umumnya orang mengetahui bahwa narasi Alkitab mengandung sejarah dan
theologi, saya ingin menambahkan bahwa keduanya dipersatu kan melalul suatu
format "cerita,"3 Dasar historis untuk cerita sangat pen ting, namun realisasi dari
cerita di dalam teks merupakan objek aktual dart penafstran. Meskipun saya
meyakint latar belakang sangat penting dalam studi Alkitab namun latar belakang
harus dikontrol oleh teks dan bukan se baliknya (lihat bab 5). Tugas kita adalah
mendapatkan makna dari suatu teks historis-theologis dalam narasi Alkitab, bukan
merekonstruksi peristiwa aslinya.
Ada empat aspek untuk mempelajari narasi Alkitab (Perjanjian Lama atau
Perjanjian Baru) - kritik sumber, bentuk, redaksi dan narasi. Ini bukan hanya
empat aliran kritik namun lebih merupakan empat sudut pandang yang digunakan
untuk menaksir teks. Setlap aspek menambah nuansa secara sig nifikan yang
mempertajam pemahaman mengenal bagaimana teks itu di hasilkan dan apa
maknanya. Dalam bab int kita memusatkan diri pada kritik narasi, namun penting
juga untuk memahami bagaimana keempat aspek inl saling terkait, oleh karena itu
tiga aspek awal akan diberi rangkuman singkat.
1. Kritik Sunber.
2. Kritik Bentuk.
3. Kritik Redakst
Kritik redaksi dimulai pada akhir tahun 1950-an daii tiga orang murid
Bultmann - Günther Bornkamm (Matius), Willi Marxsen (Markus) dan Hans
Conzelmann (Lukas), terutama berkenaan dengan pandaugan kritik bentuk yang
tidak orisinii. Aliran ini yakin Kitab-kitab Injil merupakan hasil dari suatu
komposisi dan sepenuhnya karya sastra ketim bang suatu kompilasi buatan.
Kuncinya adalah melihat cara redaktur (editor) menggunakan sumber-sumbernya
dan kemudian menentukan tujuan theolo gls di balik perubahan-perubahan itu.
Bagi yang memegang prioritas Markus, ini lebih memudahkan bagi Matius dan
Lukas, karena kita tidak tahu sumber-sumber dari Markus atau Yohanes. Untuk
Injil Markus (dan ini juga berlaku bagi Yohanes), Stein (2001:349-51)
menyarankan untuk memper hatikan yang berikut ini: bagian-bagian peralihan,
penempatan-penempatan, penataan bahan, pengantar-pengantar, kosakata,
sebutan-sebutan Kris tologis, modifikasi bahan, pemakalan atau pemotongan
bahan oleh Markus, dan kesimpulannya. Kita mencari penambahan (misalnya,
Mat. 14:22-23 melakukan penambahan pada kisah Yesus berjalan di atas air dari
Markus (6:45-52) atau pemotongan (dalam hampir semua episode, Matius lebih
pendek dari Markus), perubahan lokasi (misalnya, peristiwa Beelzebul dalam
Mrk. 3:22-27; Mat. 12:22-30; Luk. 11:14-23), atau mengubah suatu cerita
(misalnya, Mat. 19:17 menghindari implikasi dari Mrk. 10:18, "Mengapa
kaukatakan Aku baik?"). Siswa akan menanyakan mengapa perubahan perubahan
itu dibuat dan implikasi theologis apakah yang ada. Dalam tahun 1970-an, kritik
redaksi beralih menjadi "kritik komposisi," memandang kese luruhan kitab, bukan
hanya perubahan-perubahannya, sebagai dasar dari theologinya (lihat Osborne
2001b:128-49; Wenham dan Walton 2001:74-79). Dari sini, studi redaksional
telah beralih ke wilayah pendekatan narasi, dan saya yakin metode yang paling
baik untuk mempelajari narasi Alkitab adalah dengan menggabungkan keduanya
(lihat kesimpulan bab ini).
Metode dasar yang kita gunakan untuk mempelajari narasi Alkitab adalah
sederhana: kita diminta untuk membaca narasi-narasi tersebut! Pada umumnya
kita mengenal Injil atau sejarah Perjanjian Lama sebagai cerita cerita yang
terpisah. Kita jarang duduk dan hanya membaca cerita-cerita itu untuk mengetahul
drama dan kekuatan dari cerita-cerita itu tatkala mereka menyatu bersama
membentuk panorama yang utuh. Kritik sastra telah me ngembangkan teknik-
teknik yang akan sangat menolong kita untuk me lakukan suatu “pembacaan yang
teliti" atas suatu teks dan memperhatikan fitur-fitur tertentu seperti ketegangan
plot dan karakter, sudut pandang, dia log, latar dan waktu narasi, yang semuanya
memampukan pembaca untuk mendeteksi alur dari teks dan oleh karena itu
melihat tangan Allah sewaktu Ia menginspirasi penulis Alkitab untuk
mengembangkan ceritanya. Seperti nya hermeneutika Injili menekankan maksud
penulis atas setiap kitab dari Alkitab kecuali porsi-porsi narası. Kita lupa bahwa
masing-masing kitab Injil dikembangkan secara berbeda dan harus dipelajari
tersendiri sebagal suatu keutuhan tunggal untuk memahami pesan-pesan kitab-
kitab Injil yang telah dilnspirasikan tersebut.
Tidak seorang pembaca pun yang melihat penulis asli di daiam suatu teks.
Malahan, seperti yang ditunjukkan oleh Peter Juhl, kita mengetahui penulis hanya
sejauh ia mengungkapkan dirinya di dalam suatu teks (1980). Perspektif ini
menolong kita untuk mengatasi kecenderungan mempsikologikan teks dengan
tujuan menemukan penulisnya seperti yang dilakukan Friedrich Schleiermacher
dan William Dilthey. Penulis tidak hadir namun telah menciptakan pribadi dirinya
di dalam teks (penulis tersirat), dan kita mempelajari teks, bukan penulisnya.
Dengan kata lain, kita tidak mempelajari penulisnya melalnkan pesan yang
dimaksudkan penulis itu. Di sana kita melihat perhatian, nilai dan perspektif
theologis yang dipilih oleh penulis asli untuk ditekankan dalam suatu teks. Dalam
beberapa cerita kita perlu memisahkan penulis tersirat dari na rator; misalnya,
ketika dalam cerita tersebut ada satu narator khusus. Akan tetapi, ini jarang ada di
dalam Alkitab (suatu pengecualian mungkin bagian "kami" dalam Kisah Para
Rasull, maka di sini saya menggabungkan kedua aspek tersebut [penulis tersirat
dan narator- ed.J. Narator adalah pembicara yang tidak kelihatan di dalam teks,
khususnya kedengaran di dalam baglan editorial. Narator memberitahukan kepada
kita suatu cerita dan adakalanya menafsirkan signifikansinya. Misalnya, dalam
Kisah Para Rasul narator terus menerus memberitahukan kepada kita tentang
keberhasilan Injil melalui karya Roh Kudus dalam jemaat, walaupun banyak
masalah dan halangan yang dihadapi umat Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:47; 6:7;
9:31; 12:24). Narator jugalah yang melantunkan prolog puitis yang luar biasa pada
Injil Yohanes (Yoh. 1:1-18).
2. Sudut pandang
Sudut pandang adalah perspektif yang diambil oleh tokoh-tokoh dan aspek
yang ada dalam suatu narasi. Sudut pandang umumnya dikaitkan dengan narator
yang berin teraksi dengan tindakan dalam cerita dengan beragam cara sehingga
imeng hasilkan dampak yang harus dimiliki oleh cerita itu atas pembaca. Dengan
kata lain sudut pandang menunjuk kepada daya atau signifikansi dari suatu cerita.
Setiap penulis memiliki pesan tertentu yang ingin la sainpaíkan ke pada pembaca,
dan ini juga berlaku dalam narasi Alkitab. Sudut pandang menuntun pembaca
kepada signifikansi dari suatu cerita dan menentukan "bentuk" sebenarnya yang
diberikan penulis pada suatu narasi. Faktanya, seperti yang ditunjukkan oleh
Berlin, suatu cerita biasanya memiliki banyak perspektif karena narator Alkitab,
seperti kamera dalam film, membidik ke satu aspek lalu ke aspek lain dalam
mengembangkan plot, dengan itu me nuntun pembaca dalam beberapa pengarahan
makna pada saat yang sama (1983:43-55). Para ahli mengenali lima area tempat
sudut pandang ber operasi.8
3. Perspektf ruang dari para narator Alkitab sifatnya "mahahadir": artinya, mereka
memiliki kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara
bebas dan mampu mengaitkan suatu cerita dari berbagai sudut pandang. Dalam
cerita mujizat Yesus berjalan di atas air, narator hadir bersama para murid di
dalam perahu dan bersama dengan Yesus seca ra bersamaan (Mrk. 6:48;
perhatikan "Ia hendak melewati mereka"). Hasilnya adalah kemampuan untuk
menuntun pembaca melihat cerita secara lebih dalam dari yang biasanya. Dalam
cerita mencari istri bagi Ishak (Kej. 24) pembacanya dialihkan dari tempat asing
(Kanaan) ke tempat pengujian (ru mah Abraham sebelumnya), di sana suatu
tindakan ramah yang mengejut kan menuntun hamba itu kepada Ribka. Pembaca
memiliki pengharapan di sepanjang narasi mengikuti perpindahan geografis dalam
cerita itu.
4. Terkait erat dengan perspektif ruang adalah perspektif waktu, yang dapat
mempertimbangkan suatu tindakan dari dalam cerita (dari sudut pandang masa
kini) atau dari masa mendatang, Pada waktu panggilan atas Yeremia terjadi (Yer.
1:4-19) suara Allah menjangkau masa lalu (ay. 5) dan masa mendatang (ay. 7-10)
dalam menubuatkan signifikansi Yeremia bagi rencana ilahi. Pada sisi lain, Kitab
Yeremia ditulis dalam gaya bicara orang pertama dan menunjukkan pengetahuan
yang terbatas tentang peristiwa peristiwa dan masa mendatang. Ketika tiba berita
tentang kehancuran Yeru salem, Nehemia menangis (Neh. 1:2-4). Maka pembaca
dibuat menjadi ba gian dari cerita tersebut dan kemudian merasakan drama itu
secara berbeda ketika perspektif ilahi yang dipakal. 5. Sudut pandang frasaologis
berhubungan dengan dialog atau ucapan dalam suatu narasi. Di sini kita sekali lagi
melihat kemahatahuan dari penulis. Pembacanya sanggup mendengar dialog yang
tidak akan pernah bi sa didengarnya di dalam dunia normal, misalnya, percakapan
pribadi antara Haman dan istrinya dan teman-temannya (Est. 5:12-14) atau dialog
pribadi antara Festus dan Agripa berkenaan dengan ketidakbersalahan Paulus
(Kis. 26:31-32). Dalam kasus-kasus seperti ini, interaksi menjadi pokok penting
dalam suatu narasi, dan pembaca diberi informasi dari dalam yang berharga yang
mengarah kepada pelajaran-pelajaran dramatis dan theologis.
3. Narast dan waktu narasi. Ini berkenaan dengan urutan peristiwa peristiwa di
dalam cerita dan bagaimana mereka saling berkaitan. Waktu narasi berbeda dari
kronologi karena waktu narasi berkaltan dengan penata an sastra bukan urutan
historis. Konsep ini sangat penting ketika mempela fari sejarah kuno karena bagi
penulis sejarah pada waktu itu, urutan historis tidak sepenting gambaran dramatis.
Ini dapat ditunjukkan dengan sangat baik melalui membandingkan keempat kitab
Injil. Sinoptik (Matlus, Markus,Lukas) memberikan kesan bahwa Yesus terlibat
dalam pelayanan satu ta hun, sementara Yohanes menceritakan suatu pelayanan
dua tahun. Alasan nya adalah Yohanes menceritakan tiga perayaan Paskah (Yoh.
2:13; 6:4: 11:55) sementara Injil Sinoptik menyebut hanya Paskah pada waktu
penya liban. Di sini terlihat dengan jelas bahwa tidak ada usaha untuk menyajikan
pesan secara kronologis, dan para penulis kitab Injil lebih memusatkan per
hatiannya kepada signifikansi kehidupan dan pelayanan Yesus (siapa Dia dan juga
pengaruh-Nya pada para murid, orang banyak dan para pemimpin agama) dari
pada hanya sekadar memberikan keterangan mendetail berke naan dengan hidup-
Nya. Bahkan di dalam Matius, Markus, dan Lukas, urutan peristiwanya sangat
berbeda (seperti yang dibuktikan oleh penyelidikan Kitab-kitab Injil). Robert
Stein (2001:352-53) menjelaskan bagaimana peng ertian akan waktu narasi
tersebut dapat menolong: pengertian akan waktu narasi menolong kita untuk
berfokus pada penataan penulis dan tema-tema yang ia kembangkan melalui
urutan tersebut; waktu narasi menghindarkan kita dari usaha untuk
mengharmonisasikan Kitab-kitab Injil menjadi suatu "kehidupan Kristus" yang
kronologis dan terlalu terfokus pada sejarah ke timbang theologi; dan waktu
narasi menolong kita untuk fokus melihat para penulis Kitab Injil sebagai theolog.
4. Plot. Seymour Chatman berbicara mengenai plot, tokoh-tokoh dan latar yang
membentuk cerita itu sendiri (1978:19-27; lihat juga Kingsbury 1986:2-3). Plot
terdiri dari gabungan peristiwa-peristiwa yang berurutan yang mengikuti susunan
sebab-akibat; plot mengarah kepada suatu klmaks dan melibatkan pembaca di
dalam dunia narasi dari suatu cerita. Elemen dasar dari plot adalah konflik dan
setiap narasi Alkitab berpusat pada hal ini- Allah versus Iblis, baik versus jahat,
pemuridan versus pemberontakan. Plot dapat berfungsi pada tingkat makro
(seluruh kitab) atau mikro (suatu perikop tunggal). Misalnya, pada tingkat mikro,
Yohanes 9 berisi suatu drama yang luar biasa yang mengontraskan seorang yang
lahir buta (yang awalnya buta namun mengalami kemajuan ke arah penglihatan
rohani dan jasmani) de ngan orang Farisi (yang mengklaim memiliki pengetahuan
rohani namun berakhir dengan kebutaan),1 Konflik-konflik ini sering kali sangat
rumit karena konflik-konflik tersebut dapat bersifat eksternal dan juga internal
dalam suatu narasi. Ini merupakan kunci bagi cerita Simson. Dia mengang gap
pepcrangannya adalah peperangan eksternal dengan orang Filistin, na mun
sebenarnya peperangannya merupakan konflik internal antara panggil annya untuk
menjadi hakim dan keegoisan dan sensualitas yang semakin nyata dilakukannya.
Ini mengarah kepada konflik dengan Allah dan pada akhirnya mengarah pada
kejatuhannya.
Pada tingkat makro, setiap kitab Injil memiliki plot yang berbeda, walau
pun pada intinya mereka merujuk kepada cerita yang sama. Misalnya, baik Matius
maupun Markus memusatkan perhatian pada pertentangan Yesus dengan para
penguasa sekuler, orang banyak dan para murid. Namun mere ka melakukannya
dengan cara yang cukup berbeda. Markus menekankan apa yang disebut dengan
rahasia mesianis, memperlihatkan bagaimana natur mesias Yesus ditolak oleh dan
disembunyikan dari para pemimpin agama, di salahpahami oleh orang banyak dan
para murid, dan diakui oleh setan-setan. Matius mengakui hal di atas ini dan
semakin menekankan kontras tersebut dengan memperlihatkan adanya suatu
pemahaman yang bertumbuh pada sisi para murid (bdk. Mat. 14:33 dengan Mrk.
6:52). Markus menegaskan kegagalan pemuridan sementara Matius
memperhatikan perbedaan yang dibuat oleh kehadiran Yesus ketika para murid
dimampukan untuk meng atasi ketidakmengertian dan kegagalan mereka. Dunia
narasi yang dihuni oleh Matius dan Markus adalah sama - datangnya kerajaan atau
pemerin tahan Allah di dalam sejarah. Namun, plot dan detail dari penekanannya
masing-masing sangat berbeda.
Dalam hal ini ada satu perbedaan antara narasi Kitab-kitab Injil dan
Perjanjian Lama. Di dalam Kitab-kitab Injil, alurnya lebih sederhana, dan baik
para penguasa maupun para murid dapat dikelompokkan untuk mem periihatkan
karakteristik utamanya. Di dalam Perjanjian Lama, tokoh utama (Musa, Daud,
Salomo, Elia) lebih dinamis dan adakalanya berubah secara drastis. Daud beralih
dari berani dan beriman menjadi egois, dan Elia dari berkuasa menjadi ketakutan.
Dalam setiap kasus, persepsi pembaca berubah mengikuti para tokoh seiring
narasi dan dialognya memperluas cakrawala pembaca.
6. Latar.
Latar suatu cerita, teknik narasi tingkat ketiga dari Chartman, dapat
bersifat geografis, waktu, sosial atau historis. Latar akan menyediakan konteks
dasar di mana plot dan tokoh berkembang. Seperti yang dikatakan oleh David
Rhoads dan Donald Michie, latar memiliki banyak fungsi: "men ciptakan suasana,
menentukan konflik, menyingkapkan watak-watak para tokoh yang harus
menghadapi masalah atau ancaman yang disebabkan oleh suatu latar, menawarkan
tafsiran (kadang kala ironis) mengenai suatu tin dakan, dan menimbulkan asosiasi
dan nuansa makna yang ada di dalam bu daya dari para pembaca" (1982:63).
Contoh mengenai penggunaan latar geo grafis adalah perjalanan ke Emaus dari
Lukas 24. Seluruh cerita itu ditata dalam suatu kerangka kerja geografis, dengan
dua murid meninggalkan Ye rusalem dalam kekecewaan, bertemu dengan Tuhan
yang telah bangkit, kemudian kembali ke Yerusalem dalam kemenangan.
Latar waktu sama pentingnya. Tiga Paskah dalam Yohanes 2:13, 6:4 dan
11:55 membentuk suatu kerangka waktu bagi seluruh pelayanan Yesus. Dalam
pengertian yang luas rangkafan sejarah keselamatan dari semua kitab Injil adalah
suatu latar waktu. Ada waktu Israel, waktu Yesus, dan waktu gere ja. Yesus
mendasarkan wahyu-Nya yang baru, Taurat mengenai Mesias, pada wahyu yang
dahulu dari Allah kepada Israel; Ia memberitakan waktu penggenapan kerajaan
Allah yang akan dan sedang tiba pada masa kini, dan la mempersiapkan rencana
keselamatan Allah yang sedang berlangsung bag gereja di masa yang akan datang
Latar sosial juga dapat mengomunikasikan suatu pesan yang kuat. Perhatikan
tema Injil Lukas mengenai Persekutuan Meja. Sejumlah besar adegan terjadi
dalam latar-latar perjamuan makan, dengan tiga aspek yang berbeda: soteriologi,
melambangkan pengampunan dan penerimaan Allah atas orang-orang berdosa
(Luk. 5:27-32: 15:1-32; 19:1-28); sosial, dengan pesan dari Allah memasuki arena
sosial dan memandikannya di dalam terang yang ajaib dari Allah (Luk. 14:7-24:
22:31-32); dan perintah misi, dimana Yesus menggunakan latar persekutuannya
untuk mengajar para pengikut-Nya tentang tujuan dan misi-Nya yang sejati (Luk.
