Anda di halaman 1dari 128

NARASI , PUISI , HIKMAT , NUBUAT

MATA KULIAH :
PENGANTAR HERMENEUTIKA BIBLIKA

DOSEN PENGAJAR :
Dr. RIVAY PALEMPUNG, M.TH

DISUSUN OLEH :
GIVELORD RUMENGAN (202341335)
JOVITHA PELEALU(202341583)
SOVIOS WAHANI (202341452)
GRATIA MANGALEHE (202341364)

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


FAKULTAS TEOLOGI 2024
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Allah di dalam Yesus
Kristus yang selalu memberikan hikmat dan kekuatan serta anugerah kepada kami
sehingga, oleh karena berkat dan tuntunan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas
ini mengenai Narasi , Puisi , Hikmat , Nubuat dalam memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Hermeneutika Biblika oleh Dosen Mata Kuliah Pdt. Dr Rivay
Palempung,M.Th

Kami sangat mengucap syukur kepada Tuhan Yesus karena, tugas ini
dapat dibuat dengan tepat waktu. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan baik dalam pengetikan dan tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami menerima setiap masukan, kritikan dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan wawasan dan pengetahuan yang baru kepada pembaca. Tuhan Yesus
Memberkati.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN MASALAH
BAB II
ISI
2.1. NARASI
2.2. PUISI
2.3. HIKMAT
2.4. NUBUAT
BAB III
3.1. KESIMPULAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hermeneutika teologi adalah pendekatan interpretatif terhadap teks-teks


keagamaan atau doktrin agama. Ini melibatkan analisis mendalam terhadap makna
teks keagamaan untuk memahami pesan-pesan teologis dan filosofis yang
terkandung di dalamnya. Berdasarkan hal itu Latar belakang penulisan materi
narasi, puisi, hikmat, dan nubuat sangat beragam. Narasi menciptakan cerita untuk
menyampaikan pengalaman, puisi mengekspresikan perasaan melalui kata-kata
terpilih, hikmat menyajikan pemikiran bijak untuk memberikan panduan hidup,
sementara nubuat meramalkan atau menginspirasi masa depan. Penulisan dalam
berbagai genre ini mencerminkan keberagaman manusia dalam menyampaikan
ide, emosi, serta pandangan hidup. Dalam makalah ini, akan dibahas secara lebih
rinci tentang Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat.

Pemahaman yang mendalam tentang Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat


menjadi penting dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah dan
kompleksitas kehidupan manusia modern. Dalam pendahuluan ini, kita akan
mengeksplorasi Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat bagaimana keempat bagian ini
bersama-sama membentuk kerangka kerja yang kokoh bagi pemikiran dan
penafsiran Alkita.

Dengan menggali Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat ini secara lebih
mendalam, kita dapat memperluas pandangan kita tentang spiritualitas dan
keagamaan, serta memperkaya diskusi tentang pluralisme agama, dialog
antaragama, dan tantangan etis dan moral kontemporer. Melalui pembahasan yang
mendalam tentang Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat, kita diharapkan dapat
memperdalam proses penafsiran Alkitab, guna lebih mengerti makna dan
tujuannya.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Bagaimana Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat dalam Hermeneutika
Biblika, berperan dalam membantu proses penafsiran membentuk pemahaman
tentang makna isi Alkitab?

1.3. TUJUAN MASALAH


Tujuan penulisan dari materi di atas adalah untuk menjelaskan peran dan
pentingnya Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat dalam Hermeneutika Bibiblika,
serta bagaimana kombinasi Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat dapat membantu
memperdalam pemahaman tentang penafsiran Alkitab . Materi juga bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang dimensi Hermeneutika
Biblika dan bagaimana Narasi, Puisi, Hikmat, dan Nubuat membentuk
pemahaman yang lebih utuh tentang makna Alkitab.
BAB II
ISI

2.1. NARASI

PENGGUNAAN KRITIK SASTRA untuk studi Alkitab lahir terutama


oleh kegagalan kritik bentuk dan kritik redaksi untuk menafsir teks. Kritik narasi
merupakan sarana yang sangat membantu dalam pekerjaan menafsir suatu teks
dan merupakan salah satu "aliran" kritik yang lebih positif yang muncul dalam
tahun-tahun belakangan ini.

Premis utama dari kritik narasi adalah bahwa narasi Alkitab merupakan
"seni" atau “puisi," dan karena itu berpusat pada seni sastra dari seorang penulis.
Pada umumnya orang mengetahui bahwa narasi Alkitab mengandung sejarah dan
theologi, saya ingin menambahkan bahwa keduanya dipersatu kan melalul suatu
format "cerita,"3 Dasar historis untuk cerita sangat pen ting, namun realisasi dari
cerita di dalam teks merupakan objek aktual dart penafstran. Meskipun saya
meyakint latar belakang sangat penting dalam studi Alkitab namun latar belakang
harus dikontrol oleh teks dan bukan se baliknya (lihat bab 5). Tugas kita adalah
mendapatkan makna dari suatu teks historis-theologis dalam narasi Alkitab, bukan
merekonstruksi peristiwa aslinya.

MENAFSIRKAN NARASI ALKITAB

Ada empat aspek untuk mempelajari narasi Alkitab (Perjanjian Lama atau
Perjanjian Baru) - kritik sumber, bentuk, redaksi dan narasi. Ini bukan hanya
empat aliran kritik namun lebih merupakan empat sudut pandang yang digunakan
untuk menaksir teks. Setlap aspek menambah nuansa secara sig nifikan yang
mempertajam pemahaman mengenal bagaimana teks itu di hasilkan dan apa
maknanya. Dalam bab int kita memusatkan diri pada kritik narasi, namun penting
juga untuk memahami bagaimana keempat aspek inl saling terkait, oleh karena itu
tiga aspek awal akan diberi rangkuman singkat.
1. Kritik Sunber.

Masalah tentang sumber dalam narasi Perjanjian Lama berpusat pada


masalah kepenulisan - Musa sebagal penulis kitab-kitab Pentateuk atau JEDP, dan
kumpulan tulisan mirip Kitab Ulangan-sementara yang di Perjanjian Baru lebih
berpusat pada hubungan timbal balik sastra dari Kitab-kitab Injil. Meskipun
hipotesis JEDP telah mengendalikan kesar janaan kritis lebih dari satu abad,
namun pada masa ini hipotesis tersebut semakin dikritisi dan penerimaan yang
hati-hati atas keutuhan Pentateuk dan kepenulisan Musa bukanlah tidak mungkin
(lihat Wenham 1999:116-44; Baker 2003:798-805). Apa pun pendapat orang,
kritik narasi memperlakukan lima kitab Musa sebagal suatu komposisi utuh yang
dipersatukan oleh peng ulangan alur cerita, motif yang berulang, tipe adegan-
adegan, elemen-elemen struktural seperti klasme dan inklusio, dan sebagainya.
Ada keutuhan yang berlanjut dalam tokoh-tokoh, tema dan perspektif (lihat Hawk
2003:536-43). Dalam Kitab-kitab Injil, masalah-masalah yang ada sama rumitnya.
Apakah ada ketergantungan sastra di antara Injil Sinoptik, dan jíka ada apakah
Markus atau Matius yang merupakan Injil yang pertama? Sejumlah perikop
memilikl kesesualan verbal yang hampir tepat sama (misalnya, Mrk. 1:21-28
=Luk. 4:31-37; Mrk. 8:1-10 = Mat. 15:32-39) dan bagian-bagian yang susun an
perikopnya sama (misalnya, Mat, 12:46 Mrk. 3:31-6:6a = Luk. 8:19-56) menurut
adanya sejenis hubungan sastra. Pada umumnya para ahli setuju akan adanya
suatu ketergantungan sastra, dan tiga model telah diusulkan - Matius yang
pertama, digunakan oleh Markus, yang digunakan oleh Lukas (Augustinus);
Markus pertama, di gunakan oleh Matius dan Lukas (H. J. Holtzman 1863; B. H.
Streeter 1924): Matius pertama, dengan Lukas menggunakan Matius, dan Markus
menggunakan Matius dan Lukas (J. J. Griesbach 1783; W. R. Farmer 1964). Dua
model terakhir yang paling banyak dipakai. Ini bukanlah tempat untuk penjelasan
yang panjang (lihat Black dan Beck 2001). namun ada alasan yang valid bagi
dominasi hipotesis dua-dokumen, bahwa Matius dan Lukas menggunakan Markus
dan Q (dari bahasa Jerman quelle atau sumber, un tuk 230 ayat, terutama ucapan-
ucapan Yesus, yang dipakai bersama oleh Matius dan Lukas). Markus rasanya
merupakan "bacaan yang lebih sulit dalam hal bahasa (Matius dan Lukas
memperhalus bahasanya di beberapa tempat) dan theologi {misalnya, Matius dan
Lukas memperlembut "kedegilan hati" yang digunakan Markus dalam Mrk. 6:52;
8:17 atau "Mengapa kau katakan Aku baik?" dalam Mrk. 10:18). Melihat
penjelasan di atas dan alasan lainnya maka hipotesis prioritas Markus
kelihatannya merupakan hi potesis yang lebih baik (lihat Osborne dan Williams
2002). Ini penting untuk pemilihan redaksi, yang sampai pada batas tertentu
bergantung pada siapa menggunakan punya siapa (lihat hlm. 202).

2. Kritik Bentuk.

Tidak ada gunanya terus berdebat mengenai bentuk sebagai kriteria


otentisitas seperti yang terjadi pada tahun 1920-1960. Per debatannya berpusat
pada pendapat bahwa cerita-cerita Injil beredar secara lisan dan independen
selama tiga puluh tahun dan ditulis hanya setelah per ubahan yang penting atas
dasar kebutuhan kerigmatik dari gereja. Maka kritik bentuk tidak lagi dapat
diandalkan untuk menemukan Yesus historis. Pada umumnya hal tersebut sudah
tidak dipakai (lihat Blomberg 1992), namun perkembangan dari kriteria formalnya
masih terus dipakai sampai sekarang. Gambaran dari perkataan-perkataan hikmat,
ucapan-ucapan nubuat, amsal-amsal, cerita-cerita nyata, perumpamaan-
perumpamaan, kisah-kisah mujizat, cerita-cerita teladan, monolog-monolog dan
sebagainya memiliki nilal yang tidak terkira daiam membangun kriteria formal
untuk menafsir kan setiap tipe.

3. Kritik Redakst

Kritik redaksi dimulai pada akhir tahun 1950-an daii tiga orang murid
Bultmann - Günther Bornkamm (Matius), Willi Marxsen (Markus) dan Hans
Conzelmann (Lukas), terutama berkenaan dengan pandaugan kritik bentuk yang
tidak orisinii. Aliran ini yakin Kitab-kitab Injil merupakan hasil dari suatu
komposisi dan sepenuhnya karya sastra ketim bang suatu kompilasi buatan.
Kuncinya adalah melihat cara redaktur (editor) menggunakan sumber-sumbernya
dan kemudian menentukan tujuan theolo gls di balik perubahan-perubahan itu.
Bagi yang memegang prioritas Markus, ini lebih memudahkan bagi Matius dan
Lukas, karena kita tidak tahu sumber-sumber dari Markus atau Yohanes. Untuk
Injil Markus (dan ini juga berlaku bagi Yohanes), Stein (2001:349-51)
menyarankan untuk memper hatikan yang berikut ini: bagian-bagian peralihan,
penempatan-penempatan, penataan bahan, pengantar-pengantar, kosakata,
sebutan-sebutan Kris tologis, modifikasi bahan, pemakalan atau pemotongan
bahan oleh Markus, dan kesimpulannya. Kita mencari penambahan (misalnya,
Mat. 14:22-23 melakukan penambahan pada kisah Yesus berjalan di atas air dari
Markus (6:45-52) atau pemotongan (dalam hampir semua episode, Matius lebih
pendek dari Markus), perubahan lokasi (misalnya, peristiwa Beelzebul dalam
Mrk. 3:22-27; Mat. 12:22-30; Luk. 11:14-23), atau mengubah suatu cerita
(misalnya, Mat. 19:17 menghindari implikasi dari Mrk. 10:18, "Mengapa
kaukatakan Aku baik?"). Siswa akan menanyakan mengapa perubahan perubahan
itu dibuat dan implikasi theologis apakah yang ada. Dalam tahun 1970-an, kritik
redaksi beralih menjadi "kritik komposisi," memandang kese luruhan kitab, bukan
hanya perubahan-perubahannya, sebagai dasar dari theologinya (lihat Osborne
2001b:128-49; Wenham dan Walton 2001:74-79). Dari sini, studi redaksional
telah beralih ke wilayah pendekatan narasi, dan saya yakin metode yang paling
baik untuk mempelajari narasi Alkitab adalah dengan menggabungkan keduanya
(lihat kesimpulan bab ini).

METODOLOGI DARI KRITIK NARASI

Metode dasar yang kita gunakan untuk mempelajari narasi Alkitab adalah
sederhana: kita diminta untuk membaca narasi-narasi tersebut! Pada umumnya
kita mengenal Injil atau sejarah Perjanjian Lama sebagai cerita cerita yang
terpisah. Kita jarang duduk dan hanya membaca cerita-cerita itu untuk mengetahul
drama dan kekuatan dari cerita-cerita itu tatkala mereka menyatu bersama
membentuk panorama yang utuh. Kritik sastra telah me ngembangkan teknik-
teknik yang akan sangat menolong kita untuk me lakukan suatu “pembacaan yang
teliti" atas suatu teks dan memperhatikan fitur-fitur tertentu seperti ketegangan
plot dan karakter, sudut pandang, dia log, latar dan waktu narasi, yang semuanya
memampukan pembaca untuk mendeteksi alur dari teks dan oleh karena itu
melihat tangan Allah sewaktu Ia menginspirasi penulis Alkitab untuk
mengembangkan ceritanya. Seperti nya hermeneutika Injili menekankan maksud
penulis atas setiap kitab dari Alkitab kecuali porsi-porsi narası. Kita lupa bahwa
masing-masing kitab Injil dikembangkan secara berbeda dan harus dipelajari
tersendiri sebagal suatu keutuhan tunggal untuk memahami pesan-pesan kitab-
kitab Injil yang telah dilnspirasikan tersebut.

Sejak Murray Krieger, metafora-metafora umum untuk dimensi dari teks


ini adalah gambar, jendela dan cermin.3 Aspek-aspek sastra menuntun pembaca
menuju teks sebagal gambar atau potret dari dunia narasi yang dipaparkan dalam
cerita, Sifat historis dari Alkitab membuat seseorang memperlakukan suatu cerita
sebagal suatu jendela kepada peristiwa di balik teks. Terakhir, karena Alkitab
sangat relevan untuk hari ini, suatu teks me rupakan cermin di mana suatu makna
“terkunci" agar para pembaca melihat hanya diri mereka sendiri sebagal bagian
dari komunitas orang percaya yang menjadi target pembaca dari teks tersebut.4
Tesis di sini adalah ketiga ele men ini merupakan bagian dari suatu penafstran
Alkitab yang sah; meng abaikan faktor mana pun berarti berlaku tidak adil
terhadap teks.

Penafsiran atas narasi memiliki dua aspek: puitis, yang mempelajari


dimensi seni atau cara suatu teks dibentuk oleh seorang penulis; dan makna, yang
mempelajari bagaimana menemukan kembali pesan yang diko munikasikan oleh
penulis.5 “Cara" (puitis) menuntun kepada "apa" (makna). Meir Sternberg
menyebut narasi sebagai "suatu struktur fungsional, sarana untuk tujuan
komunikasi, suatu transaksi antara narator dan pendengar di mana diharapkan
pengaruh tertentu melalui strategi-strategi tertentu dapat dihasilkan" (1985:1).
Untuk mendiagramkan "strategi-strategi" ini, saya me ngembangkan strategi-
strategi dari Seymour Chapman (1978:6) dan Alan Culpepper (1983:6) - lihat
bagan 7.1 Tujuan dari skema ini adalah untuk memperlihatkan cara seorang pe
nulis mengomunikasikan pesan kepada pembaca, Setiap ategori di bawah ini akan
menjelaskan elemen-elemen yang ada dalam diagram ini.
1. Penulis tersirat dan narator.

Tidak seorang pembaca pun yang melihat penulis asli di daiam suatu teks.
Malahan, seperti yang ditunjukkan oleh Peter Juhl, kita mengetahui penulis hanya
sejauh ia mengungkapkan dirinya di dalam suatu teks (1980). Perspektif ini
menolong kita untuk mengatasi kecenderungan mempsikologikan teks dengan
tujuan menemukan penulisnya seperti yang dilakukan Friedrich Schleiermacher
dan William Dilthey. Penulis tidak hadir namun telah menciptakan pribadi dirinya
di dalam teks (penulis tersirat), dan kita mempelajari teks, bukan penulisnya.
Dengan kata lain, kita tidak mempelajari penulisnya melalnkan pesan yang
dimaksudkan penulis itu. Di sana kita melihat perhatian, nilai dan perspektif
theologis yang dipilih oleh penulis asli untuk ditekankan dalam suatu teks. Dalam
beberapa cerita kita perlu memisahkan penulis tersirat dari na rator; misalnya,
ketika dalam cerita tersebut ada satu narator khusus. Akan tetapi, ini jarang ada di
dalam Alkitab (suatu pengecualian mungkin bagian "kami" dalam Kisah Para
Rasull, maka di sini saya menggabungkan kedua aspek tersebut [penulis tersirat
dan narator- ed.J. Narator adalah pembicara yang tidak kelihatan di dalam teks,
khususnya kedengaran di dalam baglan editorial. Narator memberitahukan kepada
kita suatu cerita dan adakalanya menafsirkan signifikansinya. Misalnya, dalam
Kisah Para Rasul narator terus menerus memberitahukan kepada kita tentang
keberhasilan Injil melalui karya Roh Kudus dalam jemaat, walaupun banyak
masalah dan halangan yang dihadapi umat Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:47; 6:7;
9:31; 12:24). Narator jugalah yang melantunkan prolog puitis yang luar biasa pada
Injil Yohanes (Yoh. 1:1-18).

Narator dalam Alkitab memiliki banyak karakteristik yang penting, dan


yang paling penting kita harus setuju dengan Sternberg bahwa narator se ring kali
tidak dapat dibedakan dari Allah yang menginspirasikan dia. "Peng gunaan
narator yang mahatahu mendukung tujuan menampilkan dan me muliakan Allah
yang Mahatahu" (lihat lebih lanjut bagian selanjutnya "Sudut pandang, ideologi
dan dunia narasi").s Darrel Bock (2002:211) menggam barkan narator yang
mahatahu seperti memiliki "sudut pandang mata bu rung, melihat peristlwa-
peristiwa 'dari atas' dengan peinahaman penuh atas apa yang sedang terjadl." Nilai
dari penekanan atas penulis tersirat dan narator adalah memaksa pembaca untuk
melihat bagian-bagian peralihan-peralihan dan editorial editorial di samping teks
sebagai petunjuk-petunjuk penting mengenai maknanya. Sebagal contoh,
keputusan dari banyak penafsir untuk meng ikuti Merrill Tenney (1960:350-64)
yang melihat Yohanes 3:16-21 sebagai suatu komentar editorial ketimbang kata-
kata Yesus memberikan petunjuk yang penting kepada fungsi narasi dari teks
penting tersebut. Bagian terse but menjadi komentar Yohanes mengenai
signifikansi dari dialog yang sulit antara Yesus dan Nikodemus dalam ayat 1-15.

2. Sudut pandang

Sudut pandang adalah perspektif yang diambil oleh tokoh-tokoh dan aspek
yang ada dalam suatu narasi. Sudut pandang umumnya dikaitkan dengan narator
yang berin teraksi dengan tindakan dalam cerita dengan beragam cara sehingga
imeng hasilkan dampak yang harus dimiliki oleh cerita itu atas pembaca. Dengan
kata lain sudut pandang menunjuk kepada daya atau signifikansi dari suatu cerita.
Setiap penulis memiliki pesan tertentu yang ingin la sainpaíkan ke pada pembaca,
dan ini juga berlaku dalam narasi Alkitab. Sudut pandang menuntun pembaca
kepada signifikansi dari suatu cerita dan menentukan "bentuk" sebenarnya yang
diberikan penulis pada suatu narasi. Faktanya, seperti yang ditunjukkan oleh
Berlin, suatu cerita biasanya memiliki banyak perspektif karena narator Alkitab,
seperti kamera dalam film, membidik ke satu aspek lalu ke aspek lain dalam
mengembangkan plot, dengan itu me nuntun pembaca dalam beberapa pengarahan
makna pada saat yang sama (1983:43-55). Para ahli mengenali lima area tempat
sudut pandang ber operasi.8

Dimensi Psikologis mempelajari cara narator menyediakan keterangan


"dari dalam" mengenai pemikiran dan perasaan dari tokoli-tokoh yang ada. Dalam
hal ini narasi Alkitab "mahatahu" karena memberikan kepada pem baca
pengetahuan yang tidak mungkin diketahui siapa pun. Kitab-kitab Injil merupakan
contoh yang paling jelas. Lukas melukiskan pemikiran dan perasaan batin dari
tokoh-tokoh seperti Simeon dan Hana tatkala mereka mengenali Mesias di dalam
bayi Yesus (Luk. 2:29, 38) dan mengaitkan ke inginan Feliks agar Paulus
memberi uang suap kepadanya (Kis. 24:26). Yohanes memberitahukan kepada
kita maksud Yesus (Yoh. 1:43) dan juga jangkauan pengetahuan-Nya (Yoh. 2:24;
4:3). Akan tetapi, tatkala sudut pan dang itu berasal dari para tokoh di dalam suatu
cerita, maka perspektifnya terbatas dan sering kali keliru. Salah satu petunjuk bagi
cerita Simson ada lah perspektif Simson yang keliru, yang bersifat jasmani (Hak.
13-16) dikon traskan dengan komentar mahatahu dari narator. Sebagai akibatnya
pembaca mengalami ketegangan yang sedih ketika membaca cerita itu. 2. Sudut
pandang evaluatif atau ideologis menunjukkan konsep benar dan salah yang
menguasai suatu narasi. Para aktor di dalam drama sering kali berbeda pandangan
satu sama lain dan narator bertindak sebagai peni laian atas perbuatan mereka.
Dalam Matius dan Markus, tolok ukur tentang pemikiran yang sah adalah
"memikirkan hal-hal dari Allah" versus "memikir kan hal-hal manusiawi." Ini
adalah kriteria yang benar bagi pemuridan (lihat Petersen 1978:107-8; Rhoads dan
Michie 1982:44; Kingsbury 1986:33). Yohanes memiliki tiga tingkat perspektif,
tergantung pada tanggapan iman dari tiap individu kepada Yesus. Mentalitas
ideologi dari para pemimpin Israel membuat mereka menolak Yesus; sudut
pandang orang banyak sering kali menarik mereka kepada Yesus namun lebih
disebabkan oleh tanda tanda ajaib ketimbang iman yang benar (Yoh. 2:23-25;
bdk. Yoh. 6:60-66), dan iman dari para murid menuntun mereka untuk mengikut
Yesus meski pun harus membayar harga (Yoh. 6:67-71). Pembaca harus memilih
antara tiga perspektif ini.

3. Perspektf ruang dari para narator Alkitab sifatnya "mahahadir": artinya, mereka
memiliki kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara
bebas dan mampu mengaitkan suatu cerita dari berbagai sudut pandang. Dalam
cerita mujizat Yesus berjalan di atas air, narator hadir bersama para murid di
dalam perahu dan bersama dengan Yesus seca ra bersamaan (Mrk. 6:48;
perhatikan "Ia hendak melewati mereka"). Hasilnya adalah kemampuan untuk
menuntun pembaca melihat cerita secara lebih dalam dari yang biasanya. Dalam
cerita mencari istri bagi Ishak (Kej. 24) pembacanya dialihkan dari tempat asing
(Kanaan) ke tempat pengujian (ru mah Abraham sebelumnya), di sana suatu
tindakan ramah yang mengejut kan menuntun hamba itu kepada Ribka. Pembaca
memiliki pengharapan di sepanjang narasi mengikuti perpindahan geografis dalam
cerita itu.

4. Terkait erat dengan perspektif ruang adalah perspektif waktu, yang dapat
mempertimbangkan suatu tindakan dari dalam cerita (dari sudut pandang masa
kini) atau dari masa mendatang, Pada waktu panggilan atas Yeremia terjadi (Yer.
1:4-19) suara Allah menjangkau masa lalu (ay. 5) dan masa mendatang (ay. 7-10)
dalam menubuatkan signifikansi Yeremia bagi rencana ilahi. Pada sisi lain, Kitab
Yeremia ditulis dalam gaya bicara orang pertama dan menunjukkan pengetahuan
yang terbatas tentang peristiwa peristiwa dan masa mendatang. Ketika tiba berita
tentang kehancuran Yeru salem, Nehemia menangis (Neh. 1:2-4). Maka pembaca
dibuat menjadi ba gian dari cerita tersebut dan kemudian merasakan drama itu
secara berbeda ketika perspektif ilahi yang dipakal. 5. Sudut pandang frasaologis
berhubungan dengan dialog atau ucapan dalam suatu narasi. Di sini kita sekali lagi
melihat kemahatahuan dari penulis. Pembacanya sanggup mendengar dialog yang
tidak akan pernah bi sa didengarnya di dalam dunia normal, misalnya, percakapan
pribadi antara Haman dan istrinya dan teman-temannya (Est. 5:12-14) atau dialog
pribadi antara Festus dan Agripa berkenaan dengan ketidakbersalahan Paulus
(Kis. 26:31-32). Dalam kasus-kasus seperti ini, interaksi menjadi pokok penting
dalam suatu narasi, dan pembaca diberi informasi dari dalam yang berharga yang
mengarah kepada pelajaran-pelajaran dramatis dan theologis.

Elemen-eiemen sudut pandang ini membentuk perspektif "dunia narasi"


dari suatu kltab. Kitab-kitab sejarah di Alkitab memaparkan dunia yang rea listis.
Clarence Walhout mencatat suatu perbedaan penting antara teks-teks fiksi dan
sejarah:Pandangan yang tegas dari seorang sejarawan mencakup suatu penafstran
dan evaluasi atas data tertentu dan juga penjelasan naratif atau deskriptif dari
suatu data.... Para sejarawan mengklaim - menegaskan - bahwa dunia yang
diproyeksikan (cerita yang dimaksud) dari suatu teks bersama dengan sudut
pandang kepenulisan dilihat sebagal suatu cerita dan tafsiran atas peristiwa-
peristiwa seperti yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, gambaran itu terbatas pada
sudut pandang yang dibatasi dari teks tersebut. Maka penulis mampu
berkomunikasi dengan pembaca. Seperti yang Terence Keegan katakan, “Pada
akhir dari suatu narasi, pem baca tersirat akan memperoleh gambaran yang cukup
jelas tentang dunia narasi yang dijelaskan dan dibatasi dengan baik" (1985:102).
Penulis tidak dibatasi oleh kendala-kendala dari dunia nyata namun dapat
memberikan rangkaian perspektif yang tidak dapat diketahui oleh manusia biasa.
Maka pembaca diberikan suatu makna kehadiran Allah di balik suatu cerita dan
otoritas ilahi ini memengaruhi semuanya.

3. Narast dan waktu narasi. Ini berkenaan dengan urutan peristiwa peristiwa di
dalam cerita dan bagaimana mereka saling berkaitan. Waktu narasi berbeda dari
kronologi karena waktu narasi berkaltan dengan penata an sastra bukan urutan
historis. Konsep ini sangat penting ketika mempela fari sejarah kuno karena bagi
penulis sejarah pada waktu itu, urutan historis tidak sepenting gambaran dramatis.
Ini dapat ditunjukkan dengan sangat baik melalui membandingkan keempat kitab
Injil. Sinoptik (Matlus, Markus,Lukas) memberikan kesan bahwa Yesus terlibat
dalam pelayanan satu ta hun, sementara Yohanes menceritakan suatu pelayanan
dua tahun. Alasan nya adalah Yohanes menceritakan tiga perayaan Paskah (Yoh.
2:13; 6:4: 11:55) sementara Injil Sinoptik menyebut hanya Paskah pada waktu
penya liban. Di sini terlihat dengan jelas bahwa tidak ada usaha untuk menyajikan
pesan secara kronologis, dan para penulis kitab Injil lebih memusatkan per
hatiannya kepada signifikansi kehidupan dan pelayanan Yesus (siapa Dia dan juga
pengaruh-Nya pada para murid, orang banyak dan para pemimpin agama) dari
pada hanya sekadar memberikan keterangan mendetail berke naan dengan hidup-
Nya. Bahkan di dalam Matius, Markus, dan Lukas, urutan peristiwanya sangat
berbeda (seperti yang dibuktikan oleh penyelidikan Kitab-kitab Injil). Robert
Stein (2001:352-53) menjelaskan bagaimana peng ertian akan waktu narasi
tersebut dapat menolong: pengertian akan waktu narasi menolong kita untuk
berfokus pada penataan penulis dan tema-tema yang ia kembangkan melalui
urutan tersebut; waktu narasi menghindarkan kita dari usaha untuk
mengharmonisasikan Kitab-kitab Injil menjadi suatu "kehidupan Kristus" yang
kronologis dan terlalu terfokus pada sejarah ke timbang theologi; dan waktu
narasi menolong kita untuk fokus melihat para penulis Kitab Injil sebagai theolog.

Sternberg berbicara mengenai "diskontinuitas waktu" atau ketegangan


sebagai sarana meningkatkan keterlibatan pembaca di dalam suatu drama
(1985:265-70). Penulis akan menciptakan suatu "celah" di daian cerita de ngan
menggeser peristiwa-peristiwa dan menciptakan ketegangan dengan memberikan
pengetahuan yang tidak lengkap mengenai masa mendatang. Ini terjadi pada cerita
Ishak diikat, di mana pembaca merasa Ishak akan di selamatkan namun ceritanya
dibiarkan dalam ketegangan sampai menit terakhir.

Ruang yang diberikan kepada peristiwa narast beragam, tergantung pada


tujuan penulis, Kejadian 1-11 merupakan kilasan kaleidoskopik urutan peristiwa-
peristiwa yang membingungkan, umumnya disatukan melalui tuju an narasi atau
theologis dari suatu teks. Narasi-narasi mengenai leluhur da lam pasal-pasal
Kejadian, selanjutnya, melambat dan membawa kita mele wati rangkalan panjang
detail-cietail yang saling berkaitan. Demikian pula, kitab-kitab Injil adakalanya
disebut cerita penderitaan ditambah dengan suatu pendahuluan, ini karena
panjangnya cerita mengenai penderitaan Kristus ti dak sebanding dengan adegan-
adegan lain dalam pelayanan Yesus. Culpepper mengatakan bahwa bagi Yohanes
"adegan-adegan itu dapat dipadatkan ke dalam kira-kira dua bulan dari periode
dua-setengah-tahun yang dicakup oleh suatu narasi" (1983:72). Ini akan menolong
ketika mempelajari proses pemilihan yang dilakukan penulis dalam
mengembangkan plot dan penekan an-penekanan yang diinginkannya. Bagi para
penulis kitab Injil, masalahnya bukanlah apa yang perlu disertakan melainkan apa
yang perlu dibuang (lihat Yoh. 21:25).

4. Plot. Seymour Chatman berbicara mengenai plot, tokoh-tokoh dan latar yang
membentuk cerita itu sendiri (1978:19-27; lihat juga Kingsbury 1986:2-3). Plot
terdiri dari gabungan peristiwa-peristiwa yang berurutan yang mengikuti susunan
sebab-akibat; plot mengarah kepada suatu klmaks dan melibatkan pembaca di
dalam dunia narasi dari suatu cerita. Elemen dasar dari plot adalah konflik dan
setiap narasi Alkitab berpusat pada hal ini- Allah versus Iblis, baik versus jahat,
pemuridan versus pemberontakan. Plot dapat berfungsi pada tingkat makro
(seluruh kitab) atau mikro (suatu perikop tunggal). Misalnya, pada tingkat mikro,
Yohanes 9 berisi suatu drama yang luar biasa yang mengontraskan seorang yang
lahir buta (yang awalnya buta namun mengalami kemajuan ke arah penglihatan
rohani dan jasmani) de ngan orang Farisi (yang mengklaim memiliki pengetahuan
rohani namun berakhir dengan kebutaan),1 Konflik-konflik ini sering kali sangat
rumit karena konflik-konflik tersebut dapat bersifat eksternal dan juga internal
dalam suatu narasi. Ini merupakan kunci bagi cerita Simson. Dia mengang gap
pepcrangannya adalah peperangan eksternal dengan orang Filistin, na mun
sebenarnya peperangannya merupakan konflik internal antara panggil annya untuk
menjadi hakim dan keegoisan dan sensualitas yang semakin nyata dilakukannya.
Ini mengarah kepada konflik dengan Allah dan pada akhirnya mengarah pada
kejatuhannya.

Pada tingkat makro, setiap kitab Injil memiliki plot yang berbeda, walau
pun pada intinya mereka merujuk kepada cerita yang sama. Misalnya, baik Matius
maupun Markus memusatkan perhatian pada pertentangan Yesus dengan para
penguasa sekuler, orang banyak dan para murid. Namun mere ka melakukannya
dengan cara yang cukup berbeda. Markus menekankan apa yang disebut dengan
rahasia mesianis, memperlihatkan bagaimana natur mesias Yesus ditolak oleh dan
disembunyikan dari para pemimpin agama, di salahpahami oleh orang banyak dan
para murid, dan diakui oleh setan-setan. Matius mengakui hal di atas ini dan
semakin menekankan kontras tersebut dengan memperlihatkan adanya suatu
pemahaman yang bertumbuh pada sisi para murid (bdk. Mat. 14:33 dengan Mrk.
6:52). Markus menegaskan kegagalan pemuridan sementara Matius
memperhatikan perbedaan yang dibuat oleh kehadiran Yesus ketika para murid
dimampukan untuk meng atasi ketidakmengertian dan kegagalan mereka. Dunia
narasi yang dihuni oleh Matius dan Markus adalah sama - datangnya kerajaan atau
pemerin tahan Allah di dalam sejarah. Namun, plot dan detail dari penekanannya
masing-masing sangat berbeda.

Pembaca harus mempelajari plot dan plot-plot kecil di dalam kitab-kitab


narasi dengan teliti untuk menentukan tema-tema dan penokohan yang ber
kembang dari penulis. Ini adalah petunjuk yang paling baik tentang pesan utama
dari suatu karya satra. Hubungan timbal balik antar pihak-pihak yang berlawanan
dan interaksi antara tokoh-tokoh utama dan pendukung adalah kemungkinan
tuntunan yang paling jelas kepada makna dari suatu nerikop. Keutuhan dan batas
kausalitas di dalam urutan dramatis suatu Cerita pertama-tama menarik pembaca
ke dalam dunia narasi dan kemudian enolong pembaca untuk menemukan kembali
inti dan memahami tujuan dari cerita tersebut. Dengan cara ini theologt lebih baik
didukung oleh bahan narasi ketimbang didaktik (pengajaran). Kita tidak hanya
mempelajari kebe naran tetapi melihat kebenaran tersebut diperankan di dalam
hubungan se hari-hari.

5. Penokohan dan dialog.

Keberhasilan dari suatu cerita terutama tergantung pada keberhasilannya dalam


mengembangkan orang-orang yang menarik dan nyata yang dapat dikenal oleh
pembaca. Culpepper mengamati dictum Aristoteles bahwa para tokoh harus
memiliki empat sifat: mereka harus baik secara moral, cocok, realistis dan
konsisten. 12 Dalam banyak karya kuno tokoh-tokoh masih belum dikembangkan
mengikuti sifat-sifat ini. Akan tetapi narasi Alkitab penuh dengan tokoh-tokoh
realistik yang terli hat dalam segala kelemahan kemanusiawian mereka. Para ahli
sastra telah lama mengenal transparansi yang mengagumkan dari potret-potret
orang dalam Alkitab. Kedagingan Simson, kebirahian Daud, kompromi politik
dan religius dari Salomo atau ketakutan Elia dalam melarikan diri dari Izebel se
muanya dipaparkan dengan kegamblangan luar biasa. Akibatnya mereka semua
semakin menarik dan semakin dapat diterapkan pada pembaca. Tidak ada usaha
untuk menyembunyikan kelemahan manusiawi dari para pahlawan yang ada
dalam Alkitab. Ketika Abraham mencoba membujuk istrinya ber pura-pura
sebagal saudaranya dan mengizinkan dia menjadi bagian dari kumpulan istri dan
gundik Firaun, Kejadian 12:14-20 mencatat seluruh insiden itu. Namun yang
terpenting bukanlah Alkitab mencatat fakta-fakta jelek dari tokoh-tokoh Alkitab
tersebut melainkan penokohannya diperankan dengan kesungguhan dan kehalusan
sehingga membuat mereka menjadi sa ngat realistik dan kemudian dapat
diterapkan kepada mereka yang memiliki masalah yang serupa di setiap zaman.

Steraberg berbicara mengenai kontras antara sifat Allah, yang tidak


berubah, dengan sifat individu yang kepadanya Allah berkarya; di mana sifat
individu terus-menerus berubah di dalam teks (1985:322-25). Perubahan yang
terus terjadi dalam tindakan Allah bukan bcrkenaan dengan sifat-Nya melainkan
dengan perkembangan-perkembangan yang selalu berubah pada orang-orang di
dalam cerita-cerita itu. Perkembangan-perkembangan ini ber ada dalam lima tipe
penokohan yang bertumpang tindih, yang Sternberg lukiskan melalui gambaran
tentang Daud dalam 1 Samuel 16:18 (hlm. 326): secara fisik ("elok
perawakannya"), sosial ("anak laki-laki Isai, orang Bet lehem"), kelebihan atau
kenampuan ("pandai main kecapi"), moral dan ideo logi ("TUHAN menyertai
dia") dan psikologis dalam arti luas ("seorang pah lawan yang gagah perkasa,
seorang prajurit, yang pandai bicara"). Dalam setiap kasus, pelukisan itu bukan
suatu hiperbola atau dibesar-besarkan namun berfungsi untuk menegaskan kuasa
Allah; Allahlah yang sepenuhnya ditinggikan, bukan para pahlawan yang ada
dalam Alkitab. Narator menggu nakan banyak teknik untuk melukiskan para
tokoh dan menuntun para pembaca untuk memahami peran-peran mereka dengan
tepat. 13 Yang paling lazim adalah melalui deskripsi. Keberanian Daud dan
keirihatian Saul itu dinyatakan secara langsung dan kemudian dilanjutkan dalam
drama di antara mereka. Lalu kesimpulan ditambahkan pada deskripsi tersebut.
Selain itu, ironi ditambahkan pada kesimpulan tersebut, karena tindakan Saul
melang gar deskripsi dan janji awal yang dikatakannya, di mana janji tersebut
malah dijalankan oleh Daud bukan dia.

Dalam hal ini ada satu perbedaan antara narasi Kitab-kitab Injil dan
Perjanjian Lama. Di dalam Kitab-kitab Injil, alurnya lebih sederhana, dan baik
para penguasa maupun para murid dapat dikelompokkan untuk mem periihatkan
karakteristik utamanya. Di dalam Perjanjian Lama, tokoh utama (Musa, Daud,
Salomo, Elia) lebih dinamis dan adakalanya berubah secara drastis. Daud beralih
dari berani dan beriman menjadi egois, dan Elia dari berkuasa menjadi ketakutan.
Dalam setiap kasus, persepsi pembaca berubah mengikuti para tokoh seiring
narasi dan dialognya memperluas cakrawala pembaca.