9:10-17; 22:24-30:24:36-49). Tlap aspek ini dibangun di atas pandangan Yahudi
mengenai perjamuan makan, yang beranggapan bahwa praktik berbagi makanan
itu mencakup berbagi cerita (Osborne 1984:123-24). Terakhir, latar historis
menyediakan sarana penafsiran yang berguna. Ini berlaku dua arah. Latar sejarah
di balik suatu teks (seperti penanggalan atas Yesaya atau Amos) memberitahukan
kepada kila periode sejarah apa kah yang kita terapkan pada mereka. Kita dapat
mengenali secara pasti ma salah-masalah apa yang sedang ditangani oleh Amos
sehingga kita dapat memahami teks tersebut dengan jauh lebih baik. Kedua, latar
sejarah di balik penulisan kitab-kitab dalam Alkitab juga memiliki pengaruh.
Penting untuk diketahui apakah Matius menulis di dalam konteks Yahudi atau non
Yahudi (suatu topik yang sangat diperdebatkan), karena isu-isu seperti ang gapan
anti-Semitisme terhadap Matius sangat dipengaruhi oleh keputusan tersebut.
7. Tafstran Implisit.
Dalam gambar 7.1 (hlm. 235) "tafsiran implisit" menunjuk kepada teknik-teknik
retorika yang digunakan penulis dalam me nyampaikan ceritanya. Dengan
mengunakan ironi, komedi, simbolisme dan sarana-sarana sastra lainnya, penulis
menuntun pembaca melalui drama ceri tanya. Pada bagian ini, saya akan berfokus
pada sarana-sarana satra yang digunakan secara khusus dalam narasi tetapi belum
dibahas secara mendeiail dalam bagian-baglan sebelumnya (hlm. 38-44, 129-41).
Masalah bagi pembaca adalah mengenali dan menafsirkan dengan tepat pesan
yang ada di balik teknik-teknik ini. Namun, mengidentifikasi dan memahami
fungsi dan teknik teknik tersebut merupakan suatu langkah awal. Salah satu
metode yang sering terlihat adalah repetisi. Metode ini begitu penting sehingga
Robert Alter menghabiskan satu bab penuh untuk memba hasnya (1981:88-113,
khususnya 95-96; lihat juga Satterthwaite 1997:125 28). Alter mengidentifikasi
lima tipe: (1) Lettwort atau akar-kata yang seasal dengan suatu akar kata diulang
untuk memberi pengaruh ("pergi, pergilah dan "pulang, pulanglah" dalam Kitab
Rut), (2) motif, repetisi suatu gambaran konkret yang digunakan secara simbolis
(api di dalam cerita Simson atau air terkait tentang Musa), (3) tema, tempat ide
atau nilai tertentu menjadi fokus (ketaatan lawan pemberontakan di dalam
pengembaraan di padang belan tara), (4) suatu urutan aksi, sering kall dalam pola
rangkap tiga (tiga perwira dan anak buah mereka yang diperingatkan tentang
penghancuran yang me nakutkan dalam 2Raj. 1), dan (5) tipe-adegan, peristiwa
menentukan di da lam kehidupan seorang pahlawan yang diulang lebih dari satu
kali (pem berian makan lima ribu orang dan empat ribu orang atau tiga amanat
bagi Paulus untuk melayani bangsa non-Yahudi dalam Kis. 22:21: 23:11; 26:17
18). Satterthwalte menunjuk kepada Hakim-hakim 17-21 di mana adegan anarki
menjadi "tiruan yang buruk dari narasi-narasi sebelumnya": suku Dan yang
menghancurkan Lais merupakan parodi jahat dari penaklukan yang dilakukan
Yosua sebelumnya, di mana suku Dan mengadakan penyembahan berhala
ketimbang menyembah Yahweh; Hakim-hakim 19 melukiskan Israel melakukan
kefasikan yang sama seperti Sodom dan Gomora; penyergapan di Gibea (Hak. 20)
merupakan parodi dari penyergapan Ai, kecuali sekarang ini orang Israel
menyergap orang Israel lainnya. Beberapa kritikus sastra menyatakan bahwa
semua itu murni merupa kan sarana-sarana sastra sementara sebagai bantahan,
banyak orang Injili mengatakan bahwa bentuk kembar di atas itu ada karena
memang terjadi. Akan tetapi, ini merupakan pemikiran yang mengontraskan.
Tidak ada alas an mengapa sejarah dan seni sastra tidak boleh berada
berdampingan. Tidak ada argumen yang bagus, selain preposisi dari kritik bentuk,
untuk me nyangkal otentisitas sejarah dari beragam peristiwa tersebut, namun para
penulis Kitab Suci memasukkan peristiwa-peristiwa tersebut bukan sekadar untuk
alasan sejarah (lebilı banyak peristiwa yang mereka hapus ketimbang yang
mereka masukkan) melainkan bertujuan untuk menjelaskan sesuatu. Adele Berlin
menyatakan bahwa repetisi sering kali digunakan untuk mem perlihatkan
beberapa sudut pandang dari satu cerita; misalnya 2 Samuel 18 menggambarkan
tangisan Daud atas Absalom dari tiga sudut pandang sudut pandangnya sendiri,
Yoab dan seluruh bangsa. Dengan cara ini intensitas kesedihannya diperbesar
(1983:73-79). Teknik utama lalnnya adalah "celah-celah" di dalam suatu narasi.
Ce lah-celah tcrsebut adalah keterangan-keterangan kecil yang sengaja dihapus
oleh penulis untuk memaksa pembaca terlibat di dalam suatu drama. Seper ti yang
Sternberg tunjukkan, hanya tekslah yang mengendalikan proses pengisian-celah
tersebut melalui beberapa sarana seperti keterangan sebe lumnya, perkembangan
plot dan para tokohnya, dan konvensi-konvensi bu daya di balik cerita itu.14
Dengan cara ini pencarian makna merupakan suatu penyelidikan dan proses dari
para pembaca, yang dipaksa untuk terli bat secara lebih dalam kepada dunia
narasi. Sternberg menggunakan cerita Daud dan Batsyeba (2Sam. 11) sebagal
suatu uji kasus (1985:190-219). Penulis tidak menyebut dosa Daud atau
memberitahukan seberapa jauh Uria menyadari kejadian tersebut, dan pem baca
dipaksa untuk menerka dan mengisi keterangan yang hilang. Penulis juga dengan
sengaja menahan diri dari mengatakan alasan Daud memanggil Uria (ay. 6-13),
supaya pembaca memikirkan yang terbaik sampai plot yang mengerikan itu
tersingkap (ay. 14-15). Ini menggandakan ironi dari komen tar Uria yang
kelihatan polos, "Masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur
dengan istriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu. aku takkan melakukan hal
itul" (ay. 11). Pembaca tidak mengetahui apakah Uria sekadar mengungkapkan
kesetiaan kepada Daud atau sedang me nvatakan dengan gamblang bahwa ia tidak
akan membiarkan Daud lepas tangan dari dilema yang dihadapinya karena tidur
dengan istrinya. Melalui celah-celah dalam narasi, ketegangan dipertinggi dan
pembaca merasakan emosi dari teks dalam cara yang lebih kuat.
8. Pembaca tersirat.
Sekilas kategori pembaca tersirat ini seperti salah satu detail akademis,
yang hanya berguna untuk memperkaya kosakata ilmiah. Akan tetapi, kategori ini
merupakan salah satu sarana praktis bagi pembaca biasa. Teori ini didasarkan
pada anggapan bahwa setiap kitab me miliki target kelompok pembaca tertentu.
Pembaca asli sudah tidak tersedia lagi bagi "pembaca masa kini" (orang yang
membaca suatu teks pada masa kini), dan teks hanya menghasilkan "pembaca
terstrat" di balik pesan sebe narnya yang ingin disampaíkan. 15 Pembaca masa
kini diundang oleh teks itu untuk membaca teks tersebut dari sudut pandang para
pembaca tersirat ini dan mengenali masalah-masalah dan berita yang ditujukan
kepada mereka. Proses ini akan menolong para pembaca masa kini untuk menyatu
dengan perasaan-perasaan dan respons-respons yang diindikasikan oleh suatu teks
ketimbang dengan kemungkinan-kemungkinan makna yang mungkin mere ka
masukkan ke dalam teks tersebut,16
Mirip dengan hal di atas, pembacaan yang teliti atas kronologi dari Elia
Elisa (1Raj. 17-2Raj. 13) memperlihatkan banyak kesejajaran yang disengaja
antara Musa dan Mesir. Dalam pengertian ini, mujizat-mujizat dari 1-2 Raja raja
memiliki dua tujuan: untuk menunjukkan kekuasaan Yahweh atas Baal (seperti
tulah-tulah memperlihatkan ketidakberdayaan dewa-dewa Mesir) dan untuk
melukiskan penghakiman Allah atas penyembahan berhala Israel. Melalui semua
narasi ini pembaca tersirat diminta untuk mengandalkan Allah saja dan menolak
penawaran sekularisme. Pembaca modern tidak di minta untuk mengulang
kembali mujizat-mujizat tersebut tetapi untuk meng hidupkan kembali komitmen
iman yang dimaksudkan oleh cerita-cerita ini.
1. Kecenderungan meniadakan sejarah. Seperti yang John Collins amati (lihat c.k.
1 dari bab ini), banyak kritik sastra secara radikal menyangkal ele men sejarah apa
pun dalam membaca suatu teks. Otonomi yang radikal dari teks (lihat ap. 1)
berarti suatu teks bukan hanya dipisahkan dari penulis asli tetapi juga dari
kerangka sejarah tempat teks itu mula-mula ditulis.
2. Membuang penulis
Kritik respons pembaca merupakan tahap yang terakhir dari suatu gerakan
menjauh dari penulls di dalam skema penulis teks-pembaca, yang merupakan inti
dari debat mengenai hermeneutika (lihat ap. 1). Para pendukung aliran ini
umumnya menerima sebagian bentuk dari teori otonomi, bahwa suatu teks
menjadi otonom dari penulisnya setelah teks itu tertulis. Oleh karena itu,
penjabaran makna teks berasal dari pembaca masa kini daripada penulis teks atau
teks itu sendirt,44 Namun dikotomi ini sebenarnya tidak perlu. Seperti yang
Thiselton kemukakan:
Dua sisi - riset eksegetis dan pembacaan yang teliti atas teks- bukanlah
suatu ini-atau-itu melainkan kedua-duanya. Jika tidak mungkin mendeteksi makna
yang dimaksud penulis, para kritikus sastra yang radikal itu tepat, dan kita
menerima hubungan subjektif kita dengan teks. Namun bukan ini kasus nya, jadi
kita harus menilal usaha-usaha untuk memusatkan perhatian pada "teks dan hanya
teks" sebagai hal yang membahayakan dan ekstrem.
8. Kesimpulan
Jelas ada yang setuju dan menolak nilai dari studi sastra atas narasi
Alkitab. Masalah-masalahnya sangat nyata, dan sebagian orang merasa skeptis
tentang adanya nilai yang bertahan di dalam gerakan ini. McKnight bahkan bisa
berkata bahwa "banyak kebaikan dalam kritik sastra telah ditampakkan melalui
kritik redaksi di dalam penekanan-penekanan kritik komposisi'-nya" (1988:50). la
akan menomorduakan kritik sastra di bawah proses kritik tradisi. Saya tidak akan
sejauh itu. Makna dijumpai da lam bentuk final dari teks daripada dalam proses
kritik tradisi, jadi jika ada yang perlu saya menomorduakan, itu adalah kritik
sumber di bawah rubrik yang lebih luas dari analisis sastra. Akan tetapi,
kenyataannya tidak perlu ada "penomorduaan"; semua aspek (kritik historis,
sejarah tata bahasa, sastra) berfungsi bersama dan saling memberi tahu di dalam
proses her meneutika dari pencarian makna suatu teks narasi. Hal yang masih
perlu dilakukan adalah menyediakan prinsip-prinsip hermeneutika untuk menye
lesaikan tugas ini dan mencampur komponen-komponennya bersama sede mikian
rupa sehingga narasi-narasi tersebut menghasilkan sasaran yang dimaksudkannya
di dalam kehidupan pembaca.
TEKS-TEKS NARASI
1. Analisis Struktur.
Kita mulai dengan suatu studi atau pembacaan yang teliti atas teks itu
sendiri, mencari alur narasi dan mendapatkan ide awal dari plot. Pertama, ini
dilakukan pada tingkat makro, memperhatikan perkembangan dari karya itu
sebagai suatu keutuhan. Kemudian kita meng analisis struktur mikro dari masing-
masing perikop atau cerita. Tiap cerita dibagi ke dalam unit-unit "tindakan,"
elemen-elemen atau aksi-aksinya masing-masing, Inl semua dipaparkan untuk
menentukan bagaimana tokoh tokoh itu berinteraksi dan bagaimana konflik
memudar dan mengalir di dalam satu cerita maupun dalam narasi yang lebih besar
tempat ia tercakup. Selanjutnya, kita mempelajari pengaruh dari latar (geografis,
waktu atau sosial) pada alur plot, dan menyatukan semuanya kembali dalam cerita
dalam kerangka perkembangan strukturnya.
2. Analists Gaya
Dalam Matius 28, beberapa sarana dasar digunakan. Misalnya, ada celah
di mana Matius gagal menyediakan suatu gambaran mengenai kebang kitan
namun mengizinkan pembaca menyimpulkannya dari konteks. Kete gangannya
terbentuk tatkala para imam melakukan segala macam cara untuk merintangi
rencana Ailah, namun adegan berlawanan yang mengagumkan yang menunjukkan
kuasa Allah menyebabkan para prajurit yang keras itu gentar dan ketakutan
merupakan drama pada titik terbaiknya. Suatu adegan ironi besar terjadi ketika
para imam dalam keputusasaan mereka terpaksa menyuap para penjaga uniuk
menyampaikan kebohongan yang sebelumnya telah mereka minta agar Pilatus
cegah dalam Matius 27:62-66 (bahwa mayat Yesus telah dicuri). Adegan-adegan
dialog menuntun pembaca utuk merasa kan konflik antara Allah dan umat
manusia ini - persekongkolan yang curang dari para imam, teguran yang tersirat
dari para malaikat, janji-janji yang luar biasa dari Tuhan yang telah bangkit.
Seperti yang Jack Kingsbury katakan. elemen sentral dalam plot Matius adalah
konflik,2 dan itu terlihat jelas pada narasi kebangkitan-Nya. Faktanya, ada
inklusio pada narasi mengenai bayi. yang juga berpusat pada konflik antara
rencana Allah dan persengkongkolan para pemimpin Yahudi dan Herodes untuk
merintangi kehendak ilahi.
studi kritik sumber dan redaksi sangat berharga sebagai pelengkap bagi
studi-studi struktural dan stilistika untuk menentukan penekanan-penekan an yang
khusus. Pada tingkat narasi dan theologis, teknii-teknik redaksio nal memberikan
suatu kontrol terhadap penafstran yang subjektif. Ada dua upe pendekatan, dan
keduanya tergantung pada penggunaan atas sinopsis yang menempatkan Kitab-
kitab Injil ayat demi ayat berdampingan satu de ngan yang lain. Pendekatan
pertama lebih bersifat teknis - suatu analisis komposisi yang mencari cara-cara
penulis menggunakan sumber-sumber nya. Ini menuntut pembandingan kata-
demi-kata dan penggunaan statistik kata untuk menentukan kosakata apa yang
khas Markus dan khas Matius. Pendekatan kedua dari analisis redaksi lebih
berguna bagi mereka yang bu kan speslalis atau ahli. Suatu perbandingan antara
Kitab-kitab Injil akan menolong kita untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan
dasar dan mengenali penambahan-penambahan, penghilangan-penghilangan dan
perluasan-perlu asan yang sangat membantu dalam menentukan penekanan-
penekanan uta ma dalam suatu teks. Perbandingan ini memiliki kriteria-kriteria
eksternal dan internal.
Secara internal, para ahli mencari pola-pola yang berulang dan ungkap an-
ungkapan khas yang penulis gunakan urtuk mengusung beritanya ke pada
pembaca. Struktur sebagai keseluruhan yang berkembang (ketimbang tradisi yang
digunakan oleh penulis) sekarang merupakan fokus dari per hatian. Interaksi dari
banyak subgenre dalam satu bagian (perumpamaan, bahan didaktik, apokaliptik
dalam Percakapan di Bukit Zaitun dari Mar kus)28 merupakan petunjuk-petunjuk
yang berguna bagi konstruksi seni keseluruhan. Pokok-pokok ketegangan yang
logis dan ketidakpastian terten tu dalam narasi juga menuntun pembaca lebih jauh
ke dalam dunia cerita dari teks. Misalnya, penggunaan kesalahpahaman dalam
Injil Yohanes sudah sering diperhatikan.29 Sepanjang Kitab-kitab Injil, Yesus
terus-menerus me nolak menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung
melainkan kelihat annya berbicare melalui kepala seseorang (seperti Nikodemus
dalam Yoh. 3). Kita tidak perlu membaca terlalu jauh sebelum menyadari ini
adalah slasat narasi yang disengaja, bagian dari struktur atas-bawah dari seluruh
Injil. Yesus sergaja berbicara dari sudut pandang sorgawi, sementara para pen
dengar-Nya menanggapi dari perspektif duniawi. Dengan cara ini pembaca
dipaksa untuk mengenali perbedaannya dan membuat suatu pilihan. De ngan kata
lain, teks menggunakan teknik ini untuk menghadapkan pembaca dengan tuntutan
Allah di dalam Yesus. Terakhir, seorang penafsir mempelajari cara penulis
menata materi materinya, memperhatikan bagaimana dia menggunakan sumber-
sumbernya sebagai kontrol untuk melihat dengan lebih jelas berita khusus dari
kese luruhan narasi. Dengan kata lain, kita menggabungkan sumber dan teknik
teknik redaksi dengan kritik narasi, mengizinkan metode-metode ini (ka dangkala
berbeda jauh) untuk berinteraksi dan mengoreksi satu sama lain dalam rangka
untuk memahami cerita dan pesan theologis yang dimaksud oleh penulis.
4. Analisis eksegetik
Data latar belakang juga sangatlah penting bagi riset narasi. Cerita cerita
ini ditulis dalam suatu budaya yang sudah tidak kita kenal; tanpa detail-detail ini
kita hanya dapat menyingkap plot lahirnya namun tidak bisa mencapai
signifikansi-signifikansi batinnya. Tentu saja, aspek-aspek ini ti dak dilakukan
secara terpisah dari studi redaksi; melainkan, ini merupakan bagian dari studi
yang menyeluruh dari suatu narasi, termasuk teknik-teknik narasi, penggunaan
sumber-sumber oleh penulis dan konfigurasi sejarah tata bahasa dari teks tersebut.
5. Analisis theologis.
Pada waktu yang sama, narasi menuntut adanya respons atas drama itu
sendiri, oieh karena itu, kita tidak dapat membacanya tanpa menghidupi kembali
dan menerapkan konflik-konflik dan pelajaran-pelajarannya. Seperti para murid,
kita terkagum dan menyembah Yesus. Bersama Yesus kita tun duk kepada Bapa;
bagi kita pemuridan juga berarti "memikul salib," walau pun seperti banyak murid
Yesus lalnnya, "salib” melibatkan kemartiran kita sendiri. Sebelum ini saya telah
membahas metode di dalam bagian "pembaca tersirat" (lihat hlm. 245-46). Tugas
kita adalah menempatkan diri kita pada posisi pembaca yang dimaksud oleh teks
itu dan mengizinkan cerita itu me nuntun respons kita. Banyak (misalnya,
Robinson 1980:123-24) yang perca ya bahwa khotbah narasi harus menggunakan
kontekstuallsasi tidak langsung ketimbang yang langsung. Ada beberapa
kebenaran di sini karena Kitab-kitab injl jarang mengutarakan pokok-pokok
mereka secara eksplisit. Akan tetapi. jika kita menjadi terlalu tidak langsung,
pesan yang dimaksud menjadi hi lang di dalam lautan subjektivitas. Saya lebih
suka "mengusulkan cara-cara dan sarana-sarana" (lihat hlm. 542-48) dan
menuntun keterlibatan jemaat dengan signifikansi dari cerita itu bagi diri mereka
sendiri.