Dialog sering kali membawa banyak penekanan dalam penokohan dan


theologi. Interaksi antara sudut-sudut pandang sering kali berpindah di an tara
para tokoh dan bahkan di antara dialog mereka dan narasi orang ketiga di dalam
cerita, sering kali dengan kata-kata dari para tokoh terbukti tidak dapat diandalkan
dan hanya narator yang dapat diandalkan (seperti dalam Kejadian 50:16-17 ketika
saudara-saudara Yusuf menentukan apa yang ha rus dikatakan Yakub atau ketika
Ahab memutarbalikkan kata-kata Nabot dalam 1 Raja-raja 21:2-6). Dinamika
suatu cerita sering kali dikendalikan oleh dialog di antara para tokoh
(Satterthwaite 1997:128-29).

6. Latar.

Latar suatu cerita, teknik narasi tingkat ketiga dari Chartman, dapat
bersifat geografis, waktu, sosial atau historis. Latar akan menyediakan konteks
dasar di mana plot dan tokoh berkembang. Seperti yang dikatakan oleh David
Rhoads dan Donald Michie, latar memiliki banyak fungsi: "men ciptakan suasana,
menentukan konflik, menyingkapkan watak-watak para tokoh yang harus
menghadapi masalah atau ancaman yang disebabkan oleh suatu latar, menawarkan
tafsiran (kadang kala ironis) mengenai suatu tin dakan, dan menimbulkan asosiasi
dan nuansa makna yang ada di dalam bu daya dari para pembaca" (1982:63).
Contoh mengenai penggunaan latar geo grafis adalah perjalanan ke Emaus dari
Lukas 24. Seluruh cerita itu ditata dalam suatu kerangka kerja geografis, dengan
dua murid meninggalkan Ye rusalem dalam kekecewaan, bertemu dengan Tuhan
yang telah bangkit, kemudian kembali ke Yerusalem dalam kemenangan.
Latar waktu sama pentingnya. Tiga Paskah dalam Yohanes 2:13, 6:4 dan
11:55 membentuk suatu kerangka waktu bagi seluruh pelayanan Yesus. Dalam
pengertian yang luas rangkafan sejarah keselamatan dari semua kitab Injil adalah
suatu latar waktu. Ada waktu Israel, waktu Yesus, dan waktu gere ja. Yesus
mendasarkan wahyu-Nya yang baru, Taurat mengenai Mesias, pada wahyu yang
dahulu dari Allah kepada Israel; Ia memberitakan waktu penggenapan kerajaan
Allah yang akan dan sedang tiba pada masa kini, dan la mempersiapkan rencana
keselamatan Allah yang sedang berlangsung bag gereja di masa yang akan datang
Latar sosial juga dapat mengomunikasikan suatu pesan yang kuat. Perhatikan
tema Injil Lukas mengenai Persekutuan Meja. Sejumlah besar adegan terjadi
dalam latar-latar perjamuan makan, dengan tiga aspek yang berbeda: soteriologi,
melambangkan pengampunan dan penerimaan Allah atas orang-orang berdosa
(Luk. 5:27-32: 15:1-32; 19:1-28); sosial, dengan pesan dari Allah memasuki arena
sosial dan memandikannya di dalam terang yang ajaib dari Allah (Luk. 14:7-24:
22:31-32); dan perintah misi, dimana Yesus menggunakan latar persekutuannya
untuk mengajar para pengikut-Nya tentang tujuan dan misi-Nya yang sejati (Luk.
9:10-17; 22:24-30:24:36-49). Tlap aspek ini dibangun di atas pandangan Yahudi
mengenai perjamuan makan, yang beranggapan bahwa praktik berbagi makanan
itu mencakup berbagi cerita (Osborne 1984:123-24). Terakhir, latar historis
menyediakan sarana penafsiran yang berguna. Ini berlaku dua arah. Latar sejarah
di balik suatu teks (seperti penanggalan atas Yesaya atau Amos) memberitahukan
kepada kila periode sejarah apa kah yang kita terapkan pada mereka. Kita dapat
mengenali secara pasti ma salah-masalah apa yang sedang ditangani oleh Amos
sehingga kita dapat memahami teks tersebut dengan jauh lebih baik. Kedua, latar
sejarah di balik penulisan kitab-kitab dalam Alkitab juga memiliki pengaruh.
Penting untuk diketahui apakah Matius menulis di dalam konteks Yahudi atau non
Yahudi (suatu topik yang sangat diperdebatkan), karena isu-isu seperti ang gapan
anti-Semitisme terhadap Matius sangat dipengaruhi oleh keputusan tersebut.

7. Tafstran Implisit.
Dalam gambar 7.1 (hlm. 235) "tafsiran implisit" menunjuk kepada teknik-teknik
retorika yang digunakan penulis dalam me nyampaikan ceritanya. Dengan
mengunakan ironi, komedi, simbolisme dan sarana-sarana sastra lainnya, penulis
menuntun pembaca melalui drama ceri tanya. Pada bagian ini, saya akan berfokus
pada sarana-sarana satra yang digunakan secara khusus dalam narasi tetapi belum
dibahas secara mendeiail dalam bagian-baglan sebelumnya (hlm. 38-44, 129-41).
Masalah bagi pembaca adalah mengenali dan menafsirkan dengan tepat pesan
yang ada di balik teknik-teknik ini. Namun, mengidentifikasi dan memahami
fungsi dan teknik teknik tersebut merupakan suatu langkah awal. Salah satu
metode yang sering terlihat adalah repetisi. Metode ini begitu penting sehingga
Robert Alter menghabiskan satu bab penuh untuk memba hasnya (1981:88-113,
khususnya 95-96; lihat juga Satterthwaite 1997:125 28). Alter mengidentifikasi
lima tipe: (1) Lettwort atau akar-kata yang seasal dengan suatu akar kata diulang
untuk memberi pengaruh ("pergi, pergilah dan "pulang, pulanglah" dalam Kitab
Rut), (2) motif, repetisi suatu gambaran konkret yang digunakan secara simbolis
(api di dalam cerita Simson atau air terkait tentang Musa), (3) tema, tempat ide
atau nilai tertentu menjadi fokus (ketaatan lawan pemberontakan di dalam
pengembaraan di padang belan tara), (4) suatu urutan aksi, sering kall dalam pola
rangkap tiga (tiga perwira dan anak buah mereka yang diperingatkan tentang
penghancuran yang me nakutkan dalam 2Raj. 1), dan (5) tipe-adegan, peristiwa
menentukan di da lam kehidupan seorang pahlawan yang diulang lebih dari satu
kali (pem berian makan lima ribu orang dan empat ribu orang atau tiga amanat
bagi Paulus untuk melayani bangsa non-Yahudi dalam Kis. 22:21: 23:11; 26:17
18). Satterthwalte menunjuk kepada Hakim-hakim 17-21 di mana adegan anarki
menjadi "tiruan yang buruk dari narasi-narasi sebelumnya": suku Dan yang
menghancurkan Lais merupakan parodi jahat dari penaklukan yang dilakukan
Yosua sebelumnya, di mana suku Dan mengadakan penyembahan berhala
ketimbang menyembah Yahweh; Hakim-hakim 19 melukiskan Israel melakukan
kefasikan yang sama seperti Sodom dan Gomora; penyergapan di Gibea (Hak. 20)
merupakan parodi dari penyergapan Ai, kecuali sekarang ini orang Israel
menyergap orang Israel lainnya. Beberapa kritikus sastra menyatakan bahwa
semua itu murni merupa kan sarana-sarana sastra sementara sebagai bantahan,
banyak orang Injili mengatakan bahwa bentuk kembar di atas itu ada karena
memang terjadi. Akan tetapi, ini merupakan pemikiran yang mengontraskan.
Tidak ada alas an mengapa sejarah dan seni sastra tidak boleh berada
berdampingan. Tidak ada argumen yang bagus, selain preposisi dari kritik bentuk,
untuk me nyangkal otentisitas sejarah dari beragam peristiwa tersebut, namun para
penulis Kitab Suci memasukkan peristiwa-peristiwa tersebut bukan sekadar untuk
alasan sejarah (lebilı banyak peristiwa yang mereka hapus ketimbang yang
mereka masukkan) melainkan bertujuan untuk menjelaskan sesuatu. Adele Berlin
menyatakan bahwa repetisi sering kali digunakan untuk mem perlihatkan
beberapa sudut pandang dari satu cerita; misalnya 2 Samuel 18 menggambarkan
tangisan Daud atas Absalom dari tiga sudut pandang sudut pandangnya sendiri,
Yoab dan seluruh bangsa. Dengan cara ini intensitas kesedihannya diperbesar
(1983:73-79). Teknik utama lalnnya adalah "celah-celah" di dalam suatu narasi.
Ce lah-celah tcrsebut adalah keterangan-keterangan kecil yang sengaja dihapus
oleh penulis untuk memaksa pembaca terlibat di dalam suatu drama. Seper ti yang
Sternberg tunjukkan, hanya tekslah yang mengendalikan proses pengisian-celah
tersebut melalui beberapa sarana seperti keterangan sebe lumnya, perkembangan
plot dan para tokohnya, dan konvensi-konvensi bu daya di balik cerita itu.14
Dengan cara ini pencarian makna merupakan suatu penyelidikan dan proses dari
para pembaca, yang dipaksa untuk terli bat secara lebih dalam kepada dunia
narasi. Sternberg menggunakan cerita Daud dan Batsyeba (2Sam. 11) sebagal
suatu uji kasus (1985:190-219). Penulis tidak menyebut dosa Daud atau
memberitahukan seberapa jauh Uria menyadari kejadian tersebut, dan pem baca
dipaksa untuk menerka dan mengisi keterangan yang hilang. Penulis juga dengan
sengaja menahan diri dari mengatakan alasan Daud memanggil Uria (ay. 6-13),
supaya pembaca memikirkan yang terbaik sampai plot yang mengerikan itu
tersingkap (ay. 14-15). Ini menggandakan ironi dari komen tar Uria yang
kelihatan polos, "Masakan aku pulang ke rumahku untuk makan minum dan tidur
dengan istriku? Demi hidupmu dan demi nyawamu. aku takkan melakukan hal
itul" (ay. 11). Pembaca tidak mengetahui apakah Uria sekadar mengungkapkan
kesetiaan kepada Daud atau sedang me nvatakan dengan gamblang bahwa ia tidak
akan membiarkan Daud lepas tangan dari dilema yang dihadapinya karena tidur
dengan istrinya. Melalui celah-celah dalam narasi, ketegangan dipertinggi dan
pembaca merasakan emosi dari teks dalam cara yang lebih kuat.

8. Pembaca tersirat.

Sekilas kategori pembaca tersirat ini seperti salah satu detail akademis,
yang hanya berguna untuk memperkaya kosakata ilmiah. Akan tetapi, kategori ini
merupakan salah satu sarana praktis bagi pembaca biasa. Teori ini didasarkan
pada anggapan bahwa setiap kitab me miliki target kelompok pembaca tertentu.
Pembaca asli sudah tidak tersedia lagi bagi "pembaca masa kini" (orang yang
membaca suatu teks pada masa kini), dan teks hanya menghasilkan "pembaca
terstrat" di balik pesan sebe narnya yang ingin disampaíkan. 15 Pembaca masa
kini diundang oleh teks itu untuk membaca teks tersebut dari sudut pandang para
pembaca tersirat ini dan mengenali masalah-masalah dan berita yang ditujukan
kepada mereka. Proses ini akan menolong para pembaca masa kini untuk menyatu
dengan perasaan-perasaan dan respons-respons yang diindikasikan oleh suatu teks
ketimbang dengan kemungkinan-kemungkinan makna yang mungkin mere ka
masukkan ke dalam teks tersebut,16

Meskipun kemungkinan menemukan pesan asli dari suatu teks pada


umumnya disangkal oleh para kritikus sastra, saya yakin kategori penibaca tersirat
merupakan satu sarana yang dapat memampukan seseorang untuk mendeteksi
pesan asli dari suatu teks ketimbang suatu entitas yang sukar dimengerti yang
mengizinkan seseorang bermain dengan beragam makna di dalam suatu teks.17
Culpepper mengatakan, "Tatkala pembaca mengadopsi perspektif yang diberikan
oleh suatu teks pada dirinya, mengalaminya secara berurutan, harapannya
digagalkan atau diubah, menghubungkan satu bagi an dari teks dengan baglan
lain, dan membayangkan serta mengerjakan se mua bagian teks yang perlu
dikerjakan oleh pembaca, maka lambat laun makna teks tersebut dapat terwujud.1
Dengan kata lain teks tersebut me nuntun para pembaca kepada makna yang
dimaksudkan melalui sarana pembaca tersirat yang memaksa mereka untuk masuk
ke dalam dunia teks dan menghidupinya kembali.

Sementara eksegesis dan theologi Alkitab memampukan seorang penaf sir


untuk menghasilkan makna preposisional atau theologis dari suatu teks, pembaca
tersirat menolong kita menemukan makna tindakan atau relasi darl suatu narasi.19
Saya menyebut tahap ini "identifikasi pembaca," menanyakan apa yang dituntut
oleh suatu teks dari pembaca yang dimaksud atau tersirat dan kemudian masuk ke
dalam tujuan itu. Dengan kata lain, dalam tindakan membaca suatu teks, sava
mengizinkan teks itu nenentukan tujuan saya dengan masuk ke dalam dinamika
internal dari teks tersebut dan menata kembali kehidupan saya dengan sesual
(perhatikan gb. 17.5, "Enam-Tahap Proses Kontekstualisasi" pada hlm. 524).
Dengan cara ini juga para pembaca asli menemukan signifikansi atau penerapan
dari narasi tersebut bagi diri mereka sendiri. Ini merupakan suatu sarana yang
penting untuk meng khotbahkan narasi Alkitab, di mana sarana tersebut menjadi
dasar untuk penerapan cerita itu pada masa kini.

Misalnya, cerita mengenal perjamuan kawin di Kana sering kali digu


nakan untuk mengajar ketekunan dalam berdoa: jika kita, seperti Maria, me minta
agar Yesus memenuhi kebutuhan kita (Yoh. 2:3-5), la akan melaku kannya. Akan
tetapi, ini bukanlah penekanan dari konteks perikop tersebut. Bisa dilihat dengan
jelas dari latarnya Yohanes 1-2 dan dari penjelasan editorial Yohanes 2:11 ("la
telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid murid-Nya percaya kepada-Nya")
bahwa pesan dari perikop tersebut adalah kristologis, berpusat pada kemuliaan
Yesus daripada berorientasi pada doa. Permintaan Maria merupakan bagian dari
penekanan atas jabatan kemesias an Yesus (yang mirip awal dari pelayanan-Nya
secara publik) dan bukan paradigma untuk pemuridan. Pembaca tersirat diminta
untuk beriman, dan kita mengenal kemuliaan Yesus melalui Maria.

Mirip dengan hal di atas, pembacaan yang teliti atas kronologi dari Elia
Elisa (1Raj. 17-2Raj. 13) memperlihatkan banyak kesejajaran yang disengaja
antara Musa dan Mesir. Dalam pengertian ini, mujizat-mujizat dari 1-2 Raja raja
memiliki dua tujuan: untuk menunjukkan kekuasaan Yahweh atas Baal (seperti
tulah-tulah memperlihatkan ketidakberdayaan dewa-dewa Mesir) dan untuk
melukiskan penghakiman Allah atas penyembahan berhala Israel. Melalui semua
narasi ini pembaca tersirat diminta untuk mengandalkan Allah saja dan menolak
penawaran sekularisme. Pembaca modern tidak di minta untuk mengulang
kembali mujizat-mujizat tersebut tetapi untuk meng hidupkan kembali komitmen
iman yang dimaksudkan oleh cerita-cerita ini.

9. Kesimpulan Proses yang digambarkan dalam halaman-halaman sebe lum ini


adalah sederhana tetapi juga rumit. Isulah-istilah dan konsep-kon sep yang ada di
dalamnya kelihatannya berada di luar jangkauan pembaca pada umumnya, namun
metode-metode yang dijabarkan melalui konsep di atas didasarkan pada suatu
pembacaan yang masuk akal atas suatu teks. Ini semua bukanlah aspek-aspek
yang terpisah dari pembacaan melainkan memberikan suatu perspektif agar kita
dapat memperoleh suatu "pembacaan yang teliti" atas suatu teks. Dengan
mengingat semua ini, sambil membaca teks beberapa kali, pembaca akan
mendapat suatu "kepekaan" mengenal alur dramanya. Beragam dimensi dari cerita
(plot, tokoh-tokoh, latar) dan wacana (cara cerita itu disampaikan - penulis
terstrat, sudut pandang, ko mentar implisit, pembaca tersirat) akan menjadi
elemen-elemen dari proses pembacaan yang dilakukan secara bersamaan
mengikuti apa yang diingin kan suatu teks. Dengan kata lain, kita akan melihat
dengan teliti pada kesenian sastra dari penulis Alkitab tatkala ia menciptakan
suatu dunia narasi tempat kita akan menemukan makna dan signifikansi dari suatu
cerita

KELEMAHAN-KELEMAHAN DARI KRITIK NARASI

Seperti semua aliran pemikiran, kritik sastra merupakan suatu disiplin


yang memiliki banyak aspek dan kita tidak dapat mengelompokkan para pendu
kungnya di bawah suatu kategori tunggal. Masalah-masalah yang telah dise
butkan dalam bagian ini tidak berlaku bagi semua, namun pada umumnya mereka
dapat terlihat dalam gerakan ini. Ketika seorang menjadi terpikat pa da mainan
yang baru, bahkan yang akademik sekallpun, sering kali peri ngatan diabaikan dan
orang itu menggunakan mainan tersebut secara tidak kritis, tanpa menyadari
mainan tersebut dapat melukai. Daftar di bawah ini tidak dimaksudkan untuk
meremehkan atau menolak kritik narasi, melain kan serangkaian peringatan
terhadap akibat-akibat buruknya. Saya berha rap agar para siswa dapai
mengunakan teknik-teknik dalam bagian pertama dengan cara-cara yang
menghindari bahaya darl bagian ini.

1. Kecenderungan meniadakan sejarah. Seperti yang John Collins amati (lihat c.k.
1 dari bab ini), banyak kritik sastra secara radikal menyangkal ele men sejarah apa
pun dalam membaca suatu teks. Otonomi yang radikal dari teks (lihat ap. 1)
berarti suatu teks bukan hanya dipisahkan dari penulis asli tetapi juga dari
kerangka sejarah tempat teks itu mula-mula ditulis.

Bagi sebagian orang, ini melibatkan penyangkalan atas metode kritik se


jarah, dan memang ada beberapa validitas di dalamnya. Kritik bentuk dan kritik
redaksi dalam dandanan tradistonal mereka telah mengabaikan ben tuk final diari
teks. Faktanya, saya telah lama merasa bahwa keberhasilan dart kritik narast itu
sendiri dalam memperlihatkan keutuhan darl cerita-ce rita Alkitab telah
menghilangkan dasar bagi bentuk-bentuk yang lebih nega tif dari kritik tradisi dan
kritik sumber, karena keputusan tentang "tambah an-tambahan yang kemudlan"
atas teks selalu didasarkan pada alur teks asli yang kelihatannya bertentangan.
Studi-studi narasi telah memperlihat kan kemungkinan melihat Kitab Kejadian
sebagai suatu teks yang utuh, dan kontradikst-kontradiksi atau hubungan-
hubungan sastra yang kaku dilihat sebagai sesuatu yang membuat teks aslinya
semakin masuk akal.

Bagalmanapun, banyak Juga yang menyangkal latar belakang sejarah di


balik teks. Alkitab memang telah dilepas terombang-ambing dari tambatan nya
dan diblarkan terapung di laut relativitas modern. "Permainan" makna di dalam
cerita-cerita itu terlihat menjadi berakhir terbuka, dan para pembaca modern harus
membangun penafsiran mereka sendiri. Oleh karena itu, Rhoads dan Michie
menyebut Markus sebagai "suatu kreasi sastra dengan suatu keutuhan yang
otonom" yang tidak bergantung pada kemiripan apa pun dari pribadi dan
kehidupan yang nyata dari Yesus. Ini merupakan suatu "dunia yang tertutup dan
mandiri," dan pelukisan-pelukisannya, "bukan suatu wakil dari peristiwa-peristiwa
sejarah, namun menunjuk kepada orang orang, tempat-tempat dan peristiwa-
peristiwa di dalam cerita™ (1982:3-4),21 Pemaparan klasik dari pandangan ini
diberikan oleh Hans Frei, yang mengimbau para ahli kritik modern untuk
meninggalkan kesibukan mereka pada sejarah dan kembali kepada suatu
pembacaan "realistik" prakritik atas narasi-narasi Alkitab, atau kesadaran akan
sifat narasi yang "seperti seja rah" (1974:10-35). Akan tetapi, ia memisahkan hal
tersebut dari semua hu bungan dengan peristiwa sejarah yang mencetuskannya;
bagi Frei, narasi itu sendiri adalah maknanya; tidak perlu ada pencarian atas
peristiwa sejarah di balik teks namun hanya suatu pembacaan yang teliti atas teks
itu saja. Namun ini gagal bersikap adil terhadap teks tersebut. Seperti yang
Sternberg catat, "Memang sangatlah disayangkan bahwa para pendukung
pendekatan 'sastra' terhadap Alkitab harus mengkhotbahkan doktrin-doktrin
historis yang kejayaannya telah lama berlalu dan yang tidaklah dimaksudkan
secara harfiah, apalagi dipraktikkan, bahkan oleh para pencetus Kritik Baru terse
butz2 Dalam realitas, sastra dan sejarah ada secara berdampingan dan saling
bergantung. Sebagai pemaparan secara harfiah dari peristiwa dan signifi kansinya,
baik teks maupun latar belakangnya merupakan komponen-kom poren yang
sangat penting dari makna. Ini sangat terlihat khususnya dalam asumsi bersama
antara penulis dan para pembacanya saat itu, data yang harus ditemukan kembali
agar memahami teks sepenuhnya. Singkat kata, dua aspek dari sejarah itu penting
bagi narasi Alkitab, peristiwa sejarah di balik narasi-narasi tersebut dan materi
mengenai latar belakang yang mem bantu menjelaskan makna yang dimaksud
oleh teks.

2. Membuang penulis

Kritik respons pembaca merupakan tahap yang terakhir dari suatu gerakan
menjauh dari penulls di dalam skema penulis teks-pembaca, yang merupakan inti
dari debat mengenai hermeneutika (lihat ap. 1). Para pendukung aliran ini
umumnya menerima sebagian bentuk dari teori otonomi, bahwa suatu teks
menjadi otonom dari penulisnya setelah teks itu tertulis. Oleh karena itu,
penjabaran makna teks berasal dari pembaca masa kini daripada penulis teks atau
teks itu sendirt,44 Namun dikotomi ini sebenarnya tidak perlu. Seperti yang
Thiselton kemukakan:

Pengertian yang benar mengenal peran pembaca di dalam hermeneutika


sas tra dan filsafat kadang kala dipaksakan sedemikian rupa sehingga mengimpli
kasikan suatu relativisme yang tidak terbatas pada sisi teks dan penulisnya.
Masalah-masalah mengenal makna seluruhnya direduksi menjadi masalah
masalah mengenal efek bahasa dalam dunia modern. (Lundin, Thiselton, Wal hout
1985:91) Skeptisisme dan reduksionisme semacam ini tidaklah beralasan.
Pembaca menggunakan teknik-teknik hermeneutika untuk memahami dan
mengenali makna yang dimaksud dari suatu teks. Tidaklah perlu membuang atau
memi sahkan penulis Alkitab dari karyanya.

3. Penyangkalan atas makna yang dimaksud atau rujukan.

Penyangkalan atas makna yang dimaksud atau makna rujukan juga


merupakan subjek da ri dua apendiks buku ini, jadi tidaklah perlu terlalu detail di
sini. Karena ba gi para kritikus radikal, penulis tersirat menggantikan penulis
sebenarmya di balik teks, dan fiksi menggantikan sejarah, kata-kata dan juga teks
seluruh nya menjadi otonom dari rujukan atau makna mereka yang asli, dan pem
baca menghasilkan makna mereka sendiri di dalam teks. Scot McKnight me
nyatakan: Para ahli teori sastra bisa saja berdiri dengan kagum melihat es yang
menga pung di atas air dan mereka dapat melukiskan bentuknya yang estetis dan
kekuatan-kekuatannya yang berkesan, namun cepat atau lambat kapal mere ka
akan disadarkan oleh tabrakan "Titanic" dari penyataan fakta bahwa apa yang
sedang mereka amati itu adalah suatu bongkahan es yang nyata, yang lebih besar
lagi di bawah permukaan daripada di atas. (1988:128)

4. Pemikiran reduksionistis dan disjungtif


Mereduksi makna kepada fak tor-faktor antarteks seperti plot atau latar
bukan hanya tidak perlu namun benar-benar keliru. Pada suatu tingkat kritik sastra
berguna dalam meng ingatkan kita bahwa makna terletak di dalam teks sebagai
satu keutuhan dan bukan di dalam segmen-segmen yang terpisah. Bagaimanapun
juga, kebenaran vang tidak utuh dapat menjadi kesesatan tatkala diangkat men
jadi kebenaran yang utuh. Inilah yang menjadi kasus di sini. Tanpa cakra wala
yang lebih luas yang disediakan oleh riset eksegesis dan sejarah bu daya, kita
benar-benar tidak dapat tiba pada makna yang dimaksudkan dari suatu teks. Tentu
saja, ini merupakan debat yang panjang, dan di dalam pe ngertian yang sangat
nyata, kita berada pada suatu jalan buntu. Kritik sastra yang radikal tidak percaya
bahwa kita dapat atau perlu tiba pada makna asli dari penulis, sementara salah
satu tujuan dari bab ini adalah untuk meng enyahkan pengertian itu.

Dua sisi - riset eksegetis dan pembacaan yang teliti atas teks- bukanlah
suatu ini-atau-itu melainkan kedua-duanya. Jika tidak mungkin mendeteksi makna
yang dimaksud penulis, para kritikus sastra yang radikal itu tepat, dan kita
menerima hubungan subjektif kita dengan teks. Namun bukan ini kasus nya, jadi
kita harus menilal usaha-usaha untuk memusatkan perhatian pada "teks dan hanya
teks" sebagai hal yang membahayakan dan ekstrem.

5. Pemaksaan kategort-kategorl sastra modern pada genre-genre kuno

Banyak ahli teori modern mendasarkan pendekatan penelitian mereka atas


fiksi modern. Bahkan Adele Berlin, yang mengupayakan suatu "narasi Alki tab
yang puitis," jatuh ke dalam kekeliruan ini ketika ia mempertahankan "menutup
dunia teks dari dunia nyata" atas dasar anggapan bahwa "karya karya sastra harus
dianalisis sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu sastra (1983:16). Kita boleh setuju
dengan pokok umumnya bahwa sastra bukan arkeologi atau psikologi yang
menentukan aturan-aturan dari permainan ba hasa. Akan tetapi, masalahnya
adalah biasanya sastra modernlah yang lebth banyak memasok teori, bukan genre-
genre kuno.
Berlin sendiri (bersama Sternberg dan Alter) merupakan pengecualian
yang bisa diterima, tetapl mungkin koreksi yang paling baik disediakan oleh
David Aune, dengan karyanya The New Testament in Its Literary Environment
sengaja berusaha untuk memulihkan keseimbangan dengan mempertim bangkan
tiap genre dengan paralelnya dalam literatur Yahudi dan Greko Romawi.
Misalnya, dengan hati-hati ia membandingkan kitab-kitab Injil de ngan literatur
biografi Yahudi maupun Greko-Romawi dalam rangka menen tukan bagaimana
para penulis kitab Injil memilih bentuk tulisan mereka dan memperdalam garis-
garis besar hermeneutika untuk menafsirkan tulisan tulisan itu sesuai dengan
aturan-aturan umum mereka sendiri (1987:17-76). la menanggapi metode-metode
terkini dengan menegaskan bahwa "gaya-gaya dan struktur-struktur sastra yang
dikaitkan dengan fiksi oleh para ahli modern tidak boleh mengecualikan
penggunaan seni narasi dalam budaya budaya kuno sebagai sarana untuk
menyatakan pandangan historis tentang realitas" (hlm. 111; lihat juga Sternberg
985:23-24). Dengan kata lain, genre fiksi tersebut sering diterapkan dalam dunia
kuno (dan adakalanya juga sekarang ini) untuk melukiskan apa yang sebenarnya
telah terjadi. Sangat lah keliru menganggap para sejarawan Alkitab memiliki
pandangan yang ahistoris.

6. Disibukkan dengan teort-teori yang tidak jelas.

Tremper Longman mengamatt perkembangan dari frasa-frasa teknis dan


penjelasan-perjelasan jargon dari mereka yang mendukung (1987:47-50).
Membaca beberapa literatur tentang respons pembaca atau tentang
dekonstruksionis adalah sama dengan mempelajari suatu bahasa asing. Lebih
lanjut, banyak dari teori-teori itu yang berkontradiksi satu sama lain. Longman
mencatat adanya jarak waktu antara aliran pemikiran yang terkini dan
kemunculannya dalam studi-studi Alkitab. Kecenderungan sekarang adalah
disibukkan dengan ilmu ilmu sosial, dan akibatnya banyak karya mengenai studi
Alkitab baru ber munculan satu dekade setelah mereka menjadi populer di dalam
ilmu-ilmu sosial (seperti dekonstruksi; lihat apendiks 1). Setiap orang ingin
menjadi bagian dari gerakan terkinl; kita sedang mengulangi kekeliruan orang-
orang Athena yang "tidak mempunyal waktu untuk sesuatu selain untuk menga
takan atau mendengar sesuatu yang baru" (Kis. 17:21). Di sini izinkan saya
menambah suatu peringatan; tidak ada salahnya dengan "ide-ide baru," dan setlap
bidang - seperti obat atau permesinan - memiliki jargonnya sendiri (pernahkah
Anda berusaha memahami komentar TV mengenal suatu olah raga yang Anda
tidak begitu kenal?). Bagalmanapun, tatkala suatu bidang pemikiran menyatakan
bidangnya menawarkan metode pragmatik yang da pat berguna bagi kebanyakan
orang, bidang tersebut harus menghindari ba hasa yang terlalu teknis dan harus
menyatukan teori-teorinya. Sebenarnya itulah salah satu tujuan utama dari bab ini:
menyederhanakan kumpulan pendekatan teknis yang membingungkan dan
menghadirkan suatu teknik yang menyatukan teori-teori yang berbeda-beda.

7. Mengabaikan pemahaman dari gereja mula-mula

Meskipun herme neutika dari gereja mula-mula tidak dapat menjadi


penentu untuk metode metode modern, karena kita tidak terikat pada bentuk-
bentuk pemikiran me reka, namun kita perlu mencatat bahwa para ahli eksegesis
yang paling awal secara universal menganggap cerita-cerita Alkitab sebagai
sesuatu yang his toris. Seperti yang McKnight nyatakan, "Saya tidak mengenal
satu pun dari tulisan gereja mula-mula yang memperlakukan Kitab-kitab Injil
sebagal kar ya sastra yang agung, tidak ada komentar-komentar yang luas yang
mem buktikan bahwa para penafsir itu tertarik pada hal-hal seperti plot, teknik,
perkembangan tokoh dan sebagainya" (1988:146). Ini tidak membuktikan bahwa
suatu pendekatan sastra pada teks itu keliru, hanya saja ini hal yang baru.25 Hal
tersebut juga menunjukkan bahwa mereka yang paling dekat de ngan peristiwa
yang nyata tidak melihat peristiwa tersebut sebagal tulisan sastra semata. Karena
pendekatan rujukan telah digunakan sejak awal, kita membutuhkan bukti yang
jauh lebih baik daripada yang sekarang sebelum kita membuangnya.

8. Kesimpulan
Jelas ada yang setuju dan menolak nilai dari studi sastra atas narasi
Alkitab. Masalah-masalahnya sangat nyata, dan sebagian orang merasa skeptis
tentang adanya nilai yang bertahan di dalam gerakan ini. McKnight bahkan bisa
berkata bahwa "banyak kebaikan dalam kritik sastra telah ditampakkan melalui
kritik redaksi di dalam penekanan-penekanan kritik komposisi'-nya" (1988:50). la
akan menomorduakan kritik sastra di bawah proses kritik tradisi. Saya tidak akan
sejauh itu. Makna dijumpai da lam bentuk final dari teks daripada dalam proses
kritik tradisi, jadi jika ada yang perlu saya menomorduakan, itu adalah kritik
sumber di bawah rubrik yang lebih luas dari analisis sastra. Akan tetapi,
kenyataannya tidak perlu ada "penomorduaan"; semua aspek (kritik historis,
sejarah tata bahasa, sastra) berfungsi bersama dan saling memberi tahu di dalam
proses her meneutika dari pencarian makna suatu teks narasi. Hal yang masih
perlu dilakukan adalah menyediakan prinsip-prinsip hermeneutika untuk menye
lesaikan tugas ini dan mencampur komponen-komponennya bersama sede mikian
rupa sehingga narasi-narasi tersebut menghasilkan sasaran yang dimaksudkannya
di dalam kehidupan pembaca.

PRINSIP-PRINSIP METODOLOGIS UNTUK MEMPELAJARI

TEKS-TEKS NARASI

Kritik narasi memiliki tempat yang sah di ruang metodologi-metodologi


kritis di dalam istana hermeneutika, Berbagai faktor yang menghasilkan makna di
dalam suatu cerita dan yang menarik pembaca ke dalam dunia narasi di da lam
cerita tersebut jelas sekali dijabarkan di dalam disiplin ini. Lebih lanjut.
metodologi-metodologi ini telah terbukti sebagai komponen-komponen yang
berharga dari pembacaan yang teliti atas teks; singkat kata, metodologi
metodologi ini berhasil! Namun jika dilepaskan dari makna historis dan
ruJukannya, metodologi-metodologi ini menjadi semena-mena dan subjektif. Oleh
karena itu, metodologi mana pun harus mencampurkan keduanya (sas tra dan
sejarah) sedemikian rupa sehingra mereka saling memodifikasi, mem perbesar
kekuatan dan menghindari kelemahan masing-masing. Saya akan mengikuti garis
besar dasar yang telah dibuat di dalam bagian tentang herme neutika umum,
memperkenalkan elemen-elemen sastra tatkala elemen-elemen itu masuk ke
dalam pola yang lebih besar.

1. Analisis Struktur.

Kita mulai dengan suatu studi atau pembacaan yang teliti atas teks itu
sendiri, mencari alur narasi dan mendapatkan ide awal dari plot. Pertama, ini
dilakukan pada tingkat makro, memperhatikan perkembangan dari karya itu
sebagai suatu keutuhan. Kemudian kita meng analisis struktur mikro dari masing-
masing perikop atau cerita. Tiap cerita dibagi ke dalam unit-unit "tindakan,"
elemen-elemen atau aksi-aksinya masing-masing, Inl semua dipaparkan untuk
menentukan bagaimana tokoh tokoh itu berinteraksi dan bagaimana konflik
memudar dan mengalir di dalam satu cerita maupun dalam narasi yang lebih besar
tempat ia tercakup. Selanjutnya, kita mempelajari pengaruh dari latar (geografis,
waktu atau sosial) pada alur plot, dan menyatukan semuanya kembali dalam cerita
dalam kerangka perkembangan strukturnya.

Kebangkitan dalam Matius 27:66-28:20 merupakan contoh yang baik.


Seorang pembaca yang kompeten akan memperhatikan bahwa keseluruhan cerita
strukturnya dibentuk di seputar serangkalan perjumpaan Yesus de ngan para
penentang-Nya. Ketika dipilah ke dalam unit-unit dasarnya, kita akan mendapat
perkembangan berikut: upaya-upaya para imam untuk meng amankan kubur dan
dengan demikian menggagalkan rencana Allah (Mat. 27:62-66) disejajarkan
dengan perjalanan yang haram ke kubur oleh para pe rempuan (yang berharap
mengurapi mayat Yesus ketimbang untuk merayakan kebangkitan-Nya [Mat.
28:1]). Keduanya ditumbangkan oleh intervensi yang ajaib dari Allah dalam
membanglitkan Yesus dari antara orang mati (ay. 2-4: ingat bahwa Matius lebih
menyukal adegan supernatural [Mat. 27:51-53)) dan dalam berita kepada para
perempuan itu dari malaikat (ay. 5-7) dan oleh pe nampakan yang pertama kali
kepada para perempuan (ay. 8-10). Upaya kedua untuk menggagalkan rencana
Allah terjadi ketika para imam menyu ap para penjaga untuk berbohong tentang
kebangkitan (ay. 11-15), dan ini disejajarkan dengan keraguan para murid (ay.
17). Kedua upaya ini ditum bangkan oleh Amanat Agung (ayat 18-20).
Perhatikanlah kontras antara para penjaga (yang gentar ketakutan dalam ay. 4) dan
para perempuan (yang di beri tahu jangan takut dalam ay. 5) dan antara para imam
(yang menyuruh berbohong [ay. 11-15]) dan Yesus (yang mengamanatkan mist
[ay. 18-20)) Latar ini merupakan latar waktu (waktu yang tercatat dalam Mat.
27:62; 28:1) dan geografis (dengan semua makna dari Yerusalem dan Galilea
yang diper hatikan tadi di bawah "latar").

2. Analists Gaya

Seorang ahli eksegesis harus mengenali beragam sara na sastra yang


digunakan untuk menyajikan suatu materi itu, kemudian melihat bagaimana
teknik-teknik ini memperdalam struktur plot dan menyo roti aspek-aspek tertentu
di dalam suatu narasi. Kita harus mencari klasme atau inklusio (teknik-teknik
membuat kerangka), repetisi, celah-celah, anti tesis-antitesis, simbol, ironi dan
sifat-sifat sastra lainnya. Masing-masing akan menambah nuansa yang berbeda
pada perikop. Kita juga harus mem pelajari kecenderungan gaya individu dari
seorang penulis dan melihat yang mana dari antara itu yang berperan dalam
masing-masing perikop.

Dalam Matius 28, beberapa sarana dasar digunakan. Misalnya, ada celah
di mana Matius gagal menyediakan suatu gambaran mengenai kebang kitan
namun mengizinkan pembaca menyimpulkannya dari konteks. Kete gangannya
terbentuk tatkala para imam melakukan segala macam cara untuk merintangi
rencana Ailah, namun adegan berlawanan yang mengagumkan yang menunjukkan
kuasa Allah menyebabkan para prajurit yang keras itu gentar dan ketakutan
merupakan drama pada titik terbaiknya. Suatu adegan ironi besar terjadi ketika
para imam dalam keputusasaan mereka terpaksa menyuap para penjaga uniuk
menyampaikan kebohongan yang sebelumnya telah mereka minta agar Pilatus
cegah dalam Matius 27:62-66 (bahwa mayat Yesus telah dicuri). Adegan-adegan
dialog menuntun pembaca utuk merasa kan konflik antara Allah dan umat
manusia ini - persekongkolan yang curang dari para imam, teguran yang tersirat
dari para malaikat, janji-janji yang luar biasa dari Tuhan yang telah bangkit.
Seperti yang Jack Kingsbury katakan. elemen sentral dalam plot Matius adalah
konflik,2 dan itu terlihat jelas pada narasi kebangkitan-Nya. Faktanya, ada
inklusio pada narasi mengenai bayi. yang juga berpusat pada konflik antara
rencana Allah dan persengkongkolan para pemimpin Yahudi dan Herodes untuk
merintangi kehendak ilahi.