2.2 PUISI
PADA SAAT Revised Standard Version tahun 1952 terbit barulah pem-
baca Alkitab bahasa Inggris disadarkan mengenai tempat yang tepat dari puisi
Ibrani di dalam kanon Kitab Suci. Versi-versi terjemahan sebelumnya hanya
menempatkan Kitab Mazmur dalam format puisi, tetapi RSV melakukannya
terhadap semua puisi yang ada dalam Alkitab. Ada ba- nyak nyanyian di dalam
kitab-kitab narasi (Kej. 49; Kel. 15:1-18; Ul. 32; 33; Hak. 5; 1Sam. 2:1-10; 2Sam.
1:19-27; 1Raj. 12:16; 2Raj. 19:21-34) dan puisi mengisi seluruh kitab-kitab
nubuat (Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya) demikian
pula sebagian besar dari kitab-kitab lain (Yesaya. Yeremia, Yunus, Zakharia).
Perjanjian Lama memiliki banyak kitab yang ber- isi puisi di luar kitab-kitab yang
sudah dikenal luas seperti Mazmur, Amsal, Ratapan, Kidung Agung atau Ayub.
Oleh karena itu puisi adalah suatu sara- na yang melintasi genre-genre lain,
menjadi suatu teknik retorika yang uta- ma dalam literatur hikmat dan nubuat.
Makna dan theologi dari Kitab Mazmur sangat diperdebatkan sampai saat
ini. Kecenderungan sebagian besar abad ini adalah menempatkan tiap mazmur di
dalam Sitz im Leben (situasi sejarah) yang lebih besar dari kehi- dupan
kepercayaan Israel kuno (seperti William F. Albright dan David Noel Freedman).
Pendekatan diakronis ini menggunakan karya-karya puitis untuk membangun
kembali pola-pola dan pemikiran.-pemikiran penyembahan Israel yang
berkembang. Akan tetapi, orang-orang lain yang mengikuti kritik sastra baru (lihat
apendiks 1), menganggap tiap mazmur sebagai unit yang terpisah dan hanya
mencari dunia seninya sendiri (Alonso-Schokel 1960). Akan teta- pi, mayoritas
ahli menolak untuk memisahkan aspek kolektif (Mazmur seba- gai bagian dari
penyembahan kepercayaan Israel) dan aspek individual (Mazmur sebagai karya
dari penulis tertentu). Keduanya saling bergantung dan harus dipelajari bersama
(lihat Gerstenberger 1985:424-25 dan Brueggemann 1988:ix-x). Kenyataannya,
Gerstenberger membedakan beberapa tahap, yaitu dari individual sampai keluarga
atau suku sampai identitas religius nasional yang berpusat pada Bait Allah
(1988:33-34). Ada mazmur-mazmur individual dan kolektif, dan tiap mazmur
memainkan suatu peran yang agak berbeda di dalam formasi religius dari
kegunaan nyanyian pujian Israel.
Puisi dapat dikenali melalui sajak atau rima dan melalui paralelisme tata
bahasa dan bahasa. Identifikasi melalui sajak dan rima terutama berguna bagi
yang ahli dan tidak terlalu digunakan bagi para pengkhotbah, jadi saya tidak akan
membahasnya. Namun pengetahuan dasar mengenai sajak itu penting dalam
rangka memampukan pembaca un- tuk memperoleh sedikit kepekaan mengenai
puisi Ibrani. Belum ada seorang pun yang telah menemukan formula untuk
mengungkap rahasia dari rima Semitik. Seperti yang Freedman nyatakan, setiap
puisi kelihatannya meng- emban tanda-tanda yang berbeda (1977:90-112). Para
ahli berbeda pendapat dalam menyusun strukturnya, apakah melalui penekanan
atau jumlah suku kata. Keduanya bergantung pada pengetahuan mengenai bahasa
Ibrani dan mengenai fonetik. Unit-unit yang ditekan menunjuk kepada sisi lisan
dari puist dan barisnya dibagi atas dasar suku-suku kata yang ditekankan oleh
pembaca Ibrani tatkala menyanyikan satu ayat. Misalnya, Mazmur 103:10
memberikan penekanan-penekanan berikut: Bukan atas dasar dosa-dosa kita/la
menimpakannya/kepada kita Bukan atas dasar kesalahan-kesalahan kita/lakannya
membalas/kepada kita (Terjemahan penulis) Suku-suku kata adalah unit dasar dari
pengucapan, dan banyak, seperti Freedman, yakin suku-suku kata itu
menyediakan dasar yang lebih akurat dan khusus untuk membentuk suatu puisi.
Misalnya, Mazmur 113 memiliki baris-baris empat belas suku kata yang terbagi
7:7 dan adakalanya 8:6. Namun tidak semua puisi mudah dipilah atas dasar
penataan yang mana pun. Ada terlalu banyak variasi, dan tiap puisi dalam Kitab
Suci harus dipela- jari berdasarkan nilainya. Setidaknya kita dapat mengatakan
bahwa rima me- rupakan tanda-tanda utama untuk mengenali puisi Ibrani. Dengan
menggu- nakan baris-baris penekanan, para ahli membagi mazmur menjadi pola-
pola 2:2, 3:2, 2:3 dan banyak pola lainnya. Pembagian dengan suku-suku kata
telah menghasilkan sejumlah pola, yang terdiri dari sepuluh, dua belas, dan empat
belas baris. Lebih dari itu, baris-baris atau ayat itu dibuat dari dua (seperti Mzm.
103) sampai lima baris ide yang sejajar. Di dalam cara ini akan ada variasi bentuk
yang tidak terhitung, tatkala pola sajak dan paralelisme itu saling terjalin.
Faktanya, banyak ahli yang yakin bahwa kedua sistem itu dapat mewakili tahap-
tahap di dalam perkembangan puisi Ibrani. Meskipun masih spekulatif dan tidak
dapat dibuktikan, fakta yang tetap adalah bahwa pilihan bahasa oleh penyair
sampai suatu tingkat tergantung pada pertim- bangan-pertimbangan sajak. Pada
waktu yang sama, bunyi (mencakup bukan hanya sajak-sajak namun pembacaan
lisan, aliterasi (bunyi awal kata yang samal, onomatope (peniruan kata
berdasarkan bunyi bendal dan sebagainya) sering kali bersifat menentukan di
dalam pilihan dan perangkaian kata-kata di dalam bait-bait dari puisi itu
(Gerstenberger 1985:413-16). Singkat kata, seorang penafsir tidak berani
mengenakan lebih banyak makna kepada istilah-istilah individual dari yang
diizinkan oleh keseluruhan mazmur. Studi-studi kata tidaklah menentukan di
dalam mazmur seperti da- lam epistel-epistel Perjanjian Baru, dan maknanya lebih
dihasilkan oleh ke- seluruhan ketimbang oleh bagian-bagiannya. Karena semua
alasan ini, kita harus memfokuskan perhatian lebih kepada paralelisme ketimbang
kepada sajak-sajak.
Empat baris yang awal membangun satu di atas yang lainnya seperti
tangga menuju suatu klimaks terakhir dalam baris-baris sejajar dari ayat 5. Otto
Kaiser berbicara mengenai suatu jenis khusus dari paralelisme klimaks yang baris
keduanya mengulang kata kunci dari baris yang pertama kemu- dian menambah
pemikiran yang bersifat klimaks (1975:322). Sebagai contoh. Mazmur 29:1-2:
Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi, kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan
kekuatan! Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya. sujudlah kepada
TUHAN dengan berhiaskan kekudusan!
4. Paralelisme antitesis membalikkan penekanan dari yang lainnya dan merupakan
yang ketiga dari tipe-tipe utama (bersama sinonimi dan sintesis). Bukannya
membangun (menambahkan) suatu ide, baris kedua dikontraskan dengan yang
pertama. Akan tetapi, itu tetap membentuk paralelisme, karena baris kedua
menyatakan kembali ide yang pertama dengan menegaskan ke- balikannya.
Misalnya, Amsal 3:1 berbunyi, Hai anakku, janganlah kamu mengabaikan
ajaranku. dan biarlah hatimu memelihara perintahku. Kedua unit itu menyatakan
ide yang sama namun dalam cara yang ber- lawanan. Bagaimanapun, di dalam
kasus lain, antitesisnya memiliki elemen dari paralelisme sintetis yang baris
keduanya menambah penjelasan lebih lan- jut; misalnya, Mazmur 20:8
mengatakan: Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda,
tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita. Baris pertama
memberitahukan apa yang tidak boleh diandalkan dan yang baris kedua
memberitahukan yang harus diandalkan. Perhatikan juga Amsal 1:7: Takut akan
TUHAN adalah pemula pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan
mendidik. Orang bijak dan orang bodoh menyediakan kontras utama di dalam ki-
tab ini, namun ada perkembangan yang jelas dari "takut akan TUHAN" (baris
satu) menuju "hikmat" (baris dua). Ini disejajarkan dengan kontras orang benar
lawan orang fasik, seperti dalam Amsal 3:33: Kutuk TUHAN ada di dalam rumah
orang fasik, tetapi tempat kediaman orang benar-benar mempengaruhinya. itu
sendiri berbicara mengenai kekalahan militer yang meremukkan (lihat ay 10-17)
dan mazmur ini merangkumkan kekalahan tersebut dalam bagian yang
menyatakan ketidakbersalahan Israel di hadapan Allah (ay, 18-23). Sementara
kekalahan tersebut besar, metafora seperti "tempat serigala" dan "domba
sembelihan" (ay. 23) membentuk pembuktian puisi yang melukiskan per-
musuhan yang tiada henti dan penderitaan yang Israel alami dari tetangga-
tetangganya yang bermusuhan.
RAGAM-RAGAM PUISI
1. Nyanyian-nyanyian perannya
Nyanyian perang merupakan salah satu bentuk yang paling awal dari puisi.
Panggilan perang dalam Keluaran 17:16 dan pekik perang dari Hakim-hakim
7:18. 20 (dan mungkin dari Bil. 10:35- 36), menurut banyak ahli, memiliki nada-
nada puisi. Bagian yang paling ter- kenal adalah nyanyian-nyanyian kemenangan
Musa (Kel. 15:1-18) dan Debora (Hak. 5); perhatikan juga nyanyian kemenangan
atas Moab dalam Bilangan 21:27-30 dan teriakan singkat berkenaan dengan
kemampuan militer Daud dalam 1 Samuel 18:7, 21:11 dan 29:5 ("Saul
mengalahkan beribu-ribu musuh. tetapi Daud berlaksa-laksa"). Sementara dalam
kasus yang akhir ketergan- tungan pada Allah tidak ditegaskan, hampir semua
bagian yang lainnya se- cara meriah bersandar pada tangan Allah yang diulurkan
untuk melawan musuh-musuh Israel. Kemuliaan adalah milik Yahweh, yang
berbagi jarahan dan kehormatan dengan umat-Nya.
2. Kidung-kidung cinta.
3. Ratapan.
Ratapan merupakan tipe yang paling umum dari mazmur. Ada lebih dari
enam puluh ratapan dijumpai dalam mazmur. Ini mencakup ratapan yang
individual (seperti Mazmur 3; 5-7; 13; 17; 22; 25-28: 31: 38-40: 42-43: 51: 54-57;
69-71; 120; 139: 142) maupun yang kolektif (seperti Maz- mur 9; 12; 44: 58; 60;
74; 79-80: 94; 137) tempat seseorang atau bangsa me- neriakkan penderitaannya
kepada Allah. Daud mengucapkan dua ratapan di luar mazmur-mazmur itu, untuk
Saul dan Yonatan (2Sam. 1:17-27) dan un- tuk Abner (2Sam. 3:33-34). Himne-
himne seperti ini menyatakan situasi yang menderita dan memohon kepada Allah
untuk pertolongan.
John Hayes mencatat tujuh tema umum di dalam struktur mazmur ratapan
(1976:58-59) juga Waltke 1997:1103-7): (1) disampaikan kepada Allah (seperti
seruan tentang pengabaian yang diungkapkan dalam Mazmur 22:2. "Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?") sering kali disertai pengakuan
iman ("Pada-Mu, ya TUHAN, aku berlindung. janganlah sekali-kali aku mendapat
malu" [Mzm. 71:1]); (2) gambaran mengenai pende- ritaan, sering kali sangat
figuratif ("Aku terbaring di tengah-tengah singa/yang giginya laksana tombak dan
panah (Mzm. 57:51), adakalanya dikemukakan sebagai perhatian berkenaan
dengan dirinya sendiri ("Aku tenggelam ke dalam rawa yang dalam [Mzm. 69:3])
atau bahkan sebagai suatu keluhan kepada Allah ("Namun Engkau telah
membuang kami dan membiarkan kami kena umpat (Mzm. 44:10]); (3)
pemohonan untuk penebusan, untuk pelepasan ('Bangkitlah. TUHAN! / Tolonglah
aku, ya Allahku!" (Mzm. 3:8a) dan untuk mengalahkan musuh-musuhnya
("Engkau telah memukul rahang semua musuhku, dan mematahkan gigi orang-
orang fasik (Mzm. 3:8b)); (4) pernyataan yakin atau bersandar dalam Yahweh
"Engkau. TUHAN, yang akan menepatinya / Engkau akan menjaga kami
senantiasa terhadap angkatan ini"[Mzm. 12:8]); (5) pengakuan dosa ("ampunilah
kesalahanku, sebab besar kesalahan itu" (Mzm. 25:11b]) atau penegasan
ketidakbersalahan ("Engkau menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui
sesuatu kejahatan /aku telah menjaga diriku / terhadap jalan orang-orang yang
melakukan kekerasan /... kakiku tidak goyang" (Mzm. 17:3b-5]): (6) suatu
sumpah atau Ikrar untuk melakukan hal-hal tertentu jika Allah mengabulkan
permohonannya ("Nazarku kepada-Mu, ya Allah, akan kulaksanakan: / korban
syukue akan kubayar kepada-Mu" (Mzm. 56:13]), sering kali melibatkan suatu
pengingatan kepada Allah tentang komitmen kovenan-Nya ("Ingatiah... ya
TUHAN [Mzm. 74:18]); (7) kesimpulan, yang dapat berupa pujian (Tinggikanlah
diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! / Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh
bumi" (Mzm. 57:12]) atau pernyataan ulang mengenai permohonan ("Ya
TUHAN, Allah semesta alam, pulihkanlah kami; / buatlah wajah-Mu bersinar, /
maka kami akan selamat [Mzm. 80:20]). Jarang ada mazmur yang berisi semua
elemen ini. Akan tetapi, semua ini memang bentuk dasar dari suatu ratapan yang
mendasar.
Nilai dari mazmur-mazmur seperti ini bagi setiap orang percaya sudah
jelas. Entah seseorang itu sedang sakit (Mzm. 6; 13; 31; 38; 39; 88; 102), di-
taklukkan oleh musuh-musuh (3; 9; 10; 13; 35; 52-57; 62; 69; 86; 109; 120; 139)
atau sadar akan dosa (25; 38; 39; 41: 51), mazmur-mazmur ratapan ti- dak hanya
menawarkan penguatan namun model-model untuk doa. Banyak yang menyatakan
bahwa kita harus menaikkan doa-doa mazmur itu secara langsung: saya setuju
namun lebih suka bermeditasi, mengontekstualisas!- kan dan menyanyikan
mazmur-mazmur ini seperti mencerminkan situasi saya sendiri.
4. Himne atau nyanyian pujian. Himne atau nyanyian pujian merupakan yang
paling dekat kepada penyembahan yang murni dari setiap tipe pulsi Alkitab mana
pun. Puisi-puisi seperti ini bukan dihasilkan dari kesedihan atau kekurangan
melainkan langsung merayakan sukacita atas penyembah- an terhadap Yahweh.
Ini merupakan pengingat yang penting mengenai tuju- an sebenarnya dari
kehidupan Kristen seperti yang diungkapkan dalam Peng- akuan Westminster,
yang mengatakan bahwa tujuan dari manusia adalah untuk memuliakan Allah dan
menikmati dia selama-lamanya." Hampir se- mua himne berisi struktur yang
sama: berseru kepada Yahweh (TUHAN. Engkau menyelidiki aku / dan mengenal
aku (Mzm 139:18. seruan untuk menyembah Aku mau bersyukur kepada TUHAN
dengan segnaphat [Mrm. 111:10, suatu klausa motivasi memuji Yalrweh dari
memberikan sla san untuk menyembah, sering kali berpusat pada atribut atribut
dan pe buatan perbuatan Allah Agung dan semarak pekerjaari Nya [Mom 1113
dan suatu kesimpulan yang mengulang seruan untuk memuji, sering kall dengan
serangkaian berkat ("Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya [Mrm.
111:10). Fee dan Stuart mencatat tiga tipe khusus dari himne (2003:21) Yahweh
dipuji sebagai Pencipta (Mzm. 8: 19: 104; 148), sebagai pelindung dan pembela
Israel (Mzm. 66; 100: 111: 114: 149) dan sebagai TUHAN atas sejarah (Mzn 33:
103: 113: 117: 145-47). Beberapa himne lebih mendetail berkenaan de ngan Allah
sebagai pengendali sejarah dengan merangkum peristiwa-peristiwa penyelamatan
besar di dalam kehidupan Israel (Mzm. 78: 105-106: 135-136 Mazmur mazmur
ini merangkum banyak kegagalan Israel dan mengetrus kan kegagalan itu dengan
kesetiaan Allah, mengimbau bangsa itu untuk mem- perbarui janji kovenan
mereka. Himne seperti ini dinyanyikan pada waktu perayaan hari-hari raya
menuai, pada perjalanan ziarah ke bait Allah (Mmm. 84: 87: 122: 1321. setelah
kemenangan militer (Mzm. 68; 1Mak. 4-5) dan pada perayaan-perayaan khusus
untuk bersukacita. Mazmur-marmar Hallel (Mzm. 113-118) membentuk satu
bagian khusus mengenai perayaan Perja muan Paskah dan juga merupakan satu
bagian yang lazim bagi pelayanan di sinagog. Perkembangan dari mazmur-
mazmur ini dari belas kasih lahi atas orang-orang yang tertindas (Mzm. 113)
menuju kuasa penebusan-Nya (Mam. 114) dan pertolongan bagi Israel (Mzm.
115) sampai pujian dan ucapan syru kur Israel kepada Yahweh (Mzm. 116-118)
memberikan suatu pengalaman penyembahan yang segar dan bermakna bagt masa
kini sama seperti kecika mazmur-mazmur ini awalnya ditulis dan dinyanyikan.