3. Analisis Redakst Bagi Kitab Raja-raja-Tawarikh dan bagi Kitab-kitab Injil

studi kritik sumber dan redaksi sangat berharga sebagai pelengkap bagi
studi-studi struktural dan stilistika untuk menentukan penekanan-penekan an yang
khusus. Pada tingkat narasi dan theologis, teknii-teknik redaksio nal memberikan
suatu kontrol terhadap penafstran yang subjektif. Ada dua upe pendekatan, dan
keduanya tergantung pada penggunaan atas sinopsis yang menempatkan Kitab-
kitab Injil ayat demi ayat berdampingan satu de ngan yang lain. Pendekatan
pertama lebih bersifat teknis - suatu analisis komposisi yang mencari cara-cara
penulis menggunakan sumber-sumber nya. Ini menuntut pembandingan kata-
demi-kata dan penggunaan statistik kata untuk menentukan kosakata apa yang
khas Markus dan khas Matius. Pendekatan kedua dari analisis redaksi lebih
berguna bagi mereka yang bu kan speslalis atau ahli. Suatu perbandingan antara
Kitab-kitab Injil akan menolong kita untuk mendeteksi perbedaan-perbedaan
dasar dan mengenali penambahan-penambahan, penghilangan-penghilangan dan
perluasan-perlu asan yang sangat membantu dalam menentukan penekanan-
penekanan uta ma dalam suatu teks. Perbandingan ini memiliki kriteria-kriteria
eksternal dan internal.

Secara eksternal, pembaca akan mencari perubahan-perubahan khusus


yang diperkenalkan ke dalam teks, vaitu, cara penulis telah mengubah sumber
sumbernya. "Penghubung" yang mengawali bagian-bagian dan menyediakan
peralihan-peralihan menuju bahan lebih lanjut di dalam cerita menunjuk ke pada
penekanan-penekanan linguistik dan tematik yang khas, karena pada penghubung
itulah kita dapat melihat tangan penulis dengan paling jelas. Pernyataan-
pernyataan rangkuman (seperti Mat. 4:23-25; 9:35; yang menun juk kepada
aktivitas khotbah Yesus dan membentuk baglan utama dalam Injil itu)
menyediakan petunjuk-petunjuk yang berguna berkenaan dengan tujuan dari suatu
bagian. Catatan editorial dan tambahan-tambahan yang bersifat menjelaskan dapat
mengindentifikasi theologi khas dari seorang penulis. Misalnya, "formula
kutipan" Matius (seperti Mat. 2:5-6, 15, 17-18) merupakan kunci menuju
konsepnya mengenai penggenapan dan kecen derungan mesianisnya. Maka
perubahan-perubahan antara Kitab-kitab Injil atau Raja-raja-Tawarikh merupakan
petunjuk-petunjuk penting bagi tujuan tujuan dan karakter gaya yang khas dari
seorang penulis.

Secara internal, para ahli mencari pola-pola yang berulang dan ungkap an-
ungkapan khas yang penulis gunakan urtuk mengusung beritanya ke pada
pembaca. Struktur sebagai keseluruhan yang berkembang (ketimbang tradisi yang
digunakan oleh penulis) sekarang merupakan fokus dari per hatian. Interaksi dari
banyak subgenre dalam satu bagian (perumpamaan, bahan didaktik, apokaliptik
dalam Percakapan di Bukit Zaitun dari Mar kus)28 merupakan petunjuk-petunjuk
yang berguna bagi konstruksi seni keseluruhan. Pokok-pokok ketegangan yang
logis dan ketidakpastian terten tu dalam narasi juga menuntun pembaca lebih jauh
ke dalam dunia cerita dari teks. Misalnya, penggunaan kesalahpahaman dalam
Injil Yohanes sudah sering diperhatikan.29 Sepanjang Kitab-kitab Injil, Yesus
terus-menerus me nolak menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung
melainkan kelihat annya berbicare melalui kepala seseorang (seperti Nikodemus
dalam Yoh. 3). Kita tidak perlu membaca terlalu jauh sebelum menyadari ini
adalah slasat narasi yang disengaja, bagian dari struktur atas-bawah dari seluruh
Injil. Yesus sergaja berbicara dari sudut pandang sorgawi, sementara para pen
dengar-Nya menanggapi dari perspektif duniawi. Dengan cara ini pembaca
dipaksa untuk mengenali perbedaannya dan membuat suatu pilihan. De ngan kata
lain, teks menggunakan teknik ini untuk menghadapkan pembaca dengan tuntutan
Allah di dalam Yesus. Terakhir, seorang penafsir mempelajari cara penulis
menata materi materinya, memperhatikan bagaimana dia menggunakan sumber-
sumbernya sebagai kontrol untuk melihat dengan lebih jelas berita khusus dari
kese luruhan narasi. Dengan kata lain, kita menggabungkan sumber dan teknik
teknik redaksi dengan kritik narasi, mengizinkan metode-metode ini (ka dangkala
berbeda jauh) untuk berinteraksi dan mengoreksi satu sama lain dalam rangka
untuk memahami cerita dan pesan theologis yang dimaksud oleh penulis.

4. Analisis eksegetik

Setelah memeriksa secara mendetall pilihan-pilih an redaksi penulis,


seorang ahli akan memakal pendekatan sejarah tata bahasa pada perikop tersebut,
menggunakan metode-metode yang telah di bahas sebelumnya di bawah
hermeneutika umum (lihat hlm. 119-20). Tata bahasa akan memampukan
seseorang untuk menentukan hubungan yang lebih pasti dari kata-kata dan dengan
itu menentukan alur dari cerita, dan riset semantik akan memberikan kejelasan
mengenal nuansa makna yang dimaksud. Tentu saja, ini tidak perlu dilakukan
setelah langkah pertama sampal ketiga; dalam kenyataannya, metode-metode int
digunakan bersama. Misalnya, tata bahasa dan studi kata merupakan aspek-aspek
dari analisis gaya; mereka saling bergantung, Selain Itu, analisis kritik redaksi
merupa kan bagian dari sarana-sarana eksegesis yang digunakan dalam
mempelajari literatur narasi. Dalam beberapa hal, eksegesis berfungsi sebagal
suatu rangkuman dari yang lain-lainnya; dalam hal lain eksegesis menyediakan
suatu kontrol, karena banyak studi narasi telah mengabaikan eksegesis yang serius
maka hasil-hasil yang dicapai kurang dari memuaskan.

Data latar belakang juga sangatlah penting bagi riset narasi. Cerita cerita
ini ditulis dalam suatu budaya yang sudah tidak kita kenal; tanpa detail-detail ini
kita hanya dapat menyingkap plot lahirnya namun tidak bisa mencapai
signifikansi-signifikansi batinnya. Tentu saja, aspek-aspek ini ti dak dilakukan
secara terpisah dari studi redaksi; melainkan, ini merupakan bagian dari studi
yang menyeluruh dari suatu narasi, termasuk teknik-teknik narasi, penggunaan
sumber-sumber oleh penulis dan konfigurasi sejarah tata bahasa dari teks tersebut.

5. Analisis theologis.

Seorang ahli harus memisahkan penekanan-pene kanan yang mendetail di


dalam satu perikop dari pola theologis utama yang menghubungkan detail-detail
tersebut kepada baglan utama dan kepada ki tab itu sebagal suatu keutuhan. Inl
akan menghasilkan poin-poin utama dan sekunder dari suatu perikop. Balk aspek
diamatis maupun theologis kedua nya dijumpai dalam cerita-cerita; dimensi
theologis berhubungan dengan komponen proposional dan dimensi dramatis
dengan dinamika atau kompo nen tindakan (berhubungan dengan praks!s) dari
makna. Seorang penafsir harus berhubungan dengan kedua aspek dari perikop itu.
Tatkala kita digiring ke dalam dunia narasi dari cerita itu, drama me maksa kita
untuk berinteraksi dengan plot dan para tokoh dan bergabung dengan pembaca
tersirat. Pada waktu yang sama pelajaran-pelajaran theo logis menerobos melalui
drama tersebut, dan kita belajar ketika kita bereaksi terhadap cerita itu. Dua
elemen penafsiran ini saling bergantung dan tidak boleh dipisahkan. Theologi
tanpa praksis itu mandul, dan praksis tanpa theo logi itu kosong. Misalnya, narasi
kebangkitan dari Matlus (lihat poin 1-2) ber pusat pada Kristologi, mengajarkan
bahwa Yesus adalah Tuhan yang telah bangkit dan menegaskan penekanan utama
dari Mattus pada Yesus sebagai Anak yang flahi dari Allah yang memiliki otoritas
dari Yahweh (ay. 18) dan mahahadir (ay. 20). Pada waktu yang sama narasi
tersebut juga mengajarkan kesia-sian dalam melawan rencana Allah dan
keistimewaan dari pe muridan. Terakhir, Amanat Agung (Mat. 28:18-20) menjadi
puncak dari pe nekanan Kitab Injil yang Pertama pada misi "kepada semua
bangsa" (ay. 19). 6. Kontekstualisasi. Kontekstualisasi merupakan inti dari narasi
Alkitab, yang meminta pembaca untuk menerapkan pelajarannya kepada situasi
orang itu sendiri. Narasi pada intinya adalah suatu kontekstualisasi signifikansi
dari kehldupan Israel (Perjanjlan Lama), Yesus (Kitab-kitab Injil) atau gereja
mula mula (Kisah Para Rasul) untuk komunitas Allah pada masa yang kemudian.
Bagi Kitab-kitab Injil ada Sitz im Leben Jesu ("situasi di dalam kehidupan
Yesus") dan Sitz im Leben Kirche (“situasi di dalam kehidupan komunitas
gereja")yang baginya setiap Kitab Injil dibahas. Aspek yang terakhir (Sitz im
LebenKirche) merupakan kontekstualisasi yang dilnspirasi penulis Injil atas
kehidupan Yesus bagi gereja-Nya. Hal tersebut menjadikan penerapannya pada
kebutuhan kita sendiri sekarang sebagai sesuatu yang alamiah, Narasi Alkitab
sebenarnya adalah theologi yang dilihat dalam hubungan-hubungan kehidupan
dan ditampilkan dalam bentuk cerita.

Pada waktu yang sama, narasi menuntut adanya respons atas drama itu
sendiri, oieh karena itu, kita tidak dapat membacanya tanpa menghidupi kembali
dan menerapkan konflik-konflik dan pelajaran-pelajarannya. Seperti para murid,
kita terkagum dan menyembah Yesus. Bersama Yesus kita tun duk kepada Bapa;
bagi kita pemuridan juga berarti "memikul salib," walau pun seperti banyak murid
Yesus lalnnya, "salib” melibatkan kemartiran kita sendiri. Sebelum ini saya telah
membahas metode di dalam bagian "pembaca tersirat" (lihat hlm. 245-46). Tugas
kita adalah menempatkan diri kita pada posisi pembaca yang dimaksud oleh teks
itu dan mengizinkan cerita itu me nuntun respons kita. Banyak (misalnya,
Robinson 1980:123-24) yang perca ya bahwa khotbah narasi harus menggunakan
kontekstuallsasi tidak langsung ketimbang yang langsung. Ada beberapa
kebenaran di sini karena Kitab-kitab injl jarang mengutarakan pokok-pokok
mereka secara eksplisit. Akan tetapi. jika kita menjadi terlalu tidak langsung,
pesan yang dimaksud menjadi hi lang di dalam lautan subjektivitas. Saya lebih
suka "mengusulkan cara-cara dan sarana-sarana" (lihat hlm. 542-48) dan
menuntun keterlibatan jemaat dengan signifikansi dari cerita itu bagi diri mereka
sendiri.

7. Bentuk narast dan khotbah.

Kontekstualisasi berarti berpindah dari eksegesis kepada khotbah (bab 17-


18). Bagi cerita-cerita Alkitab, ini melibat kan apa yang Sidney Greidanus sebut
sebagal "bentuk narasi,30 Sebagai pengganti khotbah tiga-poin yang dibangun
secara logis di sekitar poin-poin utama dari teks, bentuk khotbah ini mengikuti
kontur dari cerita Alkitab itu sendiri, menyampaikan kembali drama itu dan
menolong jemaat untuk meng hidupi kembali drama dan ketegangan yang
tersingkap dari narasi. Di sini ke terangan latar belakang menjadi suatu sarana
khotbah, menarik perhatian pendengar ke dalam latar asli dan dengan itu
memampukan mereka meng alami berita itu secara baru. Banyak praktisi dari
"khotbah cerita" sangat me nolak penggunaan poin-poin khotbah di sini (Buttrick
menamai kemball poin poin itu "gerakan") atas dasar bahwa poin-poin mengganti
kekuatan emosi dari teks dengan data kognitif. Namun ini merupakan pemikiran
disjungtif. Jika ada dua atau tiga bagian (atau "gerakan") dari cerita di dalam teks,
maka lum rah untuk membangun khotbah di sekitar mereka.

Narasi-narasi Alkitab mengandung theologi, dan di sana ada prinsip


prinsip atau tema-tema yang dimaksudkan bagi pembaca. Akan tetapi pada waktu
yang sama, narasi-narasi tersebut barulah cerita-cerita awal dan oleh sebab itu
harus diberitakan seperti itu. Jika tugas dari pengkhotbah adalah selalu
memampukan para pendengar untuk masuk ke dalam dunia dari teks dan untuk
merasakan kesan menggugah, lebih lagi dengan narasi, karena itu adalah tujuan
utama narasi. Kunci menuju khotbah narasi adalah alur plot nya mengendalikan
garis besarnya. Dengan cara ini unit-unit "tindakan" men jadi "poin-poin dari
suatu khotbah, walaupun lebih baik dipikirkan sebagai "pergerakan-pergerakan"
("aksi" dari dari suatu adegan) ketimbang poin-poin (yang lebih baik untuk
khotbah didaktik) 31 Setelah melengkapi enam langkah di atas, seorang
pengkhotbah akan mencoba untuk menggabungkan elemen-elemen
(perkembangan plot, dialog, penekanan-penekanan theologis, identifikasi
pembaca) ke dalam suatu khot bah dramatis yang menciptakan kembali pesan asli
yang dikontekstualisasi kan untuk hari ini. Dengan menggunakan latar belakang,
para pengkhotbah menyampaikan kembali cerita itu dengan cara sedemikian rupa
sehingga jemaat akan mengalami kembali, bahkan menghidupi kembali berita itu
dan juga melihat relevansi dari beritanya bagi kebutuhan-kebutuhan kontem porer
mereka. Tatkala cerita itu disampaikan kembali, penerapan (atau iden tifikast
pembaca) akan muncul dengan sendirinya secara alami di dalam cerita itu. Seperti
dalam mengkhotbahkan perumpamaan, sangatlah penting untuk memisahkan
warna lokal (aspek-aspek yang merupakan bagian dari cerita itu) dari penekanan-
penekanan theologis (aspek-aspek yang harus dikon tekstualisasikan kembali
untuk zaman kita). Warna lokal akan menolong pa ra pembaca untuk masuk ke
dalam cerita itu dan merasakan kuasanya, dan penekanan theologis akan
menolong mereka untuk melihat relevansinya un tuk kebutuhan-kebutuhan
mereka. Ilustrasi dari kehidupan modern tidak terlalu diperlukan. Bentuk cerita itu
terisi dengan banyak ilustrasi di dalam nya, dan ilustrasi-ilustrasi itu secara alami
menuntun mereka menuju pe nerapan. Inilah sebabnya mengapa khotbah narasi
memiliki potensi yang semakin besar untuk memotivasi dan memengaruhi
ketimbang khotbah di daktik; khotbah didaktik menggambarkan kebenaran-
kebenaran Kristen se mentara khotbah narasi menampilkan kebenaran-kebenaran
ini dalam "situ asi kehidupan."

2.2 PUISI

PADA SAAT Revised Standard Version tahun 1952 terbit barulah pem-
baca Alkitab bahasa Inggris disadarkan mengenai tempat yang tepat dari puisi
Ibrani di dalam kanon Kitab Suci. Versi-versi terjemahan sebelumnya hanya
menempatkan Kitab Mazmur dalam format puisi, tetapi RSV melakukannya
terhadap semua puisi yang ada dalam Alkitab. Ada ba- nyak nyanyian di dalam
kitab-kitab narasi (Kej. 49; Kel. 15:1-18; Ul. 32; 33; Hak. 5; 1Sam. 2:1-10; 2Sam.
1:19-27; 1Raj. 12:16; 2Raj. 19:21-34) dan puisi mengisi seluruh kitab-kitab
nubuat (Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya) demikian
pula sebagian besar dari kitab-kitab lain (Yesaya. Yeremia, Yunus, Zakharia).
Perjanjian Lama memiliki banyak kitab yang ber- isi puisi di luar kitab-kitab yang
sudah dikenal luas seperti Mazmur, Amsal, Ratapan, Kidung Agung atau Ayub.
Oleh karena itu puisi adalah suatu sara- na yang melintasi genre-genre lain,
menjadi suatu teknik retorika yang uta- ma dalam literatur hikmat dan nubuat.
Makna dan theologi dari Kitab Mazmur sangat diperdebatkan sampai saat
ini. Kecenderungan sebagian besar abad ini adalah menempatkan tiap mazmur di
dalam Sitz im Leben (situasi sejarah) yang lebih besar dari kehi- dupan
kepercayaan Israel kuno (seperti William F. Albright dan David Noel Freedman).
Pendekatan diakronis ini menggunakan karya-karya puitis untuk membangun
kembali pola-pola dan pemikiran.-pemikiran penyembahan Israel yang
berkembang. Akan tetapi, orang-orang lain yang mengikuti kritik sastra baru (lihat
apendiks 1), menganggap tiap mazmur sebagai unit yang terpisah dan hanya
mencari dunia seninya sendiri (Alonso-Schokel 1960). Akan teta- pi, mayoritas
ahli menolak untuk memisahkan aspek kolektif (Mazmur seba- gai bagian dari
penyembahan kepercayaan Israel) dan aspek individual (Mazmur sebagai karya
dari penulis tertentu). Keduanya saling bergantung dan harus dipelajari bersama
(lihat Gerstenberger 1985:424-25 dan Brueggemann 1988:ix-x). Kenyataannya,
Gerstenberger membedakan beberapa tahap, yaitu dari individual sampai keluarga
atau suku sampai identitas religius nasional yang berpusat pada Bait Allah
(1988:33-34). Ada mazmur-mazmur individual dan kolektif, dan tiap mazmur
memainkan suatu peran yang agak berbeda di dalam formasi religius dari
kegunaan nyanyian pujian Israel.

STRUKTUR KITAB MAZMUR

Para ahli tidak lagi menganggap Kitab Mazmur sebagai karya-karya


terpisah yang dikoleksi tanpa perencanaan dalam gaya yang acak. Melainkan,
Maz- mur diakui sebagai satu kesatuan kanonis yang utuh, dan studi-studi cende-
rung berpusat pada makrostrukturnya, mempertimbangkan "pola-pola dan tema-
tema yang melingkupi" atau pada mikrostruktur, yaitu, "hubungan-hubungan di
antara pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil atas Mazmur." Kedua-
nya tentu saling bergantung (Howard 1999:332-33). Titik baliknya, seperti
sebagian besar kategori yang dipertimbangkan dalam buku ini, terjadi pada awal
munculnya kritik sastra dan retoris sama seperti kritik kanonis dalam tahun 1980-
an, khususnya bersama karya Gerald H. Wilson The Editing of the Hebrew Psalter
(1985). Dengan menggunakan kesejajaran-kesejajaran materi dari luar Alkitab, ia
memperlihatkan bahwa Kitab Mazmur diedit de- ngan hati-hati dan dengan
menggunakan teknik-teknik kritik bentuk dia memperlihatkan adanya lima "kitab"
Mazmur. Tiap kitab berakhir dengan doksologi, yang menandai koleksi itu (Mzm.
41:13; 72:18-19; 89:52; 106:48; 145:21). Dengan ini kita dapat membedakan
kelima kitab (lihat Limburg 1992:526-27; Waltke 1997:1109-11): Pendahuluan
(Mzm. 1-2) - Sebagian menganggap ini merupakan Mazmur tunggal yang ditandai
dengan ucapan-ucapan bahagia dari Mazmur 1:1; 2:1. Mazmur 1:1 mengundang
orang yang benar untuk memikirkan mazmur dan Mazmur 2:1 berpusat pada raja
yang diurapi di Gunung Sion. Kitab 1 (Mzm. 3-41) - Berpusat pada Daud, dan
meminta perlindungan ilahi di hadapan musuh-musuhnya. Hampir semua mazmur
ini berasal dari Daud. Kitab 2 (Mzm. 42-72) - Ada kemungkinan besar bahwa
kedua kitab pertama ini aslinya satu, karena enam puluh dari tujuh puluh mazmur
itu berpusat pada Daud. Mazmur 42-49 berasal dari "bani Korah," mungkin satu
keluarga yang bertanggung jawab atas musik Bait Allah, dengan 51- 65; 68-70
adalah Mazmur Daud. Kitab 3 (Mzm. 73-89) Ini terutama berasal dari Asaf
(Mzm. 73-83) dan membentuk suatu rangkaian ratapan yang berpusat pada
pelanggaran kovenan dan keadaan yang menghambat bangsa itu. Kitab 4 (Mzm.
90-106) - Suatu harapan baru dihadirkan, ketika Yahweh adalah raja (Mzm. 93;
95-99) dan melakukan perbuatan-perbuatan- Nya yang besar demi umat-Nya.
Musa menempati tempat yang sentral (dise- butkan tujuh kali), menampilkan
bahwa Allah yang telah menyelamat- kan Israel dapat melakukan yang sama
sekarang. Meskipun kerajaan sudah tidak ada, Yahweh dapat menyelamatkan
mereka. Kitab 5 (Mzm. 107-145) Allah memang telah membawa mereka keluar
dari masalah-masalah mereka (mungkin pembuangan), dan inilah waktu- nya
kembali kepada model dari Daud (Mzm. 108-110; 138-145). Mazmur 120-143
merupakan "nyanyian-nyanyian ziarah" yang berpusat pada perjalanan ke
Yerusalem untuk beribadah. Kesimpulan (Mzm. 146-150) Tradisi Yahudi yakin
bahwa koleksi itu merupakan suatu refleksi senga- ja terhadap lima kitab
Pentateuk. Sebagian yakin bahwa kitab-kitab itu da- pat dianggap sebagai sejarah
tematis mengenai Israel, dengan Kitab 1 = kon- flik Daud dengan Saul. Kitab 2 =
Daud sebagai raja. Kitah 3 = krisis Asyur, Kitab 4 = penghancuran Bait Allah dan
pembuangan, dan Kitab 5 = pujian serta renungan saat kembali dari pembuangan
(Hill dan Watson 2000:346. membangun dari karya Wilson). Ini menarik dan
memungkinkan (ini cocok dengan tema tiap bagian), walaupun hal ini tidak dapat
dibuktikan secara penuh. Isu penting lainnya adalah judul dan superskripsi
(epigraf) di sebagian besar mazmur (116 dari 150). Seberapa jauh hal tersebut
dapat diandalkan dan haruskah kita mengandalkannya sebagai data sejarah yang
dapat dian- dalkan? Itu semua ditambahkan lebih kemudian dari penulisan
mazmur- mazmur itu, dan hampir semua bahan itu terdiri dari komentar-komentar
yang teknis tentang musik dan dapat menunjuk kepada nada-nada tertentu
(misalnya, "Menurut lagu: Gitit [Mznı. 8; 81; 84] atau "Menurut lagu: Yang
kedelapan" [Mzm. 6; 12]). Sebagian merujuk kepada penulisnya (misalnya, bani
Korah, Daud, Asaf). Sebagian lainnya menghubungkan mazmur itu de- ngan
suatu peristiwa dalam kehidupan Daud (lihat daftar di poin empat da- lam subbab
"Prinsip-prinsip Hermeneutika di akhir bab ini (hlm. 281]). Para ahli kritik
menganggap ini semua merupakan tambahan-tambahan yang kemudian, dengan
data sejarah yang berasal dari seseorang yang mencari iatar yang cocok bagi
beberapa mazmur (Limburg 1992:528). Namun harus dipertanyakan mengapa
lebih banyak mazmur Daud tidak memiliki superskripsi historis jika itu
ditambahkan jauh lebih kemudian. Lebih dari itu, banyak mazmur di dalam kitab-
kitab sejarah memiliki superskripsi se- perti ini (Kel. 15:1; Hak. 5:1; 2Sam. 22:1;
Yes. 38:9; Yun. 2) memiliki super- skripsi (epigraf) seperti ini, dan itu semua
diterima secara umum. Akhirnya, superskripsi seperti ini ditemukan dalam himne-
himne Sumeria, Akad dan Mesir dan sudah umum dalam Timur Dekat Kuno
(Waltke 1997:1100-1102). Namun, perbedaan-perbedaan antara superskripsi
dalam Teks Masoret dan LXX telah membuat banyak orang meragukan
otentisitasnya, dan ambiguitas dari partikel bahasa Ibrani lë (itu dapat berarti
"dari, berkenaan, berkaitan dengan") membuatnya sulit untuk mengetahui apakah
mazmur itu ditulis oleh Daud, mengenai dia atau dipersembahkan kepadanya
(VanGemeren 1991:19-20). Singkatnya, kita dapat menerima superskripsi itu
sebagai mengandung apa yang mungkin merupakan bahan yang dapat diandalkan
namun tidak selalu dapat mengetahui apa yang dimaksudkannya.
BENTUK PUISI IBRANI

Sangatlah penting untuk memahami cara puisi Ibrani berfungsi. Dengan


te- pat telah ditunjukkan bahwa tidak ada bagian Kitab Suci yang dibaca secara
luas selain mazmur. Dalam versi saku dari Perjanjian Baru, mazmur sering kali
ditambahkan, dan di dalam hampir semua pelayanan penyembahan, maz- mur
masih sering dinyanyikan secara reguler. Banyaknya mazmur dikutip dalam
Perjanjian Baru menunjukkan pentingnya mazmur di dalam kehidupan gereja
mula-mula. Namun mazmur tidak dapat dipahami dengan mudah. Pa- ralelisme
dan pola-pola metrika (sajak) lebih sulit diungkap, dan pembaca yang tidak
waspada akan lebih banyak melihat ke dalam pernyataan-per- nyataan paralel
ketimbang konteksnya. Lebih dari itu, banyak (seperti maz- mur ratapan atau
kutukan) yang kelihatannya tidak dapat langsung dite- rapkan pada pandangan
pertama. Sebagai tambahan, para ahli dan pendeta sering kali mengeksegesis
secara berlebihan atas kiasan atau metafora da- lam puisi Ibrani dan memberikan
bobot theologis lebih daripada yang se- harusnya. Pemahaman mengenal bentuk
dan fungsi dari pola-pola puisi Se- mitik diperlukan dalam rangka memahami
mereka.

1. Pola-pola metrik (sajak).

Puisi dapat dikenali melalui sajak atau rima dan melalui paralelisme tata
bahasa dan bahasa. Identifikasi melalui sajak dan rima terutama berguna bagi
yang ahli dan tidak terlalu digunakan bagi para pengkhotbah, jadi saya tidak akan
membahasnya. Namun pengetahuan dasar mengenai sajak itu penting dalam
rangka memampukan pembaca un- tuk memperoleh sedikit kepekaan mengenai
puisi Ibrani. Belum ada seorang pun yang telah menemukan formula untuk
mengungkap rahasia dari rima Semitik. Seperti yang Freedman nyatakan, setiap
puisi kelihatannya meng- emban tanda-tanda yang berbeda (1977:90-112). Para
ahli berbeda pendapat dalam menyusun strukturnya, apakah melalui penekanan
atau jumlah suku kata. Keduanya bergantung pada pengetahuan mengenai bahasa
Ibrani dan mengenai fonetik. Unit-unit yang ditekan menunjuk kepada sisi lisan
dari puist dan barisnya dibagi atas dasar suku-suku kata yang ditekankan oleh
pembaca Ibrani tatkala menyanyikan satu ayat. Misalnya, Mazmur 103:10
memberikan penekanan-penekanan berikut: Bukan atas dasar dosa-dosa kita/la
menimpakannya/kepada kita Bukan atas dasar kesalahan-kesalahan kita/lakannya
membalas/kepada kita (Terjemahan penulis) Suku-suku kata adalah unit dasar dari
pengucapan, dan banyak, seperti Freedman, yakin suku-suku kata itu
menyediakan dasar yang lebih akurat dan khusus untuk membentuk suatu puisi.
Misalnya, Mazmur 113 memiliki baris-baris empat belas suku kata yang terbagi
7:7 dan adakalanya 8:6. Namun tidak semua puisi mudah dipilah atas dasar
penataan yang mana pun. Ada terlalu banyak variasi, dan tiap puisi dalam Kitab
Suci harus dipela- jari berdasarkan nilainya. Setidaknya kita dapat mengatakan
bahwa rima me- rupakan tanda-tanda utama untuk mengenali puisi Ibrani. Dengan
menggu- nakan baris-baris penekanan, para ahli membagi mazmur menjadi pola-
pola 2:2, 3:2, 2:3 dan banyak pola lainnya. Pembagian dengan suku-suku kata
telah menghasilkan sejumlah pola, yang terdiri dari sepuluh, dua belas, dan empat
belas baris. Lebih dari itu, baris-baris atau ayat itu dibuat dari dua (seperti Mzm.
103) sampai lima baris ide yang sejajar. Di dalam cara ini akan ada variasi bentuk
yang tidak terhitung, tatkala pola sajak dan paralelisme itu saling terjalin.
Faktanya, banyak ahli yang yakin bahwa kedua sistem itu dapat mewakili tahap-
tahap di dalam perkembangan puisi Ibrani. Meskipun masih spekulatif dan tidak
dapat dibuktikan, fakta yang tetap adalah bahwa pilihan bahasa oleh penyair
sampai suatu tingkat tergantung pada pertim- bangan-pertimbangan sajak. Pada
waktu yang sama, bunyi (mencakup bukan hanya sajak-sajak namun pembacaan
lisan, aliterasi (bunyi awal kata yang samal, onomatope (peniruan kata
berdasarkan bunyi bendal dan sebagainya) sering kali bersifat menentukan di
dalam pilihan dan perangkaian kata-kata di dalam bait-bait dari puisi itu
(Gerstenberger 1985:413-16). Singkat kata, seorang penafsir tidak berani
mengenakan lebih banyak makna kepada istilah-istilah individual dari yang
diizinkan oleh keseluruhan mazmur. Studi-studi kata tidaklah menentukan di
dalam mazmur seperti da- lam epistel-epistel Perjanjian Baru, dan maknanya lebih
dihasilkan oleh ke- seluruhan ketimbang oleh bagian-bagiannya. Karena semua
alasan ini, kita harus memfokuskan perhatian lebih kepada paralelisme ketimbang
kepada sajak-sajak.

2. Paralelisme Pada tahun 1750 Bishop Robert Lowth mengembangkan posisi


yang secara umum didukung di masa modern, yaitu tiga tipe dasar dari
paralelisme: sinonimi, sintesis dan antitesis. Beberapa orang masih meng-
ikutinya (seperti Gerstenberger, Murphy, Gray). Akan tetapi, semakin banyak ahli
(seperti Kugel, Alter, Longman) telah menolak teori ini, mereka berpen- dapat
bahwa posisi seperti itu sebenarnya mereduksi puisi menjadi prosa de- ngan
"meratakan baris puisi" (Longman). Mereka menyatakan bahwa baris ke- dua
selalu menambah makna; dalam beberapa gaya baris kedua menjelaskan yang
pertama. Pendekatan yang akhir ini bukan hanya semakin mendapat dukungan
tetapi hampir mencapai konsensus di antara para ahli pada masa kini (lihat survei
dalam Howard 1999:344-50). Kita sebenarnya dapat menga- takan bahwa
pandangan ini "menang secara mutlak." Seperti pada umum- nya dalam bidang
lain, tipe yang ada tidak hanya dua - sinonimi (istilahnya memiliki ide yang sama)
dan sintesis (yang kedua menambah ide baru) na- mun banyak gradasi di antara
keduanya. Beberapa perikop memperlihatkan makna yang hampir sama, namun
dalam perikop yang lain, baris keduanya menambah sedikit nuansa dan pada
perikop yang lainnya lagi segudang makna ditambahkan pada baris pertama.
Banyak studi yang merujuk kepada pasangan-pasangan kata (sekumpulan tetap
sinonimi yang terus-menerus di- gunakan) melemahkan pandangan bahwa selalu
ada perkembangan di an- tara baris-baris (untuk survei yang baik, lihat LaSor,
Hubbard, Bush 1982:314-15). Pasangan-pasangan seperti bumi/debu,
musuh/lawan, Ya- kub/Israel, suara/ucapan, umat/bangsa dan perpaduan-
perpaduan yang serupa merujuk kepada paralelisme sinonimi yang digunakan.
Namun di sini pun beberapa makna ditambahkan, tatkala paralelisme dan
pasangan kata menambah penekanan kepada idenya. Kontekslah yang selalu
menentukan tiap kasus.

1. Paralelisme sinonimi terjadi ketika baris kedua mengulang yang perta ma


dengan sedikit atau tidak ada makna yang ditambahkan. Sering kali ini mencakup
kesejajaran tata bahasa, tatkala yang kedua secara tata bahasa cocok dengan yang
pertama (seperti frasa preposisi, subjek, verba, objek) dan Juga mungkin cocok
dalam makna. Dalam beberapa peristiwa, seorang pe- nafsir tidak boleh terlalu
berfokus pada keragaman semantik di antara dua baris itu, karena boleh jadi itu
lebih dimaksudkan sebagai perubahan gaya untuk menambah pengaruh. Pada sisi
yang lain, sering kali ada maksud yang ditambahkan, dan ini membuat Robert
Alter. Adele Berlin dan yang lainnya menantang pendekatan tradisional. Dua baris
pertama lebih mungkin memperlihatkan suatu tipe paralel- isme sinonimi, karena
pasangan-pasangan kata tertikam/diremukkan dan pemberontakan/kejahatan tidak
memperlihatkan variasi yang signifikan da- lam makna. Para pendukung
pendekatan sintesis berpendapat bahwa baris kedua menegaskan yang pertama
sehingga kedua baris itu bukanlah murni sinonimi. Namun tidak ada ide baru yang
ditambahkan: jadi itu tetap dapat disebut "paralelisme sinonimi." Dua baris yang
akhir jelas sekali sintesis. Ba- ris ketiga berbicara mengenai sarana dan baris
keempat hasilnya. Bagian le- bih sulit adalah ide yang sejajar dalam Mazmur
103:3. Dia yang mengampuni segala kesalahanmu. yang menyembuhkan segala
penyakitmu. Sebagian orang menafsirkan baris kedua sebagai penyembuhan
secara fisik. Tentu saja Alkitab melihat suatu hubungan antara penyembuhan se-
cara rohani dan secara fisik, keduanya sering kali terjadi bersamaan dalam mujizat
penyembuhan dari Yesus (seperti Lukas 5:20). Namun kita harus hati- hati agar
tidak melakukan eksegesis yang berlebihan terhadap paralelisme puisi di dalam
pengertian ini. Meskipun hubungan penyembuhan rohani dan fisik mungkin
terjadi dalam Mazmur 103. Dua pasangan kata mengam- puni/menyembuhkan
dan kesalahan/penyakit - sering kali sinonimi di da- lam Kitab Suci dan di dalam
konteks ini saya berpendapat bahwa kita tidak boleh menambahkan penyembuhan
secara fisik pada penyembuhan secara rohani. Paralelismenya mungkin terlalu
kuat, dengan verbanya merujuk ke- pada penyembuhan secara rohani. Akan tetapi,
kecenderungan akhir-akhir ini adalah melihat baris kedua sebagai rujukan kepada
penyembuhan secara fisik. Kesimpulannya, para ahli itu benar bahwa tidak ada
sinonimi murni seperti yang dinyatakan sebelumnya, hanya ada sedikit contoh
(dan itu sa- ngat jarang) di mana baris kedua mengulang makna dari baris
pertama, dan satu-satunya hal yang ditambahkan adalah penekanan.

2. Paralelisme tangga juga disebut "paralelisme sintesis" dan menunjuk kepada


suatu perkembangan pemikiran di mana baris kedua menambah ide- ide kepada
yang pertama. Sebagian orang meragukan validitas dari kategori ini karena makna
tambahan menghancurkan paralelisme. Bagaimanapun, ini merupakan bentuk
dominan dan harus diterima; ini umumnya telah menjadi definisi dari paralelisme
Ibrani. Suatu contoh yang terkenal adalah Mazmur la seperti pohon, yang ditanam
di tepi aliran air,yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu
daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil. Ada tiga "langkah" di sini, dari
penanaman (baris 1) sampai menghasil- kan buah (baris 2), sampai bertahan (baris
3), sampai penuaian yang berlim- pah (baris 4, yang membuang metaforanya).
Sering kali perkembangannya jelas sehingga banyak yang berpikir tidak ada
paralelisme sama sekali. Mi- salnya, Yeremia 50:19b berbunyi: Tetapi Aku akan
mengembalikan Israel ke padang rumputnya, maka ia makan rumput di atas
Karmel dan di Basan, dan menjadi kenyang di atas pegunungan Efraim dan di
Gilead. Ada beberapa perkembangan di dalam dua baris yang awal (sebagian
orang menyebutnya sinonimi, namun pemikirannya bergerak dari mengem-
balikan Israel ke padang rumput kepada makan rumput). Pasangan yang kedua
mungkin mengulang ide dari baris kedua, dengan paralelisme sajak ketimbang
makna. Namun, di dua baris terakhir ini gerakannya adalah dari makan rumput
kepada hasilnya (menjadi kenyang). Pertimbangkan juga Maz- mur 139:4: Sebab
sebelum lidahku mengeluarkan kata, sesungguhnya semuanya telah Kauketahui,
ya TUHAN. Tidak ada paralelisme di sini, karena baris kedua melengkapi ide dari
baris yang pertama. Sebagai kesimpulan, pembaca harus selalu membiarkan baris-
baris itu sendiri yang menentukan arahnya pada skala dari sinonimi sampai
sintesis sampai nonparalelisme (sajak). Saya harus mengakui bahwa studi saya
sen- diri telah meyakinkan saya bahwa Berlin dan Longman hampir seluruhnya
benar tatkala mereka mengatakan bahwa kecenderungan puisi Ibrani adalah
menambah nuansa-nuansa lebih jauh di dalam baris yang kedua. Hampir semua
contoh dari sinonimi yang saya lihat dalam studi saya (seperti Mzm. 19:1; 103:7.
11-13) bisa dikatakan menunjukkan adanya tingkatan perkem- bangan sintesis.
Alter merangkum aliran pemikiran ini ketika ia menegaskan bahwa "suatu
argumen untuk pergerakan dinamis dari satu ayat ke ayat ber- ikutnya [sic] lebih
dekat kepada kebenaran, lebih dekat kepada cara para penyair Alkitab
mengharapkan pendengarnya untuk memperhatikan kata-kata mereka" (1985:10).
Meskipun ini memang "lebih dekat kepada kebenaran," aliran baru itu juga
berlebihan ketika mengatakan bahwa "selalu" ada perkem- bangan. Seseorang
dapat menyanggah bahwa baris kedua membuat yang perta- ma lebih jelas (hal
yang sama dapat dikatakan mengenai Yes. 53:5). namun tidak bisa dikatakan
memiliki perbedaan dalam makna. Singkat kata, saya akan menyimpulkan bahwa
di dalam beberapa contoh (seperti Yes. 53:5; Ams. 3:14) tidak ada penjelasan
lebih lanjut dan oleh karena itu mereka cocok dengan definisi umum dari
"paralelisme sinonimi." Walaupun beberapa nuan- sa (kejelasan dan kekonkretan)
dapat ditambahkan, masih sinonimi. Meski- pun ada makna tambahan,
perkembangan sintesis (atau formal) lanjutan akan berbeda dari kasus ke kasus;
studi eksegetis diperlukan untuk menentukan- nya. 3. Paralelisme klimaks adalah
sejenis paralelisme tangga, namun di sini beberapa unit membangun pemikiran
menuju suatu klimaks. Misalnya, per- hatikan Mazmur 8:4-5 (ay. 5-6 dikutip
dalam Ibr. 2:6b-8a):Jika aku melihat langit-Mu.buatan Jari-Mu.bulan dan bintang-
bintang yang Kautempatkan.apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya.
apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?

Empat baris yang awal membangun satu di atas yang lainnya seperti
tangga menuju suatu klimaks terakhir dalam baris-baris sejajar dari ayat 5. Otto
Kaiser berbicara mengenai suatu jenis khusus dari paralelisme klimaks yang baris
keduanya mengulang kata kunci dari baris yang pertama kemu- dian menambah
pemikiran yang bersifat klimaks (1975:322). Sebagai contoh. Mazmur 29:1-2:
Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi, kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan
kekuatan! Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya. sujudlah kepada
TUHAN dengan berhiaskan kekudusan!
4. Paralelisme antitesis membalikkan penekanan dari yang lainnya dan merupakan
yang ketiga dari tipe-tipe utama (bersama sinonimi dan sintesis). Bukannya
membangun (menambahkan) suatu ide, baris kedua dikontraskan dengan yang
pertama. Akan tetapi, itu tetap membentuk paralelisme, karena baris kedua
menyatakan kembali ide yang pertama dengan menegaskan ke- balikannya.
Misalnya, Amsal 3:1 berbunyi, Hai anakku, janganlah kamu mengabaikan
ajaranku. dan biarlah hatimu memelihara perintahku. Kedua unit itu menyatakan
ide yang sama namun dalam cara yang ber- lawanan. Bagaimanapun, di dalam
kasus lain, antitesisnya memiliki elemen dari paralelisme sintetis yang baris
keduanya menambah penjelasan lebih lan- jut; misalnya, Mazmur 20:8
mengatakan: Orang ini memegahkan kereta dan orang itu memegahkan kuda,
tetapi kita bermegah dalam nama TUHAN, Allah kita. Baris pertama
memberitahukan apa yang tidak boleh diandalkan dan yang baris kedua
memberitahukan yang harus diandalkan. Perhatikan juga Amsal 1:7: Takut akan
TUHAN adalah pemula pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan
mendidik. Orang bijak dan orang bodoh menyediakan kontras utama di dalam ki-
tab ini, namun ada perkembangan yang jelas dari "takut akan TUHAN" (baris
satu) menuju "hikmat" (baris dua). Ini disejajarkan dengan kontras orang benar
lawan orang fasik, seperti dalam Amsal 3:33: Kutuk TUHAN ada di dalam rumah
orang fasik, tetapi tempat kediaman orang benar-benar mempengaruhinya. itu
sendiri berbicara mengenai kekalahan militer yang meremukkan (lihat ay 10-17)
dan mazmur ini merangkumkan kekalahan tersebut dalam bagian yang
menyatakan ketidakbersalahan Israel di hadapan Allah (ay, 18-23). Sementara
kekalahan tersebut besar, metafora seperti "tempat serigala" dan "domba
sembelihan" (ay. 23) membentuk pembuktian puisi yang melukiskan per-
musuhan yang tiada henti dan penderitaan yang Israel alami dari tetangga-
tetangganya yang bermusuhan.

RAGAM-RAGAM PUISI

Putsi Semitik mempunyai asal di dalam kehidupan religius bangsa itu,


kolek- uf dan individual. Prosa tidak mampu mengungkapkan keinginan yang
men- dalam dari jiwa, sedangkan puisi sebagai suatu pengungkapan emosional
yang mendalam dari iman dan penyembahan menjadi suatu kebutuhan.
Banyaknya upe kebutuhan religius menuntut tipe-tipe himne yang berbeda. Puisi
Ibrani bukanlah bersifat rekreasi melainkan bersifat fungsional di dalam
kehidupan bangsa itu dan hubungannya dengan Yahweh. Puist memiliki fungsi
penyem- bahan dalam memediasi antara bangsa itu dengan Allah serta memiliki
fung- si khotbah dalam mengingatkan orang-orang tentang tanggung jawab
mereka di hadapan Allah. Mazmur, misalnya, bukanlah sesuatu yang tidak penting
se- perti himne-himne sekarang ini namun merupakan sesuatu yang sentral da-
lam pelayanan baik dalam Bait Allah maupun dalam sinagoge. Maka bukan tanpa
alasan kalau ucapan-ucapan nubuat dari Allah sering kali diberikan dalam bentuk
puisi. Puisi bukan hanya mudah diingat, namun puisi juga lebin emotif dan kuat
dalam menyatakan pesannya.

1. Nyanyian-nyanyian perannya

Nyanyian perang merupakan salah satu bentuk yang paling awal dari puisi.
Panggilan perang dalam Keluaran 17:16 dan pekik perang dari Hakim-hakim
7:18. 20 (dan mungkin dari Bil. 10:35- 36), menurut banyak ahli, memiliki nada-
nada puisi. Bagian yang paling ter- kenal adalah nyanyian-nyanyian kemenangan
Musa (Kel. 15:1-18) dan Debora (Hak. 5); perhatikan juga nyanyian kemenangan
atas Moab dalam Bilangan 21:27-30 dan teriakan singkat berkenaan dengan
kemampuan militer Daud dalam 1 Samuel 18:7, 21:11 dan 29:5 ("Saul
mengalahkan beribu-ribu musuh. tetapi Daud berlaksa-laksa"). Sementara dalam
kasus yang akhir ketergan- tungan pada Allah tidak ditegaskan, hampir semua
bagian yang lainnya se- cara meriah bersandar pada tangan Allah yang diulurkan
untuk melawan musuh-musuh Israel. Kemuliaan adalah milik Yahweh, yang
berbagi jarahan dan kehormatan dengan umat-Nya.

2. Kidung-kidung cinta.

Kidung-kidung cinta membentuk kategori kedua dari puisi. Kidung


Agung, yang telah membingungkan para ahli selama ber- abad-abad, langsung
muncul dalam benak. Childs mencatat lima perbedaan cara kitab itu telah
ditafsirkan di sepanjang sejarah (1979:571-73): (1) Yuda- sme dan gereja mula-
mula (demikian pula Watchman Nee, salah satu diantaranya dalam zaman
modern) mengalegorikannya sebagai melukiskan ka sih yang mistus dari Allah
atau Kristus bagi umat-Nya. (2) Beberapa ahli mo- dern memandangnya sebagai
midras pasca-pembuangan tentang kasih ilahi (serupa dengan opsi pertama). (3)
Pandangan umum memandangnya sebagai drama, entah mengenai seorang gadis
dengan kekasihnya (pandangan tra- disional) atau dengan tiga tokoh (sebagai raja
yang berusaha memikat sang gadis dari kekasihnya). (4) hampir semua kritik
modern melihat udak ada perkembangan struktural namun yakin ini merupakan
suatu koleksi kidung- kidung cinta sekuler, mungkin mencontoh himne-himne
pujian. (5) Sebagian kecil orang yakin kitab itu menggunakan gambaran cinta
untuk tujuan- tujuan ritual kepercayaan dan dulu digunakan di dalam perayaan-
perayaan orang Israel. Mengenal semua cara di atas, yang ketiga dan keempat
memi- liki kemiripan yang paling banyak; secara pribadi saya memandangnya
seba- gai suatu puisi lirik yang melukiskan hubungan cinta antara gadis yang can-
tük dengan kekasihnya, melukiskan keduanya sebagai seorang gembala yang
sederhana dan sebagai seorang raja. Karena kedua lukisan ini terhubung kepada
Daud dan diperluas kepada anaknya Salomo, saya tidak melihat alasan untuk
mengikuti drama tiga tokoh yang lebih rumit (dan sulit) (lihat argumen-argumen
untuk ini dalam Hill dan Walton 2000:374-76). Saya juga tidak melihat
strukturnya begitu longgar sehingga hanya sekadar mewakili koleksi puisi (lihat
Longman 1997:1237-38. yang melihat puisi-puisi ini terpola menurut Adam dan
Hawa dalam Kejadian 2-3 sebagai cerita tentang "seksualitas yang telah ditebus").
Ciri sentralnya tentu saja cinta di antara dua sejoli itu. Puisi itu hanya memiliki
struktur plot yang ringan, dan hu- bungan cinta sama kuatnya pada awal dengan
akhir. Oleh karena itu yang mana pun dari ketiga pandangan itu yang kita pegang,
ini terutama merupa- kan suatu kidung cinta dan akan sangat baik di dalam suatu
seminar perni- kahan.

3. Ratapan.
Ratapan merupakan tipe yang paling umum dari mazmur. Ada lebih dari
enam puluh ratapan dijumpai dalam mazmur. Ini mencakup ratapan yang
individual (seperti Mazmur 3; 5-7; 13; 17; 22; 25-28: 31: 38-40: 42-43: 51: 54-57;
69-71; 120; 139: 142) maupun yang kolektif (seperti Maz- mur 9; 12; 44: 58; 60;
74; 79-80: 94; 137) tempat seseorang atau bangsa me- neriakkan penderitaannya
kepada Allah. Daud mengucapkan dua ratapan di luar mazmur-mazmur itu, untuk
Saul dan Yonatan (2Sam. 1:17-27) dan un- tuk Abner (2Sam. 3:33-34). Himne-
himne seperti ini menyatakan situasi yang menderita dan memohon kepada Allah
untuk pertolongan.

John Hayes mencatat tujuh tema umum di dalam struktur mazmur ratapan
(1976:58-59) juga Waltke 1997:1103-7): (1) disampaikan kepada Allah (seperti
seruan tentang pengabaian yang diungkapkan dalam Mazmur 22:2. "Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?") sering kali disertai pengakuan
iman ("Pada-Mu, ya TUHAN, aku berlindung. janganlah sekali-kali aku mendapat
malu" [Mzm. 71:1]); (2) gambaran mengenai pende- ritaan, sering kali sangat
figuratif ("Aku terbaring di tengah-tengah singa/yang giginya laksana tombak dan
panah (Mzm. 57:51), adakalanya dikemukakan sebagai perhatian berkenaan
dengan dirinya sendiri ("Aku tenggelam ke dalam rawa yang dalam [Mzm. 69:3])
atau bahkan sebagai suatu keluhan kepada Allah ("Namun Engkau telah
membuang kami dan membiarkan kami kena umpat (Mzm. 44:10]); (3)
pemohonan untuk penebusan, untuk pelepasan ('Bangkitlah. TUHAN! / Tolonglah
aku, ya Allahku!" (Mzm. 3:8a) dan untuk mengalahkan musuh-musuhnya
("Engkau telah memukul rahang semua musuhku, dan mematahkan gigi orang-
orang fasik (Mzm. 3:8b)); (4) pernyataan yakin atau bersandar dalam Yahweh
"Engkau. TUHAN, yang akan menepatinya / Engkau akan menjaga kami
senantiasa terhadap angkatan ini"[Mzm. 12:8]); (5) pengakuan dosa ("ampunilah
kesalahanku, sebab besar kesalahan itu" (Mzm. 25:11b]) atau penegasan
ketidakbersalahan ("Engkau menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui
sesuatu kejahatan /aku telah menjaga diriku / terhadap jalan orang-orang yang
melakukan kekerasan /... kakiku tidak goyang" (Mzm. 17:3b-5]): (6) suatu
sumpah atau Ikrar untuk melakukan hal-hal tertentu jika Allah mengabulkan
permohonannya ("Nazarku kepada-Mu, ya Allah, akan kulaksanakan: / korban
syukue akan kubayar kepada-Mu" (Mzm. 56:13]), sering kali melibatkan suatu
pengingatan kepada Allah tentang komitmen kovenan-Nya ("Ingatiah... ya
TUHAN [Mzm. 74:18]); (7) kesimpulan, yang dapat berupa pujian (Tinggikanlah
diri-Mu mengatasi langit, ya Allah! / Biarlah kemuliaan-Mu mengatasi seluruh
bumi" (Mzm. 57:12]) atau pernyataan ulang mengenai permohonan ("Ya
TUHAN, Allah semesta alam, pulihkanlah kami; / buatlah wajah-Mu bersinar, /
maka kami akan selamat [Mzm. 80:20]). Jarang ada mazmur yang berisi semua
elemen ini. Akan tetapi, semua ini memang bentuk dasar dari suatu ratapan yang
mendasar.

Nilai dari mazmur-mazmur seperti ini bagi setiap orang percaya sudah
jelas. Entah seseorang itu sedang sakit (Mzm. 6; 13; 31; 38; 39; 88; 102), di-
taklukkan oleh musuh-musuh (3; 9; 10; 13; 35; 52-57; 62; 69; 86; 109; 120; 139)
atau sadar akan dosa (25; 38; 39; 41: 51), mazmur-mazmur ratapan ti- dak hanya
menawarkan penguatan namun model-model untuk doa. Banyak yang menyatakan
bahwa kita harus menaikkan doa-doa mazmur itu secara langsung: saya setuju
namun lebih suka bermeditasi, mengontekstualisas!- kan dan menyanyikan
mazmur-mazmur ini seperti mencerminkan situasi saya sendiri.

4. Himne atau nyanyian pujian. Himne atau nyanyian pujian merupakan yang
paling dekat kepada penyembahan yang murni dari setiap tipe pulsi Alkitab mana
pun. Puisi-puisi seperti ini bukan dihasilkan dari kesedihan atau kekurangan
melainkan langsung merayakan sukacita atas penyembah- an terhadap Yahweh.
Ini merupakan pengingat yang penting mengenai tuju- an sebenarnya dari
kehidupan Kristen seperti yang diungkapkan dalam Peng- akuan Westminster,
yang mengatakan bahwa tujuan dari manusia adalah untuk memuliakan Allah dan
menikmati dia selama-lamanya." Hampir se- mua himne berisi struktur yang
sama: berseru kepada Yahweh (TUHAN. Engkau menyelidiki aku / dan mengenal
aku (Mzm 139:18. seruan untuk menyembah Aku mau bersyukur kepada TUHAN
dengan segnaphat [Mrm. 111:10, suatu klausa motivasi memuji Yalrweh dari
memberikan sla san untuk menyembah, sering kali berpusat pada atribut atribut
dan pe buatan perbuatan Allah Agung dan semarak pekerjaari Nya [Mom 1113
dan suatu kesimpulan yang mengulang seruan untuk memuji, sering kall dengan
serangkaian berkat ("Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya [Mrm.
111:10). Fee dan Stuart mencatat tiga tipe khusus dari himne (2003:21) Yahweh
dipuji sebagai Pencipta (Mzm. 8: 19: 104; 148), sebagai pelindung dan pembela
Israel (Mzm. 66; 100: 111: 114: 149) dan sebagai TUHAN atas sejarah (Mzn 33:
103: 113: 117: 145-47). Beberapa himne lebih mendetail berkenaan de ngan Allah
sebagai pengendali sejarah dengan merangkum peristiwa-peristiwa penyelamatan
besar di dalam kehidupan Israel (Mzm. 78: 105-106: 135-136 Mazmur mazmur
ini merangkum banyak kegagalan Israel dan mengetrus kan kegagalan itu dengan
kesetiaan Allah, mengimbau bangsa itu untuk mem- perbarui janji kovenan
mereka. Himne seperti ini dinyanyikan pada waktu perayaan hari-hari raya
menuai, pada perjalanan ziarah ke bait Allah (Mmm. 84: 87: 122: 1321. setelah
kemenangan militer (Mzm. 68; 1Mak. 4-5) dan pada perayaan-perayaan khusus
untuk bersukacita. Mazmur-marmar Hallel (Mzm. 113-118) membentuk satu
bagian khusus mengenai perayaan Perja muan Paskah dan juga merupakan satu
bagian yang lazim bagi pelayanan di sinagog. Perkembangan dari mazmur-
mazmur ini dari belas kasih lahi atas orang-orang yang tertindas (Mzm. 113)
menuju kuasa penebusan-Nya (Mam. 114) dan pertolongan bagi Israel (Mzm.
115) sampai pujian dan ucapan syru kur Israel kepada Yahweh (Mzm. 116-118)
memberikan suatu pengalaman penyembahan yang segar dan bermakna bagt masa
kini sama seperti kecika mazmur-mazmur ini awalnya ditulis dan dinyanyikan.

5. Himne ucapan syukur.

Lebih khusus dari himne atau nyanyian poli an, himne ucapan syukur
berterima kasih kepada Allah atas jawaban-Nya kepada doa-doa khusus. Dapat
kita katakan bahwa himne himne ini mem bentuk bagian "sebelum" dan "setelah
dari iman religius, dengan ratapan menempatkan masalah ke hadapan Allah dan
ucapan syukur memajt Dis atas tanggapan-Nya. Seperti pada ratapan, himne
ucapan syukur dipilah ke dalam pengungkapan individual (Mzm. 18; 30; 32; 34;
40: 66: 92: 103: 116 118: 138) dan kolektif (Mzm. 65; 67; 75: 107: 124: 136). Di
dalam kehidupan umat itu, himne himne ini akan dinyanyikan setelah Allah
melepaskan mere- ka dari bencana yang menyebabkan mereka meratap. Ini seperti
bentuk doa Yunus dari dalam perut ikan besar (Mzm. 2:2-9), diungkapkan sebagai
ucap an syukur yang melihat kembali krisis itu (ay. 2-5) dan pertobatan ay 6-7
kemudian berjanji mempersembahkan korban kepada Yahweh dan memba yar
kembali utang itu (ay. 9). Sebagai tambahan pada ucapan syukur kepada Allah
atas keselamatan yang diberikan-Nya, mazmur-marmur Ini Masanya menyatakan
janji kesetiaan dan penyembahan kepada Allah di masa depan"Sebab itu aku mau
menyanyikan syukur bagi-Mu di antara bangsa-bangsa. ya TUHAN (Mzm. 18:50)
dan secara khusus memberikan kemuliaan kepada Yahweh atas penaklukan para
musuh pemazmur (Engkau telah mengikat pinggangku dengan keperkasaan untuk
berperang: / Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawan
aku [Mzm. 18:40) atau ke- sembuhannya dari penyakit (TUHAN. Engkau
mengangkat aku dari dunta orang mati: Engkau menghidupkan aku di antara
mereka yang turun keliang kubur [Mzm. 30:4]). Ada enam elemen struktural
dalam nyanyian-nyanyian ucapan syukur (Gerstenberger 1988:15; lihat juga
LaSor. Hubbard, Bush 1982:519-20):undangan untuk bersyukur atau untuk
memuji Yahweh (Mzm. 30:2, 5 [RSV 1, 4]: 34:3-5 (RSV 1-3): 118:1-4). catatan
tentang masalah dan penyelamatan (Mzm. 18:5-21 [RSV 3-19 32:3-5: 40:3-5
[RSV 1-3]: 41:6-11 [RSV 4-9]: 116:3-4: 118:10-14) puji-pujian kepada Yahweh,
pengakuan atas karya penyelamatan-Nya (Mzm. 18:48-50 (RSV 46-48): 30:3-5,
13-14 [RSV 1-3, 11-12): 40:7 [RSV 5): 92:6-7 [RSV 4-5]: 118:14. 28-29) formula
pemujaan pada awal pemberian korban (Mzım. 118:21: 130:2; 138:1-2; Yes. 12:1)
berkat-berkat atas orang-orang yang ikut serta di dalam upacara itu (Mzm. 22:28
[RSV 26]: 40:6 [RSV 4]: 41:3 [RSV 1]: 118:8-9) nasihat (Mzm. 32:8-9; 34:11.
13-16: 40:6; 118:8-9) Beberapa mazmur (Mzm. 11; 16; 23; 25; 27: 62: 91: 111:
131) memuji Allah atas kebaikan perlindungan-Nya dan iman yang tumbuh di
dalam pe- meliharaan kasih-Nya. Himne-himne ini sangatlah bermakna di dalam
situasi tertekan dan menyediakan kesejajaran-kesejajaran yang bernilai kepada
ajaran Perjanjian Baru mengenai percaya kepada Allah (seperti 1Ptr. 5:7).
6. Nyanyian-nyanyian perayaan dan penegasan.

Perayaan dan penegasan melingkupi beberapa tipe himne yang merayakan


hu- bungan kovenan Allah dengan raja dan bangsa itu (Fee dan Stuart 2003:213-
14). Himne-himne ini berada di pusat dari pengertian orang Israel atas identi- tas
diri dan dengan demikian dapat secara tepat ditempatkan di bawah saiu rubrik
tersendiri, walaupun hampir semua ahli memisahkan mereka. Pada pu- satnya
adalah mazmur-mazmur pembaruan kovenan (Mzm. 50: 81) kemung- kinan
dinyanyikan pada upacara-upacara kovenan tahunan dan bernilai bagi suatu
pengertian mengenai pembaharuan rohani di masa kini. Mazmur-maz- mur
kovenan Daud (Mzm. 89: 132) merayakan pemilihan Allah atas garis ke- turunan
Daud dan memiliki implikasi mesianis. Maka mazmur-mazmur ini menegaskan
pemilihan dan panggilan atas Israel untuk menjadi umat yang khusus milik
Allah.Mazmur-mazmur kerajaan berisi beberapa tipe. Mazmur-mazmur peno-
batan (Mzm. 2; 72; 101; 110) dan mazmur-mazmur penahbisan (Mzm. 24: 29; 47;
93: 95-99) ditulis untuk menunjukkan implikasi-implikasi dari akses- akses
kepada kenaikan takhta, dengan ritual pemahkotaannya, bersumpah di hadapan
Yahweh, pengurapan dengan minyak dan menerima penghormatan dari rakyat.
Marmur mazmur penobatan dapat melampaui satu pemahkota an untuk mencakup
suatu upacara perayaan atas jabatan sebagai raja. Pen dapat beberapa ahli bahwa
mazmur mazmur ini juga mengajarkan penobatan Yahweh atas Israel didasarkan
atas bukti yang tipis dan adalah tidak mung- kin. Implikasi-implikasi mestants
yang jelas dari mazmur-mazzour ini sering kali mengaburkan signifikansi
theologis yang dalam dari setiap mazmur di dalam kehidupan bangsa itu. Kita
harus berusaha memahami makna historis sebelum menggali ciri-ciri eskatologis
dari mazmur-mazmur tersebut. Tipe lain dari mazmur-mazmur kerajaan adalah
ratapan (Mzm. 89; 144) ucapan syukur atas kemenangan (Mzm. 18; 118).
persiapan perang (Mzm. 20, 27) dan perni kahan kerajaan (Mzm. 45). Dalam
setiap kasus, raja adalah pusatnya.

Nyanyian Sion (Mzm. 46; 48; 76; 84: 87; 122), memuji Allah atas
Yerusalem, kota suci pemberian-Nya. Sejarah Yerusalem. dari hubung- annya
dengan Abraham dan Musa sampai dipilih oleh Daud, sebagai ibukota yang baru
dinyanyikan dan namanya yang suci, Ston, menjadi pusatnya. John Hayes
mengembangkan tema-tema itu (1976:42-52). Ziarah tahunan yang di- tuntut oleh
Hukum Taurat, suatu peristiwa khusus yang suci dan penuh su kacita, menjadi
pusatnya dalam Mazmur 84 dan 122. Memasuki pelataran Bait Suci setelah
perjalanan ziarah itu dirayakan dalam Mazmur 15 dan Maz- mur 24. Nyanyian-
nyanyian Sion itu sendiri (Mzm. 46; 48; 76: 87: 125) me- ngumandangkan pilihan
Allah, perlindungan-Nya atas kota suci dan Bait Allah, dan keamanan kota itu dari
musuh-musuhnya. Oleh karena itu, para peziarah itu dan tentu saja bangsa itu
disuruh memandang perbuatan-per- buatan Allah di sana.

7. Mazmur-mazmur hikmat dan pengajaran.

Mazmur-mazmur hikmat dan pengajaran (Mzm. 1; 36: 37; 49; 73: 112:
127; 128; 133) sejajar dengan Am- sal dalam merayakan hikmat sebagai
pemberian yang besar dari Allah kepa- da umat-Nya dan hubungannya dengan
Firman dan Hukum Taurat yang telah tertulis (mazmur-mazmur Taurat adalah
Mzm. 1; 19; 119). Umat itu dipang- gil kepada suatu kesadaran yang baru tentang
hak istimewa dan kewajiban mereka untuk memperhatikan hikmat ilahi melalui
kemurnian rohani dan ketaatan. Seperti dalem Amsal, jalan orang benar
dikontraskan dengan jalan orang fasik (Mzm. 1; 49; 73) dan kemakmuran orang
benar dijanjikan (Mzm. 1: 112: 119: 127-128). Kualitas etika yang tinggi dari
nyanyian-nyanyian ini mem- buat mereka langsung dapat diakses bagi orang
Kristen modern.

8. Mazmur-mazmur yang bersifat mengutuk.

Mazmur-mazmur yang bersifat mengutuk (Mzm. 12: 35; 52; 57-59; 69;
70; 83: 109: 137: 140) biasa- nya adalah mazmur ratapan tempat kepahitan
penulis dan khususnya hasrat untuk dibenarkan sangat menonjol. Ini menjurus
kepada pernyataan-pernya- taan seperti dalam Mazmur 137:8-9 (NIV),
"[Berbahagialah orang yang me- nangkap anak-anakmu (bayi-bayil / dan
memecahkan (membenturkan) me- reka pada bukit batul" Pernyataan seperti ini
mengejutkan bagi kepekaan secara modern dan menyebabkan banyak orang
mempertanyakan standar etika dari para penulis Alkitab. Akan tetapi, beberapa
poin harus diperhati-kan. Penulis sebenarnya sedang menuangkan keluhannya
kepada Alub ber keriaan dengan pembuangan seperti dalam Mazmur 137. Penulis
juga se dang memperhatikan perintah ilahi dari Ulangan 32:35 (Rm. 12:19). "Pem
balasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan." Ter akhir,
seperti yang Gordon Fee dan Douglas Stuart catat, penulis sedang meminta
penghakiman atas dasar kutukan-kutukan kovenan (UI. 28-53-57: 32:35), yang
membenarkan pemusnahan lengkap atas para pelanggar hukum, bahkan anggota-
anggota keluarga (2003-221). Bahasa hiperbolis itu lazim dalam perikop yang
emosional seperti ini.Singkat kata, Ini udak berlawanan dengan ajaran Perjanjian
Baru untuk mengasihi musuh-musuh kita. Tatkala kita dapat menuangkan
permusuhan kita kepada Allah, undakan itu membuka pintu kepada perbuatan-
perbuatan kebaikan yang mirip dengan Roma 12:20 (Ams. 25:21-22). Faktanya,
pere- nungan dan penerapan dari mazmur-mazmur ini dapat bersifat menyembuh-
kan pada mereka yang menderita luka traumatis (seperti penganiayaan pada anak).
Dengan menuangkan kepahitan alami seseorang kepada Allah. sang korban dapat
dibebaskan untuk mengasihi yang tidak layak dikasihi." Kita harus ingat bahwa
Daud yang sama yang telah menulis semua yang di atas kecuali untuk Mazmur 83
dan Mazmur 137 adalah Daud yang menunjukkan kemurahan dan kasih yang
besar kepada Saul. Ketika Anda berseru untuk keadilan setelah sangat disakiti
(seperti orang-orang suci yang mati martir dalam Why. 6:9-11). Roma 12:19
sebenarnya telah digenapi karena pembala- san yang benar-benar diserahkan
kepada Allah, membebaskan Anda untuk mengampuni musuh Anda.

PUISI DI DALAM PERJANJIAN BARU

Meskipun kehadiran himne-himne dan perikop puisi tidak begitu domi-


nan dalam Perjanjian Baru, namun puisi jelas hadir dan memainkan peranan yang
penting. Frank Gaebelein mencatat lima jenis perikop puisi (1975:813- 814): (1)
kutipan-kutipan dari para penulis kuno (Kis. 17:28, dari pidato Epi- menides di
Bukit Mars; 1Kor. 15:33, aforisme dari Menander orang Atena); (2) fragmen-
fragmen dari himne (1Tim. 3:16: Flp. 2:6-11); (3) perikop puisi yang mengikuti
bentuk-bentuk Ibrand (himne-himne dalam Luk. 1-2); (4) perikop- perikop yang
tidak bersajak namun mengandung ungkapan-ungkapan puisi (Ucapan Bahagia
dari Mat. 5:3-12 atau prolog Yohanes, Yoh. 1:1-18); (5) gam- baran apokaliptik
yang mengandung porsi-porsi himne (Why. 4:8, 11; 5:9-10, 12-13). Mengenai hal
ini, dua perikop yang paling penting bagi tujuan kita adalah himne-himne dari
Lukas 1-2 dan kredo-kredo serta himne-himne dari epistel-epistel.

Sudah jelas bahwa puisi Perjanjian Baru memiliki kemiripan dengan pola-
pola Perjanjian Lama. Hampir semua sifat-sifat yang telah digambarkan sebe-
lumnya dapat diperlihatkan di dalam Perjanjian Baru. Hanya Lagu Pujian Maria
saja yang memiliki Paralelisme sinonimi Jowaku memuliakan Tuhan dan hatiku
bergembira karena Allah Juruselamatku. (Luk. 1:46-47) Paralelisme sintesis la
memperithatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerat-beratkan
orang-orang yang congkak hatinya. (Luk. 1:51)Paralelisme antitests la
menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-
orang yang rendah. (Luk. 1:52)Di dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam
epistel-epistel, himne-himne itu memperlihatkan tingkat ungkapan theologis yang
paling tinggi. Kredo-kredo dan himne himme memanfaatkan format puist untuk
menghadirkan doktrin- doktrin Perjanjian Baru yang mendasar, khususnya
kebenaran kristologis, se- ring berpusat pada perendahan diri dan peninggian
Kristus (Flp. 2:6-11; (Thn. 3:16: IPtr. 3:18, 22; lihat juga Ef. 2:14-18: 5:14: 1Kor.
13:1-13: Ibr. 1:3-4; dan mungkin Yoh. 1:1-18). Himne-himne ini menyediakan
bukti yang sangat baik bagt kemungkinan campuran format puisi dan
kemungkinan pe- san theologis yang paling tinggt pada zaman Alkitab.

THEOLOGI DI DALAM KITAB MAZMUR

Banyak kritik modern, yang menekankan "puisi" dan "seni dari mazınur.
mempermasalahkan isi theologis dan lebih cenderung memikirkan "dunia" yang
dilukiskan di dalam mazmur-mazmur itu. Namun ada benarnya juga bahwa puisi
Alkitab mengungkapkan dimensi yang paling dalam dari iman Israel kuno,
khususnya pandangan mengenai Allah. Sebenarnya, theologi merupakan pusat
dari puisi Alkitab. Kumpulan himne kepercayaan orang Israel sangat luas
sehingga tiap usaha untuk mensistematiskannya tidak akan mampu mencakup
kebesaran dan kedalamannya. Namun tema-tema yang sentral bagi mazmur-
mazmur ini tentu saja bernilai bagi upaya seperti ini. Pertama, mazmur berpusat
pada ibadah dan doa; mazmur memperlihat- kan kesadaran Israel akan Allah
dengan iebih baik dari genre Alkitab lain- nya. Mazmur-mazmur tersebut tidak
membuat pernyataan-pernyataan theolo- gis yang nyata, namun keberpusatan
mereka kepada Allah sangatlah theologis. Setiap bidang kehidupan terhubung
kepada Allah, dan la dipandang berdaulat atas segala hal. Seperti yang Peter
Craigie tunjukkan, kerangka kerja untuk ini disediakan oleh konsep kovenan:
"Pengetahuan mereka tentang Allah berakar di dalam kovenan; mereka merespons
kepada Allah dalam doa, dalam pujian. atau dalam situasi kehidupan yang khusus
karena adanya suatu hubungan kovenan yang membuat respons seperti ini
memungkinkan" (1983:40). Allah kovenan sering dilukiskan dalam suatu
hubungan yang intim dengan umat- Nya, dan di dalam pengertian ini mazmur
mencerminkan kepercayaan umum, karena mereka mencerminkan kehidupan
iman yang hakiki bagi setiap anak Allah, dari raja sampai kepada rakyat biasa.

Willem VanGemeren (1991:15-17) memaparkan tujuh aspek tentang


theologi dart Kitab Mazmur: (1) nama-nama Allah (Yahweh. 700 kall: Elohim.
365 kall: Adonai, 54 kalt; memperlihatkan sentralitas dari kovenan). (2) ke-
sempurnaan Allah (kebaikan dan kemuliaan-Nya, belas kasih dan cinta-Nya.
namun juga penghakiman dan keadilan-Nya). (3) perbuatan-perbuatan Allah
(penciptaan, penebusan, proklamasi, menolong, berkat dan menghakimi umat
Nya). (4) harapan atas penebusan dan kebenaran (hasil dari tiga aspek per tama
berpusat pada pemerintahan yang benar dari Allah atas dunia dan peragaan
kedaulatan-Nya atas semua). (5) kerajaan Allah (Allah pencipta telah membuat
dan memelihara dunia ini, dan Dia akan memerintah atasnya melalui Israel umat-
Nya, tempat kerajaan-Nya hadir). (6) Mestas dari Daud (raja dari keturunan Daud
[Mzm. 2; 72: 89: 132] merupakan sarana Allah untuk meluaskan kerajaan-Nya di
seluruh dunia). (7) hikmat dari atas (wa- laupun dianiaya, orang benar milik Allah
hidup dalam ketaatan kepada hu- kum-hukum-Nya, dengan kata lain, kehidupan
kehidupan yang berhikmat). Langkah pertama dalam menentukan theologi dari
Kitab Mazmur sebagai suatu keseluruhan dan juga secara individual adalah
dengan memper- timbangkan genre. Tiap tipe memiliki pesan tersendiri yang
ingin disampai- kan. Ratapan berpusat pada penderitaan dan pencobaan, mazmur
kerajaan berpusat pada raja (dan adakalanya pada Mesias) dan mazmur-mazmur
yang bersifat mengutuk berhubungan pada musuh-musuh seseorang. Namun di
dalam setiap kasus, kedaulatan dan janji kovenan merupakan pusatnya. Langkah
kedua, Kitab Mazmur merayakan tanggung jawab etika dari umat Allah seiring
mereka berhubungan kepada-Nya di dalam iman dan menerap- kannya pada
kehidupan setiap hari. "Kebenaran" dalam mazmur-mazmur itu berhubungan
dengan hidup, melukiskan kehidupan moral yang dipraktikkan oleh mereka yang
telah mengalami kemurahan Allah. Kebenaran terutama merupakan hubungan
dengan Allah dan kemudian hasilnya, yaitu kehidup- an yang beriman.

Kunci kedua adalah eksegesis yang holistis. Berkenaan dengan natur puisi
dari Kitab Mazmur dan metafora-metafora yang terus-menerus muncul, seorang
penafsir harus membaca bagian-bagian Mazmur dengan melihat kepada
keseluruhannya. Hiperbola (dalam mazmur kutukan) sering diguna- kan, dengan
demikian tema-tema yang khas harus dikembangkan dengan memandang mazmur
itu sebagai satu keseluruhan dan dengan memperha- tikan alur theologis yang
mengaitkan berbagai mazmur dari tema-tema yang serupa.

Ketiga, semua kendali yang telah disebutkan berkenaan dengan tulisan-


tulisan hikmat dikenakan juga pada Kitab Mazmur. Pembaca diharap tidak
menafsirkan pernyataan-pernyataan individual seperti janji akan kemakmur- an
penuh bagi orang benar dalam Mazmur 1 terlepas dari konteks yang lebih besar
dari Kitab Mazmur sebagai satu keseluruhan. Beberapa mazmur (se- perti Mzm.
1) menekankan sisi positif dari kehidupan iman; mazmur lainnya (seperti Mzm.
39) berpusat pada sisi negatif, singkatnya sifat yang sementara dari keberadaan.
Seperti yang Ridderbos dan Cralgie nyatakan. "Kitab Mazmur sebagai satu
keseluruhan mencerminkan hikmat yang lengkap mengenai sifat kehidupan umat
manusia dalam hubungan dengan Allah, sementara mazmur secara individual
dapat sekadar berisi sebagian dari gambaran yang lebih besar (1986:1038).

Terakhir, setiap aspek dalam cara apa pun harus berhubungan dengan cara
pemujaan Israel, sistem ibadah ritualnya. Bahkan dalam Mazmur yang
berorientasi hikmat terutama mencerminkan perayaan Israel atas kehidupan dan
hidup di hadapan Allah. Dalam pengertian ini, mazmur mazmur meru- pakan
suatu perayaan kehidupan, yang menekankan fakta bahwa keberadaan tidak ada
artinya tanpa kehadiran dan tzin Allah. Hampir semua ahli setuju bahwa tiap
mazmur dulu digunakan dalam penyembahan Israel. Kumpulan ratapan dan
ucapan syukur paling langsung mencerminkan orientasi ini. tetapi mazmur-
mazmur individual pun secara sekunder terhubung dengan cara pemujaan itu.
Penafsiran harus mengakui latar formal ini, karena theo- logi dikembangkan dari
tujuan ini.

PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA

Meskipun setiap penjelasan mengenai puisi dalam Alkitab telah cukup me-
nolong, mereka belum memberitahukan kepada kita dengan jelas bagaimana
mendekati dan menafsir perikop-perikop puitis ini dengan tepat.

1. Perhatikanlah pola-pola bait (stanza) dari suatu puisi atau himne. Struktur
merupakan langkah pertama dari eksegesis. Elemen utama dari pu- ist Ibrani
adalah pola-pola dari baris-baris dan bait-bait yang sejajar. Terje- mahan-
terjemahan yang lebih baru memperlengkapi para pembaca dengan menempatkan
baris-baris itu berdampingan, menginden bagian-bagian yang sejajar itu dan
memberi jarak di antara bait-baitnya. Kriteria yang paling pen- ting untuk
menemukan jena di antara bait-bait adalah perkembangan pemikir- an. Misalnya,
dalam Mazmur 31 bait pertama (ay. 1-6) adalah permohonan Daud meminta
tolong, yang kedua (ay. 7-9) berisi pernyataan percayanya dan ketiga (ay. 10-14)
adalah pengaduannya. Perubahan gaya juga menan- dakan bait yang baru. Dalam
Mazmur 30, stanza yang pertama (ay. 1-4) di- tujukan kepada Allah, yang kedua
kepada orang-orang suci (ay. 5-6), yang ketiga kembali kepada hubungan antara
pemazmur dengan Tuhan (ay. 7-8). yang keempat (ay. 9-11) merupakan doa
langsung dan yang kelima (ay. 12-13) menggambarkan hasil-hasilnya. Lebih
lanjut, kiasme atau aliterasi membe- dakan pembagian-pembagian balt. Dalam
Mazmur 119. garis besar akrostik- nya jelas sekali, dengan delapan baris dalam
tiap stanza dan tiap stanza diawali dengan huruf-huruf yang berurutan dari alfabet.
Pengaruh dari Sela lebih diperdebatkan, karena tidak ada konsensus yang telah
dicapai berke naan dengan artinya. Dengan tepat Kaiser mengimbau
kewaspadaan, berkena an dengan penggunaan istilah itu di dalam tempat-tempat
janggal (seperti dalam judul atau di tengah dari bait-bait), namun secara tentatif la
menerima penggunaannya di dalam beberapa kasus untuk membedakan bait-bait
(Mzm. 46 namun tidak dalam Mam. 57, 67-68). 2. Kelompok baris-barts yang
paralel. Penyair sedang mengungkapkan pikirannya di dalam keseluruhan unit
menggunakan bahasa yang paling emotif dan bersemangat. Seorang penafsir yang
jelas harus berhati-hati agar tidak terlalu terfokus pada barts-barts individual dan
menganggap itu sinoni mi kapan pun pemikiran-pemikirannya mirip. Mitchell
Dahood menyebutkan seribu pasangan kata atau istilah istilah sinonimi yang
digunakan baik da- lam puist Ugarit maupun Ibrani (1976:669). Pembaca harus
berhati-hati agar Udak terlalu terfokus pada perbedaan makna di dalam situasi-
situasi seperti ini. Namun pada saat yang sama konteksnya yang harus
menunjukkan apa- kah klausa-klausa itu sinonim atau tidak. Misalnya, tiga baris
dari Mazmur 23:2-3a membentuk satu unit tunggal dan harus ditafsirkan bersama:
la membaringkan aku di padang yang berumput hijau. la membimbing aku ke air
yang tenang. la menyegarkan jiwaku Daud tidak sedang berbicara secara
kronologis. Pemulihan jiwa dalam baris ketiga menyatakan makna dasar dari
gambaran yang disampaikan da- lam dua barts awal. Selanjutnya, sangat penting
untuk memperhatikan tipe dari paralelisme. Kita tidak memiliki paralelisme yang
murni sinonim. Seperti yang Craigle sebutkan (1983:207). "padang yang
berumput hijau mungkin mengingat "tempat kediaman-Mu yang kudus" (Kel.
15:13) yang merupakan tujuan peristiwa eksodus dari Mesir, dan "air yang tenang
mungkin meng- gemakan "tempat perhentian yang dikaitkan dengan tabut dalam
perjalanan pengembaraan di padang gurun (Bil. 10:33). Oleh karena itu, gambaran
ter- sebut menambah pengertian mengenai tuntunan dan perlindungan ilahi dari
peristiwa eksodus dan perjalanan pengembaraan di padang gurun sampai
pengalaman yang sedang dialami Daud. Ide dasarnya serupa, namun baris kedua
menambah nuansa pada yang pertama.