Lebih khusus dari himne atau nyanyian poli an, himne ucapan syukur
berterima kasih kepada Allah atas jawaban-Nya kepada doa-doa khusus. Dapat
kita katakan bahwa himne himne ini mem bentuk bagian "sebelum" dan "setelah
dari iman religius, dengan ratapan menempatkan masalah ke hadapan Allah dan
ucapan syukur memajt Dis atas tanggapan-Nya. Seperti pada ratapan, himne
ucapan syukur dipilah ke dalam pengungkapan individual (Mzm. 18; 30; 32; 34;
40: 66: 92: 103: 116 118: 138) dan kolektif (Mzm. 65; 67; 75: 107: 124: 136). Di
dalam kehidupan umat itu, himne himne ini akan dinyanyikan setelah Allah
melepaskan mere- ka dari bencana yang menyebabkan mereka meratap. Ini seperti
bentuk doa Yunus dari dalam perut ikan besar (Mzm. 2:2-9), diungkapkan sebagai
ucap an syukur yang melihat kembali krisis itu (ay. 2-5) dan pertobatan ay 6-7
kemudian berjanji mempersembahkan korban kepada Yahweh dan memba yar
kembali utang itu (ay. 9). Sebagai tambahan pada ucapan syukur kepada Allah
atas keselamatan yang diberikan-Nya, mazmur-marmur Ini Masanya menyatakan
janji kesetiaan dan penyembahan kepada Allah di masa depan"Sebab itu aku mau
menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa. ya TUHAN (Mzm. 18:50)
dan secara khusus memberikan kemuliaan kepada Yahweh atas penaklukan para
musuh pemazmur (Engkau telah mengikat pinggangku dengan keperkasaan untuk
berperang: / Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawan
aku [Mzm. 18:40) atau ke- sembuhannya dari penyakit (TUHAN. Engkau
mengangkat aku dari dunta orang mati: Engkau menghidupkan aku di antara
mereka yang turun keliang kubur [Mzm. 30:4]). Ada enam elemen struktural
dalam nyanyian-nyanyian ucapan syukur (Gerstenberger 1988:15; lihat juga
LaSor. Hubbard, Bush 1982:519-20):undangan untuk bersyukur atau untuk
memuji Yahweh (Mzm. 30:2, 5 [RSV 1, 4]: 34:3-5 (RSV 1-3): 118:1-4). catatan
tentang masalah dan penyelamatan (Mzm. 18:5-21 [RSV 3-19 32:3-5: 40:3-5
[RSV 1-3]: 41:6-11 [RSV 4-9]: 116:3-4: 118:10-14) puji-pujian kepada Yahweh,
pengakuan atas karya penyelamatan-Nya (Mzm. 18:48-50 (RSV 46-48): 30:3-5,
13-14 [RSV 1-3, 11-12): 40:7 [RSV 5): 92:6-7 [RSV 4-5]: 118:14. 28-29) formula
pemujaan pada awal pemberian korban (Mzım. 118:21: 130:2; 138:1-2; Yes. 12:1)
berkat-berkat atas orang-orang yang ikut serta di dalam upacara itu (Mzm. 22:28
[RSV 26]: 40:6 [RSV 4]: 41:3 [RSV 1]: 118:8-9) nasihat (Mzm. 32:8-9; 34:11.
13-16: 40:6; 118:8-9) Beberapa mazmur (Mzm. 11; 16; 23; 25; 27: 62: 91: 111:
131) memuji Allah atas kebaikan perlindungan-Nya dan iman yang tumbuh di
dalam pe- meliharaan kasih-Nya. Himne-himne ini sangatlah bermakna di dalam
situasi tertekan dan menyediakan kesejajaran-kesejajaran yang bernilai kepada
ajaran Perjanjian Baru mengenai percaya kepada Allah (seperti 1Ptr. 5:7).
6. Nyanyian-nyanyian perayaan dan penegasan.
Nyanyian Sion (Mzm. 46; 48; 76; 84: 87; 122), memuji Allah atas
Yerusalem, kota suci pemberian-Nya. Sejarah Yerusalem. dari hubung- annya
dengan Abraham dan Musa sampai dipilih oleh Daud, sebagai ibukota yang baru
dinyanyikan dan namanya yang suci, Ston, menjadi pusatnya. John Hayes
mengembangkan tema-tema itu (1976:42-52). Ziarah tahunan yang di- tuntut oleh
Hukum Taurat, suatu peristiwa khusus yang suci dan penuh su kacita, menjadi
pusatnya dalam Mazmur 84 dan 122. Memasuki pelataran Bait Suci setelah
perjalanan ziarah itu dirayakan dalam Mazmur 15 dan Maz- mur 24. Nyanyian-
nyanyian Sion itu sendiri (Mzm. 46; 48; 76: 87: 125) me- ngumandangkan pilihan
Allah, perlindungan-Nya atas kota suci dan Bait Allah, dan keamanan kota itu dari
musuh-musuhnya. Oleh karena itu, para peziarah itu dan tentu saja bangsa itu
disuruh memandang perbuatan-per- buatan Allah di sana.
Mazmur-mazmur hikmat dan pengajaran (Mzm. 1; 36: 37; 49; 73: 112:
127; 128; 133) sejajar dengan Am- sal dalam merayakan hikmat sebagai
pemberian yang besar dari Allah kepa- da umat-Nya dan hubungannya dengan
Firman dan Hukum Taurat yang telah tertulis (mazmur-mazmur Taurat adalah
Mzm. 1; 19; 119). Umat itu dipang- gil kepada suatu kesadaran yang baru tentang
hak istimewa dan kewajiban mereka untuk memperhatikan hikmat ilahi melalui
kemurnian rohani dan ketaatan. Seperti dalem Amsal, jalan orang benar
dikontraskan dengan jalan orang fasik (Mzm. 1; 49; 73) dan kemakmuran orang
benar dijanjikan (Mzm. 1: 112: 119: 127-128). Kualitas etika yang tinggi dari
nyanyian-nyanyian ini mem- buat mereka langsung dapat diakses bagi orang
Kristen modern.
Mazmur-mazmur yang bersifat mengutuk (Mzm. 12: 35; 52; 57-59; 69;
70; 83: 109: 137: 140) biasa- nya adalah mazmur ratapan tempat kepahitan
penulis dan khususnya hasrat untuk dibenarkan sangat menonjol. Ini menjurus
kepada pernyataan-pernya- taan seperti dalam Mazmur 137:8-9 (NIV),
"[Berbahagialah orang yang me- nangkap anak-anakmu (bayi-bayil / dan
memecahkan (membenturkan) me- reka pada bukit batul" Pernyataan seperti ini
mengejutkan bagi kepekaan secara modern dan menyebabkan banyak orang
mempertanyakan standar etika dari para penulis Alkitab. Akan tetapi, beberapa
poin harus diperhati-kan. Penulis sebenarnya sedang menuangkan keluhannya
kepada Alub ber keriaan dengan pembuangan seperti dalam Mazmur 137. Penulis
juga se dang memperhatikan perintah ilahi dari Ulangan 32:35 (Rm. 12:19). "Pem
balasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan." Ter akhir,
seperti yang Gordon Fee dan Douglas Stuart catat, penulis sedang meminta
penghakiman atas dasar kutukan-kutukan kovenan (UI. 28-53-57: 32:35), yang
membenarkan pemusnahan lengkap atas para pelanggar hukum, bahkan anggota-
anggota keluarga (2003-221). Bahasa hiperbolis itu lazim dalam perikop yang
emosional seperti ini.Singkat kata, Ini udak berlawanan dengan ajaran Perjanjian
Baru untuk mengasihi musuh-musuh kita. Tatkala kita dapat menuangkan
permusuhan kita kepada Allah, undakan itu membuka pintu kepada perbuatan-
perbuatan kebaikan yang mirip dengan Roma 12:20 (Ams. 25:21-22). Faktanya,
pere- nungan dan penerapan dari mazmur-mazmur ini dapat bersifat menyembuh-
kan pada mereka yang menderita luka traumatis (seperti penganiayaan pada anak).
Dengan menuangkan kepahitan alami seseorang kepada Allah. sang korban dapat
dibebaskan untuk mengasihi yang tidak layak dikasihi." Kita harus ingat bahwa
Daud yang sama yang telah menulis semua yang di atas kecuali untuk Mazmur 83
dan Mazmur 137 adalah Daud yang menunjukkan kemurahan dan kasih yang
besar kepada Saul. Ketika Anda berseru untuk keadilan setelah sangat disakiti
(seperti orang-orang suci yang mati martir dalam Why. 6:9-11). Roma 12:19
sebenarnya telah digenapi karena pembala- san yang benar-benar diserahkan
kepada Allah, membebaskan Anda untuk mengampuni musuh Anda.
Sudah jelas bahwa puisi Perjanjian Baru memiliki kemiripan dengan pola-
pola Perjanjian Lama. Hampir semua sifat-sifat yang telah digambarkan sebe-
lumnya dapat diperlihatkan di dalam Perjanjian Baru. Hanya Lagu Pujian Maria
saja yang memiliki Paralelisme sinonimi Jowaku memuliakan Tuhan dan hatiku
bergembira karena Allah Juruselamatku. (Luk. 1:46-47) Paralelisme sintesis la
memperithatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerat-beratkan
orang-orang yang congkak hatinya. (Luk. 1:51)Paralelisme antitests la
menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-
orang yang rendah. (Luk. 1:52)Di dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam
epistel-epistel, himne-himne itu memperlihatkan tingkat ungkapan theologis yang
paling tinggi. Kredo-kredo dan himne himme memanfaatkan format puist untuk
menghadirkan doktrin- doktrin Perjanjian Baru yang mendasar, khususnya
kebenaran kristologis, se- ring berpusat pada perendahan diri dan peninggian
Kristus (Flp. 2:6-11; (Thn. 3:16: IPtr. 3:18, 22; lihat juga Ef. 2:14-18: 5:14: 1Kor.
13:1-13: Ibr. 1:3-4; dan mungkin Yoh. 1:1-18). Himne-himne ini menyediakan
bukti yang sangat baik bagt kemungkinan campuran format puisi dan
kemungkinan pe- san theologis yang paling tinggt pada zaman Alkitab.
Banyak kritik modern, yang menekankan "puisi" dan "seni dari mazınur.
mempermasalahkan isi theologis dan lebih cenderung memikirkan "dunia" yang
dilukiskan di dalam mazmur-mazmur itu. Namun ada benarnya juga bahwa puisi
Alkitab mengungkapkan dimensi yang paling dalam dari iman Israel kuno,
khususnya pandangan mengenai Allah. Sebenarnya, theologi merupakan pusat
dari puisi Alkitab. Kumpulan himne kepercayaan orang Israel sangat luas
sehingga tiap usaha untuk mensistematiskannya tidak akan mampu mencakup
kebesaran dan kedalamannya. Namun tema-tema yang sentral bagi mazmur-
mazmur ini tentu saja bernilai bagi upaya seperti ini. Pertama, mazmur berpusat
pada ibadah dan doa; mazmur memperlihat- kan kesadaran Israel akan Allah
dengan iebih baik dari genre Alkitab lain- nya. Mazmur-mazmur tersebut tidak
membuat pernyataan-pernyataan theolo- gis yang nyata, namun keberpusatan
mereka kepada Allah sangatlah theologis. Setiap bidang kehidupan terhubung
kepada Allah, dan la dipandang berdaulat atas segala hal. Seperti yang Peter
Craigie tunjukkan, kerangka kerja untuk ini disediakan oleh konsep kovenan:
"Pengetahuan mereka tentang Allah berakar di dalam kovenan; mereka merespons
kepada Allah dalam doa, dalam pujian. atau dalam situasi kehidupan yang khusus
karena adanya suatu hubungan kovenan yang membuat respons seperti ini
memungkinkan" (1983:40). Allah kovenan sering dilukiskan dalam suatu
hubungan yang intim dengan umat- Nya, dan di dalam pengertian ini mazmur
mencerminkan kepercayaan umum, karena mereka mencerminkan kehidupan
iman yang hakiki bagi setiap anak Allah, dari raja sampai kepada rakyat biasa.
Kunci kedua adalah eksegesis yang holistis. Berkenaan dengan natur puisi
dari Kitab Mazmur dan metafora-metafora yang terus-menerus muncul, seorang
penafsir harus membaca bagian-bagian Mazmur dengan melihat kepada
keseluruhannya. Hiperbola (dalam mazmur kutukan) sering diguna- kan, dengan
demikian tema-tema yang khas harus dikembangkan dengan memandang mazmur
itu sebagai satu keseluruhan dan dengan memperha- tikan alur theologis yang
mengaitkan berbagai mazmur dari tema-tema yang serupa.
Terakhir, setiap aspek dalam cara apa pun harus berhubungan dengan cara
pemujaan Israel, sistem ibadah ritualnya. Bahkan dalam Mazmur yang
berorientasi hikmat terutama mencerminkan perayaan Israel atas kehidupan dan
hidup di hadapan Allah. Dalam pengertian ini, mazmur mazmur meru- pakan
suatu perayaan kehidupan, yang menekankan fakta bahwa keberadaan tidak ada
artinya tanpa kehadiran dan tzin Allah. Hampir semua ahli setuju bahwa tiap
mazmur dulu digunakan dalam penyembahan Israel. Kumpulan ratapan dan
ucapan syukur paling langsung mencerminkan orientasi ini. tetapi mazmur-
mazmur individual pun secara sekunder terhubung dengan cara pemujaan itu.
Penafsiran harus mengakui latar formal ini, karena theo- logi dikembangkan dari
tujuan ini.
PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA
Meskipun setiap penjelasan mengenai puisi dalam Alkitab telah cukup me-
nolong, mereka belum memberitahukan kepada kita dengan jelas bagaimana
mendekati dan menafsir perikop-perikop puitis ini dengan tepat.
1. Perhatikanlah pola-pola bait (stanza) dari suatu puisi atau himne. Struktur
merupakan langkah pertama dari eksegesis. Elemen utama dari pu- ist Ibrani
adalah pola-pola dari baris-baris dan bait-bait yang sejajar. Terje- mahan-
terjemahan yang lebih baru memperlengkapi para pembaca dengan menempatkan
baris-baris itu berdampingan, menginden bagian-bagian yang sejajar itu dan
memberi jarak di antara bait-baitnya. Kriteria yang paling pen- ting untuk
menemukan jena di antara bait-bait adalah perkembangan pemikir- an. Misalnya,
dalam Mazmur 31 bait pertama (ay. 1-6) adalah permohonan Daud meminta
tolong, yang kedua (ay. 7-9) berisi pernyataan percayanya dan ketiga (ay. 10-14)
adalah pengaduannya. Perubahan gaya juga menan- dakan bait yang baru. Dalam
Mazmur 30, stanza yang pertama (ay. 1-4) di- tujukan kepada Allah, yang kedua
kepada orang-orang suci (ay. 5-6), yang ketiga kembali kepada hubungan antara
pemazmur dengan Tuhan (ay. 7-8). yang keempat (ay. 9-11) merupakan doa
langsung dan yang kelima (ay. 12-13) menggambarkan hasil-hasilnya. Lebih
lanjut, kiasme atau aliterasi membe- dakan pembagian-pembagian balt. Dalam
Mazmur 119. garis besar akrostik- nya jelas sekali, dengan delapan baris dalam
tiap stanza dan tiap stanza diawali dengan huruf-huruf yang berurutan dari alfabet.
Pengaruh dari Sela lebih diperdebatkan, karena tidak ada konsensus yang telah
dicapai berke naan dengan artinya. Dengan tepat Kaiser mengimbau
kewaspadaan, berkena an dengan penggunaan istilah itu di dalam tempat-tempat
janggal (seperti dalam judul atau di tengah dari bait-bait), namun secara tentatif la
menerima penggunaannya di dalam beberapa kasus untuk membedakan bait-bait
(Mzm. 46 namun tidak dalam Mam. 57, 67-68). 2. Kelompok baris-barts yang
paralel. Penyair sedang mengungkapkan pikirannya di dalam keseluruhan unit
menggunakan bahasa yang paling emotif dan bersemangat. Seorang penafsir yang
jelas harus berhati-hati agar tidak terlalu terfokus pada barts-barts individual dan
menganggap itu sinoni mi kapan pun pemikiran-pemikirannya mirip. Mitchell
Dahood menyebutkan seribu pasangan kata atau istilah istilah sinonimi yang
digunakan baik da- lam puist Ugarit maupun Ibrani (1976:669). Pembaca harus
berhati-hati agar Udak terlalu terfokus pada perbedaan makna di dalam situasi-
situasi seperti ini. Namun pada saat yang sama konteksnya yang harus
menunjukkan apa- kah klausa-klausa itu sinonim atau tidak. Misalnya, tiga baris
dari Mazmur 23:2-3a membentuk satu unit tunggal dan harus ditafsirkan bersama:
la membaringkan aku di padang yang berumput hijau. la membimbing aku ke air
yang tenang. la menyegarkan jiwaku Daud tidak sedang berbicara secara
kronologis. Pemulihan jiwa dalam baris ketiga menyatakan makna dasar dari
gambaran yang disampaikan da- lam dua barts awal. Selanjutnya, sangat penting
untuk memperhatikan tipe dari paralelisme. Kita tidak memiliki paralelisme yang
murni sinonim. Seperti yang Craigle sebutkan (1983:207). "padang yang
berumput hijau mungkin mengingat "tempat kediaman-Mu yang kudus" (Kel.
15:13) yang merupakan tujuan peristiwa eksodus dari Mesir, dan "air yang tenang
mungkin meng- gemakan "tempat perhentian yang dikaitkan dengan tabut dalam
perjalanan pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33). Oleh karena itu, gambaran
ter- sebut menambah pengertian mengenai tuntunan dan perlindungan ilahi dari
peristiwa eksodus dan perjalanan pengembaraan di padang gurun sampai
pengalaman yang sedang dialami Daud. Ide dasarnya serupa, namun baris kedua
menambah nuansa pada yang pertama.
5. Pelajarilah marmur dengan melihat tipe dan bentuk dasarnya Settap tipe
mazmur yang telah dijelaskan (ratapan, pujian, kerajaani harus dipe Jart secara
berbeda Sebagian tumpang tindih (seperti ratapan kerajaani d صعharus ditafsirkan
dengan sesuai Peruyataan-pernyataan tentang Allah dan hubungan-Nya dengan
umat-Nya jelas berbeda dari tipe ini ke tipe itu, dan penerapannya pada keadaan
sekarang juga berubah. Mereka yang ingin menyembah Allah akan lebih memilih
mazmur pujian ketimbang ratapan, se mentara mereka yang depresi mengenai
tidak hadirnya Allah di dalam kehidupan mereka jelas sekali memerlukan yang
ratapan
8. Sastra Perjanjian Baru harus dipelajari pada dua tingkatan. Karena kredo-kredo
dan himne-himne Perjanjian Baru sering dikutip, mereka mung- kin memiliki
suatu makna liturgis di dalam kehidupan gereja sebelum diang- kat ke dalam suatu
perikop khusus dari Perjanjian Baru. Lebih dari itu, masing-masing memiliki
status "kanonis," jadi maknanya juga penting bagi kita. Tingkatan pertama adalah
makna theologis yang asli, dan tingkatan ke- dua adalah penggunaan atas kredo
atau himne di dalam konteks individual. Filipi 2:6-11, misalnya, harus dipahami
yang pertama sebagai himne inkar- nasi (makna aslinya) dan kedua sebagai model
bagi sikap-sikap orang Kristen (penggunaannya di dalam konteks Flp. 2:6-11).
2.3 HIKMAT
SALAH SATU dart genre Alkitab yang paling tidak dikenal adalah sastra
hikmat. Kitab-kitab Perjanjian Lama yang ditempatkan di bawah ru- brik ini
adalah Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah. Selain itu saya me- nambahkan kitab-
kitab Apokrifa Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo. Hanya ada sedikit orang yang
tahu apa yang harus dibuat atas karya-karya ini, dan bahkan lebih sedikit khotbah
disampaikan dari rumpun sastra ini. Akan te- tapi, tatkala dikhotbahkan, mereka
sering disalahgunakan untuk mendukung suatu gaya hidup yang hampir sekuler.
Penyebabnya adalah subjek pemba- hasan mereka. Para pengkhotbah sering kali
mendefinisikan hikmat sebagai "penggunaan praktis dari pengetahuan yang Allah
berikan. Namun Georg Fohrer mendefinisikannya sebagai "tindakan yang hati-
hati, dipertimbang- kan, dialami dan kompeten untuk menaklukkan dunia dan
untuk menguasai berbagai masalah kehidupan dan hidup itu sendiri (1971:476).
Tujuannya adalah untuk menggunakan ciptaan Allah dengan tepat dan untuk
menik- mati hidup sekarang di bawah pemeliharaan-Nya. Karena tulisan-tulisan
hikmat begitu konstan menangani sisi pragmatis dari kehidupan, maka sa- ngatlah
mudah mereka disalahgunakan untuk mendukung gaya hidup yang berpusat pada
dunia. Saya sendiri mendefinisikan hikmat Alkitab sebagai "menghidupi
kehidupan di dalam dunia Allah dengan peraturan Allah." Tema sentral dari
tulisan-tulisan hikmat bukanlah kehidupan sekuler melainkan "takut akan
TUHAN" (Ams. 1:7; 9:10: Ayb. 28:28; bdk. Mzm. 111:10: Pkh. 12:13) dan
implikasinya pada kehidupan sehari-hari. Philip Nel (1982:127) menyebut takut
akan TUHAN sebagai "fondasi" dari pemikiran hikmat orang Israel. Namun aspek
yang sangat praktis ini membuat sastra hikmat begitu berharga bagi orang Kristen
modern yang mencari kepercayaan yang relevan. Yesus dan gereja mula-mula
mengenali tulisan-tulisan hikmat ini, dan Per- janjian Baru mengandung sejumlah
besar tema-tema dari tulisan-tulisan hikmat (lihat him. 294). Semua kepercayaan
kuno harus mengatasi masalah- masalah kehidupan, dan sebagai akibatnya
semuanya telah mengembang- kan pengajaran-pengajaran mengenai hikmat.
Mesir dan seluruh wilayah Mesopotamia memiliki tradisi-tradisi mengenai hikmat
(lihat Berry 1995:29-36), dan ada kemungkinan bahwa orang Israel mengambil
tradisi-tradisi ini dan mengolah kembali atas dasar theologi mereka mengenal
Yahweh. Ronald Clements (1992:10-19) yakin kesejajaran kesejajaran ini dan
juga Mazmur 1. 37. 73, 104, 119 menunjukkan asalnya benar-benar dapat dilacak
sampas pada pemerintahan Salomo, walaupun perkembangan yang lebih besar
hadir dalam periode setelah pembuangan. Saya melihat sedikit alasan untuk tidak
menempatkan perkembangan tulisan-tulisan hikmat itu pada periode yang lebih
awal (lihat "Sejarah dari Ajaran Hikmat" pada hlm. 299-303). Pusat dari semua
tradisi ini adalah konsep tentang orang bijak": bukan sebagai sese- orang yang
melarikan diri dari dunia melainkan sebagai seorang yang belajar untuk hidup di
dalam dunia dengan tuntunan dan pertolongan Allah Tidak ada rumpun sastra
yang tersusun secara praktis seperti tulisan- tulisan hikmat, dan ini saja sudah
membuat nilainya tinggi sekali.
SIFAT DARI SASTRA HIKMAT
1. Orientasi yang praktis. Orientasi yang praktis merupakan sifat dasar dari
pemikiran mengenai hikmat. Amsal-amsal dan perkataan-perkataan bi- Jak
menolong orang-orang muda untuk mulai mengambil tempat yang tepat di dalam
masyarakat. "Hikmat" dari masa lalu itu diturunkan kepada orang- orang muda
agar tatanan dan peradaban masyarakat dapat berlanjut dan tidak sirna. Oleh
karena itu, ucapan-ucapan yang terkumpul itu berpusat pada perkataan dan etiket
yang tepat ("Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya / harapan lebih
banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang Itu" (Ams. 29:20]). penguasaan diri
("Orang yang tak dapat mengendalikan diri / adalah seperti kota yang roboh
temboknya" [Ams. 25:28]), hubungan keluarga ("Anak yang bijak mendatangkan
sukacita kepada ayahnya / tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya
(Ams. 10:11), kekayaan materi "Pada hart kemurkaan harta tidak berguna tetapi
kebenaran melepas- kan orang dari maut [Ams. 11:4); namun bdk. "Berkat
Tuhanlah yang men- jadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya" (Ams.
10:22]) demiki an pula topik-topik seperti mengapa orang benar menderita (Kitab
Ayubi dan mengapa orang fasik kaya raya (Mzm. 49: 73). Kidner menyusun
subjek- subjek berikut yang dibahas dalam Amsal: Allah dan manusia, hikmat,
orang bodoh. orang bebal, sahabat, perkataan, keluarga, kehidupan dan kematian
(1964:31-56; lihat juga Kidner 1985:24-33). Topik-topik ini menyediakan bukti
yang terbaik bagi sifat pragmatik dari sastra hikmat. Nilai dari sifat pragmatis ini
dalam kehidupan Kristen pada hari ini juga jelas: hanya ada sedikit bagian dari
Kitab Suci yang dapat secara langsung diterapkan pada zaman modern (lihat
contoh yang sangat bagus dalam O'Connor 1988). Bagaimanapun, dalam hal ini
sangat penting untuk memperhatikan peringatan yang kuat dari Gordon Fee dan
Douglas Stuart (2003:226-27). Mereka mencatat tiga cara kitab-kitab hikmat ini
disalahgunakan. Pertama, orang-orang cenderung mengambil ucapan-ucapan itu
keluar dari konteks dan keliru menerapkan mereka di dalam gaya harfiah.
Misalnya, Amsal 10:22 (mengenal Allah memberkati seseorang dengan kekayaan)
dikhotbahkan se- bagai Allah ingin semua orang percaya kaya secara materi,
padahal dalam realitasnya ini merupakan bagian dari kontras yang lebih besar
antara orang benar dan orang fasik dalam pasal 10 dan harus ditempa dengan
bagian- bagian lain yang membahas mengenai tempat orang miskin (lihat Ams.
17:5: 18:23) di dalam rencana Allah. Kedua, banyak orang Kristen gagal men-
jelaskan dengan tepat istilah-istilah hikmat seperti bebal dalam Amsal 14:7
("Jauhilah orang bebal, / karena pengetahuan tidak kaudapati dari bibir- nya").
Bebal menunjuk kepada orang kafir yang mengabaikan Allah dan mengikuti diri
sendiri; kata ini tidak dapat dikenakan kepada yang tidak ter- pelajar atau kepada
orang percaya lainnya sebagai "bebal" karena perbedaan- perbedaan theologis.
Ketiga, orang-orang tidak memperhatikan arah atau argumen dalam suatu teks dan
menerapkan apa yang ditunjukkan oleh teks Alkitab tersebut secara salah.
Misalnya, Ayub 15:20-22 ("Orang fasik meng- geletar sepanjang hidupnya... la
tidak percaya, bahwa ia akan kembali dari kegelapan") sering dikhotbahkan
memiliki makna bahwa orang tidak percaya itu sebenarnya tidak bahagia. Akan
tetapi, Ayub menyangkal (Ayb. 17:1-16) ucapan dari Elifas ini, dan pengalaman
praktis (demikian pula doktrin Calvin tentang anugerah umum) memperlihatkan
natur-natur yang keliru dari sua- tu pernyataan seperti ini. Tatkala menerapkan
ajaran hikmat yang praktis, sangatlah penting meng- gunakan sarana-sarana
eksegesis untuk menegaskan apa maksud asli dari suatu teks sebelum
menerapkannya pada situasi modern. Menerapkan per- nyataan-pernyataan hikmat
secara sambil lalu tanpa memperhatikan apa yang tidak mereka katakan dan apa
yang mereka katakan adalah praktik yang berbahaya. Tatkala makna yang
dimaksudkan oleh penulis berbicara secara langsung kepada orang Kristen pada
hari ini, bagaimanapun, itu merupakan harta karun yang kaya, Khothah bukan
hanya perlu lebih banyak diambil dari Kitah Suci int, namun ucapan ucapan
hikmat jugs harus lebih sering dimanfaatkan sebagai teks sekunder untuk
mendasari penerapan dart telos-tekos lainnya dari Kitab Suci.
Sentral pada tulisan-tulisan hikmat ini adalah konsep yang mendomi- nasi
tentang "takut akan Allah." digabungkan dalam Ayub 1:1 dan 28:28 demikian
pula Amsal 3:7; 8:13. dan 16:6 dengan prinsip etika jauhilah kejahatan. Ini adalah
dua sisi dari satu koin. Nel membahas kombinasi dari etika takut yang
menjelaskan hubungan lebih dahulu dengan Allah) dan kepercayaan (takut" yang
menjelaskan ketaatan kepada Taurat dan keper- cayaan religius) di Israel dan
sastra hikmatnya (1982:97-101). "Takut akan Allah merupakan wacana atau
wilayah yang di dalamnya hikmat yang sejati Itu dapat digapai. Oleh karena itu,
hikmat bukan berarti memperoleh penge tahuan kognitif melainkan dihidupi
sebagai suatu konsep etika. Hikmat da- tang dari mendengarkan Tuhan dan
menaati ajaran-ajaran-Nya (Ams. 1:5. 8: 2:21. Sisi lain dari ini adalah suatu
penolakan yang aktif atas kejahatan. "Orang fasik" merupakan antitesis dari orang
bijak (Ayb. 27:13-23; Mzm. 1:1- 6: Ams. 1:20-33) dan secara tak terhindarkan
akan menuju kehancuran me- reka sendiri (Ams. 5:23; 10:21). Kejahatan
dilukiskan sebagai seorang pe rempuan jalang yang merayu orang bodoh menuju
jalan kematian (Ams. 2:16: 5:1-14: 9:13-18). Orang bijak menghindar dan
menolak kejahatan (Ams. 14:16; 16:6). Sekali lagi kita melihat bahwa kita tidak
dapat membahas orien- tasi religius tanpa membahas nada-nada etika praktisnya.
Keduanya berjalan selaras.
3. Otoritas yang tidak langsung. Di masa lalu, banyak yang mengemuka- kan
bahwa ada suatu kehampaan otoritas, dan tulisan hikmat meraih pe- ngaruhnya
dari tradisi atau dari nilai praktisnya (dari fakta bahwa itu ber- hasil). Pandangan
ini telah diperbarui secara drastis, terutama berkenaan dengan kesadaran bahwa
perspektif mengenai Yahweh di balik pemikiran mengenai hikmat sangat besar.
Akan tetapi, nama Yahweh tidak pernah menjadi sumber dari tradisi hikmat itu
sendiri (tidak seperti nubuat), kita Juga tidak menemukan formula yang eksplisit
mengenal tipe yang digunakan oleh para nabi, seperti "Berfimanlah TUHAN.
Oleh karena itu, otoritas ilahi diyakini namun tidak diucapkan secara eksplisit.
Orang-orang lain berpen dapat bahwa keluarga atau sistem pendidikan menyodak
dapteritas. Ini ngatlah tidak mungkin. Meskipun keluarga dan sekolah dapat
memainkan peran yang penting di dalam perkembangan pemikiran dalam tulisan-
tulisan hikanat, tidak satu pun dart keduanya pernah disebut sebagai kekuatan di
belakang gerakan itu sendiri. Weeks (1994:132-56) membahas masalah ten tang
sekolah-sekolah di Israel dan menunjukkan bahwa penyebutan yang paling awai
atas sekolah ada dalam Sirakh 51:23. Tiga perikop kadang kala dikatakan
menunjuk kepada pendidikan formal (Yes, 28:9-13, 50:4-9; Ams 22:17-21) Udak
memperlihatkan bukti yang demikian Misalnya, seorang murid dalam Yesaya
50:4 udak menuntut sekolah-sekolah yang resmi. Oleh karena itu, penunjukan
kepada pendidikan formal sebagai dasar dari hikmat di Israel adalah keliru Nel
lebih baik dalam hal ini tatkala ia menyatakan bahwa setiap imbau an hikmat
mengambil otoritasnya dari dalam, khususnya dari klausa motiva si yang
dikenakan padanya (1982:90-92). "Kebenaran intrinsik yang melekat dalam
ucapan itulah yang menuntut ketaatan. Oleh karena itu, dalam satu pengertian,
ketiga hal yang pernah disebutkan (Allah, tradisi, pengalaman) memainkan suatu
peran di dalam otoritas yang tidak langsung dari penye- barluasan hikmat.
Misalnya. Amsal 2 menuntut pembaca berpegang pada hikmat dan memusatkan
motivasinya kepada fakta bahwa Allah merupakan sumber dari hikmat (ay. 6-8),
bahwa hikmat akan memuaskan jiwa (ay. 10- 11), bahwa kejahatan ("perempuan
asing": bdk. 12-17) membinasakan (ay. 18-19) dan bahwa orang benar mendiami
tanah (ay. 21-22). Allah ada di be lakang semua itu, namun keuntungan praktisnya
yang ditegaskan dan pem baca diharap berpegang pada imbauan-imbauan tersebut
demi semua alasan.
4. Theologi Penciptaan.
Penekanan pada penciptaan merupakan bagian dart jalinan dasar
pemikiran mengenai hikmat dalam Perjanjian Lama (lihat Zimmerli 1976:175-99
dan Hermisson 1978:118-34). Di sini pemikiran itu hampir sejajar dengan tulisan-
tulisan hikmat Mesir, yang berpusat pada "ta- tanan kehidupan. Ini tentu saja
merupakan inti dari theodisi Kitab Ayub. Argumennya adalah bahwa Allah telah
menciptakan dunia dalam cara yang dipandang-Nya sangat baik, dan umat
manusia tidak boleh memasalahkan tatanan yang diatur secara ilahi itu. Semua
sastra hikmat, bukan hanya Ayub. mengembangkan tema ini (misalnya, Yes.
40:28-29). Umat manusia harus meng- ambil tempat mereka yang tepat di dalam
kosmos, menemukan kehidupan yang disiapkan bagi mereka dan
memaksimalkannya. Karena Tuhanlah yang telah membuat "telinga untuk
mendengar dan mata untuk melihat (Ams. 20:12), tiap orang harus memanfaatkan
semua indra itu di bawah peraturan yang telah Allah tegakkan. Waltke dan
Diewert (1999:298-99) melacak mere- ka (sebagai contoh, Hartmut Gese) yang
memakai ini sebagai pencarian tata- nan (misalnya, hukum dan keadilan) yang
telah Allah tanamkan di dalam ciptaan itu sendiri. Namun ini telalu jauh, karena
hikmat juga merupakan pengakuan bahwa hidup itu tidak pasti dan ketidakpastian
tersebut bukan- lah tatanan alami namun Allah tetap mengontrol tujuan atau nasib.
Kita perlu memperhatikan dua aspek dart theologi ini. Pertama, prinsip retribusi
mengatur alam semesta. Allah yang sama yang telah menciptakan alam semesta
itu tetap memegang kendalt; perilaku dari orang benar dan orang fasik pada
akhirnya harus dipertanggungjawabkan hanya kepada-Nya. Karena Allah adalah
pengatur dan juga hakim dari dunia, ia akan menghar gai orang saleh dan
menghukum yang fasik, seperti dalam Amsal 11:21. "Sungguh, orang jahat tidak
akan luput dari hukuman. / tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan (Juga
Ans. 10:27; 12:21: 13:25). Memang pengalaman umumnya berlawanan dengan
perkataan seperti di atas, dan para penulisnya harus bergumul dengan masalah
kemakmuran dart orang yang fasik. Mereka menjawabnya dengan menyatakan
bahwa pengalaman se- perti itu hanya sementara dan akan berakhir dalam
kebodohan ketika peng- hakiman yang tidak terelakkan itu dilaksanakan (Mzm.
73:18-20, 27). Ke- matian, yang dialami semua orang, akan memperlihatkan
kesementaran dari kemuliaan mereka (Mzm. 49:14-20). Oleh sebab itu orang
bijak ingin menemukan dan kemudian tunduk kepada kehendak Allah (Ams.
16:1-3). Hal yang terkait dengan ini adalah aspek kedua dari theologi pencip taan,
yaitu masalah dalam mempertahankan konsep keadilan Allah. James Crenshaw
menemukan gabungan dari theologi penciptaan dan theodist da- lam Kitab Ayub
dan goheleth (Pengkhotbah) (1976:28-32). Kedua kitab itu berkenaan dengan apa
yang disebut suatu krisis di dalam theologi hikmat, yaitu, masalah kembar tentang
kejahatan dan penderitaan orang benar. Ke- dua kitab itu menyediakan jawaban
yang sama, ketidakmampuan kita untuk memahami tatanan ilahi. Keadilan Allah
melampaui kerapuhan manusiawi. dan tugas kita adalah menanti jawaban-
jawaban-Nya. Ketinbang merasa berhak menentukan hukum-hukum dari tatanan
yang Allah telah ciptakan (Crenshaw menyebut ini Titanisme), kita harus dengan
rendah hati tunduk kepada hikmat yang lebih besar dari Allah.
Kita dapat mengenali beberapa subgenre di dalam rumpun sastra ini, ma-
sing-masing dengan ciri-ciri dan aturan-aturannya yang khas untuk dike- nali.
Sangatlah penting bagi kita untuk menjelaskan sifat-sifat ini agar dapat
mengembangkan hermeneutika yang tepat bagi ucapan-ucapan hikmat.
1. Amsal Bentuk hikmat yang mendasar dan paling menonjol, suatu "amsal"
(Ibrani māšal) dapat dijelaskan sebagai pernyataan singkat mengenai kebenaran
yang diterima secara universal yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga
dapat diingat. Amsal dapat dijumpai di dalam bagian Kitab Suci lain bukan hanya
di dalam Kitab Amsal (seperti dalam Kej. 10:9 dan 1Sam. 24:14). Ada banyak
tipe ucapan, dan sebagian dari genre itu disebut meshallim di dalam Perjanjian
Lama, seperti alegori (Yeh. 17:1-10), aforisme (Pkh. 9-17-10-20), ucapan-ucapan
populer (Yer. 23:28), wacana (Bil. 23:7.10 atau simile (kemiripan) (1Sam. 10:11).
Secara intrinsik ada beberapa tupe amsal, seperti perintah (Ams. 22:17-24:22).
penuturan atau ucapan hikmat (Ams. 9:1-6), teguran atau larangan (Ams. 8:24-31.
33), amaal tmbauan atau nasthat (Ams. 22-28). amsal bilangan (Ams. 6:16-19),
sinonimi (Ams. 22:22 27) atau amsal-amsal antitesis (Arms. 11:1-31) dan
pernyataan-pernyataan yang berdasarkan fakta atau pengalaman (Ams. 17:27).
Hal yang paling penting adalah kita tidak boleh melihat suatu pernyata an amsal
lebih dari yang dinyatakan dalam pernyataan tersebut. Sesuai de ngan naturnya,
mereka adalah pernyataan-pernyataan umum, dimaksudkan untuk memberikan
nasihat ketimbang untuk mendirikan aturan-aturan yang kaku yang melaluinya
Allah bekerja. Seperti yang David Hubbard nyatakan, hikmat kuno cenderung
menegaskan keberhasilan dan kesejahteraan suatu individu," tidak seperti "kitab
para nabi yang menempatkan penegasan pada kehidupan religius nasional dan
kebersamaan" (LaSor. Hubbard, Bush 1982:545). Misalnya. Amsal 16:3
menyatakan "Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah
segala rencanamu. Ini kelihatannya menjanjikan banyak kemurahan yang tidak
terbatas, namun seperti yang Fee dan Stuart tunjukkan, itu sama sekali tidak
mencakup rencana yang semba- rangan yang diabdikan kepada Allah: "Suatu
perkawinan yang tergesa-gesa. suatu keputusan bisnis yang mendadak, suatu
keputusan pekerjaan yang tidak dipikirkan dengan matang semua dapat diabdikan
kepada Allah namun pada akhirnya akan mendatangkan penderitaan" (1982:198).