3. Pelajarilah bahasa yang bersifat metafora.

Di dalam puisi, bahasa yang bersifat metafora lebih menonjol dan


adakalanya lebih sulit dipahami daripada dalam prosa. Mazmur 19. dengan
"langit" menceritakan kemuliaan Allah, bukan dimaksud untuk mengajarkan
kosmologi Ibrani, Mazmur 121:1 juga bukan ingin mengatakan ("Aku
melayangkan mataku ke gunung-gu- nung") bahwa Allah berdiam di sana. Namun
latar belakang bagi gambaran seperti ini menambah kekayaan dan kedalaman
untuk memahami mazmur itu. Kita semua mengakui keindahan dari Mazmur 23
atau Mazmur 121, di- lihat dalam simbolisme yang mengesankan ingatan tentang
metafora-metafora gembala dan Sinai. Namun gambaran dari mazmur-mazmur
yang bersifat me- ngutuk harus dipelajari dengan hati-hati dari sudut pandang
kutukan kove- nan. Jarang sekali theologi berasal dari metafora itu sendiri
melainkan dari konteks keseluruhan bagian itu. Di sini pertimbangan struktural
akan mem- beritahukan kepada pembaca bagaimana metafora dapat secara tepat
dima- sukkan ke dalam seluruh pesan. Menentukan paralel klimaks, kiasme, in
klusio atau repetisi apa yang mengendalikan mazmur merupakan langkah pertama
untuk memutuskan bagaimana metafora-metafora itu berinteraksi menghasilkan
pesan dari marmur itu.

4. Jika memungkinkan, perhatikan latar belakang sejarah mazmur itu. Di dalam


banyak kasus, judul tradisional dari mazmur akan menyediakan ini Walaupun
judul-judul ini ditambahkan pada waktu yang kemudian dan bu- kan bagian dari
Kitab Suci yang kanonis, mereka biasanya tradisi yang dapat diandalkan,
walaupun para ahli berbeda mengenai seberapa jauh mereka da pat diandalkan.
Mereka mengandung lima jenis data yang berbeda: penulis atau orangi-crang)
yang berhubungan dengan mazmur itu, latar belakang se- jarah, notasi-notasi
musik, catatan-catatan liturgi dan tipe dari mazmur itu (misalnya. "Nyanyian
ziarah [Mazmur 120). Hal yang menarik perhatian kita di sini adalah catatan-
catatan sejarah yang dijumpai dalam judul dari empat belas mazmur (Mzm. 3; 7;
18; 30; 34: 51, 52, 54: 56, 57, 59, 60, 63; 142). semuanya berhubungan dengan
kehidupan Daud. Banyak yang mera- gukan keotentikan judul-judul itu,
mengatakan bahwa judul-judul itu ditam- bahkan pada masa tradisi yang lebih
kemudian, yaitu, ketika judul-judul ter- sebut ditambahkan pada kanon, mengikuti
fakta bahwa pada masa Kristus (seperti yang terbukti dalam Septuaginta) hampir
semua mazmur sudah me miliki judul (lihat Childs 1971:137-50). Sebagian
lainnya memberikan pene- kanan kanonis pada judul itu dan membela
keotentisitasan mereka yang pe nuh berdasarkan pada tidak adanya bukti mazmur-
mazınur ini pernah ada tanpa judul (lihat Archer 1964:428-33). Bagaimanapun,
mungkin sangatlah baik untuk mengambil pendekatan yang optimistik namun
hati-hati terhadap judul-judul ini (lihat Longman 1988:40-42 dan Ridderbos dan
Craigie 1986:1031). Pada umumnya, hanya ada sedikit alasan untuk meragukan
dasar kepercayaan atas judul-judul itu. Namun pada waktu yang sama kita tidak
boleh menganggap bahwa tradisi Masoret itu selalu akurat, dan kita harus meneliti
catatan sejarahnya dari konteks. Di dalam hampir semua kasus, judul itu cukup
cocok. Akan tetapi. di dalam beberapa contoh ada banyak kesulitan. Misalnya,
Mazmur 30 me- rupakan suatu himne ucapan syukur atas kelepasan dari penyakit
yang seri- us, namun judulnya mengatakan nyanyian untuk Penahbisan Bait Suci
(atau rumah). Berdasarkan judulnya, ada sebagian orang mengaitkan mazmur ini
dengan 1 Tawarikh 21-22, khususnya dengan diakhirinya tulah oleh Allah dalam
21:14-30, menuntun kepada persiapan pembangunan Bait Allah dalam pasal 22.
Namun orang-orang lain (seperti Craigie dan Longman) meragukan- nya karena
itu merupakan mazmur individual dan hanya sedikit yang dapat dihubungkan
secara langsung dengan liturgi dan penyembahan di Bait Allah. Pada umumnya,
yang terbaik adalah berhati-hati di dalam menghadapi con- toh-contoh seperti ini.
Khotbah seri yang sangat baik tetap dapat didasarkan pada mengkhotbahkan
beberapa mazmur Daud secara kronologis (atas dasar superskripsi) di mana
mazmur-mazmur tersebut terhubung dengan kehidupan Daud.

5. Pelajarilah marmur dengan melihat tipe dan bentuk dasarnya Settap tipe
mazmur yang telah dijelaskan (ratapan, pujian, kerajaani harus dipe Jart secara
berbeda Sebagian tumpang tindih (seperti ratapan kerajaani d‫ صع‬harus ditafsirkan
dengan sesuai Peruyataan-pernyataan tentang Allah dan hubungan-Nya dengan
umat-Nya jelas berbeda dari tipe ini ke tipe itu, dan penerapannya pada keadaan
sekarang juga berubah. Mereka yang ingin menyembah Allah akan lebih memilih
mazmur pujian ketimbang ratapan, se mentara mereka yang depresi mengenai
tidak hadirnya Allah di dalam kehidupan mereka jelas sekali memerlukan yang
ratapan

6. Pelajarilah mazmur-mazmur mestants dengan melihat tujuan historis mereka


sebelum memperhatikan kepentingan eskatologis mereka. Mazmur 2. 8. 16, 22,
40, 45, 69, 72, 89, 102, 109, 110 dan 132 sebagian atau seluruh bagian mereka
dipandang sebagai mazmur messanis. Namun mereka juga me miliki dimensi
dimensi sejarah terutama dengan melihat situasi-situasi Daud Kedua dimensi
harus diperhatikan dan digabungkan untuk menangkap makna yang sepenuhnya
dari teks itu. Seorang penafsir pertama-tama harus mengeksegesis mazmur itu
untuk menentukan makna yang dimaksud oleh penulis. Pada umumnya mazmur-
mazmur mestanis itu boleh jadi tidak di maksudkan secara mestants namun
mereka telah dipahami sedemikian da- lam pengertian tipologis (lihat Osborne
1988a 930-31). Dalam kasus-kasus seperti ini, kita pertama kali akan memandang
mazmur di dalam pengertian aslinya dan setelah itu di dalam pengertian
kanonis/mesianisnya. Pemba- hasan secara detail tidak dimungkinkan dalam buku
ini tetapi peringatan se- cara umum ini sudah cukup membantu (lihat juga Payne
1975:940-44).

7. Pelajarilah mazmur sebagai keseluruhan sebelum menarik kesimpulan. Alur


pemikiran dari mazmur sangat penting terhadap maknanya. Ini juga mengikuti
garis-garis besar hermeneutika umum seperti yang telah diuraikan dalam bab satu
sampai lima. Setelah memperhatikan struktur dasar dari su- atu perikop dan
mengeksegesis detail-detailnya, sangatlah penting untuk kembali dan
mengerjakan ulang seluruhnya sebelum menjelaskan maknanya Mazmur-mazmur
dimaksudkan untuk dipahami sebagai unit-unit sastra, ka- rena mereka ditulis
secara individu pada penstiwa tersendiri. Oleh karena itu, lebih penting bagi puisi
(ketimbang prosa) bahwa prinsip keseluruhan merupakan kunci terhadap bagian-
bagiannya.

8. Sastra Perjanjian Baru harus dipelajari pada dua tingkatan. Karena kredo-kredo
dan himne-himne Perjanjian Baru sering dikutip, mereka mung- kin memiliki
suatu makna liturgis di dalam kehidupan gereja sebelum diang- kat ke dalam suatu
perikop khusus dari Perjanjian Baru. Lebih dari itu, masing-masing memiliki
status "kanonis," jadi maknanya juga penting bagi kita. Tingkatan pertama adalah
makna theologis yang asli, dan tingkatan ke- dua adalah penggunaan atas kredo
atau himne di dalam konteks individual. Filipi 2:6-11, misalnya, harus dipahami
yang pertama sebagai himne inkar- nasi (makna aslinya) dan kedua sebagai model
bagi sikap-sikap orang Kristen (penggunaannya di dalam konteks Flp. 2:6-11).

2.3 HIKMAT

SALAH SATU dart genre Alkitab yang paling tidak dikenal adalah sastra
hikmat. Kitab-kitab Perjanjian Lama yang ditempatkan di bawah ru- brik ini
adalah Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah. Selain itu saya me- nambahkan kitab-
kitab Apokrifa Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo. Hanya ada sedikit orang yang
tahu apa yang harus dibuat atas karya-karya ini, dan bahkan lebih sedikit khotbah
disampaikan dari rumpun sastra ini. Akan te- tapi, tatkala dikhotbahkan, mereka
sering disalahgunakan untuk mendukung suatu gaya hidup yang hampir sekuler.
Penyebabnya adalah subjek pemba- hasan mereka. Para pengkhotbah sering kali
mendefinisikan hikmat sebagai "penggunaan praktis dari pengetahuan yang Allah
berikan. Namun Georg Fohrer mendefinisikannya sebagai "tindakan yang hati-
hati, dipertimbang- kan, dialami dan kompeten untuk menaklukkan dunia dan
untuk menguasai berbagai masalah kehidupan dan hidup itu sendiri (1971:476).
Tujuannya adalah untuk menggunakan ciptaan Allah dengan tepat dan untuk
menik- mati hidup sekarang di bawah pemeliharaan-Nya. Karena tulisan-tulisan
hikmat begitu konstan menangani sisi pragmatis dari kehidupan, maka sa- ngatlah
mudah mereka disalahgunakan untuk mendukung gaya hidup yang berpusat pada
dunia. Saya sendiri mendefinisikan hikmat Alkitab sebagai "menghidupi
kehidupan di dalam dunia Allah dengan peraturan Allah." Tema sentral dari
tulisan-tulisan hikmat bukanlah kehidupan sekuler melainkan "takut akan
TUHAN" (Ams. 1:7; 9:10: Ayb. 28:28; bdk. Mzm. 111:10: Pkh. 12:13) dan
implikasinya pada kehidupan sehari-hari. Philip Nel (1982:127) menyebut takut
akan TUHAN sebagai "fondasi" dari pemikiran hikmat orang Israel. Namun aspek
yang sangat praktis ini membuat sastra hikmat begitu berharga bagi orang Kristen
modern yang mencari kepercayaan yang relevan. Yesus dan gereja mula-mula
mengenali tulisan-tulisan hikmat ini, dan Per- janjian Baru mengandung sejumlah
besar tema-tema dari tulisan-tulisan hikmat (lihat him. 294). Semua kepercayaan
kuno harus mengatasi masalah- masalah kehidupan, dan sebagai akibatnya
semuanya telah mengembang- kan pengajaran-pengajaran mengenai hikmat.
Mesir dan seluruh wilayah Mesopotamia memiliki tradisi-tradisi mengenai hikmat
(lihat Berry 1995:29-36), dan ada kemungkinan bahwa orang Israel mengambil
tradisi-tradisi ini dan mengolah kembali atas dasar theologi mereka mengenal
Yahweh. Ronald Clements (1992:10-19) yakin kesejajaran kesejajaran ini dan
juga Mazmur 1. 37. 73, 104, 119 menunjukkan asalnya benar-benar dapat dilacak
sampas pada pemerintahan Salomo, walaupun perkembangan yang lebih besar
hadir dalam periode setelah pembuangan. Saya melihat sedikit alasan untuk tidak
menempatkan perkembangan tulisan-tulisan hikmat itu pada periode yang lebih
awal (lihat "Sejarah dari Ajaran Hikmat" pada hlm. 299-303). Pusat dari semua
tradisi ini adalah konsep tentang orang bijak": bukan sebagai sese- orang yang
melarikan diri dari dunia melainkan sebagai seorang yang belajar untuk hidup di
dalam dunia dengan tuntunan dan pertolongan Allah Tidak ada rumpun sastra
yang tersusun secara praktis seperti tulisan- tulisan hikmat, dan ini saja sudah
membuat nilainya tinggi sekali.
SIFAT DARI SASTRA HIKMAT

Para ahli terus berdebat apakah tulisan-tulisan hikmat terutama berurusan


dengan perspektif mengenai hidup, bentuk tulisan theologis, atau suatu rumpun
sastra (perhatikan kemiripan-kemiripan perdebatan ini dengan per- debatan
mengenai apokaliptik). Saya yakin bahwa tulisan-tulisan hikmat ter- utama
merupakan suatu falsafah hidup dan kemudian suatu genre. Pada Intinya, tulisan-
tulisan hikmat adalah suatu pola berpikir theologis yang me- nerapkan hikmat
Allah pada isu-isu praktis dari hidup. Sikap ini menghasil- kan ucapan hikmat dan
kemudian menjadi rumpun sastra yang lebih besar yang mengoleksi ucapan-
ucapan seperti itu (seperti Amsal dan Sirakh) atau mendiskusikan tema-tema
hikmat (seperti Ayub dan Pengkhotbah). Saya akan menguraikan aspek-aspek
umunı dari tulisan-tulisan ini sesudah ini. Pola-pola dari sifat-sifat yang
menjelaskan suatu pengertian yang bijaksana atas realitas ini (von Rad. Sheppard.
Murphy) merupakan subjek dari bab ini. Sebelum kita dapat mengeksegesis
ucapan-ucapan hikmat dengan tepat, sangat penting untuk memahami bagaimana
mereka berfungsi di dalam ke- hidupan dan pola pikir Israel.

1. Orientasi yang praktis. Orientasi yang praktis merupakan sifat dasar dari
pemikiran mengenai hikmat. Amsal-amsal dan perkataan-perkataan bi- Jak
menolong orang-orang muda untuk mulai mengambil tempat yang tepat di dalam
masyarakat. "Hikmat" dari masa lalu itu diturunkan kepada orang- orang muda
agar tatanan dan peradaban masyarakat dapat berlanjut dan tidak sirna. Oleh
karena itu, ucapan-ucapan yang terkumpul itu berpusat pada perkataan dan etiket
yang tepat ("Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya / harapan lebih
banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang Itu" (Ams. 29:20]). penguasaan diri
("Orang yang tak dapat mengendalikan diri / adalah seperti kota yang roboh
temboknya" [Ams. 25:28]), hubungan keluarga ("Anak yang bijak mendatangkan
sukacita kepada ayahnya / tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya
(Ams. 10:11), kekayaan materi "Pada hart kemurkaan harta tidak berguna tetapi
kebenaran melepas- kan orang dari maut [Ams. 11:4); namun bdk. "Berkat
Tuhanlah yang men- jadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya" (Ams.
10:22]) demiki an pula topik-topik seperti mengapa orang benar menderita (Kitab
Ayubi dan mengapa orang fasik kaya raya (Mzm. 49: 73). Kidner menyusun
subjek- subjek berikut yang dibahas dalam Amsal: Allah dan manusia, hikmat,
orang bodoh. orang bebal, sahabat, perkataan, keluarga, kehidupan dan kematian
(1964:31-56; lihat juga Kidner 1985:24-33). Topik-topik ini menyediakan bukti
yang terbaik bagi sifat pragmatik dari sastra hikmat. Nilai dari sifat pragmatis ini
dalam kehidupan Kristen pada hari ini juga jelas: hanya ada sedikit bagian dari
Kitab Suci yang dapat secara langsung diterapkan pada zaman modern (lihat
contoh yang sangat bagus dalam O'Connor 1988). Bagaimanapun, dalam hal ini
sangat penting untuk memperhatikan peringatan yang kuat dari Gordon Fee dan
Douglas Stuart (2003:226-27). Mereka mencatat tiga cara kitab-kitab hikmat ini
disalahgunakan. Pertama, orang-orang cenderung mengambil ucapan-ucapan itu
keluar dari konteks dan keliru menerapkan mereka di dalam gaya harfiah.
Misalnya, Amsal 10:22 (mengenal Allah memberkati seseorang dengan kekayaan)
dikhotbahkan se- bagai Allah ingin semua orang percaya kaya secara materi,
padahal dalam realitasnya ini merupakan bagian dari kontras yang lebih besar
antara orang benar dan orang fasik dalam pasal 10 dan harus ditempa dengan
bagian- bagian lain yang membahas mengenai tempat orang miskin (lihat Ams.
17:5: 18:23) di dalam rencana Allah. Kedua, banyak orang Kristen gagal men-
jelaskan dengan tepat istilah-istilah hikmat seperti bebal dalam Amsal 14:7
("Jauhilah orang bebal, / karena pengetahuan tidak kaudapati dari bibir- nya").
Bebal menunjuk kepada orang kafir yang mengabaikan Allah dan mengikuti diri
sendiri; kata ini tidak dapat dikenakan kepada yang tidak ter- pelajar atau kepada
orang percaya lainnya sebagai "bebal" karena perbedaan- perbedaan theologis.
Ketiga, orang-orang tidak memperhatikan arah atau argumen dalam suatu teks dan
menerapkan apa yang ditunjukkan oleh teks Alkitab tersebut secara salah.
Misalnya, Ayub 15:20-22 ("Orang fasik meng- geletar sepanjang hidupnya... la
tidak percaya, bahwa ia akan kembali dari kegelapan") sering dikhotbahkan
memiliki makna bahwa orang tidak percaya itu sebenarnya tidak bahagia. Akan
tetapi, Ayub menyangkal (Ayb. 17:1-16) ucapan dari Elifas ini, dan pengalaman
praktis (demikian pula doktrin Calvin tentang anugerah umum) memperlihatkan
natur-natur yang keliru dari sua- tu pernyataan seperti ini. Tatkala menerapkan
ajaran hikmat yang praktis, sangatlah penting meng- gunakan sarana-sarana
eksegesis untuk menegaskan apa maksud asli dari suatu teks sebelum
menerapkannya pada situasi modern. Menerapkan per- nyataan-pernyataan hikmat
secara sambil lalu tanpa memperhatikan apa yang tidak mereka katakan dan apa
yang mereka katakan adalah praktik yang berbahaya. Tatkala makna yang
dimaksudkan oleh penulis berbicara secara langsung kepada orang Kristen pada
hari ini, bagaimanapun, itu merupakan harta karun yang kaya, Khothah bukan
hanya perlu lebih banyak diambil dari Kitah Suci int, namun ucapan ucapan
hikmat jugs harus lebih sering dimanfaatkan sebagai teks sekunder untuk
mendasari penerapan dart telos-tekos lainnya dari Kitab Suci.

2. Ketergantungan pada Allah, Ketergantungan pada Allah merupakan tema utama


lainnya dari sastra hikmat. Pada masa lalu para ahli sering kall mengatakan bahwa
genre ini aslinya sekuler dan menjadi tulisan religius baru pada perkembangan di
tahap berikutnya. Akan tetapi, pada hari ini hanya sedikit yang membuat klaim
seperti ini untuk genre ini di Mesopo- tamia atau Mesir, apalagi Ibrant. Bruce
Waltke dan David Diewert (1999:297) mengklaim bahwa "tidak ada perbedaan
yang dapat dibuat antara sekuler/ fana dan religius/saleh di dalam sastra Timur
Dekat Kuno mana pun." Se- perti yang Morgan katakan. "Bukti yang ada
menegaskan pandangan mereka yang mempertahankan bahwa tulisan-tulisan
hikmat Israel, seperti yang telah diturunkan kepada kita dalam sastra hikmat dan
bukan-hikmat, semuanya mengenai Yahweh" (1981:145). Dalam menanggapi
William McKane (1965), Stuart Weeks menyimpulkan (1994:73, bdk. 57-
73):Teori yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan hikmat yang awal di Israel
merupakan suatu tradisi sekuler telah diuji secara cukup mendalam, dan didapati
sangat meragukan di hampir semua aspek. Bukti internal dari Amsal yang dikutip
oleh McKane dan yang lainnya, menurut pendapat saya, umum-nya mengelabui,
sementara bukti dari Mesir dan bukti di luar Israel lainnyamenunjukkan bahwa
sastra hikmat pada umumnya telah menggabungkan elemen-elemen religius jauh
sebelum sastra ini mencapai Israel. Banyaknya variabel dan paradoks yang
dihadapi dalam kehidupan me- maksa orang yang bijak mengenal keterbatasannya
dan bergantung pada Allah sebagai sumber sejati dari hikmat. Amsal 9:10 (bdk.
2:5) memper- lihatkan ini: "Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN. / dan
mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian." Allah dipandang berdaulat (Ams.
16:4, 9: 19:21: Ayb. 38-42), mahakuasa (Ayb. 38:31-33: Kebijaksanaan Salomo
6:7; 8:3), mahatahu (Ams. 15:3; 21:2) dan sebagai Pencipta (Ams. 14:31;
Ayb.28:23-27; 38:4-14) dan Hakim (Ams. 15:11: 16:2). James Crenshaw
mencatat tiga aspek dari dimensi religius (1976:24-25).

Walaupun ia yakin ketiganya merupakan tahap-tahap berurutan ke arah


"theo- logisasi," saya lebih suka memikirkan mereka sebagai unsur-unsur pokok
yang sejajar dari pemikiran mengenai hikmat. Pertama, tulisan-tulisan hikmat
mengaitkan pengalaman-pengalaman sehari-hari dengan sentralitas dari kove- nan
Allah. Karena hanya Yahweh sendiri yang menghargai kebajikan dan menghukum
kejahatan, orang yang setia harus menempatkan setiap aspek dari pengalaman,
keluarga dan sosial serta religius, ke dalam pemeliharaan- Nya. Kedua, kehadiran
ilahi melampaui ruang lingkup nubuat, pengorbanan dan keimaman. Kehadiran
ilahi juga dirasakan dalam kehidupan praktis dari umat Allah; Hikmat ilahi
berdiam di tengah-tengah mereka. Ketiga, tulisan- tulisan hikmat secara khusus
dipersamakan dengan Taurat. Sementara Crenshaw memandang ini sebagai suatu
perkembangan yang belakangan yang terutama dijumpai dalam Yesus bin Sirakh,
kaitan Taurat itu dapat di kenali dalam beberapa tempat, seperti hubungan antara
"perintah-perintah dan hikmat dalam Amsal 3:1-12 dan Amsal 4:45. Singkat kata,
hubungan antara Taurat dan tulisan-tulisan hikmat memiliki dasar dalam periode
yang lebih awal, walau penampakannya hadir kemudian.

Saya akan menambah sifat yang keempat dari tulisan-tulisan hikmat


kecenderungan untuk mempersonifikasi hikmat sebagai perpanjangan Allah
sendiri, terlihat dalam gambaran hikmat sebagai seorang ahli yang berdiri di
samping dan membantu Allah dalam mencipta (Ams. 8:29-30), sebagai guru
perempuan yang mengundang siswa untuk belajar darinya di pintu gerbang kota
(Ams. 1:20-21; 8:1-36) dan sebagai nyonya rumah yang mengundang orang-orang
ke pestanya (Ams. 9:1-12). Hikmat dikontraskan dengan pezi- nah (Ams. 2:16-19:
7:26-27) dan dengan nyonya rumah yang bodoh (Ams 9:13-18).

Sentral pada tulisan-tulisan hikmat ini adalah konsep yang mendomi- nasi
tentang "takut akan Allah." digabungkan dalam Ayub 1:1 dan 28:28 demikian
pula Amsal 3:7; 8:13. dan 16:6 dengan prinsip etika jauhilah kejahatan. Ini adalah
dua sisi dari satu koin. Nel membahas kombinasi dari etika takut yang
menjelaskan hubungan lebih dahulu dengan Allah) dan kepercayaan (takut" yang
menjelaskan ketaatan kepada Taurat dan keper- cayaan religius) di Israel dan
sastra hikmatnya (1982:97-101). "Takut akan Allah merupakan wacana atau
wilayah yang di dalamnya hikmat yang sejati Itu dapat digapai. Oleh karena itu,
hikmat bukan berarti memperoleh penge tahuan kognitif melainkan dihidupi
sebagai suatu konsep etika. Hikmat da- tang dari mendengarkan Tuhan dan
menaati ajaran-ajaran-Nya (Ams. 1:5. 8: 2:21. Sisi lain dari ini adalah suatu
penolakan yang aktif atas kejahatan. "Orang fasik" merupakan antitesis dari orang
bijak (Ayb. 27:13-23; Mzm. 1:1- 6: Ams. 1:20-33) dan secara tak terhindarkan
akan menuju kehancuran me- reka sendiri (Ams. 5:23; 10:21). Kejahatan
dilukiskan sebagai seorang pe rempuan jalang yang merayu orang bodoh menuju
jalan kematian (Ams. 2:16: 5:1-14: 9:13-18). Orang bijak menghindar dan
menolak kejahatan (Ams. 14:16; 16:6). Sekali lagi kita melihat bahwa kita tidak
dapat membahas orien- tasi religius tanpa membahas nada-nada etika praktisnya.
Keduanya berjalan selaras.

3. Otoritas yang tidak langsung. Di masa lalu, banyak yang mengemuka- kan
bahwa ada suatu kehampaan otoritas, dan tulisan hikmat meraih pe- ngaruhnya
dari tradisi atau dari nilai praktisnya (dari fakta bahwa itu ber- hasil). Pandangan
ini telah diperbarui secara drastis, terutama berkenaan dengan kesadaran bahwa
perspektif mengenai Yahweh di balik pemikiran mengenai hikmat sangat besar.
Akan tetapi, nama Yahweh tidak pernah menjadi sumber dari tradisi hikmat itu
sendiri (tidak seperti nubuat), kita Juga tidak menemukan formula yang eksplisit
mengenal tipe yang digunakan oleh para nabi, seperti "Berfimanlah TUHAN.
Oleh karena itu, otoritas ilahi diyakini namun tidak diucapkan secara eksplisit.
Orang-orang lain berpen dapat bahwa keluarga atau sistem pendidikan menyodak
dapteritas. Ini ngatlah tidak mungkin. Meskipun keluarga dan sekolah dapat
memainkan peran yang penting di dalam perkembangan pemikiran dalam tulisan-
tulisan hikanat, tidak satu pun dart keduanya pernah disebut sebagai kekuatan di
belakang gerakan itu sendiri. Weeks (1994:132-56) membahas masalah ten tang
sekolah-sekolah di Israel dan menunjukkan bahwa penyebutan yang paling awai
atas sekolah ada dalam Sirakh 51:23. Tiga perikop kadang kala dikatakan
menunjuk kepada pendidikan formal (Yes, 28:9-13, 50:4-9; Ams 22:17-21) Udak
memperlihatkan bukti yang demikian Misalnya, seorang murid dalam Yesaya
50:4 udak menuntut sekolah-sekolah yang resmi. Oleh karena itu, penunjukan
kepada pendidikan formal sebagai dasar dari hikmat di Israel adalah keliru Nel
lebih baik dalam hal ini tatkala ia menyatakan bahwa setiap imbau an hikmat
mengambil otoritasnya dari dalam, khususnya dari klausa motiva si yang
dikenakan padanya (1982:90-92). "Kebenaran intrinsik yang melekat dalam
ucapan itulah yang menuntut ketaatan. Oleh karena itu, dalam satu pengertian,
ketiga hal yang pernah disebutkan (Allah, tradisi, pengalaman) memainkan suatu
peran di dalam otoritas yang tidak langsung dari penye- barluasan hikmat.
Misalnya. Amsal 2 menuntut pembaca berpegang pada hikmat dan memusatkan
motivasinya kepada fakta bahwa Allah merupakan sumber dari hikmat (ay. 6-8),
bahwa hikmat akan memuaskan jiwa (ay. 10- 11), bahwa kejahatan ("perempuan
asing": bdk. 12-17) membinasakan (ay. 18-19) dan bahwa orang benar mendiami
tanah (ay. 21-22). Allah ada di be lakang semua itu, namun keuntungan praktisnya
yang ditegaskan dan pem baca diharap berpegang pada imbauan-imbauan tersebut
demi semua alasan.

4. Theologi Penciptaan.
Penekanan pada penciptaan merupakan bagian dart jalinan dasar
pemikiran mengenai hikmat dalam Perjanjian Lama (lihat Zimmerli 1976:175-99
dan Hermisson 1978:118-34). Di sini pemikiran itu hampir sejajar dengan tulisan-
tulisan hikmat Mesir, yang berpusat pada "ta- tanan kehidupan. Ini tentu saja
merupakan inti dari theodisi Kitab Ayub. Argumennya adalah bahwa Allah telah
menciptakan dunia dalam cara yang dipandang-Nya sangat baik, dan umat
manusia tidak boleh memasalahkan tatanan yang diatur secara ilahi itu. Semua
sastra hikmat, bukan hanya Ayub. mengembangkan tema ini (misalnya, Yes.
40:28-29). Umat manusia harus meng- ambil tempat mereka yang tepat di dalam
kosmos, menemukan kehidupan yang disiapkan bagi mereka dan
memaksimalkannya. Karena Tuhanlah yang telah membuat "telinga untuk
mendengar dan mata untuk melihat (Ams. 20:12), tiap orang harus memanfaatkan
semua indra itu di bawah peraturan yang telah Allah tegakkan. Waltke dan
Diewert (1999:298-99) melacak mere- ka (sebagai contoh, Hartmut Gese) yang
memakai ini sebagai pencarian tata- nan (misalnya, hukum dan keadilan) yang
telah Allah tanamkan di dalam ciptaan itu sendiri. Namun ini telalu jauh, karena
hikmat juga merupakan pengakuan bahwa hidup itu tidak pasti dan ketidakpastian
tersebut bukan- lah tatanan alami namun Allah tetap mengontrol tujuan atau nasib.
Kita perlu memperhatikan dua aspek dart theologi ini. Pertama, prinsip retribusi
mengatur alam semesta. Allah yang sama yang telah menciptakan alam semesta
itu tetap memegang kendalt; perilaku dari orang benar dan orang fasik pada
akhirnya harus dipertanggungjawabkan hanya kepada-Nya. Karena Allah adalah
pengatur dan juga hakim dari dunia, ia akan menghar gai orang saleh dan
menghukum yang fasik, seperti dalam Amsal 11:21. "Sungguh, orang jahat tidak
akan luput dari hukuman. / tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan (Juga
Ans. 10:27; 12:21: 13:25). Memang pengalaman umumnya berlawanan dengan
perkataan seperti di atas, dan para penulisnya harus bergumul dengan masalah
kemakmuran dart orang yang fasik. Mereka menjawabnya dengan menyatakan
bahwa pengalaman se- perti itu hanya sementara dan akan berakhir dalam
kebodohan ketika peng- hakiman yang tidak terelakkan itu dilaksanakan (Mzm.
73:18-20, 27). Ke- matian, yang dialami semua orang, akan memperlihatkan
kesementaran dari kemuliaan mereka (Mzm. 49:14-20). Oleh sebab itu orang
bijak ingin menemukan dan kemudian tunduk kepada kehendak Allah (Ams.
16:1-3). Hal yang terkait dengan ini adalah aspek kedua dari theologi pencip taan,
yaitu masalah dalam mempertahankan konsep keadilan Allah. James Crenshaw
menemukan gabungan dari theologi penciptaan dan theodist da- lam Kitab Ayub
dan goheleth (Pengkhotbah) (1976:28-32). Kedua kitab itu berkenaan dengan apa
yang disebut suatu krisis di dalam theologi hikmat, yaitu, masalah kembar tentang
kejahatan dan penderitaan orang benar. Ke- dua kitab itu menyediakan jawaban
yang sama, ketidakmampuan kita untuk memahami tatanan ilahi. Keadilan Allah
melampaui kerapuhan manusiawi. dan tugas kita adalah menanti jawaban-
jawaban-Nya. Ketinbang merasa berhak menentukan hukum-hukum dari tatanan
yang Allah telah ciptakan (Crenshaw menyebut ini Titanisme), kita harus dengan
rendah hati tunduk kepada hikmat yang lebih besar dari Allah.

BENTUK-BENTUK SASTRA HIKMAT

Kita dapat mengenali beberapa subgenre di dalam rumpun sastra ini, ma-
sing-masing dengan ciri-ciri dan aturan-aturannya yang khas untuk dike- nali.
Sangatlah penting bagi kita untuk menjelaskan sifat-sifat ini agar dapat
mengembangkan hermeneutika yang tepat bagi ucapan-ucapan hikmat.

1. Amsal Bentuk hikmat yang mendasar dan paling menonjol, suatu "amsal"
(Ibrani māšal) dapat dijelaskan sebagai pernyataan singkat mengenai kebenaran
yang diterima secara universal yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga
dapat diingat. Amsal dapat dijumpai di dalam bagian Kitab Suci lain bukan hanya
di dalam Kitab Amsal (seperti dalam Kej. 10:9 dan 1Sam. 24:14). Ada banyak
tipe ucapan, dan sebagian dari genre itu disebut meshallim di dalam Perjanjian
Lama, seperti alegori (Yeh. 17:1-10), aforisme (Pkh. 9-17-10-20), ucapan-ucapan
populer (Yer. 23:28), wacana (Bil. 23:7.10 atau simile (kemiripan) (1Sam. 10:11).
Secara intrinsik ada beberapa tupe amsal, seperti perintah (Ams. 22:17-24:22).
penuturan atau ucapan hikmat (Ams. 9:1-6), teguran atau larangan (Ams. 8:24-31.
33), amaal tmbauan atau nasthat (Ams. 22-28). amsal bilangan (Ams. 6:16-19),
sinonimi (Ams. 22:22 27) atau amsal-amsal antitesis (Arms. 11:1-31) dan
pernyataan-pernyataan yang berdasarkan fakta atau pengalaman (Ams. 17:27).
Hal yang paling penting adalah kita tidak boleh melihat suatu pernyata an amsal
lebih dari yang dinyatakan dalam pernyataan tersebut. Sesuai de ngan naturnya,
mereka adalah pernyataan-pernyataan umum, dimaksudkan untuk memberikan
nasihat ketimbang untuk mendirikan aturan-aturan yang kaku yang melaluinya
Allah bekerja. Seperti yang David Hubbard nyatakan, hikmat kuno cenderung
menegaskan keberhasilan dan kesejahteraan suatu individu," tidak seperti "kitab
para nabi yang menempatkan penegasan pada kehidupan religius nasional dan
kebersamaan" (LaSor. Hubbard, Bush 1982:545). Misalnya. Amsal 16:3
menyatakan "Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah
segala rencanamu. Ini kelihatannya menjanjikan banyak kemurahan yang tidak
terbatas, namun seperti yang Fee dan Stuart tunjukkan, itu sama sekali tidak
mencakup rencana yang semba- rangan yang diabdikan kepada Allah: "Suatu
perkawinan yang tergesa-gesa. suatu keputusan bisnis yang mendadak, suatu
keputusan pekerjaan yang tidak dipikirkan dengan matang semua dapat diabdikan
kepada Allah namun pada akhirnya akan mendatangkan penderitaan" (1982:198).
Seperti dalam Yosua 1:8 atau Mazmur 1:3, makna dari berhasil atau beruntung
pertama-tama harus dipahami dalam pengertian kehendak ilahi dan barulah
dipahami dalam pengertian materi. Keberhasilan di mata Allah dapat sangat
berlawanan dengan standar-standar duniawi. Seorang penafsir harus menge- nali
sifat umum dari ucapan-ucapan itu dan menerapkan mereka melalui analogi dari
Kitab Suci, yaitu seturut dengan ajaran Alkitab lainnya yang melengkapi
kebenaran yang sedang dijelaskan.

2. Ucapan. Walaupun ucapan-ucapan mencakup amsal (lihat Murphy 1982:4-5),


saya memilih membahas amsal secara terpisah karena mereka begitu mendasar
bagi sastra hikmat. Ucapan bukan suatu bentuk yang bisa dikatakan sudah
berkembang dan belum mencapai tingkat perkembangan seperti amsal. Ucapan
sering kali bersifat lokal, terhubung pada suatu latar khusus di dalam kehidupan
umat itu (seperti dalam Kej. 35:17 dan 1Sam. 4:20), dan tujuannya adalah
didaktik. Murphy mencatat dua tipe. Pertama, ucapan berdasarkan pengalaman
melukiskan situasi-situasi aktual namun tetap terbuka untuk penjelasan. Ini
merupakan pengamatan namun bukan merupakan aturan-aturan yang baku.
Misalnya, Amsal 11:24 ("Ada yang me- nyebar harta, tetapi bertambah kaya, / ada
yang menghemat secara luar bia- sa, namun selalu berkekurangan") tidak
memberikan nasihat namun hanya menyatakan apa yang adakalanya terjadi.
Amsal 17:28 ("Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam diri / dan
disangka berpengertian kalau la mengatupkan bibirnya melukiskan apa yang
kadang kala memang terjadi namun bukanlah suatu aturan umum. Kedua, ucapan
didaktik, ucap an ini kurang lazim dan bertujuan untuk memastikan suatu nilai
khusus. seperti Amsal 14:31. "Siapa menindas orang yang lemah, menghina
Pencip tanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin. memulia-
kan Dia. Perilaku yang diharapkan jelas: tipe ucapan ini lebih dekat kepada amsal,
karena lebih memiliki sentuhan sastra. Sering kali ucapan-ucapan ini dikumpulkan
ke dalam suatu pembahas- an umum atau perintah atas suatu topik. Ini bisa kita
lihat dalam Amsal 1-9. yang membahas orang bijak lawan orang bodoh dan
kebenaran lawan keja- hatan secara panjang lebar. Kita juga dapat menempatkan
mazmur-mazmur hikmat dan Pengkhotbah di bawah rubrik ini. Suatu perintah
sering kali di- akhiri dengan suatu pernyataan singkat yang Brevard Childs
namakan suatu "rangkuman penilaian" (1967:129-36). la temukan ini khususnya
dalam Ye- saya 14:26-27. 17:14b dan 28:29. dan menemukan kesejajaran tulisan
hik- matnya dalam Mazmur 49:13: Ayub 5:27; 8:13; 18:21: 20:29: 27:13:
Pengkhot- bah 4:8; Amsal 1:19 dan Amsal 6:29. Amsal 1:19 merangkum
pembahasan mengenai jalan hidup orang jahat (ay. 10-18) dengan mengatakan,
"Demikian- lah pengalaman setiap orang yang loba akan keuntungan gelap. / yang
meng ambil nyawa orang yang mempunyainya."

3. Teka-teki. Teka-teki dijumpai dalam bentuk murninya hanya dalam Hakim-


hakim 14:10-18 (teka-teki yang Simson berikan kepada orang Filistin tentang
madu dan singa). Ini secara intrinsik tentu bukan sastra hikmat, na mun
penggunaan yang kuat atas teka-teki dalam Timur Dekat kuno telah mendorong
para ahli mengajukan suatu bentuk teka-teki di balik amsal-amsal bilangan seperti
Amsal 6:16-19 (enam perkara yang TUHAN benci) dan Amsal 30:15-31 (ay. 15-
17, empat hal yang tidak pernah puas; ay. 18-20, empat hal yang tidak dimengerti,
ay. 21-23, empat hal yang menggemparkan dunia: ay. 24-28, empat binatang yang
kecil namun pandai; ay. 29-31, empat hal yang gagah jalannya).

4. Imbauan. Philip Nel memperlihatkan bahwa imbauan merupakan salah satu


bentuk dasar dari tulisan hikmat (1982). Dalam polanya yang la- zim, suatu
imbauan diikuti oleh satu klausa motivasi yang memberi tahu pa- ra pendengar
mengapa mereka harus memegang perintah itu, seperti dalam pernyataan sejajar
dari Amsal 9:9:Imbauan berilah orang bijak nasihat Motivasi maka ia akan
menjadi lebih bijak ajarilah orang benar maka pengetahuannya akan bertambah
Imbauan bisa positif (suatu perintah) atau negatif (suatu larangan, se- perti Amsal
22:24-25), sementara klausa motivasi dalam dua contoh itu meng- hubungkan
akibat-akibat praktis yang dilibatkan oleh tindakan itu. Jelas sekali, seturuh
perryutaan itu danaksudkan untuk meyakinkan pendengar hikmat mengenal
farangan yang menyusul. Adakalanya klausa motivasi udak dayatakan (Ams.
20:18 atau boleh jadi tersirat (Ams. 24:17-18: 25:21-22). na nas pada umumnya
perintah perintah itu danaksudkan untuk memicu tang gapan dan ketaatan

5. Aleport Walaupun alegori sering dijumpai dalam tulisan-tulisan hik mat di


Mesopotamia dan Mesir, alegori dapat ditunjukkan secara eksplisit hanya dua kali
di dalam Perjanjian Lama: di dalam rangkaian pernyataan 8- guratif mengenai
kejahatan dari perzinaan dan berkat-berkat pernikahan da lam Amsal 5:18-23 dan
dalam metafora yang diperluas mengenai hart tua dan kematian dalam
Pengkhotbah 12:1-7. Di dalam perikop-perikop yang sa ngat menggunakan bahasa
figuratif (lihat bab 8), sangatlah penting untuk mengerti dan suatu gambaran
berusaha menentukan realitas yang dilukis kan di baliknya. Gambaran-gambaran
dari Pengkhotbah 12:1-7 itu cukup sulit, misahya, dalam ayat 5, apakah pohon
badam berarti rambut putih dan "belalang" berarti lengan-lengan yang rapuh dari
orang tua, atau apakah mereka lebih merupakan gambaran harflah melukiskan
suatu waktu masa tua dalam kehidupan? Dengan cara yang mana pun, lukisan
mengenai usia lanjut yang menuju kematian memang merupakan makna dari ayat
5-6.3

6. Hinne himne dan doa-doa. Himne-himne dan doa-doa sangat banyak dalam
semua sastra hikmat kuno (lihat Crenshaw 1974:47-53). Ini bukan hanya nyata
dalam kasus tentang mazmur-mazmur hikmat melainkan juga banyak dijumpai
dalam bagian-bagtan puisi pada kitab-kitab hikmat (Ayb. 5:9-16: 9:5-12: 12:13-
25: 26:5-14: 28: Ams. 8: Str. 24:1-22; Keb. 6:12-20; 7:22-8:21: 11:21-12:22). Dua
tema utama dalam himne himne hikmat adalah pemuliaan atas hikmat dan ucapan
syukur kepada Allah sebagai Pencipta dan Penebus. Hikmat memampukan kita
berpartisipasi dalam kuasa kreatif Allah dan untuk mengalami keselamatan dart-
Nya. Doa-doa hikmat itu didasarkan pada doa-doa prosa dari Salomo (pada waktu
ia menahbiskan Bait Allah [1Raj. 8:23-531), Ezra (Ezr. 9:6-15) dan Daniel (Dan.
9:4-19). Bentuk yang sudah ber kembang dari doa-doa hikmat tersebut terbatas
pada sastra di luar kanon (se perti Sir. 22:27-23:6: 36:1-17; 51:1-12: Keb. 9:1-18).

7. Dialog, Sementara beberapa bentuk sastra hikmat dijumpai dalam Ki- tab Ayub
(seperti ratapan, drama di ruang pengadilan dan pengakuan), ben- tuk dialog
merupakan subgenre utama dalam Kitab Ayub. Kitab ini disusun di seputar
rangkaian-rangkaian dialog antara Ayub, teman-temannya dan Al- lah. Crenshaw
mengaitkan bentuk ini dengan "pidato yang dibayangkan yang di dalamnya
pemikiran-pemikiran dari seorang lawan bicara dihadirkan seca- ra retorik dan
kemudian ditolak. Hal seperti ini juga dimanfaatkan dalam Am sal 1:11-14, 22-
23; 5:12-14; 7:14-20; 8:4-36; dan Keb. 2:1-20: 5:3-13 (untuk suatu rangkuman
yang baik mengenal dialog-dialog antara Ayub dan "te- man-teman"-nya, lihat
Kidner 1985:60-67).

8. Pengakuan Pengakuan bersifat otobiografi dan memakai masalah- masalah


yang telah dialami oleh para patriakh sebagai contoh bagi orang- orang lain.
Qoheleth (Pengkhotbah) tentu dapat ditempatkan sebagai contoh: di sana penulis
(untuk perdebatan mengenai hal ini lihat Waltke dan Diewert 1999:315-16)
dengan gamblang mengakui pergumulannya dengan kehadiran Allah dan makna
di dalam dunia yang sia-sia dan sekuler. Hal ini secara khusus dapat dilihat dalan
Pengkhotbah 1:12-2-26, yang atas dasar keseja- jaran dengan tulisan-tulisan
hikmat dari Mesir disebut sebagai "pengakuan yang berkenaan dengan kerajaan
karena tulisan tersebut memperlihatkan kekosongan yang dirasakan dalam hidup
yang sering dialami orang berku- asa. Pada peristiwa tersebut Ayub mencurahkan
isi hatinya di hadapan teman- temannya dan Allah (Ayb. 29-31: 39:37-38; 42:1-
6). Terakhir, Amsal 4:3-9 (dart masa kecilnya Salomo telah diajar untuk mencari
hikmat) dan Amsal 24:30-34 (suatu pendapat pribadi mengenai bahaya dari
kemalasan) ditempatkan se- bagai bentuk pengakuan. Dalam tiap bagian di atas,
pengalaman pribadi pa- triakh dipakai untuk menyelesaikan kebenaran dari
argumennya.

9. Onomastika, Daftar daftar hikmat, atau onomastika, telah dikenal se- jak karya
dari Gerhard von Rad (1976:267-77). la memperlihatkan bahwa rangkaian
pertanyaan yang diajukan oleh Allah dalam Ayub 38 itu sejajar dengan karya
hikmat Mesir. Onomastika Amenemope. Di dalam kedua kasus Ini perbuatan-
perbuatan kosmik kreatif dari para dewa dirinci. Von Rad se- cara tepat telah
menolak untuk mengusulkan adanya hubungan langsung di antara keduanya
melainkan mengemukakan bahwa genre itu memang lazim bagi dua budaya itu. la
menemukan kesejajaran dalam Mazmur 148 demi- kian pula Sirakh 43. Crenshaw
menambahkan Ayub 28: 38:27-37: 39:2-3; Mazmur 104 dan apokrifa yang sejajar
lainnya (1974:258-59). Ini semua me- nyebar dari penciptaan kepada bidang-
bidang lain seperti psikologi dan bah- kan perdagangan (Str. 28:24-29:11) atau
kepada suatu kurikulum yang standar milik orang bijak (Keb. 7:17-20).

10. Ucapan-ucapan berkat. Bentuk ucapan-ucapan berkat ini sering di- jumpai dan
menambahkan suatu nada yang khas theologis. Salah satu bagi- an yang terkenal
adalah Mazmur 1:1. "Berbahagialah orang yang tidak ber- jalan menurut nasihat
orang fasik." dan yang eksplisit secara religius adalah Mazmur 112:1,
"Berbahagialah orang yang takut akan TUHAN dan Amsal 28:14. "Berbahagialah
orang yang senantiasa takut akan TUHAN" (lihat juga Pkh. 10:17; Ams. 3:13;
8:32-34; 14:21; 16:20; 20:7; 28:14; 19:18). Bagian-ba- gian lain ini lebih umum,
mendekati bentuk pernyataan-pernyataan motivasi. janji-janji mengenai
kehidupan yang bahagia dan makmur dan janji-janji yang akan datang dari berkat-
berkat Allah.

Sudah lazim menyebut banyak bagian dari Perjanjian Baru sebagai tulisan
"hikmat," menganggap Yesus seorang guru Hikmat" dan menyebut seluruh kitab
(seperti Ibrant atau Yakobus) sebagai "sastra hikmat. Meskipun sedikit berlebihan
jika mengklaim bahwa Yesus mengajar terutama di dalam tradisi hikmat, namun
itu juga tidak sepenuhnya salah. Definisi mengenai hikmat sebagai petunjuk
petunjuk etika atau ucapan-ucapan yang memperlihatkan sentralitas Allah dalam
masalah-masalah keseharian dari kehidupan cocok dengan banyak ajaran dari
Perjanjian Baru. Aspek-aspek dari Khotbah di Bukit (seperti antitesis [Mat. 5:21-
48]) dan penegasan pada perilaku yang suci sejajar dengan tulisan-tulisan hikmat
Yahudi. Imbauan-imbauan praktis seperti Roma 12, Yakobus 1-3. perikop-
perikop yang berbentuk nasihat dalam Surat Ibrani (Ibr. 3:12-19: 4:11-13:6:1-12),
aturan-aturan sosial (Ef. 5:22-6:9, 1Ptr. 2:11-3:7), daftar daftar perbuatan yang
baik atau buruk (Gal. 5:19-23; Kol. 3:5-17) semuanya menerima pengaruh dari
tulisan-tulisan hikmat. Se bagai tambahan, 1 Korintus 1-3 berpusat pada masalah
tentang keduniawi- an lawan hikmat ilahi (dengan salib sebagai pusat dari hikmat
ilahi), dan 1 Korintus 13 semacam bentuk himne hikmat untuk mengasihi.
Berkenaan dengan puisi, tulisan-tulisan hikmat Perjanjian Baru itu mirip dengan
tulis- an-tulisan hikmat Perjanjian Lama dan harus ditafsirkan dengan kriteria
hermeneutika yang sama.

PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA
Sastra hikmat boleh jadi sulit ditafsir dan diterapkan. Suatu kekeliruan her-
meneutis hari ini adalah kecenderungan untuk mengeluarkan pernyataan-
pernyataan Alkitab dari konteks. Pernyataan-pernyataan umum menjadi pe-
rintah-perintah mutlak tatkala seorang penafsir gagal untuk memperhatikan
adanya tambahan penjelasan yang kuat ketika mereka memperhatikan kese-
luruhan Kitab Suci mengenai suatu isu khusus. Misalnya, hari ini banyak orang
memakai Armsal 1:8 ("Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu/dan jangan
menyia-nyiakan ajaran ibumu"; bdk. Ams. 6:20) sebagai memerintah- kan anak-
anak untuk menaati orangtua mereka dalam hal apa pun dan meng- andalkan
Tuhan untuk membenarkan ajaran-ajaran atau perintah-perintah yang keliru pada
pihak orangtua. Ada yang mengatakan bahwa jika orangtua menyuruh seorang
anak untuk keluar dari gereja atau dari kegiatan-kegiatan Kristen, anak tersebut
harus taat. Namun ini sama dengan memperluas sua- tu perikop melampaui makna
yang dimaksudkan dan mengabaikan banyak amsal yang memerintahkan para
orangtua untuk bertanggung jawab (seperti Ams. 4:1-9; 22:6). Lebih-lebih lagi,
penafsiran seperti itu gagal mempertim- bangkan contoh dari para murid (Kis.
4:19; 5:29), yang ketika diperhadapkan dengan perintah dari Sanhedrin untuk
menyudahi tugas Kristen mereka, me- ngatakan, "Kami harus lebih taat kepada
Allah dari pada kepada manusia. Ironis bahwa mereka yang menuntut ketaatan
mutlak kepada orangtua tidak pernah mengajar anak-anak bahwa mereka harus
memperhatikan ajaran orangtua mengenai humanisme dan kebebasan seksual:
namun perumpa maan-perumpamaan ini lebih banyak berkenaan dengan
pengajaran ketim bang dengan perintah! Di dalam terang ini dan masalah-masalah
penafsiran lainnya, marilah kita memperhatikan beberapa tuntunan dasar
hermeneu- tika

1. Perhatikanlah bentuk dari suatu ucapan hikmat.

Apakah bentuknya amsal atau ucapan didaktik yang lebih panjang?


Apakah bentuk alegoris? Jika bentuknya dialog atau ucapan yang dibayangkan,
apakah bentuknya sebagai ucapan yang benar atau yang tidak benar? Tlap
subgenre memiliki aturan sendiri untuk penafsiran, dan memperhatikan tipe
ucapan itu sa ngatlah perlu bagi pemahaman. Misalnya, tatkala Amsal 15:25
mengatakan. "Rumah orang congkak dirombak TUHAN. / tetapi batas tanah
seorang jan- da dijadikan-Nya tetap." pembaca harus memperhatikan metafora di
balik pernyataan itu. Menganggapnya harfiah adalah keliru. "Itu merupakan per-
umpamaan mini, dirancang oleh Roh Kudus untuk menunjuk di balik rumah dan
Janda' kepada prinsip umum bahwa Allah pada akhirnya akan memperbaiki
kerusakan-kerusakan dunia ini, merendahkan yang congkak dan mengupahi
mereka yang dengan benar telah menderita (bdk. Mat 5:3.4) (Fee dan Stuart
2003:236-37). 2. Bertanyalah apakah konteksnya penting. Amsal 1-9. 13 dan 30-
31 masing-masing memiliki gaya wacana yang panjang, dan konteksnya penting.
Bagian lainnya dari kitab ini terutama merupakan rangkaian koleksi atas amsal,
dan konteksnya menjadi kurang relevan. Saya akan menafsirkan Amsal 10-29 atas
dasar kesejajaran tiap amsal (baris-baris itu saling menaf- sirkan) dan memilah
amsal-amsal yang mirip, menafsirkan mereka secara bersama. Meskipun konteks
sering kali penting, kita juga perlu mengumpul- kan berbagai amsal ke dalam
daftar-daftar topikal atau subjek dan, kemudi- an memperhatikan pengaruh
rujukan silang dari ucapan-ucapan yang mirip satu sama lain (Tafsiran Kidner atas
Amsal merupakan suatu contoh yang baik mengenai apa yang saya maksudkan).
Waltke dan Diewert (1999:311- 13) memperhatikan bahwa mereka yang melihat
bahwa konteks itu penting dalam Amsal 10-22, melihat hubungan yang ada
berdasarkan paronomasia dan kata-kata menarik (walaupun ada konteks kecil
mengenai hal ini), pe- nafsiran kembali yang theologis (ucapan-ucapan Yahweh
yang membentuk ucapan-ucapan lain di sekitarnya), repetisi-repetisi (menunjuk
kepada struk- tur komposisi), signifikansi semantik (memilah amsal-amsal
menjadi koleksi A [10-15]. В [16:1-22:16]. C [25-27] dan D [28-29] dan
kemudian mencari ko- herensi semantik di dalam koleksi itu), dan koherensi
bilangan (misalnya, 375 ucapan dalam 10:1-22:16. padanan bilangan dari simh
atau "amsal," bdk. Skehan 1971:43-45). Roland Murphy (1996:19-20) memiliki
kesimpulan yang baik bahwa "tidak ada kesatuan logis atas koleksi-koleksi itu,
walau-

pun ucapan ucapan itu tidak ditempatkan bersama dengan cara sembarang
an dan pada beberapa pokok ada hubungan di antara beberapa ucapan itu Konteks
sangat penting dalam pernyataan yang mungkin paling banyak disalahgunakan
dari Amsal Frasa yang populer mengenai hal ini adalah apa tidak menggunakan
tongkat memanjakan anakerya Paralel yang paling dekat adalah Amsal 13:24.
namun kata memanjakan tidak dijumpai di sana. Hampir semua terjemahan,
termasuk KJV, menerjemahkan kata thapa di sini sebagai membenci Stapa tidak
menggunakan tongkat, benet kepada anaknya. Kedua, konteksnya menambahkan
suatu pernyataan yang men jelaskan, "tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar
dia pada waktunya. Amsal itu tidak memerintahkan dilakukannya pemukulan-
pemukulan berat seperti yang dilakukan oleh beberapa sekte: faktanya, justru
sebaliknya. Am- sai itu mengimbau suatu hukuman yang hati-hati dan lemah
lembut. Ketiga. ini merupakan salah satu bagian dalam Amsal 10-29 di mana
konteksnya penting, ucapan itu ditempatkan di dalam konteks yang benar-benar
positif dalam pasal 13, tempat seorang anak yang bijak mendengarkan didikan
ayahnya (ay. 1). Seluruh penekanan terletak pada jalan orang benar. Oleh karena
itu, hukuman fisik itu hanya merupakan bagian dari pola yang lebih besar dari
didikan yang positif, tatkala seseorang bertujuan untuk membe sarkan anak "di
dalam ajaran dan nasihat TUHAN (Ef. 6:4).

Konteks juga sama pentingnya tatkala menafsirkan Kitab Ayub dan


goheleth. Sebelum ini kita telah membahas Ayub, jadi di sini saya akan ber- alih
ke Pengkhotbah. Seluruh kitab sampai menjelang kesimpulannya meru- pakan
suatu penuturan panjang, adakalanya hampir membingungkan, me- ngenai kesia-
siaan dan ketidakbergunaan hidup (bdk. "hampa" dalam Pkh. 1:2: 12:8. yang
paling sering diterjemahkan sebagai "sia-sia" atau "tidak berguna"). Pada jeda-
jeda penting dari pembahasan dipenuhi dengan pernyataan- pernyataan yang
positif, namun secara menyeluruh hantu kematian membuat sang pengkhotbah
hampir mengutuk kegunaan dari kehidupan yang saleh (bdk. Pkh. 2:15; 3:19;
5:16: 8:14). Sebagian orang melihat adanya suatu pandangan yang positif, dan
penulis kitab itu hampir tidak menyang- kal kehadiran dan kuasa Allah atau
tempat dari kebahagiaan dalam hidup.6 Akan tetapi. Qoheleth menulis sebagai
seorang yang terutama berpegang pada pandangan yang sekuler atas kehidupan.
Nasihatnya untuk menikmati hidup sepenuh-penuhnya (Pkh. 5:11-15; 8:15; 11:8-
10; 12:1-8) merupakan contoh dari pendekatan yang dipakainya, dan ia
menambahkan bahwa ke- matian menghapus nilai akhir dari itu semua (bdk. Pkh.
2:16: 9:5-10; 11:8). Memang, sekilas itu seperti pandangan yang skizofrenis atas
kehidupan. ketika dalam satu bagian penulis menegaskan pentingnya hormat dan
ber- gantung pada Allah, kemudian pada bagian lain menjelaskan suatu
hedonisme yang pesimis. Namun ini tidak perlu terjadi. Kuncinya adalah
epilognya (Pkh. 12:9-14), ditulis dalam bentuk orang ketiga sebagai suatu
"penafsiran theologis" terhadap bagian lainnya dort kitab ini (Sheppard 1077 182
001, Kitab itu bersahar dengan Takutlah akan Allah, dan berpeganglah pada
perintals perintah-Nya karena mi adalah kewajiban setiap orang (Pkh. 12:13) Ayat
13 memperli hatkan bahwa seluruh kitab itu ditulis untuk tujuan yang serupa
dengan Roma 7-8. yattu, untuk memperlihatkan kehampaan dari suatu kehidupan
yang dijalani terpisah dari Allah dan dari kebijakan hidup di dalam takut akan
Allah. Kita harus memahami ayat-ayat yang negatif dari konteka yang lebih besar,
khususnya pernyataan-pernyataan positif dan khususnya epilog penyumpulnya.
Namun secara umum kitab tersebut merupakan lukisan yang negatif dari
kehidupan (Longman 1998) dari seorang yang skeptis yang se- dang menguji
makna hidup (Murphy 1996:51) namun ditulis "sebagai penca- rian dari seorang
peragu yang jujur (Waltke dan Diewert 1999:318). Murphy (1906:53-60)
memiliki enam pokok rangkuman yang sangat baik: (1) Semua kehidupan itu sia-
sia" atau benar-benar hampa karena kehidupan tidak menyediakan kepuasan yang
abadi dan tidak ada keuntungan yang nyata. (2) Meskipun kenikmatan hidup
merupakan tujuan yang bernilat (sebagian orang bahkan menyebut Qoheleth
sebagai seorang pengkhotbah kesenang an") dan merupakan suatu pemberian
Allah, pada waktu yang sama fakta dart kematian dan "cara-cara yang mistertus
dari yang Mahakuasa (yaitu. perubahan nasib) sangat melemahkan nilai dan
tujuan tersebut. (3) Meski- pun kitab ini merupakan kritik atas hikmat yang
tradisional (Pkh. 2:13-15: 7:23-24: 9:16-17), kitab ini masih tetap merupakan
kitab hikmat yang me- nyelidiki "yang baik" (Pkh. 2:3: 6:10) dan "keuntungan"
(Pkh. 1:3: 2:11) (4) "Takut akan Allah" (Pkh. 7:18; 8:12; 12:13) dalam kitab ini
merupakan takut terhadap ketidakpastian hidup dan jalan misterius yang dilalui
seseorang. menyebabkan orang bersandar pada Allah yang misterius. (5) Orang
benar dan orang fasik hidupnya terbalik, di mana orang benar sering celaku dan
orang fasik selamat (Pkh. 7:15; 8:11-14) namun penghakiman Allah tetap akan
terjadi (Pkh. 3:17; 11:9), walaupun bukan dengan cara yang mudah di- pahami.
(6) Allah adalah pencipta dan pemberi hidup namun di luar jang- kauan
pemahaman, dan la harus diterima sebagaimana Dia ada-Nya sendiri. Khotbah-
khotbah mengenai Pengkhotbah boleh menggunakan kritik terkini atas masyarakat
(seperti Henry Fairlie. The Seven Deadly Sins Today, atau Christopher Lasch.
The Culture of Narcissism) dan menghasilkan suatu rang- kalan pesan yang
sangat relevan.

3. Pastikanlah apakah ada hiperbola. Banyak pernyataan secara sengaja dibesar-


besarkan atau melazimkan kebenaran yang dihadirkan, dan kita ha- rus
mendeteksi situasi-situasi seperti ini. Misalnya, Amsal 3:9-10 mengemu- kakan,
"Mullakanlah TUHAN dengan hartamu... / maka lumbung-lumbung- mu akan
diist penuh sampai melimpah-limpah." Ini dapat dijadikan jaminan bahwa petani
atau penguasa Kristen akan diberkati dengan melimpah dalam arti barang-barang
berharga dari dunia ini. Namun ayat selanjutnya meme- rintahkan "Jangan
seorang pun menolak didikan Tuhan," dan Amsal 23:4-5 mengatakan, "Jangan
bersusah payah untuk menjadi kaya: .../ Sekilas engkau mengamat-amatinya.
lenvaplah ia." Perikop sebelumnya dengan gam blang mengatakan bahwa Allah
akan membayarkan kembali semua yang se seorang korbankan bagil-Nya. Fee dan
Stuart menunjukkan bahwa amsal se perti ini bukan "jaminan legal dari Allah."
juga bukan dimaksudkan untuk dituruti secara mutlak (2003:235), Melainkan,
amsal-amsal seperti ini meru pakan aturan-aturan umum yang berpusat pada suatu
perintah dengan janji yang diberikan dalam bahasa hiperbola.

Ucapan-ucapan hikmat ditulis untuk diingat, jadi mereka lebih merupa kan
pernyataan-pernyataan yang ringkas dan penuh makna yang lebih me nyukai
keahlian retorika ketimbang ketepatan. “Amsal mencoba menyampai kan
pengetahuan yang dapat dilakukan ketimbang filsafat yang mengesankan seorang
kritikus" (Fee dan Stuart 1982:201). Pembaca harus melihat ke balik struktur lahir
kepada kebenaran batin yang dikandung struktur tersebut. Misalnya, Amsal
22:26-27 kelihatannya menolak hak untuk menarik keun tungan dari rumah
seseorang: Jangan anda termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang
menjadi penanggung hutang: Mengapa orang akan mengambil tempat tidurmu
dari bawahmu , bila kamu tidak mempunyai apa-apa untuk membayar kembali.
Akan tetapi, penggunaan yang umum atas hutang dan penukaran dalam kehidupan
Israel memperlihatkan bahwa amsal ini jangan dimengerti secara harfiah.
Melainkan, amsal itu mengingatkan untuk waspada dalam menang gung utang,
karena kita bisa kehilangan semuanya di dalam proses itu.

4. Perikop-perikop yang sulit harus diterapkan secara lintas budaya ke pada situasi
yang analogis hari ini. Banyak dari ucapan hikmat itu bergantung pada kebiasaan
kuno dan tidak dapat dipahami dari sudut pandang modern. Prinsip-prinsip
universal yang dikandung dalam ucapan-ucapan seperti ini harus disarikan dan
diterapkan kembali pada situasi-situasi masa kini. Hal tersebut memang berlaku
untuk semua tulisan-tulisan hikmat, dan tentunya atas seluruh Kitab Suci (lihat
bab 17). Namun, karena “hikmat" nenek mo yang ini, yang naturnya memang
praktis, secara khusus terikat pada budaya yang telah lama mati, kita harus
berhati-hati dalam menangani dan mene rapkan bahan ini. Misalnya, Amsal 11:1
("Neraca serong adalah kekejian bagi TUHAN,/ tetapi la berkenan akan batu
timbangan yang tepat”) bergantung pada penggu naan timbangan itu untuk
menentukan nilai dari barang-barang dan untuk hari ini suatu imbauan untuk
melakukan praktik-praktik bisnis yang jujur. Demikian pula, ketika Amsal 25:24
mengatakan bahwa adalah "lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah / dari pada
diam serumah dengan perempuan [istri] yang suka bertengkar," amsal tersebut
sedang menggambarkan atap ru mah yang datar pada zaman Alkitab, tempat
keluarga sering beramah tamah. Kita akan mengatakan "lebih baik diam di loteng
rumah.” Ketika Amsal 26:8 mengatakan "Seperti orang menaruh batu di umban, /
demikianlah orang yang memberi hormat kepada orang bebal," ini merujuk
kepada penggunaan umpan sebagai senjata Ini berarti bahwa kehormatan yang
demikian akan dibuang seperti batu. Kita dapat trenerjemahkannya seperti,
"membert hormat kepada orang bebal adalah seperti menempatkan sebutir peluru
ke dalam senjata; itu akan segera melesat dan menghilang Hal yang penting
adalah memilih situasi-situasi yang analogis agar kebenaran batinnya dapat mun-
cul.

EKSKURSUS: SEJARAH DARI AJARAN HIKMAT

Tidak ada yang tahu asal usul yang tepat dari hikmat sebagai suatu
gerakan. Catatan-catatan Makedonia, Sumeria dan Akkadia berisi banyak karya
seperti amsal atau ajaran etika yang dimaksudkan untuk memampukan individu
menangani kehidupan dengan berhasil. Bentuk-bentuk ini kemudian dikem-
bangkan lebih jauh oleh orang Asyur dan Babel, dan sejumlah besar literatur
bermunculan (lihat Waltke dan Diewert 1999.302-4 untuk survei literatur atas
topik ini).

Seperti yang Murphy tunjukkan, sastra hikmat orang Makedonia lebih


banyak ragamnya ketimbang sejawatnya dari orang Ibrani, memanfaatkan banyak
ainsal, cerita rakyat, esai, teka-teki, dialog, ajaran, fabel, perumpa- maan dan
masih banyak bentuk lainnya (1981:9). Orang-orang Sumeria dan Babel memiliki
kelompok ahli tulis yang profesional atau orang bijak yang mengumpulkan dan
menulis ucapan-ucapan itu. Ada kemiripan yang tam- pak di antara karya-karya
seperti "Counsel of Wisdom dan Amsal. "Babylo nian Theodicy" dan Ayub. Akan
tetapi, tingkat pengaruh dari sastra tersebut dipertanyakan. Kelompok orang bijak
atau para guru hikmat memiliki pa- ralel yang lebih pasti. Dalam Yeremia 18:18
(bdk. 1Sam. 14:27) mereka disebut bersamaan dengan para imam dan nabi
sebagai tokoh-tokoh pemimpin dari masyarakat Israel, kelihatannya berfungsi
sebagai penasihat kerajaan dan pejabat. Pada waktu yang kemudian, mereka
menambah peran sebagai ahli tulis. Di sepanjang dunia kuno para guru seperti ini
memberi pengaruh moral pada masyarakat. Akan tetapi, Israel memiliki keunikan
di dalam sentralitas dimensi religius. Meskipun tulisan-tulisan nikmat orang
Makcdonia terkait erat dengan dewa-dewa, namun para guru itu sendiri
merupakan tokoh se- kuler, dan perhatian mereka bersifat sangat praktis. Hanya di
Israel saja sa- saran utamanya lebih kepada memuliakan Allah (Ams. 3:7) bukan
hidup ber- hasil dalam masyarakat.

Mesir memiliki tradisi sastra hikmat yang sudah lama dan sangat me-
limpah. Konsep kuncinya adalah maat, "tatanan" atau "kebenaran." prasya- rat
untuk hidup selaras dengan "tatanan" ilahi atas semua hal. Satu aspek yang layak
diperhatikan adalah tidak adanya penekanan pada pengalaman pribadi dan
penegasan ketundukan total pada cara dari para dewa. Orang Mesir
mengembangkan suatu istilah teknis untuk orang bijak yang mengikuti jalur yang
tepat orang yang hening, orang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri dan
menghindari hal-hal yang tidak perlu dengan bersandar penuh kepada maat.
Berbeda dengan orang vang hening. "orang yang bernafsu men ceburkan dirinya
pada kehidunan dan tidak memiliki “tatanan." Pada mula nya para ahli berpikir
bahwa sastra hikmat Mesir benar-benar sekuler dan memiliki sedikit isi religius.
karena perintah-perintah di dalamnya sepenuhnya utilitarian dan kelihatannya
dirancang untuk mengajar orang-orang muda bagaimana caranya berhasil di
dunia. Akan tetapi, studi terkini menunjukkan dengan pasti keyakinan religius
vang mendasarinya (lihat Würthwein 1976:116 20). Bagaimanapun, maat atau
tatanan ini bukan diberikan oleh pewahyuan ilahi namun diturunkan melalui
tradisi dari para guru yang telah memba hasnya secara pragmatis. Keberhasilan
dalam kehidupan ini dan upah di da lam hidup yang akan datang menanti orang
yang tunduk.

Sejauh mana pengaruh sastra hikmat Mesir dan Mesopotamia atas Is rael
masih diperdebatkan. Melalui interaksi yang berlanjut antara orang orang kuno
(militer, politik dan perdagangan) pengaruh-pengaruh tertentu bisa diperoleh. Hal
ini secara khusus bisa dilihat pada masa Salomo; Salomo menikahi para putri raja
dari Mesir, Mesopotamia, dan banyak daerah lainnya, dan pengadilannya dipenuhi
oleh pengaruh-pengaruh asing. Akan tetapi, keli ru kalau kita mengatakan bahwa
Israel tidak memiliki tradisinya sendiri dan sepenuhnya hanya sekadar meminjam
dari negara-negara tetangganya. Riset yang terkini menyediakan bukti bahwa
tulisan hikmat Israel sudah ada sebe lum Salomo dan Salomo menjadi guru
hikmat paling luar biasa dari sederetan panjang guru-guru hikmat yang ada
(1Sam. 24:14 memperlihatkan literatur "hikmat" sudah ada paling sedikit sejak
awal dari kerajaan itu).

Lebih dari itu, meskipun banyak kesejajaran, perbedaan di antara pene


kanan Israel dan para tetangganya sangat kentara. Misalnya, Israel tidak memiliki
penggunaan teknis tentang “orang yang bening," dan menekankan pengalaman
pribadi dan juga ketundukan pada Yahweh (faktanya dua hal itu bekerja sama
membuat seseorang menjadi “bijak”). Tampaknya kategori kategori sastra hikmat
di dunia kuno dikembangkan agak terpisah, dengan persilangan tema-tema
tertentu tetapi tidak meminjam suatu tradisi secara menyeluruh. Namun
adakalanya ada pengaruh yang kuat dari tradisi-tradisi hikmat lainnya, seperti
tema-tema dari Mesir di balik Amsal 22:17-24:22, de mikian pula kesejajaran-
kesejajaran dalam hal metafora seperti Allah me nimbang hati, keadilan, dan
hukum sebagai tumpuan takhta dan karangan bunga bagi kepala (Crenshaw
1975:7). Ada juga beberapa bukti bahwa orang orang Ibrani menganggap diri
mereka sebagai bagian dari gerakan sastra hik mat internasional, seperti dalam
pengakuan mereka atas orang bijak di Mesir dan bangsa-bangsa lain (Kej. 41:8;
2Raj. 4:30; Yes. 19:11-15). Banyak orang percaya bahwa teka-teki yang
digunakan Ratu Syeba untuk menguji Salomo (1Raj. 10) terkait dengan
reputasinya sebagai guru hikmat. Dalam Yeremia 18:18, orang bijak ditempatkan
bersama imam dan nabi sebagai pemimpin di Israel (lihat Sheppard 1988:1076-
77). Satu sumber bukti yang memungkinkan bagi asal-usul hikmat sebelum masa
kerajaan berasal dari kehadiran sastra hikmat keluarga atau kaum di Timur Dekat
kuno Walaupun asal-usul yang semacam ini hanya dapat di terka ketimbang
dibuktikan, proses pendidikan di Israel kuno pertama-tama bergantung pada ayah
dan kemudian pada suku atau kaum dalam mengem bangkan anak itu menuju
seorang dewasa yang bertanggung jawab. Proses Ini berpusat terutama pada
Taurat namun juga mencakup nasihat praktis untuk kehidupan. Struktur otoritas
dari keluarga dan kaum itu jelas di da- lam periode Musa dan para patriakh dan
memberikan suatu sumber yang penting bagi perkembangan sastra hikmat yang
pragmatis. Meskipun ada banyak ahli yang menganggap pandangan tersebut agak
terlalu jauh dan hampir menyamakan masa munculnya sastra hikmat dengan
Taurat pada tahap yang paling awal (lihat Morgan 1981:39-41), beberapa faktor
memang menunjuk kepada keluarga dan kaum sebagai tempat dari tradisi hikmat.
Namun itu tidak berarti gerakan tersebut sudah merupakan gerakan yang sudah
mapan pada tahap-tahap yang paling awal. Akan tetapi, penggunaan dari metafora
"ayah-anak dalam amsal-amsal Mesir demikian pula dalam amsal-amsal Yahudi
dan sentralitas dari keluarga di dalam dunia sastra hikmat Timur Dekat kuno
mendukung tests ini.

Hal yang lebih sulit dipastikan adalah keyakinan bahwa sekolah orang
Israel menyediakan suatu tempat yang lebih awal bagi pengajaran hikmat. Ada
beberapa masaiah dengan pandangan ini, seperti pertanyaan tentang apakah
sekolah-sekolah itu sudah ada pada masa awal di Israel. Argumen yang paling
kuat berasal dari kesejajaran sejarah, yaitu, pengaruh dari sistem- sistem
pendidikan Mesir dan Mesopotamia. Bagaimanapun, hanya sedikit yang bersedia
memasukan ini ke dalam periode sebelum masa kerajaan. Masalah Ini sejajar
dengan pembahasan sebelumnya mengenai sastra hikmat dalam keluarga atau
kaum: semua solusi hanya dapat diduga; tidak ada bukti yang langsung. Rasanya
logis juga bahwa diwariskannya tradisi hikmat yang otori- tatif dapat berpusat di
sekolah (jika sekolah memang sudah ada) sama seperti dalam keluarga, dan sudah
tentu "kualitas sastra yang tinggi dari ucapan- ucapan ini dapat menunjuk kepada
"asal-usul, atau paling tidak pembuda- yaan, di tengah-tengah suatu kelompok ahli
tulis yang memiliki suatu keah- lian dengan kata-kata atau ide-ide" (Murphy
1981:8). Akan tetapi, kita tidak dapat menelusuri lebih jauh selain mencatat
kemungkinan sumber yang awal seperti ini sebagai suatu sistem sekolah, dengan
sesi-sesi pengajarannya bisa berlangsung di Bait Allah dan kehidupan pengadilan
sejak era Salomo (lihat Crenshaw 1974:228-29). Ini semua tidak lebih dari
sekadar kemungkinan. Saya sependapat dengan Gerald Sheppard bahwa data yang
kita ketahui le- bih cenderung pada adanya sejenis tempat belajar publik, namun
kemung- kinan sistem sekolah secara formal belum ada. Pendidikan terjadi
terutama melalui keluarga dan secara sporadis melalui orang-orang bijak yang
ditun- juk yang mengajar rakyat (2Taw. 17:7-9; Pkh. 12:9). "Rumah Pendidikan
(sekolah) paling awal yang dicatat adalah Bin Sirakh dalam abad kedua SM (Sir.
51:23). Sebelum itu sinagoge mungkin merupakan pusat pendidikan orang Ibrani.

Suatu topik yang penting adalah kemungkinan pengaruh sastra hikmat


sulitan utama adalah kriteria untuk menaksir ucapan-ucapan seperti ini. pada
sastra bukan hikmat awal I seperti buku-buku yang bersifat sejarah. Ke. kerja
dalam keadaan tidak adanya keterangan sejarah dan kendali yang me- Seperti
yang Sheppard tuliskan. "Pengaruh sastra hikmat sekarang ini be madai"
(1980:12). Ini sangat terlihat jika merujuk kepada hubungan antara bentuk dan
fungsi. Suatu ucapan dapat memiliki bentuk amsal tetapi belum tentu berfungsi
sebagai ucapan hikmat. Contoh yang terkenal adalah Keluar- buta mata orang-
orang gyang melihat dan memutarbalikkan perkara orang an 23:8 (bdk. Ams.
16:19), "Suap jangan kau terima sebab suap membuat orang yang benar." Ayat ini
memiliki bentuk amsal, namun kita akan berspe- kulasi jika menganggap ayat ini
sebagai suatu ucapan hikmat, karena latarnya adalah hukum ketimbang hikmat
populer.