Seperti dalam Yosua 1:8 atau Mazmur 1:3, makna dari berhasil atau beruntung
pertama-tama harus dipahami dalam pengertian kehendak ilahi dan barulah
dipahami dalam pengertian materi. Keberhasilan di mata Allah dapat sangat
berlawanan dengan standar-standar duniawi. Seorang penafsir harus menge- nali
sifat umum dari ucapan-ucapan itu dan menerapkan mereka melalui analogi dari
Kitab Suci, yaitu seturut dengan ajaran Alkitab lainnya yang melengkapi
kebenaran yang sedang dijelaskan.
6. Hinne himne dan doa-doa. Himne-himne dan doa-doa sangat banyak dalam
semua sastra hikmat kuno (lihat Crenshaw 1974:47-53). Ini bukan hanya nyata
dalam kasus tentang mazmur-mazmur hikmat melainkan juga banyak dijumpai
dalam bagian-bagtan puisi pada kitab-kitab hikmat (Ayb. 5:9-16: 9:5-12: 12:13-
25: 26:5-14: 28: Ams. 8: Str. 24:1-22; Keb. 6:12-20; 7:22-8:21: 11:21-12:22). Dua
tema utama dalam himne himne hikmat adalah pemuliaan atas hikmat dan ucapan
syukur kepada Allah sebagai Pencipta dan Penebus. Hikmat memampukan kita
berpartisipasi dalam kuasa kreatif Allah dan untuk mengalami keselamatan dart-
Nya. Doa-doa hikmat itu didasarkan pada doa-doa prosa dari Salomo (pada waktu
ia menahbiskan Bait Allah [1Raj. 8:23-531), Ezra (Ezr. 9:6-15) dan Daniel (Dan.
9:4-19). Bentuk yang sudah ber kembang dari doa-doa hikmat tersebut terbatas
pada sastra di luar kanon (se perti Sir. 22:27-23:6: 36:1-17; 51:1-12: Keb. 9:1-18).
7. Dialog, Sementara beberapa bentuk sastra hikmat dijumpai dalam Ki- tab Ayub
(seperti ratapan, drama di ruang pengadilan dan pengakuan), ben- tuk dialog
merupakan subgenre utama dalam Kitab Ayub. Kitab ini disusun di seputar
rangkaian-rangkaian dialog antara Ayub, teman-temannya dan Al- lah. Crenshaw
mengaitkan bentuk ini dengan "pidato yang dibayangkan yang di dalamnya
pemikiran-pemikiran dari seorang lawan bicara dihadirkan seca- ra retorik dan
kemudian ditolak. Hal seperti ini juga dimanfaatkan dalam Am sal 1:11-14, 22-
23; 5:12-14; 7:14-20; 8:4-36; dan Keb. 2:1-20: 5:3-13 (untuk suatu rangkuman
yang baik mengenal dialog-dialog antara Ayub dan "te- man-teman"-nya, lihat
Kidner 1985:60-67).
9. Onomastika, Daftar daftar hikmat, atau onomastika, telah dikenal se- jak karya
dari Gerhard von Rad (1976:267-77). la memperlihatkan bahwa rangkaian
pertanyaan yang diajukan oleh Allah dalam Ayub 38 itu sejajar dengan karya
hikmat Mesir. Onomastika Amenemope. Di dalam kedua kasus Ini perbuatan-
perbuatan kosmik kreatif dari para dewa dirinci. Von Rad se- cara tepat telah
menolak untuk mengusulkan adanya hubungan langsung di antara keduanya
melainkan mengemukakan bahwa genre itu memang lazim bagi dua budaya itu. la
menemukan kesejajaran dalam Mazmur 148 demi- kian pula Sirakh 43. Crenshaw
menambahkan Ayub 28: 38:27-37: 39:2-3; Mazmur 104 dan apokrifa yang sejajar
lainnya (1974:258-59). Ini semua me- nyebar dari penciptaan kepada bidang-
bidang lain seperti psikologi dan bah- kan perdagangan (Str. 28:24-29:11) atau
kepada suatu kurikulum yang standar milik orang bijak (Keb. 7:17-20).
10. Ucapan-ucapan berkat. Bentuk ucapan-ucapan berkat ini sering di- jumpai dan
menambahkan suatu nada yang khas theologis. Salah satu bagi- an yang terkenal
adalah Mazmur 1:1. "Berbahagialah orang yang tidak ber- jalan menurut nasihat
orang fasik." dan yang eksplisit secara religius adalah Mazmur 112:1,
"Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN dan Amsal 28:14. "Berbahagialah
orang yang senantiasa takut akan TUHAN" (lihat juga Pkh. 10:17; Ams. 3:13;
8:32-34; 14:21; 16:20; 20:7; 28:14; 19:18). Bagian-ba- gian lain ini lebih umum,
mendekati bentuk pernyataan-pernyataan motivasi. janji-janji mengenai
kehidupan yang bahagia dan makmur dan janji-janji yang akan datang dari berkat-
berkat Allah.
Sudah lazim menyebut banyak bagian dari Perjanjian Baru sebagai tulisan
"hikmat," menganggap Yesus seorang guru Hikmat" dan menyebut seluruh kitab
(seperti Ibrant atau Yakobus) sebagai "sastra hikmat. Meskipun sedikit berlebihan
jika mengklaim bahwa Yesus mengajar terutama di dalam tradisi hikmat, namun
itu juga tidak sepenuhnya salah. Definisi mengenai hikmat sebagai petunjuk
petunjuk etika atau ucapan-ucapan yang memperlihatkan sentralitas Allah dalam
masalah-masalah keseharian dari kehidupan cocok dengan banyak ajaran dari
Perjanjian Baru. Aspek-aspek dari Khotbah di Bukit (seperti antitesis [Mat. 5:21-
48]) dan penegasan pada perilaku yang suci sejajar dengan tulisan-tulisan hikmat
Yahudi. Imbauan-imbauan praktis seperti Roma 12, Yakobus 1-3. perikop-
perikop yang berbentuk nasihat dalam Surat Ibrani (Ibr. 3:12-19: 4:11-13:6:1-12),
aturan-aturan sosial (Ef. 5:22-6:9, 1Ptr. 2:11-3:7), daftar daftar perbuatan yang
baik atau buruk (Gal. 5:19-23; Kol. 3:5-17) semuanya menerima pengaruh dari
tulisan-tulisan hikmat. Se bagai tambahan, 1 Korintus 1-3 berpusat pada masalah
tentang keduniawi- an lawan hikmat ilahi (dengan salib sebagai pusat dari hikmat
ilahi), dan 1 Korintus 13 semacam bentuk himne hikmat untuk mengasihi.
Berkenaan dengan puisi, tulisan-tulisan hikmat Perjanjian Baru itu mirip dengan
tulis- an-tulisan hikmat Perjanjian Lama dan harus ditafsirkan dengan kriteria
hermeneutika yang sama.
PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA
Sastra hikmat boleh jadi sulit ditafsir dan diterapkan. Suatu kekeliruan her-
meneutis hari ini adalah kecenderungan untuk mengeluarkan pernyataan-
pernyataan Alkitab dari konteks. Pernyataan-pernyataan umum menjadi pe-
rintah-perintah mutlak tatkala seorang penafsir gagal untuk memperhatikan
adanya tambahan penjelasan yang kuat ketika mereka memperhatikan kese-
luruhan Kitab Suci mengenai suatu isu khusus. Misalnya, hari ini banyak orang
memakai Armsal 1:8 ("Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu/dan jangan
menyia-nyiakan ajaran ibumu"; bdk. Ams. 6:20) sebagai memerintah- kan anak-
anak untuk menaati orangtua mereka dalam hal apa pun dan meng- andalkan
Tuhan untuk membenarkan ajaran-ajaran atau perintah-perintah yang keliru pada
pihak orangtua. Ada yang mengatakan bahwa jika orangtua menyuruh seorang
anak untuk keluar dari gereja atau dari kegiatan-kegiatan Kristen, anak tersebut
harus taat. Namun ini sama dengan memperluas sua- tu perikop melampaui makna
yang dimaksudkan dan mengabaikan banyak amsal yang memerintahkan para
orangtua untuk bertanggung jawab (seperti Ams. 4:1-9; 22:6). Lebih-lebih lagi,
penafsiran seperti itu gagal mempertim- bangkan contoh dari para murid (Kis.
4:19; 5:29), yang ketika diperhadapkan dengan perintah dari Sanhedrin untuk
menyudahi tugas Kristen mereka, me- ngatakan, "Kami harus lebih taat kepada
Allah dari pada kepada manusia. Ironis bahwa mereka yang menuntut ketaatan
mutlak kepada orangtua tidak pernah mengajar anak-anak bahwa mereka harus
memperhatikan ajaran orangtua mengenai humanisme dan kebebasan seksual:
namun perumpa maan-perumpamaan ini lebih banyak berkenaan dengan
pengajaran ketim bang dengan perintah! Di dalam terang ini dan masalah-masalah
penafsiran lainnya, marilah kita memperhatikan beberapa tuntunan dasar
hermeneu- tika
pun ucapan ucapan itu tidak ditempatkan bersama dengan cara sembarang
an dan pada beberapa pokok ada hubungan di antara beberapa ucapan itu Konteks
sangat penting dalam pernyataan yang mungkin paling banyak disalahgunakan
dari Amsal Frasa yang populer mengenai hal ini adalah apa tidak menggunakan
tongkat memanjakan anakerya Paralel yang paling dekat adalah Amsal 13:24.
namun kata memanjakan tidak dijumpai di sana. Hampir semua terjemahan,
termasuk KJV, menerjemahkan kata thapa di sini sebagai membenci Stapa tidak
menggunakan tongkat, benet kepada anaknya. Kedua, konteksnya menambahkan
suatu pernyataan yang men jelaskan, "tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar
dia pada waktunya. Amsal itu tidak memerintahkan dilakukannya pemukulan-
pemukulan berat seperti yang dilakukan oleh beberapa sekte: faktanya, justru
sebaliknya. Am- sai itu mengimbau suatu hukuman yang hati-hati dan lemah
lembut. Ketiga. ini merupakan salah satu bagian dalam Amsal 10-29 di mana
konteksnya penting, ucapan itu ditempatkan di dalam konteks yang benar-benar
positif dalam pasal 13, tempat seorang anak yang bijak mendengarkan didikan
ayahnya (ay. 1). Seluruh penekanan terletak pada jalan orang benar. Oleh karena
itu, hukuman fisik itu hanya merupakan bagian dari pola yang lebih besar dari
didikan yang positif, tatkala seseorang bertujuan untuk membe sarkan anak "di
dalam ajaran dan nasihat TUHAN (Ef. 6:4).
Ucapan-ucapan hikmat ditulis untuk diingat, jadi mereka lebih merupa kan
pernyataan-pernyataan yang ringkas dan penuh makna yang lebih me nyukai
keahlian retorika ketimbang ketepatan. “Amsal mencoba menyampai kan
pengetahuan yang dapat dilakukan ketimbang filsafat yang mengesankan seorang
kritikus" (Fee dan Stuart 1982:201). Pembaca harus melihat ke balik struktur lahir
kepada kebenaran batin yang dikandung struktur tersebut. Misalnya, Amsal
22:26-27 kelihatannya menolak hak untuk menarik keun tungan dari rumah
seseorang: Jangan anda termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang
menjadi penanggung hutang: Mengapa orang akan mengambil tempat tidurmu
dari bawahmu , bila kamu tidak mempunyai apa-apa untuk membayar kembali.
Akan tetapi, penggunaan yang umum atas hutang dan penukaran dalam kehidupan
Israel memperlihatkan bahwa amsal ini jangan dimengerti secara harfiah.
Melainkan, amsal itu mengingatkan untuk waspada dalam menang gung utang,
karena kita bisa kehilangan semuanya di dalam proses itu.
4. Perikop-perikop yang sulit harus diterapkan secara lintas budaya ke pada situasi
yang analogis hari ini. Banyak dari ucapan hikmat itu bergantung pada kebiasaan
kuno dan tidak dapat dipahami dari sudut pandang modern. Prinsip-prinsip
universal yang dikandung dalam ucapan-ucapan seperti ini harus disarikan dan
diterapkan kembali pada situasi-situasi masa kini. Hal tersebut memang berlaku
untuk semua tulisan-tulisan hikmat, dan tentunya atas seluruh Kitab Suci (lihat
bab 17). Namun, karena “hikmat" nenek mo yang ini, yang naturnya memang
praktis, secara khusus terikat pada budaya yang telah lama mati, kita harus
berhati-hati dalam menangani dan mene rapkan bahan ini. Misalnya, Amsal 11:1
("Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN,/ tetapi la berkenan akan batu
timbangan yang tepat”) bergantung pada penggu naan timbangan itu untuk
menentukan nilai dari barang-barang dan untuk hari ini suatu imbauan untuk
melakukan praktik-praktik bisnis yang jujur. Demikian pula, ketika Amsal 25:24
mengatakan bahwa adalah "lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah / dari pada
diam serumah dengan perempuan [istri] yang suka bertengkar," amsal tersebut
sedang menggambarkan atap ru mah yang datar pada zaman Alkitab, tempat
keluarga sering beramah tamah. Kita akan mengatakan "lebih baik diam di loteng
rumah.” Ketika Amsal 26:8 mengatakan "Seperti orang menaruh batu di umban, /
demikianlah orang yang memberi hormat kepada orang bebal," ini merujuk
kepada penggunaan umpan sebagai senjata Ini berarti bahwa kehormatan yang
demikian akan dibuang seperti batu. Kita dapat trenerjemahkannya seperti,
"membert hormat kepada orang bebal adalah seperti menempatkan sebutir peluru
ke dalam senjata; itu akan segera melesat dan menghilang Hal yang penting
adalah memilih situasi-situasi yang analogis agar kebenaran batinnya dapat mun-
cul.
Tidak ada yang tahu asal usul yang tepat dari hikmat sebagai suatu
gerakan. Catatan-catatan Makedonia, Sumeria dan Akkadia berisi banyak karya
seperti amsal atau ajaran etika yang dimaksudkan untuk memampukan individu
menangani kehidupan dengan berhasil. Bentuk-bentuk ini kemudian dikem-
bangkan lebih jauh oleh orang Asyur dan Babel, dan sejumlah besar literatur
bermunculan (lihat Waltke dan Diewert 1999.302-4 untuk survei literatur atas
topik ini).
Mesir memiliki tradisi sastra hikmat yang sudah lama dan sangat me-
limpah. Konsep kuncinya adalah maat, "tatanan" atau "kebenaran." prasya- rat
untuk hidup selaras dengan "tatanan" ilahi atas semua hal. Satu aspek yang layak
diperhatikan adalah tidak adanya penekanan pada pengalaman pribadi dan
penegasan ketundukan total pada cara dari para dewa. Orang Mesir
mengembangkan suatu istilah teknis untuk orang bijak yang mengikuti jalur yang
tepat orang yang hening, orang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri dan
menghindari hal-hal yang tidak perlu dengan bersandar penuh kepada maat.
Berbeda dengan orang vang hening. "orang yang bernafsu men ceburkan dirinya
pada kehidunan dan tidak memiliki “tatanan." Pada mula nya para ahli berpikir
bahwa sastra hikmat Mesir benar-benar sekuler dan memiliki sedikit isi religius.
karena perintah-perintah di dalamnya sepenuhnya utilitarian dan kelihatannya
dirancang untuk mengajar orang-orang muda bagaimana caranya berhasil di
dunia. Akan tetapi, studi terkini menunjukkan dengan pasti keyakinan religius
vang mendasarinya (lihat Würthwein 1976:116 20). Bagaimanapun, maat atau
tatanan ini bukan diberikan oleh pewahyuan ilahi namun diturunkan melalui
tradisi dari para guru yang telah memba hasnya secara pragmatis. Keberhasilan
dalam kehidupan ini dan upah di da lam hidup yang akan datang menanti orang
yang tunduk.
Sejauh mana pengaruh sastra hikmat Mesir dan Mesopotamia atas Is rael
masih diperdebatkan. Melalui interaksi yang berlanjut antara orang orang kuno
(militer, politik dan perdagangan) pengaruh-pengaruh tertentu bisa diperoleh. Hal
ini secara khusus bisa dilihat pada masa Salomo; Salomo menikahi para putri raja
dari Mesir, Mesopotamia, dan banyak daerah lainnya, dan pengadilannya dipenuhi
oleh pengaruh-pengaruh asing. Akan tetapi, keli ru kalau kita mengatakan bahwa
Israel tidak memiliki tradisinya sendiri dan sepenuhnya hanya sekadar meminjam
dari negara-negara tetangganya. Riset yang terkini menyediakan bukti bahwa
tulisan hikmat Israel sudah ada sebe lum Salomo dan Salomo menjadi guru
hikmat paling luar biasa dari sederetan panjang guru-guru hikmat yang ada
(1Sam. 24:14 memperlihatkan literatur "hikmat" sudah ada paling sedikit sejak
awal dari kerajaan itu).
Hal yang lebih sulit dipastikan adalah keyakinan bahwa sekolah orang
Israel menyediakan suatu tempat yang lebih awal bagi pengajaran hikmat. Ada
beberapa masaiah dengan pandangan ini, seperti pertanyaan tentang apakah
sekolah-sekolah itu sudah ada pada masa awal di Israel. Argumen yang paling
kuat berasal dari kesejajaran sejarah, yaitu, pengaruh dari sistem- sistem
pendidikan Mesir dan Mesopotamia. Bagaimanapun, hanya sedikit yang bersedia
memasukan ini ke dalam periode sebelum masa kerajaan. Masalah Ini sejajar
dengan pembahasan sebelumnya mengenai sastra hikmat dalam keluarga atau
kaum: semua solusi hanya dapat diduga; tidak ada bukti yang langsung. Rasanya
logis juga bahwa diwariskannya tradisi hikmat yang otori- tatif dapat berpusat di
sekolah (jika sekolah memang sudah ada) sama seperti dalam keluarga, dan sudah
tentu "kualitas sastra yang tinggi dari ucapan- ucapan ini dapat menunjuk kepada
"asal-usul, atau paling tidak pembuda- yaan, di tengah-tengah suatu kelompok ahli
tulis yang memiliki suatu keah- lian dengan kata-kata atau ide-ide" (Murphy
1981:8). Akan tetapi, kita tidak dapat menelusuri lebih jauh selain mencatat
kemungkinan sumber yang awal seperti ini sebagai suatu sistem sekolah, dengan
sesi-sesi pengajarannya bisa berlangsung di Bait Allah dan kehidupan pengadilan
sejak era Salomo (lihat Crenshaw 1974:228-29). Ini semua tidak lebih dari
sekadar kemungkinan. Saya sependapat dengan Gerald Sheppard bahwa data yang
kita ketahui le- bih cenderung pada adanya sejenis tempat belajar publik, namun
kemung- kinan sistem sekolah secara formal belum ada. Pendidikan terjadi
terutama melalui keluarga dan secara sporadis melalui orang-orang bijak yang
ditun- juk yang mengajar rakyat (2Taw. 17:7-9; Pkh. 12:9). "Rumah Pendidikan
(sekolah) paling awal yang dicatat adalah Bin Sirakh dalam abad kedua SM (Sir.
51:23). Sebelum itu sinagoge mungkin merupakan pusat pendidikan orang Ibrani.
Banyak amsal telah ditemukan dalam kitab-kitab sejarah (seperti Ket 10:9;
Hak. 8:21: 15:16; 1Sam. 16:7; 24:13), namun ini semua tidak bisa secara otomatis
ditetapkan sebagai sastra hikmat awal. Hari ini banyak yang berpen. dapat bahwa
amsal merupakan bentuk dasar dari sastra hikmat, namun amsal merupakan
subgenre tersendiri dan dapat digunakan dalam banyak tradisi yang berbeda.