Banyak amsal telah ditemukan dalam kitab-kitab sejarah (seperti Ket 10:9;
Hak. 8:21: 15:16; 1Sam. 16:7; 24:13), namun ini semua tidak bisa secara otomatis
ditetapkan sebagai sastra hikmat awal. Hari ini banyak yang berpen. dapat bahwa
amsal merupakan bentuk dasar dari sastra hikmat, namun amsal merupakan
subgenre tersendiri dan dapat digunakan dalam banyak tradisi yang berbeda.
Crenshaw mencoba memperjelas keadaannya dengan mengembangkan suatu
metodologi (1969:129-42). Ia mulai dengan memilah tipe-tipe pemikiran hikmat
yang berbeda: hikmat keluarga, hikmat hukum (kemungkinan dasar bagi Kel.
23:8), hikmat pengadilan, hikmat penulisan serta hikmat didaktik. Akan tetapi, di
sepanjang tulisannya ia lebih kepada mengkritik metode orang lain ketimbang
mengembangkan serangkaian krite ria positif yang jelas. Dua masalah mendasar
dari metode-metode terkini adalah penalaran sirkuler (memasukkan kembali
fungsi hikmat ke dalam bentuk-bentuk hikmat yang memungkinkan) dan
kegagalan untuk memper timbangkan kemungkinan dari suatu “sumber linguistik
yang umum" (seperti amsal) yang melintasi batas-batas genre (lihat Crenshaw
1975:9-10). Dua masalah ini memiliki kepentingan hermeneutis yang lebih
penting dari sastra hikmat, tatkala kedua kekeliruan ini sering muncul dalam
semua keputusan genre. Beberapa ciri bisa menunjuk kepada suatu ucapan
hikmat. Satu tipe dasar adalah amsal. Sifat-sifat stilistika lainnya adalah
personifikasi ("Hikmat" sebagai makhluk yang hidup), antitesis (kontras yang
kuat antara dua kubu atau kekuatan, seperti bijak-bodoh), metafora-metafora
duniawi (seperti orang bodoh dilukiskan sebagai seorang pelacur yang menggoda
dalam Amsal 9:13 18) dan di atas semua itu sifat pragmatis dari pengajaran. Hal
yang terakhir ini berubah menjadi fungsi, tentu saja dua aspek ini (bentuk dan
fungsi) ha rus bersatu dalam mengenali suatu ucapan tertentu sebagai ucapan yang
pada intinya adalah ucapan hikmat. Pada umumnya ucapan-ucapan yang bersifat
amsal dapat mewakili sastra hikmat yang baru muncul, meskipun banyak ucapan
seperti itu (misalnya, Itulah alasannya menjadi peribahasa: Apa Saul juga
termasuk golongan nabi? (1Sam 10:12) atau, sebab itu dikatakan orang Seperti
Nimrod. seorang pemburu yang gagah perkasa di hadapan TUHAN (Kej. 10:9)
meru pakan ucapan ucapan setempat ketimbang hikmat. Hakim-hakim 8:21 ( perti
orangnya, demikian pula kekuatannya dan 1 Samuel 24:13 Seperti peribahasa
orang tua-tua mengatakan: Dari orang fasik umbul kefasikan keduanya memiliki
bentuk dan fungsi ucapan hikmat dan dapat menjadi bukti bagi suatu tradisi yang
lebih awal. Sebagai kesimpulan, paling baik mengatakan bersama Nel bahwa
sastra hikmat hadir di Israel pada suatu tarikh yang awal namun baru menjadi tra-
dist yang dibakukan bersamaan dengan terbentuknya kerajaan (1982:1-2).
Rasanya hampir tidak bisa lain; dalam periode yang lebih awal. Israel mem-
fokuskan semua energinya pada mempertahankan hidup dan hampir tidak
memiliki waktu untuk mengembangkan gerakan intelektual seperti ini.

Dua area yang menarik untuk tujuan hermeneutika. Pertama, gaya ter kini
dalam mencari tema-tema hikmat dalam hampir setiap kitab di kedua Perjanjian
memanfaatkan kriteria yang diragukan dan memberikan hasil- hasil yang sangat
meragukan. Usaha seperti ini harus ditangani dengan sa- ngat hati-hati dan
diperiksa dengan sangat teliti. Kedua, tema-tema hikmat memang memainkan
peran yang penting dalan dunia kuno, dan kita perlu memberikan perhatian yang
lebih besar kepada rumpun sastra yang sangat kaya ini. Sangat mungkin gerakan
sastra hikmat ini mulai pada awal sejarah Israel, walaupun bersama Daud
(perhatikan mazmur-mazmur hikmat dalam bagian sebelumnya) dan Salomo,
gerakan sastra hikmat itu memasuki masa keemasannya

2.4 NUBUAT

NUBUAT PADA MASA KINI merupakan sesuatu yang sangat populer.


subjek dari sejumlah besar khotbah, buku dan bahkan menjadi subjek dari seluruh
pelayanan (seperti Tim LaHaye dan Jerry B. Jenkins). Sangat disayangkan telah
tersebar kesalahpahaman tentang sifat dan tujuan dari nubuat dalam Alkitab;
tujuan saya di sini bukan hanya untuk mengoreksi pandangan pandangan yang
keliru ini namun meningkatkan nilai dan kuasa dar nubuat dalam Alkitab untuk
masa kini. Nubuat sangat me nonjol bukan hanya dalam bagian terakhir dari
Perjanjian Lama namun juga dalam zaman Perjanjian Baru. Menarik untuk
diperhatikan adalah para nabi yang menulis melayani hanya selama tiga abad (dari
abad kedelapan hingga ketiga SM) namun telah membuahkan beberapa karya
yang paling berkuasa dalam Kitab Suci. Hanya zaman Perjanjian Baru (satu abad
berikutnyal) yang dapat menandinginya dalam intensitas dan produksi yang
dinamis - dan zaman Perjanjian Baru juga dapat dengan tepat disebut zaman
nubuat." Berkeley Mickelsen mengetahui kesulitan dari tugas hermeneutika
berkena- an dengan nubuat, dan mengusulkan suatu pendekatan yang tidak akan
memaksakan makna apa pun ke dalam nubuat yang tidak ada di sana, yang akan
menjernihkan semua yang dikatakan atau dituliskan nabi bagi umat- nya, dan akan
membuat pesan yang disampaikan nabi dapat ditafsir dengan tepat secara relevan
untuk zaman kita sekarang. Itu bukan tugas yang ringan (1963:280). Ada banyak
isu yang perlu dipertimbangkan dalam memenuhi tugas ini, seperti natur dari
jabatan nabi, asal-usul dan bentuk dari pesan para nabi (pesan profetik), tipe-tipe
sastra profetik dan prinsip-prinsip untuk menafsirkan nubuat.

Gordon Fee dan Douglas Stuart menyebutkan tiga alasan mengapa para
nabi muncul khusus pada saat kritis dari sejarah (2003:191): (1) Pergolakan yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam dunia politik, militer, ekonomi dan sosial
menyebabkan krisis yang mengerikan. (2) Terjadi pergolakan reli- gius, ketika
kerajaan yang terpecah itu terus-menerus berpaling dari Yahweh dan kovenan-
Nya untuk menyembah dewa-dewa asing. (3) Pergeseran dalam populasi dan
batas-batas nasional menyebabkan kondisi yang terus tidak te- nang. Maka, berita
ilahi menjadi diperlukan lagi, dan Allah memilih sarana nubuat untuk memaksa
Israel menyadart bahwa Dialah yang sedang berb cara. Secara historis, aktivitas
bernubuat sudah dimulai cukup awal. Abraham disebut seorang nabl dalam
Keladian 20:7, namun ia tidak pernah berbicar atas nama Tuhan. Harun
merupakan nabi bagi Musa dalam pengertian men Jadi juru bicaranya dalam
Keluaran 7:1. dan Miriam disebut seorang "nab dalam Keluaran 15:20 ketika la
menyanyikan refrain dari Nyanyian Musa Dalam Bilangan 11:26-30 Eldad dan
Medad bernubuat ketika "Roh itu hing. gap pada mereka," dan dalam Bilangan
12:6-8 Allah membedakan para nabt yang kepada mereka Allah berbicara melalui
penglinatan dan mimpi, dengan Musa, yang kepadanya Allah berbicara dengan
berhadapan muka. Faktanva kitab-kitab sejarah (Yosua sampai Raja-raja) disebut
"Nabi-nabi Awal dalam kanon Ibrani dan berisi cukup banyak aktivitas profetik -
dari Debora sane nabiah dalam Hakim-hakim 4:4 ke Samuel (1Sam. 8:7, 10) ke
Natan san nabi penasihat Daud (2Sam. 5:9: 7:13) sampai pelayanan yang berkuasa
dar Elia dan Elisa (1Raj. 17-2Raj. 13), para nabi yang berbicara atas nama Allah
sangat penting dalam meresmikan dan mengawasi kerajaan itu (Schmit 1992:5,
482-83). Elemen yang unik tentang nabi (dibandingkan dengan akti. vitas
bernubuat di seluruh tempat di Timur Dekat kuno dan dengan kitab kitab
Perjanjian Lama lainnya) dalam tulisannya adalah penghakiman vang mutlak.
Dimulai dari Amos dan berlanjut ke pembuangan, para nabi menva takan akhir
dari kovenan dan itu berarti akhir dari keberadaan Israel dan Yehuda. Allah akan
menghancurkan bangsa yang lama itu dan membangkit. kan suatu umat yang baru
sebagai ganti mereka (Yeh. 37). Sangatlah mung kin bahwa hal ini sebagian
menjelaskan adanya koleksi dari nubuat-nubu tersebut itu dan kemudian kitab-
kitab profetik (Gowan 1998:6-9).

Ada tiga tokoh pendahulu dari para nabi (bdk. VanGemeren 1990:28 38):
Musa merupakan "sumber dari tradisi para nabi" dengan hubungan khususnya
sebagai juru bicara bagi Allah dan penengah antara Allah dan Is rael (Bil. 12:6-8).
Pengalamannya di Sinai melampaui pengalaman profetik yang normal, dan Musa
menjadi nabi yang eskatologis menurut Ulangan 18:15 22. Bahkan, ada bukti
untuk "kaitan linguistik, struktural, dan tematik antara Musa pada satu sisi dengan
Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel pada sisi lain" (Baker 1999:269). Lalu Samuel
merupakan “model bagi peran para nabi," da lam Kisah Para Rasul 3:24 disebut
nabi yang pertama (dan dalam Kis. 13:20 disebut sebagai Hakim terakhir) dan
“nabi TUHAN" bagi bangsa itu (1Sam. 3:20). Jadi Samuel berdiri pada titik
peralihan perkembangan dari para ha kim menuju kerajaan dan para nabi. Jadi ia
merupakan “pengawal dari theo krasi" dalam pengertian menjaga bangsa itu untuk
tetap setia kepada Allah. Akhirnya, Elia merupakan seorang yang "membentuk
arah dari para nabi klasik." Meskipun Elia tidak pernah merniliki satu pun kitab
nubuat, ia telah membangun suatu pola bagi nubuat malapetaka terhadap umat
yang me nyembah berhala dan merupakan nabi pertama dari "para penuntut ko
venan" terhadap bangsa itu. John Eaton (1997:5) membahas empat hal yang
bersumbangsih pada keagungan para nabi Ibrani: (1) kritik mereka atas
masyarakat. (2) visi mereka tentang periyelamatan (suatu dunia baru dan se arang
penguasa yang menyelamatkan (mestanisi), (3) pengabdian pribadi ke hidupan
yang diberikan sepenuhnya kepada Allahi, dan (4) tulisan mereka (bukan hanya
menyampaikan kutukan melainkan juga makna dan harapani Krtais besar yang
dihadapi bangsa itu menghasilkari para nabi yarig agung untuk memenuhi banyak
kebutuhan itu.

SIFAT DARI PERAN PARA NABI

Sebelum kita dapat menafsirkan bagian-bagian Alkitab tentang nubuat kita


harus memahami bagaimana dan mengapa para nabi berfungsi seperti yang
mereka lakukan. Tiap pesan profetik muncul dari panggilan dan peran dari nabi
itu di dalam masyarakat darı zamannya. Seperti yang diketahui seka rang, nabi
merupakan seorang penelaah/penafsir sebelum ia menjadi se orang peramal," dan
tujuan yang sesungguhnya dari yang terakhir adalah untuk menolong dan
menguatkan yang pertama.

1. Panggilan atas para nabi. Panggilan atas para nabi dapat datang me- lalui suatu
pengalaman pewahyuan yang supernatural, seperti dalam kasus Yesaya (6:1-13)
atau Yeremia (1:2-10); panggilan dapat juga terjadi melalui sarana natural, seperti
ketika Elia melemparkan jubahnya kepada Elisa (1Raj 19:19-21), menunjukkan
pengalihan otoritas dan kuasa, dan dapat mencakup pengurapan (1Raj. 19:16).
Berbeda dari imam atau raja, nabi tidak pernah meraih Jabatan-nya secara tidak
langsung melalui pewarisan namun selalu secara langsung sebagai suatu hasil dari
kehendak ilahi. Signifikansi dari panggilan itu tetap sama: Para nabi tidak lagi
mengendalikan tujuan hidup mereka sendiri melainkan menjadi milik Yahweh
seluruhnya. Mereka tidak berbicara bagi diri mereka sendiri dan bahkan mungkin
tidak mau mengu- capkan pesan yang disampaikan (lihat Yer. 20:7-18), namun
mereka berada di bawah kendali Yahweh, dipanggil untuk menyampaikan berita
ilahi kepada umat itu.

Allah sering kali memakai tindakan simbolis untuk mengindoktrinasi suatu


kebenaran kepada sang nabi. Yesaya diberi arang yang membara pada bibirnya,
yang menunjukkan pemurnian beritanya (Yes. 6:7), dan Yehezkiel disuruh
memakan gulungan kitab yang rasanya manis seperti madu" (Yeh 3:3),
menunjukkan sukacita dari menyampaikan Firman Allah. Bagaimana- pun,
penekanan utamanya adalah campur tangan langsung dari Allah dan sifat
pewahyuan dari berita sang nabi. Dua genre Ferjanjian Lama bergan- tung pada
suatu kesadaran tentang pewahyuan ilahi yang langsung: Taurat (hukum atau
bagian-bagian legal dari Pentateuk) dan Kitab Para Nabi (tulis- an apokaliptik di
dalam genre-genre Perjanjian Lama, merupakan subgenre dari nubuat). Kedua
genre ini merupakan satu-satunya genre dalam Perjanji- an Lama yang memiliki
pengertian otoritas yang langsung. Isu mengenai oto- ritas merupakan hal penting
dalam hermeneutika dan para nabi memberi- kan penafsiran yang sangat penting
untuk pembahasan-pembahasan yang. Seorang nabi "dihinggapi Roh Allah"
(2Taw. 15:1: 20:14: 24:20: Yes 61:1: Yeh. 2:2: Yl. 2:28).

2. Peran yang kompleks dari para nabi Peran liki berbagai segi. Peran yang
terutama adalah sebagai pembawa pesan dari Allah yaang diutus untuk
memanggii umat itu kembali kepada hubungan ko- venan mereka dengan
Yahweh. David Petersen menentang sebutan "jaabatan dan "karisma" untuk peran
seorang nabi (1981:9-15). Kedua konsep itu se- ring kali dikontraskan, seolah-
olah jabatan itu institusional dan karisma anti-institusional. Petersen
mengemukakan bahwa para nabi itu memainkan suatu peran ketimbang
memenuhi suatu jabatan. la pada intinya tepat, karena kita memiliki sedikit bukti
tentang adanya pendirian institusi di tengah-ten para nabi Israel (tidak seperti para
tetangga mereka, seperti orang Filistin). p nabi Yahudi itu bersifat individual
seperti Elia atau Yeremia; mereka dinan gil secara langsung oleh Allah dan tidak
termasuk “institusi mana pun lam satu pengertian, mereka itu "karismatik," karena
mereka dipenuhi Roh Allah- penggeraknya berasal dari Allah ketimbang dari
manusia. ikuti arahan-arahan dari Allah. Ada banyak pandangan yang keliru
mengenai para nabi Israel, sener pandangan Hermann Gunkel mengenai para nabi
sebagai orang-orang yang gembira dengan pengalaman religius yang dalam atau
pelukisan atas merek oleh Max Weber sebagai guru-guru karismatik atau ide
Sigmund Mowincle bahwa mereka merupakan orang-orang suci dari kelompok
religius yang di- minta oleh para imam dan berfungsi terutama di tempat-tempat
religius Pandangan yang lebih mendekati adalah studi dari Peterson atas
terminologi bahwa mereka adalah "para pelihat" yang disatukan ke dalam
masyarakat Is rael sama seperti "manusia-manusia suci dari Allah" yang
berpindah-pindah tempat dan “para nabi" yang merupakan "juru bicara kovenan"
(VanGemeren 1990:43-44).

Beberapa ahli mengusulkan adanya perkumpulan-perkumpulan para nabi


didasarkan pada adanya makan bersama dari para nabi dalam 2 Raja-raia 4:38-41
dan rujukan-rujukan kepada kelompok-kelompok nabi (“rombongan Nabi,"
dijumpai tujuh kali antara 1Raj. 20 dan 2Raj. 9).2 Para ahli lainnya bahkan
memiliki teori tentang adanya suatu “sekolah" nabi, kira-kira dida sarkan pada
penerjemahan yang keliru atas “akademi” di Yerusalem dalam King James
Version (2Raj. 22:14; 2Taw. 34:22). Bagaimanapun, terlalu sedi kit bukti bagi
adanya satu perkumpulan atau sekolah. Memang, para nabi dapat menggabungkan
diri dengan kelompok-kelompok seperti itu dalam peristiwa khusus (seperti
Samuel dalam 1Sam. 10; 19; atau Elisa dalam 2Raj. 4-6), namun ini hanyalah
sementara ketimbang permanen. Kelompok kelompok nabi tidak memainkan
peranan yang utama dalam teks Alkitab: mereka mungkin adalah orang-orang
saleh yang ingin melayani Yahweh dan menolong para nabi. Mereka merupakan
penolong ketimbang anggota dari suatu perkumpulan. Kita tidak memiliki bukti
bahwa para nabi sebenarnya merupakan anggota atau berasal dari kelompok
kelompok seperti itu. Termi nologi untuk nabi itu beragam, mulai dari "pelihat"
(ro'chi sampai "nabi (nab) atau házchi atau "manusia Allah" (is eldhimų
Terminologi terminologi terse but tidak digunakan untuk membedakan aspek-
aspek yang terpisah dari pe ran nabi melainkan hanya tsulah-istilah yang
digunakan pada periode-petode yang berbeda atau di tempat-tempat yang berbeda.
Semuanya menunjuk ke- pada fungsi sentral dari nabi sebagai juru bicara Allah.
Banyak orang mem- bedakan para nabı yang lisan dan yang menulis, namun nabi
yang menulis tentu memiliki pelayanan lisan, dan pemberitaan Amos tentang
ketidakadil- an kolektif di Israel tidaklah berbeda secara radikal dari pengutukan
Elia atas istana Ahab.
Seperti yang Ronald Clement katakan, "Kita dapat memahami kemiripan yang dapat dikenal
1. Menerima dan mengomunikasikan pewahyuan dari Allah merupakan tujuan
utama dari para nabi. Di sini kita dapat membedakan nabi-nabi yang lisan dan
yang menulis. Wayne Grudem (1982:9-10) yakin bahwa pesan pro- fetik memiliki
dua aspek otoritas: otoritas dari kata-kata aktual (di mana nabi itu mengklaim ia
menyatakan kata-kata yang aktual dari Allah) dan otoritas dari isi wacana umum
(di mana nabi itu mengklaim bahwa ide-idenya berasal dari Allah namun bukan
kata-kata aktual dari Allah). Kedua pelayanan pro- fetik ini bersifat pewahyuan,
dan Yahweh terlibat secara setara di dalam keduanya. Pada waktu yang sama,
para nabi yang menulis memiliki suatu fungsi kanonis yang tidak terdapat dalam
para nabi yang tidak menulis Kita belas dituntun untuk mengumpulkan dan
mempublikasikan pemberitaan me harus ingat bahwa dari sekian banyak nabi
yang dipilih oleh Allah. enam reka dalam bentuk tertulis. Para nabi yang lisan
lebih dikenal dari perbuatan mereka ketimbang berita aktual mereka. Tentu saja,
beberapa nabi yang me- nulis (seperti Daniel dan Yunus) juga dikenal atas
perbuatan dan juga kata- kata mereka. Akan tetapi. banyak dari nabi-nabi yang
menulis (seperti Obaja) mengurutkan khotbah mereka ketimbang menempatkan
berita mereka ke dalam suatu latar selarah. Terhadap kitab-kitab ini, para pembaca
modern mengalami kesulitan dalam memahami pesannya tanpa situasi sejarah
yang ada di belakangnya. Kita akan kembali pada hal ini kemudian.

Pada umumnya orang-orang pada hari ini menjadikan para nabi sebaga
para pelaku revolusi atau paling tidak sebagai para pembaru sosial di per kotaan.
Akan tetapi, itu tidak benar. Meskipun mereka mengutuk dosa-dosa sostal dari
orang-orang di masa, namun itu bukan tujuan akhir mereka me lainkan lebih
sebagai contoh-contoh tertentu dari pesan utama mereka, yaitu pemberontakan
religius dari bangsa itu. Mereka bukanlah para pekerja sosial namun terutama
adalah para pengkhotbah, para duta Allah yang mewakilj Nya di hadapan bangsa
itu yang telah berpaling dari jalan-jalan-Nya. Mercka bukan menyampaikan pesan
mereka sendiri melainkan pesan Yahweh, dan formula pendahuluan mereka
("Maka berfirmanlah TUHAN," "Tuhan berfir man kepadaku") memperlihatkan
kesadaran mereka bahwa mereka seutuh nya adalah sarana bagi pesan ilahi itu.

2. Reformasi ketimbang inovasi menjelaskan tujuan dasar dari para nabi (lihat
Wood 1979:73-74). Sudah lazim di masa lalu (Wellhausen, Scott, Whitley untuk
memandang para nabi sebagi orang-orang yang memainkan peran for matif di
dalam perkembangan agama Israel, bahkan menjadikan mereka seba gai para
perumus etika monotheisme. Akan tetapi, para ahli terkini menyadari kurangnya
bukti untuk pandangan seperti ini. Para nabi tidak mengembang kan pesan yang
baru melain.kan menerapkan kebenaran-kebenaran masa lalu kepada situasi yang
sedang berlangsung pada bangsa itu. Pelayanan mereka lebih berupa konfrontasi
ketimbang menciptakan. Mereka bukanlah para the olog yang inovatif melainkan
orang-orang yang membawa kebangunan rohani. yang berusaha membawa umat
itu kembali kepada Yahweh dan kebenaran tradisional dari iman Yahudi.
Misalnya, para nabi tidak membentuk doktrin tentang pengharapan mesianis; yang
telah ada sejak zaman Musa (UL. 18:18). Mereka mengembangkannya,
menambahkan detail-detail lanjutannya, namun sama sekali tidak membuat suatu
doktrin tentang mesias ex nihilo. 3. Pemeliharaan atas tradisi dengan demikian
merupakan suatu tindak an sejalan yang penting di dalam pelayanan para nabi.
Kita dapat melihat ini tidak hanya di dalam seruan profetik agar Israel kembali
pada penyembahan nenek moyangnya kepada Yahweh namun juga dalam
ketergantungan har fiah dari para nabi yang kemudian pada penyataan-pernyataan
yang telah diterima dart Taurat dan dari para nabi yang sebelumnya, seperti
Yehezkiel menggunakan Yeremia, Yeremia menggunakan Yesaya. Hosra atau
Yesaya mergunakan Amos (lihat pembahasan dalam Fishbane 1985:292-3171. Sa
lah satu tugas mereka adalah meneruskan tradist yang telah diterima (bdk. 1 Kor
15:3; 21m. 2:2).

Hubungan para nabi ini dengan kepercayaan pemujaan dart Israei telah
diperdebatkan secara luas (lihat rangkuman yang sangat baik dalam Smith
1986b:992-93) Di masa lalu, para ahli yang kritis (seperti Wellhausen) meng-
usulkan suatu perbedaan yang radikal antara nabi dan imam atas dasar perikop
seperti Yesayn 1:10-15: Yeremia 6:20; 7:22-23: Amos 5:21-25: Hosca 6:6: Mikha
6:6-8. Namun usulan ini mengabaikan banyak perikop yang mem perlihatkan
hubungan antara nabi dan tabernakel atau Bait Allah (seperti 1Sam. 3:1-21; 9:6-
24: 2Sam. 7:4-17: Yer. 2:26 5:31: 8:10: Am, 7:10-17). sebagai akibatnya, para
ahli lain (seperti Mowinckelj beralih kepada ekstrem lainnya dan memandang
para nabi sebagai pejabat-pejabat Bait Allah. Ham- pir semua ahli pada hari ini
berada di antara dua pandangan ini, mengakui bahwa para nabi menerima
sentralitas Bait Allah dan kultus namun meng Imbau pembaruan. Para nabi
berfungsi di dalam agama yang sudah mapan namun berusaha melenyapkan
orang-orang yang tidak beragama dan prak- tik-praktik yang tidak etis yang
menonjol agar segenap umat dan para imam kembali kepada kebenaran kuno
(What Baker 1999:271). Singkat kata, me- reka memiliki pengetahuan yang dalam
tentang isu-isu kepercayaan dan meng- imbau umat itu kembali kepada kehidupan
yang percaya, namun ini tidak membuat mereka menjadi pejabat. Pertanyaan
lainnya adalah seberapa besar peran mereka bagi Yudaisme secara umum. Apakah
mereka didengar dalam hal-hal publik, atau apakah mereka memiliki pengaruh
melawan budaya? Hampir semua dari mereka, seperti Amos, adalah orang luar.
Sebagian, se- perti Yesaya atau Yeremia, memberikan nasihat untuk suatu masa
(Yesaya pada waktu pemerintahan Hizkia [Yes. 36-39]) namun pada akhirnya
ditolak berkenaan dengan nubuat mereka tentang penghakiman (lihat Ward
1991:19- 21).

Pesan dasarnya dijelaskan dalam 2 Raja-raja 17:13-14. yang menjelas kan


mengapa Kerajaan Utara itu dikirim ke pembuangan: TUHAN telah
memperingatkan kepada orang Israel dan kepada orang Yehuda dengan
perantaraan semua nabi dan semua tukang tilik: "Berbaliklah kamu dari pada
jalan-jalanmu yang jahat itu dan tetaplah ikuti segala perintah dan ketetapan-Ku,
sesuai dengan segala undang-undang yang telah Kuperintah- kan kepada nenek
moyangmu dan yang telah Kusampaikan kepada mereka dengan perantaraan
hamba-hamba-Ku, para nabi." Tetapi mereka tidak mau mendengarkan,
melainkan mereka menegarkan tengkuknya seperti nenek moyangnya yang tidak
percaya kepada TUHAN. Allah mereka. Penekanan pada kepercayaan milik nenek
moyang dan juga penunjuk- kan Musa dan para pemimpin di masa lalu sebagai
"nabi-nabi" melukiskan tempat dari tradisi di dalam pesan para nabi. Kita juga
harus memperhatikan sentralitas dart kovenan dan Taurat Fee dan Stuart
(2003:184) menyebut para nabi sebagal "para perantara pe laksanaan kovenan,"
yang menunjuk pada kehadiran nubuatan tentang berkat- berkat (pelaksanaan
positif: bdk. Im. 26:1-13; Ul. 4:32-40; 28:1-14) dan kutuk an-kutukan atau
penghakiman (pelaksanaan negatif: bdk. Im. 26:14-39: UL -28: 28:15-32:42) di
dalam kovenan dan Taurat dari zaman Abraham dan Musa.3 Mengikuti model
dari Sinal. para nabi itu mengingatkan umat ten tang bahaya yang muncul akibat
pengabaian atas perintah-perintah itu.

Fee dan Stuart merangkum materi Alkitab ke dalam enam kategori ber kat
(kehidupan, kesehatan, kemakmuran, kelimpahan pertanian, kehormatan dan
keamanan), dan sepuluh tipe hukuman (kematian, penyakit, kekeringan. paceklik,
bahaya, penghancuran, kekalahan, pembuangan, kemiskinan dan rasa malu).
Proklamasi dari para nabi berpusat pada kategori-kategori ini dan akan
menonjolkan salah satu di antaranya tergantung pada situasi yang ada. Janji
"mesianis" dari perikop-perikop seperti Amos 9:11-15 berpusat pada kemakmuran
(ay. 11-12), kelimpahan pertanian (ay. 14) dan keamanan (ay. 15); dan kutukan-
kutukan dari Nahum 3:1-7 mengaitkannya dengan bahaya (ay. 2), penghancuran
dan kematian (ay. 3), rasa malu dan kemiskinan (ay. 5 7). Penekanan khusus pada
kovenan terlihat pertama kali dalam Hosea 6:7: 8:1, yang mengutuk Israel karena
"melanggar kovenan" itu. Yeremia merinci ini ke dalam suatu theologi kovenan
yang matang, mulai dengan syarat syaratnya yang ketat (Yer. 11:6-7). yang telah
dilanggar oleh Yehuda (Yer. 11:8-10). Karena kovenan itu diperlukan sebagai
penjamin dari anugerah Allah (Yer. 14:21) dan karena kovenan yang lama tidak
memadai (Yer. 31:32), Yahweh akan membangun suatu kovenan yang baru dan
yang lebih balk (Yer. 31:31-34). Kedudukan Taurat dan kepercayaan menjadi
lebih rumit. Seolah-olah ada penekanan-penekanan yang bertoiak beiakang:
beberapa perikop keli hatannya menjadikan penyembahan ritual sebagai suatu
elemen yang diper lukan dari kepercayaan profetik (para nabi berada di tempat
yang tinggi da lam 1Sam. 10, dan sentralitas dari mezbah dalam peperangan di
Gunung Karmel antara Elia dan para imam Baal dalam 1Raj. 18). Samuel
dibesarkan dan di panggil oleh Allah bagi pelayanan profetiknya di Silo (1Sam.
3), dan Natan dimintai pendapatnya ketika Daud bermaksud mendirikan Bait
Allah (2Sam. 7). Namun pada saat yang bersamaan ada beberapa perikop yang
menyepele kan penyembahan melalui kurban, dengan menyatakan bahwa Yahweh
tidak akan berbagian di dalamnya (seperti Yes. 1:11-14; Yer. 6:20; 7:21-23; Hos.
6:6; Am. 5:21-23; Mik. 6:6-8). Amos, sebagai contoh, memisahkan dirinya dari ke
percayaan para imam yang sudah mapan itu (lihat Am. 7:14).

Para ahli terbagi dua dalam masalah ini, sebagian berpendapat bahwa para
nabi hanyalah perpanjangan dari tatanan keimaman (Mowinckel, Eiss feldt), yang
lainnya berpendapat bahwa para nabi anti tempat pemujaan dan anti sistem
pemujaan (pada umumnya percaya hal tersebut karena dalam ta hap-tahap
awalnya gerakan profetik itu mengikuti praktik-praktik orang Kanaan: What
Robertson Smith). Akan tetapi, tidak ada satu pun yang benar. dan hampir semua
ahli hari ini mencari perspektif yang lebih seimbang (Smith 19866-992-931:
Sawyer 1987:19-22). Para nabi bukan bereaksi melawan sis- tem penyembahan
Yahudi melainkan menolak penyembahan berhala dan praktik praktik religius
yang keliru dari Israel dan Yehuda. Para nabi adalah pelindung dari Taurat dan
kepercayaan dan mengutuk penyembahan Israel karena tidak murni

SIFAT DARI PESAN PARA NABI

Hampir semua yang telah dikatakan dalam bagian sebelumnya dapat juga
diterapkan pada pesan para nabi, karena kita tidak boleh memisahkan peran dari
pemberitaan. Akan tetapi, ada beberapa isu yang masih perlu dibahas. dan ini
terkait langsung kepada pesannya. Kesalahpahaman yang mendasar berkenaan
dengan sastra profetik dalam Perjanjian Lama adalah bahwa tu- lisan-tulisan
tersebut terkait terutama kepada masa depan. Sudah lazim ber- pikir bahwa
'ramalan hampir merupakan definisi dari nubuat. Ini tidak be- nar. Carl Peisker
mencatat bahwa baik kata Ibrani maupun Yunani tidak memberi peluang kepada
orientasi masa depan (1978:74-84). Nabi memiliki sisi aktif dan pasif: secara
pasif, seorang nabi dipenuhi oleh Roh Kudus dan menerima pesan Allah; secara
aktif, seorang nabi menafsir atau memberita- kan pesan Allah kepada orang-orang
lain. Sisi pasif boleh jadi lebih menonjol namun keduanya ada: seorang nabi
adalah seseorang yang diinspirasi oleh Yahweh untuk mengkhotbahkan pesan-
Nya kepada umat-Nya.

1. Masa kini dan masa depan saling berkaitan.

Meskipun pesannya ti- dak berpusat pada masa depan, "nubuat-nubuat


mengenai peristiwa masa depan sering kali muncul. Fee dan Stuart mengenukakan
bahwa kurang dari 2 persen nubuat Perjanjian Lama itu mesianis, kurang dari 5
persen berhu- bungan dengan zaman kovenan yang baru dan kurang dari 1 persen
berke- naan dengan peristiwa-peristiwa yang bagi kita masih di masa depan
(2003:182). Tentu saja, jumlah di atas terutama tergantung pada keputusan-
keputusan eksegesis berkenaan dengan apakah nubuat-nubuat mesianis itu pada
awal- nya memang dimaksudkan secara mesianis. Bagaimanapun, secara relatif
persentasinya rendah. Hampir semua nubuat masa depan berhubungan de- ngan
keadaan yang akan segera terjadi terhadap Israel, Yehuda dan bangsa- bangsa.
Lebih dari itu, nubuat-nubuat masa depan merupakan bagian dari pola-pola yang
lebih besar dari pemberitaan, dan oleh karena itu tujuan utama mereka adalah
memanggil bangsa itu kembali kepada Allah dengan mengingatkan bangsa itu
bahwa la yang mengendalikan masa depan.

Singkat kata, nabi terutama merupakan seorang penelaah/penafsir yang


beritanya ditujukan kepada orang-orang dan situasi pada zamannya, dan pe-
ramalan dalam realitasnya merupakan bagian dari tujuan yang lebih besar itu.
Dalam hal ini ada beberapa isu yang harus dibahas.Jarak Sejarah menyulitkan
penafsiran, karena kitab-kitab nubuat itu menggunakan analogi-analogi dan
bahasa yang berakar dari periode-periode sezamannya. Kita perlu menciptakan
kemballi latar belakang sejarah di balik setiap nubuat dan sering kali gagal untuk
memahami nubuat-nubuat itu se cara lengkap karena kita belum melakukan hal
tersebut. Nabi i-nabi tertentu seperti Obaja, Yoel atau Yunus tidak memberikan
rujukan-rujukan sejarah dan suatu subjektivitas tertentu memasuki pencarian atas
keterangan latar belakang (lihat 2Raj. 14:25, yang menempatkan Yunus pada
pemerintahan Yerobeam II pada awal dari abad kedelapan). Akan tetapi,
informasi lain juga dapat membantu seperti mengetahui bahwa penyerangan ke
Yerusalem dan keterlibatan orang-orang Edom yang begitu sentral dari karya
Obaja yang pendek, dapat terjadi pada pemerintahan Yoram (853-841 SM) ketika
orang orang Filistin dan Arab membawa pergi anak-anak raja dan sejumlah
prajurit (2Taw. 21:16-17), atau terjadi pada pemerintahan Ahas (743-715 SM)
ketika orang-orang Edom turut serta dalam penyerangan oleh orang-orang Filistin
(2Taw. 28:16-18), atau terjadi pada kejatuhan Yerusalem yang terakhir di bawah
Nebukadnezar dalam 586 SM (2Raj. 25:1-21). Kemungkinan yang per tama
adalah satu-satunya kemungkinan yang menggabungkan suatu penye rangan ke
Yerusalem dengan keterlibatan orang-orang Edom sehingga lebih memungkinkan.
Walaupun kita dapat menangkap citra dasar dari teks tanpa data ini, informasi
seperti di atas sangat menambah pemahaman dan dapat menghindarkan kita dari
ketidaktepatan dan memulihkan latar belakang se jarah seteliti mungkin.

Pemahaman atas situasi sejarah sangat membantu pembaca modern ketika


mendekati teks tersebut. Dalam contoh-contoh individual, salah satu aspek dari
latar belakang sejarah ini akan menjadi sangat penting, dan pem baca perlu
mempelajari perikop itu dengan teliti untuk menentukan aspek mana yang
menonjol. Para nabi menyampikan isu-isu ini dan berita-berita mereka itu
dirancang untuk melawan latar belakang dari masalah-masalah sejarah ini.

2. Masalah penggenapan juga menjadi cukup sulit.

Di sini kita perlu memperhatikan debat mengenai "penggenapan dobel"


atau “penggenapan be ragam" dari perikop-perikop seperti Daniel 9:27, 11:31 dan
12:11 ("kekejian yang membinasakan"). Nubuat itu pada awalnya digenapi tatkala
Antiokhus Epifanes memaksa orang-orang Yahudi untuk mengorbankan banyak
babi di atas mezbah dan memasuki Ruang Maha Kudus pada tahun 167 SM Akan
tetapi, nubuat itu digenapi lagi dalam penghancuran Yerusalem dan akan di
genapi terakhir kalinya pada peristiwa-peristiwa akhir zaman (Mrk. 13:14 dan
paragraf berikutnya; bdk. Why. 13:14). Hal yang sama berlaku atas nu buat Yoel
(Yl. 2:28-32) yang dialusi dalam khotbah Pentakosta (Kis. 2:17-21). Nubuat ini
juga menunjuk melampaui Pentakosta ke hal-hal terakhir. William VanGemeren
(1990:82-83) lebih menyukai istilah pengenapan progresif, meng anggap nubuat-
nubuat ini sebagai janji-janji yang terus berkembang pada setiap tahap dari
kesaksian mereka (dari situasi sejarah sampai periode-periode penyelamatan yang
lebih kemudian, dari peribuangan nanipal periode gereja Perjanjian Baru). Nubuat
mabuat ini lebih dari sekadar nubuat ten tand peristiwn melainkan tentang janji
intervenat Allah di sepanjang sejarah. Jadi ada suatu perkembangan di dalam
pernebusan yang membuat janji-janji eskatologia itu terus baru di dalam tiap era.