Crenshaw mencoba memperjelas keadaannya dengan mengembangkan suatu
metodologi (1969:129-42). Ia mulai dengan memilah tipe-tipe pemikiran hikmat
yang berbeda: hikmat keluarga, hikmat hukum (kemungkinan dasar bagi Kel.
23:8), hikmat pengadilan, hikmat penulisan serta hikmat didaktik. Akan tetapi, di
sepanjang tulisannya ia lebih kepada mengkritik metode orang lain ketimbang
mengembangkan serangkaian krite ria positif yang jelas. Dua masalah mendasar
dari metode-metode terkini adalah penalaran sirkuler (memasukkan kembali
fungsi hikmat ke dalam bentuk-bentuk hikmat yang memungkinkan) dan
kegagalan untuk memper timbangkan kemungkinan dari suatu “sumber linguistik
yang umum" (seperti amsal) yang melintasi batas-batas genre (lihat Crenshaw
1975:9-10). Dua masalah ini memiliki kepentingan hermeneutis yang lebih
penting dari sastra hikmat, tatkala kedua kekeliruan ini sering muncul dalam
semua keputusan genre. Beberapa ciri bisa menunjuk kepada suatu ucapan
hikmat. Satu tipe dasar adalah amsal. Sifat-sifat stilistika lainnya adalah
personifikasi ("Hikmat" sebagai makhluk yang hidup), antitesis (kontras yang
kuat antara dua kubu atau kekuatan, seperti bijak-bodoh), metafora-metafora
duniawi (seperti orang bodoh dilukiskan sebagai seorang pelacur yang menggoda
dalam Amsal 9:13 18) dan di atas semua itu sifat pragmatis dari pengajaran. Hal
yang terakhir ini berubah menjadi fungsi, tentu saja dua aspek ini (bentuk dan
fungsi) ha rus bersatu dalam mengenali suatu ucapan tertentu sebagai ucapan yang
pada intinya adalah ucapan hikmat. Pada umumnya ucapan-ucapan yang bersifat
amsal dapat mewakili sastra hikmat yang baru muncul, meskipun banyak ucapan
seperti itu (misalnya, Itulah alasannya menjadi peribahasa: Apa Saul juga
termasuk golongan nabi? (1Sam 10:12) atau, sebab itu dikatakan orang Seperti
Nimrod. seorang pemburu yang gagah perkasa di hadapan TUHAN (Kej. 10:9)
meru pakan ucapan ucapan setempat ketimbang hikmat. Hakim-hakim 8:21 ( perti
orangnya, demikian pula kekuatannya dan 1 Samuel 24:13 Seperti peribahasa
orang tua-tua mengatakan: Dari orang fasik umbul kefasikan keduanya memiliki
bentuk dan fungsi ucapan hikmat dan dapat menjadi bukti bagi suatu tradisi yang
lebih awal. Sebagai kesimpulan, paling baik mengatakan bersama Nel bahwa
sastra hikmat hadir di Israel pada suatu tarikh yang awal namun baru menjadi tra-
dist yang dibakukan bersamaan dengan terbentuknya kerajaan (1982:1-2).
Rasanya hampir tidak bisa lain; dalam periode yang lebih awal. Israel mem-
fokuskan semua energinya pada mempertahankan hidup dan hampir tidak
memiliki waktu untuk mengembangkan gerakan intelektual seperti ini.
Dua area yang menarik untuk tujuan hermeneutika. Pertama, gaya ter kini
dalam mencari tema-tema hikmat dalam hampir setiap kitab di kedua Perjanjian
memanfaatkan kriteria yang diragukan dan memberikan hasil- hasil yang sangat
meragukan. Usaha seperti ini harus ditangani dengan sa- ngat hati-hati dan
diperiksa dengan sangat teliti. Kedua, tema-tema hikmat memang memainkan
peran yang penting dalan dunia kuno, dan kita perlu memberikan perhatian yang
lebih besar kepada rumpun sastra yang sangat kaya ini. Sangat mungkin gerakan
sastra hikmat ini mulai pada awal sejarah Israel, walaupun bersama Daud
(perhatikan mazmur-mazmur hikmat dalam bagian sebelumnya) dan Salomo,
gerakan sastra hikmat itu memasuki masa keemasannya
2.4 NUBUAT
Gordon Fee dan Douglas Stuart menyebutkan tiga alasan mengapa para
nabi muncul khusus pada saat kritis dari sejarah (2003:191): (1) Pergolakan yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam dunia politik, militer, ekonomi dan sosial
menyebabkan krisis yang mengerikan. (2) Terjadi pergolakan reli- gius, ketika
kerajaan yang terpecah itu terus-menerus berpaling dari Yahweh dan kovenan-
Nya untuk menyembah dewa-dewa asing. (3) Pergeseran dalam populasi dan
batas-batas nasional menyebabkan kondisi yang terus tidak te- nang. Maka, berita
ilahi menjadi diperlukan lagi, dan Allah memilih sarana nubuat untuk memaksa
Israel menyadart bahwa Dialah yang sedang berb cara. Secara historis, aktivitas
bernubuat sudah dimulai cukup awal. Abraham disebut seorang nabl dalam
Keladian 20:7, namun ia tidak pernah berbicar atas nama Tuhan. Harun
merupakan nabi bagi Musa dalam pengertian men Jadi juru bicaranya dalam
Keluaran 7:1. dan Miriam disebut seorang "nab dalam Keluaran 15:20 ketika la
menyanyikan refrain dari Nyanyian Musa Dalam Bilangan 11:26-30 Eldad dan
Medad bernubuat ketika "Roh itu hing. gap pada mereka," dan dalam Bilangan
12:6-8 Allah membedakan para nabt yang kepada mereka Allah berbicara melalui
penglinatan dan mimpi, dengan Musa, yang kepadanya Allah berbicara dengan
berhadapan muka. Faktanva kitab-kitab sejarah (Yosua sampai Raja-raja) disebut
"Nabi-nabi Awal dalam kanon Ibrani dan berisi cukup banyak aktivitas profetik -
dari Debora sane nabiah dalam Hakim-hakim 4:4 ke Samuel (1Sam. 8:7, 10) ke
Natan san nabi penasihat Daud (2Sam. 5:9: 7:13) sampai pelayanan yang berkuasa
dar Elia dan Elisa (1Raj. 17-2Raj. 13), para nabi yang berbicara atas nama Allah
sangat penting dalam meresmikan dan mengawasi kerajaan itu (Schmit 1992:5,
482-83). Elemen yang unik tentang nabi (dibandingkan dengan akti. vitas
bernubuat di seluruh tempat di Timur Dekat kuno dan dengan kitab kitab
Perjanjian Lama lainnya) dalam tulisannya adalah penghakiman vang mutlak.
Dimulai dari Amos dan berlanjut ke pembuangan, para nabi menva takan akhir
dari kovenan dan itu berarti akhir dari keberadaan Israel dan Yehuda. Allah akan
menghancurkan bangsa yang lama itu dan membangkit. kan suatu umat yang baru
sebagai ganti mereka (Yeh. 37). Sangatlah mung kin bahwa hal ini sebagian
menjelaskan adanya koleksi dari nubuat-nubu tersebut itu dan kemudian kitab-
kitab profetik (Gowan 1998:6-9).
Ada tiga tokoh pendahulu dari para nabi (bdk. VanGemeren 1990:28 38):
Musa merupakan "sumber dari tradisi para nabi" dengan hubungan khususnya
sebagai juru bicara bagi Allah dan penengah antara Allah dan Is rael (Bil. 12:6-8).
Pengalamannya di Sinai melampaui pengalaman profetik yang normal, dan Musa
menjadi nabi yang eskatologis menurut Ulangan 18:15 22. Bahkan, ada bukti
untuk "kaitan linguistik, struktural, dan tematik antara Musa pada satu sisi dengan
Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel pada sisi lain" (Baker 1999:269). Lalu Samuel
merupakan “model bagi peran para nabi," da lam Kisah Para Rasul 3:24 disebut
nabi yang pertama (dan dalam Kis. 13:20 disebut sebagai Hakim terakhir) dan
“nabi TUHAN" bagi bangsa itu (1Sam. 3:20). Jadi Samuel berdiri pada titik
peralihan perkembangan dari para ha kim menuju kerajaan dan para nabi. Jadi ia
merupakan “pengawal dari theo krasi" dalam pengertian menjaga bangsa itu untuk
tetap setia kepada Allah. Akhirnya, Elia merupakan seorang yang "membentuk
arah dari para nabi klasik." Meskipun Elia tidak pernah merniliki satu pun kitab
nubuat, ia telah membangun suatu pola bagi nubuat malapetaka terhadap umat
yang me nyembah berhala dan merupakan nabi pertama dari "para penuntut ko
venan" terhadap bangsa itu. John Eaton (1997:5) membahas empat hal yang
bersumbangsih pada keagungan para nabi Ibrani: (1) kritik mereka atas
masyarakat. (2) visi mereka tentang periyelamatan (suatu dunia baru dan se arang
penguasa yang menyelamatkan (mestanisi), (3) pengabdian pribadi ke hidupan
yang diberikan sepenuhnya kepada Allahi, dan (4) tulisan mereka (bukan hanya
menyampaikan kutukan melainkan juga makna dan harapani Krtais besar yang
dihadapi bangsa itu menghasilkari para nabi yarig agung untuk memenuhi banyak
kebutuhan itu.
1. Panggilan atas para nabi. Panggilan atas para nabi dapat datang me- lalui suatu
pengalaman pewahyuan yang supernatural, seperti dalam kasus Yesaya (6:1-13)
atau Yeremia (1:2-10); panggilan dapat juga terjadi melalui sarana natural, seperti
ketika Elia melemparkan jubahnya kepada Elisa (1Raj 19:19-21), menunjukkan
pengalihan otoritas dan kuasa, dan dapat mencakup pengurapan (1Raj. 19:16).
Berbeda dari imam atau raja, nabi tidak pernah meraih Jabatan-nya secara tidak
langsung melalui pewarisan namun selalu secara langsung sebagai suatu hasil dari
kehendak ilahi. Signifikansi dari panggilan itu tetap sama: Para nabi tidak lagi
mengendalikan tujuan hidup mereka sendiri melainkan menjadi milik Yahweh
seluruhnya. Mereka tidak berbicara bagi diri mereka sendiri dan bahkan mungkin
tidak mau mengu- capkan pesan yang disampaikan (lihat Yer. 20:7-18), namun
mereka berada di bawah kendali Yahweh, dipanggil untuk menyampaikan berita
ilahi kepada umat itu.
2. Peran yang kompleks dari para nabi Peran liki berbagai segi. Peran yang
terutama adalah sebagai pembawa pesan dari Allah yaang diutus untuk
memanggii umat itu kembali kepada hubungan ko- venan mereka dengan
Yahweh. David Petersen menentang sebutan "jaabatan dan "karisma" untuk peran
seorang nabi (1981:9-15). Kedua konsep itu se- ring kali dikontraskan, seolah-
olah jabatan itu institusional dan karisma anti-institusional. Petersen
mengemukakan bahwa para nabi itu memainkan suatu peran ketimbang
memenuhi suatu jabatan. la pada intinya tepat, karena kita memiliki sedikit bukti
tentang adanya pendirian institusi di tengah-ten para nabi Israel (tidak seperti para
tetangga mereka, seperti orang Filistin). p nabi Yahudi itu bersifat individual
seperti Elia atau Yeremia; mereka dinan gil secara langsung oleh Allah dan tidak
termasuk “institusi mana pun lam satu pengertian, mereka itu "karismatik," karena
mereka dipenuhi Roh Allah- penggeraknya berasal dari Allah ketimbang dari
manusia. ikuti arahan-arahan dari Allah. Ada banyak pandangan yang keliru
mengenai para nabi Israel, sener pandangan Hermann Gunkel mengenai para nabi
sebagai orang-orang yang gembira dengan pengalaman religius yang dalam atau
pelukisan atas merek oleh Max Weber sebagai guru-guru karismatik atau ide
Sigmund Mowincle bahwa mereka merupakan orang-orang suci dari kelompok
religius yang di- minta oleh para imam dan berfungsi terutama di tempat-tempat
religius Pandangan yang lebih mendekati adalah studi dari Peterson atas
terminologi bahwa mereka adalah "para pelihat" yang disatukan ke dalam
masyarakat Is rael sama seperti "manusia-manusia suci dari Allah" yang
berpindah-pindah tempat dan “para nabi" yang merupakan "juru bicara kovenan"
(VanGemeren 1990:43-44).
Pada umumnya orang-orang pada hari ini menjadikan para nabi sebaga
para pelaku revolusi atau paling tidak sebagai para pembaru sosial di per kotaan.
Akan tetapi, itu tidak benar. Meskipun mereka mengutuk dosa-dosa sostal dari
orang-orang di masa, namun itu bukan tujuan akhir mereka me lainkan lebih
sebagai contoh-contoh tertentu dari pesan utama mereka, yaitu pemberontakan
religius dari bangsa itu. Mereka bukanlah para pekerja sosial namun terutama
adalah para pengkhotbah, para duta Allah yang mewakilj Nya di hadapan bangsa
itu yang telah berpaling dari jalan-jalan-Nya. Mercka bukan menyampaikan pesan
mereka sendiri melainkan pesan Yahweh, dan formula pendahuluan mereka
("Maka berfirmanlah TUHAN," "Tuhan berfir man kepadaku") memperlihatkan
kesadaran mereka bahwa mereka seutuh nya adalah sarana bagi pesan ilahi itu.
2. Reformasi ketimbang inovasi menjelaskan tujuan dasar dari para nabi (lihat
Wood 1979:73-74). Sudah lazim di masa lalu (Wellhausen, Scott, Whitley untuk
memandang para nabi sebagi orang-orang yang memainkan peran for matif di
dalam perkembangan agama Israel, bahkan menjadikan mereka seba gai para
perumus etika monotheisme. Akan tetapi, para ahli terkini menyadari kurangnya
bukti untuk pandangan seperti ini. Para nabi tidak mengembang kan pesan yang
baru melain.kan menerapkan kebenaran-kebenaran masa lalu kepada situasi yang
sedang berlangsung pada bangsa itu. Pelayanan mereka lebih berupa konfrontasi
ketimbang menciptakan. Mereka bukanlah para the olog yang inovatif melainkan
orang-orang yang membawa kebangunan rohani. yang berusaha membawa umat
itu kembali kepada Yahweh dan kebenaran tradisional dari iman Yahudi.
Misalnya, para nabi tidak membentuk doktrin tentang pengharapan mesianis; yang
telah ada sejak zaman Musa (UL. 18:18). Mereka mengembangkannya,
menambahkan detail-detail lanjutannya, namun sama sekali tidak membuat suatu
doktrin tentang mesias ex nihilo. 3. Pemeliharaan atas tradisi dengan demikian
merupakan suatu tindak an sejalan yang penting di dalam pelayanan para nabi.
Kita dapat melihat ini tidak hanya di dalam seruan profetik agar Israel kembali
pada penyembahan nenek moyangnya kepada Yahweh namun juga dalam
ketergantungan har fiah dari para nabi yang kemudian pada penyataan-pernyataan
yang telah diterima dart Taurat dan dari para nabi yang sebelumnya, seperti
Yehezkiel menggunakan Yeremia, Yeremia menggunakan Yesaya. Hosra atau
Yesaya mergunakan Amos (lihat pembahasan dalam Fishbane 1985:292-3171. Sa
lah satu tugas mereka adalah meneruskan tradist yang telah diterima (bdk. 1 Kor
15:3; 21m. 2:2).
Hubungan para nabi ini dengan kepercayaan pemujaan dart Israei telah
diperdebatkan secara luas (lihat rangkuman yang sangat baik dalam Smith
1986b:992-93) Di masa lalu, para ahli yang kritis (seperti Wellhausen) meng-
usulkan suatu perbedaan yang radikal antara nabi dan imam atas dasar perikop
seperti Yesayn 1:10-15: Yeremia 6:20; 7:22-23: Amos 5:21-25: Hosca 6:6: Mikha
6:6-8. Namun usulan ini mengabaikan banyak perikop yang mem perlihatkan
hubungan antara nabi dan tabernakel atau Bait Allah (seperti 1Sam. 3:1-21; 9:6-
24: 2Sam. 7:4-17: Yer. 2:26 5:31: 8:10: Am, 7:10-17). sebagai akibatnya, para
ahli lain (seperti Mowinckelj beralih kepada ekstrem lainnya dan memandang
para nabi sebagai pejabat-pejabat Bait Allah. Ham- pir semua ahli pada hari ini
berada di antara dua pandangan ini, mengakui bahwa para nabi menerima
sentralitas Bait Allah dan kultus namun meng Imbau pembaruan. Para nabi
berfungsi di dalam agama yang sudah mapan namun berusaha melenyapkan
orang-orang yang tidak beragama dan prak- tik-praktik yang tidak etis yang
menonjol agar segenap umat dan para imam kembali kepada kebenaran kuno
(What Baker 1999:271). Singkat kata, me- reka memiliki pengetahuan yang dalam
tentang isu-isu kepercayaan dan meng- imbau umat itu kembali kepada kehidupan
yang percaya, namun ini tidak membuat mereka menjadi pejabat. Pertanyaan
lainnya adalah seberapa besar peran mereka bagi Yudaisme secara umum. Apakah
mereka didengar dalam hal-hal publik, atau apakah mereka memiliki pengaruh
melawan budaya? Hampir semua dari mereka, seperti Amos, adalah orang luar.
Sebagian, se- perti Yesaya atau Yeremia, memberikan nasihat untuk suatu masa
(Yesaya pada waktu pemerintahan Hizkia [Yes. 36-39]) namun pada akhirnya
ditolak berkenaan dengan nubuat mereka tentang penghakiman (lihat Ward
1991:19- 21).
Fee dan Stuart merangkum materi Alkitab ke dalam enam kategori ber kat
(kehidupan, kesehatan, kemakmuran, kelimpahan pertanian, kehormatan dan
keamanan), dan sepuluh tipe hukuman (kematian, penyakit, kekeringan. paceklik,
bahaya, penghancuran, kekalahan, pembuangan, kemiskinan dan rasa malu).
Proklamasi dari para nabi berpusat pada kategori-kategori ini dan akan
menonjolkan salah satu di antaranya tergantung pada situasi yang ada. Janji
"mesianis" dari perikop-perikop seperti Amos 9:11-15 berpusat pada kemakmuran
(ay. 11-12), kelimpahan pertanian (ay. 14) dan keamanan (ay. 15); dan kutukan-
kutukan dari Nahum 3:1-7 mengaitkannya dengan bahaya (ay. 2), penghancuran
dan kematian (ay. 3), rasa malu dan kemiskinan (ay. 5 7). Penekanan khusus pada
kovenan terlihat pertama kali dalam Hosea 6:7: 8:1, yang mengutuk Israel karena
"melanggar kovenan" itu. Yeremia merinci ini ke dalam suatu theologi kovenan
yang matang, mulai dengan syarat syaratnya yang ketat (Yer. 11:6-7). yang telah
dilanggar oleh Yehuda (Yer. 11:8-10). Karena kovenan itu diperlukan sebagai
penjamin dari anugerah Allah (Yer. 14:21) dan karena kovenan yang lama tidak
memadai (Yer. 31:32), Yahweh akan membangun suatu kovenan yang baru dan
yang lebih balk (Yer. 31:31-34). Kedudukan Taurat dan kepercayaan menjadi
lebih rumit. Seolah-olah ada penekanan-penekanan yang bertoiak beiakang:
beberapa perikop keli hatannya menjadikan penyembahan ritual sebagai suatu
elemen yang diper lukan dari kepercayaan profetik (para nabi berada di tempat
yang tinggi da lam 1Sam. 10, dan sentralitas dari mezbah dalam peperangan di
Gunung Karmel antara Elia dan para imam Baal dalam 1Raj. 18). Samuel
dibesarkan dan di panggil oleh Allah bagi pelayanan profetiknya di Silo (1Sam.
3), dan Natan dimintai pendapatnya ketika Daud bermaksud mendirikan Bait
Allah (2Sam. 7). Namun pada saat yang bersamaan ada beberapa perikop yang
menyepele kan penyembahan melalui kurban, dengan menyatakan bahwa Yahweh
tidak akan berbagian di dalamnya (seperti Yes. 1:11-14; Yer. 6:20; 7:21-23; Hos.
6:6; Am. 5:21-23; Mik. 6:6-8). Amos, sebagai contoh, memisahkan dirinya dari ke
percayaan para imam yang sudah mapan itu (lihat Am. 7:14).
Para ahli terbagi dua dalam masalah ini, sebagian berpendapat bahwa para
nabi hanyalah perpanjangan dari tatanan keimaman (Mowinckel, Eiss feldt), yang
lainnya berpendapat bahwa para nabi anti tempat pemujaan dan anti sistem
pemujaan (pada umumnya percaya hal tersebut karena dalam ta hap-tahap
awalnya gerakan profetik itu mengikuti praktik-praktik orang Kanaan: What
Robertson Smith). Akan tetapi, tidak ada satu pun yang benar. dan hampir semua
ahli hari ini mencari perspektif yang lebih seimbang (Smith 19866-992-931:
Sawyer 1987:19-22). Para nabi bukan bereaksi melawan sis- tem penyembahan
Yahudi melainkan menolak penyembahan berhala dan praktik praktik religius
yang keliru dari Israel dan Yehuda. Para nabi adalah pelindung dari Taurat dan
kepercayaan dan mengutuk penyembahan Israel karena tidak murni
Hampir semua yang telah dikatakan dalam bagian sebelumnya dapat juga
diterapkan pada pesan para nabi, karena kita tidak boleh memisahkan peran dari
pemberitaan. Akan tetapi, ada beberapa isu yang masih perlu dibahas. dan ini
terkait langsung kepada pesannya. Kesalahpahaman yang mendasar berkenaan
dengan sastra profetik dalam Perjanjian Lama adalah bahwa tu- lisan-tulisan
tersebut terkait terutama kepada masa depan. Sudah lazim ber- pikir bahwa
'ramalan hampir merupakan definisi dari nubuat. Ini tidak be- nar. Carl Peisker
mencatat bahwa baik kata Ibrani maupun Yunani tidak memberi peluang kepada
orientasi masa depan (1978:74-84). Nabi memiliki sisi aktif dan pasif: secara
pasif, seorang nabi dipenuhi oleh Roh Kudus dan menerima pesan Allah; secara
aktif, seorang nabi menafsir atau memberita- kan pesan Allah kepada orang-orang
lain. Sisi pasif boleh jadi lebih menonjol namun keduanya ada: seorang nabi
adalah seseorang yang diinspirasi oleh Yahweh untuk mengkhotbahkan pesan-
Nya kepada umat-Nya.
Saya yakin jawabannya rangkap dua. Pertama, saya lebih suka menggu
nakan istilah penggenapan analogis (atau tipologia) untuk melukiskan peng
genapan janji. Istilah dobel atau beragam tidak diperlukan, karena para pe nullis
Perjanjian Baru dapat melihat situasi-situasi yang analog dalam sejarah
penyelamatan dan mengaitkan mereka secara profetik (dengan nubuat yang
diterimal. Kedua, kuncinya adalah konsep orang Yahudi mengenai penero pongan
waktu. Pada tindakan Allah dalam sejarah, suatu kaitan konseptual akan
menyamakan situasi-situasi analogi ("seribu tahun sama seperti satu hart [2Ptr.
3:8] meleburkan masa lalu, kini, dan depan). Oleh karena itu, Perjanjian Baru
dapat menghadirkan secara bersamaan Antiokhus Epifanes (masa lalu).
penghancuran Yerusalem (masa kini) dan peristiwa-peristiwa akhir zaman (masa
depan). Mickelsen membahas dua isu yang berhubungan (1963:289-94). Perta-
ma, nubuat bukan hanya sejarah yang ditulis entah setelah (orang liberal) atau
sebelum (orang Injili) peristiwanya. Pandangan yang pertama adalah produk dari
antisupernaturalisme, yang kedua adalah pernyataan yang ber- lebihan. Keduanya
bergumul dengan sifat misterius dart nubuat yang me- nyingkapkan beberapa
detail tertentu mengenai peristiwa masa depan namun membiarkan banyak
bagiannya dalam keraguan. Nubuat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
keduanya ambigu, dan meskipun menunjuk kepada peristi- wa-peristiwa historis
yang memang terjadi, nubuat-nubuat dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama
sama-sama udak menyingkapkan peristiwa-peristiwa itu secara keseluruhan.
Seorang penafsir harus secara hati-hati mem- pertimbangkan isu mengenai
penggenapan, biarlah teksnya ketimbang peristiwa- peristiwa yang sedang terjadi
yang menentukan tafsirannya.s Isu yang kedua adalah sifat progresif dari nubuat.
Nubuat-nubuat yang lebih kemudian sering menambah detail-detail pada nubuat-
nubuat sebe- lumnya, dan penggenapannya lebih besar daripada jumlah total dari
janji- janji sebelumnya. Nubuat-nubuat mestanis secara khusus memperlihatkan
ini. Walaupun dengan semua detall yang diramalkan oleh para nabi sampai saat
itu, orang Yahudi belum siap dengan kehadiran Yesus (perhatikan kesa-
lahpahaman yang terus-menerus dari para murid) dan realitasnya jauh me-
lampaui yang diharapkan. Faktanya adalah bahwa Allah memberi kepada para
nabi itu hanya kilasan terbatas dan tidak pernah gambaran yang menye- luruh.
Seperti yang Petrus katakan, "Nabi-nabi, ... menyelidiki dan meneliti. saat yang
mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus. yang ada di
dalam mereka" (1Ptr. 1:10-11). Dengan cara yang sama, para penafsir modern
memerlukan kerendahan hati ketimbang dogmatisme tatkala mereka mencoba
memahami penggenapan dari peristiwa-peristiwa akhir zaman. Meminjam bahasa
Paulus (di luar konteksnya), kita juga "melihat dan cermin suatu gambaran vang
samar-samar" ketika menerapkan nubuat
3. Suatu aspek bersyarat sering kali terlihat, dan beberapa nubuat bergantung pada
penggenapan syarat itu. Penghancuran Niniwe jelas-jelas dia lihkan ketika raja
dan rakvatnva berkompromi, dan nubuatnya dibatalkan ( Yun 3:4-10). Nubuat itu
bukan menjadi tidak terpenuhi, tetapi, karena nubuat tersebut bersyarat dari
awalnya. Prinsip itu dirinci dengan jelas dalam Yeremia 18: 7-10, yang
menyatakan bahwa Allah tidak akan menggenapkan rancang an- rancangan
malapetaka jika orang-orangnya melakukan kontrak, dan Ia akan menghapuskan
janji-janji jika mereka berubah dari jalan-jalan-Nya. Banyak yang disebut nubuat-
nubuat yang tidak tergenapi (seperti nubuat mengenai peng hancuran total atas
Damsyik dalam Yesaya 17:1 atau pernyataan dari Hulda bahwa Yosia akan mati
dalam 2Raj. 22:18-20) tanpa keraguan dapat dijelas kan sebagai nubuat yang sejak
awal sudah bersyarat.
1. Ucapan penghakiman merupakan bentuk dasar dari berita profetik. Seperti yang
telah Claus Westermann tunjukkan (1967:129-63), nubuat peng- hukuman
biasanya dimulai dengan bagian pendahuluan yang mengutus sang nabi
("Pergilah, bernubuatlah" [Am. 7:15]) diikuti oleh suatu bagian yang me- rinci
dakwaan atau melukiskan situasi yang mengarah kepada penghakiman ("Engkau
berkata: 'Janganlah bernubuat menentang Israel [Am. 7:16]). Kemudian hadirlah
formula dari sang utusan ("Sebab itu beginilah firman TUHAN" (Am. 7:17al) dan
ramalan mengenai bencana ("Isterimu akan ber- sundal di kota, dan anak-anakmu
laki-laki dan perempuan akan tewas oleh pedang: tanahmu akan dibagi-bagikan
dengan memakai tali pengukur, eng- kau sendiri akan mati di tanah yang najis,
dan Israel pasti pergi dari tanah- nya sebagai orang buangan" [Am. 7:17b]).
Memang ini barulah formula dasar. Seperti yang John Hayes nyatakan, teks-teks
yang sepenuhnya mengikuti po- la ini lebih merupakan "pengecualian ketimbang
menjadi aturan" (1979:277). Akan tetapi, aspek-aspek ini dijumpai dalam
sejumlah besar teks dan sangat membantu dalam memahami mereka. Adakalanya
ini bahkan mengambil bentuk suatu keluhan liturgis, dengan perincian mengenai
bencana, suatu permohonan kemurahan hati, dan suatu pernyataan dari Allah
bahwa la tidak akan bermurah hati karena dosa Israel (misalnya, Yes. 63:7-64:12;
Yer. 14:1-22) (Kelin, Blomberg Hubbard, 1993:296-98).
2. Nubuat mengenai berkat atau pelepasan, juga dikenal sebagai ucapan- ucapan
penyelamatan (lihat Yes. 41:8-20; Yer. 33:1-9) memiliki bentuk yang mirip
dengan tipe yang pertama, dengan situasi yang dirinci, diikuti dengan berkat itu
sendiri.s Penekanan utama dalam ucapan-ucapan penyelamatan pe adalah pada
kemurahan ilahi. Para nabi dengan jelas menyatakan bahwa lepasan itu hanya
karena intervensi Allah sendiri. Sebagian penafsir (March pemberitaan tentang
penyelamatan (pelepasan masa depan), namun ini sa- 1974:163) memisahkan
"ucapan penyelamatan" (pelepasan masa kini) dari ngat meragukan dan
perbedaan-perbedaannya (seperti adanya “janganlah ta kut" di dalam ucapan itu
dan adanya bentuk ratapan di dalam pemberitaan itu) lebih disebabkan karena
situasi yang dituju ketimbang bentuknya.
3. Ucapan kutuk (Yesaya 5:8-24; Amos 5:18-20; Mikha 2:1-4; Habakuk 2:6-8)
merupakan tipe khusus dari nubuat penghakiman yang berisi hou di ikuti oleh
serangkaian partisipel yang merinci subjeknya, pelanggarannya dan hukumannya.
Bagi orang Israel, kutuk berarti tragedi dan duka yang segera terjadi. Itu
merupakan sarana yang sangat kuat untuk mengumumkan peng hukuman, dan
penekanannya lebih terletak pada penghakiman yang segera terjadi ketimbang
dukacita yang diakibatkan (juga benar dalam “celaka-celaka" dari Luk. 6:24-26).
Sudah ada sejumlah studi penting berkenaan dengan asal dari kutuk, sebagian
studi berpusat pada kutuk sebagai sejawat yang negatif dari ucapan bahagia, yang
lainnya pada kutuk sebagai sarana didaktik da lam pengajaran rakyat.
Kecenderungan hari ini adalah memandang latar be lakangnya di dalam ratapan
pemakaman sebagai reaksi profetik terhadap penghakiman yang tidak
terhindarkan yang segera terjadi (lihat Tucker 1985:339 40; Sawyer 1987:30).
7. Ratapan profetik (dirge) muncul ketika sang nabi memberikan suatu *ratapan
pemakaman bagi Israel (bdk. Yes. 14:3-21: Yeh. 19:1-14, 26:17-18, 27:32),
seolah-olah bangsa itu sudah merupakan suatu mayat yang disiapkan untuk
pemakaman. Ada beberapa aspek formal (menggunakan Am. 5:1-3): panggilan
untuk mendengar ("Dengarlah perkataan ini"), ratapannya sendiri (Telah rebah,
tidak akan bangkit-bangkit lagi anak dara Israel"), formula pembawa pesan
("Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH"), dan ramalan ("Ko- ta yang maju
berperang dengan seribu orang, dari padanya akan tersisa se- ratus orang).
Bencana masa depan diperlakukan sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi, dan
Israel dilukiskan sehagai "anak dara yang mati tanpa nikah dan kesepian" (Klein,
Blomberg Hubbard 1993:295-96). tapan pemakaman dari Wahyu 18:9-20. 8. Puisi
digunakan di sepaniang kitab para nabi. Timur Dekat kuno sangat tajam dalam
ungkapan puitis Puisi selalu memiliki suatu suara yang lebih kuat karena puisi
lebih mudah diingat dan diucapkan dengan lebih berkesan terhadap isunya.
Sarana-sarana yang telah dibahas dalam bab de lapan mengenai puisi Perjanjian
Lama akan sangat menolong. Di dalam kitab para nabi ada banyak ratapan (Yer.
15:5-21: 20:7-18), nyanyian ucapan syu kur (Yer. 33:11), himne penvembaban
(Yes. 33:1-24) dan himne pertobatan (Mi. 7:1-12). Orang hanya perlu melihat
sekilas dalam kitab-kitab nubuat versi modern untuk melihat betapa luasnya kitab-
kitab itu memanfaatkan puisi.
PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA
Saya ingin menambah tipe kelima dari khotbah yang keliru, pendekatan
"surat kabar" dari para pengkhotbah nubuat pada hari ini. Aliran ini meng- anggap
bahwa nubuat bukan dimaksudkan untuk latar kuno melainkan un- tuk latar
modern. Hal yang mengherankan, latarnya sering kali Amerika di era setelah
tahun-1948 (setelah Israel menjadi suatu negara) (lihat lebih lanjut "Penafsiran
atas Simbol-simbol, hlm. 337-39). Para pengkhotbah seperti ini mengabaikan
fakta bahwa Allah memilih semua simbol dan perikop itu untuk berbicara kepada
Israel, dan orang-orang modern harus memahami mereka di dalam konteks kuno
mereka sebelum menerapkan simbol dan perikop tersebut untuk hari ini. Penafsir
modern harus membedakan nubuat- nubuat mesianis dari nubuat-nubuat
sementara (yang dimaksudkan untuk situasi sejarah dari Israel kuno). Para
pengkhotbah "surat kabar" malahan memakai banyak perikop profetik keluar dari
konteks dan memelintir mereka agar sesuai situasi modern. Ini berbahaya karena
terlalu mudah mengarah kepada "eisegesis yang subjektif (memaksakan makna ke
dalam suatu teks). Kita memerlukan prinsip-prinsip eksegesis yang benar-benar
dapat menjelaskan teks itu dan memampukan orang Kristen modern mendengar
Firman Allah dari para nabi secara baru. Tujuh langkah berikut sangatlah berguna.
1. Tentukan suatu ucapan. Seperti yang Fee dan Stuart tunjukkan, kita harus
belajar untuk memikirkan orakel, karena banyak bagian di dalam kitab-kitab para
nabi mencakup suatu koleksi ucapan, masing-masing ditu- Jukan kepada situasi
yang berbeda namun tanpa adanya pemilahan-pemila- han di antara mereka
(2003:193). Pembaca tidak dapat dengan mudah me- nentukan di mana awal dan
akhir satu koleksi ucapan, kita juga tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah
orakel-orakel yang berurutan itu ditujukan kepada pendengar atau situasi yang
sama. Sudah tentu, siswa memerlukan bantuan untuk mengerjakan bagian ini, dan
tafsiran yang baik merupakan penclong yang penting. Kita tidak ingin salah
membaca orakel-orakel yang berurutan tersebut dengan menyatukan mereka dan
keliru menggunakan kon ieks yang satu untuk menafsir orakel yang lain. Tatkala
latar sejarahnya ada, misalnya dalam Yeremia atau Yesava. siswa itu sangat
terbantu. Tatka la tidak ada dan ucapan-ucapan itu tertumpuk menjadi satu,
pekerjaannya juga akan semakin sulit. Nyanvian hamba dari Yesaya 42-53
ditempatkan dalam konteks serangkaian puisi (Yes. 40-66) tanpa rujukan-rujukan
seja rah. Seorang penafsir harus memperhatikan tiap puisi sebagai satu unit se
belum menyatukan mereka ke dalam satu kesatuan (seperti 40-55; 56-66). 2.
Tentukan tipe orakel yang digunakan.
Ada perdebatan yang masih terus berlangsung antara para pendukung dari
pendekatan harflah pada nubuat dan mereka yang mengambil posisi simbolis,
berpusat kira-kira pada aliran aliran penafsiran dispensasional dan amillenial.
Meskipun saya akan membahas penggunaan simbol-simbol dalam Alkitab pada
bab tujuh. saya harus memperhatikan isu tersebut di sini. Ada tiga kemungkinan
pen- dekatan pada isu ini. Pada pendekatan yang seluruhnya harfiah, setiap sim-
bol menunjuk kepada seorang individu khusus dan suatu waktu khusus. Akan
tetapi, tidak ada yang memakai pendekatan yang mutlak harfiah. yang meyakini
bahwa memang akan ada banyak kuda monster dengan baju zirah yang berwarna-
warni, kepala seperti singa dan bernafas seperti naga api (Why. 9:17). Hampir
semua orang mengambil dan memilih yang mana yang harfiah, sering kali tanpa
kriteria yang jelas untuk melakukan demikian. Di dalam film seri Distant Thunder
mengenai periode penganiayaan besar. mi- salnya. Sang Binatang (Why. 13)
merupakan seorang tuan yang wajahnya terkenal di dalam pakaian putih yang
terdiri dari tiga helai sementara beia langnya (Why. 9) harfiah namun sebesar
pesawat-pesawat jet!
Kedua, pendekatan simbolis mencari ide-ide di balik simbol-simbol itu.
yaitu, kebenaran-kebenaran kekal tanpa signifikansi temporal atau individual.
Sedikit yang memakai pendekatan yang seluruhnya rohani, seperti menying
kirkan rujukan dari semua perikop profetik agar mereka hanya merujuk ke pada
kebenaran-kebenaran rohani dan bukan kepada peristiwa-peristiwa. Misalnya,
bahkan mereka (mis., R. T. France) yang menafsirkan Markus 13:24 (kedatangan
Anak Manusia) sebagai penghancuran Yerusalem ketimbang pa rousia melihat
adanya suatu peristiwa di balik suatu nubuat. Hanya penga nut eksistensialis kuat
yang hanya melihat makna rohani di balik teks-teks seperti ini.Pendekatan ketiga
mencari suatu "bahasa persamaan" yang memper hatikan situasi analogis namun
tidak mau membebani teks itu ke arah har fiah maupun simbolis. Ketika kita
mempelajari teks-teks mesianis Perjanjian Lama, misalnya, pendekatan ini
merupakan solusi yang terbaik. Teks-teks ini bukanlah murni simbolis karena
mereka benar-benar merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang akan datang. Teks-
teks tersebut juga bukanlah benar-benar harfiah, karena mereka berisi
kesepadanan sejarah dan juga nubuat mesianis yang langsung. Perikop-perikop
seperti nubuat tiga puluh keping uang perak (Yer. 32:6-9 [Za. 11:12-13] dalam
Mat. 27:9-10) itu analogis ketimbang nubuat-nubuat yang harfiah. Pendekatan ini
memperha tikan peristiwa masa depan yang telah diramalkan, misalnya, di dalam
tulah belaiang dari Wahyu 9 namun tidak mencoba memaksakan terlalu banyak
detail (baju-baju zirah = tank-tank) ke dalam teks.
3.1 KESIMPULAN