Saya yakin jawabannya rangkap dua. Pertama, saya lebih suka menggu
nakan istilah penggenapan analogis (atau tipologia) untuk melukiskan peng
genapan janji. Istilah dobel atau beragam tidak diperlukan, karena para pe nullis
Perjanjian Baru dapat melihat situasi-situasi yang analog dalam sejarah
penyelamatan dan mengaitkan mereka secara profetik (dengan nubuat yang
diterimal. Kedua, kuncinya adalah konsep orang Yahudi mengenai penero pongan
waktu. Pada tindakan Allah dalam sejarah, suatu kaitan konseptual akan
menyamakan situasi-situasi analogi ("seribu tahun sama seperti satu hart [2Ptr.
3:8] meleburkan masa lalu, kini, dan depan). Oleh karena itu, Perjanjian Baru
dapat menghadirkan secara bersamaan Antiokhus Epifanes (masa lalu).
penghancuran Yerusalem (masa kini) dan peristiwa-peristiwa akhir zaman (masa
depan). Mickelsen membahas dua isu yang berhubungan (1963:289-94). Perta-
ma, nubuat bukan hanya sejarah yang ditulis entah setelah (orang liberal) atau
sebelum (orang Injili) peristiwanya. Pandangan yang pertama adalah produk dari
antisupernaturalisme, yang kedua adalah pernyataan yang ber- lebihan. Keduanya
bergumul dengan sifat misterius dart nubuat yang me- nyingkapkan beberapa
detail tertentu mengenai peristiwa masa depan namun membiarkan banyak
bagiannya dalam keraguan. Nubuat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
keduanya ambigu, dan meskipun menunjuk kepada peristi- wa-peristiwa historis
yang memang terjadi, nubuat-nubuat dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama
sama-sama udak menyingkapkan peristiwa-peristiwa itu secara keseluruhan.
Seorang penafsir harus secara hati-hati mem- pertimbangkan isu mengenai
penggenapan, biarlah teksnya ketimbang peristiwa- peristiwa yang sedang terjadi
yang menentukan tafsirannya.s Isu yang kedua adalah sifat progresif dari nubuat.
Nubuat-nubuat yang lebih kemudian sering menambah detail-detail pada nubuat-
nubuat sebe- lumnya, dan penggenapannya lebih besar daripada jumlah total dari
janji- janji sebelumnya. Nubuat-nubuat mestanis secara khusus memperlihatkan
ini. Walaupun dengan semua detall yang diramalkan oleh para nabi sampai saat
itu, orang Yahudi belum siap dengan kehadiran Yesus (perhatikan kesa-
lahpahaman yang terus-menerus dari para murid) dan realitasnya jauh me-
lampaui yang diharapkan. Faktanya adalah bahwa Allah memberi kepada para
nabi itu hanya kilasan terbatas dan tidak pernah gambaran yang menye- luruh.
Seperti yang Petrus katakan, "Nabi-nabi, ... menyelidiki dan meneliti. saat yang
mana dan yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Roh Kristus. yang ada di
dalam mereka" (1Ptr. 1:10-11). Dengan cara yang sama, para penafsir modern
memerlukan kerendahan hati ketimbang dogmatisme tatkala mereka mencoba
memahami penggenapan dari peristiwa-peristiwa akhir zaman. Meminjam bahasa
Paulus (di luar konteksnya), kita juga "melihat dan cermin suatu gambaran vang
samar-samar" ketika menerapkan nubuat

3. Suatu aspek bersyarat sering kali terlihat, dan beberapa nubuat bergantung pada
penggenapan syarat itu. Penghancuran Niniwe jelas-jelas dia lihkan ketika raja
dan rakvatnva berkompromi, dan nubuatnya dibatalkan ( Yun 3:4-10). Nubuat itu
bukan menjadi tidak terpenuhi, tetapi, karena nubuat tersebut bersyarat dari
awalnya. Prinsip itu dirinci dengan jelas dalam Yeremia 18: 7-10, yang
menyatakan bahwa Allah tidak akan menggenapkan rancang an- rancangan
malapetaka jika orang-orangnya melakukan kontrak, dan Ia akan menghapuskan
janji-janji jika mereka berubah dari jalan-jalan-Nya. Banyak yang disebut nubuat-
nubuat yang tidak tergenapi (seperti nubuat mengenai peng hancuran total atas
Damsyik dalam Yesaya 17:1 atau pernyataan dari Hulda bahwa Yosia akan mati
dalam 2Raj. 22:18-20) tanpa keraguan dapat dijelas kan sebagai nubuat yang sejak
awal sudah bersyarat.

2. Perbedaan keadaan ketika wahyu diberikan.

Cara suatu pesan diko munikasikan kepada nabi sangat berbeda


tergantung pada keadaannya.

1. Penglihatan-penglihatan dan mimpi-mimpi sering kali merupakan per antara


suatu pesan disampaikan. Para ahli yang kritis (Wellhausen, Holscher) telah lama
mengemukakan bahwa para nabi Israel telah mempelajari teknik teknik dari “trans
ekstatis" dan pengalaman-pengalaman halusinatoris dari orang Kanaan. Akan
tetapi, klaim ini sebenarnya tidak perlu. Leon Wood me meriksa perikop-perikop
utama (Bil. 11:25-29; 1Sam. 10:1-13; 18:10; 19:18 24; 1Raj. 18:29; 22:10-12;
2Raj. 9:1-16; Yer. 29:26; Hos. 9:7) dan tidak mene mukan dukungan bagi
kesimpulan yang seperti itu (1979:39-59). Tanggalnya sebagian pakaian dan
rebahnya Saul dalam 1 Samuel 19, misalnya, hampir tidak dapat membuktikan
tesis seperti ini; Saul bukanlah .nabi, dan orang orang lain tidak mengikuti
teladannya. Keriuhan atau keadaan seperti kera sukan yang mendampingi suatu
pengalaman “ekstatis” tidak terlihat. Semen tara para nabi kafir memperlihatkan
keadaan kerasukan seperti itu (lihat 1Raj. 18:29), hal yang sama tidak terlihat
pada para nabi Israel. Lindblom mengizinkan pengalaman-pengalaman ekstatis
bagi para nabi lisan yang lebih awal namun tidak bagi para nabi klasik yang
kemudian (dengan kemung kinan pengecualian atas Yehezkiel; 1962:47-54, 122-
23). Para nabi yang ke mudian memiliki penglihatan namun bukan halusinasi
ekstatis. Faktanya, Petersen menyimpulkan bahwa perilaku seperti ini sama sekali
tidak ada di dalam tradisi nabi-nabi Israel (1981:29-30), dan saya menyetujui
perkiraan nya.

Perbedaannya adalah penglihatan merupakan suatu perwujudan super


natural yang terkait dengan realitas eksternal sementara halusinasi, atau "keadaan
trans atau kerasukan," bersifat subjektif dan irasional. Bilangan 12:6 menyatakan
bahwa Allah tentu akan berbicara kepada para nabi-Nya melalui "penglihatan"
dan "mimpi." Sering kali penglihatan ini merupakan penglihat an-penglihatan
“malam" (seperti Ayb. 4:13; 20:8; Yes. 29:7; Dan. 7:2) namun lebih sering
mereka terjadi pada siang hari. Penglihatan-penglihatan semacam ini sering berisi
gambaran esoterik (yang hanya dimengerti oleh orang- orang tertentu) yang
menjadi bentuk apokaliptik dan harus ditafsirkan, se perti tulang-tulang yang
kering dari Yehezkiel 37 atau tanduk kecil dari Daniel 8. Hal yang paling penting,
nabi tersebut berada dalam keadaan yang sadar. dan penglihatan itu dikirim secara
langsung dari Allah (Yeh. 37 bahkan tidak menyebut sarana penglihatannya: bdk.
Yeh. 1:1: 8:3).

Mimpi-mimpi berbeda dari penglihatan-penglihatan dalam hal sang nabi


tidak sadar. Mimpi-mimpi mirip dengan penglihatan dalam hai mereka juga
dikirim dari Allah. Natan menerima mimpi tertentu yang berkenaan dengan
kerajaan keturunan Daud (2Sam. 7:4-17), dan Daniel menerima suatu mimpi
berkenaan dengan empat binatang besar (Dan. 7:1-14), walaupun mimpi yang
terakhir ini juga dilukiskan sebagai penglihatan (ay. 2, 15).

2. Pewahyuan langsung merupakan pengalaman profetik yang paling la- zim.

Yahweh berulang kali berbicara secara bersuara kepada para nabi-Nya.


Formula "Datanglah firman TUHAN kepada... (2Ra). 20:4: Yer. 1:2: 21)
menghasilkan formula-formula "Dengarkanlah firman TUHAN (2Raj. 20:16: Yer.
24) atau "Beginilah firman TUHAN" (2Raj. 20:5). Tentu saja ini penting bagi
suatu pemahaman mengenai otoritas profetik sama seperti inspirasi. Se- ring kali
pewahyuan dikaitkan kepada peristiwa-peristiwa sejarah, seperti ketika Natan
menghadapkan Daud dengan dosanya atas Batsyeba dan Uria (2Sam. 12:7-12)
dan ketika Yeremia meramalkan bencana kepada Zedekia tatkala Nebukadnezar
mendekat (2Sam. 21:3-14).
3. Keragaman bentuk dari pemberitaan profetik. Ini penting bagi studi
hermeneutika, karena seperti bentuk-bentuk sastra hikmat, setiap bentuk
pemberitaan harus ditafsir secara berbeda.

1. Ucapan penghakiman merupakan bentuk dasar dari berita profetik. Seperti yang
telah Claus Westermann tunjukkan (1967:129-63), nubuat peng- hukuman
biasanya dimulai dengan bagian pendahuluan yang mengutus sang nabi
("Pergilah, bernubuatlah" [Am. 7:15]) diikuti oleh suatu bagian yang me- rinci
dakwaan atau melukiskan situasi yang mengarah kepada penghakiman ("Engkau
berkata: 'Janganlah bernubuat menentang Israel [Am. 7:16]). Kemudian hadirlah
formula dari sang utusan ("Sebab itu beginilah firman TUHAN" (Am. 7:17al) dan
ramalan mengenai bencana ("Isterimu akan ber- sundal di kota, dan anak-anakmu
laki-laki dan perempuan akan tewas oleh pedang: tanahmu akan dibagi-bagikan
dengan memakai tali pengukur, eng- kau sendiri akan mati di tanah yang najis,
dan Israel pasti pergi dari tanah- nya sebagai orang buangan" [Am. 7:17b]).
Memang ini barulah formula dasar. Seperti yang John Hayes nyatakan, teks-teks
yang sepenuhnya mengikuti po- la ini lebih merupakan "pengecualian ketimbang
menjadi aturan" (1979:277). Akan tetapi, aspek-aspek ini dijumpai dalam
sejumlah besar teks dan sangat membantu dalam memahami mereka. Adakalanya
ini bahkan mengambil bentuk suatu keluhan liturgis, dengan perincian mengenai
bencana, suatu permohonan kemurahan hati, dan suatu pernyataan dari Allah
bahwa la tidak akan bermurah hati karena dosa Israel (misalnya, Yes. 63:7-64:12;
Yer. 14:1-22) (Kelin, Blomberg Hubbard, 1993:296-98).

2. Nubuat mengenai berkat atau pelepasan, juga dikenal sebagai ucapan- ucapan
penyelamatan (lihat Yes. 41:8-20; Yer. 33:1-9) memiliki bentuk yang mirip
dengan tipe yang pertama, dengan situasi yang dirinci, diikuti dengan berkat itu
sendiri.s Penekanan utama dalam ucapan-ucapan penyelamatan pe adalah pada
kemurahan ilahi. Para nabi dengan jelas menyatakan bahwa lepasan itu hanya
karena intervensi Allah sendiri. Sebagian penafsir (March pemberitaan tentang
penyelamatan (pelepasan masa depan), namun ini sa- 1974:163) memisahkan
"ucapan penyelamatan" (pelepasan masa kini) dari ngat meragukan dan
perbedaan-perbedaannya (seperti adanya “janganlah ta kut" di dalam ucapan itu
dan adanya bentuk ratapan di dalam pemberitaan itu) lebih disebabkan karena
situasi yang dituju ketimbang bentuknya.

3. Ucapan kutuk (Yesaya 5:8-24; Amos 5:18-20; Mikha 2:1-4; Habakuk 2:6-8)
merupakan tipe khusus dari nubuat penghakiman yang berisi hou di ikuti oleh
serangkaian partisipel yang merinci subjeknya, pelanggarannya dan hukumannya.
Bagi orang Israel, kutuk berarti tragedi dan duka yang segera terjadi. Itu
merupakan sarana yang sangat kuat untuk mengumumkan peng hukuman, dan
penekanannya lebih terletak pada penghakiman yang segera terjadi ketimbang
dukacita yang diakibatkan (juga benar dalam “celaka-celaka" dari Luk. 6:24-26).
Sudah ada sejumlah studi penting berkenaan dengan asal dari kutuk, sebagian
studi berpusat pada kutuk sebagai sejawat yang negatif dari ucapan bahagia, yang
lainnya pada kutuk sebagai sarana didaktik da lam pengajaran rakyat.
Kecenderungan hari ini adalah memandang latar be lakangnya di dalam ratapan
pemakaman sebagai reaksi profetik terhadap penghakiman yang tidak
terhindarkan yang segera terjadi (lihat Tucker 1985:339 40; Sawyer 1987:30).

4. Tindakan-tindakan simbolis juga kerap terlihat di dalam periode para nabi.


Semua ini dapat disebut "perumpamaan-perumpamaan yang diwu judkan" (Fee
dan Stuart [2003:196] menyebut mereka “nubuat-nubuat yang ditampilkan” dan
melayani sebagai objek pelajaran bagi para pengamat. Yeremia dan Yehezkiel
secara khusus menggunakan metode ini. Yeremia menggunakan bejana tanah liat
untuk melukiskan kedaulatan ilahi (Yer. 18:1-10; bdk. Rm. 9:20-23) dan
Yehezkiel (Yeh. 5:1-4) memangkas sebagian rambutnya dan membakar
sepertiganya, menetak sepertiganya dengan pe dang, dan menghamburkan
sepertiganya ke dalam angin untuk melukiskan tiga tipe penghakiman yang akan
Allah kirim atas Israel. Tindakan-tindakan seperti ini merupakan ilustrasi yang
sangat kuat mengenai murka Allah terhadap umat-Nya yang tidak patuh . 5.
Ucapan-ucapan legal [yang berkenaan dengan hukum] atau pengadilan (Yes.
3:13-26; Hos. 4:1-19) berisi suatu perintah menuju pengadilan ilahi , suatu latar
pengadilan tempat para saksi dipanggil, mengarah pada suatu penekanan pada
kesalahan Israel atau bangsa itu dan penghakiman atau vonis yang berlaku. Para
ahli menjelaskan apakah bentuknya berasal dari perjanjian perjanjian suzerainty
orang Het, kovenan atau "tuntutan hukum sorgawt (ribi kebiasaan-kebiasaan legal
pada waktu itu atau liturgi pemba ruan kovernan Israel. Pada umumnya kita tidak
akan pernah memutuskan detail dari upe ini dengan tepat, dan bentuk profetiknya
mencerminkan pola- pola umum yang berhubungan dengan banyak bahkan semua
tipe yang di atas. Eugene March mencatat (1974:165-66) bahwa bentuk ini
digunakan un tuk mengungkapkan penghaktman Yahweh atas lah-ilah dari
bangsa-bangsa (Yes. 41:1-5, 21-29: 43:8-15: 44:6-8) atau atas Israel sendiri (Yes.
42:18-25. 43:22-28: 50:1-3). Sekali lagi bentuk yang pasti tidak bisa ditemukan
didalam semua tipe, tatkala satu elemen atau yang lain dihilangkan Misalnya.
Yesaya 41:21-29 dimulai dengan panggilan atas tlah-lah a sing untuk beperkara,
menantang mereka untuk mengumpulkan bukti-bukti mereka lay. 21-23), diikuti
oleh tuduhan bahwa mereka itu "hampa" (ay. 24) dan para saksi yang
membuktikan mereka bersalah (ay. 25-28). Terakhir, pembuktiannya diumumkan:
mereka semua udak ada perbuatan-perbuatan mereka hampa... angin dan kesia-
siaan (ay. 29). 6. Ucapan pembantahan (Yes. 28:14-19. Yer. 33:23-26: Yeh 18:1-
20) telah diteliti dengan rinci oleh Adrian Graffy (1984). Bentuk ini terutama
digunakan untuk mengutip kata-kata umat itu sendiri melawan mereka dan
menggunakan pernyataan pernyataan mereka sendiri untuk menunjukkan
kesalahan mereka. Bentuk ini terdiri dari tiga bagian: suatu formula penda huluan
(Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya"), kutipan dari para la wan untuk
memperlihatkan kekeliruan mereka (sering kali berisi kiasme), dan pembuktian
yang menunjukkan kekeliruan di dalam alasan mereka dan merinci intervensi
Allah di dalam situasi itu. Yeremia 31:29-30 mengguna kan bentuk pembantahan
sebagai pendahuluan bagi nubuat kovenan yang baru dari ayat 31-34. Latarnya
adalah masa depan ("pada waktu itu") dan kutipannya menggunakan suatu amsal
lokal mengenai hukuman kolektif dari bangsa itu ("Ayah-ayah makan buah
mentah. / dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu"). Pembuktian itu berpusat pada
zaman baru, ketika hukuman akan diberikan secara individual dan anak-anak akan
menderita atas dosa- dosa mereka sendiri ("Setiap orang akan mati karena
kesalahannya sendiri. setiap manusia yang makan buah mentah - giginya sendiri
menjadi ngilu"). Ini mempersiapkan jalan bagi individualisme dari zaman
kovenan yang baru dalam ayat 34.

7. Ratapan profetik (dirge) muncul ketika sang nabi memberikan suatu *ratapan
pemakaman bagi Israel (bdk. Yes. 14:3-21: Yeh. 19:1-14, 26:17-18, 27:32),
seolah-olah bangsa itu sudah merupakan suatu mayat yang disiapkan untuk
pemakaman. Ada beberapa aspek formal (menggunakan Am. 5:1-3): panggilan
untuk mendengar ("Dengarlah perkataan ini"), ratapannya sendiri (Telah rebah,
tidak akan bangkit-bangkit lagi anak dara Israel"), formula pembawa pesan
("Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH"), dan ramalan ("Ko- ta yang maju
berperang dengan seribu orang, dari padanya akan tersisa se- ratus orang).
Bencana masa depan diperlakukan sebagai suatu peristiwa yang telah terjadi, dan
Israel dilukiskan sehagai "anak dara yang mati tanpa nikah dan kesepian" (Klein,
Blomberg Hubbard 1993:295-96). tapan pemakaman dari Wahyu 18:9-20. 8. Puisi
digunakan di sepaniang kitab para nabi. Timur Dekat kuno sangat tajam dalam
ungkapan puitis Puisi selalu memiliki suatu suara yang lebih kuat karena puisi
lebih mudah diingat dan diucapkan dengan lebih berkesan terhadap isunya.
Sarana-sarana yang telah dibahas dalam bab de lapan mengenai puisi Perjanjian
Lama akan sangat menolong. Di dalam kitab para nabi ada banyak ratapan (Yer.
15:5-21: 20:7-18), nyanyian ucapan syu kur (Yer. 33:11), himne penvembaban
(Yes. 33:1-24) dan himne pertobatan (Mi. 7:1-12). Orang hanya perlu melihat
sekilas dalam kitab-kitab nubuat versi modern untuk melihat betapa luasnya kitab-
kitab itu memanfaatkan puisi.

9. Pemikiran hikmat telah lama dikaitkan dengan gerakan profetik (lihat


Crenshaw dan Clements), dan beberapa bentuk yang telah disebut dalam bab
sembilan juga dapat diamati dalam sastra profetik. Amsal juga sering di gunakan.
Faktanya, orang tertentu bertanya, “Apakah Saul juga termasuk golongan nabi?"
(1Sam. 10:11; lihat juga Yer. 31:29-30; Yeh. 18:1-20 seperti yang dibahas dalam
bab 6). Ucapan-ucapan hikmat rakyat diterapkan (Yer. 23:28), dan bahkan alegori
(khususnya digunakan dalam Yeh. 16: 20; 23). John Schmitt (1992:486-87)
memperlihatkan bahwa hikmat dan nubuat me rupakan "fenomena sejajar" selama
periode ini, dan Yesaya 5:19-24 dan Ye saya 30:1-5 mengontraskan hikmat zaman
itu dengan hikmat Allah. Latar belakang sastra hikmat dapat dilihat dalam Yesaya
14:24-27 dan Yeremia 19:7-15. Faktanya, sebagian besar nabi boleh jadi telah
terlatih dengan cerita cerita rakyat. Perbedaannya adalah para nabi menyampaikan
firman Allah, kata-kata bijak yang telah mereka terima dari para pendahulu
mereka. 10. Apokaliptik dijumpai dalam karya-karya yang kemudian seperti Ye
hezkiel, Daniel dan Zakharia. Kita akan memeriksa kaitan ini lebih lanjut dalam
bab sebelas, namun bentuknya sendiri terbatas pada karya-karya profetik di masa
pembuangan dan pasca-pembuangan dalam Perjanjian Lama.

PRINSIP-PRINSIP HERMENEUTIKA

Di dalam terang informasi umum yang telah dibahas, bagaimanakah kita


da pat mendekati sastra profetik agar dapat berjalan dengan tepat di spiral dari
teks menuju konteks? Walter Kaiser memberikan suatu pembahasan yang menarik
tentang empat khotbah yang keliru tentang nubuat (1982:186-93): (1) Dalam
tipologi nubuat, situasi kontemporernya mengontrol teks, dan bu kan sebaliknya.
Ini dapat diamati khususnya dalam theologi pembebasan, tempat perikop-perikop
yang mengkritik ketidakadilan sosial digunakan un tuk mendukung gerakan-
gerakan revolusioner modern. (2) Khotbah tindakan profetik memakai individu
dan episode dari suatu kisah dan membuat mere ka sebagai simbol untuk
berbicara kepada peristiwa-peristiwa modern. Sekali lagi, makna yang aktual
dariteks itu diabaikan, dan pola kontemporer di paksakan pada permukaan teks
itu. Misalnya, kisah tentang Ahab dan kebun anggur Nabot dalam 1 Raja-raja 21
digunakan untuk orang kecil" melawan Institusionalisme atau negara. (3) Khotbah
moto profetik memilih satu atau dua pernyataan lepas dari konteks yang lebih
besar seperti I Raja-raja 21 dan membentuk suatu pesan menggunakan
pernyataan-pernyataan itu se bagai moto. Misalnya, ayat 7 Aku Ilzebelj akan
memberikan kepadamu ke bun anggur itu dijadikan papan loncat bagi suatu
khotbah tentang pembe basan perempuan, walaupun dalam konteks itu izebel
adalah penjahat bukan pahlawan. (4) Khotbah perumpamaan profetik membentuk
suatu perumpa- maan modern atas dasar analogt dari alur cerita. Masalahnya
sekali lagi ada- lah kesejajaran-kesejajaran lahir yang ditunjukkan tanpa suatu
pemahaman batin atas situasi aktualnya. Tentu saja ada banyak analogi yang
biasa. situasi-situasi tempat perusahaan-perusahaan yang besar dan sebagainya
memaksa orang-orang meninggalkan rumah mereka, namun sekali lagi ini
mengabaikan komponen profetiknya dan mengabaikan eksegesis yang aktual
mengenal teks.

Saya ingin menambah tipe kelima dari khotbah yang keliru, pendekatan
"surat kabar" dari para pengkhotbah nubuat pada hari ini. Aliran ini meng- anggap
bahwa nubuat bukan dimaksudkan untuk latar kuno melainkan un- tuk latar
modern. Hal yang mengherankan, latarnya sering kali Amerika di era setelah
tahun-1948 (setelah Israel menjadi suatu negara) (lihat lebih lanjut "Penafsiran
atas Simbol-simbol, hlm. 337-39). Para pengkhotbah seperti ini mengabaikan
fakta bahwa Allah memilih semua simbol dan perikop itu untuk berbicara kepada
Israel, dan orang-orang modern harus memahami mereka di dalam konteks kuno
mereka sebelum menerapkan simbol dan perikop tersebut untuk hari ini. Penafsir
modern harus membedakan nubuat- nubuat mesianis dari nubuat-nubuat
sementara (yang dimaksudkan untuk situasi sejarah dari Israel kuno). Para
pengkhotbah "surat kabar" malahan memakai banyak perikop profetik keluar dari
konteks dan memelintir mereka agar sesuai situasi modern. Ini berbahaya karena
terlalu mudah mengarah kepada "eisegesis yang subjektif (memaksakan makna ke
dalam suatu teks). Kita memerlukan prinsip-prinsip eksegesis yang benar-benar
dapat menjelaskan teks itu dan memampukan orang Kristen modern mendengar
Firman Allah dari para nabi secara baru. Tujuh langkah berikut sangatlah berguna.
1. Tentukan suatu ucapan. Seperti yang Fee dan Stuart tunjukkan, kita harus
belajar untuk memikirkan orakel, karena banyak bagian di dalam kitab-kitab para
nabi mencakup suatu koleksi ucapan, masing-masing ditu- Jukan kepada situasi
yang berbeda namun tanpa adanya pemilahan-pemila- han di antara mereka
(2003:193). Pembaca tidak dapat dengan mudah me- nentukan di mana awal dan
akhir satu koleksi ucapan, kita juga tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah
orakel-orakel yang berurutan itu ditujukan kepada pendengar atau situasi yang
sama. Sudah tentu, siswa memerlukan bantuan untuk mengerjakan bagian ini, dan
tafsiran yang baik merupakan penclong yang penting. Kita tidak ingin salah
membaca orakel-orakel yang berurutan tersebut dengan menyatukan mereka dan
keliru menggunakan kon ieks yang satu untuk menafsir orakel yang lain. Tatkala
latar sejarahnya ada, misalnya dalam Yeremia atau Yesava. siswa itu sangat
terbantu. Tatka la tidak ada dan ucapan-ucapan itu tertumpuk menjadi satu,
pekerjaannya juga akan semakin sulit. Nyanvian hamba dari Yesaya 42-53
ditempatkan dalam konteks serangkaian puisi (Yes. 40-66) tanpa rujukan-rujukan
seja rah. Seorang penafsir harus memperhatikan tiap puisi sebagai satu unit se
belum menyatukan mereka ke dalam satu kesatuan (seperti 40-55; 56-66). 2.
Tentukan tipe orakel yang digunakan.

Tiap subgenre memiliki aturan bahasanya sendiri, dan sangatlah penting


memilah tipe sastra dari tiap ora kel sebelum menafsirkannya. Memperhatikan
suatu ucapan sebagai orakel mengenai hukum atau hikmat bukan hanya
menambah nilai perhatian tetapi Juga memampukan pembaca untuk mencari suatu
pola khusus atau sorotan sorotan tertentu tergantung pada tipe dari ucapan yang
digunakan Ini me miliki nilai lebih lanjut bagi khotbah. Tatkala pengkhotbah
memperhatikan tiperya adalah suatu orakel mengenai hukum atau ucapan
“perbantahan," dia dapat memilih ilustrasi-ilustrasi yang menyoroti teks dan
sekaligus mem buatnya lebih bersemangat dan bermakna bagi jemaat. 3. Pelajari
orakel individual di dalam terang keseluruhan nubuat, menggunakan teknik-teknik
eksegesis makro dan mikro. Odil Steck (2000:20-43) menyebut ini "pembacaan
sejarah sinkronis." Maksud dia dengan istilah ini adalah melihat kitab itu sebagai
satu keutuhan kanonis. Misalnya, kalaupun kita harus menerima trito-Yesaya, kita
perlu melihat Yesaya 1-66 sebagai satu keutuhan tatkala berusaha memahami
penyajiannya dan beritanya. Steck melihat empat aspek mengenai hal ini: (1)
Pelajari penyajian pribadi, krono logi ("waktu cerita" dalam istilah-istilah narasi
yang penting), dan prosedur prosedur linguistik. Dengan kata lain, perhatikanlah
perkembangan pikiran, penokohan dan perspektif sosiopolitis dari keseluruhan.
Perhatikan bagai mana suatu orakel bisa cocok ke dalam perkembangan ide-ide
ini. (2) Periksa karakter dan maksud dari penggambaran kitab tersebut. Hindarilah
prapemahaman diakronis dan izinkanlah kitab itu berbicara bagi dirinya sendiri
dalam pengertian pesan yang dimaksudkannya. (3) Pelajari susunan dan karya
redaksi dari kitab tersebut. Tempatkanlah diri Anda pada tingkat pembentukan
final dari teks dan lihatlah kitab itu sebagai satu kesatuan, dan selanjutnya lihatlah
bagaimana paragraf-paragraf secara individu masuk atau cocok ke dalam kesatuan
itu. (4) Pelajari tanda-tanda yang menunjuk kepada suatu pembacaan historis yang
masuk akal. Tanda-tanda sastra ini mencakup superskripsi yang menjelaskan
perspektif dasar, hubungan an tara bagian-bagian, kumpulan-kumpulan
pernyataan yang dihubungkan de ngan kerangka rujukan, teks-teks yang terencana
dalam pengembangan argumen, hubungan-hubungan yang ditonjolkan dan kata-
kata atau frasa frasa pengendali. Dari sini akan muncul alur pikiran yang
dimaksud. Intinya adalah bahwa bagian-bagiannya harus selalu dipelajari dalam
pengertian apa kontribusi mereka kepada keseluruhan yang lebih besar, dan tiap
orakel harus terlihat sebagai bagian dari pesan yang berlanjut dari kitab tersebut.
4. Pelajari keseimbangan antara yang historis dan yang prediktif. Bernard Ramm
mencatat tiga masalah dalam pengertian mengenai esensi dari suatu perikop
(1970:250). Apakah perikop itu prediktif atau didaktik? (misalnya, Za. 1:1-6 itu
didaktik dan 7-21 prediktif). Apakah bersyarat atau tidak bersyarat? Apakah sudah
digenapi atau belum digenapi? Di dalam kasus yang terakhir kita perlu berhati-
hati karena sifat misteri/enigmatik dari nubuat. Orang Ya- hudi abad pertama
berpikir Yesaya 53 telah digenapi dalam penderitaan- penderitaan bangsa itu dan
tidak menyadari kalau perikop tersebut juga bersifat mesianis. Kita hari ini juga
mendekati nubuat dari suatu perspektif yang terbatas dan sangat mudah untuk
salah dalam melihat arah dari suatu janji. Ini menuntut suatu eksegesis sejarah-tata
bahasa atas perikop itu. Kita harus mencari latar belakangnya dengan hati-hati,
bukan hanya atas kata- katanya namun atas isu-isu yang lebih besar, sebelum kita
membuat ke- putusan apa pun. Banyak orang hari ini terlalu cepat melompat ke
dalam penafsiran futuristik atas perikop-perikop yang sebenarnya lebih mungkin
dimaksudkan berbicara kepada zaman penulisnya sendiri. Bagaimanapun. dalam
kedua aspek itu penting sekali untuk memperhatikan konteks buda- yanya.
Terhadap semua metafora dan tulisan puisi profetik, kita harus mem- pelajari latar
belakang budaya, dengan mengingat bahwa para nabi itu adalah tokoh-tokoh
sejarah yang membicarakan masalah-masalah sejarah pada za- man mereka
sendiri (VanGemeren 1990:73-75). Faktanya, formula kunci, "Berfirmanlah
TUHAN." merupakan suatu formula bagi pembawa pesan yang diambil dari
praktik para utusan dari seorang penguasa yang membuat pengumuman-
pengumuman atas namanya (Schmitt 1992:483 - lihat juga bentuk-bentuk yang
telah disebutkan sebelumnya (hlm. 267-701). Mengenai nyanyian hamba dari
Yesaya 42-53, pelajari setiap nyanyian bukan hanya secara mesianis melainkan
historis dalam pengertian rujukannya (bangsa itu dalan nyanyian-nyanyian awal
dan beralih kepada arah mesianis di dalam nyanyian-nyanyian yang kemudian)

5. Pastikan adanya makna harfiah atau simbol.

Ada perdebatan yang masih terus berlangsung antara para pendukung dari
pendekatan harflah pada nubuat dan mereka yang mengambil posisi simbolis,
berpusat kira-kira pada aliran aliran penafsiran dispensasional dan amillenial.
Meskipun saya akan membahas penggunaan simbol-simbol dalam Alkitab pada
bab tujuh. saya harus memperhatikan isu tersebut di sini. Ada tiga kemungkinan
pen- dekatan pada isu ini. Pada pendekatan yang seluruhnya harfiah, setiap sim-
bol menunjuk kepada seorang individu khusus dan suatu waktu khusus. Akan
tetapi, tidak ada yang memakai pendekatan yang mutlak harfiah. yang meyakini
bahwa memang akan ada banyak kuda monster dengan baju zirah yang berwarna-
warni, kepala seperti singa dan bernafas seperti naga api (Why. 9:17). Hampir
semua orang mengambil dan memilih yang mana yang harfiah, sering kali tanpa
kriteria yang jelas untuk melakukan demikian. Di dalam film seri Distant Thunder
mengenai periode penganiayaan besar. mi- salnya. Sang Binatang (Why. 13)
merupakan seorang tuan yang wajahnya terkenal di dalam pakaian putih yang
terdiri dari tiga helai sementara beia langnya (Why. 9) harfiah namun sebesar
pesawat-pesawat jet!
Kedua, pendekatan simbolis mencari ide-ide di balik simbol-simbol itu.
yaitu, kebenaran-kebenaran kekal tanpa signifikansi temporal atau individual.
Sedikit yang memakai pendekatan yang seluruhnya rohani, seperti menying
kirkan rujukan dari semua perikop profetik agar mereka hanya merujuk ke pada
kebenaran-kebenaran rohani dan bukan kepada peristiwa-peristiwa. Misalnya,
bahkan mereka (mis., R. T. France) yang menafsirkan Markus 13:24 (kedatangan
Anak Manusia) sebagai penghancuran Yerusalem ketimbang pa rousia melihat
adanya suatu peristiwa di balik suatu nubuat. Hanya penga nut eksistensialis kuat
yang hanya melihat makna rohani di balik teks-teks seperti ini.Pendekatan ketiga
mencari suatu "bahasa persamaan" yang memper hatikan situasi analogis namun
tidak mau membebani teks itu ke arah har fiah maupun simbolis. Ketika kita
mempelajari teks-teks mesianis Perjanjian Lama, misalnya, pendekatan ini
merupakan solusi yang terbaik. Teks-teks ini bukanlah murni simbolis karena
mereka benar-benar merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang akan datang. Teks-
teks tersebut juga bukanlah benar-benar harfiah, karena mereka berisi
kesepadanan sejarah dan juga nubuat mesianis yang langsung. Perikop-perikop
seperti nubuat tiga puluh keping uang perak (Yer. 32:6-9 [Za. 11:12-13] dalam
Mat. 27:9-10) itu analogis ketimbang nubuat-nubuat yang harfiah. Pendekatan ini
memperha tikan peristiwa masa depan yang telah diramalkan, misalnya, di dalam
tulah belaiang dari Wahyu 9 namun tidak mencoba memaksakan terlalu banyak
detail (baju-baju zirah = tank-tank) ke dalam teks.

6. Jelaskanlah penekanan-penekanan kristologis dengan hati-hati.

Ba nyak orang (Vischer, Geisler) memandang Perjanjian Lama itu`


esensinya kristosentris. Memang seluruh kanon dalam suatu pengertian menunjuk
ke pada Kristus (Gal. 3:19); namun setiap tulisan dalam kanɔn juga berbicara
kepada zamannya sendiri, dan para penafsir Kristen yang terlalu bersema ngat
sering menolak makna kanonis yang sejati dari nubuat (dan juga sastra Perjanjian
Lama lainnya) dengan membacanya dalam arah yang kristologis ketimbang
historis. Di sepanjang buku ini saya mengemukakan sentralitas dari "makna yang
dimaksud penulis," yaitu arah yang Allah inspirasikan ke pada penulis untuk
dinyatakan. Jika kita menerapkan ini pada nubuat berarti seorang penafsir
berkewajiban mencari arah asli dari perikop itu. Beberapa perikop jelas-jelas
mesianis (Mi. 5:2 mengenai kelahiran di Betlehem; Mal. 4:5 mengenai Elia
sebagai pelopor) sementara yang lainnya bersifat analog (Hos. 11:1 dalam Mat.
2:15 mengenai memanggil Yesus "ke luar dari Mesir"; Yer. 31:15 dalam Mat.
2:17-18 mengenai pembunuhan orang-orang yang tidak berdosa). Ada pula
nubuat-nubuat lain yang bukan mestanis namun memiliki penggenapan di zaman
mereka sendiri. Fee dan Stuart menyebutkan Yesaya 49-23 (raja-raja akan sujud
kepadamu dengan mukanya sampai ke tanah ditafsirkan oleh sebagian orang
sebagai nubuat mengenai orang Majus dalam Matius 2 (1982:163-64). Akan
tetapi, konteks nya memperlihatkan bahwa bagian ini merujuk kepada pemulihan
Israel setelah Pembuangan Babel: dan baik tujuan dan gaya dari perikop itu me
nuntut penafsiran segala bangsa tunduk di hadapan Yahweh dan umat-Nya.
Meskipun kita harus menyadari arah kristologis dari Kitab Suci sebagai suatu
keseluruhan, kita harus menafsir perikop-perikop individual dengan cara demikian
hanya jika teks-teks itu mengharuskannya. Jangan sekali-kali kita memaksakan
lebih banyak ke dalam suatu teks daripada yang diizin kannya. Perikop-perikop
yang bukan kristologis merupakan bagian dari arah yang lebih luas dari Kitab
Suci seiring bagian itu dipersiapkan bagi Kristus namun bukan kristosentris dalam
diri mereka sendiri.

7. Jangan memaksa sistem theologis Anda pada teks.

Seperti yang di- nyatakan di sepanjang buku ini, sistem theologis


seseorang merupakan kom- ponen yang penting dan sah dari kotak perkakas
hermeneutika. Tanpa suatu sistem pemikiran dasar, seorang pembaca tidak dapat
memetik makna dari teks mana pun apalagi dari teks yang sulit seperti teks
mengenai nubuat. Namun pada waktu yang sama suatu sistem yang telah menjadi
kaku dapat mendorong seorang penafsir untuk menelusuri teks itu ke arah yang
tidak Ingin dicapai teks tersebut dan oleh sebab itu secara serius dapat mengha-
langi pencarian atas kebenaran. Mengenai nubuat dan apokalipsis, para penganut
dispensasionalisme cenderung menjadi harfiah dan yang bukan penganut
dispensasionalisme lebih menekankan pendekatan simbolis. Sering kali keputusan
yang berkenaan dengan suatu teks tertentu dapat dibuat berdasarkan dogma
ketimbang dari dasar-dasar kebenaran eksegesis. Di sini dialog sangatlah penting.
Kita perlu menggunakan kata-kata dart kedua alir- an dalam mempelajari latar
belakang dan makna dari teks Alkitab. Ini akan memaksa kita memakai
pendekatan yang lebih seimbang yang dapat meng- izinkan teks itu sendiri yang
berbicara dan menuntun kita kepada suatu pemahaman yang tepat.

8. Carilah situasi-situasi yang analogis di dalam gereja modern.

Karena nubuat Perjanjian Lama diberikan kepada budaya yang sudah


lama berse lang dari pandangan, banyak yang menganggap nubuat tidak lagi
berbicara kepada zaman kita. Ini tidak benar. Kaiser menunjukkan 2 Tawarikh
7:14. yang berkata, "[Bilamana]... umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut,
meren- dahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-
jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa
mereka, serta memulihkan negeri mereka (1981:194-95). Penulis yang atas- nya
nama-Ku disebut" (versi lain: "yang memakai nama-Kul pasti akan men- cakup
bangsa non-Yahudi yang percaya dan Janji tersebut juga pasti berlaku kepada
gereja pada masa kini. Tentu saja, suatu pembacaan yang teliti atas sifat-sifat
nubuat memperlihatkan dapat diterapkannya tema-tema ini pada zaman kita.
Perlunya tinggal di dalam kovenan baru Allah, peringatan-per ingatan
penghakiman dan janji-janji penyelamatan berbicara kepada orang orang Kristen
modern dengan suara yang senyaring yang mereka perdengar kan bagi orang
Israel. Pengutukan atas ketidakadilan sosial dan imoralitas itu sama diperlukan
pada hari ini sama seperti di masa itu.

3.1 KESIMPULAN

Hermeneutika spiral mengajukan pendekatan interpretatif yang melibatkan


proses berulang dan kompleks dalam memahami teks-teks seperti narasi, puisi,
hikmat, dan nubuat. Kesimpulannya, metode ini memandang interpretasi sebagai
suatu perjalanan yang terus berkembang, di mana penafsir terlibat secara aktif
dalam menemukan makna dari teks secara bertahap, mandapatkan makna dari
suatu teks historis-theologis dalam Alkitab, tanpa merekronstruksi marya aslinya,
memperkaya pemahaman mereka seiring waktu.

Anda mungkin juga menyukai